Anda di halaman 1dari 7

A.

Prinsip Dasar Deotologi Immanuel Kant

Deontologi Kant, dianggap setara dengan revolusi Kopernikan yang mengubah

pandangan geosentris menjadi heliosentris, dalam bidang etika sebelumnya dan tujuan

perbuatan adalah mencapai kebahagiaan dan itu terys disepakatai sampai Kant

mengajukan deontologinya, yang tidak lagi mendasarkan kebaikan dan penilaian

moral terhadap tujuan dan hasil perbuatan itu sendiri. Karena segala kualitas moral

akan tampak tak bernilai baik jika kemudian diarahkan kepada tindakan yang jahat,

maka menurut Kant hanya ada satu kenyataan baik yang tanpa batas, baik pada

dirinya, yaitu kehendak baik1.

Sistem etika deontologi ini diciptakan dan dibesarkan oleh Kant dalam

upayanya menanggapi sistem etika keutamaan yang telah mendominasi pemikiran

etika sebelumnya.2

Kant ingin menjawab apa yang baik pada dirinya sendiri. Etika yang

berkembang sebelumnya berpusat pada pertanyaan tentang kebahagiaan, cenderung

melepaskan diri dari problem dasar pertanyaan etis itu sendiri mengenai 'apa 'itu' yang

“baik”? Bukan membahas kebaikan. Dengan karakter filsafatnya yang kritis, Kant

memisahkan antara apa yang membuat manusia itu menjadi bahagia dan apa yang

membuat manusia menjadi baik. Tidak terbatas pada apa yang membuat manusia itu

menjadi bahagia saja, lebih jauh lagi Kant ingin merumuskan mengenai apa yang

membuat manusia menjadi baik.3

Baik yang tidak terbatas pada dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh sesuatu,

yang ada di luar dirinya yaitu adalah kehendak baik, sebab jika disandarkan pada

1
Franz Magnis Suseno. 13 tokoh etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Hlm 135.
2
K. Bertens, Etika. Yogyakarta: Kanisius hal 166
3
Frans Magnis S. 13 Model pendekatan etika. Yogyakarta: Kanisius 1998. hlm 135.
tujuan dan akibat. Bagi Kant kita tidak pernah bisa untuk mengontrol dan

mengendalikan akibat dari perbuatan kita, yang paling mungkin kita kendalikan

adalah kehendak baik kita. Untuk sesuatu yang tidak dalam kendali kita maka tidak

ada kebebasan di dalamnya dan untuk setiap perbuatan yang dilakukan tanpa

kebebasan di dalamnya adalah sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara

moral.

Kehendak baik inilah yang menjadi titik tolak pemikiran etis Kant dalam apa

yang kita kelompokkan kepada etika deontologi. Kemudian kehendak baik yang

dirumuskan oleh Kant ini memiliki standar hanya jika kehendak baik itu mau

memenuhi apa saja yang menjadi kewajibannya, mau melakukan apa yang sudah dari

awal menjadi kewajibannya. Sejauh ia terlepas dari Setiap tujuan dan keinginan hati

belaka.

Di dunia ini manusia berjuang untuk melawan hawa nafsu yang ada pada

dirinya. Paka kehendak bisa dilakukan dengan maksud-maksud dan motif tertentu,

yang tentunya tidak baik pada dirinya. Dalam Tindakan menunaikan kewajiban

menurut Kant manusia harus meninggalkan pamrihpamrihnya. Dengan begitu

kehendak baik di dunia ini akan terwujud dalam pelaksanaan kewajiban.

Menurut Kant, manusia baru bersikap moral sungguh sungguh apabila

mematuhi kewajiban moralnya karena sikap hormat terhadap hukum moral. Misalnya,

ia tidak berbohong bukan karena akibat tindakan tersebut menguntungkan baginya,

melainkan karena berbohong itu bertentangan dengan hukum moral. Manusia wajib

berkata benar, entah itu membawa keuntungan atau pun kerugian baginya. Kaidah

etika deontologi bisa dirumuskan sebagai berikut: "Benar salahnya suatu tindakan

tidak tergantung dari apakah tindakan itu mempunyai akibat baik atau buruk, tetapi
apakah kaidah yang mendasari tindakan tersebut dapat sekaligus dikehendaki sebagai

kaidah yang berlaku umum atau tidak". Dengan kata lain, apakah kaidahnya sesuai

dengan hukum.4

Untuk menentukan sebuah hukum yang patut diikuti secara moral, Kant

membangun dua imperatif, yaitu imperatif hipotetis dan imperati kategoris. Pertama,

imperatif hipotesis yang memandang suatu perbuatan dilakukan sebagai alat untuk

mencapai sesuatu. Hal ini mengindikasikan adanya tujuan yang ingin dicapai dalam

suatu kewajiban. Jelas tindakan ini bersifat teleologis. Kedua, imperatif kategoris

yang memandang perintah kewajiban sebagai sesuatu yang tidak ada syarat, tidak

goyah, tidak mengenal tujuan, dan tidak mempertanyakan Kembali atas perintah

tersebut. Perintah jenis kedua inilah yang menjadi dasar etika Kant. Konsep etika Kant

bersandar pada postulat yang kedua ini. Perintah adalah kewajiban itu sendiri.5

Apabila ditilik jauh lagi, kedua jenis imperatif ini saling bertolak belakang.

Imperatif hipotesis jelas bersifat teleologis yang memungkinkan setiap sikap moral

mengandung maksud dan tujuan. Memang tidak dipungkiri bahwa sesuatu yang

diusahakan mengandung dan tujuan sebagai motif. Akan tetapi bagi Kant, hal tersebut

jelas tidak murni dan tidak mewujud rasionalitas. Sebaliknya dengan imperatif

kategoris, rasionalitas terwujud dalam tindakan moral yang murni tanpa memandang

konsekuensi. Berarti tindakan moral yang dilakukan harus terbebas atas segala pamrih

sebagai dampaknya.

Ada tiga prinsip yang mendasari erika Kant, yaitu: otonomi diri, universalitas dan

humanitas. Tindakan yang baik adalah rindakan yang sesuai dengan maksim yang dapat

menjadi makisim umum, bersifat universal. Dalam segala tindakan manusia perlu diingat
4
Sudarminto etika umum. Yogyakarta: Kanisius, 2013. Hlm 137
5
Jurnal Al-Aqidah: Jurnal Ilmu Aqidah Filsafat, Volume 12, Edisi 2, Desember 2020 hlm 58
bahwa sesama manusia ridak horeh saling menjadikan alat. Manusia adalah tujuan bagi

dirinya sendiri. Otonomi kehendak dimaksudkan agar kehendak bebas dari pengaruh

antropologis.6

Otonomi disini dimaksudkan cara seseorang membangun prinsip kebebasan

dalam bertindak. Kehendak bersifat otonom apabila ditentukan oleh dirinya sendiri,

jika Tindakan itu diambil atas hal-hal lain diluar dirinya seperti kecenderungan atau

emosi tindakan itu sudah bersifat heteronom.

Dengan menemukan otonomi kehendak, secara serentak Kant juga menemukan

kebebasan manusia. Otonomi kehendak pada hakikatnya sama dengan kebebasan

manusia. Karena kebebasan adalah kemampuan untuk bertindak secara independen

terlepas dari dominasi sebab-sebab eksternal. Manusia bebas karena mengikat dirinya

dengan dengan hukum moral. Menurut Kant, kebebasan bukan berarti bebas dari

segala belenggu. Namun, orang bebas karena mengikuti dan menjalankan hukum

moral. Kehendak bebas dan kehendak yang menundukkan diri kepada hukum moral,

bagi Kant mempunyai arti yang sama.7

Kemudian dalam universalitas, Kant memberikan lagi dua langkah yang harus

ditempuhnya, pertama mempertanyakan kembali apakah yang dilakukannya tersebut

sejauh dapat dimungkinkan untuk dilakukan oleh semua orang. Lebih lanjut mengenai

aktualisasi universalitasnya setelah proses pikir tersebut adalah bertindak seakan

maximnya tersebut adalah sebuah hukum universal baik sebagai manusia maupun

sebagai bagian dari alam.

6
ending daruni asali dalam Jumal Filsafat, No. 23 november 1995 hlm 12
7
Bertens, etika Gramedia Jakarta Utama 1993 hal 257
Dari sisi humanitas juga berkaitan terhadap efek rasionalisasi dengan standar

perbuatan yang menjadikan manusia sebagai tujuan dari perbuatan tersebut tidak

hanya sebatas sebagai sarana dan alat belaka.8

Dengan adanya independensi dalam berbuat menjadikan diri terbebas dari

pengaruh apapun. Perbuatan yang diwujudkan adalah perbuatan baik sesuai rasio yang

bernilai humanistik. Berarti perbuatan itu menjadikan manusia menjadi manusia

seutuhnya (memanusiakan manusia). Manusia menjadi isu sentral dalam moralitas

yang setiap tindak-tanduknya bernilai moral, baik itu bernilai baik atau buruk.

Dalam konteks memperlakukan manusia sebagai tujuan dari setiap tindakan kita

bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan belaka, menempatkan manusia lainnya

sebagai alat tak ubahnya menihilkan eksistensi manusia lainnya sebagai manusia

lainnya yang dalam saat bersamaan artinya meruntuhkan landasan perbuatan moral itu

sendiri. 9

Ketika konsep etika ini sampai pada ranah praktis, landasan pemikirannya

adalah kewajiban terhadap hukum moral, yang kemudian disaikan lagi dengan ketiga

dasar prinsipnya yaitu; pertama otonomi personal, kedua humanitas, ketiga dilakukan

atas hukum universalitas. Ketiga prinsip ini sangat dipengaruhi oleh hormat kepada

kewajiban moral, dan kewajiban moral yang patut untuk dihormati adalah yang

mengacu pada uji rasionalitas dan humanitas manusia tersebut.

Namun semua bisa saja mengaku kehendak baik tanpa pernah bis akita ketahui

bagai mana ukuran kehendak baik setiap orang, maka untuk menjawab ini Kant

merumuskan lebih konkret dari konsep kehendak baiknya. Menurutnya kehendak

8
Immanuel kan, kritik akal praktis terjemahan cuk Ananta Pustaka pelajar hlm143
9
K. Bertens. Etika biomedis. Yogyakarta: Kanisius. Hlm 200
yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu

sendiri, bukan karena keuntungan pribadi sekalipun untuk memuaskan Hasrat

terpendam, dan merasakan sesuatu dorongan dalam hati, melainkan demi untuk

memenuhi apa yang wajib, kehendak kita benar benar baik.10

Untuk memahami keyakinan Kant ini, dua hal yang amat ditekankan. Pertama,

Kant membedakan dengan tajam antar bentuk dengan isi. Posisi dari tujuan dan akibat

yang ingin dicapai dalam suatu perbuatan adalah isi. Akan tetapi kehendak baik

menurut Kant tidak pernah titentukan oleh isi atau tujuan dari sebuah perbuatan,

melainkan oleh bentuknya. Maka kehendak untuk taat pada kewajiban, dan bukan

tujuan tindakan menentukan moralitasnya. Kedua, orang yang bertindak menurut

bentuk tindakan berarti ia bertindak menurut pertimbangan atau patokan tertentu,

maka untuk menilai moralitas tindakan, kita jangan memeriksa tujuan atau hasilnya,

melainkan patokan yang berdasarkan mana tindadkan itu diambil. Patokan seperti itu

oleh kan disebut Maxxime. Yaitu prinsip subyektif yang menentukan kehendak.

Sehingga standar yang kedua adalah sejuah mana tindakan tersebut ditentukan oleh

maksim yang bersifat moral, dan jahat apa bila berdasar maksim yang tidak bersifat

moral. Sebuah maksim bersifat moral apabiola termua kemauan untuk menghormati

hukum moral.11

Setelah menjelaskan maksim yang meniscayakan kehendak baik, kemudian agar

menjadi objektif dan keputusan tindakan ada pada tindakan itu sendiri bukan pada sisi

subjektif belaka adalah dnegan universalisasi sebuah maksim yang akan diambill. Jika

dapat dan memungkin kan tindakan tersenbut berlaku di segala subjek, bukan hanya

10
Franz Magnis Suseno. 13 tokoh etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Hlm 136.
11
Franz Magnis Suseno. 13 tokoh etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Hlm 136.
sekedar untuk kita sendiri yang memikitkan makan kehendak baik tersebut selesai

pada tahap kedua ini.

Kehendak yang dimaksud kan adalah termasuk bagian dari akal budi praktis,

yaitu akan budi yang berorientasi pada tindakan (praktis). Ada dua macam akal budi.

Pengada yang murni rohani (Tuhan, Malaikat) dengan sendirinya mengikuti apa yang

wajib karena berbagai macam pengaruh dalam pengambilan keputusannya. Maka bagi

manusia prinsip-prinsip objektif dan apapun yang merupakan kewajiban, bukan

sebuah keniscayaan sehingga manusia dengan sendirinya selalu mau mengikuti

kewajibannya melainkan dengan perintah (imperative). Perintah yang memberi

keharusan untuk melakukan kewajibannya, akan tetapi belum tentu tindakan yang

diambil mengikuti perindah tersebut karena kebebasan memilih yang diambilnya. 12

Kant membagi imperatif menjadi dua, imperatif hipotetis yaitu perintah

melakukan suatu tindakan hanya atas dasar pengandain bahwa kita mau mencapai

suatu tujuan tertentu, yang jika tujuan itu terpenuhi maka perintah tersebut kehilangan

relevansinya lagi. Sedangkan imperatif kategoris berlaku mutlak tanpa kecuali apapun

karena apa yang diperintahkan adalah kewajiban pada dirinya sendiri, jadi tidak

tergantung dari suatu tujuan selanjutnya.

Jadi berdasarkan deontology Kant, sebuah perbuatan itu bernilai baik apa bila

memuat kehendak baik berdasarkan maksim yang bisa diunversalkan dengan tujuan

menghormati kewajiban imperative kategoris.

12
Immanuel Kant, Kritik Akal Budi Praktis, terj, Nurhadi (ygyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm 134.

Anda mungkin juga menyukai