Anda di halaman 1dari 23

Pengalihan Hak Membangun (Transfer of Development Rights)

Pembelajaran Mancanegara sebagai


Sumber Inspirasi Pembangunan Kota Indonesia

Oswar Mungkasa

Mei 2022
Traffic congestion is caused by vehicles,
not by people in themselves
Jane Jacobs
The Death and Life of Great American Cities

Cities are not only a place where we live


but also a place where humanity evolves
Planners Realm

ii
Sapa dari penulis

Terima kasih sudah mengunduh, menyimpan, membaca,


mendistribusikan bahkan turut menyampaikan langsung isi makalah
panjang ini. Semoga bermanfaat dan memberi pencerahan bagi kita semua

demi
almamater, bangsa dan negara

Sedikit tentang Penulis


Lahir lebih dari 58 tahun yang lalu di Makassar
berlatar belakang pendidikan
perencanaan kota dan wilayah (S1, ITB dan S2, GSPIA University of Pittsburgh USA) dan
ekonomi publik (S3, UI).
bekerja sepanjang hampir 40 tahun
dimulai sejak mahasiswa sebagai konsultan berbagai perusahaan konsultan perencanaan kota dan wilayah,
dilanjutkan sebentar sebagai peneliti pada pusat penelitian,
selanjutnya menjadi pegawai sampai kepala cabang pembantu bank swasta nasional,
akhirnya memilih menjadi PNS
dengan karir awal pada lembaga perencanaan pembangunan nasional dan
sempat menjabat sebagai Direktur Tata Ruang dan Pertanahan (Bappenas),
berpindah sebentar ke kementerian teknis
sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran (Kementerian Perumahan Rakyat),
dan sempat meniti karir pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
sebagai Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup

Saat ini penulis menjadi fungsional perencana utama (PAU) Kementerian PPN/Bappenas dan
pengurus Dana Mitra Lingkungan dan The Housing and Urban Development Institute Indonesia

Portofolio penulis dapat dilihat pada


https://www.academia.edu/oswarmungkasa
https://www.researchgate.net/profile/Oswar-Mungkasa
email : oswar.mungkasa63@gmail.com

iii
DAFTAR ISI
halaman

Daftar Isi …………………………………………………………………………………………... iv


Daftar Singkatan ………………………………………………………………………………….. v
BAB I Pendahuluan ……………………………………………………………………………. 1
BAB II Pengalihan Hak Membangun (Transfer of Development Rights). Sejarah Ringkas,
dan Pemahaman Dasar ……………………………………………………………….... 3
2.1 Sejarah Ringkas ………………………….………………………………………... 3
2.2 Pemahaman Dasar ……………….………………………………………………... 3
2.3 Manfaat Utama Pengalihan Hak Membangun ………………………... …………. 4
2.4 Kompensasi Non Keuangan sebagai Perangkat Pembangunan Kota ……………... 5
Bab III Pembelajaran Penerapan Pengalihan Hak Membangun ……………………………. 8
3.1 Kota Jakarta (Indonesia) …..………………………………………………………. 8
3.2 New York (USA) ……….………………………………………………………… 9
3.3 Los Angeles (USA) .……………………………………………………………….. 10
3.4 Denver (USA) ……………………………………………………………………... 10
3.5 Pennsylvania (USA) ……………………………………………………………….. 10
3.6 Ragam Penerapan Pengalihan Hak Membangun Kota Dunia ……………………... 12
3.7 Pembelajaran: Faktor Pendukung Keberhasilan …………………………………… 13
3.8 Pembelajaran: Merancang dan Melaksanakan Pengalihan Hak Membangun ……... 14
BAB IV Kesimpulan, dan Rekomendasi……………………………………………………….... 16
4.1 Kesimpulan …………………………………………….…………………………. . 16
4.2 Rekomendasi …………………………………………………………………...…. . 16
Rujukan …………………………………………………………………………………………….. 18

iv
Daftar Singkatan

ACEPP Agricultural Conservation Easement Purchase


APZ Agricultural Protection Zone
AS Amerika Serikat
CEPACS Certificados de Potencial Adicional de Construção
DKI Daerah Khusus Ibukota
dkk dan kawan-kawan
KDB Koefisien Dasar Bangunan
KLB Koefisien Lantai Bangunan
LFT Lancaster Farmland Trust
USA United State of America
PZ Peraturan Zonasi
TDR Transfer of Development Rights
TOD Transit Oriented Development
TPZ Teknik Pengaturan Zonasi
UDGL Urban Design Guidelines
RDTR Rencana Detail Tata Ruang
RTH Ruang Terbuka Hijau
RTR Rencana Tata Ruang
RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah
USD United States Dollar

v
BAB I
Pendahuluan

Keberhasilan pembangunan kota didukung sepenuhnya oleh ketersediaan dan pemanfaatan


sumberdaya, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam berupa
sumberdaya ruang1 yaitu tempat, atau wilayah yang bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk kelangsungan
hidup. Makin besar jumlah kenaikan penduduk, maka sumberdaya ruang makin sulit diperoleh.
Pemanfaatan sumberdaya alam ruang (selanjutnya disebut ruang) diatur melalui Rencana Tata
Ruang (RTR) yang pada prinsipnya merupakan hasil kesepakatan seluruh pemangku kepentingan dalam
pemanfatan ruang secara optimal. RTR kemudian dirinci dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang
salah satu fungsinya adalah acuan bagi kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan demikian,
manfaat yang dapat diperoleh dari ketersediaan RDTR salah satuya adalah ketentuan intensitas
pemanfaatan ruang untuk setiap bagian wilayah sesuai dengan fungsinya di dalam struktur ruang
kabupaten/kota secara keseluruhan
Terkait hal tersebut, pada bidang lahan terdapat 2 (dua) hal yang melekat yaitu property right dan
development right. Property right merupakan hak atas kepemilikan lahan atau properti. Hak milik ini
merupakan salah satu komponen hak azasi manusia yang dilindungi Undang–Undang. Sedangkan
development right (hak membangun) merupakan hak pada seorang atau badan hukum untuk membangun
diatas lahan yang dimilikinya. Berbeda dengan property right, development right ini dapat dibatasi dengan
Undang–Undang (Pugara, 2021).
Pada pelaksanaannya, pengaturan hak membangun ini telah tercantum dalam peraturan zonasi (PZ)
dalam rencana detail tata ruang (RDTR). Pembatasan dapat berupa membatasi luas pemanfaatan, jenis,
skala atau kuantitas serta pemberian syarat tertentu agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan
rencana tata ruang yang memerhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Kemudian, hak membangun tersebut dapat dialihkan sesuai kebutuhan pemilik maupun
pemerintah. Prinsip pengalihan ini dikenal sebagai Transfer of Development Right (TDR) atau Pengalihan
Hak Membangun. Pengalihan hak membangun memberikan peluang bagi seseorang atau pemillik lahan
untuk memindahkan atau menukarkan hak membangun yang dimilikinya dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Di negara maju, prinsip TDR ini sudah lama diterapkan di berbagai kota besar dengan beragam
tujuan mulai dari melindungi lahan pertanian maupun kawasan bersejarah, memelihara habitat margasatwa,
dan mengendalikan desakan pembangunan pada kawasan tertentu (Pruetz, 2003 dalam Sulaiman, 2017).
Termasuk penanganan kawasan kumuh, pencegahan urban sprawl, perlindungan cagar budaya,
perlindungan kawasan hutan, penambahan ruang terbuka untuk publik, dan lain sebagainya yang ditentukan
oleh pemerintah dan bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya atau yang merupakan
kesepakatan bersama antarpemangku kepentingan (Aken dkk., 2008 dalam Pangaribuan dan Haryanto,
2019).

1
Sumberdaya ruang berupa daerah budi daya dan non budi daya. Daerah budi daya adalah kawasan yang
dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia, misalnya untuk perumahan, pertanian, perkotaan, pasar, sekolah, dan lain
- lain. Adapun daerah non budi daya adalah kawasan yang dilindungi, contohnya hutan lindung, cagar alam, gunung,
dan laut.
Namun sangat disayangkan, terlepas dari fungsi dan manfaatnya yang beragam dan nyata dalam
meningkatkan efektifitas pembangunan kota, di Indonesia hanya tercatat kota Jakarta yang telah
menerapkan prinsip TDR ini. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun
2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang. Itu pun dalam bentuk yang sederhana salah satunya membuat
atau menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik. Dengan demikian, pemanfaatan TDR masih berupa
pengalihan pada zona tunggal dengan skala ukuran lahan relatif kecil, dan tidak memiliki nilai nyata bagi
berbagai tujuan utama penerapan TDR. Pada konteks ini, TDR dilakukan sebagai bentuk pengendalian
ruang dengan skema Penggabungan Lot Zonasi Dasar, berupa gabungan sederhana dari dua lot yang
berdekatan dan TDR dalam kawasan yang sama (Benn dan Infranca 2013).
Seharusnya TDR dapat diterapkan sebagai bagian dari prinsip pembangunan perkotaan Indonesia
secara lebih intensif. Untuk itu, telaahan ini berupaya menjelaskan tentang konsep dasar, pemahaman
berikut pembelajaran dari penerapan TDR di berbagai negara sebagai masukan bagi upaya penerapannya
di perkotaan Indonesia.

2
Bab II
Pengalihan Hak Membangun (Transfer of Development Right).
Sejarah Ringkas, dan Pemahaman Dasar

2.1 Sejarah Ringkas


Pada tahun 1916, pemerintah kota New York menerbitkan peraturan zonasi paling lengkap di Amerika
Serikat setelah terjadi kasus pembangunan sekumpulan menara tinggi menghalangi masuknya sinar
matahari. Pada saat yang sama, gudang dan pabrik mengganggu kawasan ritel yang teratur di Kawasan
Fifth Avenue. Peraturan zonasi yang baru mengatur ketinggian serta memisahkan fungsi yang tidak sesuai
(Departemen Perencanaan Kota New York, 2002 dalam Sulaiman, 2017)
Konsep TDR diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 di New York berupa peraturan zonasi yang
mengizinkan pemilik kapling untuk menjual hak penggunaan udara yang tidak dimanfaatkan kepada
pemilik kapling berdekatan, yang memungkinkan kapling penerima untuk melampaui ketinggian
(Giordano, 1988).
Kasus pengadilan TDR pertama terjadi di New York ketika dilakukan pembatasan pembangunan dua
taman pribadi yang direncanakan untuk pembangunan apartemen mahal. Pihak pemerintah menetapkan
guna lahan lain untuk mempertahankan keberadaan ke dua taman tersebut. Pemilik lahan diberi kompensasi
berupa pengalihan hak membangun ke Manhattan. Namun pemilik taman menuntut bahwa pembatasn
tersebut tidak sesuai undang-undang.
Menurut (Costonis, 1973), pada awalnya program TDR di New York mengijinkan pengalihan hanya
pada daerah sekitar dan tertentu. Selanjutnya program TDR di Chicago dan New York mengijinkan
pengalihan antardistrik besar sehingga kawasan pengirim dibatasi pembangunannya sementara kawasan
penerima ditingkatkan intensitas ruangnya.
2.2 Pemahaman Dasar
Transfer Development Right (TDR) atau Pengalihan Hak Membangun merupakan perangkat
pengendalian pemanfaatan ruang yang memberi peluang pengalihan hak membangun (wajib atau sukarela)
pada suatu kawasan yang perlu dipertahankan/dilindungi (kawsan pengirim) menuju kawasan tujuan yang
ingin dikembangkan (kawasan penerima). Dengan demikian, pemilik lahan pada kawasan pengirim tetap
dapat memperoleh kompensasi dari pengalihan hak membangun miliknya sebagai imbalan pembatasan
pembangunan di atas lahannya. Proses ini terjadi dalam suatu transaksi pasar (Sulaiman, 2017). Pengalihan
hak membangun memberikan peluang bagi seseorang atau pemillik lahan untuk memindahkan atau
menukarkan hak membangun yang dimilikinya dari satu lokasi ke lokasi lainnya
(https://kitadankota.wordpress.com/tag/transfer-of-development-rights/).
Terdapat 2 (dua) istilah penting yaitu (i) Kawasan pengirim, yaitu kawasan yang telah dibatasi
perkembangannya dan menjadi sumber pengalihan hak membangun; dan (ii) Kawasan penerima, yaitu
kawasan yang masih mungkin dikembangkan dan menjadi kawasan tujuan dari pengalihan hak
membangun. Singkatnya, kawasan ini "menerima" hak membangun dari kawasan pengirim.
Terdapat 2 (dua) tipe TDR, yaitu (i) keperluan tunggal, ketika skema kompensasi bukan keuangan
tidak merupakan perangkat perencanaan tetapi hanya sebagai cara untuk mengompensasi kerugian pemilik
lahan. Hal ini terkait kompensasi kehilangan hak dan dapat dipertimbangkan sebagai perangkat pasif; (ii)
keperluan beragam, ketika skema tidak hanya berupa kompensasi pada pemilik lahan, tetapi juga digunakan

3
sabagai perangkat menjangkau tujuan perencanaan ruang tertentu. Tipe ini terkait peluang membangun
tambahan (Spaans, 2010).
Pada skema di atas, pemerintah tidak memberi subsidi atau kompensasi kerugian secara langsung pada
pemilik lahan atau pengembang. Melainkan dengan menyediakan kompensasi dalam bentuk hak properti
baru yang dapat dimanfaatkan sendiri atau dijual. Di lain pihak, pemerintah juga tidak menyediakan insentif
langsung bagi pengembang untuk membangun sesuai target pemerintah di atas tanah mereka atau tanah
milik orang lain tetapi menciptakan hak properti yang dapat dimanfaatkan ketika mewujudkan tujuan
pemerintah. Dengan demikian, pemerintah menyediakan kompensasi sebagai pengganti kerugian
kehilangan hak properti atau menciptakan insentif bagi pengembang untuk mewujudkan tujuan
pembangunan.
Menurut Aken dkk., (2008) terdapat tiga fitur utama dalam TDR, yaitu (i) bersifat sukarela; pemilik
lahan baik kawasan pengirim dan kawasan penerima sama-sama secara sukarela ikut berpartisipasi; (ii)
berbasis pasar; instrument TDR ini muncul semakin banyak karena untuk memasilitasi kebutuhan pasar
dan sebaiknya dalam menjual hak pembangunan yang akan di alihkan harus melalui pasar; (iii) fleksibel;
TDR sangat fleksibel dalam pelaksanaannya, tidak hanya untuk mencapai suatu tujuan tertentu, namun bisa
dimanfaatkan untuk banyak tujuan perencanaan (Pangaribuan dan Haryanto, 2019).
Program ini telah dilaksanakan untuk beragam tujuan, antara lain, melindungi lahan pertanian maupun
kawasan bersejarah, memelihara habitat margasatwa, dan mengendalikan desakan pembangunan pada
kawasan tertentu (Pruetz, 2003 dalam Sulaiman, 2017). Selain itu, tujuan lainnya dari penerapan TDR
adalah penanganan kawasan kumuh, pencegahan perserakan kota (urban sprawl), perlindungan cagar
budaya, perlindungan kawasan hutan, penambahan ruang terbuka untuk publik, dan lain sebagainya yang
ditentukan oleh pemerintah dan bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya atau yang merupakan
kesepakatan bersama antarpemangku kepentingan (Aken dkk., 2008 dalam Pangaribuan dan Haryanto,
2019)
2.3 Manfaat Utama Pengalihan Hak Membangun
Ketika pengalihan hak membangun digunakan secara efektif, manfaatnya dapat dirasakan oleh semua
pihak, yaitu
a. pemilik lahan menerima kompensasi keuangan berdasar nilai pasar dari konservasi lahannya
b. pengembang memperoleh keuntungan dari kelenturan aturan kawasan penerima pengalihan hak
membangun
c. masyarakat menikmati beragam manfaat baik ekonomi, lingkungan dan kesehatan hasil konservasi
lahan seperti air bersih dan terhindar dari banjir. Masyarakat juga memperoleh manfaat dari peluang
beragam pilihan perumahan terjangkau hasil dari pembangunan kawasan berkepadatan tinggi.
d. Perwalian tanah, program ruang terbuka kota, dan dewan pelestarian lahan pertanian dapat
memanfaatkan keterbatasan keuangan secara optimal untuk melindungi properti penting lainnya
(yaitu, melestarikan properti melalui TDR dapat menghasilkan dana untuk melindungi properti di
tempat lain)
e. Tidak tersedia cukup dana konservasi pemerintah daerah, dan nasional untuk melindungi semua lahan
yang perlu dilindungi. TDR melestarikan lahan dengan memanfaatkan sejumlah besar modal swasta
yang mengalir ke proyek-proyek pembangunan.
f. TDR adalah perangkat yang lentur, dapat disesuaikan dengan beragam skenario pelestarian lahan dan
pengelolaan pertumbuhan yang berbeda.
g. Misalnya, hak membangun dapat dialihkan kepada pembangunan perumahan atau non-perumahan.
Pengembangan perumahan menggunakan TDR biasanya mencakup penggunaan tambahan (misalnya,

4
townhouse di samping unit terpisah keluarga tunggal), penggunaan khusus (misalnya, komunitas
pensiun perawatan berkelanjutan), peningkatan kepadatan (lebih banyak unit tempat tinggal per
hektar), atau kelenturan standar massal (variasi pada pemunduran garis depan bangunan, ukuran lot,
dan lainnya). Pengembangan non-perumahan yang menggunakan TDR biasanya untuk memanfaatkan
peningkatan luas lantai, ketinggian bangunan maksimum, atau cakupan lot tahan air maksimum
(WeConservePA, tanpa tahun)
2.4 Kompensasi Non Keuangan sebagai Perangkat Pembangunan Kota
Penerapan “kompensasi non keuangan” telah tersebar luas secara global, terutama karena
berkurangnya ketersediaan dana pemerintah. Dengan demikian dibutuhkan alternatif lain untuk
mengompensasi pemilik properti atas kehilangan hak properti atau mendorong realisasi rencana pemerintah
(Janssen-Jansen dkk. 2008). Di beberapa negara Eropa (Jerman, Belanda, Spanyol, Prancis dan Italia) dan
internasional (Amerika Serikat, Jepang, Turki, dan lainnya) uji coba mekanisme inovatif berorientasi pasar
telah dimulai, baik sebagai alternatif atau untuk mendukung peraturan konvensional, yang didasarkan pada
kerjasama publik-swasta dan konsep pengalihan hak pembangunan yang dapat dipasarkan (Serra 2018;
Nelson dkk. 2012).
Kompensasi non keuangan digunakan secara tradisional untuk pengadaan tanah oleh masyarakat,
sebagai alternatif dari pembelian wajib. Saat ini diterapkan ke berbagai keadaan oleh badan publik untuk
mengompensasi pemilik, atas hilangnya peluang dan memilih untuk tambahan kapasitas pengembangan
dan bukan kompensasi uang (Linkous 2016 dalam Colavitti dan Serra, 2020).
Pemerintah kota dapat menggunakan hak untuk terlibat dalam pengembangan lahan yang lebih
intensif, indeks ruang lantai yang lebih tinggi atau KLB yang lebih tinggi, sebagai cara untuk “membiayai”
dan mendorong pembangunan kota. Hak pengembangan umumnya mengacu pada jumlah maksimum luas
lantai yang diizinkan pada banyak zonasi. Ketika luas lantai yang dibangun sebenarnya kurang dari luas
lantai maksimum yang diizinkan, perbedaannya disebut sebagai “hak pengembangan yang tidak
digunakan”, “hak udara”, atau “hak kepadatan berlebih”. Hak kelebihan kepadatan ini mewakili bagian
yang dikendalikan publik dari tanah milik pribadi. Hak-hak ini memiliki nilai ekonomi yang dapat dijual
oleh otoritas publik (The World Bank, tanpa tahun).
Perbedaan utama kompensasi non keuangan dengan kompensasi keuangan tradisional adalah bahwa
pemerintah tidak memberikan kompensasi kehilangan hak properti kepada pemilik berbentuk uang.
Sebaliknya, pemilik memperoleh hak untuk mengembangkan sejumlah volume bangunan, yang dapat
dijual, digunakan pada lokasi atau dipindahkan ke kawasan lain yang cocok untuk dibangun, yang
kemudian mempunyai nilai keuangan (Van der Veen dkk. 2010).
Di antara manfaat pendekatan pembiayaan ini adalah bahwa pengalihan hak membangun tidak
menimbulkan dampak fiskal yang negatif. Sebaliknya, pengalihan hak membangun sektor publik dapat
menghasilkan dampak fiskal yang positif karena pemerintah kota biasanya tidak memasukkan
kemungkinan nilai masa depan dari hak tersebut di neraca mereka. Jika pemerintah kota memiliki tanah
(misalnya, garasi parkir umum di pusat kota atau gedung pemerintah di bawah kepadatan yang diizinkan),
ia juga dapat menjual atau mengalihkan hak pengembangannya. Penjualan atau pengalihan hak
pengembangan memerlukan kerangka peraturan yang dirancang dengan baik, misalnya, penetapan kawasan
“pengiriman” dan kawasan “penerimaan”.
Di Amerika Serikat, konsep Peralihan Hak Membangun (Transfer of Development Rights/TDR) telah
menginspirasi beberapa negara Eropa. Pemilik lahan pada kawasan pengirim, yang menjadi subjek untuk
pembatasan pembangunan, dapat mengalihkan hak membangun yang didapatkan ke daerah penerima,
sesuai rencana pembangunan perkotaan (Machemer dan Kaplowitz 2002).

5
Metode TDR telah berkembang dari waktu ke waktu, dari Penggabungan Lot Zonasi dasar yang
digunakan sejak tahun 1916, yang terdiri dari gabungan sederhana dari dua lot yang berdekatan dan TDR
dalam kawasan yang sama (Benn dan Infranca 2013), sampai mekanisme lebih rumit seperti peralihan
Landmark, yang membutuhkan izin khusus untuk penjualan hak membangun yang tidak digunakan, dan
diberikan kepada pemilik monumen dan bangunan bersejarah, juga memungkinkan peralihan kapasitas
membangun lebih lanjut (Tomlan 2015). Program TDR biasanya mendukung kebijakan perlindungan
lingkungan dan awalnya memainkan peran marjinal di bidang konservasi dan pelestarian bangunan
bersejarah (Chan dan Hou, 2015).
Saran menarik untuk pembangunan kembali kawasan kota bersejarah juga ditawarkan oleh program
TDR yang mengejar tujuan perlindungan lingkungan dengan mempromosikan pembongkaran bangunan
yang tidak sesuai yang ada di kawasan lindung. Sebagai contoh, TDR program Danau Tahoe, yang luasnya
mencakup 207.000 hektar tanah di bawah kendali beberapa pemerintah daerah di California dan Nevada,
selain kota South Lake Tahoe. Ini adalah program yang dirancang untuk menjaga Zona Lingkungan dan
kawasan sensitif lingkungan dengan mengalihkan hak membangun dan menghapus struktur yang terletak
pada kawasan yang tidak sesuai. Insentif terdiri dari alokasi hak membangun yang dapat dialihkan, dengan
tunduk pada persetujuan pemerintah daerah dan Badan Perencanaan Wilayah Tahoe.
Dalam hal kompensasi untuk pembongkaran bangunan yang ada, kawasan terkait harus dikembalikan
ke kondisi alami dan tidak diperbolehkan dibangun selamanya. Pembongkaran mungkin melibatkan
berbagai jenis bangunan, dari perumahan hingga akomodasi, komersial atau layanan publik (Nelson dkk.
2012). Program menciptakan pasar lokal untuk hak membangun yang juga dapat dialihkan lintas batas
administratif, sesuai dengan kebutuhan pengembangan masa depan setiap komunitas. Program ini
seringkali merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kapasitas pengembangan yang berguna untuk
melaksanakan inisiatif pembangunan di daerah penerima, melalui dukungan bank TDR yang membantu
menghubungkan antara penawaran dan permintaan hak membangun di pasar (Pruetz dan Standridge 2009).
Di Eropa, proyek percontohan TDR, meskipun dalam tahap eksperimental, telah ditujukan untuk
menangkap nilai lebih yang dihasilkan, demi kepentingan masyarakat, dalam perspektif pemerataan
keadilan dan penahanan tekanan antropik terhadap lingkungan dan sistem alam (Spaans et al. 2011). Contoh
pengalaman Eropa berorientasi pendekatan pasar dan langkah kompensasi non keuangan adalah program
Ruang ke Ruang di Belanda, di provinsi Noord-Brabant, yang bertujuan untuk membiayai, melalui TDR,
pembongkaran pertanian atau bekas bangunan untuk mencapai tingkat kualitas ruang perkotaan dan
pedesaan yang tinggi (Janssen-Jansen 2008).
Diusulkan oleh pemerintah provinsi dan kemudian disetujui oleh pemerintah pusat, proyek tersebut
melibatkan beberapa institusi keuangan dalam pengembangan sejenis bank hak (bank TDR) untuk
mengelola seluruh operasi, diwujudkan baik secara mandiri maupun melalui kemitraan. Daerah penerima,
ditunjuk untuk penggunaan hak membangun yang diberikan, yang diusulkan oleh pemodal swasta dan
disetujui oleh pemerintah kota, disertai persyaratan khusus. Lokasi tersebar di kawasan terbangun yang ada,
di pinggir kawasan perkotaan atau di daerah pedesaan yang secara khusus ditetapkan dalam rencana.
Pengalihan hak pembangunan antara yang berbeda wilayah teritorial membutuhkan penyesuaian
sejalan dengan perbedaan biaya antara kawasan pengirim dan penerima, terutama jika tidak ditentukan
sebelumnya dalam rencana (Torre dkk. 2011). Baru-baru ini, skema perdagangan publik-swasta seperti itu
juga telah diusulkan untuk peremajaan kawasan bersejarah di beberapa wilayah Italia, termasuk kompensasi
bagi pemilik atas biaya yang dibayarkan untuk pemulihan warisan sejarah publik dan swasta dengan
memberikan bonus hak membangun di luar kawasan pusat bersejarah (Lazzarotti 2010).

6
Kompensasi non keuangan dievaluasi berdasar biaya proyek, dikurangi minimal 30 persen. Ini
merupakan bonus ekonomi, sesuai dengan faktor seperti ukuran kawasan bersejarah, penggunaan lahan,
fasilitas parkir dan harga real estat (Falco 2012).
Dalam kenyataan di lapangan, ketersediaan hak membangun yang akan dialihkan (persediaan) pada
kawasan pengirim dan kebutuhan hak membangun pada kawasan penerima tidak selamanya bertemu.
Terkadang ketersediaan melebihi kebutuhan dan sebaliknya. Untuk itu, dikenal prinsip Bank TDR, yaitu
sebuah lembaga yang difungsikan menjaga keseimbangan ketersediaan dan kebutuhan hak membangun.
Terdapat 2 (dua) skema yang digunakan untuk menjamin pasar hak membangun tetap optimal, yaitu
a. Bank TDR dapat membagi hasil dari setiap penjualan individu di antara semua pemilik lahan yang
memutuskan hak mereka. Dengan begitu, semua penjual akan berbagi risiko secara setara,
mendapatkan sebagian kecil dari uang apa pun yang masuk dari pengembang. Dengan tidak adanya
rencana seperti itu, penjual akan diberi kompensasi sesuai urutan mereka memasuki program. Tatanan
ini bisa dianggap sewenang-wenang, apalagi jika pembangunan di wilayah yang luas dilarang
sekaligus.
b. Sebagai alternatif, Negara dapat dengan mudah memutuskan untuk membeli semua hak membangun
sesuai nilai pasar dan menahannya di bank sampai pembeli dapat ditemukan. Berdasarkan rencana ini,
Negara menanggung semua risiko yang timbul dari lemahnya pasar hak membangun. Jelas negara
perlu mendedikasikan dana untuk tujuan ini. Organisasi konservasi nirlaba mungkin juga ingin
membeli hak untuk menjual kembali. Memiliki bank membuat skema ini lebih mudah
Salah satu contoh penerapan skema Bank TDR adalah State Transfer of Development Rights Bank; a
Pinelands Development Credit Bank yang dikembangkan oleh Pemerintah Negara Bagian New Jersey
Amerika Serikat (Rutgers, tanpa tahun).

7
Bab III
Pembelajaran Penerapan Pengalihan Hak Membangun

3.1 Kota Jakarta (Indonesia)


Skema TDR telah dikenali cukup lama dalam penyelenggaraan tata ruang di Indonesia. Terbukti
konsep ini telah tercantum dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 38
ayat 2 yang berbunyi insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat atau upaya
untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang berupa
(a). keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham dan
seterusnya. Pada Pasal 38 ayat 1 dijelaskan tentang insentif yang merupakan bagian dari pengendalian
pemanfaatan ruang.
Walau pun demikian, tidak banyak kota Indonesia yang telah menerapkan konsep ini bahkan sampai
saat ini yang baru tercatat adalah kota Jakarta. Pengalihan hak membangun atau yang dikenal luas
dengan Transfer of Development Rights merupakan salah satu teknik pengaturan zonasi2 yang diterapkan
Jakarta selain bentuk teknik pengaturan zonasi lainnya seperti bonus atau insentif, fiskal, kawasan khusus,
pengendalian pertumbuhan, pemugaran, dan teknik lainnya.
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pemilik lahan dapat mengalihkan hak
membangunnya atau pihak lainnya dapat menerima hak membangun. Pengalihan hak membangun yang
diterapkan di Jakarta memiliki persyaratan (i) pengalihan hak membangun berupa luas lantai bangunan
yang tidak terpakai yang berada dalam satu blok perencanaan; (ii) pengalihan berasal dari selisih batasan
hak membangun yang ditetapkan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan Koefisien
Lantai Bangunan (KLB) yang digunakan dalam persil yang dibangunnya; (iii) pengalihan KLB dapat
diberikan setelah dimanfaatkan minimal 60 persen dari KLB yang ditetapkan. Pengalihan hanya dapat
dilakukan maksimal 1 (satu) kali.
Teknik ini relatif baru untuk Indonesia dan yang paling dibutuhkan adalah administrasi yang jelas
dengan pemetaan yang baik pula. Seluruh peta harus sudah memiliki sistem koordinat yang sama.
Dibutuhkan transparansi baik secara aturan maupun kejelasan wilayah-wilayah yang dapat menerapkan
teknik tersebut. Perlu aturan yang mengatur secara lebih rinci terkait harga, besaran, luasan, lokasi, dan
aturan rinci lainnya (Kita dan Kota, 2014).
Pengaturan lebih rinci dari TDR dicantumkan dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun
2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sebagai berikut

2
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang
disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang
harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang
amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan
bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan (Penjelasan Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang)

8
a. Pasal 622 ayat (1), Teknik Pengaturan Zonasi (TPZ)3 pengalihan hak membangun atau TDR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 620 ayat (2) huruf b, pada suatu persil/sub zona ke persil/sub zona
lain sesuai kesepakatan bersama dan diarahkan pada lokasi (i). kawasan terpadu kompak dengan
pengembangan konsep Transit Oriented Development (TOD); (ii). pusat kegiatan primer dan pusat
kegiatan sekunder; dan (iii). kawasan yang memiliki panduan rancang kota.
b. Pasal 622 ayat (2), TPZ pengalihan hak membangun atau TDR sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: (i) pengalihan hak membangun berupa luas lantai dari
satu persil ke persil lain dengan zona yang sama dalam satu batas administrasi kelurahan; (ii)
pengalihan hak membangun berupa luas lantai dari satu persil ke persil lain dengan zona yang sama
dalam kawasan yang dikembangkan konsep TOD diperkenankan tidak dalam satu blok; (iii) hak
membangun yang dapat dialihkan berupa luas lantai dari selisih batasan KLB yang ditetapkan dalam
PZ dengan KLB yang telah digunakan dalam kaveling; (iv) pengalihan hak membangun berupa luas
lantai tidak diperkenankan pada zona perumahan kampung, zona perumahan KDB sedang-tinggi, dan
zona perumahan KDB rendah; (v) penerima pengalihan luas lantai setinggi-tingginya 50 persen (lima
puluh persen) dari KLB yang ditetapkan di lahan perencanaan dimaksud; (vi) pengalihan luas lantai
hanya dilakukan 1 (satu) kali; (vii) terhadap lahan yang telah melakukan pengalihan luas lantai dan
menerima pengalihan luas lantai tidak mendapatkan pelampauan KLB; (viii) dalam hal suatu lahan
perencanaan telah melakukan pengalihan luas lantai kemudian ditetapkan KLB baru untuk lahan
perencanaan tersebut, maka selisih KLB tidak dapat dialihkan; dan (ix) pengalihan luas lantai pada
zona dalam suatu lahan perencanaan terpadu dan kompak yang telah memiliki Panduan Rancang Kota
(Urban Design Guidelines/UDGL), harus menetapkan kembali Panduan Rancang Kota (UDGL).
Mencermati pengaturan TDR dalam RDTR DKI Jakarta, terlihat pemanfaatan TDR masih terbatas
pada pengalihan nilai koefisien lantai bangunan pada satu wilayah yang pada umumnya menjadi milik satu
pengembang. Dengan demikian, pemanfaatan TDR masih berupa pengalihan pada zona tunggal dengan
skala ukuran lahan relatif kecil, dan tidak memiliki nilai nyata bagi berbagai tujuan utama penerapan TDR
(Sulaiman, 2017).
3.2 New York (USA)4
Pada tahun 1961, kota New York menyediakan kelonggaran batasan kepadatan/intensitas bangunan
melalui teknik zoning lot-merger (zonasi penggabungan kapling). Pada intinya, properti dalam satu blok
dapat bergabung menjadi satu zonasi kapling tunggal. Sehingga jika satu properti pada zonasi jenis ini
mempunyai luas lantai yang masih berada di bawah batas kepadatan yang diijinkan, maka hak membangun
pada properti tersebut dapat dialihkan dan dimanfaatkan oleh properti lain yang berada di zonasi kapling
gabungan tersebut (Sulaiman, 2017).
Pada tahun 1968, pemerintah kota New York memberlakukan aturan zonasi baru yang memungkinkan
kepadatan/intensitas yang tidak dimanfaatkan pada bangunan bersejarah yang dilindungi untuk dialihkan
ke bidang zonasi terdekat, maupun bidang zonasi berjauhan sepanjang properti tersebut masih di bawah
satu kepemilikan.
Pasar untuk TDR di New York didorong oleh transaksi komersial antara pemilik yang tidak terafiliasi.
Baru-baru ini, Kota New York mengusulkan sebuah distrik zonasi khusus untuk Hudson Yards, sebuah

3
Teknik Pengaturan Zonasi (TPZ) merupakan teknik pemberian fleksibilitas terhadap ketentuan umum Peraturan
Zonasi (PZ), sekaligus memberikan insentif pembangunan.
4
Sub bab 3.2 sampai 3.5 disarikan dari Riardy Sulaiman (2017). Evaluasi Kelayakan Teknis Penerapan Transfer of
Development Right (TDR) pada Kawasan Kotatua Jakarta. Tesis. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota.
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan.

9
distrik pembangunan kembali perkotaan multiguna yang sedang dibangun di sisi barat Manhattan. Ini akan
memungkinkan pemilik kavling yang memenuhi kriteria khusus untuk membeli KLB tambahan yang
diizinkan (bergantung pada lokasi kavling) dengan memberikan kontribusi ke dana perbaikan distrik. Dana
ini digunakan untuk membiayai perbaikan infrastruktur transit dan pejalan kaki di kawasan tersebut (The
World Bank, tanpa tahun).
3.3 Los Angeles, California (USA)
Beragam tujuan penerapan TDR di Los Angeles diantaranya melindungi bangunan bersejarah,
mendorong hunian yang terjangkau, menciptakan ruang terbuka publik, menyediakan sarana transportasi
umum dan membangun fasilitas budaya/publik dengan menawarkan berbagai kelenturan dalam
pelaksanaan pembangunan tanpa melebihi daya dukung sarana pelayanan publik dan sistem infrastruktur
yang ada (Sulaiman, 2017).
Pada saat awal, diterapkan Teknik ‘Floor Area Ratio Averaging’ (menyeimbangkan
intensitas/Koefisien Lantai Bangunan/KLB) pada kawasan komersil dan industri. Teknik ini dilaksanakan
secara terbatas berbentuk pengalihan antarpersil berdekatan untuk memperoleh hasil pembangunan yang
kompak atau terpadu. Pada saat peremajaan pusat kota, ditetapkan bahwa pengalihan hanya dimungkinkan
pada lokasi tertentu di pusat kota, dan dalam jarak maksimum 1.500 meter dari kawasan pengirim
(Sulaiman, 2017).
Pada tahun 1985, pemerintah kota menerapkan aturan baru ‘designated building site’ (kawasan
bangunan terlindungi) sebagai cara melindungi bangunan bersejarah di pusat kota. Penerapan mekanisme
ini memungkinkan kapasitas luas lantai dibangun lebih besar, yang dapat dialihkan sepanjang disetujui
Dewan Kota. Maksimum Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah 13.
Pada tahun 1988, pemerintah kota menggunakan aturan baru bahwa setiap penggunaan luas lantai
bangunan hasil pengalihan lebih besar dari 50 ribu m2 dikenakan biaya manfaat bagi publik (Public Benefits
Payment) sebesar USD.35 per m2. Hasilnya diperuntukkan untuk pengadaan hunian terjangkau, ruang
terbuka, perlindungan banguanan bersejarah, sarana transportasi umum dan fasilitas umum/budaya.
Dalam kenyataannya, skema Floor Area Ratio Averaging kurang diminati. Berbeda dengan
Designated Building Site yang memperoleh tanggapan yang cukup banyak dengan diajukannya 5 (lima)
Gedung bersejarah Los Angeles.
3.4 Denver, Colorado (USA)
Pemerintah kota Denver menerapkan skema TDR sebagai upaya menarik minat pemilik properti
bersejarah agar dapat bergabung secara sukarela dalam program pelestarian Gedung Bersejarah. TDR
menjadi insentif bagi para pemilik gedung karena gedung bersejarah tidak dimungkinkan untuk dibongkar,
bahkan jika hanya sekedar direnovasipun perlu persetujuan Dewan Kota.
Pada tahun 1994, aturan baru diberlakukan yang memungkinkan kawasan pusat kota mendapatkan
bonus kepadatan/intensitas bangunan tetapi bonus tersebut hanya diperuntukkan dalam kawasan pusat kota
saja sehingga pusat kota berfungsi sebagai kawasan pengirim dan kawasan penerima. Terkecuali bangunan
bersejarah yang bonusnya harus dialihkan ke kawasan penerima yang berada di luar kawasan pusat kota.
3.5 Pennsylvania (USA)5
Pemerintah daerah di Pennsylvania Amerika Serikat telah menerapkan TDR sejak tahun 1980an.
Sebagian besar pemerintah daerah menerapkan TDR untuk tujuan pelestarian lahan pertanian. Pemerintah
daerah secara aktif memasilitasi transaksi TDR. Peran pemerintah daerah diantaranya adalah

5
Disarikan dari WeConservePA (https://conservationtools.org/guides/12-transfer-of-development-rights)

10
a. Membantu mendanai program TDR
b. Pembelian TDR melalui skema bank TDR sambil menunggu pembelian oleh pengembang
c. Penjualan TDR ke pengembang melalui proses pelelangan terbuka
d. Memanfaatkan dana penjualan TDR untuk membeli TDR baru dan memudahkan pelestarian
pertanian. Dengan demikian, lebih banyak lahan pertanian yang dapat dipertahankan
Pemerintah negara bagian Pennsylvania memperkenalkan program Agricultural Conservation
Easement Purchase (ACEPP) yang berfokus pada pelestarian lahan pertanian. Pendanaan seluruhnya
berasal dari pemerintah daerah. Persyaratan mengikuti ACEPP jauh lebih berat dari persyaratan TDR.
Skema Bank TDR juga diberlakukan sehingga TDR yang telah dibeli dapat disimpan (“banked”) dan
dilelang untuk digunakan pada masa mendatang di kawasan penerima TDR. Misalnya, beberapa kota di
Lancaster County telah memperoleh TDR dari pemilik lahan di kawasan pengirim yang ditetapkan
pemerintah kota dan menyimpannya di bank TDR. Setelah disimpan, TDR tersebut dapat dihentikan oleh
pemerintah daerah atau dijual ke pengembang.
Di kota Warwick, pelamar untuk TDR di kawasan penerima memiliki pilihan untuk menawar
melewati prooses lelang terbuka. Pemerintah kota menginvestasikan kembali hasil penjualan TDR dalam
pembelian TDR baru, menciptakan dana bergulir. Demikian pula, Lancaster Farmland Trust (LFT)
memperoleh TDR dari petani dan menahannya sampai pembeli yang cocok menginginkan TDR tersebut.
LFT juga berfungsi sebagai bank TDR dan administrator program untuk beberapa pedesaan di Lancaster
County. Saat menjual TDR, LFT tidak diharuskan mengikuti persyaratan penawaran terbuka (meskipun
harga jual per TDR biasanya sama dengan harga penawaran pemerintah kota) (WeConservePA).
Aturan Pennsylvania memungkinkan TDR untuk ditransfer dari satu kota ke kota lain di Pennsylvania.
Persyaratan yang diperlukan mencakup semua hal berikut:
a. Rencana terpadu kabupaten atau multi-kota;
b. Ketentuan peraturan zonasi di kota yang berpartisipasi yang memungkinkan penggunaan TDR;
c. Penunjukan daerah pengirim dan/atau penerima di kota tersebut;
d. Perjanjian yang ditandatangani untuk Pengalihan Hak Membangun Antarkota.
Sebagai contoh, wilayah Honey Brook telah memiliki program TDR aktif dengan kawasan pengirim
dan penerima sejak pertengahan tahun 2000-an. Pada tahun 2015, kota dengan wilayah Honey Brook
mengadopsi rencana terpadu multi-kota. Pejabat wilayah (borough) setuju agar wilayah berfungsi sebagai
salah satu dari beberapa daerah penerima TDR yang dihasilkan di kota, dan pada tahun 2018 kedua kota
mengadopsi peraturan zonasi baru yang memungkinkan transfer TDR melintasi perbatasan mereka. Honey
Brook Township memiliki distrik zonasi untuk pengiriman dan penerimaan TDR; Honey Brook Borough
memiliki distrik zonasi yang mengizinkan penerimaan TDR yang dihasilkan di kota sekitarnya.
TDR adalah salah satu dari banyak perangkat yang tersedia bagi kota dan wilayah untuk membantu
mengelola pertumbuhan dan secara permanen melindungi sumberdaya pertanian, alam, dan budaya yang
berharga. TDR bisa menjadi lebih efektif jika dipadukan dengan perangkat berikut
a. Pemilik lahan dapat menyumbangkan kemudahan konservasi pada lahan mereka yang tidak
memiliki TDR karena kepedulian lingkungan (misalnya, lahan basah atau lereng curam), sambil
menjual TDR di ladang jagungnya kepada pengembang untuk digunakan di daerah penerima.
b. Pemerintah kota dapat mengadopsi peraturan Pengembangan Lingkungan Tradisional untuk
memastikan bahwa pembangunan pada kawasan penerima TDR memiliki karakteristik tertentu,
seperti lingkungan ramah pejalan kaki, dan ruang hijau publik.
c. Dengan menerapkan Conservation by Design (melalui amandemen peraturan zonasi), sebuah kota
dapat memastikan bahwa ruang terbuka dan fitur sensitif di dalam kawasan penerima TDR

11
terlindungi. Selain itu, proses penilaian dan perencanaan yang merupakan bagian dari Conservation
by Design dapat membantu pemerintah kota mengidentifikasi daerah pengirim dan penerima TDR
yang paling tepat.
d. Sebuah kota dapat mengadopsi zona perlindungan pertanian (agricultural protection zone/APZ)
untuk mempromosikan kegiatan pertanian lanjutan di tanah yang berada di luar daerah pengiriman
TDR.
3.6 Ragam Penerapan Pengalihan Hak Membangun Kota Dunia
TDR telah diterapkan pada beberapa negara diantaranya adalah Distrik Marunouchi (Jepang) pada
tahun 1986-1991, Isoo Stasion (Korea Selatan) tahun 2003 berupa pengembangan kawasan kumuh, dan
kawasan Prriols Valencia (Spanyol) pada tahun 1988-2001. Kesamaan utama dari ketiga negara tersebut
adalah pengembangan dilakukan melibatkan pengembang, dan pemerintah berperan memberikan insentif
bonus ketinggian bagi pengembang untuk memperoleh keuntungan. Lokasi pengembangan juga merupakan
lahan pribadi bukan lahan pemerintah. Ketiganya menggunakan konsep konsolidasi tanah vertikal. Tidak
ada upaya menyusun regulasi khusus, tetapi hanya sedikit melengkapi aturan yang sudah ada. Salah satu
faktor pendukung pelaksanaan adalah partisipasi masyarakat dalam pengembangannya. Keberhasilan TDR
sangat dipengaruhi oleh keberadaan penginisiasi dari kegiatan tersebut yang bisa saja para petani, pemilik
lahan, pengembang, lembaga lainnya yang berkaitan dan pemerintah sendiri (Nelson dkk., 2013).
Penginisiasi utama adalah masyarakat di Isoo Stasion (Korea Selatan) (Pangaribuan dan Haryanto, 2019).
Di kota Denver (Colorado), TDR telah digunakan sejak tahun 1982 untuk mengompensasi pemilik
yang secara sukarela mengusulkan masuknya bangunan mereka dalam daftar bangunan bersejarah dan
cagar budaya yang harus dilestarikan. Cara yang sama pada rencana kota San Francisco (California) tahun
1985, yang menandai 253 properti pusat kota didefinisikan sebagai "signifikan secara arsitektural", tunduk
pada batasan wajib konservasi, dan lainnya 183 properti yang diklasifikasikan sebagai "bangunan
kontributor", karena nilai arsitektur, sejarah dan budayanya. Pemilik bangunan, yang secara sukarela
memilih untuk turut mempertahankan bangunannya, bisa mendapatkan keuntungan dari insentif dalam hal
hak membangun yang dapat dialihkan, dengan tunduk pada aturan bangunan bersejarah di bawah
konservasi terpadu (Nelson dkk., 2012).
Juga di Italia, penggunaan TDR telah diterapkan dalam perencanaan kota selama beberapa dekade,
meskipun baru pada tahun 2011 Undang-Undang disahkan oleh pemerintah nasional yang melegitimasi
prosedur untuk peralihan hak membangun. Pilihan untuk meningkatkan kapasitas pembangunan, dalam
kerangka pengaturan perencanaan kota, untuk mewujudkan perumahan, renovasi perkotaan dan bangunan,
perbaikan terhadap kualitas lingkungan permukiman, sudah muncul dalam Undang-Undang Keuangan
Tahun 2008, sedangkan saat ini beberapa Undang-Undang Daerah telah memperkenalkan mekanisme untuk
pelaksanaan rencana kota berdasarkan luasnya peredaran hak membangun di wilayah tersebut. Untuk itu,
dimungkinkan untuk menciptakan pasar hak membangun, skala kota atau wilayah, yang secara geografis
terbatas pada wilayah yang memiliki kewenangan dalam perencanaan kota (Ziller 2015)
Wilayah metropolitan telah menggunakan sistem TDR untuk mencapai berbagai tujuan kebijakan.
Kota São Paulo, misalnya, telah menggunakan instrumen yang disebut Certificados de Potencial Adicional
de Construção, atau CEPACs (diterjemahkan sebagai sertifikat obligasi potensial untuk peningkatan
pembangunan) sebagai alat untuk menciptakan hak pengembangan suatu zonasi. Pemerintah kota kemudian
menjual hak tersebut kepada pengembang untuk mengumpulkan dana guna membiayai pembangunan
infrastruktur. Jumlah total CEPAC, yang dibatasi oleh undang-undang, ditentukan oleh pemerintah kota.
CEPAC hanya dapat digunakan di kawasan tertentu yang telah ditetapkan pemerintah kota untuk investasi
publik. Salah satu fitur menarik CEPAC dari perspektif pengembang adalah bahwa mereka tidak diharuskan

12
untuk melakukan pembangunan segera setelah perolehan hak membangun. Sebaliknya, pembangunan oleh
pengembang dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi pasar (The World Bank, tanpa tahun).
Model manajemen hak membangun yang berbeda telah diterapkan di King County, Washington
(wilayah metropolitan di sekitar kota Seattle, Washington). Program TDR ditujukan untuk mendorong
pelestarian lahan pedesaan dan mengarahkan pertumbuhan pembangunan ke daerah perkotaan. Program ini
didasarkan pada prinsip pasar bebas dan telah mendapat manfaat dari harga pasar yang kuat yang pada
gilirannya memotivasi partisipasi pemilik tanah dan pengembang. Dalam contoh ini, pemilik tanah
pedesaan menyadari keuntungan ekonomi melalui penjualan hak pembangunan kepada pengembang swasta
yang, pada gilirannya, memiliki kepentingan untuk membangun peningkatan kepadatan di daerah perkotaan
dengan permintaan pasar yang kuat (The World Bank, tanpa tahun).
3.7 Pembelajaran: Faktor Pendukung Keberhasilan
Keberhasilan penerapan TDR dipengaruhi oleh beberapa faktor (Sulaiman, 2017), yaitu
a. Dukungan yang kuat dari beragam pemangku kepentingan, berupa
▪ Politis, misalnya internalisasi dalam rencana tata ruang atau peraturan yang melindungi lahan
pertanian atau bangunan/lingkungan cagar budaya (Pruetz, 2003)
▪ Dilengkapi program pelestarian lainnya, bersifat wajib, didukung biaya perencanaan yang memadai
serta kepemimpinan yang kuat (Machemer dan Kaplowitz, 2002)
b. Tujuan TDR yang jelas disertai program sederhana dan biaya yang efisien (Caroll dkk., 2005)
c. Pemahaman yang memadai tetang permintaan dan penyediaan lahan (Machemer dan Kaplowitz, 2002
dan Caroll dkk., 2005).
d. Kawasan pengirim yang sesuai ditandai oleh tersedianya (i) disinsentif/batasan pembangunan (Pruetz,
2003); (ii) sumberdaya dipandang sesuatu yang berharga ditandai dengan telah terlindungi aturan,
kegiatan mempromosikan sumberdaya, mempunyai nilai bagi beragam kelompok masyarakat
(Machemer dan Kaplowitz, 2002); (iv) alokasi TDR yang memadai (Carroll dkk., 2005); (iii) memiliki
rasa memiliki tempat (sense of place) antara lain berupa batasan geologis/budaya/sejarah yang jelas
dan kawasan TDR memiliki karakter dan peran yang nyata bagi kota (Machemer dan Kaplowitz,
2002);
e. Kawasan penerima yang optimal yang ditandai oleh (i) Kawasan yang berkembang cepat ditunjukkan
oleh permintaan tinggi pada pasar real estat, kegiatan pembangunan tinggi; disertai dukungan warga
yang ditandai dengan tercapainya konsensus dan terbentuknya lembaga pengawal keberlanjutan; dan
memiliki luasan kawasan pelayanan TDR yang memadai (Fulton dkk., 2004); (ii) telah tercantum
dalam RTR (Pruetz, 2003); (iii) merupakan kawasan kerjasama antarwilayah (Caroll dkk., 2005); (iv)
keberadaan fasilitas penunjang (Machemer dan Kaplowitz, 2002); (v) lokasi strategis (Pruetz, 2003);
(vi) dukungan infrastruktur yang memadai (Caroll dkk., 2005); (vii) berdekatan dengan kawasan
pengirim (Caroll dkk., 2005)
f. Insentif yang memadai bagi pemilik lahan kawasan pengirim dan kawasan penerima yang terkait
berupa (i) bonus kepadatan; (ii) nilai TDR yang terjangkau dan alokasi TDR yang cukup; (iii) biaya
transaksi yang rendah dan mudah (Machemer dan Kaplowitz, 2002; Pruetz, 2003; Fulton dkk., 2004;
Carroll dkk., 2005)
g. Kepemimpinan memadai ditandai dengan tersedianya koordinator kegiatan, kampiun pengawal
kegiatan, dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan
h. Penggunaan bank dan mekanisme pembentukan pasar lainnya, disertai ketersediaan dana publik,
terinternalisasinya TDR dalam kebijakan dan penganggaran pemerintah, pemerintah daerah mampu
membeli dan menjual TDR, serta bank TDR mampu berperan sebagai fasilitator (Carroll dkk., 2005).

13
i. Penegakan peraturan yang konsisten, termasuk menetapkan perolehan kepadatan bangunan tambahan
hanya melalui TDR (Pruetz, 2003)
j. Pengawasan dan pengendalian yang ketat (Pruetz, 2003).

3.8 Pembelajaran: Merancang dan Melaksanakan Pengalihan Hak Membangun


Kesuksesan sebuah program TDR banyak didukung oleh keberhasilan dalam memenuhi beberapa hal
terkait proses perancangan dan pelaksanaannya, yaitu
a. Menyesuaikan dengan kekuatan pasar
Menambahkan pilihan TDR ke peraturan zonasi tidak berarti dengan sendirinya masyarakat akan
memanfaatkannya. Program TDR biasanya hanya efektif jika (i) pembeli menginginkan apa yang
dibangun oleh pengembang menggunakan TDR; (ii) Pengembang ingin membeli TDR dan
mentransfernya ke kawasan penerima; dan (iii) Pemilik tanah bersedia menjual TDR yang secara
permanen membatasi hak membangun lahannya. Program TDR biasanya gagal ketika kekuatan pasar
real estat tidak diperhitungkan dalam rancangan program.
b. Kesepakatan antara pemilik lahan dan pembeli terkait nilai uang TDR
Nilai uang dari TDR, baik untuk pemilik tanah kawasan pengirim maupun untuk pengembang
kawasan penerima, bergantung pada sejumlah faktor yang berhubungan dengan pasar dan faktor
lainnya. Misalnya, pemilik tanah yang ingin menjual TDR kemungkinan akan memiliki nilai uang
tertentu untuk setiap TDR yang mereka rencanakan untuk dijual. Demikian pula, calon pengguna TDR
akan memiliki harga tertentu yang bersedia mereka bayar. Kesepakatan TDR biasanya terjadi ketika
tercapai kesesuaian antara harapan penjual dan pembeli.
c. Jadikan TDR menarik bagi pemilik lahan pada kawasan pengirim
Mempertimbangkan sifat sukarela menggunakan TDR, ketentuan tata cara TDR harus dirancang
sedemikian rupa sehingga pilihan TDR jauh lebih menarik bagi pemilik tanah di daerah pengirim
daripada cara konvensional. Selain itu, harus dipastikan bahwa program TDR dirancang menjadi satu-
satunya cara untuk mencapai kepadatan setinggi mungkin di daerah penerima
d. Kekhawatiran Tetangga Daerah Penerima
Tantangan terbesar dalam merancang program TDR yang sukses terletak pada menemukan satu atau
lebih kawasan penerima yang sesuai. Biasanya terdapat penentangan dari penduduk yang berdekatan
dengan daerah penerima yang didasarkan pada keyakinan bahwa TDR akan menghasilkan lebih
banyak pembangunan baru daripada yang seharusnya terjadi. Beberapa penduduk khawatir bahwa
peningkatan pembangunan akan memperburuk lalu lintas, menaikkan pajak properti, mengurangi nilai
properti, atau mengurangi kualitas hidup.
Program TDR dapat dirancang dengan memperhatikan potensi masalah ini. Misalnya, program dapat
membatasi kepadatan maksimum yang diizinkan di kawasan penerima TDR sehingga pembangunan
perumahan yang menggunakan TDR—bahkan dengan unit tambahan—tidak akan melebihi kepadatan
perumahan yang tersedia untuk persil tersebut sebelum program TDR dilaksanakan. (WeConservePA,
tanpa tahun).
e. Dukungan regulasi yang kuat
Keberadaan TDR perlu didukung oleh aturan yang memadai semisal Ketentuan Ordonansi yang
mengizinkan pemerintah kota untuk menetapkan ketentuan TDR dalam peraturan zonasi kota asalkan
pilihan tersebut bersifat sukarela. Selain itu, dapat juga ditambahkan peraturan zonasi bersama atau
perjanjian tertulis antarpemerintah terkait TDR. Bahkan Kerjasama Antarpemerintah juga dapat
mencantumkan TDR melintasi batas kota tanpa memerlukan peraturan zonasi bersama.
Pelaksanaan program TDR setidaknya melalui beberapa tahapan seperti berikut

14
a. Menetapkan pilihan TDR dan ketentuan administratif dalam peraturan zonasi. Penggunaan TDR harus
bersifat sukarela.
b. Menetapkan kawsan pengirim. Kawasan Pengirim seyogyanya merupakan kawasan dengan nilai
konservasi tinggi seperti lahan pertanian atau ruang terbuka masyarakat. Kawasan pengirim biasanya
ditetantukan berdasarkan pertimbangan pelestarian lingkungan tetapi juga dapat didasarkan pada
kriteria lokasi tertentu.
c. Menentukan jumlah TDR yang dialokasikan untuk setiap pemilik tanah di wilayah pengirim. Ini
biasanya didasarkan pada rumus matematika sederhana seperti satu TDR untuk setiap lima hektar.
Beberapa formula mengecualikan lahan yang dibatasi seperti yang tidak mudah dibangun. Sebagian
besar kota juga menetapkan ambang batas untuk ukuran persil minimum yang memenuhi syarat untuk
program TDR.
d. Menetapkan tata cara memutuskan TDR. Biasanya tata cara ini merupakan bagian dari ketentuan
peraturan zonasi dan dilengkapi akta pengalihan hak membangun. Tata cara dapat mencakup contoh
dokumen akta pengalihan hak membangun. Selain itu, tata cara harus mensyaratkan pencatatan akta
sebelum disetujui oleh pemerintah kota.
e. Menetapkan tata cara perlindungan permanen atas lahan TDR.
f. Menetapkan kawasan penerima. Ini harus menjadi kawasan yang direncanakan untuk mengakomodasi
pertumbuhan, lebih disukai di mana utilitas publik seperti air dan saluran pembuangan ada atau
direncanakan. Idealnya, baik daerah pengirim maupun penerima telah ditentukan sebelumnya selama
proses revisi rencana yang terpadu dengan mempertimbangkan penggunaan TDR. Daerah berpeluang
menjadi kawasan penerima dapat berupa pemukiman, komersial, industri, atau kelembagaan, atau
kombinasinya.
g. Menetapkan persyaratan pengajuan rencana untuk pembangunan di kawasan penerima TDR.

15
BAB IV

Kesimpulan, dan Rekomendasi

4.1 Kesimpulan
Pengaturan zonasi dimaksudkan sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan ruang agar sumberdaya
ruang termanfaatkan secara efisien dan efektif. Namun dalam kenyataannya, berjalannya waktu ternyata
dibutuhkan penyesuaian terhadap alokasi ruang dalam zonasi tersebut disebabkan masing-masing pemilik
lahan mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda.
Untuk itu, TDR merupakan sebuah konsep yang menjadi jalan keluar menang-menang (win-win
solution) dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan ruang baik bagi pemilik lahan yang terambil hak
membangunnya maupun pemerintah atau pihak lain yang mendapatkan manfaat dari peralihan hak
membangun. TDR sendiri dimaknai sebagai pelepasan hak membangun suatu lahan oleh pemiliknya secara
sukarela untuk dialihkan ke lokasi lain yang membutuhkan peningkatan intensitas ruang.
Konsep TDR telah diterapkan sejak beberapa dekade lalu khususnya di Amerika Serikat dan negara
Eropa. Indonesia baru mengadopsi pendekatan TDR sejak satu dekade lalu dalam RDTR DKI Jakarta. Itu
pun masih berbentuk sederhana berupa pengalihan pada zona tunggal dengan skala ukuran lahan relatif
kecil dan tujuannya hanya berupa peningkatan KLB.
Sementara tujuan penerapan TDR sebenarnya beragam diantaranya melindungi lahan pertanian
maupun kawasan bersejarah, perlindungan cagar budaya, perlindungan kawasan hutan, pemeliharaan
habitat margasatwa, dan pengendalian desakan pembangunan pada kawasan tertentu, penanganan kawasan
kumuh, pencegahan perserakan kota (urban sprawl), penambahan ruang terbuka untuk publik, yang
ditentukan oleh pemerintah dan bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya atau yang merupakan
kesepakatan bersama antarpemangku kepentingan.
Selain itu, fungsi utama dari TDR adalah merupakan sumber pembiayaan alternatif pemerintah daerah
khususnya terkait penanganan kawasan yang membutuhkan perlindungan dari kegiatan pembangunan, dan
penanganan kawasan pertumbuhan cepat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembangunan perkotaan Indonesia belum sepenuhnya
memanfaatkan konsep TDR. Dibutuhkan upaya pengarusutamaan konsep TDR dalam penyelenggaraan
pemanfaatan ruang dengan bercermin dari pengalaman pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menerapkan
TDR selama ini.
4.2 Rekomendasi
Beberapa langkah strategis yang perlu dilaksanakan terkait penerapan TDR di perkotaan Indonesia,
yaitu
a. Pengarusutamaan konsep TDR dalam pembangunan perkotaan umumnya dan penyelenggaraan
pemanfaatan ruang khususnya di Indonesia dengan melaksanakan sosialisasi, dan penyusunan
panduan yang lebih rinci tentang pelaksanaan TDR.
b. Dalam upaya pengarusutamaan konsep TDR, kota Jakarta dapat menjadi centre of excellence (Pusat
Pembelajaran) sekaligus laboratorium penerapan TDR. Langkah ini dapat diawali dengan melakukan
tinjauan terhadap pelaksanaan TDR kota Jakarta sebagai bahan pembelajaran penerapan TDR di
Indonesia. Selanjutnya sebagai laboratorium TDR, kota Jakarta sebaiknya memperluas cakupan

16
penerapan TDR dengan menambah tujuan penerapan TDR sehingga juga mencakup misalnya
perlindungan cagar alam, cagar budaya, penanganan kawasan kumuh, peremajaan kawasan,
pencegahan perserakan kota (urban sprawl). Selain itu, juga memperluas cakupan geograafis TDR
dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah kota se Jabodetabek.
c. Mendorong agar kota metropolitan dan kota besar dengan penduduk di atas 1 (satu) juta untuk
menerapkan konsep TDR dimulai dengan mencantumkannya dalam RDTR masing-masing.
d. Penggalangan kemitraan dengan kota dunia terkait pembelajaran TDR maupun dengan kota lain di
Indonesia sebagai bagian dari pengarusutamaan TDR dalam pembangunan perkotaan Indonesia.

17
Rujukan

1. Carroll, Taylor, Connie Chen, Jeff Dunbar, Rachel Gore dan Darren Greve (2005). Evaluating the
Potential of a Market-Based Transfer of Developments Program to Preserve Open Space in
Santa Barbara County, Santa Barbara, CA.
2. Colavitti, Anna Maria dan Sergio Serra (2020). Non-Financial Compensation for the Redevelopment
of the historic urban landscape: the case study of Villasor in Sardinia (Italy). City, Territory and
Architecture.
3. WeConservePA (tanpa tahun). Transfer of Development Rights. Diakses 7 Mei 2022 dari
https://conservationtools.org/guides/12-transfer-of-development-rights
4. Fulton, W., Mazurek, J., Pruetz, R., dan Williamson, C. (2004). TDRs and Other Market-Based Land
Mechanisms: How They Work and their Role in Shaping Metropolitan Growth, Washington, DC,
The Brookings Institution Center on Urban and Metropolitan Policy.
5. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (2021). Peraturan Menteri ATR/BPN
Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan
Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota dan RDTR
6. Kita dan Kota (2014). Pengalihan Hak Membangun. Layakkah di Jakarta?. Diakses tanggal 5 Mei 2022
melalui https://kitadankota.wordpress.com/tag/transfer-of-development-rights/
7. Pangaribuan, Bosman dan Ragil Haryanto (2019). Kajian Penerapan Konsep TDR Skema Kompensasi
Non Finansial pada Kawasan Kumuh di Kelurahan Sekayu. Jurnal Pembangunan Wilayah dan
Kota Vo. 15 No. 2 hal 108-121.
8. Pemerintah Republik Indonesia (2007). Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang
9. Pruetz, Rick (2003). Beyond Takings and Givings. Saving Natural Areas, Farmland and Historic
Landmarks with Transfer of Development Rights and Density Transfer Changes, Burbank, CA.
Arje Press.
10. Pugara, Ade (2021). Transfer of Development Right dan Kearifan Lokal sebagai Pertimbangan dalam
Rencana Tata Ruang yang Efektif dan Implementatif. Dikases pada tanggal 6 Mei 2022 melalui
https://iapindonesia.org/news/61365759d289a26d19a52c6d
11. Rutgers (tanpa tahun). “What Is a Transfer of Development Rights (TDR) Program?”. Diakses 7 Mei
2022 dari https://njaes.rutgers.edu/highlands/transfer-development-rights.php
12. Spaans, Marjolein; Menno van der Veen; Leonie Janssen-Jansen (2010). The Concept of Non-Financial
Compensation: What is it, which forms can be distinguished and what can it mean in spatial
terms?. Planum- The European Journal of Planning online, January.
13. Sulaiman, Riardy (2017). Evaluasi Kelayakan Teknis Penerapan Transfer of Development Right (TDR)
pada Kawasan Kotatua Jakarta. Tesis. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota. Sekolah
Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan.
14. The World Bank (tanpa tahun). Transferable Development Rights. Diakses 7 Mei 2022 dari
https://urban-regeneration.worldbank.org/node/22

18

Anda mungkin juga menyukai