Anda di halaman 1dari 14

Konsep Indra’s Net, Filsafat Derrida dan Paradigma Interkonektivitas Lingkungan

Oleh; Amar Kadafi

jackseparo235@gmail.com

Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

A. Pendahuluan
Filsafat Timur adalah sebuah diskursus filsafat yang berkembang diwilayah
Asia khususnya diwilayah seperti India, Jepang, Korea, China, dan Indonesia. Model
filsafat yang berkembang diperadaban timur biasanya selalu bercorak aksiologis yang
menekankan pada ethics dan esthetics value. Namun tak jarang juga terdapat sistem
filsafat timur yang berbicara mengenai ontology (lebih tepatnya meontology, disiplin
kajian yang berbicara mengenai ketiadaan atau nothingness-sunyata) seperti yang
mengemuka dalam tradisi filsafat China dan filsafat India khususnya aliran Buddhis
adapula yang berkaitan dengan epistemology seperti dalam tradisi Zen-buddhisme
yang berupaya mencapai pencerahan-diri bahkan didalam logika India terdapat sistem
logikanya sendiri yang dikenal dengan istilah Catuskoti atau Empat Sudut. Dengan
kata lain, dalam tradisi filsafat timur juga terdapat sistem filsafat yang rigor
sebagaimana filsafat barat pada umumnya. Salah satu isu dalam filsafat timur adalah
konsep indra-jala yaitu sebuah konsep yang menggambarkan prinsip
interkonektivitas-interdependensi atau pengutamaan atas relasi yang belakangan ini
muncul sebagai isu dalam ontology dan filsafat ilmu serta filsafat lingkungan. Maka,
pada tulisan ini akan dilihat bagaimana dan seperti apa konsep indra-jala atau indra’s
net tersebut serta kaitannya dengan paradigma postmodernisme dan isu dalam filsafat
lingkungan.
Saya beranggapan bahwa konsep indra’s net memiliki kemiripan dengan
model pemikiran Derrida sebagai lakon utama panggung postmodernisme serta
konsep indra’s net menjadi kritik bahkan mungkin solusi bagi krisis konseptual dalam
filsafat lingkungan. Tulisan ini tidak memberikan semacam sebuah sintesa antara
filsafat Derrida dalam tradisi filsafat Barat dan konsep Indra’s Net dalam tradisi
filsafat timur serta interkonektivitas sebagai paradigm lingkungan melainkan hanya
untuk memberikan informasi terkait pokok bahasan diatas atau setidaknya
menghasilkan sebuah kesimpulan normative bahwa model filsafat yang rigor pada
kebanyakan sistem filsafat Barat ternyata juga dimiliki oleh tradisi filsafat Timur yang
seringkali mendapat label ‘filsafat praktis’.
B. Pengertian Konsep Indra’s Net
Indrajāla merupakan konsep yang ditemukan dalam Veda yang menjelaskan
tentang realitas semesta dalam bentuk holografis. Secara harfiah Indrajāla berarti
jerat atau jaring milik Indra. Selain itu juga merujuk pada kekuatan magis atau ilusi
diantara 64 kalā dan mewakili seni khusus menghasilkan ilusi, terutama di medan
perang, untuk membingungkan dan menakuti musuh. Ilusi ini bisa dalam bentuk
gambar kekalahan mereka di masa depan atau penampakan awan badai yang sangat
besar (Ni Ayu Widyastuti, 2022)1
Indrajāla, Indra-jāla diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Indra's net,
Indra's jewels atau Indra's pearls, yakni Jaring Indra, permata Indra atau Mutiara
Indra, sebuah metafora yang digunakan untuk menggambarkan konsep kekosongan
sekaligus sebab musabab dan saling ketergantungan serta saling menembus di alam
semesta (Harshananda, 2014).2
Perkembangan peradaban Dharma selanjutnya membuat konsep Indra-jāla
dalam Veda justru menjadi doktrin sentral Buddhis yang menggambarkan jaring luas
membentang tak terbatas melintasi ruang dalam segala arah. Setiap persimpangan
dalam jaring luas ini memiliki sebuah permata yang berkilau, yang memantulkan
kilau setiap permata lainnya serta jaring secara keseluruhan. Metafora ini
menggambarkan ajaran mengenai totalitas, yang menyatakan bahwa sifat seluruh
alam semesta terkandung dalam setiap partikel yang saling mempengaruhi dan terkait
secara ilusi (Cook, 1977).3
Rajiv Malhotra berpendapat bahwa interpretasi kreatif Vivekananda mengenai
Hindu menginformasikan dan memengaruhi banyak gerakan intelektual Barat di era
pasca-modern (Malhotra, 2016). Memang, pengaruh dari agama Hindu telah
memberikan dasar untuk penemuan mutakhir di beberapa bidang termasuk ilmu
kognitif dan ilmu saraf. Tidak hanya para praktisi dan yogi serta penekun Dharma,
tetapi juga para ilmuwan dan filsuf semakin memanfaatkan kosmologi Hindu dalam
membingkai pekerjaan mulia Dharma.
Konsep Indrajāla secara jelas termaktub dalam Pustaka Atharvaveda, yakni :
1
Lih. Ni Putu Widyastuti, “Metafora Indrajala Konsep Interkonektivitas Semesta dalam Veda”, Veda Jyotih,
Vol.1, No. 2, Oktober 2022, hal. 206
2
Ibid. hal. 206
3
Ibid. hal. 206
बृःद्धि जालं बृहतः क्रस्य वाजिनीवतः तेन शत्रूनभि सर्वान् न्युब्ज यथा न मुच्यता
कतमश्चनैषाम् bṛaḥddhi jālaṁ bṛhataḥ śakrasya vājinīvataḥ tena śatrūnabhi sarvān nyubja
yathā na mucyatāi katamaścanaiṣām Atharvaveda (8.8.6)
Sungguh luaslah jaring milik Ia yang berkuatan dahsyat (Indra), yang kokoh dan
kuat, demikianlah engkau memerangkap jatuh musuh kami sehingga tak satupun dari
mereka sanggup meloloskan diri (Tim Penerjemah Pustaka Suci Veda Dharma
Pustaka Utama, 2022). Mantra ini merujuk pada konsep holografis semesta dimana
terdapat jaring yang luas, kuat dan kokoh. Dalam konteks lain, jaring Indra ini
menjadi doa kekuatan para ksatria untuk mengalahkan musuh.4
Lebih lanjut dideskripsikan dalam mantra berikut;
अयं लोको जालमासीच्चक्रस्य महतो महान् तेनाहमिन्द्रजालेना मूंस्तमसाभी
दधामि सर्वान्
ayaṁ loko jālamāsīccakrasya mahato mahān tenāhamindrajālenā mūṁstamasābhī
dadhāmi sarvān Atharvaveda (8.8.8)
Dunia yang luas ini merupakan jaring yang berkekuatan dahsyat, dengan jaring milik
Indra itu, aku mengurung seluruh orang jahat dalam kesuraman (Aku mengurung
seluruh orang yang bersikap bermusuhan) (Tim Penerjemah Pustaka Suci Veda
Dharma Pustaka Utama, 2022).5
Jaring Indra adalah metafora yang melambangkan relasi interdepensi-koneksi
alam semesta, dimana setiap entitas alam semesta merupakan manifestasi dari
keseluruhan alam semesta. Setiap bagian alam semesta adalah keseluruhan alam
semesta itu sendiri. Metafora ini menjadi pandangan kosmologi dalam Hindu dan
sangat mempengaruhi Buddhisme. Terdapat x objek jika dan hanya jika x secara
internal mengandung semua yang non-x, begitu juga dengan semua non-x juga
berelasi dengan yang bukan non-x, atau setiap hal berelasi dan mengandung hal lain
yang bukan dirinya sendiri. Oleh karenanya jaring Indra ini tak terbatas, tak berawal
dan tak berujung, tidak ada yang terisolasi, tidak yang diluar jaring. Sebagaimana
dikutip dari Ni Putu Widyastuti (2022) “Di setiap simpul jaring ada permata, diatur
sedemikian rupa sehingga setiap permata mencerminkan semua permata lainnya.
Tidak ada permata yang ada dengan sendirinya secara independen dari yang lain.
Semuanya terkait dengan segala sesuatu yang lain; tidak ada yang terisolasi
(Malhotra, 2016)”

4
Ibid. hal. 209
5
Ibid. hal. 210
Konsep Jaring Indra berbeda dengan gagasan bahwa ada entitas yang nyata
dan berdiri sendiri yang secara kebetulan dijalin bersama, sifat konstitutif relasi yang
menentukan atau ketakterpisahan antara bagian dan keseluruhan. Hubungan antara p
dan q dianalisis sebagai p adalah hal tertentu (misalkan kucing) dari q. Metafora
menggambarkan unisitas (kesatuan) alam semesta, tidak memandang semesta secara
parsial dan terisolasi. Metafora ini juga akan dijadikan landasan etika-lingkungan
dalam tradisi Hindu. Konsep ini menjadi landasan setiap hal apapun yang ada dialam
semesta. Tidak ada objek, baik fisik, mental, emosional, atau konseptual, memiliki
eksistensi dengan sendirinya dan hanya merupakan segi lain dari keseluruhan yang
bersatu ini (Ni Putu Widyastuti, 2022) Domain dari konsep ini adalah ontologis,
epistemologis dan aksiologis.
Indrajāla telah menginspirasi para pemikir dan gerakan di Barat mulai dari
filsafat hingga ekologi. David Loy telah menggambarkan bagaimana tonggak utama
pemikiran postmodernis Barat menyerupai ide-ide yang melekat pada Indrajāla. Dia
mengutip pendekatan Sigmund Freud dalam psikologi, karya Ferdinand Saussure
dalam linguistik, gagasan Roland Barthes dalam teori sastra, dan pendekatan Jacques
Derrida terhadap dekonstruksi sebagai contoh perintis abad kedua puluh yang telah
memanfaatkan gagasan Indrajāla (kebanyakan tanpa pengakuan eksplisit). Hasil dari
ini tidak lain adalah revolusi dalam filsafat Barat, mengguncang premis Barat kuno
bahwa entitas memiliki keberadaan yang terpisah, mutlak, dan independen.
Mendekonstruksi keberadaan diri dari segala sesuatu adalah prinsip yang sangat khas
dari pemikiran post-modern, dan merupakan bagian dari ide-ide filosofis yang
terkandung dalam Jaring Indra (Ni Putu Widyastuti, 2022)
Para matematikawan yang mempelajari teori chaos dan fraktal telah
menggambarkan keindahan struktur sebagai jaring Indra, kalung Indra dan mutiara
Indra. Lebih lanjut dinyatakan dalam fisika, gagasan keterjeratan kuantum adalah
kasus khusus dari jenis interkonektivitas yang kita gambarkan. (Ni Ayu Widyastuti,
2022)
Implementasi konkret dari Indrajala ini adalah sebuah lembaga dan gerakan
yang dikenal dengan Indra’s Net Community, di Korea Selatan yang membahas
persoalan kehidupan keseharian dalam perspektif metafora jaring Indra ini.

C. Filsafat Derrida
1. Kritik terhadap Logosentrisme
Sejak Plato hingga setidaknya awal kemunculan postmodernisme,
sistem filsafat selalu ditandai dengan kecenderungan untuk menyatukan
perbedaan, mencari totalitas dari segala yang-ada, dan kerinduan akan
kebenaran absolut. Sistem filsafat semacam ini nampak sekali dalam beberapa
pemikiran para filsuf modern seperti Descartes dengan antroposentrism-nya,
Hegel dengan Roh Absolut-nya dan banyak lagi pemikiran serupa itu. Sistem
semacam inilah yang diistilahkan sebagai Logosentrisme 6, sistem ini pula
yang menjajah alam pikiran Barat selama ribuan tahun. Hegel misalkan
mengidentifikasi logos sebagai Roh Absolut, kesadaran manusia adalah proses
dialektika menuju kesadaran akan kesempurnaan Roh Absolut, dimana
segalanya telah lengkap dalam pengetahuan Sang Roh Absolut. Narasi-narasi
semacam itu terbukti mewariskan sistem metafisik yang totaliter, sistem yang
tunggal, tidak ada apapun diluar sistem itu. Logosentrisme adalah “kekerasan
metafisik” (metaphysical violence) terhadap “yang-lain”7
Logosentrisme ternyata juga nampak pada kebanyakan sistem filsafat
pasca-Hegel, yang menggantikan Roh Absolut dengan konsep-konsep yang
diandaikan sebagai “pusat” atau “origin”. Aletheia (penyingkapan sang Ada
dalam pemikiran Heidegger); eidos (esensi atau struktur eidetik kesadaran
dalam pemikiran Husserl), phone (tuturan, wicara, bunyi dalam linguistik
Saussurean); arche, telos, energeia (dalam konsepsi Aristotelian), Tuhan, diri,
manusia, transendentalitas, kesadaran (consciousness), kesadaran-diri
(conscience)- semua ini adalah berbagai wujud dari logosentrisme dalam
metafisika Barat.8
Filsafat semacam ini kemudian berusaha untuk mencari kategori-
kategori tunggal pada beragam fenomena, mencari kesamaan pada setiap
perbedaan, melakukan penunggalan atas kemajemukan atau dalam istilah ilmu
pengetahuan alam “carving nature at its joins”. Filsafat mengklasifikasikan
tiap perbedaan pada satu payung makna yang tunggal, filsafat sebenamya telah

6
Logos berarti pengetahuan, ilmu, gagasan dan sentris berarti pusat, keterpusatan, pemusatan. Logosentrisme
secara longgar dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk mencari pusat, stabilitas, ketetapan, formalitas dan
seterusnya
7
Muhammad al-Fayyadl (2005), “Derrida”, LKis, Yogyakarta, hal. 73
8
Ibid. Hal. 74
mereduksi the other dalam economy of the same dan menyeragamkan
perbedaan ke dalam suatu sistem homogeny.9
Persoalannya bagi Derrida kemudian adalah filsafat selalu dikerjakan
melalui Bahasa sementara didalam Bahasa memuat beragam dtruktur
penandaan. Jika sejak awal filsafat ingin merangkum segalanya dalam satu
aksioma filosofis universal, sejak awal pula aksioma itu tidak akan pernah ada.
Hal ini persis karena karakteristik perbedaan-perbedaan struktur penandaan
didalam bahasa, termasuk Bahasa Filsafat. Logosentrisme sejak awal tidak
pernah ada jika dan hanya jika logosentrisme dikerjakan melalui Bahasa sebab
karakteristik perbedaan berbagai struktur penandaan itu sendiri. Maka,
logosentrisme dalam berbagai bentuknya sudah selalu tertunda oleh aspek
diferensiasi bahasa. “Perbedaan” adalah kodrat dari setiap kategori atau sistem
pemikiran apapun.10 Lalu bagaimana perbedaan sebagai ciri fundamental
bahasa itu ditunjukkan?
Dalam kehidupan keseharian kita mengetahui beraneka ragam warna,
salah satunya adalah hitam dan putih. Hitam adalah kategori tersendiri yang
berbeda dari putih, bahkan pengetahuan tentang keduanya hanya dapat kita
tahu hanya jika kita membedakan keduanya, kita mengetahui hitam karena
kita membedakannya dengan putih. Namun perbedaan tersebut tidak selalu
bersifat oposisional (bertentangan) maupun hierarkis (bertingkat). Bukanlah
suatu hal niscaya bahwa hitam bersifat oposisional maupun hierarkis terhadap
putih. Kita dapat membedakan warna hitam dengan warna apa saja yang
mungkin begitu juga dengan putih. Namun filsafat seringkali melupakan
kemungkinan semacam itu, kemungkinan ketiga, bentuk alternative. Dikutip
dari al-Fayyadl (2005): “Metafisika telah membebani filsafat untuk merengkuh
kebenaran dalam totalitasnya dengan menepikan perbedaan-perbedaan yang
implisit dalam totalitas itu. Padahal, totalitas tanpa perbedaan hanyalah ilusi.
Kebenaran tidak bisa ditemukan di luar sistem diferensial yang membentuk
bahasa; kebenaran tidak tampil dalam ruang hampa, melainkan dirajut dari
relasi-relasi rumit yang sambung-menyambung di dalam tubuh bahasa” Dari
kesadaran semacam inilah Derrida menggunakan paradigm “teks”, “tulisan”
yang sebelumnya kurang mendapat apresiasi bahkan memandang teks sebagai

9
Ibid. Hal. 75
10
Ibid. Hal. 76
sesuatu yang destruktif (merusak) bagi stabilitas sebuah sistem filsafat.
Derrida meradikalkan pengertian teks sebagai pembebasan terhadap logika
dan kategori metafisika yang hierarkis dan oposisional. 11 Lalu bagaimana
dengan Kebenaran? Kebenaran dalam Derrida dimengerti sebagai
intertekstualitas, kebenaran adalah kebenaran diseminatif (menyebar) kesegala
arah, tak pernah ada semacam finalitas dan tak ada pusat kebenaran, atau jika
hendak dibahasakan “tidak ada Kebenaran (dengan K capital), yang ada
hanyalah “kebenaran-kebenaran” Inilah inti kritik Derrida terhadap
Logosentrisme dengan berbagai variannya. Pusat semacam itu sudah selalu
tertunda oleh sistem diferensiasi bahasa sebagai medium bagi filsafat itu
sendiri. Filsafat Derrida adalah filsafat perbedaan (difference) .12 Kritik ini
juga menjadi titik tolak Derrida untuk mengerjakan keseluruhan pandangan
filsafatnya.
2. Konsep Differance Derrida dan Filsafat Hegel
Strukturalisme Saussurean membawa perubahan paradigmatik yang
signifikan bagi wajah filsafat khususnya filsafat yang berkembang di Prancis
berikutnya, penekanan bahasa sebagai sistem, bahasa sebagai bentuk dan
bukan substansi menandai kematian subjek. 13 Antroposentrisme pencerahan
harus segera berakhir, diganti dengan paradigma holistik non-substansial
dalam memahami bahasa, dalam memahami dunia. Saussure telah menyiapkan
jalan bagi filsafat pada masa itu, namun sayangnya Saussure sendiri masih
tetap terikat pada euphoria modernitas, khususnya keterpengaruhannya pada
fenomenologi Husserl. Pada momen krisis itulah yang menjadi konteks
munculnya post-strukturalisme pada wajah intelektual dunia Barat. Asumsi
mendasar dalam Strukturalisme (dan juga Post-strukturalisme) adalah
pandangan bahwa bahasa adalah bentuk dan bukan substansi, bahasa adalah
sistem relasi penandaan yang kompleks.14 Asumsi strukturalisme itu juga
nampak secara eksplisit pada pemikiran Derrida tentang Differance.
Sebagaimana sistem pemikiran filsafat, suatu konsep yang tunggal, ide kunci
melalui kata kunci, gagasan tertentu dan sebagainya sangat vital sebagai pusat
11
Ibid. Hal. 76
12
Jika dalam konteks yang lebih konkret dapat kita lacak dalam sejarah bagaimana sistem ideologis yang
totaliter bekerja
13
Kematian Subjek tidak dimaknai secara substansial sebab akan terjatuh pada nihilistik, Kematian Subjek mesti
dimaknai sebagai tertundanya totalitas pemaknaan pada kehadiran, pada subjek persis karena adanya Difference.
14
Lih. Muhammad al-Fayyadl (2005), “Derrida”, LKis, Yogyakarta, hal. 61
yang menyatukan keseluruhan sistem filsafat itu sendiri. Namun sebagaimana
yang ditunjukkan Derrida melalui konsep Difference bahwa hal itu tak
mungkin.15
lstilah differance pertama kali diperkenalkan oleh Derrida dalam
ceramahnya di depan Societe frarncaise de philosophie pada 27 Januari 1968.
Kosakata ini merupakan neologi yang khusus diciptakan oleh Derrida untuk
menggantikan kosakatakosakata lama yang menurutnya telah usang atau tidak
memadai. Selintas, differance mirip dengan kata difference, yang berarti
"perbedaan". Namun, differance lebih dari sekadar perbedaan yang
menunjukkan ketidaksamaan dua hal. Lebih dari itu, differance juga menunjuk
pada "penundaan" yang tidak memungkinkan sesuatu hadir. Pengertian ganda
ini dipicu oleh ambivalensi huruf a dalam differ(a)nce, yang merniliki dua
makna: "membedakan/ menjadi berbeda" (to differ) dan "menunda" (to defer).
Huruf a menggabungkan sekaligus dua makna tersebut dalam satu kata.
Penggantian huruf e dengan a pada kata differ(e)nce, menurut Derrida,
merupakan strategi tekstual untuk menunjukkan watak ambigu bahasa (al-
Fayyadl: 2005)
Derrida juga menyebut differance "batu nisan" kematian logosentrisme
yang begitu memuja kejelasan makna (the praper) dan mencemaskan
ambiguitas bahasa. Differance adalah "ekonomi kematian" (the economy of
death). Ia mengawali lahirnya sebuah era baru metafor yang kaya akan makna
dan menandai kematian makna literal yang selama ini mendapat tempat
sitimewa dalam filsafat (al-Fayyadl: 2005)
Bahasa semula dimaknai sebagai sistem hierarkis dan oposisional
namun pada kenyataan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Derrida, bahasa
tak lebih dari permainan tanda yang kompleks dan karut-marut untuk
disederhanakan pada logika biner. Hitam seringkali dibedakan secara
oposisional dengan putih, sehingga seolah-olah hitam tak dapat dibedakan
dengan warna lainnya dalam spektrum warna padahal kita bisa membedakan
warna hitam dengan warna apa saja yang non-hitam. Dengan kata lain,
pemaknaan yang oposisional itu tidak sepenuhnya benar, begitu juga dengan
pemaknaan yang bersifat hierarkis. Tidak ada suatu keniscayaan semacam itu,

15
Untuk bagaimana Derrida bekerja dengan Dekonstruksinya, Lih. Haryatmoko (2016), “Membongkar Rezim
Kepastian; Pemikiran Kritis Post-Strukturalisme”, PT Kanisius, Yogyakarta, hal. 135-136
bahasa tidak lain hanyalah permainan antar tanda yang selalu membedakan
dan menunda masing-masing tanda lainnya. Pemaknaan bahasa secara
hierarkis dan oposisional semacam itu akan menutup kemungkinan-
kemungkinan baru bagi bahasa, sebab bahasa sudah selalu terjebak pada
kekakuan sistemnya sendiri. Bahasa juga seringkali diandaikan sebagai
susunan yang sistematik-tunggal-koheren padahal bahasa seringkali juga
tampak dengan watak yang paradoksal. Bahasa sebagai sistem semacam itu
yang mengandaikan kepenuhan, metafisika kehadiran, logosentrisme rentan
menjadi senjata politik bagi para penguasa. 16 Itulah konteks dari pemikiran
Derrida.
Difference tidak lain daripada pembedaan-penundaan tanda, bahasa
tidak lain adalah relasi tersebut. Tidak ada tanda yang-ada tanpa diresapi oleh
relasi sistem differensial tersebut, sistem yang meniadakan hierarkis dan
logika biner sehingga memungkinkan adanya kemungkinan baru pada bahasa
serta sebagai bentuk perlawanan pada rezim wacana. Dikutip dari al-Fayyadl
(2005); “Watak ambiguitas bahasa akan muncul dengan sendirinya ketika
lapisan bahasa yang paling fundamental atau struktur bawah sadar dari
bahasa dibiarkan terungkap dan mendekonstruksi hierarki yang dibuatnya
sendiri”. Melalui difference semua itu dimungkinkan, makna akan berlomba
tampil kepermukaan teks, segala makna yang mungkin. Makna menyebar dan
disebar kesegala arah didalam teks sehingga tak ada makna yang hadir penuh
dalam teks, segalanya sudah selalu tertunda oleh permainan tanda, permainan
sistem differensial itu sendiri. Apa yang mau ditunda oleh differance tak lain
adalah kehadiran penuh objek.
Sistem differensial dapat bekerja jika dan hanya jika setiap penanda
yang mungkin berelasi satu sama lain membentuk makna, makna yang
mungkin. Maka, tak ada satu penanda diluar relasi itu sendiri, melalui
ketakhadiran penuh setiap penanda berelasi. Jadi, sebuah penanda p mungkin
jika dan hanya jika p berelasi pada semua non-p yang mungkin. Setiap makna
penanda secara konstitutif ditentukan pada relasinya dengan penanda yang
lain. Makna kata meja ‘meja’ akan selamanya ditunda oleh relasi penanda
meja dengan penanda non-meja.17 Dengan kata lain, makna dan identitas
16
Lih. Ibid. Hal. 138
17
Lih. Martin Suryajaya (2016), “ Materialisme Dialektis; Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat
Kontemporer”, Resist Book, Yogyakarta, hal. 5
adalah ikhwal yang dikonstitusikan oleh yang bukan dirinya, oleh yang-lain.
Makna kata ‘kursi’ dikonstitusikan oleh relasinya dengan penanda ‘non-kursi’.
A=A jika dan hanya jika A secara implisit mengandung non-A. Ketakhadiran
adalah nama lain dari relasi differensial ini, maka terdapat sebuah negativitas
internal yang menunda positivitas makna.18 Derrida mau menunjukkan
dimensi ‘kekurangan, negativitas’ yang ditekan dan disembunyikan oleh
metafisika kehadiran yang selama ini menjajah alam pikiran barat adalah
sesuatu yang justru primer dan bahkan ilusi tentang kepenuhan atau positivitas
disebabkan oleh adanya negativitas, adanya kekurangan, ketakhadiran, dan
seterusnya. Mekanisme pembedaan-penundaan Derrida inilah yang secara
implisit merupakan doktrin relasi-internal yang diwariskan oleh Hegel dan
mayoritas filsuf Prancis kontemporer secara implisit mewarisi doktrin relasi-
internal dari Hegel tersebut. Jadi, konsep difference Derrida memandang
bahasa secara relasional-konstitutif, sehingga Derrida menyimpulkan “Tak ada
sesuatupun diluar teks”, tak ada sesuatupun diluar relasi differensial tersebut.
D. Paradigma Interkonektivitas Lingkungan
1. Kritik atas Paradigma Antroposentrisme
Untuk sampai pada kebenaran mutlak, kita harus meragukan segala
sesuatu, termasuk semua pengetahuan tradisional, semua yang kita tangkap
melalui pancaindra kita, bahkan kita harus meragukan kenyataan bahwa kita
memiliki tubuh, sarnpai pada akhirnya kita sarnpai pada kenyataan yang tidak
bisa diragukan lagi secara clara et disticnta, secara jelas dan tepat, bahwa kita
sedang berpikir. Karena itulah Descartes sarnpai pada pernyataannya yang
paling terkenal, "Cogito, ergo sum": saya berpikir maka saya ada.19 Dengan
kata lain kebenaran mutlak dan tak dapat diragukan lagi adalah bahwa saya
sedang meragukan dan karena meragukan sama artinya dengan berpikir maka
berpikir itu sendiri adalah kebenaran mutlak dan tak dapat diragukan. Jika kita
meragukan diri kita yang sedang meragukan maka akan terjadi kontradiksi.
Descartes sangat mengandalkan penalaran analitis, yang merupakan
salah satu kontribusinya yang besar bagi ilmu pengetahuan modern (A. Sonny
Keraf, 2014) Eksposisi filosofis Descartes sangat berpengaruh tidak hanya
pada filsafat tapi ilmu pengetahuan serta peradaban Barat, mulai dari
18
Ibid. hal. 6
19
Lih. A Sonny Keraf (2014);”Filsafat Lingkungan Hidup;Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersama
Capra”,PT Kanisius, Yogyakarta, hal. 61
pemahaman tentang manusia hingga cara pandang kita terhadap alam semesta.
Manusia hanya didasarkan pada aspek rasionalitasnya dan mengabaikan
penggunaan intuisi, tubuh, dan perasaan. Dengan demikian, yang disebut dan
diakui sebagai pengetahuan yang absah adalah pengetahuan rasional, yaitu
pengetahuan yang diperoleh dan dipahami hanya dengan mengandalkan akal
budi manusia.20 Inilah titik awal antroposentrisme, penekanan pada manusia,
penekanan pada rasionalitas. Paradigma ini secara eksplisit nampak Ilmu
pengetahuan pada abad ke-17 ini benar-benar didasarkan pada sebuah metode
pencarian baru yang didasarkan pada deskripsi matematis tentang alam dari
Francis Bacon dan metode penalaran analitis dari si jenius Rene Descartes.
ltulah sebabnya abad ke-17 disebut sebagai Abad Revolusi Ilmu Pengetahuan.
Revolusi Ilmu Pengetahuan ini bersumber dari dan sangat dipengaruhi oleh
fisika klasik yang didasarkan pada teori matematika Newton, filsafat Rene
Descartes, dan metode ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dipopulerkan
oleh Francis Bacon. Fisika klasik ini berkembang bersamaan dengan
pemahaman umum tentang realitas yang berlaku sepanjang abad ke-17, ke-18
dan ke-19.21
Dalam hal ini materi dipahami sebagai dasar dari semua benda yang
ada, dan dunia material dilihat sebagai rangkaian objek terpisah yang
dirangkai menjadi sebuah mesin raksasa. Sebagaimana mesin buatan manusia,
mesin alam semesta juga dianggap sebagai terdiri dari unsur-unsur yang
terpisah. lni berarti fenomena alam hanya bisa dipahami dengan mereduksinya
kepada rangkaian elemen yang membentuknya. Karena itulah cara pandang
mekanistis ini dikenal juga sebagai cara pandang reduksionistis. 22 Paradigma
semacam inilah yang menjadi akar krisis dari dunia modern dewasa ini.
Krisis modernitas23 bersumber dari filsafat Cartesian dan fisika Klasik,
yang memproduksi sebuah paradigma mekanistis, atomistik, dan
reduksionistis maka titik berangkat kritiknya secara programatik bersumber
dari krisis tersebut. Berangkat dari anomali dari paradigma yang sudah
digunakan dalam normal science dan memuncak pada krisis maka terjadilah

20
Ibid. hal. 56
21
Ibid. hal. 58
22
Ibid. hal. 58
23
Krisis Modernitas dapat diklasifikasikan sebagai krisis eksistensial, krisis ekologis, krisis kemanusiaan dan
sebagainya.
pergantian paradigma24 (paradigma shift). Bahkan secara lebih luas,
paradigma sistemis memengaruhi cara berpikir tentang realitas secara
keseluruhan sebagai suatu keterkaitan dan interdependensi hakiki di antara
seluruh fenomena alam dan kehidupan di-dalamnya, baik fisik, biologis,
psikologis, sosial dan kultural. Paradigma ini sekaligus memengaruhi cara
berpikir dalam ilmu pengetahuan abad ke-20 sebagai paradigma sistemis atau
juga dikenal sebagai pemikiran ssi tem ("systems thinking").25 Paradigma
sistemis-holistik semacam ini adalah nama lain dari paradigma
interkonektivitas, bagaimana entitas dialam semesta saling berelasi satu sama
lain secara konstitutif. Paradigma ini adalah paradigma anti-tesis bagi
paradigma antroposentrism.
2. Implementasi Paradigma Interkonektivitas
Sebagai disebutkan diatas, paradigma interkonektivitas ini dapat
diimplementasikan sebagai sebuah paradigma lingkungan. Cara pandang
terhadap lingkungan mesti digeser dari cara pandang yang parsial-mekanis-
fisikalis menjadi cara pandang yang holistik-organis. Alam dipandang sebagai
benda mati, yang memuat hukum-hukum mekanis yang dapat dieksploitasi-
privatisasi menjadi bagian dari peradaban manusia melalui rasionalitas-
teknologis dan juga pertimbangan lingkungan yang parsial serta dangkal
menjadi karakteristik paradigma parsial-mekanis-fisikalis, singkatnya
antroposentrisme. Persoalannya kemudian adalah paradigma ini memiliki
implikasi destruktif sebagai mana yang kita lihat hari ini, krisis lingkungan,
krisis kemanusiaan bahkan spiritualitas maka dengan demikian mesti diubah.
Pada kubangan krisis paradigma, krisis lingkungan dan lain sebagainya mesti
terdapat anti-tesis, paradigma shift (pergantian paradigma), konteks inilah
paradigma interkonektivitas muncul kepermukaan.
Paradigma yang memandang alam sebagai mesin raksasa, yang bekerja
secara mekanis, parsialitas, dan seterusnya mesti diganti pada sebuah
paradigma yang holistik-organis. Alam mesti diperlakukan secara egaliter,
entitas abiotik juga mesti harus masuk pada pertimbangan kebijakan
lingkungan misalkan gunung, walau gunung benda mati namun gunung itu
sendiri menopang berbagai kehidupan sehingga menjadikan sebuah gunung
24
Istilah Paradigma Lih. Thomas Kuhn (1962), “The Structure of Scientific Revolution”, & George Ritzer
(2018), “Sosiologi Ilmu Pengetahuan; Berparadigma Ganda”, Terj. Alimandan, Rajawali Pers, Depok, hal. 3
25
Ibid. hal. 70
sebagai sebuah area pertambangan secara masif akan menjadikan lanskap
kehidupan yang bertopang padanya juga mesti selesai. Pada dasarnya ide dasar
dari paradigma interkonektivitas adalah pemahaman yang holistik terhadap
alam yang berlawanan dengan pemahaman parsial oleh karenanya yang
menjadi pokok soal adalah jika kita membuat sebuah kebijakan lingkungan
tertentu, apa kaitannya dengan yang lain, apa implikasi dan seterusnya
sehingga kita mendapatkan sebuah teropong yang luas dan meminimalisir
kerusakan lingkungan. Kita mesti memahami alam sebagai sebuah sistem-
kehidupan bukan sekadar benda mati yang bisa dieksploitasi secara mana
suka. Sebagai contoh Willow Project yakni sebuah project pengeboran minyak
secara massif yang diusulkan oleh ConocoPhillips di Lereng Utara Alaska
yang telah diizinkan oleh Presiden Joe Biden. 26 Jika dilihat dengan
menggunakan paradigma interkonektivitas, kita akan menganalisis proyek ini
secara holistik, misalkan apa dampaknya bagi wilayah Alaska, Amerika
Serikat dan bahkan dunia, bagaimana kehidupan flora-fauna diwilayah Alaska,
bagaimana implikasinya terhadap atmosfer bumi dan perhitungan detail lain
yang terkait. Namun jika melihat dengan paradigma mekanis-parsial-fisikalis,
besar kemungkinan proyek itu akan dinilai sebagai sebuah progres bagi
Amerika dan sebaliknya merupakan downgrades bagi kehidupan umat
manusia. Singkatnya, menguntungkan secara ekonomi-politik namun
merugikan kehidupan dibumi.
E. Kesimpulan
Indra’s Net adalah sebuah pandangan ontologis yang menekankan pada
prinsip interdepensi-interkonektivitas semesta, setiap entitas alam semesta mesti
memuat keseluruhan alam semesta itu sendiri (a part is whole, a whole is part).
Konsekuensi dari pandangan ini adalah tidak ada benda pada-dirinya (an Sich) sebab
benda selalu memuat secara internal yang bukan-dirinya. Benda tidak dapat exist
secara mandiri melainkan exist bersama yang bukan-dirinya. Benda A adalah
sekaligus non-A. Prinsip serupa juga nampak pada pemikiran Derrida tentang
Difference, makna tanda A selalu ditunda-dibedakan dari makna tanda non-A maka
makna tanda A tidak mendapati kepenuhan maknanya, bagi dirinya sendiri, melainkan
bergantung pada tanda lain, dengan cara seperti inilah bahasa bekerja, bahasa adalah
perbedaan. Prinsip interdependensi-interkonektivitas ini kemudian dapat menjadi
26
Lih. Voa
solusi teoretik dan praktis dari kebuntuan paradigma lingkungan yang sudah meresapi
seluruh bangunan epistemik umat manusia khususnya sains dan teknologi.

Daftar Pustaka

Ni Putu Widyastuti, “Metafora Indrajala Konsep Interkonektivitas Semesta


dalam Veda”, Veda Jyotih, Vol.1, No. 2, Oktober 2022, hal. 206
Muhammad al-Fayyadl (2005), “Derrida”, LKis, Yogyakarta

Haryatmoko (2016), “Membongkar Rezim Kepastian; Pemikiran Kritis Post-


Strukturalisme”, PT Kanisius, Yogyakarta

Martin Suryajaya (2016), “ Materialisme Dialektis; Kajian Tentang Marxisme


dan Filsafat Kontemporer”, Resist Book, Yogyakarta

A Sonny Keraf (2014);”Filsafat Lingkungan Hidup;Alam sebagai Sebuah


Sistem Kehidupan Bersama Capra”,PT Kanisius, Yogyakarta

George Ritzer (2018), “Sosiologi Ilmu Pengetahuan; Berparadigma Ganda”,


Terj. Alimandan, Rajawali Pers, Depok

Anda mungkin juga menyukai