Anda di halaman 1dari 63

DIARY TEORI PASCAKOLONIAL

DAN POLITIK KEBUDAYAAN KONTEMPORER

Nur Wasilah / F1D016026

Prolog

Lemah! Kadang aku menyeru pada diriku sendiri. Sebenarnya ada suatu

hal yang ingin aku ceritakan pada-Mu. Meski aku tau, tanpa aku menceritakan

pada-Mu, Kau pasti telah mengetahuinya. Seraya kuangkat kedua tanganku dan

kutundukkan kepalaku, aku sempat berucap bahwa aku akan setia pada-Mu.

Bukan apa apa, terkadang aku merasa aku tidak adil pada-Mu. Namun Allah.. Kau

tau kan aku adalah gadis yang sangat perasa? Meski kebanyakan orang tau aku

adalah perempuan yg tegar dan kuat. Kadang aku ingin seperti mereka, tetapi aku

tau... Setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Dan semua hanya sawang

sinawang. Namun Allah.. Aku juga ingin seperti mereka. Yang tidak perlu

memikirkan uang makan, buku, fotokopi, uang internet, biaya hidup, kebutuhan

orang tua, sampai biaya-biaya kecil. Apalagi di sini kondisiku semakin melemah.

Daya tahan tubuhku semakin menurun. Kebutuhan semakin banyak. Akademik

semakin ruwet. Amanah di masjid semakin besar, melayani jamaah harus,

organisasi jg harus jalan. Aku ingin masa bodoh dengan semua ini. Namun tidak

bisa.

Aku lupa kapan terakhir kali aku menerima uang dari kedua orangtuaku.

Aku bukan mengeluh. Aku justru sangat bersyukur. Tp jika aku membayangkan

rutinitasku sebelumnya, aku benar-benar lelah. Allah.. Kau menyaksikan sendiri


bukan. Dari waktu subuh hingga waktu suruk aku di masjid. Selekasnya aku di

kampus. Dan di sela-sela itu aku mengerjakan pekerjaanku untuk cari uang. Dan

aku menyaksikan teman-temanku tertawa bahagia tanpa beban. Yaa... Aku ikut

mereka. Aku seolah tertawa. Seolah baik-baik saja. Dan belum lagi jika ada

agenda UPM.. Ngajar.. MTC.. PGTPQ.. Allah Yaa Fath. Nikmat sekali. Jam 6

sampai jam 8 di masjid. Jam setengan 9 mulai kerjakan tugas-tugas. Jam 00.00

ngerjain artikel buat kerja. Dan aku sering berpikir.. Allah, ketika teman-temanku

sedang pulas tertidur, aku terjaga untuk mendapatkan uang dan banting tulang.

Kadang aku ingin tertawa.. Sebenarnya.. Posisiku itu sebagai apa. Mahasiswi kah?

Pelayan jamaah kah? Seorang pengajar kah? Santri kah? Atau seorang pekerja

writer kah? Hahaha..

Kadang aku marah pada mereka yang masih malas kuliah. Yang TA. Yang

tidak serius. Padahal orang tua mereka sangat mendamba-dambakan dan

membanggakan mereka di rumah. Aku selalu ingat... Apa yang kita lakukan pada

orang tua kita kini... Akan dilakukan oleh anak kita pada kita suatu saat nanti.

Jangan kecewakan mereka. Ketika kau mulai merasa lelah dan ingin menyudahi

perjuanganmu...ingat! Masih ada 2 org yg menggantungkan harapan mereka di

pundakmu.

Dan ingat!!! Orang yang sukses adalah ia yang bangun ketika yang lain tidur. (A.

Heru Santosa).
Dimanapun kalian berada, selalu lah junjung tinggi nilai kejujuran. Karena

kejujuran akan mengantarkanmu pada kemuliaan. Semoga kita bertemu lagi

dalam keadaan yg lebih baik. (Chusnul)

....,....................... Setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Aku hanya

perlu bersyukur. Aku bukan anak orang berpendidikan tinggi. Aku bukan anak

orang yang berada. Aku bukan anak dari orang yang berpangkat. Tidak ada yang

bisa kuandalkan dari itu. Bukan suatu masalah. Aku harus mengandalkan

kualitasku. Maka dari itu aku selalu upgrade diri. Dan aku selalu berusaha untuk

itu. Karena aku punya dua hal yg sangat menguatkanku... Yaitu... ALLAH....

dan.... YAKIN !!!!!

Aku akan melibatkan-Nya dalam segala urusanku. Allah Tujuanku.. Allah

Ghaiyyatunaa...
Jumat, 02 Maret 2018

Perkuliahan Pertama

Jeng… jeng..!! Masuk ke suasana baru di semester ini!! Perkuliahan

bersama Miss Ana dimulai lagi. Heran banget dah, tidak ada semester terlewati

tanpa Miss Ana. Bukan apa-apa sih, apa Miss Ana nggak bosen ketemu sama aku

gitu? Mungkin udah terpatri juga sih dalam pikiranku kalau mata kuliah yang

dimpu oleh Miss Ana adalah mata kuliah yang cukup menguras pikiran. Seperti

mata kuliah yang satu ini. Sungguh! Setelah mata kuliah Metodologi Ilmu Politik

(MIP) semester lalu yang cukup mantap dicaplok di semester 3, kini ada mata

kuliah yang namanya panjangnya bukan main. Ya kali… bayangin yak, mata

kuliah mah mentok-mentoknya 3 kata lah ya, misalnya Metodologi Ilmu Politik,

Pengantar Ilmu Politik, dan sejenisnya. Lah ini.. nama mata kuliah aja 6 kata. Tau

nggak ada berapa suku kata? DUA PULUH DUA SUKU KATA cuyyy…

Eduuunn.. Nyebutin mata kuliahnya udah kayak orang lagi ngerap dah. Nih.. TE

O RI PAS CA KO LO NI AL DAN PO LI TIK KE BU DA YA AN KON TEM

PO RER. Itung sendiri tuh cuy, bener kagak ada 22 suku kata. Baca sekali napas

bisa nggak tuh? Haha. Baiklah, untuk menyingkatnya, sebut saja ini mata kuliah

TPPKK. Asli dah! Nggak ada bedanya, itu aku ngetik singkatannya bener-bener

mikir banget. Intinya mah kalau aku bilang mata kuliah ini tuh yak namanya mata

kuliah Miss Ana. Gitu deh. Adahhh….

Aku tuh bener-bener bertanya-tanya, sebenernya mata kuliah TPPKK itu

seperti apa sih. Kalau diliat dari namanya, aku tuh ngira kalau mata kuliah ini ya
kayak membahas mengenai koloni-koloni gitu lah. Eduuun.. koloni? Setau aku

koloni itu ya koloni bakteri. Haha, satu kata yang memiliki dua arti nih. Gatau

nanti gimana aslinya nih mata kuliah. Di pertemuan awal mata kuliah ini sih tadi

udah sedikit nyinggung gimana itu TPPKK. Ya nggak heran lah gimana

pembawaan Miss Ana, asik gitu. Miss Ana itu nampilin power poin yang isinya

itu seputar gambaran TPPKK dan tujuan-tujuan.

Miss Anda tuh menyampaikan kalau biasanya atau di tahun-tahun

sebelumnya tuh TPPKK ada sekitar 3 tugas. Tugas-tuganya itu ya ini salah

satunya, yang lagi aku tulis, diary. Adahhh! Gak bosen-bosen apa yak Miss Ana

ngasih tugas diary. Bagus sihh sebenrnya ketika suruh mereview dengan bahasa

sendiri. Eh bukan bahasa sendiri juga sih, maksudnya dengan penjelasan sendiri,

kan jadinya mudah untuk dipahami. Tapi tuh bahayanya kalau nggak paham pas

perkuliahan dan pas bikin diary pasti klabakan, haha, nggak bisa menjelaskan apa

yang seharusnya dijelaskan. Semoga aja itu nggak terjadi sama aku. Pokoknya

aku tuh tadi bener-bener memantapkan dan meyakinkan diri bahwa akku pasti

bisa melampaui mata kuliah yang panjang banget namanya ini. Tugas yang

lainnya itu berupa review dan menjawab pertanyaan dalam bentuk essai biasanya.

Nam tadi tuh Miss Ana bilang kalau dosen pengampu mata kuliah yang

berkolaborasi dengan Miss Ana adalah Pak Luthfi Makhasin. Tau lah siapa beliau.

Banyak dosen yang menyebutnya sebagai perpustakaan berjalan. Bahkan Bu Sofa

juga menyebutnya demikian. Haha. Maklum lah, dosen keluaran luar negeri, itu

buku bacaannya udah buanyak banget dan ngelotok di luar kepala. Haaa? Di luar

kepala? Gimana ceritanya? Wkwk.


Intinya mah Miss Ana nitip pesen ke kita kalau jangan kaget ketiga diajar

sama Pak Luthfi. Jangan kaget sama tugas-tugas yang diberikan sama beliau.

Karena tugas Pak Luthfi adalah tugas ekstrem yang berkelanjutan, yaitu review

bacaan tiap pertemuan. Bhahahaha.. pengin ngakak aku! Lah Miss Ana bilang

begitu, beliau nyadar gak sih, beliau juga gitu kan, review tiap pertemuan. Malah

dari semester satu. Kalau semisal Miss Ana bilang jangan kaget, yaaahhhh

ngapain harus kaget. Tugas diary ini sudah membuat hidupku menjadi sangat

putih abu-abu. Haha. Bagaimana tidak? Di tengah malam yang sunyi ini, melek

denger suara keyboard laptop yang kuketik sambil membayangkan perkuliahan

hari ini. Halah.. so penat sekali kan bung? Haha. Miss Ana dosen terunceh lah

pokoknya.

Tadi tuh pas di power point ada beberap tujuan adanya mata kuliah

TPPKK ini. Hal ini sebenernya penting banget buat disampaikan ke mahasiswa,

dan Miss Ana pasti selalu melakukannya. Namun kadang nggak semua dosen

begini. Kadang langsung aja nyrobot ke kontrak belajar membahas bab apa aja

yang bakal dibahas nantinya. Kan kalau misal kita tau tujuan mata kuliah ini,

tentunya bakalan ngerti gitu, nanti gunanya buat apa, setelah dapet mata kuliah ini

diharapkan bisa ngapain, nah gitu lah intinya. Coba aja kalau nggak disampein

tujuannya, kan yak bertanya-tanya (Kalau yang Tanya) sebenernya ini mata kuliah

buat apa sih. Gitu kan yak? Iya nggak sih? Asal kuliah dan dapet nilai aja gituh?

Helloww… lu pikir hidup ini cuman sekadar tentang nilai. Nggak bung!! Tujuan

itu perlu. Gini nih tujuan dari mata kuliah TPPKK.


Pertama, mata kuliah TPPKK ini tentunya salah satu cara untuk

mengembangkan pengetahuan mengenai ilmu politik. Karena perlu diketahui

bahwasanya politik itu nggak hanya cuman menyangkut tentang negara,

demokrasi dan lain sebagainya. Intiya mah ruang lingkupnya luas, dan pikiran kita

nggak boleh stuck di satu ruang aja. Makanya, kalau bisa tuh yaa.. sejarah atau

masa lalu itu dikaitkan dengan yang terjadi sekarang. Karena begitupun dengan

TPPKK ini. Semua pasti memiliki implikasi antara sejarah dengan masa kini.

Dengan adanya TPPKK maka pengetahuan ilmu politik akan terus berkembang

dan berkembang. Paham nggak tujuan yang ini? Aku mah ngerti. Nggak tau deh,

yang baca diaryku paham atau enggak tulisanku. Wkwk. Maafin ya Miss.. ini

udah malem, ngantuk. Kalau banyak yang typo ya maafin deh, maklum. Manusia

tak pernah luput dari kesalahan. Yang penting substansinya nyampe deh. Maafin

ya Miss.. Ini kan diary, bukan scientist paper kan? Haha, so selow gapapa kali

yak.

Tujuan yang kedua adalah untuk memahami dan mengidentifikasi tema

secara umum dan signifikansinya dalam ilmu politik. Nah ini nih, penting banget

buat dihayati. Karena kebanyakan kajian politik itu semata-mata menyangkut

negara, masyarakat, partai politik, dan sejenisnya, maka TPPKK ini hadir sebagai

salah satu perantara untuk memahamkan tema secara general atau umum. Dan

tentunya antara kajian ilmu politik yang tadi udah aku sebutin, ada signifikansinya

dengan TPPKK. Nanti nih, kalau udah masuk ke materi, pasti tuh tau dan paham

gimana signifikansinya. Makanya, aku bertekad buat terus memahami materi

TPPKK ini. Mudah-mudahan si aku bisa mengikuti, so ntar nggak klabakan.


Kalau udah dapet mata kuliah TPPKK nanti diharapkan bisa ngerti maksud atau

ruh dari materi TPPKK ini. Jadi, kalau misal udah paham otomatis kan mau

disangkutin dnegan apapun, mau diimprovisasi gimanapun dengan kajian lainnya,

bisa nyambung kan. Nah, itu tujuan yang kedua.

Trus buat tujuan yang ketiga itu, nanti mahasiswa bisa menjelaskan tema

pokok yang jadi landasan dari TPPKK. Nah TPPKK itu kan sebenernya ada dua

pokok pembahasan tuh. Apa aja hayooo.. Coba deh baca lagi nama mata

kuliahnya. Teori Pascakolonial dan Politik Kebudayaan Kontemporer. So? Pokok

pembahasannya ada apa aja?

Pascakolonial

TPPKK

Politik Kebudayaan Kontemporer

Adahh… mantap kali tidak bung? Nah, jadi diharapkan nanti tuh bisa

paham mengenai dua hal ini. Namun nggak hanya paham, karena harapannya juga

mampu menjelaskan dengan baik sesuai dengan pemahaman yang didapatkan.

Lah kan ilmu itu kan seharusnya didialogkan toh? Ini ilmu politik cuy! Bukan

ilmu kebatinan yang diempet sendiri. Haha. Percuma aja paham tapi kalau nggak

bisa menjelaskan. Nah lohh.. Makanya, konsentrasi dan fokus optimal dalam

memahami mata kuliah Miss Ana ini sangat perlu dilakukan.

Tujuan yang keempat adalah untuuk memahami konseptualisasi politik.

Dalam TPPKK tentu didasarkan atas konsep politik juga. Nah Miss Ana tuh

menggambarkannya dengan menggunakan konsep kekuasaan. Nah di sinilah ada


yang namanya konsep politik. Intinya mah dengan belajar TPPKK nanti jadi

semakin paham mengenai konsep politik lebih dalam lagi. Selain itu, dengan

belajar TPPKK itu nanti bisa paham signifikansi politik kebudayaan kontemporer

dalam kajian Pascakolonial melalui pendekatan kultural dan perkembangan

budaya kontemporer. Sebenernya kalau melihat tujuan yang ini, mahasiswa itu

diharapkan bisa kritis dan peka serta berpikir lebih dalam ketika mendapati suatu

fenomena. Maksudnya gini loh.. Mungkin kita sering menjumpai sesuatu yang

mana sesuatu itu dianggap biasa dan mungkin ya sering terjadi di saat-saat ini.

Namun kalau misal kita gali dan berpikir lebih dalam lagi dengan dasar kajian ini,

ternyata disana ditemukan banyak sekali kejanggalan dan ketidaksesuaian.

Misalnya aja adanya dominasi, adanya oposisi biner, dan lain sebagainya. Nah

loh, aku tuh tadi mikirnya begitu loh pas dijelaskan tujuan perkuliahan TPPKK

ini.

Tujuan TPKK yang lainnya itu adalah untuk menganalisis perkembangan

ilmu politik dalam kajian pascakolonial. Miss Ana bilang kalau ilmu itu pasti akan

selalu berkembang, termasuk juga dengan ilmu politik. Apalagi ilmu politik itu

adalah ilmu yang bersifat dinamis, karena fenomena-fenomena politik pasti selalu

berbeda-beda di setiap waktunya. Nah untuk menganalisis perkembangan ilmu

politik ini, bisa dianalisis melalui kajian Pascakolonial. Asik kan asik kan? Gatau

deh nanti. Kalau aku paham ya asik, kalau nggak paham jadi nggak asik deh.

Wkwkwkwk…

Terus kalau misal kontrak belajar mengenai bab dan materi yang akan

disampaikan, itu masalah gampang kata Miss Ana. Karena tadi tuh sebernya udah
ada plot materinya, tapi kata Miss Ana belum dirapikan lagi. Jadwalnya pun

masih ngikut tahun lalu. Tadi juga sempet dikasih tau bahan buku bacaannya apa

aja yang terkait TPPKK. Tapi duh gusti.. langsung pindah slide, nggak tau deh

apa aja. Haha. Nah yang paling mengejutkan dari TPPKK itu…. Mata kuliah

TPPKK tuh ya belum tentu didapetin di semua universitas strata 1. Bahkan pas

angakatan berapa gitu yak aku lupa tadi Miss Ana bilangnya.. mereka belum dapet

TPPKK. Edeww… aku bersyukur banget.

Hal biasa yang selalu dilakukan Miss Ana.. adalah launching nilai. Tau lah

ya gimana kalau launching nilai Miss Ana. Semua aib bisa terbongkar. Miss Ana

juga memperlihatkan launching nilai angkatan yang lain. Pokoknya seru lah.

Bikin mahasiswa naik darah dan pengin kelas segera selesai. Haha. Nggak Miss,

bercanda doing, tapi serius ding. Akhirnya tadi kelas bisa berakhir dengan rasa

penasaran. Penasaran bagaimana sebenernya mata kuliah ini.

Samapai bertemu lagi dalam jumpa… ENJOYABLE TPPKK !!!

Edeww.. Gak enak banget deh jargon kali ini. Nyebut mata kuliahnya itu loh..

kepanjangen.
Jumat, 9 Maret 2018

Pertemuan Kedua

Sebenernya, di pertemuan kedua kali ini aku nggak ikut mata kuliah Miss

Ana. Yaa Allah gimana mau ikut. Lah wong aku tepar tergeletak di rumah sakit

selama seminggu. Jadi sakitku itu berawal dari pas malem Sabtu. Hari Sabtu aku

ada lomba wall climbing mewakili kelas politik angkatan 2016 di acara Pekan

Olahraga dan Seni FISIP. Nah malam hari sebelum wall climbing itu aku dapet

job artikel dari Admin banyak, sekitar ada 15 artikel. Dan sebenernya itu udah

nabrak deadline. Seharusnya dikirim jam 23.00 dan pas itu aku nglembur sampai

jam 0.30 pagi hari. Itu kondisi badanku udah mulai krasa nggak enak. Aku

ngerasa dingin banget. Kepalanya mulai sakit dan nggak karuan rasanya. Jam

03.00 sampai subuh aku tidur. Harusnya pas subuh aku sholat di masjid, tetapi

berhubung aku udah pusing banget, aku sholatnya di asrama. Sekitar jam 6 pagi,

Nindya ke asramaku nganterin celana buat aku wall climbing tuh. Keningku kan

merah aku gosok-gosok, kata Nindya aku mending ga usah ikut aja, mending

istirahat. Aduh, sayangnya aku udah janji dan udah dichat terus sama panitia. Toh

aku juga lagi pengin banget wall climbing. Udah lama nggak manjat. Terakhir

manjat itu pas lomba wall climbing di SMA.

Kan udah tuh yak, aku berangkat kompetisi tanpa sarapan terlebih dahulu.

Ternyata lawanku anak KMPA (Komunitas Mahasiswa Pencinta Alam) semua.

Eduuun… Lah aku anak UKI? Haha bodo amat. Gini gini dulunya aku jadi

preman sekolah loh. Sekarang aja keliatan kayak ukhti ukhti. Kagak tau aja
dulunya aku gimana. Ternyata panjat tebingnya itu 6 kali. Buset, aku kira cuman

sekali. So, aku manjat dalam keadaan sakit. Dan Alhamdulillah cuman dapet juara

3 doang. Nah itu selesai duhur. Sedangkan aku udah ada janji sama Bu Sofa buat

bimbingan KTI jam 13.30 buat mapres. Nah pas aku balik ke asrama, aku

langsung tumbang dan badannya panas banget. Aku nggak bisa bangkit sama

sekali. Aku ambil wudlu buat sholat pun udah nggak sanggup. Aku ngabruk di

lantai. Dan datanglah temenku. Aku langsung dipakein jaket dan dipakein kaos

kaki. Aku minta tolong mereka batalin janjiku sama Bu Sofa. Tapi ternyata sama

Bu Sofa nggak diangkat. Ya dengan terpaksa dalam keadaan yang drop banget,

aku ke rumah Bu Sofa. Udah tuh bimbingan, gatau deh paham atau enggak.

Intinya aku dibawain buku.

Ealah, ternyata aku lupa belum izin libur ngejob. Jadi jobku datang dan itu

ada 10 artikel. Adaaah!!! Siap-siap nglembur nih. Abis bimbingan aku balik

asrama dan aku langsung tidur. Aku udah nggak bisa apa-apa. Pas malemnya akuk

berusaha ngerjain job, itu dicicil sampai dapet 7 artikel. Itu nyicil sampai Minggu

pagi loh. Jadi tidurnya dikit-dikit. Nah aku udah nggak kuat banget dan pada

akhirnya aku tergeletak di lantai dan ibuku jemput aku sama paklikku. Akhirnya

aku dibawa pulang dan diopname. Tau nggak? Ternyata aku itu tipes sama

demam berdarah. Uwaww.. mantap. Padahal seminggu lagi ada presentasi KTI

sama wawancara buat mahasiswa berprestasi. Kata ibuku biarin aja, gausah mikir

dulu. Pokoknya kalau diceritain sampai aku bikin KTI dalam waktu semalam dan

aku presentasi Mapres dalam keadaan sakit, nggak bakal 50 halaman cukup deh.
Panjang banget ceritanya. Sebenernya aku bertekad buat lanjut seleksi mapres itu

karena nggak enak aja sama Pak Luthfi. Wkwkwkwkwk.

Dan aku ternyata juga ketinggalan banyak banget materi kulilah. Termasuk

mata kuliah TPPKK ini. Ealah pas aku di jurpol ketemu Miss Ana, masa Miss An

bilang, “Wasil kenapa kuliah kemarin nggak berangkat? Pokoknya kuliah

selanjutnya harus njelasin materi sebelumnya.” Lah kemarin sakit tau Miss. Dikira

aku maen apa gimana yak. Haha. Trus aku minta catetan temen sama suruh

njelasin tuh materi selama seminggu. Tapi pada nggak mau njelasin, katanya

bingung apa yang harus dijelasin. Huuu.. dasar yak!! Akhirnya aku cuman pinjem

catetan dan memahami tulisan temenku. Asli! Aku masih bingung dengan

catetannya. Setelah aku baca catetan temenku dan baca beberapa referensi dari

jurnal, ya sedikit-sedikit ada yang masuk lah. Jadi pertemuan kedua itu mbahas

tentang Pengenalan apa itu Postkolonial.

Ketika membahas mengenai Postkolonial, tidak pernah bsia lepas dari

colonialisme. Hadeuuhh, colonial itu kan yang penjajah itu bukan sih yak? JAdi,

sebelum berlanjut ke postcolonial, kolonialisme ini sebagai dasar yang harus

dipahami terlebih dahulu. Kolonialisme itu bisa diartikan sebagai tempat tinggal

yang ada di suatu negara baru, kumpulan orang yang ada dalam lokalitas baru,

dan mereka berkomitmen untuk membentuk suatu komunitas yang baru, yakni

komunitas yang terbentuk dari penduduk asli atau keturunannya, sepanjang

hubungan negara asal tetap terbentuk atau terjaga. Nggak cuman itu, kolonialisme

juga bisa diartiken sebagai penaklukkan dan control tanah baru milik orang lain.

Intinya mah disini ada yang namanya hegemoni sesuatu terhadap sesuatu. Iya
nggak sih? Coba aja deh pahami kalimatnya. Menurutku itu sih udah cukup jelas

buat menggambarkan kolonialisme secara umum.

Sebenernya kan materi kolonialisme ini udah pernah didapetin kan di

jenjang pendidikan sebelumnya. Namun emang ruang lingkupnya udah berbeda

sih. Tapi terlepas dari itu setidaknya aku udah punya dasarnya lah, meskipun

masih dibilang abal-abal banget. Untuk memudahkan memahami mengenai

kolonialisme, bisa ngliat contoh ini nih.

Amerika menjadi negara koloni Inggris.

Ini berarti Amerika ini menjadi negara penjajah Inggris, Inggris dijajah

oleh Amerika. Nah gitu. Penjajah terbesar itu adalah Portugal dan Spanyol. Ini

jika dilihat dari sejarah yang sudah ada. Nah Spanyol dan negara-negara penjajah

yang lainnya juga memiliki proses kolonialisme masing-masing.

Spanyol => Spanyol melakukan penjajahan dengan cara mengambil emas sebesar-

besarnya dan meninggalkan penyakit.

Perancis => Perancis melakukan penjajahan dengan cara berdagang. Kemudian

dari proses perdagangan itulah kemudian ia melakukan penguasaan.

Inggris => Inggris menjajah dengan cara mencari tanah baru, mencari rumah, dan

tidak akan merusak.

Kalau pengin lebih jelas dan paham lagi mengenai kolonialisme ini, maka ada

cara yang sangat asik. Nonton film asik nggak sih? Aku mah nggak suka nonton
film, kecuali film horror. Haha. Jadi, bisa tuh nonton film Far and Away buat

memahami materi kolonialisme.

Selain kolonialisme juga perlu memahami akan imperialisme.

Imperialisme itu dihubungkan dengan perkembangan khusus kapitalisme. Tetapi

apbila imperialis sama dengan sistem ekonomi yang menekan dan mengontrol

pasar, perubahan colonial tetap saja tidak mempengaruhi. Pada dasarnya,

kolonialisme itu memiliki frame yang sama. Perbedaan antara kolonialisme dan

imperialisme adalah dalam hal objek tujuannya. Kolonialisme itu penjajahan

dengan tujuan menguras sumber daya secara habis-habisan. Nah kalau

imperialisme itu menjajah tapi tujuannya dengan menanamkan pengaruh di

seluruh bidangn kehidupan di dalam negara yang dijajah tersebut. Intinya begitu

lah. Semoga aja paham. Gini aja deh, kasih contoh. Contoh kolonialisme tuh misal

Inggris menjajah Indonesia dengan sistemnya culture stelsel atau tanam paksa.

Nah tanam paksa ini bertujuan untuk merampas tanaman kopi. Nah kalau yang

imperialisme itu misalkan adalah penyebaran agama Kristen di Indonesia oleh

Belanda. Itu lah intinya mah.

Kalau pengin lebih paham lagi mengenai kolonialisme dan imperialisme,

bisa nih memahami melalui dua pendekatan ini. Biar lebih gampang dibagi-bagi

aja ya dibawah ini, biar nyantol juga di otak. Karena aku nggak berangkat. Wkwk.

Pendekatan Ekonomi Politik

Kalau misal dilihat dari pendekatan ekonomi politik tuh ya, kolonialisme dan

imperialisme itu cenderung dipandang sebagai gejala ekonomi. Nah kalo kayak
gini kan akibatnya jadi hal yang sering dipersoalkan itu merupakan fakta tentang

kekuatan arus modal yang nggak menguntungkan buat negara periferi. Intinya

mah tentang modal, modal, dan modal, sehingga negara-negara yang nggak

termasuk negara sentral jadi rugi.

Pendekatan Pascastruktural

Kalau dari pendekatan ini, kolonialisme dan imperialisme itu bisa diliat sebagai

gejala sosial yang beroperasi menggunakan strategi yang begitu halus, misalnya

aja melalui pencekokan pengetahuan dan sistem gagasan yang dibuat oleh

pemerintah colonial kepada kaum peribumi. Kalau dalam hal ini nih ya, masalah

superioritas pengetahuan dan raas jadi tema yang dipersoalkan.

Selain itu, di pertemuan kedua ini dijelaskan juga mengenai teori Literatur

Postkolonial. Teori ini sesungguhnya sudah muncul jauh sebelum nama

Postkolonial itu ada. Ini bisa dikatakan sebagai dampak dari adanya kolonialisme.

Nah literature ini merupakan hasil dari interaksi antara budaya imperialisme dan

kompleksitas budaya peribumi. Nah kemudian terjadi yang namanya praktik

berbagai macam budaya yang berbeda. Dan kalau misal kita jeli lagi nih ya,

praktik kolonialisme itu nggak pernah berakhir, bahkan di Indonesia itu sendiri.

Dan sebenarnya kalau misal kita ngomongin pascakolonial itu sebenernya bukan

masalah waktu, tapi sebenernya itu kritik terhadap kolonialisme. Bukan karena

ada kata “pasca” nya, jadi nanti ngiranya pascakolonual itu sesudah zaman

kolonia. Bukan gitu yak. Ingat!


Nah sebenernya kalau buat memahami ini tuh ya, ada yang namanya

konsep kunci. Ada banyak banget yang perlu dimengerti kalau pengin paham

sama yang namanya materi TPPKK ini. Ada universallity and difference,

representation and resistance, postmodernism and postcolonialism, nationalism,

hybridity, ethnicity and indigenous, feminism and postcolonialism, language, the

body and performance, history, place, education, serta production and

consumption.

Tapi sebenernya ini tuh nggak dibahas semua. Namun untuk beberapa dari

yang udah disebutin katanya nanti ada pembahasannya tersendiri. Benarkah

demikian? Mari kita lihat di diary selanjutnya.

Sampai bertemu lagi dalam jumpa….. ENJOYABLE TPPKK !!!


Jumat, 16 Maret 2018

Pertemuan Ketiga

Nah di pertemuan ketiga ini sebenernya merupakan pertemuan kedua

bagiku di mata kuliah ini. Dan posisiku baru sembuh dari sakit. Dan tau nggak?

Pas masuk kelas Miss Ana tuh ya.. Miss Ana bilang selamat karena bisa dapet

mapres 3. Katanya tahun depan suruh ikut lagi. Aduh, kalau kasus teparnya sama

mah ogah banget ikut ginian. Ah tapi kan lumayan tuh dapet duit. Wkwk. Ditanya

juga tuh sama Miss Ana, kenapa nggak berangkat aku sama inggit. Lah Inggit kan

ke Sumatera, sedangkan aku sakit. Dan sebagai balasannya, aku suruh njelasin

materi yang sebelumnya. Dan aku njelasinnya sengarang-ngarangnya aja deh.

Intinya mah aku njelasin mengenai kolonialisme dan imperialisme. Terus aku

jelasin kalau pascakolonialisme itu pada dasarnya bukan zaman setelah colonial,

tetapi merupakan kritik terhadap colonial itu sendiri. Nah pas aku ngerasa udah

gak tau mau njelasin apa lagi, aku nyuruh Inggit buat gentian. Ealah, Inggit malah

nggak mau. Adahhh.. yaudah, akhirnya Miss Ana lagi yang angkat bicara.

Selanjutnya itu kata Miss Ana kita harus cari tau dulu mengenai ruhnya itu

ada dimana dan bagaimana. Wadah, ruh apaan ini Miss? Wkwk. Iya iya, intinya

cari tau inti sarinya itu apa gitu kan? Sebenernya kalau pengin tau tentang

pascakolonial, kita itu harus tau dulu mengenai alasan kenapa ada kajian

pascakolonial dan kenapa itu lahir. Semua itu sebenarnya berangkat dari adanya

praktik kolonialisme. Sebenernya ini itu mirip kayak yang pas pertemuan kedua

loh sepahamnya aku. Mungkin Miss Ana lagi review kali yak. Praktik
kolonialisme yang dimaksud itu contohnya kayak penjajahan di Amerika yang

dilakukan oleh 4 negara, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, dan Perancis. Alasan

mereka mengoloni itu tentunya berbeda-beda. Ada yang karena ingin berdagang,

ada yang ingin mencari tempat kependudukan baru, dan berbagai alasan yang

lainnya. Nah ini nih yang perlu dipahami dan harus bener-bener dikunci paten.

Kemudian dijelaskan mengenai dari bentuk ke Ras. Nah yang jadi

pertanyaan di sini adalah… hubungannya apa gitu loh sama kolonialisme? Nah di

sini tuh ada dua hal yang perlu diketahui. Pertama adalah Tekstual dan Linguistik.

Untuk bentukan sendiri, dia lebih ke literary form. Sedankan kalau ingin melihat

persamaan dan perbedaan, maka bisa dengan bentuk linguistic. Kedua adalah

From Text to Context, dari teks ke konteks. Dan ini merupakan ruh dari teks.

Dalam hal ini ambil contoh misal social form, itu kan ada wacana dan berita. Nah

yang membedakan bentuk wacana dan berita itu apa sih. Kalau pas Guvinda

jawab mah… berita itu…… adah gatau dah dia ngomong apa. Intinya mah kalau

setiap Guvinda ngomong pasti muter-muter, dan gatau intinya apa. Ngomong

segitiga segitiga gitu lagi. Ga paham ih dia ngomong apa. Jadi, berita itu adalah

fakta, sedangkan kalau wacana itu belum tentu fakta.

Terus Miss Ana lanjut lagi tuh njelasin mengenai kolonialisme. Kalau

misal mau ambil contoh di Indonesia pun bisa, misalkan adanya kuningisasi

golkar. Semuanya diwarnai jadi kuning, mulai dari tugu, jalan, pohon, dan

berbagai hal diwarnai menjadi warna kuning. Dalam hal ini berarti terjadi yang

namanya kolonialisasi oleh golkar. Kemudian apa aja sih contoh-contoh dari

pemikiran colonial? Nah kita sering nih menjumpai ini. Contoh dari pemikiran
colonial itu bisa berupa perspektif stereotyping. Dalam hal ini ada proses

kolonialisasi dimana daerah baru selalu terstereotip. Kalau misal mau dipahami

dengan bahasa lain lagi, kolonialisme itu merupakan dominasi terhadap sesuatu.

Atau kalau lebih ilmiahnya yak dominasi negara satu terhadap negara yang

lainnya atau sering disebut sebagai penindasan. Lah gini nih katanya Miss Ana.

Untuk mempermudah memahami lagi, kita analogikan gini aja deh. Dalam suatu

hubungan yang dijalani oleh sepasang kekasih, nah di situ tuh ada yang

mendominasi. Misalkan perempuan selalu mendominasi, apa-apa yang dikatakan

perempuan pasti dilakukan, dan sejenisnya. Kalau dalam contoh ini berarti juga

terjadi kolonialisasi. Di sini berarti yang jadi koloninya itu si cewek. Nah loh.. ati-

ati tuh yang punya pacar. Jangan-jangan terjadi kolonialisasi di antara kalian lagi.

Haha… Kok analoginya lucu yak.

Kalau untuk jenis dari kolonialisme itu sendiri sebenernya ada 4. Yang

pertama ada invasi kolonialisme, kedua ada settlement kolonialisme, ketiga ada

internal kolonialisme, dan yang terakhir ada neo-kolonialisme. Namun sayangnya

Miss Ana nggak njelasi secara detail mengenai 4 jenis ini. Karena kata Miss Ana

ini cukup diketahui aja, dan fokusnya kita sebenernya bukan di sini. Jujur nih ya,

tadi pas nyampe slide ini, aku tuh masih agak nggrambyang sama apa yang

dijelasin Miss Ana. Jadi di otak tuh belum DONE gitu loh. Rasanya tuh pengin

Miss Ana ngulangin lagi penjelasannya. Aku tuh sambil baca-baca materi

sebelumnya tau nggak. Aku tuh tipe anak yang kalau misalnya belum tuntas

ngertinya, kalau dilanjut juga nggak akan nyambung. Nah tadi tuh aku berusaha

buat pahamin sendiri dulu maksud yang dijelasin Miss Ana. Yang bikin aku
puyeng itu bukan bagian kolonialismenya, tapi yang bagian Dari Bentuk ke Ra

situ loh. Asli! Aku belum paham yang itu. Bukan belum paham juga sih. Jadi

gimana yak. Di otak tuh bisa nangkep, bisa menggambarkan, bisa

menganimasikan, tapi kalau suruh njelasin itu masih bingung harus gimana. Nah

padahal tujuan dari mata kuliah ini mampu memahami dan menjelaskan kan? Itu

tuh. Rasanya tuh kalau di otaku dah ngerti, tapi belum bisa mendialogkan, ya

sama aja. Tadi tuh aku terus memahami sambil Tanya ke temen sebelahku si

Inggit, diskusi sedikit sih. Alhamdulillah aku coba buat menjelaskan ya bisa,

meskipun gatau esok hari masih bisa mendialogkan ilmu ini atau enggak. Wkwk.

Setidaknya aku sudah berjuang untuk paham. Masalah hasil, biar Tuhan yang

menentukan. Tetewww !!!

Oke lanjut yak? Kolonialisme juga bisa tuh diawali dari yang namanya

migrasi. Migrasi ini menimbulkan adanya perbudakan. Jadi gini loh, ketika

penduduk itu migrasi ke suatu wilayah, mereka kemudian terdiskriminasi dan

tertindas. Oleh karena itu mereka diperbudak oleh penduduk asli. Misalnya adalah

fenomena yang ada di Amerika, yaitu kuli kontrak atau indentured servants. Dan

ini merupakan awal perbudakan yang ada di Amerika.

Pembahasan selanjutnya itu adalah mengenai Imperialisme Budaya. Nah

setelah tadi itu banyak mbahas masalah kolonialisme, sekarang kita pindah ke

imperialisme. Kadang kan kita dibingungkan dengan yang namanya colonial dan

imperial nggak sih? Tapi pas awal-awal udah dijelaskan kok mengenai keduanya

dan bedanya apa. Sekarang kita tinggal melanjutkan aja yak. Imperial sebenernya

berasal dari kata imperium yang artinya kekaisaran atau bisa diartikan sebagai
penjajah. Lah? Kok bisa? Kekaisaran kok diartikan penjajah? Nggak bisa gitu

dong. Hmmm, kalau dipikir-pikir iya sih. Kok kekaisaran disamain sama penjajah.

Eits, selaw bro. Kenapa itu bisa menjadi penjajah? Ada penjelasannya. Yangn

menjadi dasar dari imperialisme itu adalah budaya. Inget ya, budaya! Nah

sedangkan budaya itu bisa menjadi salah satu cara atau racun untuk menyebarkan

imperialisme itu sendiri. Sementara di kekaisaran itu kan budaya sangat

diutamakan. Dan semua harus mengikuti budaya kekaisaran. Nah itulah mengapa

arti kekaisaran dalam imperialisme itu diartikan sebagai penjajah. Can you get it?

Exactly !!!!

Di pembahasan Imperialisme ini ada dua sub pembahasan, yaitu mengenai

budaya dan neo-colonialism. Pertama adalah culture, yaitu definisi dari diri

sendiri atau orang lain yang didasarkan atas representasi pada realitas.

MASCULINE FEMININE

barat sebagai yang beradab, oriental sebagai penyelamat,

bermoral, cabul,

indusvious, malas,

rasional, takhayul,

demokratis irasional,

despotik
Menganggap yang termasuk dalam kelompok sendiri adalah yang secara

strukturalis dianggap bagus, sedangkan yang secara strukturalis dianggap buruk,

maka itu tidak termasuk dalam kelompoknya. Dalam hal ini terdapat yang

namanya oposisi biner.

SELF OTHER

Putih Hitam

Tinggi Pendek

Rambut Lurus Rambut Keriting

Mancung Pesek dan Lebar

Dll. Dll.

Kedua adalah pembahasan mengenai Neo-Colonialisme. Hal ini ada

karena adanya kekuatan ekonimi, satu budaya, dan dominasi dari kebuadayaan

lain. Ada yang namanya wacana kolonialisme, contohnya itu adalah orientalisme.

Misalkan lukisan, hijab, dan perbudakan. Nah pas ini tuh kita disajikan beberapa

gambar. Di gambar itu seperti ada yang namanya penindasan. Bangsa kulit hitam

yang dijadikan budak bangsa kulit putih, kemudian orang bercadar dan fullgar,

gadis kecil noni disandingkan dengan anak kecil berkulit hitam dan seperti

kekurangan gizi. Dengan melihat hal tersebut sangat terlihat dengan jelas yang

namanya neo-kolonialisme. Namun perubahan yang terjadi itu sebenarnya karena

memang itu adalah ideology atau cultural colony, budaya dari penjajah itu sendiri.
Jadi misal gini nih. Seseorang memakai cadar dan sekujur tubuh tertutup rapat,

apakah ini bukan suatu hasil dari kolonialisme? Padahal budaya local tidaklah

demikian. Nah ini contoh loh ya.

Miss Ana juga nyuruh lagi buat nonton film yang menggambarkan adanya

penindasan ini. Misalkan film Far & Away, Twelve Years A Slaves, dan Tetralogi

Pulau Buru. Perkualiahan pun selesai. Dan aku pun kini mengantuk. Baiklah, kita

lanjutkan di pertemuan mendatang ya.

Sampai bertemu lagi dalam jumpa…. ENJOYABLE TPPKK !!!


Rabu, 28 Maret 2018

Pertemuan Keempat

Akhirnya sampailah di pertemuan keempat. Sebenernya pertemuan

keempat tuh bukan hari ini loh, tapi tanggal 23 Maret. Jadi ini adalah kuliah

pengganti. Aku tuh jujur nih ya, sebenernya males banget tau kalau ada kuliah

pengganti. Kan jadi selesainya nggak sesuai jadwal. Pokoknnya aku nggak suka

deh. Kalau aku mah meskipun libur mending ditabrak sekalian aja. Dari pada

ngulur waktu, bete tau ih. Sebenernya selain karena waktunya semakin mulur, itu

jadinya materi yang sebelumnya udah dipahami jadi nggak diangetin gitu loh.

Padahal setiap pertemuan kan pasti review tuh suruh njelasin, kan kalau misal

dilompat satu minggu jadinya agak lupa lupa gimana gitu yak. Wkwk. Kan sebel

ih jadinya.

Nah pertemuan keempat ini mbahas masalah Pengetahuan dan Kekuasaan.

Perlu kita tau nih kalau materi Pengetahuan dan Kekuasaan ini sebenernya adalah

teori dasar dari Pascakolonial. Jadi mau nggak mau kita tuh dituntut buat paham

gitu loh. Sebenernya materi mengenai pengetahuan udah pernah dibahas di

semester satu, kekuasaan juga pernah di bahas di mata kuliah lain. Tapi kan kalau

di sini juga dijelasin mengenai signifikansinya juga sama pascakolonial, jadi lebih

jelas. Secara tradisional dan pemikiran awam itu, kekuasaan atau power diartikan

sebagai sesuatu yang bernilai negative, yakni bisa diartikan sebagai membatasi,

menolak, melarang, atau menyensor. Namun menurut Michel Foucault, kekuasaan

atau power itu diartikan sebagai sesuatu yang bernilai positif, dimana kekuasaan
itu mempu memproduksi pengetahuan, nilai-nilai atau norma sosial. Hal ini sering

disebut dengan New Insight. Dimana ada ketidakseimbangan kekuasaan, maka di

situ ada produksi pengetahuan. Misalkan gini loh, ada kesenjangan antara GOJEK

dan OJEK. Tau kan lah ya, kesenjangannya gimana. Nah kalau misal ada

ketidakseimbangan kekuasaan begini, pasti di situ ada yang namanya

pengetahuan. Apa hayo pengetahuannya? Pengetahuan di sini berarti adanya

perkembangan teknologi komunikasi. Dengan demikian juga menyebabkan

adanya perkembangan transportasi, sehingga yang berkuasa terhadap teknologi

tersebut bisa menguasai transportasi. Kesenjangan ini tidak hanya terjadi pada

driver, tetapi juga pada penumpang.

Nyataka kan yang namanya praktik kekuasaan nggak cuman ada di

lembaga-lembaga politik formal aja toh? Nah itu tuh yang harus kita pahami. Dan

ini nih yang mencirikan kajian pascakolonial. Yang namanya kekuasaan ya nggak

cuman ada di birokrasi, negara, dan sejenisnya. Ternyata di kehidupan sehari-hari

juga ada yang namanya praktik kekuasaan. Praktik kekuasaan ini bisa terjadi di

penjara, rumah sakit, sekolah, bahkan keluarga. Contohnya jika di sekolah,

mereka yang merupakan anak dari orang yang memiliki kedudukan atau memiliki

tingkat ekonomi tinggi, tentunya bisa lebih mengendalikan apa-apa yang terjadi di

sekolah. Ketika suatu pengetahuan itu diproduksi, kemudian disebarkan kepada

masyarakat, lalu direproduksi melalui buku dan diajarkan melalui lembaga

pendidikan, maka pengetahuan itu bisa menjadi norma sosial. Namun kini

pengetahuan itu bisa disebarkan melalui media.


Setiap masyarakat itu pasti punya rezim kebenarannya” masing-masing.

Rezim kebenaran itu mengklarifikasikan apa yang benar dan apa yang salah yang

diproduksi oleh orang-orang otoritatif dan diterima oleh masyarakat. Maksud dari

orang-orang otoritatif itu adalah tokoh masyarakat. Karena seperti yang kita tau

yak, kalau tokoh masyarakat itu memiliki kekuasaan dan memiliki pengaruh yang

besar. Sementara rezim kebenaran ini antara suatu masyarakat dengan masyarakat

yang lain itu tentu berbeda dalam menanggapi. Rezim kebenaran itu berupa

wacana atau discourse, yaitu sebuah ungkapan yang memiliki pengaruh tertentu.

Nggak cuman itu, rezim kebenaran juga memiliki koherensi dan kekuatan untuk

mengobrol. Yang namanya wacana itu sebenernya bisa mempengaruhi fakta.

Namun pertanyaannya, apakah fakta bisa mempengaruhi wacana? Nah ini tuh bisa

dianalisis melalui kasus Aksi Bela Islam 212. Karena di sini banyak sekali yang

namanya fakta dan hoax. Ada wacana mengenai Islam itu anarkhis, Habib Rizieq

itu ternyata buruk, dan lain-lain. Karena pada dasarnya wacana itu bisa bergeser

menjadi fakta.

Pembentukan wacana itu selalu dikontrol dan diorganisasikan oleh

sejumlah disiplin dan lembaga yang bertindak sebagai agen-agen yang

mendistribusikan berbagai kode perilaku dan prosedur sosial. Kalau misal mau

analisis kasus, maka cari tuuh siapa lembaganya dan siapa agennya. Dan

sebenarnya kita tuh hanya bisa berpikir tentang objek material dan dunia

seluruhnya melalui wacana. Tanpa adanya pengetahuan, kekuasaan tidak akan

mungkin dijalankan.
Menurut Mary Louise Pratt, otoritas colonial merasa perlu untuk

memproduksi informasi tentang negara yang dikuasainya. Yang jadi pertanyaan

itu, sebenernya siapa sih yang jadi otoritas colonial itu? Apakah eksekutif? Atau

apa? Yang perlu kita ketahui tuh ini nih. Bahwa yang namanya otoritas colonial

itu nggak Cuma ada di tangan Belanda, Inggris, dan negara yang lainnya. Namun

otoritas ini juga hidup di masyarakat kita. Dimana ada dominasi, maka disitu ada

otoritas. Menurut Mary, proses dalam memproduksi pengetahuan itu nggak

dilakukan melalui cara yang objektif, tapi juga melihat negara koloni itu

berdasarkan model atau klasifikasi pengetahuan Barat dan bukan berdasarkan

pengetahuan peribumi.

Sedangkan menurut Edward Said, ada 3 kajian orientalisme. Yang pertama

adalah kajian akademis mengenai timur dan barat. Kedua adalah perbandingan

koloni. Dan yang ketiga adalah emnciptakan stereotip dengan perbedaan ontology

dan epistemology barat dan timur. Misalkan adalah stereotip India dan Afrika

yang merupakan bangsa kulit hitam dan kucel. Menurut orang Barat, muslimah itu

wanita penggoda dan tukang selingkuh. Contoh lain adalah stereotip yang

menyatakan bahwa kaum timur itu sangatlah pemalas, imperialis

membenarkannya, dan hal ini membuat misi terhormat kemudian memperadabkan

kaum timur.

Sebenernya asik nih mbahas beginian. Nah pembahasan selanjutnya tuh

mengenai universality and difference. Dalam pembahasan ini nih, kita perlu tau

dulu yang namanya konsep universalitas. Universalitas ini merupakan ketertarikan

khusus yang dikaji oleh orang pascakolonial, termasuk Edward Said tuh, nah
konsep itu tuh menjadi homogeny, dari hakikat manusia mengenai karakter,

sampai-sampai mengesampingkan perbedaan. Etdah… edun ah. Asumsi

universalitas juga perlu dipahami, dimana adanya fitur dasar dari konstruksi

kekuasaan colonial. Nah dalam konsep universalitas ini, karakter mereka yang

memiliki kekuasaan politik colonial dibuat standardisasi. Merekalah yang mebuat

standardisadi akan universalitas. Enak yak jadi penguasa, bisa menyetir segala hal

sesuai keinginannya. Sebenernya dalam konsepan ini tuh ada yang namanya

bahasa. Karena bahasa itu adalah wacana kekuasaan atau dalam bahasa inggrisnya

language is a discourse of power. Bahasa ini bisa dijadikan alat oleh colonial

untuk berkuasa. Contohnya adalah Inggris. Inggris itu melakukan penjajahan atau

kolonialisasi. Nah negara yang dijajah inggris tentunya menggunakan bahasa

Inggris pula pada akhirnya. Dengan demikian maka bagi bangsa yang tidak

menggunakan bahasa Inggris, maka tidak dianggap bangsa yang beradab. Dalam

hal ini berarti inggris yang memiliki bahasa mampu berkuasa. Untuk itu, ini

disebut sebagai bahasa adalah wacana kekuasaan. Bahasa juga punya asumsi

sendiri. Karena bahasa itu dijadikan sebagai cara pandang untuk melihat dunia,

sejarah, dan lain sebagainya. Kalau misal nggak menguasai bahasa, maka akan

menjadi tertindas, dianggap bodoh, tidak punya pengetahuan, sehingga tidak akan

memiliki kekuasaan. Nah kan. Bahasa emang jadi wacana kekuasaan.

Pembahasan selanjutnya adalah mengenai representasi dan resistance. Ada

arena drama di sini, yakni drama hubungan antara kolonialisme dan examinasi

postkolonialisme, serta subvertion. Di dalam masyarakat kolonialisme itu ada dua

hal, yaitu kolonialisme dan postkolonialisme. Sedangkan kolonialisme itu


dimainkan oleh dua juga, yaitu coloni (penjajah) dan colonize (yang dijajah). Nah

di antara kolonialisme dan postkolonialisme ini ada yang namanya representasi

dan resistensi. Di dalam area keseluruhan ada ruang yang disebut sebagai arena

drama. Jika ingin memahami representasi dan resistensi, maka bisa dilihat dari

teori-teori atau teks pascakolonial seperti Tetralogi Pulau Buru. Teks-teks yang

dimaksud bisa seperti novel, puisi, film, musik, dan syair. Okay, ngantukk..!

Sampai bertemu lagi dalam jumpa… ENJOYABLE TPPKK !!!


Rabu, 04 April 2018

Pertemuan Kelima

Allahu akbar!!! Ini lama-lama jenuh serius deh bikin diary TPPKK begini.

Gimana nggak jenuh, aku job banyak banget, dan belum lagi tugas diary begini.

Wadah.. mantap jiwa deh. Di pertemuan kelima ini mbahas yang namanya

Postmodernisme dan Postcolonialisme. Nah kita tegasin lagi nih mumpung belum

jadi sarjana ilmu politik. Yang namanya postkolonialisme itu bukan berarti after

kolonialisme yak. Plis! Postkolonialisme itu ya sama aja proses kolonialisme itu

sendiri. Dan sebenernya, kolonialisme itu bisa dipahami dari kontak kolonialisme

pertama. Jadi, pas awal munculnya kolonialisme, postkolonialisme ya udah bisa

dipahami. Pascakolonialisme itu mampu menjadi sebuah diskursus konflik,

perlawanan, dan lain-lain, dimana kolonialisme itu hadir. Konflik yang dimaksud

di sini adalah konflik yang terjadi karena kolonialisme. Hal ini tentu saja

membangkitkan postmodernisme di Barat serta memunculkan kebingungan antara

postmodernisme dan postkolonialisme. Perlu diketahui bahwa proyek besar dari

postmodernisme itu adalah dekonstruksi dari yang central, besar, dan penting.

Contohnya adalah dekonstruksi narasi besar seperti halnya Islamisasi. Proyek dari

postmodernisme adalah dekonstruksi terhadap narasi besar. Sedangkan proyek

postkolonialisme adalah dismantling. Dan tujuan dari ini adalah untuk melihat apa

yang ada di dalam sehingga bisa membongkar struktur terpusat.

Fokus dalam hal ini adalah mengenai arti penting bahasa dan penulisan,

yakni teks. Karena metode yang digunakan adalah dekonstruksi. Selain itu juga
fokus pada strategi mimikri atau meniru, parody, dan juga ironi. Dalam hal ini,

ironi dalam bentuk paling ekstrem adalah Sarkasme. Dengan kesamaan fokus

tersebut, maka postkolonialisme bisa diartikan sebagai posrmodernisme dengan

sentuhan politik. Contoh dari kajian ini adalah Western Culture. Kalau dalam

masalah representasi tuh ya, di dalam teks postcolonial itu mengasumsikan

adanya dimensi politik yang begitu berbeda dengan profesiaonalitas. Sekrang

diterima sebagai dasar postmodernisme. Inget nih! Kata kuncinya adalah

Representasi.

Kalau misal ngomongin masalah representasi, ada juga nih yang namanya

Perspektif Subaltern. Pasti penasaran kan apa itu perspektif subaltern? Aku juga

baru denger pas itu sih. Taunya mah bukan subaltern, tapi subtema dan subjudul.

Haha. Subaltern itu sebenernya adalah perspektif nonelit yang ada di Asia Selatan.

Sejarah dari subaltern ini dituliskan kembali dengan cara mengkaji kaum-kaum

elit. Pertanyaan mendasar dari pembahasan ini adalah, siapa sih sebenernya

subaltern itu? Nah loh, bingung mbok? Subaltern itu adalah kaum strata terendah

di dalam masyarakat. Misalkan nih ada yang namanya kaum nonelit di colonial

India, yakni foreign elite. Kalau pengin tau lebih detail lagi mengenai subaltern,

maka bisa tuh baca bukunya Guha, yakni The Prose of Counte Insurgency.

Menurut Guha sendiri, perlawanan subaltern itu dianggap sebagai sesuatu

yang sangat melanggar hukum atau illegal. Dengan demikian maka ia tidak

diakui. Selain Guha, juga ada pendapat dari Spivak loh. Kalau menurut Spivak tuh

ya, Spivak bertanya, Can The Subaltern Speak? Dan perlu kita ketahui juga nih,
bahwa Spivak itu adalah Neo-Marxian. Spivak menggunakan distinci pernyataan

Marx mengenai petani atau peasantry. Lalu bagaimana masyarakat subaltern itu?

SUBALTERN :

- Oppresed => Tertindas (Secara ekonomi)

- Rendah pengetahuan, sehingga mereka tidak bisa menyampaikan apa yang

mereka inginkan.

Mungkin kelompok Subaltren ini bisa diartikan sebagai kelompok

marginal. Kelompok marginal dalam hal ini adalah kelompok yang diam dan

menerima nasib begitu saja. Namun dalam hal ini pun ternyata Marx masih

mendapat kritikan, bahwa di dalam masyarakat marginal juga masih terdapat

pembedaan, dimana petani juga masih ada petani laki-laki dan petani perempuan.

Dari keduanya, mana yang paling terbungkam? Yang paling terbungkam adalah

kaum petani perempuan. Contoh lain dari kaum subaltern adalah LGBT. Coba

perhatikan mereka. Mereka nggak bisa menyerukan suara mereka, sehingga

mereka hanya bisa bungkam saja.

Nah menjelang penutupan kelas dijelaskan mengenai Perpektif Spivak

Mengenai Subaltern. Namun ini lebih ke gelombang pemikiran dari Spivak itu

sendiri. Pertama, mempersoalkan subjek barat (peradaban barat) dan melihatnya

dengan teori strukturalis. Kedua, membaca tulisan Marx untuk melakukan proses

desentralisasi subjek (kaum petani) yang radikal. Ketiga, produksi intelektual

barat dijadikan dasar logika ekspansi ekonomi barat. Contohnya adalah ekspansi.

Keempat, menunjukkan bacaan budaya sati untuk menganalisis diskursus barat


dan kemungkinan untuk berkata atau berbicara bahwa subaltern itu ada pada

wanita.

Setelah dipahami, ternyata materi ini asik juga yak. Lebih asik lagi kalau

nggak ada tugas diary. Hahaha. Nggak ding. Bercanda. Tapi serius. Wkwkwkwk.

Sampai bertemu lagi dalam jumpa… ENJOYABLE TPPKK !!!


Jumat, 6 April 2018.

Pertemuan Keenam.

Oke baik teman-teman sekarang kita masuk ke pertemuan keenam.

Sebenarnya aku udah bosen banget sama mata kuliah TP PKK ini, tapi mau

gimana lagi? Mau nggak mau TP PKK Kini harus diselesaikan dengan tuntas.

Dan sekarang udah masuk pertemuan ke-6 membahas mengenai hibriditas. Tapi

kayak biasanya sih sebelum masuk ke materi Miss Ana itu pasti selalu yang

namanya review materi sebelumnya. Materi sebelumnya itu tentang subaltern,

yaitu kaum yang tidak bisa merepresentasikan keinginannya, sehingga mereka itu

terbungkam. Awalnya tuh Miss Ana tanya ke semua anak-anak di kelas, dan tidak

ada satupun yang bisa jawab termasuk aku. Kemudian misalnya menegaskan lagi

kalau subaltern itu adalah segala sesuatu yang membahas mengenai representasi.

Dan selanjutnya yang kami lakukan adalah menonton video yang nggak

jelas banget. Tahu sendirilah yaa.. disana .. gimana kalau Miss Ana menampilkan

video, pasti nggak akan ada satupun yang paham. Setelah menampilkan video

kayak biasanya Miss Ana pasti selalu tanya ke mahasiswanya apa yang dia

tangkap dari video yang udah ditayangkan. Ada dua video yang ditayangkan,

yang pertama adalah video tentang hujan yang nggak jelas pakai animasi kayak

gitu, dan yang kedua adalah video tentang identitas hibrid. Sebenarnya dua-

duanya sama-sama enggak jelas sih. Kemudian ada satu mahasiswa yang

menjawab mengenai video tentang hujan itu namanya Wine. Pada intinya video

itu menjelaskan mengenai perbaduan budaya atau akulturasi budaya. Nah ternyata
ini ada sangkut pautnya dengan materi hibriditas, dimana hibriditas ini adalah

percampuran dua budaya. Salah satu tokoh yang membahas mengenai hibriditas

adalah Homi K. Bhabha. Dia hidup di zaman abad 19an dan Iya biasanya

menggunakan pemikiran yang Marx sehingga dia disebut sebagai marxist atau

marxian.

Hibriditas atau percampuran ini kemudian disebar dan masuk ke berbagai

kajian, misalkan ada di kajian musik pop. Dengan demikian hibriditas ini menjadi

alat yang sangat berguna untuk menjadikan wacana yang sangat menakutkan, di

abad 18. Kalau misal belum paham tentang hibriditas, misalnya gini deh. Misal

ada dua kaum yaitu kaum Elite dan kaum non elite, di mana kaum elite itu adalah

kaum berkulit putih, dan kaum non elite adalah kaum yang berkulit hitam.

Sedangkan di antara kaum elit dan kaum non elite ada kaum yang bernama hibrid,

atau percampuran. Jadi kaum hibrid itu adalah kaum yang berada diantara dua

kaum tersebut, intinya yang ada di tengah-tengah lah. Jadi kalau misal salah satu

di antara kalian itu merupakan persilangan ayah dari suatu daerah dengan ibu di

suatu daerah yang lainnya maka kamu itu adalah kaum hibrid. Dan sebenarnya

manusia hibrid itu sangat memprihatinkan, karena ia tidak menonjol dan tidak

pula tenggelam, dia berada di tengah-tengah dan biasanya kaum hibrid itu tidak

dianggap ada.

Terus selanjutnya tentang Bhaha. Dia lahir pada tahun 1949 dan dia

mencetuskan konsep hibriditas, mimikri, perbedaan, dan kegundahan. Banyak

sekali teorinya yang membuat adanya perlawanan dari pihak lain. Dia juga

menyumbangkan idenya mengenai hibriditas dan ini banyak sekali menjadi


kajian-kajian di berbagai ilmu pengetahuan. Dia melihat dan menunjukkan

kolonialisme serta budaya yang ada di masa kini, bahwa ternyata kini masih ada

yang namanya penindasan terhadap kaum hibriditas Yang Tidak Dianggap.

Bhabha mengajarkan tentang akulturasi atau silang budaya. Sebenarnya yang

menjadi pertanyaan mendasar adalah Apakah kaum hibrid itu benar-benar

ditindas? Kemudian Baba mentransformasikan ide-ide kolonialisme nya dengan

perspektif pasca strukturalis. Kalau misal teman-teman masih ingat apa itu

perspektif pascastrukturalis, pasti bisa langsung nyambung deh dengan

pembahasan Bhabha ini, karena pembahasannya itu keren banget dan

pascastrukturalis banget. Kalau misal lupa sama perspektif pasca strukturalis buka

lagi materi di semester sebelumnya di mata kuliah metodologi ilmu politik.

Menurut Baba ada yang namanya perbedaan budaya dan ada yang

namanya keragaman budaya di mana keduanya itu memiliki arti yang sebenarnya

tidak sama. Jika keberagaman berarti yang disoroti disini adalah objek

epistemology, dimana budaya itu adalah objek yang didapatkan dari pengetahuan

secara empiris. Sedangkan perbedaan adalah suatu proses (yang bukan objek) dari

pengetahuan, bagaimana pengetahuan itu didapat, dan bagaimana kebudayaan

bisa menjadi mandiri. Biasanya dalam perbedaan budaya ini yang digunakan

adalah teori kritis, karena berorientasi pada ideologi dan nilai-nilai yang

menyebabkan adanya perbedaan nilai.

Nah terus setelah itu Miss Ana itu nyuruh kita buat nulis silsilah keluarga

di Diary. OK! langsung aja aku jelasin mengenai silsilah keluarga aku. Aku itu

lahir dari sepasang suami istri yang bernama Mistar dan Tuminah. Dan sebelum
masuk ke silsilah, aku pengen bilang kalau aku itu bukan manusia hibrid. Pengen

tahu kenapa? Karena ibuku dan ayahku itu ada di daerah yang sama, bahkan

mereka itu satu kompleks rumahnya. Hanya saja dari kecil Ibuku itu diasuh oleh

tantenya sehingga Ibu kenal Ayah ketika sudah dewasa. Ibu dan ayah itu menikah

ketika tahun 1990 pada bulan Januari dan aku itu lahir di bulan Desember tahun

1998. Aku adalah anak pertama mereka dan bisa dibayangkan mereka nunggu

kelahiran seorang anak selama kurang lebih 8 tahun. Coba aja kalau manusia yang

nggak kuat imannya pasti udah cerai deh dan rumah tangga udah berantakan

pastinya. Aku tidak memiliki kakak. Jadi, aku ank tunggal. Aku lahir di sebuah

rumah sakit umum daerah di Purbalingga dan aku lahir disesar.

Ibu tidak memiliki pekerjaan karena dia hanyalah seorang ibu rumah

tangga dan biasanya dia hanya mengurusi kebun yang ada di dekat rumah.

Sedangkan ayah tidak memiliki pekerjaan tetap. Dia adalah seorang buruh

serabutan, terkadang dia melakukan servis elektronik, bekerja sebagai tukang

bangunan, bahkan buruh serabutan yang lainnyapun dilakukan. Kalau melihat dari

keluarga ibuku yang mengasuh ibu, keluarganya memang berada, tetapi Ibu tidak

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi karena Ibu hanya

tamatan SD begitu pula dengan ayah. Jadi meskipun keluarga Ibu adalah keluarga

berada, tetap saja aku lahir dari orang-orang yang berpendidikan rendah dan aku

sama sekali tidak menyesalinya. Justru aku bangga dengan mereka karena mereka

memiliki semangat yang tinggi untuk bisa memberikan pendidikan yang setinggi-

tingginya kepada putri mereka. Aku bukan manusia hibrid. Dan aku tidak mau

tertindas, maka dari itu aku sangat semangat sekali dalam menempuh pendidikan
di ilmu politik ini. Aku sudah tidak memiliki kakek dan nenek. Kakek dan nenek

dari Ayah sudah meninggal ketika aku belum, lahir bahkan ketika Ayah masih

kecil. Nenek dari Ibu meninggal ketika usia ibu itu 18 tahun. Dan kakek dari Ibu

meninggal ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD dan parahnya aku itu tidak tahu

bahwa kakek yang meninggal itu adalah kakekku. Padahal ibu selalu mengatakan

padaku bahwa dia adalah kakekku, tapi aku tetap saja tidak percaya. Karena

kakekku itu memiliki istri dan dia bukan nenekku. Kakekku nikah lagi.

Dari kecil aku selalu semangat dalam belajar. Aku selalu ingin menempuh

pendidikan tinggi setinggi tingginya sampai akhir pendidikan yang tertinggi.

Itulah cita-citaku. Aku tidak peduli kalau orang tuaku berpendidikan rendah dan

mereka tidak memiliki pengetahuan, yang aku tahu mereka itu sangat semangat

dalam memberikan pendidikan kepada aku. Mereka tidak ingin anak mereka

seperti orang tuanya. Mereka ingin anak mereka sukses dan ingin melihat anak

mereka meraih cita-cita terbesarnya. Aku sekolah TK di RA Radadatull Athfal,

SD di SD Negeri 1 pepedan, SMP di SMP Negeri 1 Karangmoncol, dan SMA di

SMA Negeri 1 Purbalingga. Sekarang aku kuliah di jurusan Ilmu Politik

Universitas Jenderal Soedirman. Bertemu dengan nenek kakek ku saja aku tidak

sempat apalagi bertemu dengan nenek buyutku dan kakek buyutku. Itu tidak akan

mungkin itu terjadi kecuali jika kami dipertemukan di surga nanti. Berhubung ini

adalah mata kuliah TPPKK dan bab tentang hibriditas, jadi aku sudah

menjelaskan silsilahku dan aku tegaskan. disini aku bukan manusia hibrid. Haha..

Aku bukan manusia hibrid dan aku tidak akan tertindas dan tidak akan

membiarkan siapapun menindas aku dan keluargaku, meskipun kami tahu kami
adalah dari keluarga yang tidak mampu. Aku bukan manusia hibrid! Aku bukan

manusia hibrid! Aku bukan manusia hibrid! Ingat itu! Aku yang akan menolong

manusia hibrid nantinya. Bahahahhahaha. Oke, ini Miss, sudah kujelaskan yaa.

Sampai bertemu lagi dalam jumpa…. ENJOYABLE TPPKK !!!!


Rabu, 11 April 2018

Pertemuan Ketujuh

Kita masuk ke pertemuan terakhir yaitu pertemuan ketujuh. Rasanya tuh

lega banget pertemuan TPPKK di tengah semester ini bakal selesai. Tapi sedih

juga sih nanti ketemu sama Pak Lutfi, dan katanya beliau itu sungguh ribet dan

sulit untuk dipahami. Kalau kata aku sih nggak, biasa aja deh. Oke berhubung ini

pertemuan terakhir dan catatanku itu banyak banget, langsung aja kita masuk ke

materi ya diarynya.

Pertemuan terakhir ini membahas mengenai politik kebudayaan

kontemporer. Dan sebelum masuk, kita itu harus tahu dulu yang namanya konsep

kebudayaan. Nah sebenarnya konsep kebudayaan itu kayak gimana sih yang

dimaksudkan dalam politik kebudayaan kontemporer ini? Sebenarnya kebudayaan

itu mengacu pada pola tingkah laku serta kepercayaan yang dimiliki oleh setiap

anggota masyarakat. Kalau misal begini adanya berarti kebudayaan Itu adalah

sebuah aturan yang digunakan untuk memahami tingkah laku atau kebiasaan yang

terjadi. Nah kebudayaan itu bisa berupa kepercayaan, norma, nilai, asumsi,

ekspektasi, dan rencana tindakan yang akan dilakukan. Perlu kita ketahui

bahwasanya budaya itu dipelajari, tidak ada begitu saja. Kebudayaan itu bukanlah

karakter yang dibawa dari lahir. Seperti yang kita tahu bahwa orang itu belajar

mengenai spektrum warna kehidupan, dan ini terjadi di segala ruang dan waktu

bagi orang-orang di segala bentuk realitas yang ada. Kebudayaan itu dibagikan

dan ini merupakan adaptasi dari lingkungan. Kebudayaan itu ada untuk
berkembang dan belajar guna mengatasi lingkungan tersebut. Meskipun pada

dasarnya adaptasi itu tidak selalu menguntungkan. Misalnya saja adalah budaya

narkoba dan hal ini akan bisa menular kepada orang lain. Pada intinya budaya itu

adalah suatu hasil adaptasi. Dan perlu kita ketahui juga kalau setiap budaya itu

merupakan sistem yang dinamis. Apa maksudnya? Jadi sistem yang dinamis itu

adalah sistem yang bisa berubah-ubah dan tidak selalu bernilai positif. Tidak bisa

dipungkiri bahwasanya lebih sulit mempelajari budaya milik sendiri dibandingkan

mempelajari budaya orang lain. Iya nggak sih? Rasain deh coba.

Pada dasarnya budaya itu mencakup tiga hal, yaitu nilai, sistem, dan

produk. Tapi dalam mata kuliah ini kita bakal mendalami tentang nilai budaya.

Untuk itu kita harus paham sebenarnya apa sih nilai budaya itu. Nilai budaya itu

merupakan konsepsi tentang apa yang diinginkan, misalnya asumsi tentang apa

yang dilakukan, dan ini membentuk aspek seluruh kehidupan manusia. Contoh

konkritnya adalah mengenai pemisahan budaya laki-laki dan perempuan. Nilai

budaya juga menghasilkan suatu cara pandang tertentu. Ya nggak sih? Biasanya

beda budaya juga beda cara pandangnya. Padahal nilai itu hanya bermakna

apabila ia dihubungkan dengan nilai yang lain. Bener nggak? Coba deh, logikanya

gini, nilai bakal dimaknai baik karena ada yang buruk. Dan uniknya suatu nilai itu

bisa menjadi nilai inti. Misalnya nilai inti Banyumas adalah budaya cablak. Nilai

budaya juga sering terlihat eksplisit atau jelas, tidak terungkapkan tapi terlihat.

Namun tidak semuanya karena ada yang tersembunyi, bahkan ada yang sengaja

disembunyikan. Karena disembunyikan maka nilai budaya ini tidak dikenali.

Contohnya adalah nilai-nilai pada LGBT. Tentu saja nilai ini disembunyikan dan
tidak dikenali oleh orang lain karena ada idealisme yang berbeda. Hebatnya dari

nilai budaya, ia bisa menyatukan masyarakat yang beragam. Namun di sisi lain

nilai juga bisa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi apabila idealisme nilai itu

bergesekan. Contohnya adalah kasus Dayak dengan Madura yang bermusuhan.

Selanjutnya adalah mengenai politik kebudayaan. Sebenarnya apa sih

hubungan antara politik sama kebudayaan? Gini deh, politik itu kan ada di dalam

masyarakat bahkan negara. Jadi tanpa adanya masyarakat nggak akan ada yang

namanya proses politik. Sedangkan masyarakat itu yang menciptakan kebudayaan

yang bertujuan untuk mengatur masyarakat itu sendiri, Di mana mereka sangat

terlibat dalam politik. Budaya merupakan simbol atau nilai yang tentu ada kaitan

erat dengan politik. Masyarakat itu merupakan pemilik kebudayaan sehingga

masyarakat sangat berhubungan dengan politik. Politik kebudayaan itu sangat

berhubungan dengan dimensi politik dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini

berhubungan dengan pengaruh serta peran kebudayaan di dalam politik. Dalam

artian lain, di sini masyarakat itu berpolitik dengan menggunakan kebudayaan.

Tidaklah heran apabila kebudayaan itu menjadi elemen penting dalam politik.

Karena perlu diketahui bahwa kebudayaan itu sangat mempengaruhi proses

politik. Ngomong-ngomong kok penjelasanku muter-muter ya? Biarin biar

tambah paham. Identitas budaya itu membentuk faktor yang sentral dan terpusat

di dalam suatu negara. Contohnya gini, orang yang bersekutu untuk mencapai

kepentingan tertentu, pasti memiliki kesamaan nilai. Kenyataannya kebudayaan

Itu nggak cuma mempengaruhi politik domestik, tapi juga mempengaruhi politik

regional dan internasional. Untuk itu ada yang namanya negosiasi politik. Nah
yang jadi pertanyaan adalah apa sih yang di negosiasi. Dalam hal ini yang

dinegosiasi adalah nilai. Dan perlu diketahui bahwa kita nggak bisa menegosiasi

kepentingan dengan nilai yang beda. Contoh dari negosiasi nilai adalah negosiasi

nilai Pancasila. Karena ini menjadi titik tengah dari keberagaman yang ada di

Indonesia. Dan perlu kita ketahui juga kalau kebijakan negara sebagai dominasi

politik itu sangat dipengaruhi oleh yang namanya kebudayaan. Serius loh

kebijakan itu dipengaruhi sama budaya.

Sebenarnya kebudayaan itu ada kebudayaan lokal dan kebudayaan Global,

dimana keduanya itu beradaptasi masing-masing. Dan pada dasarnya enggak ada

yang namanya kebudayaan yang sama. Kalau misal kebudayaan sama terus

gimana mengidentifikasi diri, gimana mengidentifikasikan simbol yang

menggambarkan diri. Maka dari itu setiap hal pasti memiliki budayanya masing-

masing. Ngomong-ngomong kok materi TP PKK semakin kesini semakin enak

ya, padahal ini pertemuan terakhir. Haha.

Pembahasan selanjutnya adalah mengenai cultural studies. Ya kita

berlanjut ke cultural studies. Menurut Taylor, kebudayaan itu bersifat kompleks.

Menurut Raymona, kebudayaan itu adalah organisasi yang diproduksi. Sedangkan

menurut menurut clifford, kebudayaan itu adalah ensembel cerita kehidupan di

mana kita itu memiliki kepentingan dan disitulah letak kebudayaan. Pada

dasarnya budaya itu mencakup segala hal. Namun apakah cultural studies ini

mempelajari banyak? Cultural studies disini meminjam bebas segala teori dan

metodologi. Adalah hal yang sulit untuk mendeskripsikan tentang cultural studies.

Karena kata dosenku itu, cultural studies enggak hanya cuma satu hal, tapi banyak
hal. Cultural studies juga bukan sekumpulan teori dan metodologi. Meskipun

cultural studies ini mencakup banyak hal tapi tidak semua hal itu bisa menjadi

cultural studies. Bikin Bingung nggak sih? Aku sih paham. Kayak analogi kubus

dan balok intinya. Hayoo gimana? Setiap kubus itu balok, tapi nggak semua balok

itu adalah kubus.

Selain itu kita juga perlu tahu mengenai karakteristik cultural studies.

Tujuan dari ini adalah untuk mempelajari subjek matter di dalam kerangka praktik

kebudayaan serta hubungannya dengan kekuasaan. Hal ini juga membuka

hubungan kekuasaan serta mempelajari bagaimana hubungan itu mempengaruhi

dan membentuk praktik kebudayaan. Sebenarnya tugas cultural studies disini

nggak sesederhana kajian budaya yang dilepas dari sosiologi politik. Tujuannya

adalah memahami budaya dalam bentuk Kompleks serta menganalisis konteks

sosiologi dan politik di mana dia muncul dan ada. Budaya cultural studies juga

menampilkan diri dalam dua fungsi. Yang pertama adalah sebagai objek kajian

dan lokasi dari tindakan, yang kedua adalah sebagai kritisme politik. Contohnya

adalah film Wanita Berkalung Sorban. Budaya cultural studies juga didefinisikan

secara politis daripada estesis. Karena budaya ini sangat bersifat politis sehingga

pengertian spesifik yaitu secara politis. Ranah dari ini adalah konflik pergumulan,

ranah konsensus, dan resistensi. Konser Rasta disk merupakan evaluasi moral

terhadap masyarakat modern yang bertujuan untuk memahami serta mengubah

struktur dominasi di mana saja, khususnya masyarakat kapitalis industrial.

Intinya kita harus tahu tinggal konsep besarnya, yaitu poskolonialisme,

postmodernisme, dan posturalisme. Pada poskolonialisme ada koloni dan


kolonize. Pada postmodernisme ada senter dan periferi. Sedangkan pada post

strukturalisme ada terpusat dan marginal. Dan ketiganya ini menolak oposisi

biner. Nilai adaptif pada kebudayaan menyebabkan banyak struktur yang

bermunculan. Cultural studies ini menganalisis banyak budaya seperti cyber, gat,

global, postmodernisme, dan popular. Adapun analisis praktik budaya, yakni

seperti iklan, arsitektur, musik, Film, Televisi, sastra, majalah, dan lain

sebagainya.

Materi terakhir adalah mengenai teks. Teks itu hanya bisa dimaknai dalam

konteks. Kita tidak akan bisa memahami hubungan kekuasaan jika kita tidak

memahami konteks dalam sejarah. Untuk itu kita harus mengetahui tanda dan

penanda yang dijadikan sebagai makna. Tanda dan penanda ini ada kode, dll.

Biasanya Tanda itu ada di dalam kode, bisa secara eksplisit maupun implisit, dan

dipahami oleh kelas sosial. Contohnya adalah meludah di depan suku Kubu dan

itu menandakan orang yang meludahi itu menjadi bagian dari mereka. Meludah

itu adalah kode. Nah perlu kita ketahui bahwasanya kumpulan komposisi tanda

dan kode dinamakan teks. Untuk memahami teks kita bisa menggunakan cara

konstruktivisme, dekonstruksionisme, metode hermeneutik, dan semiotika.

Insyaallah paham lah yang mengenai teks. Selanjutnya adalah menonton

video Jacques derrida. My dosen menjelaskan tentang Jacques derrida itu cepet

banget. Dan itu hanyalah pengenalan. Berhubung waktu udah molor akhirnya

pertemuan ke-7 pun selesai. Dan aku lega banget. Sedangkan untuk ujian adalah

take home. Yeay… !


Sampai bertemu lagi di dalam jumpa….. enjoyable TPPKK!! Bersama Pak Lutfi.

Let’s Check My Article !!!!!!!


Membedah Kajian Pascakolonialisme Dan Politik Kebudayaan

Nur Wasilah/F1D016026

Jurusan Ilmu Politik FISIP Unsoed

Jelaskan pengertian konsep pascastrukturalisme dan bidang-bidang kajian

yang tercakup di dalamnya! Bagaimana konsep-konsep tersebut tercermin dalam

pengertian konsep subalternitas. Berilah contoh yang relevan!

Lahirnya pascakolonialisme ini berawal dari praktik kolonialisme, yang

bisa diartikan sebagai penaklukan, meliputi berbagai segi kehidupan, baik dalam

kehidupan politik, sosial, kultur, ideologi, pendidikan, dan lain sebagainya. Dalam

hal ini berarti terdapat konsepan dominasi-subordinasi di berbagai level

kehidupan. Pascakolonial ini menciptakan sebuah kehidupan yang rasisme,

dimana kehidupan ini tidak seimbang. Lahirnya budaya subaltern yang

ditimbulkan, juga bukan lagi masalah koersif atau kekerasan, tetapi cenderung

pada gagasan dan kesadaran. Dengan demikian maka ada dua subjek dalam

pascakolonial ini, yakni colony dan colonized. Colony ini adalah orang atau

kelompok yang menjajah, yang mengkoloni, atau yang memiliki kekuasaan untuk

menaklukkan. Sedangkan colonized merupakan orang atau kelompok yang

dijajah. Karena pada dasarnya pascakolonialisme ini merupakan dampak dari

adanya kolonialisme, maka kajian pascakonoliasme ini berusaha untuk menguak

praktik dari kolonialisme. Praktik dari kolonialisme ini tidak pernah berakhir,

contohnya di Indonesia. Di Indonesia, praktik kolonialisme ini terus terjadi,


seperti halnya kolonialisme budaya berpakaian yang semakin mengikuti gaya

barat, kepribadian dan kebiasaan meniru kebiasaan Korea Selatan, dan

mengagung-agungkan negara lain secara berlebihan dan bergantung pada negara

tersebut. Dalam hal ini pascakolonial bukan lagi masalah persoalan waktu, tetapi

merupakan suatu kritik terhadap kolonialisme.

Pascakolonial ini bertujuan untuk membongkar struktur yang terpusat.

Dalam hal ini, pascakolonial merupakan postmodern dengan sentuhan politik.

Dimana postmodern ini mendekonstuksikan narasi besar atau sentral. Contohnya

adalah kajian Western Culture (budaya barat), dimana budaya barat ini dianggap

sebagai budaya yang unggul, cerdas, bermarabat. Sedangkan budaya timur adalah

orang-orang bodoh, budak, dan biadab, dan tidak bisa merepresentasikan

kepentingannya. Masalah representasi dalam teks poskolonialisme

mengasumsikan adanya dimensi politik yang sangat berbeda dengan

profesionalitas. Dalam perspektif subaltern, pascakolonialisme ini merupakan

perspektif nonelit di Asia Selatan, yakni dengan cara mengkaji kaum elit. Kaum

subaltern ini adalah kaum yang tidak bisa merepresentasikan kepentingan mereka,

sehingga mereka bungkam. Dan ketika subaltern ini melakukan perlawanan, maka

hal itu dianggap sebagai sesuatu yang melanggar hukum atau ilegal. Gayatri C.

Spivak, yakni seorang Neo Marxian, mencari tau apakah subaltern bisa berbicara

atau tidak. Spivak menggunakan pernyataan Marx mengenai petani dalam

menggambarkan subaltern, dimana subaltern ini merupakan kaum tertindas

dengan ekonomi yang rendah, memiliki pengetahuan dan pendidikan yang rendah,

sehingga mereka merupakan kelompok marginal. Mereka selalu bungkam dan


menerima nasib. Keinginan mereka tidak bisa tersampaikan karena mereka tidak

bisa melawan kaum elite yang berkuasa. Contoh dari kaum subaltern ini adalah

kelompok LGBT dan kaum syiah. Mereka merupakan kelompok yang cenderung

termarginalkan.

Menurut Homi K. Bhabha, kolonialisme dan budayanya masih tetap ada

hingga kini, dimana terdapat ajaran akulturasi, yakni percampuran dua budaya

atau lebih.1 Bhabha ini mengonsepkan pascakolonialisme dalam kajian Hibriditas.

Kajian hibriditas ini terus meluas dan bisa menjadi alat yang berguna untuk

menjadikan wacana menakutkan. Hibriditas ini disebar dan masuk ke berbagai

kajian. Contohnya adalah kajian pop yang merupakan hasil hibrid. Secara

sederhana, hibrid itu adalah kelompok di antara kaum elit dengan kaum nonelit. Ia

berada di tengah-tengah dan cenderung tidak diakui keberadaannya, karena tidak

terlalu terlihat. Contoh sederhana adalah wanita dengan paras sederhana, yakni

tidak cantik dan tidak jelek pula. Biasanya ia tidak terlihat karena tertutup dengan

karakter orang lain yang menonjol. Begitupun dengan anak dengan prestasi biasa,

biasanya tidak terlalu terlihat. Dalam kajian ini membahas apakah hibrid ini

ditindas? Dalam mengkaji ini, Bhabha melakukan transformasi ide kolonialisme

dengan perspektif pascastrukturalis. Dan dalam hal in bisa dilihat mengenai

perbedaan dan keragaman. Dalam keberagaman, membahas mengenai objek

metodologis, dimana budaya adalah objek dari pengetahuan yang empiris.

Sedangkan perbedaan merupakan suatu proses dari pengetahuan, yakni bagaimana

1. Kardi Laksono, dkk., “Musik Hip-Hop sebagai Bentuk Hybrid Culture dalam Tinjauan
Estetika,” Jurnal Resital 16, no.2 (2015): 77, diakses pada 20 April 2018,
http://journal.isi.ac.id/index.php/resital/article/viewFile/1507/342.
pengetahuan tersebut didapatkan, bagaimana kultur bisa mandiri, dan lain

sebagainya. Persoalan budaya ini terdapat pada epistemologi dan metodologinya.

Dalam hal ini, hibrid tidak sekadar percampuran, tetapi bisa menjadi ruang

terbuka.

Pascakolonial ini mencakup pengalaman dari berbagai jenis, seperti halnya

migrasi, perbedaan, perbudakan, dan ras. Bidang-bidang kajian dalam

pascakolonial ini bisa meliputi kajian-kajian sastra, film, filsafat, musik (lirik

lagu), arsitektur, dan lain sebagainya. Dalam kajian sastra, ada banyak sekali hal

yang dianalisis mengenai pascakolonialisme. Contohnya seperti halnya syair dan

novel. Banyak hal yang berkaitan dengan kolonialisme dan itu terbongkar dalam

berbagai karya sastra melalui kajian pascakolonialisme. Dalam karya sastra juga

terdapat berbagai teks mengenai hegomoni atau dominasi kekuasaan. Begitupun

dalam film, dimana acap kali berbagai kejadian historis didokumentasikan dalam

sebuah film yang kemudian dikaji dari sisi pascakolonialisme. Banyak film yang

menggambarkan ketertindasan suatu kelompok oleh kelompok yang lain. Selain

itu juga dalam kajian musik dan lirik lagu, yakni ada beberapa lirik lagu yang

mencerminkan suatu perkara kolonialisme. Dalam hal ini, pascakolonialisme

mengkritisi hal tersebut. Dalam arsitektur pun demikian, dimana dari berbagai

konstruksi bangunan bisa dikaji secara mendalam. Konsep kunci dalam kajian

pascakolonialisme ini adalah kajian persamaan dan perbedaan, representasi dan

resistensi, nasionalisme, hibriditas, etnisitas, feminisme, bahasa, body and

performance, sejarah, tempat, pendidikan, produksi dan konsumsi, dan masih

banyak lagi yang lainnya.


“Language is a discourse of power.” Konsep ini dimaknai dalam kajian

pascakolonial dan mengaitkannya secara khusus dengan konsep representasi dan

resistensi.

Dalam kajian pascakolonial, pengetahuan dan kekuasaan merupakan teori

dasar dari pascakolonial itu sendiri. Dan kata language di sini tidak serta merta

memiliki makna bahasa secara harfiyah. Secara pandangan tradisional, kekuasaan

(power) dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat negatif, yakni membatasi,

melarang, menolak, dan menyensor terhadap segala sesuatu yang diinginkan oleh

pemegang kekuasaan tersebut. Namun, menurut Michel Foucault, kekuasaan itu

dimaknai sebagai sesuatu yang positif, yakni suatu proses dalam memproduksi

pengetahuan, norma sosial, dan berbagai nilai baik.2 Kekuasaan ini pada dasarnya

memberikan sesuatu yang baru (new insigt), sehingga segala sesuatu bisa

berkembang dengan baik. Akan tetapi jika terdapat ketidakseimbangan kekuasaan,

maka disitu terdapat produksi pengetahuan. Contohnya adalah ketidakseimbangan

pengetahuan antara gojek dengan ojek, dimana gojek menggunakan teknologi

komunikasi canggih secara online, sedangkan ojek masih menggunakan cara

mangkal. Dalam hal ini berarti ada produksi teknologi dan transportasi yang baru.

Kesenjangan yang terjadi tidak hanya pada driver, tetapi juga pada penumpang,

dimana penumpang yang gaptek tidak bisa melakukan order gojek.

Kajian Universality and Difference menjelaskan mengenai konsep bahasa

sebagai wacana kakuasaan. Dalam konsep universality, ketertarikan khusus yang

dikaji oleh pascakolonialisme, konsep tersebut menjadi homogen, dari hakikat

2. Nanang Martono, Sekolah Bukan Penjara: Menggugat Dominasi Kekuasaan Atas


Pendidikan. (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015), 7.
manusia akan karakter-karakter yang dimiliki. Dan dalam hal ini perbedaan

dikesampingkan. Dari asumsi ini menjelaskan adanya fitur dasar dari konstruksi

kekuasaan kolonial, yakni karakter yang memiliki kekuasaan politik. Bahasa

menjadi wacana kekuasaan , bisa diartikan sebagai bahasa merupakan alat para

koloni untuk membuat suatu standardisasi kepada kelompok yang dikoloni.

Contohnya adalah bahasa koloni Inggris, dimana bahasa ini dijadikan sebagai

tolok ukur yang harus digunakan, sehingga bangsa lain perlu mengetahui bahasa

ini untuk mencapai standardisasi yang ditetapkan. Bahkan, kini bahasa Inggris

menjadi bahasa internasional, dan ini membukatikan bahwa bahasa bisa menjadi

wacana kekuasaan. Selain itu, bahasa memiliki asumsi sendiri, dimana bahasa ini

bisa menjadi suatu cara pandang untuk melihat dunia, sejarah, peristiwa, dan lain-

lain.

Bahasa itu perlu dikuasai. Karena jika bahasa ini tidak bisa dikuasai

dengan baik, maka bisa menjadi tertindas. Inilah salah satu makna dari bahasa

sebagai wacana dari kekuasaan. Mereka yang tidak menguasai bahasa maka tidak

bisa mendapatkan kekuasaan, bahkan bisa menjadi kaum marginal yang bodoh,

lemah, dan tidak memiliki pengetahuan. Dengan demikian, mereka yang tidak

menguasai bahasa maka tidak bisa merepresentasikan keinginan mereka. Bahasa

juga digunakan untuk mendapatkan kekuasaan melalui pengetahuan. Ketika

pengetahuan ini diproduksi dan menghasilkan sesuatu, maka hasil ini akan

disebarkan ke masyarakat dan direproduksi dalam bentuk buku. Dari sinilah bisa

muncul norma-norma sosial. Bahkan kini bahasa bisa dikuasai melalui media dan

disebarkan kepada masyarakat. Setiap masyarakat memiliki rezim kebenarannya


masing-masing, yang mengklarifikasikan apa yang benar dan apa yang salah. Dan

hal tersebut diproduksi oleh orang-orang otoritatif. Rezim kebenaran ini adalah

suatu wacana, yang merupakan ungkapan yang memiliki pengaruh tertentu serta

memiliki koherensi dan kekuatan. Dan salah satu kekuatan dari bahasa sebagai

wacana kekuasaan ini adalah karena wacana bisa mempengaruhi fakta dan wacana

ini bisa digeser menjadi fakta. Contohnya adalah di Aksi Bela Islam 212, dimana

ada banyak sekali berita fakta dan berita hoax. Ada yang mengatakan Islam itu

anarkhis, Habib Rizieq itu memiliki karakter yang buruk, dan lain sebagainya.

Yang demikian ini bisa menimbulkan wacana yang bergeser menjadi sebuah

fakta.

Jika ingin lebih mengkaji lebih dalam lagi mengenai pernyataan language

is a discourse of power ini, maka bisa melihat juga pada konsep representasi dan

resistensi. Ada arena drama dalam hal ini, yakni hubungan antara kolonialisme

dan eksaminasi pascakolonial serta subvertion. Di antara kolonialisme dan

pascakolonialisme terdapat representasi dan resistensi. Representasi dan resistensi

ini bisa dilihat dari teori-teori atau teks pascakolonial. Contoh teks pascakolonial

adalah Tetralogi Pulau Buru dan skripsi White Anglo-Saxon Protestant (WASP)

dan Perjuangan Hak-Hak Sipil di Amerika Serikat (AS) dalam The Civil

Movement Tahun 1960an. Dalam skripsi ini diinterpretasikan mengenai

perjuangan hak sipil yakni bagi mereka bangsa di luar WASP (Inggris) yang

mendapat tindasan dan tidak diakui eksistensi atau keberadaannya di Amerika.

Mulai dari bagaimana identitas WASP dan bagaimana kebudayaan di Amerika

Serikat, dimana terdapat keberpengaruhan WASP dalam semua lini kehidupan,


mulai dari pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain, sehingga terjadi

dominasi kekuasaan oleh mayoritas. Keberadaan WASP ini memotori perjuangan

kemerdekaan Amerika sehingga ia mampu memberikan pengaruh terhadap nilai-

nilai yang ada. Bangsa di luar WASP dianggap binatang dan tidak beradab,

begitupun dengan budak Afrika. Dari sinilah sudah terlihat jelas adanya mayoritas

dan minoritas. Representasi WASP semakin jelas, karena kebijakan yang

dikeluarkan pun hanya merepresentasikan kepentingan WASP, sedangkan bangsa

di luar itu diabaikan keberadaannya. Dominasi ini menimbulkan stereotype

mayoritas dan minoritas yang menyebabkan serangkaian konflik. Karena

minoritas ingin diakui eksistensinya, maka terjadi perlawanan minoritas untuk

memperjuangkan kesetaraan hak-hak sebagai warga Negara. Minoritas melakukan

gerakan lanjutan untuk memperjuangkan hak-hak sipil, hingga dalam The Civil

Rights Movement Tahun 1960an.3

Bagaimana memaknai politik kebudayaan dalam ungkapan berikut dan

berikan contoh yang relevan!

Politik kebudayaan berhubungan dengan dimensi-dimensi politik dari

kebudayaan, atau lebih khususnya dengan pengaruh dan peranan kebudayaan

terhadap politik. Itulah sebabnya, kebudayaan, tidak diragukan lagi , merupakan

unsur penting dalam perilaku dan kepemimpinan politik. Oleh karena itu,

kebudayaan, tidak diragukan lagi, juga merupakan unsur penting dalam

3. Adila Naily Huda, “White Anglo-Saxon Protestan dan Perjuangan Hak-Hak Sipil di
Amerika Serikat dalam The Civil Rights Movement pada tahun 1960an” (skripsi, Universitas
Jenderal Soedirman, 2012). 32.
memengaruhi politik domestic dan keberpihakan dalam politik regional dan

internasional.

Kebudayaan itu akan mengacu pada pola tingkah laku dan kepercayaan

yang ada pada masyarakat. Hal ini bisa membentuk peraturan yang mana berguna

untuk mengatur tingkah laku dan kebiasaan masyarakat yang sering dilakukan,

yakni seperti halnya norma, kepercayaan, nilai, ekspektasi, asumsi, rencana

tindakan, dan norma.4 Begitupun dalam politik yang membutuhkan peraturan dan

kode etik dimana hal ini bisa mengatur tatanan politik yang ada. Kebudayaan itu

bisa dipelajari, dimana ini bukanlah sesuatu yang sudah melekat sejak lahir.

Dengan demikian, maka di dalam budaya tersebut terdapat suatu proses. Budaya

juga dibagikan dan merupakan hasil dari adaptasi dari lingkungan sekitar. Dalam

politik pun membutuhkan adaptasi, sehingga budaya ini sangat dibutuhkan dalam

politik. Seperti halnya politik, budaya merupakan sistem yang dinamis. Sistem

politik bisa berubah sewaktu-waktu sesuai dengan keadaan, sehingga dengan

konsep masyarakat dan kebudayaan lah suatu aturan bisa terbentuk.

Terdapat hubungan antara politik dengan budaya, yakni politik ada di

dalam masyarakat. Politik merupakan kekuasaan yang berkaitan dengan negara

dan masyarakat. Tanpa adanya masyarakat, tidak akan pernah ada proses politik

yang berjalan. Masyarakat menciptakan suatu budaya, dimana ia berperan sebagai

pemilik kebudayaan sehingga bisa berhubungan dengan politik secara langsung.

Politik kebudayaan berhubungan dengan dimensi politik dari kebudayaan, yakni

4. Wirawan Sukarwo, “Krisis Identitas Budaya: Studi Poskolonial Pada Produk Desai
Kontemporer,” Jurnal Desain 4, no.3 (2017): 314, diakses pada 20 April 2018,
http://journal.lppmunindra.ac.id/index.php/Jurnal_Desain/article/view/1869/1519.
berhubungan dengan pengaruh dan peran kebudayaan dalam politik. Kebudayaan

mampu mempengaruhi politik. Identitas budaya mampu membentuk factor yang

central dalam negara atau politik. Contohnya adalah siapa lawan dan siapa kawan.

Budaya juga mempengaruhi politik domestik, regional, dan internasional. Hal ini

menyebabkan adanya negosiasi politik. Dalam hal ini, yang dinegosiasi adalah

nilai, yakni dengan menyamakan nilai yang ada. Tidak akan bisa menegosiasi

kepentingan dengan nilai yang berbeda. Contohnya adalah negosiasi nilai

Pancasila. Pancasila ini merupakan dasar negara Indonesia sekaligus sebagai

falsafah hidup bangsa yang menjadi titik tengah dar keberagaman. Hal inilah yang

menjadi penyeimbang dalam negara yang plural ini.

Hubungan antara politik dengan kebudayaan ini tentunya tidak bisa lepas

dari nilai-nilai yang ada pada budaya itu sendiri. Budaya ini merupakan konsepsi

tentang apa yang diinginkan, yakni tentang asumsi apa yang dilakukan. Budaya

juga membentuk seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan

politik. Dalam hal politik, terutama dalam pengambilan keputusan, tentunya tidak

pernah lepas dari pertimbangan nilai-nilai budaya. Budaya juga menghasilkan

suatu cara pandang tertentu. Cara politisi dalam memandang sebuah fenomena

sosial masyarakat tentunya akan berbeda satu sama lain. Daari sinilah terjadi

kolaborasi antara politik dan budaya. Kebijakan politik yang dikeluarkan oleh

lembaga otoritatif negara merupakan domain politik yang dipengaruhi oleh

kebudayaan. Contohnya adalah kebijakan mengenai diperbolehkannya polisi

wanita memakai jilbab. Hal ini bisa dikaitkan dengan perempuan Indonesia yang
berhasil lolos tes polisi adalah mereka yang beragama Islam dan berlatarbelakang

budaya yang religius, sehingga kini polisi wanita berjilbab sudah diizinkan.

Dalam cultural studies, khususnya kajian tentang kebudayaan popular,

keberadaan teks hanya dapat dipahami sepenuhnya dalam konteks. Ketika sebuah

hubungan sosial dan kekuasaan dikaji dalam sebuah teks, misalnya, hubungan

tersebut bisa dipahami melalui kekuatan-kekuatan sejarah yang membentuk teks

tersebut. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, bagaimana signifikansi kajian

teks dalam ilmu politik, khususnya politik kebudayaan?

Menurut Taylor kebudayaan adalah kompleks keseluruhan yang mencakup

di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan

kecakapan serta kebiasaan-kebiasaan lain yang dibutuhkan oleh manusia sebagai

warga masyarakat.5 Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

kebudayaan adalah suatu kompleks keseluruhan yang merupakan integrasi dari

sistem pola-pola perilaku hasil belajar yang dimiliki oleh masyarakat. Dimana

seseorang memiliki kepentingan, di situlah letak kebudayaan. Budaya ini

mencakup banyak hal, dan cultural studies juga mempelajari mengenai ini.

Meskipun pada dasarnya tidak semua hal bisa menjadi cultural studies. Ini

mempelajari mengenai subject matter dalam kerangka praktik kebudayaan dan

hubungannya dengan kekuasaan. Hal ini membuka hubungan kekuasaan dan juga

mempelajari bagaimana hubungan itu mampu untuk mempengaruhi dan

membentuk praktik-praktik kebudayaan. Cultural studies juga tidak sesederhana

5. Nurhalimah, “Upaya Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda Dan Olahraga Dalam


Menyelenggarakan Kegiatan Bidang Kebudayaan Di Kabupaten Nunukan,” Jurnal Ilmu
Pemerintahan 3, no.1 (2015): 242, diakses pada 20 April 2018, http://ejournal.ip.fisip-
unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2015/02/JURNAL%20(02-25-15-01-20-50).pdf.
kajian budaya, karena tujuan dari ini adalah untuk memahami budaya dalam

bentuk yang begitu kompleks dan menganalisis konteks sosial politik dimana hal

ini ada. Budaya ini menampilkan diri dalam dua fase, yakni sebagai objek kajian

dan lokasi dari tindakan, serta kritisme politik. Contohnya adalah film Wanita

Berkalung Sorban, dimana dalam hal ini bisa dimaknai sebagai kajian teks dalam

politik kebudayaan. Dimana perempuan dalam film ini diceritakan sebagai sosok

yang sangat penurut terhadap apa yang dikatakan oleh orang tuanya.

Pada dasarnya, budaya cultural studies ini lebih didefinisikan secara

politis dibandingkan dengan estetis. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa teks

hanya bisa dipahami dalam konteks. Tidak akan bisa seseorang memahami

hubungan kekuasaan jika tidak memahami konteks, yakni dari sejarah. Analisis

praktis budaya bisa dilakukan pada iklan, arsitektur, musik, film, televisi, sastra,

majalah, dan lain sebagainya. Untuk menganalisis ini, maka perlu untuk

mengetahui tanda dan penanda, dimana ini adalah sebuah makna. Beberapa tanda

antara lain adalah kode dan teks. Tanda dalam kode itu bisa bersifat eksplisit

maupun implisit, dan ini dipahami oleh kelompok sosial. Contohnya adalah

dengan meludah di hadapan Suku Kubu, maka dengan kode demikian, secara

automatis orang yang meludah akan menjadi bagian dari Suku Kubu tersebut.

Sedangkan teks merupakan komposisi dari tanda dan kode. Cara untuk

menganalisis teks ini adalah dengan cara konstruktivisme, dekonstruksionisme,

hermeneutik, dan semiotika. Cara ini adalah cara yang digunakan untuk

memahami keberadaan teks dalam konsep. Menurut Jacques Derrida,

dekonstruksi bisa diartikan sebagai pembongkaran, tetapi bukanlah pembongkaran


atau penghancuran yang berakhir dengan satu sudut pandang atau bahkan

kekosongan. Dekonstruksi juga bukan metode tafsir yang dilengkapi dengan

perangkat-perangkat konseptual yang serba argumentatif. Bahkan dekonstruksi

justru anti metode anti argumentasi dan anti koherensi, karena pandangan ini

berbau ilmiah dan positivistik.6 Salah satu program dekonstruksi ditujukan kepada

sejarah asal-usul yang begitu yakin akan pengenalan langsung terhadap realitas,

kendati pengenalan kita selalu hanya berangkat dari sejarah. 7 Disini, sejarah akan

dianalisis dan akan menjadi konsep awal. Konsep dekonstruksi merupakan hasil

studinya mengenai sejarah sistematik filsafat, terutama pada filsafat

fenomenologi, yakni studi mengenai makna.

Dalam kajian ilmu politik, kajian teks itu sering digunakan, terutama

dalam menguak teks dalam novel, film, lirik lagu, dan yang lainnya. Di sini yang

difokuskan adalah isi dari teks tersebut. Contohnya adalah skripsi yang ditulis

oleh Luthfa Sabrina, yakni Raisisme Dan Gerakan Abolisi Dalam Film “12 Years

A Slave”: Representasi Perlawanan Kelompok Anti Perbudakan Terhadap

Kebijakan Proslavery di Amerika Tahun 1840-an. Dalam pembahasan skripsi

peneliti meneliti adegan-adegan dari film yang terdapat 11 adegan yang di

deskripsikan oleh peneliti. Adegan pertama mendeskripsikan kehidupan Solomon

Northop. Adegan kedua yaitu penculikan Solomon Northup. Adegan ketiga,

Pembelaan Solomon Northup. Adegan keempat, Solomon Northup membela

6. Turiman, “Metode Semiotika Hukum Jacques Derrida Membongkar Gambar Lambang


Negara Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, no.22 (2015): 314, diakses pada 20 April
2018, http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/6/5.
7. Ibid, 313.
dirinya bahwa dia bukan plat. Adegan kelima menjelaskan bagaiman sistem

pembelian budak di lakukan. Adegan keenam, pemberontakan Solomon terhadap

Master Tibeats . Adegan ketujuh hukuman gantung yang di terima Solomon

terhadap Master Tibeats. Adegan kedelapan adalah hukuman cambuk untuk

Pastey. Adegan kesembilan pertolongan master Bass untuk Solomon. Adegan

kesepuluh pembebasan Solomon dari perbudakan. Adegan kesebelas kebebasan

hidup Solomon setelah lepas dari perbudakan. Di liat dari 11 adegan yang ada

terdapat berbagai tanda dan penanda yang saling berkaitan seperti tanda dan

penanda di bagian adegan satu dan dua.

Dapat disimpulkan bahwasanya kajian pascakolonialisme ini adalah

didasari oleh kolonialisme yang terjadi secara terus-menerus. Dalam kajian ini ada

pihak yang mengkoloni dan ada yang dikoloni, dimana hal ini bisa menimbulkan

ketertindasan hak. Sedangkan dalam hal kekuasaan, bahasa sangat

mempengaruhinya, dimana bahasa itu merupakan wacana dari kekuasaan itu

sendiri. Kekuasaan juga dipengaruhi oleh budaya, dimana politik dan budaya

saling mempengaruhi satu sama lain. Apalagi kebudayaan merupakan elemen

yang sangat penting dalam politik serta dalam mengambil suatu kebijakan. Ilmu

politik bisa dikaji dengan melalui teks, yakni menggunakan metode

dekonstruksionisme. Dan untuk memahami keberadaan teks ini, maka satu-

satunya yang dapat dilakukan adalah dengan memahami konteks yang ada.
Daftar Pustaka

Huda, Adila Naily. “White Anglo-Saxon Protestan dan Perjuangan Hak-Hak Sipil
di Amerika Serikat dalam The Civil Rights Movement pada tahun
1960an.” Skripsi, Universitas Jenderal Soedirman, 2012.

Jones, T.. Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama


Abad ke-20 Hingga Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia-KITLV Jakarta, 2015.

Laksono, Kardi, dkk. “Musik Hip-Hop sebagai Bentuk Hybrid Culture dalam
Tinjauan Estetika.” Jurnal Resital 16, no.2 (2015): 75-83. Diakses pada 20
April 2018.
http://journal.isi.ac.id/index.php/resital/article/viewFile/1507/342.

Martono, Nanang. Sekolah Bukan Penjara: Menggugat Dominasi Kekuasaan Atas


Pendidikan. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015.

Nurhalimah. “Upaya Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda Dan Olahraga Dalam


Menyelenggarakan Kegiatan Bidang Kebudayaan Di Kabupaten
Nunukan.” Jurnal Ilmu Pemerintahan 3, no.1 (2015): 239-252. Diakses
pada 20 April 2018.http://ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id/site/wp-
content/uploads/2015/02/JURNAL%20(02-25-15-01-20-50).pdf.

Press, The University of Chicago. The Chicago of Manual of Style: Sixteenth


Edition. Chicago dan London: The University of Chicago Press, 2010.

Sukarwo, Wirawan. “Krisis Identitas Budaya: Studi Poskolonial Pada Produk


Desain Kontemporer.” Jurnal Desain 4, no.3 (2017): 311-324. Diakses
pada 20 April 2018.
http://journal.lppmunindra.ac.id/index.php/Jurnal_Desain/article/view/1
869/1519.

Turiman. “Metode Semiotika Hukum Jacques Derrida Membongkar Gambar


Lambang Negara Indonesia.” Jurnal Hukum dan Pembangunan, no.22
(2015): 308-339. Diakses pada 20 April 2018.
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/6/5.

THE END

Anda mungkin juga menyukai