Anda di halaman 1dari 4

Tafsir Ekologis surah al-Mu’minun Ayat 18: Konsep Bumi Sebagai Reservoir Air

dalam al-Qur’an

Eksploitasi yang dilakukan secara destruktif terhadap sumber daya alam dan pengelolaan yang
kurang tepat akan berimplikasi pada terancamnya ekosistem bumi. Di sisi lainya, pembalakan
pohon dan pembakaran hutan secara liar, pembuangan sampah sembarangan dan tindakan
destruktif lainnya terhadap lingkungan turut memperparah keadaan. Sehingga, dampak dari
ketidakseimbanganya ekosistem bumi, menyebabkan terganggungnya berbagai unsur
kehidupan kehidupan.

Salah satu unsur yang paling terdampak adalah air di mana ketersediaan air bersih dan
ketersediaan sumber mata air akan terganggu. Oleh sebab itu, bumi, yang dalam hal ini
berfungsi sebagai reservoir air harus senantiasa difungsikan agar dapat menjamin ketersediaan
air bagi kepentingan mahluk hidup yang ada di bumi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata air didefinisikan sebagai sebuah cairan jernih,
tidak berwarna yang secara kimiawi terkandung di dalamnya hidrogen dan oksigen serta
menjadi unsur penting yang dibutuhkan oleh mahluk hidup. Adapun dalam bahasa Arab, kata
air disebutkan dengan kata ‫( ماء‬ma’), dan disebut‫( اموه‬amwah) atau ‫( مياه‬miyah) dalam bentuk
jamaknya (Ibnu Mandzur, t.tp, 13: 543). Secara terminologi air adalah sumber material yang
menjadikan kehidupan di bumi (Robert J., 2010: 1).

Adapun dalam al-Qur’an kata ma’ disebutkan sebanyak 63 kali yang tersebar pada 41 surah.
Banyaknya penyebutan air dalam al-Qur’an ini menunjukkan betapa pentingnya air bagi
kehidupan dan juga bermakna bahwa penyebutan air tersebut penting untuk dipahami dan
diteliti secara intensif agar lebih memahami tentang esensi dan urgensinya, sementara bumi
berfungsi sebagai tempat peyimpanan air. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang siklus air
dan fungsi bumi sebagai reservoir ialah surah al-Mu’minun ayat 18, berikut bunyinya:

)18( ‫َوَأ ْنَزْلَنا ِمَن الَّس َماِء َماًء ِبَقَدٍر َفَأ ْس َكَّناُه ِفي اْلَأ ْرِض ِإَو َّن ا َعَلى َذَهاٍب ِبِه َلَقاِدُروَن‬
“Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di
Bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya.” (Q.S al-Mu’minun (23): 18)

Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya “Mafatih al-Ghaib” menyebutkan, para ulama’ tafsir
berbeda pendapat dalam pemaknaan “al-sama’” pada ayat di atas. Mayoritas ulama, dengan
melihat pada teks ayat, berpendapat bahwa pada esensinya turunnya air ialah dari langit, hal
ini diperkuat dengan ayat 22 surah al-Dzariyat yang artinya, “Dan di langit terdapat (sebab-
sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (Q.S al-dzariyat [51]: 22). (Fakhruddin al-
Razi, 2000, Vol. 23: 78).

Sementara ulama’ tafsir lainnya berpendapat bahwa kata “al-Sama’” di atas bermakna “al-
sahab” (awan). Hal ini mengartikan bahwa ada proses siklus hidrologi di mana air yang ada di
dalam bumi menuju ke laut dan tempat-tempat air lainnya, kemudian menguap ke atas
menuju atmosfer. Sehingga, air yang ke atas tersebut menjadi jernih karena terjadi proses
hidrologi. Dari sini kemudian air menjadi partikel-partikel es, lalu menjadi awan hitam di
langit. Setelah itu, Allah swt turunkan hujan sesuai dengan kebutuhan.

Al-Razi juga menafsiri kata biqadarin (dengan suatu ukuran) bahwa yang dimaksud dengan
potongan ayat tersebut adalah menurunkan air dari langit yang tidak menimbulkan
kemudharatan atau kerusakan dan sebaliknya, dapat memberikan kemanfaatan baik untuk
pertanian, tanaman ataupun untuk minum. Sehingga, turunnya air tersebut sesuai dengan
kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan “Askannahu fi al-
Ardh” (menetapkannya di Bumi) yakni air tersebut menetap di bumi.

Secara tegas, mufassir kontemporer, al-sa’di, dalam tafsirnya “Taysir al-Karim” menyebutkan
bahwa Allah swt turunkan air dari langit sebagai rezeki dan nikmat sesuai dengan kadar yang
dapat mencukupi, tidak mengurangi yang nantinya dapat menjadikan bumi tandus dan
pepohonan-pepohonan mati, tidak juga menambahi yang sekiranya bumi tidak bisa
menampungnya, merusak tempat-tempat dan tumbuh-tumbuhan tidak dapat hidup.
Al-Sa’di juga menafsiri ayat Askannahu fi al-ardh dengan Allah turunkan air di bumi, maka air
tersebut bertempat dan menetap di bumi, sebagian air ada yang mengalir sesuai dengan
kemampuan tempat turunnya sehingga ada yang tersalurkan untuk menumbuhkan pepohonan
dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Sementara sebagian air tersebut ada yang tersimpan di dalam
bumi sebagai reservoir air. (Al-Sa’di, 2000: 549)

Oleh sebab itu, turunnya air ini sesuai dengan ketentuan Allah swt untuk menurunkan dan
bahkan tidak menurunkan air sama sekali. Sebagaimana ayat setelahnya “dan pasti Kami
berkuasa melenyapkannya”. Menurut al-Maraghi, jika Allah swt berkehendak untuk tidak
menurunkan hujan maka, Ia berkuasa atas hal tersebut. Demikian pula Allah berkuasa untuk
memanglingkan hujan ke arah lain seperti tanah yang bergaram dan padang pasir. Sehingga,
tidak ada yang dapat memanfaatkan air tersebut. Akan tetapi, dengan kelembutan dan kasih
sayang-Nya, Allah turunkan air yang tawar dan air tersebut menetap di dalam bumi dan
sebagian lainnya mengalir dan keluar ke permukaan bumi sebagai sumber mata air. (Al-
Maraghi, 1946: 18)

Sehingga, dapat dipahami bahwa turunnya air dari langit mengikuti dan tunduk kepada qadar,
yakni ketentuan Allah yang berlaku pada alam, yang disebut dengan hukum alam. Adapun
bumi berfungsi sebagai reservoir air, yakni tempat untuk menyimpan air, dari sini kemudian
sebagian air mengalir ke permukaan untuk menumbuhkan tanaman-tanaman dan untuk
memenuhi kebutuhan mahluk hidup. Sementara sebagian lainnya menjadi cadangan di dalam
bumi sebagai cadangan di musim kemarau. Demikian pula di musim hujan, air yang turun
melimpah dari langit dapat tersimpan secara baik dalam reservoir air, sehingga tidak
menimbulkan banjir.

Dalam proses siklus hidrologi, menyerapnya air dari langit ke tanah disebut dengan infiltrasi
yakni air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju
muka air tanah. Kemudian air bergerak karena aksi kapiler atau air bergerak secara vertikal
dan horizontal di bawah permukaan tanah hingga air tersebut kembali memasuki sistem air
permukaan. (A. Syarifuddin, 2017: 8)

Kesimpulannya, dalam ayat 18 surah al-Mu’minun di atas, memberikan sebuah pemahaman


akan sumber daya air yang berbasis budaya positif dan konstruktif. Budaya ini perlu
diaktualisasikan dengan memaknai hujan sebagai rahmat Allah dan perlu untuk disyukuri.
Bersyukur di sini ialah dengan memanfaatkan air untuk kebaikan dan tidak mencemarinya.
Sehingga, bisa jadi air yang tidak tertampung dan berakibat banjir adalah ulah manusia yang
destrukti seperti pembalakan hutan, membuang sampai semarangan dan sebagainya yang
dapat mencegah meresapnya air ke dalam tanah.

Anda mungkin juga menyukai