pandangan geosentris menjadi heliosentris, dalam bidang etika sebelumnya dan tujuan
perbuatan adalah mencapai kebahagiaan dan itu terys disepakatai sampai Kant
moral terhadap tujuan dan hasil perbuatan itu sendiri. Karena segala kualitas moral
akan tampak tak bernilai baik jika kemudian diarahkan kepada tindakan yang jahat,
maka menurut Kant hanya ada satu kenyataan baik yang tanpa batas, baik pada
Sistem etika deontologi ini diciptakan dan dibesarkan oleh Kant dalam
etika sebelumnya.2
Kant ingin menjawab apa yang baik pada dirinya sendiri. Etika yang
melepaskan diri dari problem dasar pertanyaan etis itu sendiri mengenai 'apa 'itu' yang
“baik”? Bukan membahas kebaikan. Dengan karakter filsafatnya yang kritis, Kant
memisahkan antara apa yang membuat manusia itu menjadi bahagia dan apa yang
membuat manusia menjadi baik. Tidak terbatas pada apa yang membuat manusia itu
menjadi bahagia saja, lebih jauh lagi Kant ingin merumuskan mengenai apa yang
Baik yang tidak terbatas pada dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh sesuatu,
yang ada di luar dirinya yaitu adalah kehendak baik, sebab jika disandarkan pada
1
Franz Magnis Suseno. 13 tokoh etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Hlm 135.
2
K. Bertens, Etika. Yogyakarta: Kanisius hal 166
3
Frans Magnis S. 13 Model pendekatan etika. Yogyakarta: Kanisius 1998. hlm 135.
tujuan dan akibat. Bagi Kant kita tidak pernah bisa untuk mengontrol dan
mengendalikan akibat dari perbuatan kita, yang paling mungkin kita kendalikan
adalah kehendak baik kita. Untuk sesuatu yang tidak dalam kendali kita maka tidak
ada kebebasan di dalamnya dan untuk setiap perbuatan yang dilakukan tanpa
kebebasan di dalamnya adalah sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara
moral.
Kehendak baik inilah yang menjadi titik tolak pemikiran etis Kant dalam apa
yang kita kelompokkan kepada etika deontologi. Kemudian kehendak baik yang
dirumuskan oleh Kant ini memiliki standar hanya jika kehendak baik itu mau
memenuhi apa saja yang menjadi kewajibannya, mau melakukan apa yang sudah dari
awal menjadi kewajibannya. Sejauh ia terlepas dari Setiap tujuan dan keinginan hati
belaka.
Di dunia ini manusia berjuang untuk melawan hawa nafsu yang ada pada
dirinya. Paka kehendak bisa dilakukan dengan maksud-maksud dan motif tertentu,
yang tentunya tidak baik pada dirinya. Dalam Tindakan menunaikan kewajiban
mematuhi kewajiban moralnya karena sikap hormat terhadap hukum moral. Misalnya,
melainkan karena berbohong itu bertentangan dengan hukum moral. Manusia wajib
berkata benar, entah itu membawa keuntungan atau pun kerugian baginya. Kaidah
etika deontologi bisa dirumuskan sebagai berikut: "Benar salahnya suatu tindakan
tidak tergantung dari apakah tindakan itu mempunyai akibat baik atau buruk, tetapi
apakah kaidah yang mendasari tindakan tersebut dapat sekaligus dikehendaki sebagai
kaidah yang berlaku umum atau tidak". Dengan kata lain, apakah kaidahnya sesuai
dengan hukum.4
Untuk menentukan sebuah hukum yang patut diikuti secara moral, Kant
membangun dua imperatif, yaitu imperatif hipotetis dan imperati kategoris. Pertama,
imperatif hipotesis yang memandang suatu perbuatan dilakukan sebagai alat untuk
mencapai sesuatu. Hal ini mengindikasikan adanya tujuan yang ingin dicapai dalam
suatu kewajiban. Jelas tindakan ini bersifat teleologis. Kedua, imperatif kategoris
yang memandang perintah kewajiban sebagai sesuatu yang tidak ada syarat, tidak
goyah, tidak mengenal tujuan, dan tidak mempertanyakan Kembali atas perintah
tersebut. Perintah jenis kedua inilah yang menjadi dasar etika Kant. Konsep etika Kant
bersandar pada postulat yang kedua ini. Perintah adalah kewajiban itu sendiri.5
Apabila ditilik jauh lagi, kedua jenis imperatif ini saling bertolak belakang.
Imperatif hipotesis jelas bersifat teleologis yang memungkinkan setiap sikap moral
mengandung maksud dan tujuan. Memang tidak dipungkiri bahwa sesuatu yang
diusahakan mengandung dan tujuan sebagai motif. Akan tetapi bagi Kant, hal tersebut
jelas tidak murni dan tidak mewujud rasionalitas. Sebaliknya dengan imperatif
kategoris, rasionalitas terwujud dalam tindakan moral yang murni tanpa memandang
konsekuensi. Berarti tindakan moral yang dilakukan harus terbebas atas segala pamrih
sebagai dampaknya.
Ada tiga prinsip yang mendasari erika Kant, yaitu: otonomi diri, universalitas dan
humanitas. Tindakan yang baik adalah rindakan yang sesuai dengan maksim yang dapat
menjadi makisim umum, bersifat universal. Dalam segala tindakan manusia perlu diingat
4
Sudarminto etika umum. Yogyakarta: Kanisius, 2013. Hlm 137
5
Jurnal Al-Aqidah: Jurnal Ilmu Aqidah Filsafat, Volume 12, Edisi 2, Desember 2020 hlm 58
bahwa sesama manusia ridak horeh saling menjadikan alat. Manusia adalah tujuan bagi
dirinya sendiri. Otonomi kehendak dimaksudkan agar kehendak bebas dari pengaruh
antropologis.6
dalam bertindak. Kehendak bersifat otonom apabila ditentukan oleh dirinya sendiri,
jika Tindakan itu diambil atas hal-hal lain diluar dirinya seperti kecenderungan atau
terlepas dari dominasi sebab-sebab eksternal. Manusia bebas karena mengikat dirinya
dengan dengan hukum moral. Menurut Kant, kebebasan bukan berarti bebas dari
segala belenggu. Namun, orang bebas karena mengikuti dan menjalankan hukum
moral. Kehendak bebas dan kehendak yang menundukkan diri kepada hukum moral,
Kemudian dalam universalitas, Kant memberikan lagi dua langkah yang harus
sejauh dapat dimungkinkan untuk dilakukan oleh semua orang. Lebih lanjut mengenai
maximnya tersebut adalah sebuah hukum universal baik sebagai manusia maupun
6
ending daruni asali dalam Jumal Filsafat, No. 23 november 1995 hlm 12
7
Bertens, etika Gramedia Jakarta Utama 1993 hal 257
Dari sisi humanitas juga berkaitan terhadap efek rasionalisasi dengan standar
perbuatan yang menjadikan manusia sebagai tujuan dari perbuatan tersebut tidak
pengaruh apapun. Perbuatan yang diwujudkan adalah perbuatan baik sesuai rasio yang
yang setiap tindak-tanduknya bernilai moral, baik itu bernilai baik atau buruk.
Dalam konteks memperlakukan manusia sebagai tujuan dari setiap tindakan kita
bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan belaka, menempatkan manusia lainnya
sebagai alat tak ubahnya menihilkan eksistensi manusia lainnya sebagai manusia
lainnya yang dalam saat bersamaan artinya meruntuhkan landasan perbuatan moral itu
sendiri. 9
Ketika konsep etika ini sampai pada ranah praktis, landasan pemikirannya
adalah kewajiban terhadap hukum moral, yang kemudian disaikan lagi dengan ketiga
dasar prinsipnya yaitu; pertama otonomi personal, kedua humanitas, ketiga dilakukan
atas hukum universalitas. Ketiga prinsip ini sangat dipengaruhi oleh hormat kepada
kewajiban moral, dan kewajiban moral yang patut untuk dihormati adalah yang
Namun semua bisa saja mengaku kehendak baik tanpa pernah bis akita ketahui
bagai mana ukuran kehendak baik setiap orang, maka untuk menjawab ini Kant
8
Immanuel kan, kritik akal praktis terjemahan cuk Ananta Pustaka pelajar hlm143
9
K. Bertens. Etika biomedis. Yogyakarta: Kanisius. Hlm 200
yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu
terpendam, dan merasakan sesuatu dorongan dalam hati, melainkan demi untuk
Untuk memahami keyakinan Kant ini, dua hal yang amat ditekankan. Pertama,
Kant membedakan dengan tajam antar bentuk dengan isi. Posisi dari tujuan dan akibat
yang ingin dicapai dalam suatu perbuatan adalah isi. Akan tetapi kehendak baik
menurut Kant tidak pernah titentukan oleh isi atau tujuan dari sebuah perbuatan,
melainkan oleh bentuknya. Maka kehendak untuk taat pada kewajiban, dan bukan
maka untuk menilai moralitas tindakan, kita jangan memeriksa tujuan atau hasilnya,
melainkan patokan yang berdasarkan mana tindadkan itu diambil. Patokan seperti itu
oleh kan disebut Maxxime. Yaitu prinsip subyektif yang menentukan kehendak.
Sehingga standar yang kedua adalah sejuah mana tindakan tersebut ditentukan oleh
maksim yang bersifat moral, dan jahat apa bila berdasar maksim yang tidak bersifat
moral. Sebuah maksim bersifat moral apabiola termua kemauan untuk menghormati
hukum moral.11
menjadi objektif dan keputusan tindakan ada pada tindakan itu sendiri bukan pada sisi
subjektif belaka adalah dnegan universalisasi sebuah maksim yang akan diambill. Jika
dapat dan memungkin kan tindakan tersenbut berlaku di segala subjek, bukan hanya
10
Franz Magnis Suseno. 13 tokoh etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Hlm 136.
11
Franz Magnis Suseno. 13 tokoh etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Hlm 136.
sekedar untuk kita sendiri yang memikitkan makan kehendak baik tersebut selesai
Kehendak yang dimaksud kan adalah termasuk bagian dari akal budi praktis,
yaitu akan budi yang berorientasi pada tindakan (praktis). Ada dua macam akal budi.
Pengada yang murni rohani (Tuhan, Malaikat) dengan sendirinya mengikuti apa yang
wajib karena berbagai macam pengaruh dalam pengambilan keputusannya. Maka bagi
keharusan untuk melakukan kewajibannya, akan tetapi belum tentu tindakan yang
melakukan suatu tindakan hanya atas dasar pengandain bahwa kita mau mencapai
suatu tujuan tertentu, yang jika tujuan itu terpenuhi maka perintah tersebut kehilangan
relevansinya lagi. Sedangkan imperatif kategoris berlaku mutlak tanpa kecuali apapun
karena apa yang diperintahkan adalah kewajiban pada dirinya sendiri, jadi tidak
Jadi berdasarkan deontology Kant, sebuah perbuatan itu bernilai baik apa bila
memuat kehendak baik berdasarkan maksim yang bisa diunversalkan dengan tujuan
12
Immanuel Kant, Kritik Akal Budi Praktis, terj, Nurhadi (ygyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm 134.