Anda di halaman 1dari 28

Bab IV

Dampak Pusaran Kebudayaan terhadap Olahraga

Awal milenium ketiga ini tampaknya kebudayaan peradaban merupakan kata kunci
pokok untuk memahami interaksi manusia dalam dunia global. Pada tataran teoretis, disatu
pihak kebudayaan dianggap isu sentral, di pihak lain pengertian konsep kebudayaan itu
sendiri sudah menjadi sangat kabur akibat banyaknya kritik dekonstruktif, melalui filsafat,
kultur kritik, studi budaya, wacana postkolonial, hingga antropologi kontemporer hingga
studi budaya kini cenderung bergeser dari membicarakan tentang substansi menuju ke
wacana. Pada tataran praksis, di satu sisi kebudayaan dianggap kunci pokok, namun dalam
realitasnya kebudayaan justru kehilangan daya ikat dan otoritas, akibat pola organisasi baru,
jenis legitimasi baru, kultur baru kosmopolitan, dan pecahnya komunitas tradisional. Untuk
memahami kebudayaan yang di dalamnya olahraga menjadi katalisator sekaligus produk
budaya yang berelasi dan turut membentuk manusia yang mendiaminya. Relasi antara
budaya dan olahraga sangat erat dan kompleks, membentuk suatu ikatan yang kuat dalam
masyarakat.
Hubungan ini menciptakan dinamika yang unik dan berdampak pada berbagai aspek
kehidupan. Olahraga sering menjadi ekspresi dari identitas kultural suatu masyarakat. Setiap
jenis olahraga dapat mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan norma budaya yang dianut oleh
komunitas tertentu. Pakaian, simbol, dan ritual dalam olahraga sering kali mencerminkan
unsur-unsur budaya yang mendalam. Misalnya, kostum atau seragam tim olahraga seringkali
mencakup motif dan warna yang memiliki makna khusus bagi suatu kelompok etnis atau
daerah. Pertandingan olahraga sering kali dihubungkan dengan ritual dan perayaan budaya.
Sebelum atau setelah pertandingan, masyarakat dapat melibatkan diri dalam upacara
tradisional, tarian, atau musik yang memperkaya pengalaman olahraga dan mempertegas
ikatan budaya. Program olahraga dapat menjadi sarana untuk mendidik dan membentuk
karakter muda sesuai dengan nilai-nilai budaya. Melalui pelatihan olahraga, generasi muda
dapat belajar tentang kerja sama, semangat juang, disiplin, dan nilai-nilai lain yang dihargai
dalam budaya mereka. Peristiwa olahraga berskala besar, seperti Olimpiade atau Piala Dunia,
seringkali menjadi kesempatan untuk mempromosikan dan memamerkan budaya suatu
negara. Pada saat yang sama, mereka menarik perhatian wisatawan dari berbagai latar
belakang budaya, menciptakan pertukaran budaya yang positif. Budaya dan olahraga saling
mempengaruhi dalam inovasi dan evolusi. Teknologi baru, gaya hidup, dan preferensi
masyarakat dapat menciptakan tren baru dalam olahraga, sementara olahraga itu sendiri
dapat membawa perubahan budaya dan norma dalam masyarakat. Partisipasi dalam
kegiatan olahraga dapat memperkuat ikatan komunitas dan solidaritas sosial. Tim olahraga
sering kali menjadi fokus untuk bersatu dan mendukung satu sama lain, menciptakan rasa
persatuan yang kuat di antara anggota komunitas.
Gambaran mengenai perpaduan kebudayaan dan olahraga tergambar dalam
keunikan sistem relasinya yang terkadang kompleks namun nampak sepele. Barangkali oleh
masyarakat olahraga tidak lagi berwujud definisi teoretis yang selama ini didapatkan
dibangku sekolah dan paparan pertandingan dan perlombaan yang berakar pada kompetisi
dan hasrat akan prestasi, namun olahraga telah melebur menjadi sebuah nafas kehidupan
sehari-hari yang menggelora dalam setiap aktivitas manusianya. Di suatu sudut kota yang
kaya akan sejarah dan tradisi, terdapat sebuah perpaduan harmonis antara kebudayaan dan
olahraga. Kota ini dipenuhi dengan warisan budaya yang kental, mengakar dalam setiap
sudutnya. Setiap elemen kehidupan sehari-hari mencerminkan kekayaan warisan nenek
moyang, dan salah satu aspek yang paling menonjol adalah peran olahraga dalam
membentuk identitas kota tersebut.
Pagi hari misalnya, disetiap kota dan wilayah selalu dimulai dengan gerakan gemuruh di
lapangan olahraga. Sejak matahari terbit, warga setempat berkumpul untuk menjalani ritual
sehat yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka.
Olahraga bukan hanya sebuah aktivitas fisik, tetapi juga sebuah perayaan kebersamaan dan
semangat komunitas. Di lapangan, berbagai generasi bertemu dan bersatu, membaur dalam
kegembiraan bermain bersama.
Namun, tidak hanya kebersamaan yang menjadi ciri khas daerah itu. Kebudayaan
yang kaya turut memperkaya pengalaman olahraga. Stadion-stadion yang megah menjadi
panggung bagi pertunjukan seni lokal sebelum pertandingan dimulai. Tarian tradisional,
musik etnik, dan pameran seni rupa menjadi bagian dari pemanasan spiritual sebelum aksi
fisik dimulai.
Pertandingan olahraga bukan hanya sebuah ajang kompetisi, tetapi juga panggung
untuk merayakan kekayaan kultural. Tim-tim lokal memakai seragam yang dirancang dengan
motif-motif tradisional, menampilkan identitas khas kota mereka. Penonton tidak hanya
menyaksikan pertandingan, tetapi juga merayakan keberagaman budaya yang tercermin
dalam setiap aksi atlet.
Di luar stadion, pusat-pusat kebudayaan menjadi saksi bisu dari kejayaan masa lalu.
Museum-museum yang menggambarkan sejarah, galeri seni yang menampilkan karya
seniman lokal, dan pusat-pusat kebudayaan menjadi tempat pelancong dan warga setempat
untuk terus memelihara dan menghargai warisan budaya mereka.
Melalui perpaduan unik antara kebudayaan dan olahraga, kota ini bukan hanya
menjadi pusat kegiatan fisik, tetapi juga jendela ke dalam kekayaan sejarah dan tradisi.
Dalam setiap langkah, dalam setiap gerakan, warga kota ini mengabadikan warisan mereka
dengan bangga, menciptakan keseimbangan indah antara ruang fisik dan spiritual, antara
keberagaman dan persatuan.
Dalam era modernitas yang kaya akan inovasi dan teknologi, olahraga telah
menjalani transformasi yang mendalam, menjadi lebih dari sekadar kegiatan fisik atau
hiburan semata. Di tengah kehidupan yang terus berubah, olahraga telah menjadi cermin
dari dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat modern. Ceritanya dimulai di pusat
kota futuristik, di mana stadion modern berdiri menjulang tinggi sebagai monumen
kemajuan teknologi. Di dalamnya, ribuan penonton terhubung melalui teknologi canggih,
menciptakan pengalaman berolahraga yang tidak hanya lokal, tetapi juga global.
Pertandingan tidak hanya dipantau di dalam stadion, tetapi juga di seluruh penjuru dunia
melalui platform digital yang memungkinkan interaksi dan partisipasi secara real-time. Para
atlet modern bukan hanya pejuang fisik, tetapi juga pionir teknologi. Pelatih menggunakan
analisis data, kecerdasan buatan, dan teknologi wearable untuk memahami dengan lebih
baik kinerja atlet dan merancang strategi yang lebih efektif. Setiap gerakan, denyut jantung,
dan langkah di lapangan dapat diukur, dianalisis, dan dioptimalkan untuk mencapai
performa terbaik. Namun, di balik kemajuan teknologi, esensi manusia dalam olahraga tetap
terasa kuat. Kompetisi yang penuh semangat, perjuangan atlet untuk mencapai prestasi
puncak, dan kegembiraan penonton yang bersatu dalam sorak-sorai menjadi bagian tak
terpisahkan dari pengalaman olahraga modern. Stadion bukan hanya tempat pertandingan,
tetapi juga arena di mana emosi dan energi berkembang seiring dengan dinamika
permainan. Selain itu, olahraga dalam konteks modernitas telah menjadi platform untuk
mengatasi isu-isu sosial dan lingkungan. Atlet dan tim menggunakan ketenaran mereka
untuk menyuarakan pesan-pesan penting, seperti kesetaraan, keberlanjutan, dan
perdamaian dunia. Acara olahraga bukan hanya pertunjukan keterampilan fisik, tetapi juga
panggung untuk menyampaikan pesan dan memotivasi perubahan positif dalam masyarakat.

Perspektif Antropologi
Perspektif antropologi kebudayaan adalah suatu cara pandang yang digunakan oleh
para antropolog untuk memahami dan menganalisis fenomena kebudayaan manusia.
Antropologi kebudayaan merupakan cabang dari antropologi yang fokus pada studi tentang
kehidupan sosial, kepercayaan, nilai, norma, dan praktek-praktek budaya dalam berbagai
masyarakat. Antropologi kebudayaan menganut prinsip relativisme budaya, yaitu
pendekatan yang menghargai dan mencoba memahami suatu kebudayaan dari perspektif
internal masyarakat tersebut. Ini berarti tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk
dari yang lain, dan perbedaan budaya harus dipahami dalam konteks historis dan sosialnya.
Antropolog kebudayaan sering menggunakan metode observasi partisipatif, yaitu dengan
terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat yang mereka studi. Dengan berinteraksi
secara langsung, antropolog dapat mendapatkan pemahaman mendalam tentang nilai,
norma, dan pengalaman budaya yang mungkin sulit dipahami hanya dengan observasi dari
kejauhan. Antropologi kebudayaan memfokuskan pada analisis sistem simbolik yang ada
dalam suatu masyarakat. Ini mencakup studi tentang bahasa, mitos, ritual, dan artefak
budaya sebagai cara untuk memahami cara masyarakat menyusun dan menyampaikan
makna. Antropolog kebudayaan tertarik pada struktur sosial dan institusi-institusi dalam
suatu masyarakat. Mereka mempelajari hubungan kekerabatan, sistem ekonomi, organisasi
politik, dan sistem nilai yang membentuk dasar kehidupan sosial masyarakat. Antropolog
kebudayaan memperhatikan proses difusi, yaitu penyebaran ide, teknologi, atau praktik
budaya dari satu masyarakat ke masyarakat lain, serta akulturasi, yaitu proses interaksi dan
pertukaran budaya antara dua kelompok yang berbeda.
Antropologi kebudayaan mengembangkan berbagai teori untuk menjelaskan
perubahan budaya, evolusi sosial, dan interaksi antarbudaya. Beberapa teori terkenal
melibatkan konsep seperti fungsionalisme, strukturalisme, konflik sosial, dan
postmodernisme. Pentingnya memahami konteks historis dan sosial dari suatu masyarakat
sangat ditekankan dalam antropologi kebudayaan. Faktor-faktor seperti sejarah, ekonomi,
politik, dan lingkungan memainkan peran penting dalam membentuk budaya suatu
masyarakat.
Antropologi kebudayaan menyajikan panggung untuk menjelajahi kaya akan
keanekaragaman manusia. Dalam perjalanannya, disiplin ini memberikan wawasan
mendalam tentang cara manusia beradaptasi, berinteraksi, dan membentuk dunia mereka
melalui lensa kebudayaan. Dengan cermat mengamati dan menganalisis praktek-praktek
budaya, antropologi memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang makna dan
dinamika sosial manusia.
Pendekatan utama antropologi kebudayaan adalah relativisme budaya. Konsep ini
mengajarkan kita untuk melihat suatu masyarakat dari perspektif internalnya, tanpa menilai
atau membenarkan dari sudut pandang kita sendiri. Kita diajak untuk memahami bahwa
setiap kebudayaan memiliki konteks sejarah, nilai-nilai, dan norma-norma yang
membentuknya, dan tidak ada kebudayaan yang superior atau inferior.
Dalam praktiknya, antropolog kebudayaan sering terlibat dalam observasi partisipatif.
Mereka memasuki kehidupan masyarakat yang mereka studi, berinteraksi secara langsung
dengan anggota masyarakat tersebut. Dengan melakukan ini, antropolog bukan hanya
pengamat luar yang memerhatikan dari kejauhan, tetapi mereka ikut merasakan dan
memahami realitas sehari-hari masyarakat yang mereka amati. Antropologi kebudayaan juga
menyoroti sistem simbolik. Ini mencakup analisis mendalam terhadap bahasa, mitos, ritual,
dan artefak budaya. Bahasa, sebagai alat komunikasi utama, membuka pintu untuk
memahami cara manusia menyusun makna dan melibatkan diri dalam konstruksi realitas
bersama. Mitos dan ritual memberikan pandangan tentang sistem kepercayaan dan praktek
keagamaan yang mendalam, sementara artefak budaya menjadi jendela ke dalam kreativitas
dan nilai-nilai yang diyakini oleh suatu masyarakat.
Tidak hanya fokus pada aspek-aspek kultural yang tampak, antropologi kebudayaan
juga menggali struktur sosial dan institusi-institusi dalam suatu masyarakat. Bagaimana
masyarakat mengorganisasi diri dalam hubungan kekerabatan, bagaimana sistem ekonomi
mereka berjalan, dan bagaimana struktur politik mereka membentuk kehidupan sosial,
semuanya menjadi fokus penelitian.
Konteks historis dan sosial juga memegang peranan sentral dalam antropologi
kebudayaan. Keterkaitan antara sejarah, ekonomi, politik, dan lingkungan alam menjadi
pokok bahasan yang memahami keberlanjutan dan perubahan budaya suatu masyarakat.
Dengan memasukkan faktor-faktor ini, antropolog dapat menjelaskan bagaimana budaya
suatu masyarakat tidak hanya dipertahankan, tetapi juga terus berkembang.
Sebagai akhir dari eksplorasi antropologi kebudayaan, kita menyadari bahwa ini
bukan hanya tentang memahami perbedaan budaya, tetapi juga tentang mengenali
persamaan kemanusiaan di antara keragaman ini. Dalam kerangka ini, antropologi
kebudayaan memainkan peran kunci dalam membangun jembatan antara kelompok
manusia yang berbeda dan meretas jalur menuju pemahaman global yang lebih dalam
tentang manusia dan kebudayaannya.

Kebudayaan sebagai Pengalaman


Kita telah melihat percaturan konsep kebudayaan dalam baluran perspektif
antropologi sebagai teropong utama dalam mengamati olahraga di masyarakat dalam
perspektif historis yang kemudian berakhir pada tersebarnya konsep tersebut ke banyak
bidang kajian di awal milenium ketiga ini. Dalam situasi itu ada baiknya kita mengintip pula
perspektif filosofis, sebab sejak pertengahan abad ke-20 hingga awal milenium ketiga ini
kebudayaan menjadi pusat gravitasi pada bidang filsafat juga. Dalam wacana tentang
kebudayaan, dunia filsafat membawa kecenderungan baru, yakni menyeret konsep budaya
ke ranah pengalaman.
Pergumulan filsafat untuk melepaskan diri dari kecenderungan metafisiknya telah
melahirkan kiblat baru ke arah wilayah praksis, pengalaman eksistensial konkrit dan bahasa,
artinya, ke arah dunia khas manusia, alias ke arah konteks kebudayaan. Hal itu nampak jelas
sejak fenomenologi, eksistensialisme, marxisme, strukturalisme, teori kritis Fankfurt, analis
linguistik, hermeneutika hingga poststrukturalisme. Fenomenologi dan hermeneutika,
membawa konsekuensi radikal dan jauh dalam mengubah persepsi tentang kebudayaan,
yang sering tidak disadari bahkan oleh mereka yang berkecimpung di bidang antropologi
sekalipun, sebagaimana telah terpapar di bahasan sebelumnya. Dan di sana kata kunci yang
menentukan dalam pemahaman baru kebudayaan itu adalah pengalaman.
Dalam tilikan filsafati dan sains posisi pengalaman, sebagaimana terwujudkan dalam
sebuah gerak ragawi yang dinamai dengan berolahraga. Posisi pengalaman berolahraga
tersebut dapat dikatakan dilematis. Dilema yang setiap muncul kembali dan menggugat
berbagai bentuk definisi serta pola-pola tetapan yang telah dibeku-bakukan. Sisi pertama
para ilmuwan dan filsuf meyakini bahwa nalar mampu menangkap prinsip esensial-formal
realitas objektif dan membekukannya sebagai kerangka peta-kognitif. Di sisi lain, kenyataan
hidup selalu dialami sebagai sesuatu yang mengalir, mengelak, kompleks, dan kabur,
sehingga membekukannya dalam prinsip-prinsip formal teraa bagai melakukan
penghianatan atasnya. Pengalaman adalah lokus pengetahuan umum sekaligus juga potensi
teror terhadapnya.
Dalam kerangka dialektika Platonik pengalaman bukanlah kenyataan yang pada dirinya
sendiri dapat dipahami. Pengalaman hanya dapat dipahami dengan mengaitkan peristiwa
kepada idea dan mengorelasikan berbagai unsur yang membentuk peristiwa itu sendiri.
Hasilnya tergantung pada bentuk refleksi yang digunakan: sejauh mana refleksi itu mampu
menggapai idea kebenaran yang abadi.
Bagi fenomenologi dan eksistensialisme pengalaman tak bisa dilihat sebagai sekedar
kenyataan yang kompleks, objek yang membingungkan, atau sekedar bahan untuk proses
dialektika belaka, melainkan sebagai dunia persepsi dan rasa dengan tatanannya sendiri.
Yang dibutuhkan adalah pengamatan lebih dekat terhadap pola konkret pengalaman
eksistensial.
Dengan kecenderungan macam itu, kaum eksistensialis memang sering dituding sebagai
subjektivistik atau bahkann irasional. Masalahnya, bertentangan dengan Hegel, bagi para
eksistensialis macam Kierkegaard misalnya, realitas bukanlah sesuatu yang ditangkap pleh
kesadaran atau Roh. Tidak juga ia sekedar proses dialektis kesadaran murni yang
mengekternalisasi diri. Sebaliknya, eksistensi dialami lebih dulu. Alur Cartesian yang
menganggap bahwa saya berpikir maka saya ada disini tidaklah tepat. Saya tidak pertama-
tama berpikir lantas dari sana disimpulkan bahwa saya ada. Saya mengalami bahwa saya
memang ada, barulah kemudian saya meragukan dan berpikir. Sasaran dasar kaum
eksistensialis adalah hendak memahami pola dan struktur pengalaman primordial kita dalam
dunia kehidupan ini.
Selain Kierkegaard, fenomenologi Husserl juga memberi inspirasi awal sekaligus
dasar perkembangan bermacam kecenderungan filsafat abad duapuluh selanjutnya.
Ironisnya, di penghujung penalarannya fenomenologi justru membuka kemungkinan ke arah
kritik mendasar yang menumbangkan metafisika sibjek-objek adalah konsepnya tentang
dunia kehidupan dan intensionalitas yang kemudian mengalami jalan buntu dan akhirnya
konsep dunia-kehidupan diambil oleh Heidegger dan membawanya ke konsekuensi lebih
jauh. Baginya dunia kehidupan itu adalah eksistensi, cara manusia mengada dalam dunia
dan sejarah dalam masyarakat, tradisi dan kebudayaan yang bermanifestasi dalam bentuk
gerak naluriah dan alami yakni olahraga.
Konsep penting lain dari Husserl adalah intensionalitas, konsep yang mengatakan
bahwa kesadaran kita pada dasarnya selalu tentang sesuatu. Ada hubungan ketergantungan
inheren antara kesadaran dan realitas. Kelak konsep ini pun diperdalam oleh Heidegger.
Heidegger memperlihatkan bahwa kemampuan kita untuk membentuk representasi realitas
pun sebenarnya dimungkinkan justru oleh kenyataan bahwa kita sudah selalu terikat pada
realitas itu dan sudah selalu menggaulinya. Segala representasi yang kita buat tentang
realitas selalu dilandasi pergaulan dan kesatuan dasar itu. Sementara kesatuan dasar yang
merupakan fondasi itu sendiri sebenarnya tak akan pernah terumuskan dan tuntas. Ia akan
tetap merupakan horizon dasar yang tersembunyi dan implisit di balik segala pernyataan
yang kita buat. Konsekuensinya, tugas nalar bukanlah mencari fondasi terdalam yang kokoh,
pasti dan tak tergoyahkan, melainkan menyingkapkan saja setiap kali unsur-unsur yang
terkandung dalam hubungan kesatuan dasar tersebut. Ini berarti bahwa anggapan tentang
diri sebagai subjek yang seolah mandiri terlepas dari dunia luarnya menjadi ilusi belaka.
Maka Heidegger diri (Dasein) hanya bisa dipahami dalam serba keterhubungannya dengan
orang lain, dalam hidup bersama, sebagai mengada bersama yang mengartikulasikan diri
dalam bahasa yang lazim kita sebut sebagai kebudayaan.
Merleau-Ponty memperlihatkan bahwa persepsi adalah pemahaman primordial yang
memungkinkan kita membentuk makna keberadaan kita. Dan untuk sebagian besar persepsi
itu pra-sadar dan pra-personal. Persepsi itu mewujud lewat tubuh ego, yang juga pra-sadar.
Dan karena menyangkut medan serba pra-sadar itu, maka yang harus dikerjakan
fenomenologi hanyalah membuat deskripsi saja, bukan analisis (Husserl) atau pun
interpretasi (Heidegger). Dunia adalah medan alamiah segala pikiran dan perspesi eksplisit
kita. Jika para filsuf telah selalu bersusah payah berusaha memecahkan segala masalah
dengan mengacu pada kebenaran abadi atau pun pada evidensi apodiktik yang tak tergugat
(Husserl), bagi Merleau-Ponty kita sudah selalu berada dalam kebenaran, yakni dalam
pengalaman di dunia ini. Pengalaman di dunia inilah yang bersifat nyata dan jelas dengan
sendirinya, self-evident. Kesatuan mendasar antara diri dan dunia itu mewujud dan
menampakkan diri dalam rupa hasrat, emosi, evaluasi dan perilaku daripada dalam
pengetahuan objektif.
Dengan begitu Merleau-Ponty menggeser pusat gravitasi dari subjektivitas ke dunia,
dari kesadaran murni ke ranah pengalaman. Namun tentu saja dunia dialami selalu dalam
hubungan dengan subjektivitas maupun inter-subjektivitas. Segala pengalaman saya tentang
dunia adalah totalitas kesatuan pengalaman saya pribadi dan pengalaman orang lain yang
masuk dalam hidup saya. Tradisi Husserlian-Heideggerian yang kemudian lebih dikenal
sebagai tradisi hermeneutika ini bersama dengan fenomenologi Merleau-Ponty,
berkulminasi pada pemikiran Gadamer. Jalur inilah yang mengolah refleksi atas sentralitas
pengalaman. Dan melalui sudut pandang ini pemahaman kita akan kebudayaan, sejarah,
tradisi dan identitas dapat menjadi berbeda.
Untuk memudahkan pemahaman kita, beberapa prinsip berikut dapat disarikan dari
kerangka pemikiran Gadamer.
1. Pengalaman atau realitas bersifat kompleks, licin dan tak pernah habis terjelaskan
2. Relasionalitas adalah kunci untuk memahami pengalaman. Di sana subjek dan objek
terpintal dalam hubungan timbal balik
3. Proses adalah konsep yang lebih relevan daripada substansi atau pun esensi
4. Klaim-klaim tentang realitas bukanlah representasi satu banding satu atas realitas,
melainkan interpretasi atas realitas
5. Realitas adalah proses yang menyejarah, bukan sistem yang a-historis
6. Kebenaran tidak lagi dilihat sekedar sebagai masalah proposisi yang terjustifikasi,
pernyataan yang terjamin atau pun korelasi objektif statis antara dalam dan luar,
melainkan lebih perkara pencerahan dan tindakan yang dimungkinkannya
Kerangkan berpikir macam di atas itu akan membawa pemahaman tidak konvensional dan
penting bila digunakan untuk memahami fenomena budaya, hubungan interkultural,
identitas dan otentisitas.
Sebagai aliran yang hidup dan dinamis kebudayaan memiliki prinsip perubahannya
sendiri. Kebudayaan terdiri dari unsur-unsur yang saling keterkaitannya longgar sehingga
ketika lingkungan berubah penataan ulang selalu dimungkinkan. Dalam situasi macam itu
kebudayaan memiliki ketidaktentuannya sendiri, tekanan, konflik, dan improvisasinya
sendiri. Kebudayaan adalah proses tuntutan dan tuntutan tandingan, proses perubahan cara
menyikapi persoalan, proses penemuan ungkapan baru, produk gerak baru, dsb.
Kebudayaan adalah pergumulan kekuasaan untuk memaknai hal-hal penting dalam hidup,
seperti memaknai kemenangan, kekalahan, kontestasi, aspek afeksi menyangkut harga diri,
dll. Kebudayaan adalah kemampuan untuk memperbarui dan menata ulang secara kreatif,
proses transmisi dan transformasi, berdasarkan kondisi yang ada dan kemungkinan yang
terbuka.
Kebudayaan bukanlah sistem tertutup. Keterkaitannya dengan komunitas sosial
tertentu pun tidaklah mesti satu banding satu. Kebudayaan dapat menyeberangi batas-batas
geopolitis. Dalam kerangka budaya, berbagai negara bisa saling tumpang tindih, sekurang-
kurangnya pada aspek-aspek tertentu. Dalam aspek-aspek tertentu Indonesia dan negara
tetangga misalnya berbudaya serupa, yakni berolahraga lewat beragam ekspresi korporeal
yang mengobjek hal yang sama, yaitu tubuh. Bahkan olahraga sebagai produk kebudayaan
yang berkembang pada skala transnasional, tanpa terikat konteks negara-bangsa. Bila kita
hendak menekankan keunikan kebudayaan, maka keunikan itu harus dilihat pada kenyataan
bahwa kebudayaan adalah perwujudan lokal dari proses pertukaran dan persilangan.

Manusia dan Olahraga


Manusia, sebagai makhluk yang penuh gairah dan keinginan, telah membawa
olahraga menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan evolusinya. Dari zaman prasejarah
hingga era modern, olahraga telah menjadi manifestasi fisik, intelektual, dan spiritual
manusia. Melalui lensa olahraga, kita dapat melihat refleksi kompleksitas manusia, dari
keinginan untuk bersaing hingga pencarian makna hidup yang mendalam.
Olahraga adalah lebih dari sekadar gerakan tubuh; itu adalah ekspresi dari potensi
manusia. Dalam upaya untuk mengoptimalkan kemampuan fisiknya, manusia telah
menciptakan berbagai jenis olahraga. Dari berlari di padang savana hingga berkompetisi di
stadion modern, olahraga telah menjadi sarana untuk mengeksplorasi batas kemampuan
manusia.
Pertandingan olahraga, seperti Olimpiade kuno di Yunani kuno, menjadi pentas untuk
merayakan keterampilan atletik dan semangat persaingan. Namun, olahraga juga
mengandung nilai-nilai lebih mendalam. Setiap perlombaan adalah perwujudan tekad,
keberanian, dan dedikasi. Melalui proses latihan dan pertandingan, manusia belajar tentang
kemandirian, kerja sama tim, dan kegigihan.
Olahraga juga menjadi katalisator bagi perubahan sosial. Melalui olahraga, batasan-
batasan sosial dapat diatasi, dan persamaan dapat ditegakkan. Contoh inspiratif dari atlet
yang mengatasi rintangan, terlepas dari latar belakang etnis, gender, atau status ekonomi,
menciptakan narasi keberagaman dan inklusivitas.
Seiring waktu, olahraga telah menjadi jembatan antarbudaya. Event internasional
seperti Piala Dunia sepak bola atau Olimpiade menjadi panggung global yang menyatukan
manusia dari berbagai penjuru dunia. Di sini, perbedaan budaya bukanlah penghalang,
melainkan sumber kekayaan dan keindahan yang merayakan persatuan manusia. Namun,
olahraga juga memperlihatkan sisi lain manusia yang lebih gelap. Ambisi yang berlebihan
untuk kemenangan, penggunaan doping, dan perilaku tidak etis di lapangan dapat
mencerminkan ketidakseimbangan nilai dalam perjalanan manusia. Oleh karena itu,
olahraga juga mengajarkan pentingnya integritas, etika, dan tanggung jawab.
Dalam keseluruhan, olahraga adalah bagian dari perjalanan manusia yang penuh
warna. Ini adalah refleksi dari ambisi manusia untuk menjadi yang terbaik, untuk melampaui
batas-batasnya sendiri, dan untuk mengejar tujuan-tujuan yang lebih besar. Melalui
perjalanan ini, manusia dan olahraga terus saling membentuk, membimbing, dan
mengilhami satu sama lain dalam perjalanan menuju kesempurnaan.

Manusia sebagai mahluk yang berubah bentuk


Menurut Canetti manusia adalah mahluk yang mampu berubah bentuk. Dalam
olahraga perubahan bentuk ini termanifestasi ke dalam mimesis, metamorphosis, bahkan
kamuflase yang difasilitasi oleh olahraga yang menjadikan manusia memiliki identitas
tertentu. Elias Canetti, seorang filsuf, penulis, dan peneliti kebudayaan Austria-Bulgaria,
adalah sosok yang merentang pikiran dan pandangan tentang dinamika manusia dalam
kompleksitasnya. Dengan karya-karyanya, seperti "Crowds and Power" dan "Auto-da-Fé,"
Canetti membawa kita dalam perjalanan pemikiran yang mendalam mengenai sifat manusia,
masyarakat, dan kekuasaan.
Dalam karyanya yang terkenal, "Crowds and Power," Canetti merinci bagaimana
manusia berperilaku dan berinteraksi ketika berada dalam kerumunan atau massa. Dia
membahas dinamika kekuatan dalam kerumunan, di mana individu-individu mengalami
transformasi psikologis saat menjadi bagian dari suatu kelompok. Canetti menelusuri
sejarah, mitologi, dan fenomena sosial untuk mengungkap rahasia kekuatan dan kehendak
manusia yang muncul dalam kerumunan. Canetti juga menghadirkan konsep yang unik
tentang "ratusan wajah," menggambarkan kemampuan manusia untuk mengadaptasi diri
dan berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan sosial. Pemikiran ini
menciptakan pandangan yang mendalam tentang kompleksitas identitas manusia yang
selalu berubah dan terbentuk oleh interaksi sosialnya.
Pemikiran Canetti tidak terbatas pada analisis kerumunan saja; ia juga
mengeksplorasi kekuasaan dalam hubungannya dengan individu dan masyarakat. Ia
menggambarkan kekuasaan sebagai suatu yang kompleks, menekankan bahwa kekuasaan
tidak hanya dimiliki oleh pemimpin atau elit, tetapi juga dipertahankan oleh masyarakat
dalam bentuk-bentuk yang bervariasi.
Salah satu kontribusi besar Canetti terletak pada kajiannya tentang kekuasaan dan kekuatan
dalam konteks budaya dan sejarah. Ia mengidentifikasi hubungan antara ritual dan
kekuasaan, menggali akar-akar budaya yang membentuk struktur sosial manusia. Dalam
pandangannya, manusia dan kekuasaan tak terpisahkan, dan melalui pemahaman yang
mendalam terhadap keduanya, kita dapat mengeksplorasi dimensi kehidupan yang tak
terbatas.
Dalam karyanya yang lain, "Auto-da-Fé," Canetti membawa pembaca dalam labirin
kompleks psikologi manusia, menyoroti konflik internal dan eksternal yang membentuk
karakter dan tindakan mereka. Novel ini menjadi karya seni sastra yang mencerminkan
ketajaman analisis Canetti terhadap sifat manusia dalam kondisi tertentu. Elias Canetti,
dengan pemikiran yang menggugah, menantang, dan melibatkan, telah memberikan
kontribusi besar terhadap pemahaman kita tentang manusia dan masyarakat. Dengan cara
yang unik, ia membuka pintu ke dalam labirin kompleks kebudayaan, kekuasaan, dan
identitas manusia, menginspirasi generasi setelahnya untuk terus menjelajahi dan
memahami esensi kemanusiaan.
Dalam ranah olahraga, pemikiran Elias Canetti, sosok filsuf yang menelusuri
kompleksitas manusia dalam kerumunan dan dinamika kekuasaan, memberikan kontribusi
uniknya untuk memahami dunia olahraga. Meski karyanya sering kali terfokus pada analisis
budaya dan kekuasaan dalam masyarakat, pemikiran Canetti dapat diaplikasikan dengan
sangat menarik ketika kita memandang olahraga sebagai arena di mana manusia
berinteraksi, bersaing, dan mengungkapkan identitas kolektif. Lebih lanjut, dalam karyanya
"Crowds and Power," Canetti menggambarkan perubahan psikologis yang terjadi pada
individu ketika mereka menjadi bagian dari kerumunan. Dia mengemukakan bahwa
kerumunan memiliki kekuatan unik yang mampu mengubah perilaku manusia,
menenggelamkan individualitas, dan membentuk identitas baru yang terbentuk oleh
kolektivitas. Ketika diterapkan pada dunia olahraga, pemikiran ini menjadi jendela yang
menarik untuk melihat bagaimana atmosfer dalam stadion atau lapangan dapat
menciptakan energi yang luar biasa, mengubah individu menjadi bagian dari suatu entitas
kolektif yang mendukung satu tim.
Olahraga seringkali menjadi manifestasi nyata dari kekuatan dan kehendak manusia.
Pertandingan-pertandingan besar seperti Piala Dunia sepak bola atau Olimpiade
menghadirkan kerumunan besar yang menciptakan atmosfer yang mendebarkan. Dalam
konteks ini, Canetti akan melihat olahraga sebagai panggung di mana individu-individu
bersatu dalam kerumunan, merasakan kekuatan kolektif yang dapat mempengaruhi emosi
dan perilaku mereka.
Konsep Canetti tentang "ratusan wajah" juga dapat diterapkan pada atlet dan
penggemar olahraga. Atlet, sebagai individu, dapat mengalami transformasi identitas ketika
berada di lapangan atau dalam tekanan pertandingan. Mereka bukan hanya individu, tetapi
juga menjadi simbol dari identitas suatu tim atau negara. Di sisi lain, penggemar olahraga,
ketika berkumpul dalam kerumunan, dapat mengalami perubahan psikologis dan emosional
yang mengakibatkan kesatuan dalam mendukung tim atau olahragawan favorit.
Pemikiran Canetti tentang kekuasaan juga menawarkan wawasan dalam dinamika
tim dan hubungan antar atlet. Struktur kekuasaan dalam tim olahraga, peran pelatih, dan
hubungan di antara rekan satu tim merupakan cerminan dari pemikiran Canetti tentang
bagaimana kekuasaan dihasilkan, dipertahankan, dan terkadang digeser dalam suatu
kelompok manusia. Namun, perlu diakui bahwa Canetti sendiri tidak secara eksplisit
membahas olahraga dalam karya-karyanya. Pengaplikasian pemikirannya terhadap olahraga
merupakan interpretasi yang dapat membuka diskusi dan refleksi lebih lanjut. Dalam hal ini,
pemikiran Canetti memberikan sudut pandang yang unik dan menantang tentang cara kita
memahami kompleksitas hubungan manusia dalam konteks olahraga, di mana kerumunan
dan kekuasaan menjadi elemen-elemen kunci yang membentuk naratif dinamika sosial dan
identitas manusia. Olahraga bukan sekadar serangkaian gerakan fisik atau pertandingan
kompetitif; itu adalah panggung di mana kompleksitas hubungan manusia diungkap dalam
segala keunikan dan keberagamannya. Dalam sorotan stadion yang terang benderang atau di
bawah sinar sorot televisi, kisah-kisah manusia yang saling terkait dan bertautan dalam
dunia olahraga terungkap, membentuk naratif yang melibatkan kegembiraan, persaingan,
solidaritas, dan bahkan ketegangan. Dalam konteks olahraga, kita melihat dinamika
interpersonal yang berkembang antara atlet dan rekan satu timnya. Hubungan ini seringkali
menjadi kunci kesuksesan suatu tim. Sebuah tim olahraga bukan hanya koleksi individu yang
terampil dalam keterampilan teknis, tetapi juga sebuah entitas sosial yang mengandalkan
koordinasi, komunikasi, dan saling pengertian. Hubungan erat ini melibatkan interaksi yang
kompleks, di mana kekuatan dan kelemahan setiap individu diidentifikasi dan dimaksimalkan
untuk mencapai tujuan bersama.
Di sisi lain, hubungan antara atlet dan pelatih juga mencerminkan aspek dinamis
yang unik. Pelatih berperan sebagai pemimpin, mentor, dan motivator. Mereka memiliki
peran kritis dalam membimbing, mendidik, dan mengembangkan potensi atlet. Ini adalah
dinamika kepercayaan dan komunikasi yang tumbuh, di mana atlet memercayakan
perjalanan keberhasilan dan pengembangan diri mereka kepada visi dan panduan pelatih.
Pada level yang lebih luas, hubungan antara penggemar dan atlet menciptakan ikatan
emosional yang mendalam. Penonton yang bersatu dalam kerumunan stadion atau di depan
layar televisi membentuk komunitas virtual yang terikat oleh kecintaan terhadap suatu tim
atau olahragawan tertentu. Reaksi bersama, sorak sorai, dan kekecewaan bersama
menciptakan ikatan sosial yang unik, menghubungkan orang-orang dari berbagai latar
belakang dalam perasaan persatuan dan kebersamaan. Sebagai antitesis, kompleksitas
hubungan manusia dalam olahraga tidak selalu menghasilkan harmoni. Terdapat juga
ketegangan dan konflik yang dapat memerangi pesona olahraga. Persaingan yang intens,
rivalitas yang memanas, atau ketidaksetaraan dalam pembagian peran dalam tim dapat
menciptakan gesekan dan dinamika yang menantang.
Penjabaran dalam pisau analisis yang lebih luas, olahraga juga menjadi panggung
refleksi nilai-nilai sosial. Isu-isu seperti ras, gender, dan etnisitas sering kali tercermin dalam
dinamika hubungan di lapangan dan di luar lapangan. Olahraga, sebagai cermin masyarakat,
sering menjadi wadah untuk menyuarakan hak dan mengatasi ketidaksetaraan, membentuk
perubahan sosial dan menciptakan dialog yang mendalam tentang inklusivitas dan keadilan.
Dalam keseluruhan, kompleksitas hubungan manusia dalam dunia olahraga membentuk
kisah manusia yang luar biasa. Ini adalah narasi tentang kegembiraan dan kesedihan,
kemenangan dan kekalahan, persahabatan dan rivalitas, serta tantangan dan transformasi.
Melalui lensa olahraga, kita dapat memahami manusia dalam segala keberagaman, dan kita
dapat merasakan kekuatan yang menghubungkan kita sebagai satu umat manusia yang
bergerak bersama dalam perjalanan penuh warna ini.

Olahraga dan Modernitas


Era modernitas, dengan dinamika perubahan yang cepat dan transformasi teknologi,
telah memberikan dampak yang mendalam pada dunia olahraga. Olahraga, yang mungkin
pada awalnya dipandang sebagai hiburan fisik semata, kini menjadi cermin dari
kompleksitas, tantangan, dan identitas dalam era yang terus bergerak maju ini. Pertama-
tama, transformasi teknologi telah memberikan dimensi baru pada cara kita melibatkan diri
dalam dan menyaksikan olahraga. Siaran langsung, media sosial, dan teknologi pemantauan
kinerja atlet merupakan bagian integral dari pengalaman olahraga modern. Dengan satu klik,
kita dapat terhubung dengan dunia olahraga di seluruh penjuru dunia, menciptakan jaringan
global yang menyatukan pencinta olahraga dari berbagai latar belakang.
Modernitas, olahraga juga menjadi wadah bagi inovasi teknologi dan desain. Alat-alat
analisis kinerja canggih, pelacakan data, dan teknologi pakaian pintar menjadi perangkat
standar bagi atlet dan pelatih. Ini bukan hanya tentang peningkatan kinerja fisik, tetapi juga
mengenai penciptaan pengalaman olahraga yang lebih mendalam dan terhubung.
Berseberangan dengan tesis sebelumnya, di balik kemajuan teknologi, olahraga dalam era
modernitas juga diwarnai oleh tantangan etika dan nilai-nilai sosial. Isu-isu seperti
penggunaan doping, komersialisasi yang berlebihan, dan tekanan terhadap atlet untuk
mencapai standar yang tidak realistis menciptakan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang
moralitas dan integritas dalam dunia olahraga. Perubahan-perubahan ini merangkul
pergeseran budaya dan sosial yang menciptakan lingkungan baru yang harus dihadapi oleh
atlet dan para pelaku olahraga.
Selain itu, olahraga dalam era modernitas juga mencerminkan transformasi dalam
identitas sosial dan budaya. Olahraga tidak lagi hanya dipandang sebagai ajang kebugaran
fisik atau kompetisi, tetapi juga sebagai wahana untuk menyuarakan isu-isu sosial, politik,
dan lingkungan. Atlet dan tim menggunakan ketenaran mereka untuk mengadvokasi
perubahan positif dan menciptakan kesadaran akan masalah-masalah global. Keterlibatan
olahraga dalam mengatasi ketidaksetaraan, mendukung keragaman, dan merangkul nilai-
nilai keadilan telah menjadikan olahraga sebagai kekuatan yang memobilisasi dan
menginspirasi. Atlet menjadi pahlawan sosial yang bukan hanya dicontohkan melalui
keberhasilan di lapangan, tetapi juga melalui pengaruh dan dampak positif yang mereka
bawa ke dalam masyarakat.
Olahraga dalam era modernitas tidak hanya mencerminkan perkembangan teknologi dan
perubahan dalam dinamika kompetitif. Ini adalah perwujudan dari nilai-nilai, tantangan, dan
identitas manusia yang berubah seiring waktu. Melalui olahraga, kita dapat melihat refleksi
dari masyarakat modern yang terus berkembang dan mengeksplorasi batas-batas
kemanusiaan.
Era teknologisasi ini membawa perubahan mendalam dalam hampir semua aspek
kehidupan, dan dunia olahraga tidak luput dari gelombang inovasi yang disebabkan oleh
transformasi teknologi. Revolusi ini telah merombak cara atlet berlatih, pertandingan
diselenggarakan, dan bagaimana penggemar terlibat dalam pengalaman olahraga. Melalui
perubahan ini, teknologi telah mengukir jalan untuk menghadirkan era baru dalam olahraga.
Salah satu transformasi paling mencolok adalah dalam analisis kinerja atlet. Teknologi
pemantauan kinerja dan alat analisis data canggih memungkinkan pelatih dan ahli
kebugaran untuk mendapatkan wawasan mendalam tentang kondisi fisik dan mental atlet.
Dari pemantauan denyut jantung hingga analisis gerakan tubuh, teknologi ini membantu
merinci aspek-aspek kritis yang membentuk kinerja atlet, memungkinkan pelatihan yang
lebih tepat dan efisien.
Selain itu, inovasi dalam peralatan dan teknologi pakaian pintar telah mengubah cara
atlet berkompetisi. Sepatu yang dirancang dengan teknologi terkini, pakaian yang dapat
mengatur suhu tubuh, dan peralatan berbasis sensor menghadirkan performa yang lebih
baik dan meminimalkan risiko cedera. Seiring dengan itu, implementasi teknologi video dan
sistem analisis replays memungkinkan hakim dan wasit untuk membuat keputusan yang
lebih akurat, menghindari kontroversi yang dapat memengaruhi hasil pertandingan.
Dalam aspek pertandingan, teknologi telah menghadirkan pengalaman baru bagi
penggemar olahraga. Siaran langsung dengan kualitas gambar tinggi, penentuan gol
otomatis dalam sepak bola, dan inovasi seperti virtual reality (VR) atau augmented reality
(AR) membawa penggemar lebih dekat ke dalam aksi. Ini bukan lagi sekadar menonton,
melainkan merasakan seolah-olah mereka berada di tengah lapangan atau lintasan.
Pengalaman penggemar juga ditingkatkan melalui media sosial, platform digital, dan aplikasi
seluler. Interaksi langsung antara atlet dan penggemar melalui media sosial menciptakan
komunitas yang terhubung erat. Penggemar tidak hanya menyaksikan pertandingan; mereka
juga berpartisipasi dalam diskusi, membagikan momen favorit mereka, dan merayakan
kemenangan bersama. Ini menciptakan ikatan yang lebih kuat antara penggemar dan
olahraga mereka. Dengan semua transformasi ini, ada pula tantangan dan pertanyaan etika
yang muncul. Penggunaan teknologi untuk meningkatkan kinerja atlet menimbulkan
pertanyaan tentang batas-batas manipulasi genetik dan etika dalam olahraga. Selain itu,
penggunaan teknologi video dan kecerdasan buatan dalam penentuan keputusan
pertandingan menciptakan tantangan seputar keadilan dan integritas dalam olahraga.
Dalam keseluruhan, transformasi teknologi dalam dunia olahraga membawa kita ke
sebuah era baru yang memadukan keunggulan fisik dengan kecanggihan teknologi. Ini bukan
hanya tentang meningkatkan kinerja atlet, tetapi juga memberikan pengalaman yang lebih
mendalam dan terlibat bagi penggemar. Sebagai pintu gerbang menuju masa depan
olahraga, inovasi ini terus membentuk dinamika dan identitas olahraga di era modern.
Olahraga, selain menjadi panggung bagi keterampilan atletik dan kegembiraan
penggemar, juga menciptakan landasan etika yang penting untuk memandu perilaku para
pesertanya. Dalam dunia olahraga, etika bukan hanya sekadar seperangkat aturan formal; ia
mencerminkan nilai-nilai dan moralitas yang membentuk karakter atlet, melibatkan
penggemar, dan menciptakan fondasi bagi keadilan dan integritas dalam pertandingan.
Salah satu nilai etika yang paling fundamental dalam olahraga adalah fair play atau bermain
dengan jujur. Fair play menuntut atlet untuk bersaing secara adil, menghormati aturan, dan
menghindari tindakan curang atau ketidakadilan. Saat atlet menunjukkan sportivitas, mereka
tidak hanya merefleksikan profesionalisme mereka tetapi juga menciptakan lingkungan yang
positif dan adil untuk semua peserta.
Kejujuran menjadi pilar utama dalam etika olahraga. Atlet yang jujur tidak hanya
bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri tetapi juga terhadap rekan setim, lawan,
dan penggemar. Ketika kejujuran diutamakan, kepercayaan dalam dunia olahraga diperkuat,
dan citra olahraga sebagai wadah kejujuran dan integritas tetap terjaga. Selain itu, etika
dalam olahraga mencakup penghargaan terhadap lawan dan semangat sportsmanship.
Bahkan di tengah-tengah persaingan yang intens, atlet diharapkan untuk menunjukkan sikap
hormat dan kerjasama. Menghargai lawan, menunjukkan sikap yang sportif dalam
kemenangan dan kekalahan, serta memberikan dukungan moral kepada sesama atlet adalah
elemen-elemen kunci dari etika sportsmanship.
Aspek lain dari etika olahraga adalah perlakuan yang adil dan setara terhadap semua
atlet, tanpa memandang ras, agama, jenis kelamin, atau latar belakang lainnya.
Keberagaman dan inklusivitas harus menjadi nilai yang ditekankan dalam dunia olahraga,
menciptakan lingkungan di mana setiap individu memiliki peluang yang sama untuk
berkembang dan bersaing. Etika olahraga tidak hanya terbatas pada tindakan dan perilaku
atlet. Penggemar dan penonton juga berperan dalam menjaga etika olahraga.
Mengekspresikan dukungan dengan cara yang menghormati, menghindari perilaku yang
merendahkan, dan menghormati keputusan wasit atau hakim adalah tanggung jawab moral
yang harus dipegang oleh setiap individu yang terlibat dalam pertandingan.
Saat kita merenungkan etika dalam olahraga, kita menyadari bahwa ini tidak hanya
tentang kemenangan dan kekalahan. Ini adalah tentang bagaimana olahraga menciptakan
platform untuk mengukir karakter dan membentuk moralitas. Melalui fair play, kejujuran,
sportsmanship, dan kesetaraan, olahraga menjadi lebih dari sekadar pertandingan. Ini
menjadi sarana untuk membentuk individu yang bertanggung jawab, beradab, dan memiliki
integritas, menciptakan komunitas olahraga yang dihargai oleh masyarakat dan dihormati
oleh dunia. Etika bukan hanya panduan, tetapi fondasi untuk membangun dunia olahraga
yang lebih baik dan lebih bermakna bagi semua.

Otentisitas Olahraga dalam Kebudayaan


Olahraga bukan hanya sekadar aktivitas fisik atau pertandingan yang terjadi di
lapangan atau arena. Lebih dari itu, olahraga mencerminkan aspek otentisitas dalam
kebudayaan, menjadi bagian integral dari identitas masyarakat yang melibatinya. Dalam
kompleksitasnya, olahraga bukan hanya sebuah tontonan, tetapi juga refleksi nilai, tradisi,
dan jati diri suatu komunitas. Otentisitas olahraga terbentuk melalui hubungan erat antara
kebudayaan dan aktivitas fisik itu sendiri. Setiap jenis olahraga membawa jejak-jejak historis
dan nilai-nilai yang mengakar dalam tradisi lokal. Misalnya, sepak bola memiliki tempat
khusus dalam kebudayaan Brazil dan Argentina, sementara baseball menjadi simbol Amerika
Serikat. Melalui olahraga ini, masyarakat menyampaikan cerita, merayakan warisan budaya
mereka, dan mewariskan tradisi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Identitas olahraga juga tercermin dalam cara suatu masyarakat merayakan dan
menghidupi permainan tersebut. Ritual, lagu dukungan, dan tradisi seputar pertandingan
menjadi elemen-elemen khas yang menciptakan keunikan dan otentisitas dalam setiap
budaya. Sebagai contoh, haka dari Selandia Baru adalah ekspresi budaya Maori yang
membangkitkan semangat dan kekuatan di antara para pemain rugby dan penggemarnya.
Otentisitas olahraga juga tercermin melalui ikon dan pahlawan lokal yang diangkat dalam
dunia atletik. Atlet yang berasal dari suatu daerah tidak hanya menjadi representasi prestasi
olahraga, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan dan inspirasi bagi masyarakat setempat.
Mereka membawa cerita hidup, keberhasilan, dan tekad yang menggambarkan jiwa
komunitas tempat mereka tumbuh.
Otentisitas olahraga tidak hanya berkaitan dengan warisan dan tradisi. Seiring
dengan perubahan zaman, olahraga terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan nilai-
nilai dan aspirasi masyarakat modern. Contohnya, ekspansi olahraga elektronik atau esports
mencerminkan perubahan dalam cara kita mengonsumsi dan berpartisipasi dalam dunia
olahraga, menciptakan bentuk otentisitas baru yang sesuai dengan zaman ini.
Penting untuk dicatat bahwa otentisitas olahraga juga menghadapi tantangan,
terutama dalam konteks globalisasi dan komersialisasi. Beberapa pertandingan olahraga
tradisional menghadapi risiko kehilangan elemen lokal dan otentisitas budaya mereka karena
dominasi format global atau permintaan komersial. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan
antara ekspansi global dan pemeliharaan akar lokal menjadi penting dalam memastikan
otentisitas olahraga.
Dalam konteks keseluruhan, otentisitas olahraga adalah perjalanan melalui sejarah,
nilai, dan identitas. Olahraga menjadi lebih dari sekadar pertandingan atau hiburan; itu
adalah cermin yang mencerminkan kekayaan budaya dan keberagaman masyarakat yang
melibatinya. Dalam evolusi konstan dan penyesuaian dengan zaman, otentisitas olahraga
tetap menjadi elemen kritis yang memperkaya dan memperdalam pengalaman manusia
dalam merayakan keberagaman kebudayaan mereka.
Fair play, atau bermain dengan jujur, bukanlah sekadar seperangkat aturan yang
dipatuhi oleh atlet dan peserta pertandingan. Ini adalah inti etika dan keadilan dalam dunia
olahraga, menjadi landasan yang mengukir karakter, menghormati pesaing, dan
menciptakan lingkungan pertandingan yang sehat dan adil. Fair play melampaui batasan
kemampuan fisik dan keahlian teknis. Ini adalah komitmen untuk berkompetisi dengan jujur,
menghormati lawan, dan mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Ketika atlet
memperlihatkan sikap fair play, mereka tidak hanya menunjukkan keterampilan atletik
mereka tetapi juga menggambarkan moralitas dan etika mereka sebagai individu.
Salah satu aspek utama dari fair play adalah kepatuhan terhadap aturan dan etika
pertandingan. Atlet yang memahami dan menghormati aturan menciptakan lingkungan di
mana persaingan dapat terjadi dengan adil. Mereka tidak mencari cara-cara curang atau
memanipulasi peraturan demi keuntungan pribadi. Dalam fair play, kehormatan dan
integritas diutamakan melebihi kemenangan dengan cara tidak etis. Fair play juga mencakup
sikap positif dan sportivitas dalam kemenangan maupun kekalahan. Atlet yang mampu
menerima kekalahan dengan kepala tegak dan merayakan kemenangan tanpa merendahkan
lawan menunjukkan jiwa sportivitas. Mereka menyadari bahwa persaingan itu sendiri
membawa hikmah dan pembelajaran, dan sikap tersebut membantu menciptakan iklim yang
memupuk semangat saling menghargai.
Tidak hanya untuk atlet, fair play juga melibatkan peran hakim, wasit, dan pengawas
pertandingan. Keputusan yang adil, tanpa pandangan prasangka atau diskriminasi, adalah
inti dari fair play. Keputusan ini mencerminkan keadilan dan memberikan keyakinan kepada
atlet bahwa pertandingan mereka diadili dengan objektif dan tanpa pengaruh negatif.
Fair play memiliki dampak jangka panjang yang melampaui lapangan atau arena
pertandingan. Nilai-nilai yang ditanamkan melalui fair play, seperti integritas, tanggung
jawab, dan saling menghormati, dapat membentuk karakter individu-atlet yang berlanjut
hingga kehidupan sehari-hari mereka di luar dunia olahraga. Ini menciptakan pemimpin dan
model peran yang mampu mempengaruhi masyarakat dengan positif.
Meskipun fair play menjadi aspek yang sangat dihargai dalam dunia olahraga,
tantangan selalu ada. Tekanan untuk menang, ambisi pribadi, dan ekspektasi yang tinggi
dapat menggoda para atlet untuk melanggar etika fair play. Oleh karena itu, pendidikan dan
pemahaman akan nilai-nilai fair play perlu ditanamkan dari tingkat awal pembelajaran
olahraga. Fair play bukanlah hanya norma-norma aturan, melainkan fondasi moral dan etika
dalam dunia olahraga. Ini adalah pilar yang menciptakan pertandingan yang adil,
memberdayakan karakter atlet, dan membentuk komunitas olahraga yang sehat dan positif.
Dalam semangat fair play, olahraga menjadi alat untuk membentuk karakter dan
mempromosikan keadilan, menghadirkan pengalaman yang luar biasa bagi atlet dan
penggemar di seluruh dunia.
Olahraga bukan hanya tentang keterampilan fisik atau hasil pertandingan; itu juga
menciptakan panggung bagi nilai-nilai moral yang membangun karakter dan mencerminkan
keadilan. Dalam setiap lapangan atau arena, moralitas menjadi pemandu perilaku atlet,
pelatih, dan penonton, membentuk pondasi yang mendalam dalam dunia olahraga.
Salah satu aspek moralitas dalam olahraga adalah sportivitas atau sportmanship.
Sportivitas mencakup sikap positif, kesopanan, dan sikap terbuka terhadap lawan, bahkan
dalam situasi kekalahan atau kemenangan. Atlet yang menunjukkan sportivitas menghormati
aturan permainan, menghargai lawan, dan merayakan kemenangan dengan penuh etika.
Sikap ini menciptakan atmosfer kompetisi yang sehat dan mendalamkan pengalaman
berolahraga.
Moralitas dalam olahraga juga tercermin dalam kejujuran dan integritas. Atlet yang
mematuhi aturan, mengakui kesalahan, dan menolak untuk menggunakan cara-cara curang
menunjukkan moralitas tinggi. Integritas dalam olahraga adalah pondasi kepercayaan, baik
antar atlet sendiri maupun antara atlet dan penggemar. Moralitas ini bukan hanya tentang
memenangkan pertandingan, tetapi juga tentang memenangkan kehormatan dan rasa
hormat.
Selain itu, moralitas dalam olahraga terkait dengan tanggung jawab dan kerjasama
dalam tim. Atlet yang menghargai peran masing-masing, mendukung rekan satu tim, dan
bertanggung jawab atas tindakan mereka menciptakan lingkungan tim yang kuat dan
terpadu. Oleh karena itu, moralitas dalam olahraga tidak hanya terfokus pada pencapaian
individu tetapi juga pada kontribusi positif terhadap kesuksesan tim.
Keadilan menjadi unsur krusial dalam moralitas olahraga. Pengawasan pertandingan,
keputusan wasit, dan penerapan aturan adalah langkah-langkah yang menciptakan keadilan.
Atlet yang menerima keputusan dengan lapang dada, tanpa melibatkan sikap tidak sportif,
mencerminkan moralitas yang kuat dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam
olahraga.
Disisi lain, tantangan moral dalam olahraga seringkali muncul dari tekanan untuk
mencapai kemenangan. Ambisi untuk mencapai kesuksesan dapat menggoda atlet untuk
mengorbankan nilai-nilai moral, seperti fair play atau sportivitas. Oleh karena itu, pendidikan
moral di dunia olahraga menjadi krusial untuk membantu atlet menghadapi dilema moral
dan membuat keputusan yang tepat. Moralitas dalam olahraga juga membentuk karakter di
luar lapangan. Nilai-nilai seperti ketekunan, disiplin, dan kerja keras, yang ditanamkan
melalui olahraga, membantu membentuk individu yang bertanggung jawab dan memiliki
prinsip moral dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, olahraga tidak hanya menjadi
arena pertandingan, tetapi juga menjadi sekolah moral yang mengajarkan nilai-nilai yang
diperlukan untuk menjadi individu yang baik.
Moralitas dalam olahraga adalah pondasi yang membangun karakter dan
menciptakan lingkungan pertandingan yang adil dan sehat. Ini melibatkan sportivitas,
kejujuran, integritas, tanggung jawab, dan keadilan. Melalui penghayatan nilai-nilai moral ini,
olahraga tidak hanya menjadi ajang kompetisi fisik, tetapi juga panggung bagi pertumbuhan
dan perkembangan karakter manusia. Moralitas dalam olahraga menciptakan pengalaman
berolahraga yang mendalam dan bermakna, yang membentuk individu dan masyarakat yang
lebih baik.
Manusia, sebagai makhluk yang kompleks, mengejar berbagai aspek kehidupan
untuk mencapai kesejahteraan dan makna. Di antara upaya tersebut, olahraga muncul
sebagai kegiatan yang tidak hanya membangun fisik, tetapi juga merentangkan jiwa dan
menyelaraskan hubungan antara individu dengan masyarakat. Dalam dinamika berolahraga,
manusia menemukan sebuah jalan untuk menggali potensi, memperkuat tubuh, dan
membangun keseimbangan holistik.
Olahraga menjadi manifestasi keseimbangan fisik manusia. Tubuh yang sehat adalah
modal utama untuk menjalani kehidupan yang produktif dan bermakna. Melalui gerakan
dan latihan fisik yang teratur, manusia membangun kekuatan, keketahan, dan ketangkasan.
Aktivitas olahraga tidak hanya menciptakan tubuh yang bugar, tetapi juga melibatkan
seluruh sistem fisiologis untuk bekerja secara optimal, mendukung kesehatan jantung, paru-
paru, dan otak. Olahraga bukan hanya sekadar tentang kekuatan fisik; itu juga merentangkan
jiwa manusia. Saat berolahraga, individu tidak hanya melibatkan tubuh mereka tetapi juga
menantang batasan mental dan emosional. Disiplin, tekad, dan semangat juang muncul
sebagai bagian dari perjalanan olahraga. Keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai
tujuan olahraga seringkali mencerminkan dinamika emosional dan mentalitas positif yang
mendorong pertumbuhan pribadi.
Berolahraga juga menghubungkan manusia dengan masyarakat. Tim olahraga, klub,
atau komunitas atletik menciptakan lingkungan sosial yang mendukung dan memotivasi.
Solidaritas dalam perjuangan bersama, kerjasama dalam tim, dan dukungan dari sesama
atlet membentuk ikatan sosial yang memperkuat rasa kepemilikan dan identitas komunitas.
Olahraga menciptakan aliran positif yang menghubungkan manusia, mengatasi batasan
sosial, dan merangkul keberagaman. Keseimbangan dalam olahraga tidak selalu mudah
dicapai. Terkadang, tekanan untuk mencapai tingkat prestasi tertentu dapat menghancurkan
keindahan olahraga itu sendiri. Manusia harus tetap waspada terhadap risiko cedera,
perbandingan yang tidak sehat, dan kecenderungan untuk mengorbankan kesehatan mental
demi kesuksesan fisik. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa olahraga harus
menjadi perjalanan yang membawa keseimbangan dan kesejahteraan.
Olahraga juga menciptakan kesadaran akan pentingnya perawatan lingkungan dan
keseimbangan ekologi. Menggunakan alam sebagai arena berolahraga mengajarkan manusia
untuk menghargai dan melindungi lingkungan. Ketika manusia merasakan keajaiban alam
melalui kegiatan lari di hutan, mendaki gunung, atau berenang di laut terbuka, hubungan
kesejahteraan pribadi dengan keseimbangan ekosistem menjadi lebih terasa.
Manusia yang berolahraga tidak hanya berusaha memperkuat tubuh fisik, tetapi juga
merentangkan jiwa dan membentuk keseimbangan holistik. Olahraga adalah medium yang
menyatukan fisik, mental, dan sosial, menciptakan hubungan yang mendalam antara
manusia dan alam, serta antara individu dan masyarakat. Dalam setiap langkahnya, manusia
yang berolahraga menjelajahi makna hidup dan menemukan keseimbangan yang esensial
untuk kehidupan yang berarti.
Olahraga sebagai produk budaya manusia tidak selamanya manis, ada sisi-sisi gelap
bukan pada masyarakat yang menghidupinya, melainkan dalam diri manusianya sendiri.
salah satu patologi yang dapat kita lihat yakni skizofrenia. Skizofrenia, suatu gangguan
mental kompleks yang memengaruhi persepsi, pikiran, dan emosi seseorang, bukanlah hal
yang lazim terkait dengan dunia olahraga yang sering dihubungkan dengan kebugaran fisik
dan performa atletik. Namun, di balik sorotan lampu panggung dan sorak sorai penonton,
terkadang terdapat cerita kelam tentang individu yang berjuang dengan skizofrenia dalam
dunia olahraga. Dalam esai ini, kita akan merenung tentang pengaruh skizofrenia terhadap
atlet, tantangan yang dihadapi, dan dampaknya terhadap kesehatan mental dan performa
mereka.
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang dapat memengaruhi kognisi, emosi, dan
perilaku seseorang. Dalam konteks olahraga, individu yang hidup dengan skizofrenia
mungkin mengalami tantangan unik yang dapat memengaruhi kesejahteraan mereka secara
keseluruhan. Meskipun tidak banyak diberitakan, beberapa atlet yang menghadapi
skizofrenia telah memberikan wawasan berharga tentang perjuangan mereka dalam
mempertahankan keseimbangan antara kehidupan olahraga dan tantangan kesehatan
mental.
Salah satu aspek utama dari skizofrenia yang memengaruhi keterlibatan dalam
olahraga adalah gangguan persepsi dan realitas. Individu dengan skizofrenia mungkin
mengalami halusinasi atau delusi yang dapat memengaruhi konsentrasi dan fokus, dua aspek
penting dalam dunia olahraga. Tantangan untuk memisahkan realitas dari pikiran batin
mereka dapat menjadi rintangan serius terhadap keberhasilan dalam latihan dan
pertandingan.
Selain itu, pengelolaan stres juga menjadi aspek kritis dalam kehidupan seorang atlet
dengan skizofrenia. Kompetisi yang intens dan tekanan untuk tampil dengan baik dapat
menjadi pemicu yang memperburuk gejala skizofrenia. Bagi mereka yang hidup dengan
kondisi ini, menemukan cara untuk mengatasi stres dan menjaga keseimbangan mental
menjadi lebih rumit dan menantang. Tetapi, olahraga juga dapat menjadi alat yang
bermanfaat dalam mengelola skizofrenia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa latihan
fisik dapat memiliki dampak positif pada kesehatan mental secara umum, termasuk
mengurangi gejala depresi dan kecemasan. Bagi beberapa individu dengan skizofrenia,
rutinitas olahraga dapat menjadi bentuk terapi tambahan yang membantu mengelola gejala
dan meningkatkan kualitas hidup.
Penting untuk dicatat bahwa setiap individu dengan skizofrenia memiliki pengalaman
yang unik, dan pendekatan terhadap olahraga sebagai bagian dari perawatan harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan kenyamanan masing-masing. Tim dukungan yang terdiri
dari profesional kesehatan mental, pelatih, dan rekan setim dapat berperan penting dalam
memberikan dukungan dan membantu menciptakan lingkungan yang mendukung. Dengan
semakin meningkatnya pemahaman tentang kesehatan mental, penting bagi dunia olahraga
untuk mengakui bahwa atlet dapat menghadapi tantangan mental yang kompleks, termasuk
skizofrenia. Dengan menciptakan lingkungan yang inklusif dan peduli, dunia olahraga dapat
menjadi tempat yang mendukung dan memberdayakan para atlet yang berjuang dengan
gangguan mental ini. Melalui pendekatan holistik yang menggabungkan kesehatan fisik dan
mental, kita dapat bersama-sama merangkul dan menghapus stigma seputar skizofrenia
dalam dunia olahraga.

Menjadi Otentik dengan Berolahraga


Menjadi manusia otentik adalah perjalanan yang mendalam untuk menemukan dan
menghargai esensi diri. Ini melibatkan pengenalan, penerimaan, dan pengekspresian diri
yang jujur dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam esai ini, kita akan menjelajahi elemen-
elemen kunci yang membentuk perjalanan menuju otentisitas dan bagaimana pengalaman,
refleksi, dan interaksi dengan dunia dapat membantu membentuk manusia yang otentik.
Salah satu langkah awal menuju otentisitas adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Ini bukan hanya tentang pemahaman mengenai hobi, minat, atau preferensi pribadi, tetapi
juga melibatkan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai, keyakinan, dan tujuan
hidup. Menelusuri akar dari apa yang benar-benar penting bagi kita membuka pintu ke dunia
otentisitas.
Penerimaan terhadap diri sendiri, dengan semua kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki, adalah langkah berikutnya. Terkadang, kita cenderung berusaha menjadi apa yang
diharapkan oleh orang lain atau masyarakat. Namun, menjadi manusia otentik melibatkan
penerimaan penuh terhadap diri sendiri, bahkan pada bagian-bagian yang mungkin tidak
selalu sempurna. Ini melibatkan tanggung jawab terhadap keaslian kita sendiri dan berani
mengeksplorasi sisi-sisi yang mungkin tersembunyi.
Kepatuhan terhadap nilai-nilai dan integritas pribadi juga memainkan peran penting dalam
perjalanan otentisitas. Ketika kita hidup sesuai dengan apa yang kita yakini, kita membangun
fondasi keberanian dan kejujuran dalam tindakan dan hubungan. Meskipun ada tekanan
eksternal untuk berubah, menjadi manusia otentik berarti tetap setia pada nilai-nilai kita
sendiri, bahkan jika itu berarti menjadi berbeda atau menentang arus.
Pengalaman hidup dan refleksi terhadapnya merupakan bagian integral dari proses
menjadi manusia otentik. Melalui pengalaman, baik sukses maupun kegagalan, kita
membangun pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri. Refleksi pada
pengalaman ini membantu kita meresapi pelajaran dan menemukan arti di balik peristiwa-
peristiwa hidup, membimbing kita dalam pertumbuhan pribadi.
Interaksi dengan dunia dan orang-orang di sekitar kita juga memainkan peran sentral
dalam perjalanan otentisitas. Melalui hubungan, kita memiliki kesempatan untuk melihat
diri kita melalui cermin interaksi sosial. Feedback dari orang lain dapat memberikan
wawasan yang berharga, membantu kita melihat sisi-sisi diri yang mungkin tidak kita sadari.
Sementara itu, membangun hubungan yang otentik dengan orang lain melibatkan kejujuran
dan keterbukaan, menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi.
Menjadi manusia otentik adalah perjalanan seumur hidup yang melibatkan
pengetahuan, penerimaan, dan pengekspresian diri. Ini adalah upaya untuk hidup sesuai
dengan nilai-nilai dan integritas pribadi, meskipun terkadang harus berhadapan dengan
tekanan eksternal. Pengalaman hidup, refleksi, dan interaksi dengan dunia membentuk
lapisan-lapisan keaslian diri, membawa kita ke arah kehidupan yang lebih bermakna dan
otentik.
Eksistensi dalam konteks kebudayaan merujuk pada keberadaan dan peran individu
atau kelompok dalam suatu sistem nilai, norma, dan praktik budaya. Eksistensi ini berkaitan
erat dengan cara individu atau kelompok tersebut berinteraksi, beradaptasi, dan
memberikan makna terhadap dunia di sekitarnya dalam kerangka budaya tertentu. Dalam
esai ini, kita akan menjelajahi bagaimana eksistensi manusia tercermin dan memengaruhi
kebudayaan. Eksistensi manusia dalam kebudayaan diwarnai oleh kompleksitas identitas,
nilai, dan peran sosial. Individu membentuk identitas mereka melalui faktor-faktor seperti
agama, bahasa, etnisitas, dan nilai-nilai pribadi. Seiring waktu, eksistensi ini juga dapat
terbentuk oleh pengalaman hidup, perubahan sosial, dan dinamika lingkungan budaya
mereka.
Salah satu elemen kunci eksistensi manusia dalam kebudayaan adalah bahasa.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin budaya yang mencerminkan cara
individu atau kelompok memberikan makna terhadap dunia. Melalui bahasa, nilai-nilai,
tradisi, dan pengetahuan dibagikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,
membentuk dasar budaya. Norma dan etika sosial juga memainkan peran penting dalam
eksistensi dalam kebudayaan. Individu mengikuti aturan dan norma tertentu yang diakui
oleh masyarakat tempat mereka tinggal. Penyimpangan dari norma ini dapat memiliki
konsekuensi sosial yang signifikan dan mencerminkan bagaimana eksistensi individu dalam
kebudayaan dipandang oleh komunitasnya.
Seni dan budaya kreatif yang juga di dalamnya olahraga, juga berkontribusi pada
eksistensi manusia dalam kebudayaan. Melalui seni, individu dapat mengekspresikan
gagasan, emosi, dan perspektif mereka, menciptakan karya yang mencerminkan kekayaan
dan keberagaman budaya. Seni tidak hanya menjadi manifestasi eksistensi, tetapi juga
menjadi warisan berharga yang membentuk identitas budaya. Dalam era globalisasi,
eksistensi dalam kebudayaan juga terpengaruh oleh interaksi antarbudaya. Individu memiliki
akses lebih besar ke informasi, ide, dan budaya dari seluruh dunia. Ini menciptakan dinamika
baru di mana eksistensi lokal bersilangan dengan pengaruh global, membentuk kebudayaan
yang terus berkembang dan berubah. Penting untuk diakui bahwa eksistensi dalam
kebudayaan bukanlah proses statis. Budaya selalu berubah dan berkembang seiring waktu,
dan individu memiliki peran dalam membentuk dan mempertahankan dinamika ini.
Eksistensi manusia dalam kebudayaan adalah perjalanan yang penuh dengan penemuan,
adaptasi, dan interaksi, menciptakan mozaik keberagaman dan kaya akan makna.
Modernisasi telah membuka kemungkinan dialog antarbudaya lebih luas dan lebih
mendalam lagi kini, tapi juga memberi otonomi lebih besar kepada individu dalam
berhubungan dengan tradisi awalnya. Bila dalam masyarakat pramodern, tradisi
mengendalikan reflektivitas individu, kini dalam masyarakat modern justru kebalikannya,
reflektivitas individulah yang mengendalikan tradisi, dalam artian tradisi berolahraga. Tradisi
budaya seseorang kini menjadi hanua salah satu pilihan di antara banyak pilihan dalam bazar
budaya atau supermarket budaya hari ini, yang bahkan manusia berubah menjadi objek atas
olahraga yang hakikatnya adalah produk yang dilahirkannya sendiri. Ia bisa saja menjadi
budak dan tuan sekaligus.
Orang melakukan seleksi unsur-unsur apa dari berbagai tradisi kebudayaan itu yang
ia sukai dan hendak ia apropriasi (ia jadikan miliknya). Secara kultural manusia abad ini
memanh menjadi hibrida alias percampuran dari unsur-unsur berbagai tradisi kultural yang
ia anggap terbaik. Dengan sendirinya keterikatan pada tradisi kulturalnya pribadi memang
menjadi longgar. Dalam arti ini modernisasi cenderung memaksa tradisi-tradisi kultural
untuk mereformulasikan dan menerjemahkan diri ke dalam tuntutan pemaknaan baru,
kerangka berpikir baru dan peluang-peluang baru.

Anda mungkin juga menyukai