Anda di halaman 1dari 4

STANDAR KOMPETENSI JABATAN BIROKRASI

DOSEN PENGAMPU: Bimo Adi Prianggoro S.AP., M. Tr.AP.


DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD HAFIZH PRAMATA
22091377095
2022C

PROGAM STUDI D4 ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2023
SOAL !
1. Berikanlah analisis apakah pimpinan instansi pemerintah (menteri/rektor) sudah dapat
menjadi role model bagi anggota/bawahan.
Jawab : Seorang pimpinan instansi pemerintah, seperti seorang menteri atau rektor, dapat
menjadi role model bagi anggota dan bawahannya melalui sejumlah karakteristik dan perilaku
yang mencerminkan integritas, kepemimpinan yang baik, dan komitmen terhadap
kesejahteraan masyarakat. Pertama-tama, integritas dan etika yang tinggi merupakan faktor
kunci. Pimpinan harus menjalani hidup yang bersih dari korupsi dan perilaku tidak etis, karena
ini akan mengilhami kepercayaan dan penghargaan dari staf dan masyarakat. Kepemimpinan
yang efektif juga sangat penting; kemampuan mengambil keputusan bijak dan mengelola
sumber daya dengan efisien dapat mengilhami bawahan. Selain itu, komunikasi yang jelas dan
peduli pada kesejahteraan masyarakat adalah ciri khas lainnya. Pimpinan yang mampu
menyampaikan visi dan kebijakan dengan baik serta yang menempatkan kepentingan publik di
atas kepentingan pribadi akan menjadi panutan yang kuat. Terbuka terhadap masukan,
responsif terhadap masalah, dan berkomitmen pada pendidikan dan pengembangan karyawan
juga menjadi faktor penentu. Terakhir, kemampuan untuk memimpin dalam situasi krisis juga
merupakan indikator penting. Keseluruhan, menjadi role model adalah hasil dari konsistensi
perilaku dan tindakan yang mencerminkan komitmen seorang pimpinan terhadap nilai-nilai
yang baik dan kepentingan publik.
Pimpinan instansi pemerintah, seperti menteri atau rektor, seharusnya dapat menjadi role
model bagi anggota atau bawahannya. Berikut adalah analisis mengapa hal ini penting:
- Pemimpin sebagai sosok yang luar biasa: Pemimpin harus menjadi sosok yang luar
biasa (extraordinary person), lebih banyak berkarya daripada banyak berbicara, dan
memiliki karakter kuat[1]. Dalam hal ini, pemimpin harus menjadi role model dalam
akhlak, cara berfikir, cara bertindak, kejujuran, ketegasan, dan disiplin.
- Pemimpin sebagai pelayan: Seorang pemimpin yang baik adalah yang memiliki ciri
sebagai pelayan, yaitu mampu memikirkan, memanfaatkan, dan mewujudkan dalam
bentuk perilaku apa saja yang dimilikinya untuk diberikan kepada orang lain atau
bawahannya.
- Pemimpin sebagai role model dalam kepemimpinan transformasional: Dalam konteks
kepemimpinan transformasional, pemimpin harus mampu berfikir cepat, melakukan
analisa yang tepat, berkeputusan, dan bertindak cepat.
- Pemimpin sebagai role model dalam penerapan nilai dasar: Pimpinan harus menjadi
teladan dan role model dalam penerapan nilai dasar atau core values di lingkungan
instansinya. Misalnya, dalam penerapan nilai dasar "Berakhlak" yang merupakan
akronim dari berorientasi pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif,
dan kolaboratif.
- Pemimpin sebagai role model dalam pencapaian tujuan organisasi: Pemimpin harus
menjadi role model dalam pencapaian tujuan organisasi dan bernegara[4]. Hal ini
meliputi pengambilan keputusan atas tujuan organisasi, strategi konkret untuk
mencapai tujuan, dan nilai-nilai organisasi.
Dengan menjadi role model bagi anggota atau bawahannya, pimpinan instansi pemerintah
dapat membangun budaya kerja yang kuat, membangun SDM yang unggul, dan menghadapi
tantangan disruptif dengan lebih baik. Pemimpin juga dapat membantu anggota atau
bawahannya dalam mengembangkan kompetensi kepemimpinan kolaboratif.
2. Berikanlah analisis mengenai sistem pelayanan publik yang ada diinstansi pemerintah
apakah pelayanan publik yang diberikan sudah mencerminkan Tindakan non diskirminatif.
Jawab : Sistem pelayanan publik yang ada di instansi pemerintah Indonesia masih menghadapi
tantangan dalam mencerminkan tindakan non diskriminatif secara menyeluruh. Meskipun
terdapat upaya untuk mencapai pelayanan publik yang adil dan setara bagi semua individu,
masih terdapat beberapa masalah yang perlu diatasi.
Salah satu masalah utama adalah adanya diskriminasi gender dalam sistem pelayanan publik.
Meskipun hak-hak perempuan diakui dalam hukum keluarga dan undang-undang, masih
terdapat ketimpangan dalam kesempatan dan perlakuan terhadap perempuan di ruang domestik
dan publik Hal ini dapat menghambat akses perempuan terhadap pelayanan publik yang setara.
Selain itu, terdapat juga masalah diskriminasi berdasarkan agama, suku, dan ras dalam
pelayanan publik. Meskipun Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menekankan
kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia, masih terdapat kasus-kasus
diskriminasi yang terjadi Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan yang perlu
dilakukan untuk mencapai pelayanan publik yang benar-benar non diskriminatif.
Dalam upaya meningkatkan pelayanan publik yang non diskriminatif, pemerintah perlu
meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk melaksanakan prinsip non diskriminasi.
Pelatihan dan pemahaman yang baik tentang pentingnya tindakan non diskriminatif juga perlu
diberikan kepada pegawai pemerintah yang bertugas dalam memberikan pelayanan publik.
Selain itu, penting untuk memastikan akses yang merata bagi semua individu tanpa adanya
hambatan atau diskriminasi. Mekanisme pengawasan yang efektif dan mekanisme pengaduan
yang mudah diakses oleh masyarakat juga perlu diperkuat untuk memastikan pelayanan publik
yang adil dan setara bagi semua individu.
Dalam kesimpulannya, meskipun terdapat upaya untuk mencapai pelayanan publik yang non
diskriminatif di Indonesia, masih terdapat tantangan yang perlu diatasi. Diskriminasi gender,
agama, suku, dan ras masih menjadi masalah yang perlu diperhatikan. Diperlukan kesadaran
dan komitmen pemerintah, pelatihan pegawai, akses yang merata, serta pengawasan dan
mekanisme pengaduan yang efektif untuk mencapai pelayanan publik yang benar-benar non
diskriminatif.
3. Bagaimana sikap birokrat (aparatur/pejabat publik) dalam menyikapi adanya perubahan
digitalisasi pemerintahan?

Jawab : Dalam menyikapi adanya perubahan digitalisasi pemerintahan, sikap birokrat


(aparatur/pejabat publik) dapat bervariasi tergantung pada individu dan lingkungan kerja.
Berikut adalah beberapa sikap yang mungkin diambil oleh birokrat dalam menyikapi
perubahan digitalisasi pemerintahan:

- Menerima perubahan : Birokrat dapat menerima perubahan digitalisasi pemerintahan


sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab mereka. Mereka dapat melihat manfaat
dari digitalisasi dalam meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kualitas pelayanan
publik.
- Belajar dan beradaptasi: Birokrat perlu belajar dan beradaptasi dengan teknologi baru
yang muncul sebagai bagian dari digitalisasi pemerintahan. Mereka dapat mengikuti
pelatihan dan pengembangan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi
perubahan ini.
- Menghadapi tantangan : Birokrat dapat menghadapi tantangan dalam
mengimplementasikan digitalisasi pemerintahan, seperti kekurangan sumber daya,
perubahan proses kerja, dan resistensi terhadap perubahan. Mereka perlu mencari solusi
untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan keberhasilan digitalisasi pemerintahan.
- Mengutamakan pelayanan publik : Birokrat perlu tetap fokus pada pelayanan publik
yang berkualitas dalam proses digitalisasi pemerintahan. Mereka harus memastikan
bahwa pelayanan publik tetap efisien, tepat, dan cepat.
- Mengikuti regulasi: Birokrat perlu mengikuti regulasi yang terkait dengan digitalisasi
pemerintahan, seperti peraturan menteri tentang pengelolaan kinerja pegawai aparatur
negara dan reformasi birokrasi. Mereka harus memastikan bahwa implementasi
digitalisasi dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
- Menghadapi peluang: Birokrat dapat melihat adanya peluang dalam digitalisasi
pemerintahan, seperti peningkatan integritas aparatur, inovasi pelayanan publik yang
cepat, dan peningkatan efisiensi. Mereka dapat memanfaatkan peluang ini untuk
meningkatkan kualitas kerja mereka dan memberikan pelayanan publik yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai