Anda di halaman 1dari 3

Jawaban Tuhan

Selama apapun Nono memperhatikan layar monokrom ponselnya, bilangan-bilangan rupiah itu tidak
akan berubah. Malahan, makin ia memeloti deretan angka itu, kepalanya makin melayang tidak
karuan. Perutnya yang kerontang berbunyi lagi untuk kesekian kalinya. Telapak tangannya
berkeringat, tanda kecemasan juga sedang mengerubungi pikirannya. Namun, Nono tetap saja
menatap layar ponselnya. Satu menit, dua menit, hingga lima belas menit lamanya. Layar monokrom
yang sekarang sudah gelap itu tidak menampilkan apapun. “Kalau Amak gak balas SMS, biasanya
berarti memang gak ada uang,” lirihnya seraya merebahkan diri di kasur tanpa dipan.

Di kamar kos-kosan seluas 3x3 ini, Nono kemudian memejamkan matanya. Bukan tertidur. Dia
tengah memikirkan strategi terbaik untuk menghadapi fase akhir bulan paling krusial dalam
kehidupan akademisnya. Berpikir keras sembari memejamkan mata dalam keadaan perut
keroncongan memang sulit dilakukan. Alih-alih mendapatkan pencerahan, dia malah teringat
hutang-hutangnya yang terdahulu. “Ah, tidak mungkin lah aku pinjam lagi kepada si Asep,”
gerutunya kepada diri sendiri. Kali ini Nono duduk bersandar di dinding.

Nono lantas kembali meraih ponselnya. Dia membuka dan mengulir daftar SMS. Mengira-ngira siapa
teman yang akan berbaik hati meminjamkannya uang. Tidak ada. Hampir semua orang di kelasnya
pernah ia pinta. Guliran SMS-nya justru kembali kepada pesan teks yang di awal ia kutuk dan maki-
maki. “Jangan lupa teman-teman Kriya Seni, besok pagi sebelum kuliah pertama untuk
mengumpulkan uang bahan fotokopian ke kajur. Bahan ujian hari Jumat diambil dari sana.” Melihat
pesan tersebut, pikiran Nono makin butek.

Suara pintu berderit terdengar di luar kamar, menandakan tetangga kamarnya telah pulang dari
tempat kerjanya. Sebersit gagasan lalu menguar dari kepalanya. Ah, kenapa tidak aku coba pinjam
saja ke Mas Yunus, pikirnya. Namun, baru juga ia bangkit, gagasan itu segera ditepisnya jauh-jauh.
Harusnya ia tahu diri. Jangankan meminjam uang, sekedar ngobrol dengan tetangga-tetangga kamar
saja, orang itu hampir tidak pernah. Paling banter cuma menganggukkan kepala dan tidak pernah
berbasa-basi barang sedikit pun. Walhasil, Nono kembali terduduk di lantainya.

Sekarang matanya beredar ke seluruh penjuru bilik. Siapa tahu ada barang yang mungkin cukup
berharga untuk ia gadai atau loakkan. Akan tetapi, satu-satunya barang berharga miliknya hanyalah
laptop usang dan sebuah gitar ukulele jadul pemberian almarhum Bapak. Dia tidak mungkin juga
menjual poster-poster pemain sepak bola yang terpampang di dinding karena sudah robek di sana
sini atau sepatu bola bututnya yang sudah kehilangan sebagian pull karena terlalu sering dipakai.
Nono baru sadar bahwa saking sedikitnya barang yang ia punya, barang-barang di kamar kos-kosan
itu akan muat dalam satu tas ransel ukuran sedang saja.

Sudah hampir dua tahun dirinya menempati bilik kos-kosan sederhana di Jalan Cisitu ini. Selama itu
pula, setiap akhir bulan Nono selalu saja deg-degan, terutama ketika mendekati tanggal jatuh
tempo. Maklum, uang kiriman Amak dari hasil berkebun lebih sering telat daripada tepat waktu. Jika
sudah begitu, Nono hanya bisa berharap dari upah mengerjakan makalah beberapa kawannya, yang
kadang terlampau malas untuk belajar. Percis seperti perkataan Albert Einstein “Di tengah kesulitan
terdapat kesempatan.”

Namun, kesulitan kali ini sepertinya sama sekali tidak menyisakan kesempatan baginya untuk
membela diri. Ada tiga modul yang harus difotokopi sebagai bahan ujian akhir minggu ini, padahal
uang yang ia pegang sekarang hanya cukup untuk makan saja. Jika ia menghabiskan semuanya untuk
membeli modul, Nono tahu percis pada hari Sabtu dan Minggu ia mesti akan berpuasa. Amak
biasanya baru mempunyai uang di tanggal 1 karena itu adalah hari gajian Kakak sulungnya, yang
nanti diganti dengan hasil penjualan kebun.

Nono mendesah panjang. Dia menoleh ke sebuah cermin berbingkai plastik yang tergantung di
sampingnya. Cermin itu memantulkan wajah kusam dan masygul yang sering tersengat matahari.
Meskipun hidungnya cukup tinggi karena keturunan Amak, yang memiliki darah orang-orang Yaman,
tirus tulang pipinya yang menonjol dan leher yang panjang itu mencirikan betapa jauhnya ia dengan
kemakmuran. Nono tertunduk, lemas karena lapar sekaligus galau. Emosinya mulai menyalahkan
tekad-tekadnya terdahulu yang ngotot ingin pergi ke Bandung untuk melanjutkan sekolah.

Teringatlah Nono pada perkataan sang Kakak bahwa meskipun ia bisa gratis kuliah di Bandung, Amak
tidak akan punya cukup uang untuk membiayai makan dan tidur di sana. “Kontrakan dan makanmu
memangnya dibayar pakai daun! Hidup kita di sini pun sudah kembang-kempis. Janganlah kau
tambah membebani.” Kata-kata itu masih terngiang jelas di memorinya. Namun, alih-alih tahu diri,
Nono malah menantang. Dengan lantang, ia mengaku tidak akan meminta uang sepeser pun kepada
Amak dan Kakaknya itu. “Ambo akan mencari uang sendiri Kak, Mak,” tegasnya saat itu. Ketegasan
yang cuma menjadi istana pasir di bibir pantai. Hilang tersaput lautan permasalahan.

Antara 10–15 menit, Nono sempat terkulai tertidur dalam kegelisahan. Dia tidak sempat bermimpi
karena telinganya mendengar panggilan salat dari masjid di ujung jalan.. Nono tergagap teringat
akan Tuhannya. Ah, iya jangan-jangan kesusahanku di rantau sekarang ini akibat lalainya aku
melaksanakan kewajiban, begitulah batinnya menasihati. Nono lantas bangkit dengan sedikit
terhuyung. Dia sempat meneguk segelas air untuk membasuh kerongkongannya yang kering dan
lambungnya yang perih sebelum mengambil sarung di lemari.

Di masjid, orang-orang sudah ramai bersiap menjalankan salat asar. Nono datang tepat ketika imam
mengucapkan takbir untuk memulai rakaat pertama. Dia mengambil saf paling belakang bersama
tiga orang makmum lainnya. Mungkin memang benar adanya, ucapan tentang betapa manusia bisa
jauh lebih khusyuk tatkala dihimpit kesulitan. Tidak pernah Nono merasakan betapa jernihnya
bacaan imam salat sebagaimana kali ini dia merasakannya. Setiap ayat terasa menghentak ke dalam
sanubari dan mengingatkan dirinya pada dosa-dosa kecil yang dahulu ia perbuat. Setiap takbir
mengingatkan dirinya pada kemalasan-kemalasan Nono untuk mendirikan salat atau berpuasa di
bulan yang wajib. Dan sekarang dia tanpa rasa malu menghadapkan wajahnya kepada Tuhan untuk
meminta pertolongan. Sungguh, Nono tidak bisa menahan lelehan air mata yang mengalir dan hanya
sanggup menahan isakannya agar tidak terdengar.

Selepas salam, Nono tidak langsung berhambur ke luar, tetapi memilih untuk memperpanjang
munajat dan salawat. Dia mengingat kembali hafalan-hafalan tasbih pembuka pintu rezeki dan
pelancar hafalan untuk belajar. Amalan-amalan yang dahulu ia gunakan secara rutin agar bisa lulus
ujian masuk kuliah melalui program Bidik Misi. Satu per satu jamaah meninggalkan masjid mewah
berlantai marmer tersebut. Masjid makin lengang dan Nono pun makin terlarut dalam wiridnya.
Hatinya kukuh memohon bantuan dari Yang Maha Kuasa. Dia menawarkan janji kepada Tuhan
bahwa jika Dia menolongnya kali ini, tiada satu hari pun akan terlewati melainkan salatnya akan
ditunaikan.

Hingga jam masjid berdenting, Nono akhirnya membuka mata. Sudah dia pasrahkan masalah uang
dan perutnya yang kelaparan kepada Yang Maha Kuasa. Apapun keputusan-Nya, dia sudah siap.
Setelah mengecup lantai tempatnya bersujud, Nono bangkit dengan perasaan yang lebih ringan. Dia
melihat seluruh jamaah telah pergi dari dalam ruangan. Tidak ada seorang pun, bahkan marbut yang
biasanya selalu berjaga di sudut mesjid, tampaknya hilang entah ke mana. Hanya ada sebuah kotak
amal transparan yang berisi cukup banyak uang infak di sana. Terbuka dan tidak terkunci.

Waktu seperti membeku, kesenyapan seakan menyelubungi seluruh bagian masjid, dan semua tirai
serta pintu bagai tertutup bagi orang-orang di luar. Hanya satu sudut itu yang terbuka, itu pun hanya
bagi mata Nono seorang. Ah, apalah ambo ini. Masa iya Tuhan menolongku dengan cara seperti ini?
Ucapnya dalam hati. Sanubari itu tidak menjawabnya kembali, bergeming dan memuntahkan
keraguan pada dirinya sendiri. “Iya kan? Tuhan? Iya kan?” lirih Nono.

Dengan langkah yang ragu, Nono berjalan ke arah pintu. Dia menggelengkan kepala dan tersenyum
sinis kepada dirinya sendiri. Merutuki pikiran keji yang tadi melintas di benaknya. “Nono … Nono …
tolol ambo kalau berpikir begitu,” lirihnya lagi. Namun, langkah-langkah itu justru makin melambat
sampai betul-betul berhenti di muka pintu. Jantungnya berdegup berkali-kali lebih kencang dan
keringatnya menetes lebih deras. Nono bimbang melihat dari jarak sedemikian dekat bahwa kotak
amal itu berisikan lembaran-lembaran merah dan biru tanpa ada penutup di atasnya. Tidak terkunci.
Si marbut pasti lupa menutupnya kembali, begitulah dugaannya, meskipun sesungguhnya ia tidak
peduli dengan apapun alasan dibalik hal tersebut.

Yang Nono pedulikan sekarang adalah keberadaan orang-orang. SIapa pun tolong munculah! begitu
permohonan itu ia utarakan, tetapi dengan harap-harap cemas. Ditengoknya ke belakang, mimbar
dan mihrab, kosong; dilihatnya ke serambi, juga sepi; Tuhan?! … Inikah jawaban-Mu? Nono
menyeret kakinya perlahan ke arah kotak amal. Makin dekat, makin gelisah terasa. Satu langkah di
hadapan kotak itu, dia terpaku. Tatkala telinganya memastikan bahwa tidak ada langkah manusia
yang berderap maka ia berjongkok. Nono menelan ludahnya melihat gunukan uang itu tergeletak
begitu saja.

Sementara tangannya meraup serampangan uang dari dalam kotak, Nono mengedarkan
pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Baru saja ia memasukkan lembaran itu ke sakunya ketika
derap sandal dari serambi depan kian terdengar. Panik! Nono mengeluarkan dan memasukkan lagi
duit di sakunya kembali ke dalam kotak. Matanya tertumbuk pada sebuah penutup dari mika yang
pastilah penutup kotak amal tersebut. Dia menutupnya dengan segera lantas berdiri menjauh.

Ketika Nono keluar dan berucap salam, sang marbut, yang baru saja datang, menjawab salamnya
sambil terheran-heran. Ia tidak menyangka masih ada orang karena waktu asar sudah lewat jauh dan
magrib masih lama. Namun, Nono tidak memberikan kesempatan untuk sebuah percakapan karena
dirinya sendiri sudah begitu gemetar, entah karena ketakutan atau kelaparan. Dia menyunggingkan
senyum lantas pergi.

Di sebuah belokan, di samping rumah makan padang. Nono kehabisan tenaganya. Dia bersandar di
sebuah tiang listrik di depan rumah makan padang seraya mengamati angin musim kemarau yang
mengarak awan-awan di kejauhan. Langit sekarang sudah menjingga keemasan. Lantunan salawat
dari masjid ujung jalan pun telah membahana tanda marbut tadi tidak memperkarakan atau
mungkin tidak tahu ada perkara apa yang terjadi selama ia belum datang. Satu-satunya perkara yang
Nono kini hadapi hanyalah perut yang keroncongan.

Kemudian, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal di kantong bagian dalam. Nono merogohnya
perlahan. Selembar uang 20 ribu itu pastilah tertinggal karena tadi terburu-buru mengembalikan
gumpalan uang lainnya. Lama sekali dia memandanginya dengan bimbang hingga seorang penjaga
warung mendekat dan menanyakan menu yang hendak ia pesan. Nono menengadah ke arah langit.
“Saya makan di dalam saja Da,” pungkasnya kepada penjaga warung.

Anda mungkin juga menyukai