JIT adalah filosofi manajemen Jepang yang telah diterapkan sejak awal tahun 1970an di banyak organisasi
manufaktur Jepang. Ini pertama kali dikembangkan dan disempurnakan di pabrik manufaktur Toyota oleh Taiichi
Ohno sebagai sarana untuk memenuhi permintaan konsumen dengan penundaan minimum (Goddadrd, 1986).
Manajemen JIT memiliki tingkat aspek budaya yang tinggi yang tertanam dalam pengembangannya.
Heiko (1989) telah mengemukakan beberapa karakteristik budaya Jepang yang relevan yang mungkin terkait dengan
JIT sebagai berikut.
1. Manajemen JIT memungkinkan organisasi untuk memenuhi permintaan konsumen tanpa memandang tingkat
permintaan.
2. Tingkat selang waktu antara kedatangan material, pemrosesan, dan perakitan produk akhir ke konsumen
diminimalkan dengan teknik produksi JIT.
3. JIT memungkinkan pengurangan persediaan bahan mentah, barang dalam proses, dan barang jadi.
Dengan demikian, konsep ini tidak hanya memberikan tanggung jawab mutu kepada pekerja tetapi juga
mencocokkan tanggung jawab tersebut dengan wewenang untuk berbagi fungsi pengendalian mutu sehingga
permasalahan mutu dapat terungkap dan diselesaikan dengan cepat.
1. JIT sederhana dalam teori, namun sangat sulit diwujudkan terutama dalam manufaktur.
2. Salah satu alasan utama banyak perusahaan enggan menerapkan JIT adalah dengan ketiadaan barang dalam
proses, disertai kekhawatiran seluruh proses produksi akan terhenti bilamana suatu masalah muncul pada salah
satu rantai proses produksi.
3. Perusahaan yang hendak menerapkan JIT hendaknya terlebih dahulu menghilangkan seluruh hal yang berpotensi
menjadi penyebab kegagalan system.
4. Inti utama dari sistem JIT adalah para pegawai yang sangat terlatih dan senantiasa mampu memenuhi tuntutan
untuk mencapai standar kualitas produk barang/jasa tertinggi.
5. Bilamana seorang pekerja menjumpai masalah pada komponen produk yang diterimanya, maka pekerja yang
bersangkutan berkewajiban untuk segera melaporkan hal tersebut pada atasannya agar segera dapat diambil
tindakan yang diperlukan.
20XX Gwenchanayo?! 8