Prolog
Semua akan kembali pada asalnya. Begitulah katanya. Nya? Siapa?
Entahlah, aku pun tak tau. Rasanya, kalimat itu memang benar-benar benar.
Kurang lebihnya, ini mirip seperti hukum sebab akibat. Aku menuai sesuai apa
yang kutabur. Semester ini benar-benar menamparku. Tak hanya itu. Rasanya, aku
terpecut malu pada diriku sendiri. Nilaiku terjun dan hafalanku mulai menurun.
Entah apa yang terjadi padaku. Namun sepertinya, aku sedikit mengetahuinya.
Allah. Ya, Allah. Dia lah yang menentukan segalanya tentangku, apapun itu.
Hidupku, nilaiku, bahagiaku, sedihku, celakaku, atau bahkan keberuntunganku.
Semuanya. Namun, aku merasa aku kurang tunduk pada-Nya. Meskipun aku
menjalankan kewajibanku terhadap-Nya dan sebisa mungkin menjalankan sunnah
yang ditetapkan, tetapi aku rasa itu tidak cukup jika aku tidak menomorsatukan-
Nya.
Nilaiku yang terjun bebas kemarin, membuatku semakin evaluasi diri.
Melalui hukum sebab akibat tadi, aku yakin mampu memecahkan masalahku
sendiri. Jika nilaiku menurun, pasti ada sebabnya. Tidak mungkin tidak. Dan, aku
pikir, kecerobohankulah salah satu penyebabnya. Ceroboh dalam pengaturan
waktu, ceroboh dalam mengatur diriku, ceroboh dalam memanaje segalanya,
sehingga semua berdampak kembali pada diriku sendiri. Hasil tak akan
mengkhianati proses. Ya, aku menyadari, aku tidak maksimal dalam semuanya.
Terlagi untuk Teknik Penulisan Ilmiah. Tugas TPI yang kukerjakan di laptopku,
hilang!!!! Artikel dan Diary! Semua karena kecerobohanku. Salahku! Dan sangat
memalukan ketika aku mengingat aku hanyut dalam tangis saat itu. Aku
mengerjakan ulang sambil menangis tersedu. Memalukan! Ini benar-benar
menamparku. Kecerobohanku yang begitu membandel, seakan aku ingin
membunuhnya dan memusnahkannya dari diriku. Inilah saatnya aku lebih
memfokuskan diriku. Apa yang tak membuatku maju, TINGGALKAN ! Dan
masyaallah walhamdulillah, semua penyesalanku tak berlarut. Karena aku
mengingat dan sadar bahwa segala yang kudapatkan memang yang terbaik
untukku. Terlepas dariaku menyangkalnya atau menerimanya, inilah hal terbaik
yang Dia tentukan. Aku bersyukur masih diberikan kenikmatan berupa
KEJUJURAN dalam mengerjakan ujian, dan aku akan terus berdiri di atas panji
kejujuran. Atas kehendak Allah. Aku benar-benar marah pada mereka yang tak
memiliki rasa malu dan takut ketika mereka berada dalam kecurangan. Gadget!
Mulut! Tangan! Mata! Semua menjadi saksi bisu kecurangan mereka. Aku tak
peduli dengan nilai mereka yang bagus karena kecurangan ini, dan aku pun tak
peduli pada nilai mereka yang tetap buruk meskipun demikian. Namun, aku
khawatir mereka akan menjadi bibit-bibit psikopat bangsa. Pembunuh berdarah
dingin yang perlahan membunuh bangsa ini ketika mereka suatu saat nanti
menjadi pemimpin negeri ini. Aku tidak rela mereka memimpin negeri ini! Demi
Allah! Kecuali, jika mereka benar-benar sadar dan kembali berdiri di atas panji-
panji kebaikan, kejujuran, dan tetap dalam fraksi Candor seperti dalam film
Divergent. Demi Allah. Aku tidak akan membiarkan mereka memimpin negeri ini
jika mereka masih demikian.
Ya, aku harus bangkit. Semua akan baik-baik saja. Yakinlah! Di semeter
ini, oh tidak. Dari semester ini hingga waktu-waktu mendatang, aku akan terus
berkembang lebih baik lagi. Aku akan menjauh dari kerugian. Dan aku berdoa,
Allah akan membukakan pintu hari mereka untuk memulai berlaku jujur.
Senin, 28 Agustus 2017
Sore tadi cukup menyenangkan. Mata kuliah yang katanya mengerikan,
aku dapatkan juga di semester ini. Dan lagi, kenapa setiap mata kuliah yang
dianggap oleh mahasiswa mengerikan, diajar oleh dosen ini, Miss Ana. Tapi aku
akan mengubah mindset-ku bahwa ini hanya mengerikan bagi mereka. Tidak
bagiku. Bagiku, semua mata kuliah adalah menyenangkan. Termasuk mata kuliah
ini, MIP (Metodologi Ilmu Politik). Denger-denger sih yang biasanya dapet A,
setiap angkatan hanya satu. Aku berharap semua anak dari angkatanku dapat A.
Yaah, apa salahnya berharap. Hari pertama kuliah di semester 3, diawali oleh
mata kuliah MIP. Wah, berasa semester 1 loh. Aku masih ingat 29 Agustus tahun
lalu adalah hari pertama aku kuliah di perguruan tinggi, dan mata kuliah pertama
adalah Filsafat Ilmu Pengetahuan, yang diajar oleh Miss Ana. Dan ini kembali
terulang. Bismillah, semoga aku mampu.
Aku sih liat di KSM kalau dosen pengampu mata kuliah ini ada 3. Dan
mereka adalah tiga dosen yang paling jenius menurutku. Mereka ibarat tiga warna
yang dicampur jadi satu dan menghasilkan warna baru yang begitu indah.
Karakter mereka berbeda, cara mengajar mereka berbeda, dan sepertinya basic
mereka pun berbeda. Luar biasanya, mereka mengajar di mata kuliah yang sama
dan berkolaborasi. Sore tadi aku duduknya di depan tuh, dan pas nengok ke pintu,
ada dua dosen jenius yang masuk, mereka adalah Miss Ana dan Pak Solahudin,
atau sering dipanggil Pak Titong. Sungguuh! Aku merinding pas mereka berdua
jalan masuk ke dalam kelas. Dan aku lebih terkejut lagi saat ada satu dosen lagi
muncul dari balik pintu. Beliau adalah Bu Sofa. Seketika aku melongo. Dan
mataku, mata Nindya, dan mata Inggit kompak bertemu sambil kami bilang,
“WOOOOOOWW!” Dan kami bertiga high five alias tos. Mantap ah.
Pak Titong memulai berbicara dan membuka perkuliahan. Deg-degan
masih ada sisa-sisa. Beliau berkata kalau mereka bertiga itu masih bingung mau
menyampaikan apa. Karena sejujurnya, mereka bertiga belum duduk bersama
untuk memperbincangkan MIP ini. Ya mungkin kurang lebihnya tadi adalah
kotrak perkuliahan sekaligus pengenalan MIP secara mendasar dan umum. Karena
Pak Titong berkata kalau MIP adalah mata kuliah yang abstrak. Jadi contohnya
begini. Kita bakalan bisa mendeskripsikan langit kalau kita udah bisa melihat
langit. Nah sedangkan MIP itu abstrak, jadi beliau berkata kalau MIP memang
mata kuliah yang sulit. Astaghfirullah. Tadi aku langsung pegang dada sendiri,
sambil meyakinkan diri bahwa aku bisa. Sungguh ya, tadi sambil berdoa terus aku
pas MIP. Kita itu harus bener-bener serius memperhatikan materi perkuliahan ini.
Ya terbukti dari tahun ke tahun, kalau mata kuliah ini memang mencetak banyak
generasi ngulang. Entah dosennya yang nggak bisa menyampaikan, entah
mahasiswanya yang kendor, atau memang materinya yang luar biasa.
Biasanya follow up dari MIP ini adalah MPP1 dan MPP 2 yang nantinya
bakalan menghasilkan proposal. Nah tapi kata Pak Titong jangan mbahas MPP
dulu, orang menyampaikan MIP aja harus butuh pikiran yang ekstra. Pak Titong
berusaha memakai bahasa yang sederhana supaya mahasiswa itu mampumencerna
materi perkuliahan dengan baik. Namun nyatanya, ya sedikit banyak memang
harus ekstra buat memahaminya. Pas aku liat Miss Ana, lagi pegang-pegang
kepala tuh, kayaknya pusing dah. Karena katanya pagi udah ngajar filsafat, eh
sorenya ngajar MIP. Wuihh, berat tuh. Trus tadi Pak Titong menjelaskan kalau
Metodologi Ilmu Politik merupakan sebuah proses atau prosedur untuk
memperoleh pemahaman politik yang substansinya didasarkan pada dua
paradigma, yaitu positivisme dan non positivisme. Pak Titong nanya tuh kalau
kita udah pernah dapet positivisme dan non positivisme belum di filsafat.
Harusnya si udah. Ya memang udah, tapi itu bener-bener sekilas tok. Aku inget
pas materi ini semester satu, ini tuh di slide materinya, dan itu cuman dibaca tok
sama Miss Ana, bukan dijelaskan secara detail. Karena pas itu yang lagi jadi topik
pembahasan utama bukan mengenai gimana positivisme dan non positivismenya,
tapi cuman lagi mbahas paradigma secara umum. Dan Pak Titong itu
menyampaikan kalau mahasiswa itu nggak paham atau menguasai Pengantar Ilmu
Politik sama Filsafat Ilmu Pengetahuan, udah dijamin kalau mereka nggak
bakalan paham materi Metodologi ini. Karena MIP ini dasarnya ya PIP sama FIP.
Ibaratnya kayak follow up gitu lah.
Mata kuliah MIP ini akan ada tujuh pertemuan hingga UTS. Dari tujuh
pertemuan itu akan dibagi-bagi mengajarnya oleh tiga dosen jenius ini. Tiga
pertemuan awal diajar oleh Pak Titong yang nantinya bakalan membahas
mengenai positivisme. Terus tiga pertemuan selanjutnya kemudian diajar oleh Bu
Sofa, yang nanti menyampaikan tentang non-positivisme. Selain itu Bu Sofa juga
menyampaikan tentang Perspektif dalam Ilmu Politik. Nah ini tuh nanti Bu Sofa
menjelaskan tentang Filsafat Ilmu Pengetahuan, Critical Theory, Behavioralisme,
Institusionalisme, dan Strukturalisme. Miss Ana muncul di akhir nih. Miss Ana
bakalan membahas tentang Perspektif juga. Miss Ana dan Bu Sofa itu jagonya
perspektif. Sedangkan Pak Titong jagonya metodologi. Nah kan, mereka bertiga
saling melengkapi satu sama lain.
Setelah itu, Miss Ana ambil alih bicara dan menegaskan kembali bahwa
MIP memang mata kuliah yang sulit dan harus serius dalam menerima mata
kuliah ini. Kemudian Miss Ana menjelaskan mengenai tugas, bahwa tugas dari
dia adalah diary, sedangkan tugas dari Pak Titong adalah kuis seperti biasanya.
Nah katanya, penilaian dari Bu Sofa itu dengan cara ujian lisan kalau tahun lalu.
Duh, deg-degan juga yak kalau ujian beginian. Katanya tahun lalu tuh
mahasiswa/i nya pada beser karena sangking geroginya. Haha, bismillah mudah-
mudahan dimudahkan oleh Allah. Karena mereka bertiga belum duduk bersama,
jadi kriteria penilaian belum ditentukan. Selain itu kita sebagai mahasiswa juga
harus baca buku referensi. Tadi ada sekitar lima buku yang dipaparkan buat
dijadikan referensi. Ada buku Pengantar Analisa Politik, The Practice of Social
Research, Handbook of Political Science, Political Science, dan Ilmu dalam
Perspektif. Jadi intinya gini, MIP itu membahas tentang paradigma dan perspektif
dalam ilmu politik.
Pak Titong menuju papan tulis buat menggambarkan skema metodologi di
papan tulis. Gini nih kurang lebihnya. Metodologi Ilmu Politik itu sebagai
episteme yang digunakan buat menguji objek formal dalam ilmu politik, atau yang
sering disebut dengan ontologi. Nah supaya benar, maka menggunakan paradigma
dan perspektif. Setelah benar, ilmu itu diharapkan bisa melakukan deskripsi,
eksplanasi, prediksi, dan preskripsi, sehingga ilmu itu memiliki nilai atau manfaat
(aksiologi). Biasanya, Metodologi Ilmu Politik diikuti oleh Metode Penelitian
Sosial, yang kemudian MPS ini dibagi menjadi Metode Penelitian Politik 1 dan
Metode Penelitian Politik 2. Nah hasil dari MPP ini adalah proposal penelitian.
Namun untuk tahun ini tidak dalam bentuk proposal. Contoh kecil dari penjelasan
di atas gini. Apakah teori revolusi itu benar? Nah ini artinya sedang menguji
episteme. Apakah hal itu bermanfaat? Apa manfaatnya? Kalau ini berarti
menyangkut aksiologi. Agar bermanfaat, ilmu itu harus bisa menjelaskan kenapa
suatu fenomena terjadi. Terus Bu Sofa itu memberikan gambaran mengenai
positivisme. Nah di dalam positivisme itu, teori yang di dalamnya mengandung
sebab akibat. Hingga saat ini, ilmu politik baru sampaipada tahap deskriptif, yakni
epistemologi dan metodologi, danbelum bisa menjelaskan atau
mengeksplanasikan mengapa suatu fenomena politik itu terjadi. Contohnya gini,
Kenapa Soeharto bisa turun? Bagaimana suatu teori itu bisa benar? Nah itu lah.
Itulah MIP. Mendeskripsikan segala sesuatu yang abstrak.
Setelah itu Pak Titong menjelaskan mengenai teknis kuliah. Ya kurang
lebihnya sama ah kayak kuliah sebelumnya. Kuliahnya tiap hari Senin jam 15.30
WIB. Tempatnya menyesuaikan. Kalau Miss Ana nggak mau di lantai dua gara-
gara kakinya udah nggak kuat lagi naik tangga. Kata Pak Titong diar dibantu aja
pake tali terus diiketin ke Miss Ana, trus dikerek dari atas. Wkwkwkwk. Kan lucu
yak. Duh duh duh ini Pak Titong sama Miss Ana lucu banget sungguh. Mudah-
mudahan aja MIP ini dibawa santai. Jadi enak deh. Akhirnya, jumpa pertama
selesai.
Sampai bertemu lagi dalam jumpa ENJOYABLE MIP...!!!
Senin, 4 September 2017
Hari ini adalah kuliah MIP bersama Pak Titong. Aku dan temen-temen
udah nunggu Pak Titong di ruang 9 lantai dua, eh ternyata dapet kabar kalau
kuliah MIP pindah ke ruang 2. Allahuakbar, itu kan jauh yak. Baru aja naik, eh
suruh turun lagi. Nggak papa ah, itung-itung olahraga sore. Untung aja udah
sholat dulu, jadi udah tenang. Pak Titong mohon maaf kalau misal kelasnya
dipindah di ruang 2, karena Miss Ana tidak kuat kakinya kalau kelasnya tetap di
ruang 9, jadi mau nggak mau harus tukeran kelas sama jurusan lain.
Setelah kelas sudah kondusif, Pak Titong memulai materi perkuliahan.
Pada dasarnya, manusia itu memperebutkan sumber daya, baik sumber daya alam
maupun sumber daya manusia. Sumber daya ini dijadikan sebagai alat dalam
politik sehingga bisa menimbulkan masalah politik. Setelah beberapa lama
membahas mengenai permasalahan politik, Pak Titong melanjutkan membahas
mengenai filsafat. Pada intinya, Filsafat itu merupakan berpikir secara radikal atau
mengakar, spekulasi, dan radikal. Pak Titong membahas lagi lebih dalam
mengenai skema yang pertemuan kemarin digambar di papan tulis. Epistemologi
merupakan metodologinya, yang merupakanklaim kebenaran suatu ilmu.
Epistemologi ini untuk menguji kebenaran suatu objek formal (ontologi). Ketika
objek formal itu sudah dibenarkan, maka tugas keilmuan adalah melakukan
deskripsi, eksplanasi, prediksi, dan preskripsi. Deskripsi ini adalah
menggambarkan. Pak Titong mencontohkan dengan mendeskripsikan pohon
kelapa. Kemudian beliau menyuruh kami berpikir untuk mendeskripsikan
bagaimana demokrasi itu, agar kami mengetahui maksud deskripsi. Sedangkan
eksplanasi itu berupa penjelasan, contohnya seperti penjelasanmanfaat masing-
masing bagian dari pohon kelapa. Prediksi berarti adalah memperkirakan
fenomena yang akan terjadi. Nah kalau preskripsi berarti resep. Ya gitulah secara
umumnya. Nah pertanyaan selanjutnya adalah, ilmu itu manfaatnya apa sih buat
masyarakat? Jadi ibaratnya gini. Di politik diajarkan mengenai pengertian
demokrasi, konsep-konsep demokrasi, dan lain-lain. Nah itu buat apa? Masyarakat
kan nggak butuh teori, nggak butuh konsep. Nah itu peran aksiologi. Trus kan
nanti abismetodologi kan ada MPS, trus lanjut MPP. MPP 1 itu penelitian
kuantitatif, sedangkan MPP 2 itu penelitian kualitatif.
Selanjutnya Pak Titong membahas tentang Persoalan Filsafat, yakni
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ontologi merupakan objek formal. Ibarat
alat tulis, ini membahas mengenai pensil, buku, penggaris, dan penghapus.
Namun ini dalam konteks politik. Jadi, objek formal dalam politik itu seperti
kekuasaan, demokrasi, dan lain-lain. Tadi dijelaskan bahwa filsafat itu bersifat
radikal, spekulatif, dan reflektif. Radikal berarti mengakar. Pokoknya segala
sesuatunya dikaji lagi sampai tidak menimbulkan pembantahan. Kalau spekulatif
artinya menghasilkan konsep-konsep dengan metode spekulasi. Sedangkan
reflektif yaitu melihat dengan realitas. Persoalan filsafat selanjutnya adalah
Epistemologi, yakni berbicara mengenai cara atau kerangka berpikir untuk
mencapai kebenaran suatu pengetahuan. Pak Titong tanya, sebenernya politik itu
membahas mengenai apa sih? Negara? Hukum juga negara? Ekonomi juga
negara? Lalu apa bedanya? Nah kemudian ini dibahas kembali (Epistemologi).
Selanjutnya adalah mengenai Aksiologi, yakni apa manfaatnya buat masyarakat.
Inilah problem aksiologi yang belum diselesaikan oleh Epistemologi. Pak Titong
kembali lagi menjelaskan mengenai ini nih. Setelah ontologi dibenarkan oleh
epistemologi, maka ilmu harus bisa melakukan deskripsi, eksplanasi, prediksi, dan
preskripsi. Deskripsi itu bercerita tentang HOW, yang pada dasarnya memberikan
pengetahuan (knowledge) bukan ilmu (science). Sedangkan eksplanasi itu
berbicara tentang WHY. Tujuan dari eksplanasi adalah supaya ada tretmen
terhadap sebab-sebab, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Namun dalam
pandangan positivisme yang dianut oleh eksakta, ilmu itu nggak harus berguna.
Contohnya dalam dasar fisika, penghitungan kecepatan buah jatuh dari pohon. Ya
kali bakalan ngitung kecepatan gituan.
Nah kalau dikembalikan lagi mengenai politikitu sebenernya mempelajari
apa, maka politik bicara mengenai pengaruh (force). Memang politik itu
mempelajari mengenai negara, pemerintahan, kekuasaan, seperti halnya ilmu yang
lain. Namun yang paling dikaji dalam politik dan tidak dikaji dalam ilmu lain
adalah mengenai pengaruh. Bagaimana aktor A mampu mempengaruhi aktor B.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah mengenai percontohan kehidupan sehari-hari.
Misalkan kita membaca novel atau menonton film. Kemudian kita terpengaruh
oleh gambaran keadaan atau situasi yang diceritakan di dalamnya. Apakah itu
merupakan politik? Jawabannya adalah IYA, tapi ini menurut teori dekonstruksi.
Selanjutnya adalah mengenai prediksi. Prediksi ini berbicara menegenai
bagaimana prospek ke depan. Caranya yaitu dengan melihat fenomena-fenomena
yang ada yang nantinya menjadi sebab terjadinya sesuatu. Jika kita sudah bisa
mengetahui sebabnya, maka kita bisa memprediksi bagaimana akibatnya atau
prospek kedepannya. Terakhir adalah mengenai preskripsi. Preskripsi ini adalah
resep atau petunjuk atau solusi atau nama lainnya adalah resepsi. Ini merupakan
resep dari suatu masalah yang terjadi. Tadi Pak Titong kurang lebihnya
menjelaskan mengenai ini. Beliau berpesan supaya mahasiswa benar-benar
mengerti materi ini dan membaca handbook of Political Metodology. Wah
kebayang tuh. Setiap mata kuliah harus membaca minimal 2 buku dalam satu
semester. Ada delapan mata kuliah semester ini. Berarti minimal harus ada 16
buku yang terbaca di semester ini. Wow, luar biasa! Tak terasa hari sudah sore,
dan perkuliahan pun diakhiri.
Sampai bertemu lagi dalam jumpa..... ENJOYABLE MIP..!!!!
Senin, 11 September 2017
Setelah menghadiri diskusi politik bersama dua praktisi politik yang
berasal dari Banyumas dan Purbalingga, kemudianberlanjut ke mata kuliah
Metodologi Ilmu Politik. Duh,udah hampir jam 15.30 WIB, tapi belum sholat,
belum makan, mata kuliah bakal segera dimulai. Aih! Aku sholat dan titip beli
makan ke temen. Pas selesai sholat, Pak Titong udah masuk kelas. Ah bodo amat.
Aku laper banget. Aku duduk di depan dan makan makananku. Laper cuy. Bodo
amat ah, dosennya juga paham kok insyaallah kalau mahasiswanya ini kelaparan
berat.
Yap, sore yang cerah tadi, aku mendapatkan mata kuliah MIP yang
materinya tentang paradigma. Dulu pas awal semester satu pernah dibahas sekilas
mengenai paradigma, tapi itu bener-bener sekilas dan ibarat hanya lewat tok. Pak
Titong menjelaskan bahwa paradigma merupakan suatu pijakan ilmuwan untuk
menjawab suatu persoalan. Paradigmaitu terbagi menjadi beberapa. Duadi
antaranya adalah Perspektif dan Approach atau pendekatan. Dalam tradisi peneliti,
ada empat paradigma, yakni Positivist, Interpretive (nonpositivis/antipositivis),
Critical, dan Postmodern. Hari ini Pak Titong banyak menjelaskan mengenai
Positivis dan Nonpositivis.
Dalam paradigma positivisme, yang terjadi adalah apa yang terlihat. Jadi
positivis ini menilai bahwasanya apa yang ia lihat adalah apa yang terjadi
sebenarnya. Tujuan positivist adalah melakukan eksplanasi dan kontrol. Jadi, ini
menjawab pertanyaan dari WHY. Dalam hal ini, pengendalian antara sebab dan
akibat sangat ditekankan. Kaum positivis selalu mencari sebab dari apa yang
terjadi. Caranya yaitu dengan melihat akibat. Hal ini bersifat rigid atau kaku.
Karena penilaiannya ini yang menyatakan bahwa ia menilai sesuai dengan apa
yang ia lihat. Dan apa yang ia lihat adalah apa yang benar-benar terjadi. Kata Pak
Titong, orang yang selalu menanyakan ‘mengapa’, maka dia adalah seorang
positivist. Dasar pengetahuan yang ada pada positivis adalah bersifat objektif,
measurable/terukur, value free/bebas nilai, universal, dan generalisable. Pertama,
objektif, yakni peneliti dan yang diteliti berada di tempat yang terpisah.
Maksudnya, tidak ada keterlibatan peneliti di dalam yang diteliti. Peneliti berada
di luar yang diteliti, sehingga rasa dari si peneliti tidak mempengaruhi hasil
penelitian. Ia menyatakan sesuai apa yang terjadi, sesuai dengan data. Kedua,
measurable atau terukur, yakni segala sesuatunya itu terukur bukan secara abstrak,
tapi secara konkret, dan bukan merupakan suatu konsep pemikiran. Terukur itu
maksudnya punya indikator-indikator. Contohnya gini, kenapa dia cantik? Karena
hidungnya mancung, kulit putih, tinggi semampai, rambut panjang, dan matanya
indah. Kalau di bidang politik gini nih contohnya, apa buktinya negara kita sudah
demokrasi? Ya kan sudah ada kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan
persamaan hak minoritas. Jadi segala sesuatu ada indikator-indokatornya. Karena
konsep itu ya konsep. Permasalahannya adalah bisa diukur nggak konsep-konsep
itu? Indikator-indikator dari konsep itu apa aja? Nah itu. Ketiga, value free/bebas
nilai, yakni ditunggangi oleh nilai-nilaitertentu. Peneliti tidak boleh mempunyai
kepentingan dan tidak boleh mengedepankan ideologinya. Kecuali penelitian itu
mengatasnamakan suatu pihak yang memerintahnya, maka si peneliti harus
mengikuti ideologi itu. Keempat, universal, yakni menyeluruh, hasil penelitian
yang ada berlaku di semua tempat. Jika penelitian dilakukan di Jakarta, maka hasil
penelitian itu berlaku di semua tempat. Kelima, generalisable, yakni dapat
digeneralisasikan atau dibuat menjadi umum. Jadi, hasil penelitiannya itu
mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum.
Selanjutnya Pak Titong menjelaskan mengenai researcher atau penelitinya.
Peneliti yang masuk dalam positivist merupakan mereka yang expert atau terlatih,
dan independent, yakni mandiri dan bebas dari kepentingan apapun, baik itu
kepentingan politik, individu, golongan, maupun kepentingan yang lainnya. Nah
positivis itu berhubungan sama yang namanya statistik, angka, kuantitas. Wujud
dari positivis ini harus bisa mengkuantivikasikan menjadi fenomena. Berarti harus
menguasai statistik. Yang kuantitas gini berarti ada di MPP 1. Ntar di MPP 1
harus mengasai banget yang namanya statistik. Mantap tuh. Angka itu adalah
simbol objektivitas. Bayangin deh, kalau nggak ada angka, apa jadinya dunia ini.
Pak Titong contohin gini, kamu pacarnya berapa? Nah loh! Bayangin kalau nggak
ada angka! Mau jawab ape lu! Bayangin kalau kita nggak kenal yang namanya
bilangan 12 3 4 5 dan seterusnya. Kelar dah hidup lo.. Tadi Pak Titong sedikit
membahas mengenai pembagian positivis. Positivis itu ternyata terbagi menjadi
dua, yakni traditional positivist dan post-positivist atau sering disebut positivisme
logis. Kalau yang tradisional itu oleh Comte, sedangkan yang logis itu oleh
Popper. Yak kurang lebihnya begitulah penjelasan positivisme dari Pak Titong.
Cukup jelas, tapi semakin keras berpikir dan semakin bingung. Oh Tuhan....
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai Interpretive atau Non-Positivist
atau Anti Positivist. Kata Pak Titong intinya kalau yang Non itu ya kebalikan dari
yang positivist. Jadi misal gini, kalau yang positivist itu sifatnya objektive, berarti
yang nonpositivis sifatnya subjektif, yang positivist itu landasannya adalah teori,
yang nonpositivist landasannya fakta, kalau yang positivist itu bersifat universal,
berarti yang nonpositivist orientasinya pada kasus. Ibaratnya kayak VS. Wkwk.
Ketika seseorang melihat fenomena, dengan sendirinya ia mengonstruksikan
fenomena itu. Konstruksi itu berarti maknsa yang tidak bermakna tunggal.
Misalnya gini, menurut A korupsi adalah bla bla bla, sedangkan menurut B
korupsi adalah blo blo blo. Kayak misal anak sekelas suruh mendeskripsikan
demokrasi, pasti nggak selalu sama. Nah itulah. Kemudian, dalam positivis yang
diteliti disebut objek, sedangkan kalau dalam nonpositivist yang diteliti disebut
subjek. Jadi, subjek meneliti subjek dan antarsubjek berada dalam satu tempat dan
saling memaknai, atau sering disebut dengan intersubjektivitas. Nonpositivist ini
suka menginterpretasi. Peneliti dan yang diteliti saling mengonstruksi fakta.
Dalam nonpositivist, yang terlihat belum tentu apa yang terjadi.
Tujuan dari nonpositivist ini adalah untuk memperoleh pemahaman atau
understanding atau versthen melalui deskripsi. Kalau di positivis itu bicara
mengenai WHY, maka di nonpositivist bicara mengenai HOW. Paradigma ini
menekankan bahwa jangan percaya dengan apa yang terlihat, karena yang terjadi
sesungguhnya adalah apa yang terlihat di belakang. Wuih, mantap ah. Dasar
pengetahuannya pun kebalikan dari positivis. Kalau nonpositivist itu bersifat
subjektif, nonmeasurable, kontekstual, value dependent, dan tidak universal.
Kontekstual maksudnya bahwa yang dilihat adalah konteksnya. Seseorang
mempengaruhi konteks dankonteks mempengaruhi seseorang. Contohnya, kenapa
ekonomi Indonesia rendah? Dilihat dari konteksnya, Indonesia dikuasai
ekonominya oleh negara-negar kuat di dunia sejak lama. Jadi patokannya bukan
indikator-indikator yang seperti di positivisme. Ini melihat konteks. Konteks itu
melingkupi atas apa yang diteliti. Sedangkan metode untuk melihat konteks
adalah geneologi yang dikemukakan oleh Fuco (Sejarah yang bukan sejarah).
Haha, lucu ah. Jadi misalnya gini, bagaimana bisa Kyai bisa mbatik? Melihat
konteks, bahwa guru dari gurunya gurunya bisa mbatik juga. Wah ntaps ah. Nah
kalau yang non universal itu ya kebalikannya universal. Kalau yang positivisme
itu kan berlakunya di semua wilayah, sedangkan kalau nonpositivisme itu hasil
penelitiannya hanya berlaku di wilayah yang diteliti saja. Peneliti dari
nonpositivist ini independent participant.
Pertanyaan selanjutnya yaitu sebenarnya manakah yang benar? Positivist
atau non positivist? Terus bagaimana kita tau bahwa kita itu memakai paradigma
yang mana? Baik positivist maupun nonpositivist sama-sama benar. Dan untuk
mengetahui kita itu memakai paradigma mana, maka kita melihat kembalipada
diri kita dalammenyikapi sesuatu. Misalnya kalau ada perdebatan tentang sesuatu.
Kalau kita lebih mengembalikannya kepada teori, maka kita termasuk positivist,
Namun apabila kita melihat fakta yang ada di baliknya, maka kita nonpositivist.
Contoh nonpositivist tuh gini katanya Pak Titong. Kasus aksi 212, sebenarnya
tujuannya bukanlah Ahok, melainkan pengepungan istana negara dengan bidikan
utama yaitu Presiden. Jadi, melihat sesuatu di balik sesuatu. Semua ini cukup jelas
dan cukup membingungkan. Jadi? Jelas membingungkan. Wkwkwk. Enggak lah.
Wong udah direview di diary, berarti ya ada yang nyantol, meskipun dikit. Nggak
papa, yang penting istiqomah. Wong namanya saja belajar, semakin banyak
belajar maka semakin bingung. Wkwkwkwk. Tepat jam 16.55 WIB, perkuliahan
selesai. Dan ternyata... MIP itu asik.
Sampai bertemu lagi dalam jumpa... ENJOYABLE MIP..!!!
Senin, 18 September 2017
Hari ini aku kembali belajar tentang metodologi. Sebenarnya aku udah
letih dan lesu, kalau kuliah sore, tapi aku tetap harus membangkitkan semangat
supaya aku bisa memahami materi dengan baik, karena aku sangat berharap aku
mampu memahami metodologi ini dengan begitu baik. Bismillah! Oke! Kuliah
tetap di ruang dua. Namun kali ini yang mengajar adalah Bu Sofa. Wah jujur aja
nih, ketika aku diajar sama Bu Sofa,pikiranku seakan langsung terbuka lebar dan
nggak bundhet. Bu Sofa itu suka menganalogikan sesuatu yang sederhana untuk
contoh. Bagaimanakah pembelajarannya? Yuk kita lihat!
Awalnya Bu Sofa meminjam bukuku untuk melihat sampai mana Pak
Titong mengajar. Karena sudah diajar mengenai positivisme oleh Pak Titong,
kemudian Bu Sofa memulai bertanya, apa itu positivisme? Dan tau nggak!
Nyatanya emang sulit untuk mengungkapkan apa yang ada pada pikiran kita.
Mulut itu sulit banget untuk mengungkapkan apa yang dipahami. Nah ini
namanya berarti belum paham. Positivisme ini kan adalah suatu paradigma, jadi
karena nggak bisa njawab apa itu positivisme, Bu Sofa ganti tanya, apa itu
paradigma? Jadi paradigma itu adalah basis kepercayaan utama dari sistem.
Hakikat atau basic atau substansi dari ini adalah ontologi, dimana ketika berpikir
basic yang digunakan adalah ontologi. Sedangkan metode atau cara pandangnya
dalah epistemologi. Dan apa gunanya ilmu itu adalah aksiologi. Wadaw! Kalau
masalah beginiat tiap minggu dibahas ampe nyoplok di luar kepala. Sangking
nyoploknya jadi nggak nempel lagi. Hahaha! Oke lanjut!
Kali ini Bu Sofa akan fokus pada non positivisme. Dan beliau
menerangkan bahwsanya non positivisme tidaklah sama dengan post positivisme.
Post positivisme ini hanya bagaimana ini memaknai positivisme. Jadi, non
positivisme merupakan paradigma kualitatif. Non positivisme ini terbagi menjadi
tiga paradigma, yakni konstruktivis, teori kritis, dan dekonstruksi. Dan setelahnya
beliau menyinggung sedikit mengenai apa itu politik, dan lain sebagainya.
Kembali lagi ke awal, bahwsanya kita tidak boleh lepas dari 3 hal, yakni ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Dan tadi semapat dibedah satu persatu mengenai hal
ini.
Pertama yang akan dibahas adalah mengenai konstruktivisme. Diawali
dari perbedaan ontologis. Ontologis itu objek ilmu dimana objek ilmu itu
memiliki paradigma bahwasanya realitas itu bersifat RELATIF, yakni antara
orang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam mengkonstruksikan sebuah
realitas. Hal ini dikarenakan objek tersebutbersifat unik dan tidak bia lepas dari
kontekas, sehingga secara ontologis dalam mengonstruksikan sesuatu itu bersifat
subjektif. Paham gak? Jadi gini. Realitas itu kan bersifat relatif, yang mana nggak
setiap orang tuh sama kan dalam mengonstruksikan sesuatu? Nah, karena setiap
orang itu nggak sama dalam mengonstruksikan sesuatu, maka itu bersifat
subjektif. Paham kan? Paham lah. Oke contoh awamnya gini deh. What’s your
opinion about hijab? Kita analogikan jilbab ini adalah sesuatu atau objek yang
unik. Nah pastinya antara satu orang dengan orang yang lain akan berbeda pikiran
dalam mengonstruksikan jilbab itu. Si Tukiyem pakai jilbab nih. Nah bisa aja aku
mengonstruksikan bahwa dia pakai jilbab emang karena menjalankan kewajiban.
Tapi si B mengonstruksikan Tukiyem pakai jilbab karena mungkin dia lagi sakit.
Si C menganggapnya Tukiyem pakai jilbab karena dia itu pengin nggaya
kekinian. Dan mungkin si D itu mengonstruksikannya karena Tukiyem tuh lagi
menutupi sesuatu di kepalanya. Who knows? Nah gitu lah contoh sederhananya
dari paradigma konstruktivisme ini. Intinya setiap orang itu memaknainya beda-
beda. Okeh! Secara singkatnya, perbedaan ontologis dari konstruktivisme ini
adalah bahwa konstruktivisme ini bersifat relative, yakni realitas merupakan
konstruksi sosial dimana kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai
dengan konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial tersebut.
Ilmu sosial tiak membicarakan mengenai benar atau salah dan baik atau
buruk, karena dalam hal ini ilmu sosial hanya berbicara mengenai ada dan tiada.
Secara konstruktivism, realitas itu bersifat relatif. Mengapa relatif? Karena setiap
orang ketika mereka mengonstruksikan sesuatu akan berbeda-beda. Sehingga di
sini tiada yang salah dan tak ada yang perlu disalahkan. Kemudian Bu Sofa
memberikan contoh lain, yakni mengenai pemakaian adat dalam karnaval HUT
RI. Pasti setiap orang mengonstruksikan ini berbeda-beda. Si A mengonstruksikan
bahwa hal itu untuk menunjukkan bahwasanya Indonesia adalah negara yang
multikultural. Si B mengonstruksikan bahwasanya mungkin presiden Joko
Widodo ingin menunjukkan akan kemenangannya sebagai presiden yang mana
hal ini tidak bisa dilakukan oleh presiden sebelumnya.
Selanjutnya adalah mengenai perbedaan epistemologis. Secara
epistemologi, konstruktivisme ini bersifat SUBJEKTIF yakni pemahaman suatu
realitas (ontologi) atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara
peneliti dan yang diteliti. Jadi, secara epistemologi, dalam memahami suatu
realitas itu melalui interaksi. Untuk memahami objek yang diteliti maka subjek
atau peneliti melakukan pendekatan dan interaksi dengan objek. Adalah suatu
ketidakmungkinan bahwasanya subjek itu mampu memahami objek tanpa
melakukan pendekatan terhadap objek dan melakukan interaksi. Sebagi contoh
adalah adanya judi wanita di Kampung Laut dimana yang memenangkan judi
tersebut akan mendapatkan sembako. Fenomena ini adalah fenomena yang biasa
di sana. Untuk meneliti hal ini, maka si peneliti harus masuk ke dalam bagian
yang diteliti. Dengan demikian, sangat membutuhkan interaksi yang intensif
dandekat, tidak menjaga jarak. Hal ini bertujuan supaya peneliti mampu
mengetahui makna yang sesungguhnya dari objek yang diteliti, Jadi, disini tugas
seorang researcher atau peneliti adalah bukanlah menjudge baik atau buruk, benar
atau salah akan suatu objek penelitian, tetapi tugas utama dari seorang peneliti
jika dipandang dari sisi epistemologis konstruktivisme ini adalah hanya memberi
makna dari apa yang diteliti. Untuk melakukan interaksi yang intensif sangat
membutuhkan kepercayaan dari apa yang diteliti, sehingga apa yang diteliti tidak
menyadari bahwasanya ia sedang masuk ke dalam objek penelitian. Contoh lain
adalah ketika seorang mahasiswa ingin meneliti perilaku dan aktivitas para
preman untuk mendapatkan data penelitian, maka mahasiswa tersebut
menumbuhkan kepercayaan dari objek penelitiannya dengan cara menyamarkan
dirinya menjadi seorang preman. Done! Aku paham!
Selanjutnya adalah mengenai perbedaan secara aksiologis. Secara
aksiologis, peneliti berperan sebagai fasilitator, yakni nilai, etika, dan pilihan
moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penelitian. Peneliti sebagai
passionate participant, yakni fasilitatorlah yang menjembatani keragaman
subjektivitas pelaku sosial. Tujuan dari penelitian adalah untuk merekonstruksi
realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan yang diteliti. Untuk
memudahkan kita dalam memahami konstruktivisme secara aksiologis, kita perlu
melihat di sekeliling kita, bahwasanya banyak sekali hal yang tidak biasa dan itu
dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa. Contohnya adalah ketika banyak
orang-orang yang tidur di kolong jembatan dan menjadi gelandangan, kaum
nasrani yang tidak bisa merayakan natal dengan pohon natal karena hidup di
tengah-tengah mayoritas muslim. Ini adalah suatu hal yang sungguh tidak wajar,
tetapi karena ini sudah terbiasa kita lihat dan kita saksikan, maka hal ini dianggap
sebagai hal yang biasa. Maka dari itu, tugas peneliti adalah sebagai fasilitator
yang menjembatani serta mengembangkan nilai dan etika. Peneliti dalam
melakukan penelitian harus melalui proses dialektika, yakni terus menerus atau
kontinue dalam memahami fenomena yang terjadi sesuai dengan yang peneliti
pahami. Dialektika itu ada dua, yakni etik dan emik. Etik adalah pandangan dari
peneliti, sedangkan emik adalah pandangan dari masyarakat atau pelaku sosial.
Sampai bertemu lagi dalam jumpa ENJOYABLE MIP...!
Senin, 25 September 2017
Setelah seminggu vacum dari MIP, hari ini MIP kembali lagi dengan
materi barunya. Alhamdulillah kuliah MIP itu sore, jadi nggak telat. Sungguh deh,
kayaknya aku udah jarang telat masuk kalau MIP deh. Bu Sofa itu kebiasaannya
adalah mereview materi minggu sebelumnya, jadi siapapun itu siap-siap aja spot
jantung, karena biasanya beliau nunjukin siapapun yang beliau kehendaki. Untung
aja yang ditunjuk bukan aku. Sebenarnya kalau misal aku pun nggak apa sih, aku
siap, kan udah lumayan paham. Haha. Setelah sekitar 15 Bu Sofa nunjukin
mahasiswa buat mereview materi selanjutnya, akhirnya tiba saatnya masuk ke
materi yang baru, yaitu Paradigma Kritis.
Pertama yang Bu Sofa jelaskan adalah mengenai perbandingan antara
konstruktivisme dengan kritis. Di papan tulis digambarkan dua bagan yakni yang
pertama bagan tentang konstruktivisme. Jika dijelaskan dalam kata-kata kurang
lebihnya seperti ini. Konstruktivisme itu memberikan makna dengan cara
menafsirkan akan gejala yang ada terhadap pelaku sosial melaui kata-kata,
tindakan, dan tulisan atau gambar. Sedangkan untuk bagan paradigma kritis jika
dijelaskan kurang lebihnya seperti ini. Paradigma kritis berarti peneliti
memberikan tafsir atas makna suatu gejala yang terjadi pada pelaku sosial. Gejala
tersebut berupa dominasi kekuasaan dimana pelaku sosial tidak menyadari atas
apa yang terjadi (dominasi kekuasaan tersebut). Kemudian peneliti melakukan
falsisikasi dan menyadarkan masyarakat bahwasanya terdapat dominasi kekuasaan
yang terjadi pada mereka. Di sini peneliti memiliki keberpihakan. Peneliti
melakukan perbaikan dan memberikan solusi. Jadi paradigma kritis ini merupakan
tafsir yang berpihak, dimana terdapat dominasi kekuasaan. Jika konstruktivisme
berarti hanya mengonstruksikan, yakni hanya berusaha melihat makna dari
sesuatu. Di dalam paradigma terdapat istilah etik dan emik. Etik adalah
bagaimana peneliti memaknai sesuatu. Sedangkan emik adalah bagaimana
masyarakat memaknai sesuatu. Paradigma kritis itu memaknai bahwasanya apa
yang terjadi tidaklah seperti apa yang terlihat.
Bu Sofa memberikan contoh mengenai paradigma kritis. Contohnya
adalah petani itu miskin. Apakah petani miskin memang karena miskin, atau
karena dimiskinkan? Di sini peneliti memosisikan diri sebagai pelaku sosial,
yakni petani itu sendiri. Dalam kasus ini sudah jelas terdapat dominasi kekuasaan
yang bermain dalam hal ekonomi. Petani tidak menyadari bahwa terdapat aktor
yang mendominasi mereka. Petani mengolah lahan dan merawatnya dengan
pupuk yang mahal dan susah payah, tetapi kenyataannya harga hasil panen
sangatlah rendah, bahkan tidak sebanding dengan tenaga, waktu, dan modal yang
sudah dikeluarkan. Kemudian peneliti melakukan perbaikan dan memberikan
solusi atas apa yang terjadi. Jadi di sini paradigma kritis mampu mengungkap
makna di balik realitas yang terjadi.
Kemudian mahasiswa diperintahkan untuk mencari contoh lain mengenai
penggunaan paradigma kritis. Contoh yang lain adalah mengenai penelitian kaum
minoritas, yakni kaum syiah. Di sini peneliti harus memosisikan diri sebagai
minoritas. Kaum minoritas, yakni kaum syiah ini tidak menyadari adanya
diskriminasi, dan menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang biasa. Hal
inimenyebabkan mereka tidak bisa berekspresi. Kemudian di sini peneliti
melakukan perbaikan dan memberikan solusi. Kemudian ada yang memberikan
contoh mengenai LGBT dimana pelaku transgender jenis kelamin di dalam KTP
tidak tertulis transgender, tetapi hanya ada jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Di sini lah peneliti berperan untuk memberikan makna dan melakukan perbaikan
serta solusi yang tepat. Pertanyaannya adalah, apakah kritis selalu berhubungan
dengan minoritas? Jawabannya adalah tidak. Minoritas yang menjadi contoh
adalah minoritas yang haknya tidak terpenuhi dan hak mereka terlanggar.
Minoritas juga ada yang berkuasa, jadi kritis tidak selalu menyangkut minoritas.
Kemudian Bu Sofa menjelaskan mengenai perbedaan ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Jika dilihat dari sisi ontologi, maka paradigma kritis
ini bersifat historical realism, yakni realitas yang teramati merupakan realitas yang
semu yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial,
budaya, ekonomi, dan politik. Dilihat dari sisi epistemologis, maka paradigma
kritis ini bersifat subjektivis, dimana pemahaman realitas atau temuan suatu
penelitian merupakan produk interaksi yang sangat intensif dimana terdapat
keberpihakan peneliti. Sedangkan secara aksiologis, paradigma kritis itu adalah
activist, yakni peneliti menempatkan diri sebagai transformative intellected,
advokat, dan aktivis. Nilai dan etika serta pilihan moral merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan
kritik sosial, transformasi, emansipasi, dan social empowerment.
Untuk lebih jelasnya inilah bagan perbedaan antara paradima
konstruktivisme dengan paradigma kritis.
Perbedaan Konstruktivisme dengan Kritis
PERBEDAAN KONSTRUKTIVISME KRITIS
Ontologi Realitas bersifat relatif Realitas bersifat semu (yang
(tergantung pada tafsir dan nampak bukanlah yang
pemaknaan dan bersifat tidak terjadi semestinya, terdapat
universal). Objek adalah sesuatu dibalik hal tersebut
sesuatu yang unik. dengan melihat latar
belakang.
Epistemologi Interaksi antara peneliti Peneliti didukung dengan
dengan pelaku sosial bersifat nilai keberpihakan dengan
intensif. interaksi yang lebih intensif.
Aksiologi Peneliti sebagai fasilitator Peneliti sebagai aktivist
yang memberikan solusi
atau perbaikan.
Traditional positivism/
Positivisme conventional positivism
Paradigma Post-Positivisme
Non-Positivisme Contructivisme
Critical Theory
Decontructionisme
Paham lah ya bagan ini maksudnya apa? Paham. Kemudian Miss Anda
mengulas sedikit mengenai Positivisme. Pertama menjelaskan mengenai
Conventional Positivisme atau Traditional Positivisme. Secara ontologi,
traditional positivis itu bersifat realist. Realist itu ada “di sana”, terjadi di luar diri
peneliti, diatur oleh hukum alam. Objek itu ada tapi diluar dari peneliti.
Pengetahuan entitas, hukum, dan mekanisme ditentukan oleh waktu. Secara
epistemologi, tradisional positivisme bersifat dualis atau objektif, yakni
memungkinkan peneliti untuk mengambil jarak dengan apa yang diteliti, tidak
berinteraksi dengan yang diteliti. Tidak ada nilai subjektivitas yang
mempengaruhi hasil. Sedangkan secara metodologi, maka menggunakan
eksperimental atau manipulative.
Kemudian selanjutnya masih membahas mengenai positivist, yakni post-
positivisme. Secara ontologi post-positivisme itu bersifat critical realist. Realitas
itu ada tapi tidak begitu saja ada dan bergantung pada hukum alam. Secara
epistemologi, post-positivist bersifat modified objectivist, yakni objektivitas
dibenturkan dengan tradisi dan komunitas yang ada secara kritis. Hal ini berarti
juga mengadopsi nilai-nilai kuantitatif. Tidak begitu saja menerima suatu teori,
karena menggunakan unsur tradisi sebagai pembanding. Sedangkan untuk
metodologi menggunakan modified experimental yang mana ditumpangi metode
kualitatif.
Selanjutnya Miss Ana menuju ke non-positivisme, yakni critical theory,
yakni penelitian yang berorientasi pada ideologi nilai yang ditransformasikan.
Secara ontologi, critical theory sama dengan post-positivist, yakni bersifat critical
realist. Secara epistemologi, critical theory bersifat subjektif. Subjektif di sini
bukan karena apa yang ditelitinya, tetapi karena nilai yang diyakini oleh diri
peneliti. Di sini peneliti menemukan kejanggalan-kejanggalan. Sedangkan secara
metodologi, maka menggunakan dialogis dan transformatif, yakni mengeliminasi
kesadaran yang salah dan mendorong transformasi atau perubahan. Penelitian
menjadi tindakan politik bagi peneliti karena nilai yang diyakini peneliti itu
sendiri, sehingga bisa membangkitkan nilai-nilai yang tertindas.
Nggak terasa waktunya udah sore, dan aku pun sudah lelah. Padahal yang
konstruktivisme belum dibahas. Kata Miss Ana dibahas pertemuan depan saja.
Oke baiklah.
SAMPAI BERTEMU LAGI DALAM JUMPA.... ENJOYABLE MIP!!!
Selasa, 17 Oktober 2017
Setelah pertemuan kemarin berbingung-bingung ria dengan video yang
entah apa, tadi Miss Ana melanjutkan materi. Kemarin sudah dijelaskan mengenai
conventional positivist, post positivis, dan critical theory. Kemudian tadi Miss
Ana melanjutkan mengenai konstruktivisme.
Konstruktivisme secara ontologis bersifat relativisme. Awalnya Miss Ana
tanya, apa maksud dari relativ? Terus anak-anak pada diem, termasuk aku.
Sebenernya aku pengin banget jawab, tapi apalah daya perutku lagi sakit, bikin
males ngomong. Akhirnya Miss Ana tanya ke Nofrian, dan dia nggak bisa jawab.
Berlanjut Miss Ana tanya ke Indra, Indra jawab kalau relatif itu ya kayak cantik
itu relatif, berarti realistis. Gitu katanya. Terus kata Miss Ana salah. Selanjutnya
yang ditunjuk adalah aku. Terus aku menjawab dengan yakin bahwa relatif berarti
setiap orang memiliki pemikiran dan pandangan yang berbeda terhadap suatu hal.
Wehh, kata Miss Ana betul. Terus kembali ke slide power point yang ada di
depan. Relativisme maksudnya realitas itu hadir dalam bentuk konstruksi mental
yang beragam. Konstruksi itu didasarkan pada pengalaman sosial dimana
pengalaman setiap orang tidaklah sama. Konstruktivisme ini bersifat
lokal(setempat) dan bersifat spesifik atau khusus. Jadi realitas di sini berbeda
dengan yang di sana. Tergantung siapa yang mengonstruksikan, siapa yang
meneliti, dan siapa yang melihat.
Kemudian secara epistemologis, konstruktivisme ini bersifat subjektif.
Penelitidan yang diteliti melebur menjadi satu sehinggabisa menghayati dan bisa
memahami informan itu secara utuh. Temuan penelitian adalah kreasi atau
bentukan atau hasil dari proses interaksi antara peneliti dengan yang diteliti.
Secara metodologis, konstruktivisme itu bersifat hermeunetik dan
dialektik. Dialektik itu berarti lebih dari dialog, terdapat proses perenungan atau
refleksi. Sedangkan hermeunetik itu berasal dari bahasa Yunani, yakni Hermes,
yang artinya penyampai pesan. Hermeneuin artinya menafsirkan atau
menginterpretasi. Konstruksi individu dibatasi secara hermeneutik, dikomparasi
dan disampaikan secara dialektik. Konstruktivisme itu tidak bebas nilai dan
bersifat skeptis.
Selanjutnya Miss Ana membahas mengenai paradigma baru, yakni
dekonstruksionisme. Rata-rata nulis pada salah jadi dekonstruktivisme. Nah ini
nih! Ini itu dimulai dari gerakan post modern yang sangat kuat terutama dari
kalangan intelektual. Pengaruhnya terasa hampir di setiap kebudayaan. Contohnya
adalah kesukaan, koreksi politik, multikulturalisme, dan perang budaya. Ini
menjadi sangat perlu untuk men-smash nilai-nilai tradisional.
Dekonstruksionisme ada dengan latar belakang tertentu. Untuk memahami
karakter ‘D’ harus mendalami pengetahuan pemikiran budaya barat. Ada dua
pemikiran yakni modernisme dan post-modernisme. Namun kali ini Miss Ana
tidak membahasnya, karena jika membahas mengenai modernisme dan post-
modernisme maka 3 SKS pun nggak bakalan cukup. Jadi Miss Ana tetep fokus
pada dekonstruksionisme ini secara garisbesar.
Secara gampang, dekonstruksionisme ini adalah cara membaca teks.. Hal
ini diawali dari metode kritik literatur dan hanya diaplikasikan untuk teks literatur.
Bagi penganut dekonstruksionisme, hidup adalah sebuah teks untuk
diinterpretasikan. Fokus utama dari paradigma ini adalah tidak pernah bermaksud
untuk memahami seorang penulis, tapi bagaimana interpretasi pembaca terhadap
apa yang dibacanya. Semua tulisan bisa direduksi sebagai tanda-tanda linguistik
sehingga pemaknaannya tidak ada hubungannya dengan si pembuat tulisan.
Misalkan ada sebuah novel, maka bukan penulisnya lah yang
diinterpretasikan, melainkan isi tulisan tersebut. Kata demi kata diinterpretasikan.
Dekonstruksionisme juga bisa untuk menganalisis film. Misalkan film Lord of
The Ring. Biasanya mahasiswa skripsi menggunakan paradigma
dekonstruksionisme untuk menganalisis film tersebut. Itulah kurang lebih materi
yang disampaikan Miss Ana hari ini.
Sampai bertemu lagi dalam jumpa........ ENJOYABLE MIP..!!!
Senin, 30 Oktober 2017
Setelah minggu kemarin berpusing ria dengan UTS metodologi yang luar
biasa, akhirnya tadi berjumpa lagi dengan mata kuliah MIP. Tau nggaksob?
Bayangkan saja, aku diajar oleh tiga dosen yang memiliki karakter yang berbeda,
dan mereka mengajar satu mata kuliah yang sama. Dan fyi, pas UTS pun totalitas
banget ngerjainnya. Ada soal ujian tertulis dan soal take home. Ujian tulis
menurutku bukan suatu masalah, karena aku merasa bisa saat mengerjakan, tapi
take home itu ibarat sepuluh kali lipat bikin mikir dari pada ujian tulis.
Sebenarnya aku menikmati take home essay ini, tetapi rasanya itu sungguh
membosankan saat mengerjakannya. Dan aku mengerjakan soal take home
dengan mulus tanpa ada halangan apapun. Oke baiklah, kita balik ke materi MIP
yang tadi diajarkan.
Pertemuan pertama diajar oleh Pak Titong. Setelah tiga bulan aku diberi
makan mengenai paradigma, kini saatnya aku belajar perspektif. Menurut Pak
Titong, perspektif adalah sudut pandang. Namun pas itu kata Miss Ana sudut
pandang itu adalah paradigma. Nah loh! Ketahuan nih di sini kalau pikiran
mereka belum satu frame. Aduh duh duh.. jatuhnya mahasiswanya yang jadi
korban. Aku yakin 100% hanya beberapa anak saja yang sadar kalau ternyata
Miss Ana sama Pak Titong berselisih pendapat mengenai ini. Oke baiklah,
lupakan saja hal ini. Kita menuju tujuan dari perspektif. Perspektif ini bertujuan
untuk melakukan suatu analisis. Dengan adanya perspektif pada setiap orang,
maka mereka mampu melakukan analisis. Intinya, gejala-gejala politik tidak dapat
dijelaskan secara utuh dengan satu perspektif atau sudut pandang. Pak Titong
menganalogikan secara awamnya seperti ini. Misal dari sisi kanan ruangan kelas
dijebol, maka kita akan berpendapat bahwa FISIP adalah seperti A. Jika dari sisi
kiri ruangan kelas dijebol, maka FISIP akan tampak seperti B, begitupun ketika
melihat FISIP dari arah atas, depan, dan belakang. Maka dari itu, gejala-gejala
tidak bisa dijelaskan secara utuh.
Pertanyaannya, jika tidak dapat dijelaskan secara utuh, maka penjelasan
gejala-gejala politik yang dijelaskan itu benar atau tidak? Jika kembali ke
perspektif masing-masing, maka tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu
disalahkan. Adalah suatu hal yang wajar apabila analisis setiap orang itu berbeda,
karena mereka pun memiliki perspektif yang berbeda.
Contoh : Jika ada koalisi partai PDIP dengan PKS, maka setiap orang yang
menganalisis pasti berbeda-beda.
A : Koalisi PDIP dengan PKS tidak akan berhasil karena bisa menimbulkan
konflik santri dan abangan yang sedari dulu tidak pernah mencapai
kosensus.
B : Koalisi tersebut akan berhasil, karena dengan adanya koalisi ini bisa
menguasai lebih banyak kelompok dan daerah, yakni dari kelompok
PKS dan PDIP itu sendiri di setiap daerahnya.
Jadi perdebatan yang disebabkan karena perbedaan persepektif itu adalah
sia-sia, karena perspektif setiap orang itu berbeda. Itulah mengapa perbedaan itu
indah. Ya karena ini, perspektif. Dengan ini, kita bisa mengetahui kebenaran dari
apa perbedaan, yakni kebenaran dari apa yang belum kita ketahui. Edan ah!
Ntapz!
Itu sedikit pengantarmengenai perspektif. Selanjutnya masuk ke materi
Filsafat Politik. Ternyata ada perbedaan makna dari teknis penulisan ‘teori politik’
dengan ‘Teori Politik’.
teori politik = teori empiris, yakni yang sesuai dengan realitas yang ada.
Teori Politik = Filsafat Politik, yakni perspektif awal.
Jadi kalau dilihat dari tulisan di atas ini, perspektif awal adalah Filsafat
Politik. Sebelum abad 18, teori dimaknai secara bebas, yakni bukan suatu konsep
khusus atau bukan untuk dianalisis. ‘Politik’ dan ‘Teori Politik’ dimaknai secara
bebas pula. Jadi apa yang dipikirkan orang tentang “politik”, itu adalah teori. Saat
abad ke 18, berkembanglah filsafat moral. Jadi, filsafat itu bercerita mengenai
moral manusia, mengenai baik dan buruh. Kekuasaanlah yang menjadi aspek
utama kehidupan sosial, sehingga muncullah filsafat politik. Menurut Francis
Lieber, filsafat politik itu membahas teori negara dan etika politik. Dan filsafat
politik ini mengadopsi pemikiran klasik yang dicetuskan oleh Thucydes, Plato,
dan Aristoteles.
Jujur aja nih ya, tadi tuh aku kurang fokus pas lagi ada kelas, karena ada hal
besar yang aku pikirkan. Sungguh! Apa itu? JOB! Ya, hari ini aku dapet job 10
artikel dan sore tadi aku belum mengerjakan satu pun! Dan aku tuh tadi banyak
nggak fokusnya, karena aku diem sendiri cari ide buat nulis artikel yang deadline-
nya tadi jam 23.00. Parah banget sungguh! Itu bener-bener kacau banget
pikiranku! Biasanya tuh aku bener-bener menghayati metodologi. Nah tadi aku
kecolongan. Namun aku nangkep yang disampaikan Pak Titong bahwasanya
Filsafat Politik itu merupakan analisa yang logis yang rasional yang berbicara
tentang moral dan kebaikan. Teori Politik atau Filsafat Politik memproduksi
pengetahuan yang logis.
Akhir abad 18, yakni sekitar tahun 1880, John Burquess mendirikan sekolah
Ilmu Politik. Fokus dari ini adalah mengenai teori negara sebagai studi filsafat
politik (perspektif tertua dalam ilmu politik). Teori negara ini menyangkut
kekuasaan. Ilmu politik sebagai disiplin, yakni memiliki objek yang jelas, yaitu
negara, karena sudah memiliki runtutan yang jelas.
Secara singkat dan jelasnya seperti ini. Pak Titong itu menjelaskan mengenai tiga
hal, yakni Filsafat Politik, Institusionalisme, dan Behavioralisme.
- Filsafat Politik itu perspektif pertama dalam ilmu politik yang membahas
mengenai moral atau prinsip-prinsip yang baik dalam masyarakat.
Menghasilkan pengetahuan yang logis. Rasional menjadi dasar kajian.
- Institusionalisme disebut juga pendekatan tradisional. Institusional ini
berkaitan dengan aturan dan lembaga, bersifat normatif, dan merupakan
ide tentang fakta.
- Behavioralisme disebut juga politik modern yang membahas mengenai
perilaku individu aktor. Kalau membahas mengenai perilaku, berarti itu
bersifat empiris.
Itu senangkepku aja si. Gatau kebenarannya bagaimana. Tapi insyaallah materi
yang tadi disampaikan oleh Pak Titong masuk kok, meskipun lagi nggak begitu
fokus. Namun sebenarnya materi hari ini adalah mengenai gambaran perspektif
secara umum dan filsafat politik. Namun kok agak nggrambyang gimana gitu yak.
Oke baiklah, mudah-mudahan materi tadi bisa nyantel.
Sampai bertemu lagi dalam jumpa.... ENJOYABLE MIP..!!!
Senin, 6 November 2017
Kita kembali lagi belajar MIP, Metodologi Ilmu Politik. Pertemuan kali ini
masih bareng sama Pak Titong. Ini adalah pertemuan kedua setelah UTS kemarin.
Duh, sebenarnya aku masuh agak kewalahan nih dengan yang namanya
perspektif. Ibaratnya kayak olahraga nggak pemanasan dulu, dan bikin asam laktat
di kaki itu ngumpul sehingga menyebabkan sakit. Inilah yang aku alami tadi
ketika belajar perspektif. Menurutku nih, aku lebih menguasai paradigm daripada
perspektif, karena jujur aja pas lagi ngerjain soal paradigma itu rasanya nggak
begitu beret, ya meskipun terlepas seberapapun nilaku sih ya. Tapi kali ini
perspektif aku harus super deh dalam memahami. Padahal kalau dilihat materinya
ya gitu-gitu aja. Tapi kadang permasalahanku itu ya itu lagi dan itu lagi, yaitu
susah banget menuliskan apa yang udah berusaha dipahami. Terkadang otak udah
membuat pemahaman, tapi pas mau ditulis.. beuuhh… agak rempong euy.
Okay, hari ini Pak Titong mengajarkan mengenai perspektif
institusionalisme dan behavioralisme. Sebenarnya materi ini sudah sedikit
disinggung saat pertemuan sebelumnya. Tapi seingatku itu hanya sekilas. Dan hari
ini bakal mbahas dan mengupas tuntas mengenai dua perspektif ini. Sebenarnya
nggak tuntas-tuntas banget sih. Pertama yang Pak Titong bahas adalah mengenai
perspektif institusionalisme. Kurang lebihnya gini nih.
Perspektif Institusionalisme
Sering disebut dengan perspektif tradisional, yang notabene sudah ada sejak
lama. Perspektif ini itu menyatakan bahwasanya politic is a theories of idea about
the fact, yakni ide-ide terhadap kehidupan politik dan bernegara. Perspektif ini
merupakan ide tentang fakta yang bersifat normative dan valueable. Pendekatan
tradisional itu biasanya menghubungkan filsafat politik dan institusionalisme-
legal formalisme.
Dan inilah beberapa ciri dari perspektif institusionalisme:
- Bersifat tidak empiris, padahal science itu mengkaji segala sesuatu yang
empiris
- Teori tidak berdasarkan fakta, dimana teori yang dihasilkan tidak ilmiah,
karena hanya merupakan ide.
- Bias disiplin, tidak dapat diklarifikasikan berdasarkan ilmunya. Dengan
mengklarifikasikan ilmu maka akan dapat memperoleh manfaat, yakni
hubungan antara metodologi dengan aksiologi. Dan disini masih bias
disiplin.
- Gejala politik hanya sekadar judgement saja. Ontologi politik itu sangatlah
luas, jadi bukan hanya sekadar judgement, tetapi juga tentang kekuasaan
yang ada di kehidupan masyarakat.
- Bersifat terlalu subjective, dimana pemahaman tentang fakta didapat
melalui ide-ide tidak bisa menjadi suatu kebenaran secara umum,
melainkan kebenaran bagi orang-orang tertentu saja yang memiliki ide dan
pemikiran yang sama.
- Bersifat historis, karena mendasarkan kajiannya pada aspek sejarah yang
berasal dari tradisi pencerahan.
- Menggambarkan mengenai hubungan penelitian politik dengan pelayanan
public yang dilakukan.
Dalam hal ini, perspektif institusionalisme ini berarti melihat fakta-fakta
terlebih dahulu, barulah muncul ide.
FAKTA IDE
Secara singkat dan jelasnya seperti ini. Pak Titong itu menjelaskan mengenai tiga
hal, yakni Filsafat Politik, Institusionalisme, dan Behavioralisme.
- Filsafat Politik itu perspektif pertama dalam ilmu politik yang membahas
mengenai moral atau prinsip-prinsip yang baik dalam masyarakat.
Menghasilkan pengetahuan yang logis. Rasional menjadi dasar kajian.
- Institusionalisme disebut juga pendekatan tradisional. Institusional ini
berkaitan dengan aturan dan lembaga, bersifat normatif, dan merupakan
ide tentang fakta.
- Behavioralisme disebut juga politik modern yang membahas mengenai
perilaku individu aktor. Kalau membahas mengenai perilaku, berarti itu
bersifat empiris.
Intinya gitu lah. Terus Pak Titong menawarkan Bu Sofa untuk melanjutkan
materi, tetapi Bu Sofa tidak mau, karena merasa cukup. Dan akhirnya diambil alih
oleh Miss Ana. Dan Miss Ana mengatakan bahwa ia ingin mahasiswanya tau akan
gambaran mengenai post-strukturalisme dengan cara melakukan studi
perpustakaan dengan membaca metodologi penellitian di skripsi. Apakah benar
perspektif untuk skripsi tersebut menggunakan perspektif strukturalisme atau
post-strukturalisme, dan sejauh mana penelitian tersebut menggunakan perspektif
ini. Ibarat Pak Titong adalah pondasinya, Bu Sofa tiangnya, sedangkan Miss Ana
yang menghancurkan dan mengobrak-abrik semuanya.
NO STRUKTURALISME POST -
STRUKTURALISME
1. Realitas berdasarkan struktur yang historis, Realitas berdasarkan kritik
yakni pola yang terbentuk tidak pernah terhadap strukturalis, yakni
lepas dari struktur masa lalu. pola yang terbentuk
terlepas dari struktur masa
lalu
Emang ini banyak banget, karena kita nganalisis 6 skripsi. Padahal niatnya ada
pertemuan lagi buat mendiskusikan ini, dan akan kubuktikan pada Miss Ana kalau
kelompok kami itu mengerjakannya. Namun nyatanya ini adalah yang terakhir.