Anda di halaman 1dari 4

Experd Consultant

Di tengah suasana politik yang memanas menjelang pilpres, kita


melihat banyak orang yang kemudian menjadi antipati, membenci
politik. Salah seorang teman, yang memiliki “pengaruh” dan
sering dinanti pendapatnya di media sosial pun ikut berkomentar
keras. Beliau mengatakan benci politik, karena politik
menyebabkan orang kehilangan ketulusan: “tidak ada “teman”
dalam politik” komentarnya. Ya, kita lihat betapa perilaku
berpolitik yang sekarang kita saksikan seringkali tidak memberi
pelajaran positif mengenai politik. Kita bingung melihat orang
berkawan dengan orang lain yang kita tahu jelas-jelas berbeda
prinsip. Saat sekarang ini kita melihat koalisi dibangun atas dasar
kepentingan dan keuntungan pihak tertentu, janji begitu mudah
dilanggar, dan komitmen menjadi mudah diputarbalikkan.
Padahal, ilmu politik yang dipelajari orang di universitas, tentulah
memiliki prinsip dan etika untuk kebaikan, bukan?

Dalam skala kecil, di kantor, kita pun sebetulnya tidak lepas dari
politik. Kita juga bisa mengalami hal-hal yang di luar perhitungan,
tidak terpikirkan oleh kita. Kita yakin bahwa kitalah yang
berprestasi, sanggup menggerakkan tim, mengerjakan proyek
yang sulit, dan akan mendapatkan promosi. Namun ternyata,
orang lain yang dikenal dekat dengan pengambil keputusanlah
yang di angkat. Kita bisa saja serta-merta menyalahkan kotornya
kegiatan berpolitik di kantor dan berjanji untuk ‘main politik’.
Pertanyaannya: mungkinkah kita “lurus-lurus” saja, tanpa taktik
untuk mencapai dan memuluskan apa yang ingin kita capai demi
organisasi? Orang pasti berbeda pendapat, berbeda aliran pikiran
dan juga berbeda cara. Bila kita memang mau menjadi ‘pemain’
dalam organisasi, kita memang tidak bisa tinggal diam dan
sekedar menjadi penonton. Bila kita tidak terjun ke kegiatan
politik di perusahaan, kita bisa tidak tergolong kelompok
manapun. Kita pun jadi tidak ‘terlihat’ karena kemunculan kita
secara sosial menjadi terbatas. Jadi, menghindar dari kegiatan
politik dalam organisasi pun tidak menjamin kesuksesan. Positif
atau negatif, berpolitik ini memang perlu dilakukan. Filsuf
Yunani, Plato, bahkan mengatakan: ”One of the penalties for
refusing to participate in politics is that you end up being
governed by your inferiors”. Kita bisa melihat bahwa orang yang
tak pandai berpolitik, bisa dipastikan tidak mungkin mencapai
posisi kepemimpinan yang efektif.

Dalam setiap tempat kerja, intrik dan permainan kekuatan atau


“power” itu pasti ada. Ada orang yang memainkan kepakarannya
sebagai kekuatan, ada yang memanfaatkan akses ke pihak
pembuat keputusan sebagai ‘kartu as’, ada juga yang
berkelompok, baik karena persamaan nasib, almamater, gender,
dan karakter sosial lain yang ada. Ini kenyataan. Seorang ahli
manajemen menekankan perlunya kita mengembangkan
ketrampilan dalam mengembangkan kegiatan politik yang positif
(positively politically savvy). Jadi, hal yang perlu kita mainkan
bukan menghindari dan membenci politik, namun memainkan
politik secara etis dan tulus, sehingga kita tidak perlu merasa
bahwa kegiatan ini adalah kegiatan yang tidak terpuji.

Membaca Jejaring Sosial

Gerald Ferris, Sherry Davidson, dan Pamela Perrewe, pengarang


buku Political Skill at Work: Impact on Work Effectiveness
menekankan , agar kita tidak boleh mencampuradukkan antara
berpolitik dan sikap manipulatif. Bila diterapkan dengan tepat,
maka politik akan menghasilkan hal-hal yang baik, tidak hanya
untuk pelakuya, tapi juga untuk lingkungannya. Salah seorang
tokoh yang meyakini bahwa kegiatan berpolitik itu adalah
kegiatan yang terpuji, adalah wakil gubernur Basuki Tjahaja
Purnama. Beliau menyakini bahwa orang perlu berpolitik bila
ingin mewujudkan idealismenya. Bagi beliau, idealismenya adalah
membela kepentingan rakyat kecil. Bila kita memiliki kejernihan
niat seperti inilah baru kita bisa menghindari sikap manipulatif.

Ketrampilan berpolitik yang penting namun sering diabaikan


orang adalah kemampuan membaca jejaring sosial yang ada di
lingkungan tertentu. Kita sebetulnya perlu memperkuat kejeliaan
kita dalam melihat: Siapa orang yang sudah membentuk citra
positif dan siapa yang tidak direspek? Siapa orang yang
memengaruhi dan siapa yang dipengaruhi? Siapa ‘penggerak’ dan
‘pendorong’ dalam organisasi? Siapa konektor yang handal, dan ke
mana arah kekuatannya? Dan juga, siapa orang yang benar-benar
bisa kita percaya, untuk menyampaikan apa yang kita kehendaki
tanpa ragu? Terkait hal ini, kita tentu ingat salah satu kutipan
populer dari filem God Father: "Keep your friends close and your
enemies closer". Kejelian membaca jejaring sosial ini jelas
penting, karena tanpa observasi yang jeli, kita tidak bisa
mendapatkan apa yang kita mau. Kita harus ingat bahwa
keputusan tidak terjadi di ruang rapat ataupun dalam email
formal, namun justru terjadi di tempat-tempat percakapan santai.

Fokus pada Tujuan Organisasi

Pemimpin yang baik akan selalu mengingatkan timnya tentang


apa yang perlu difokuskan dan apa yang sedang disasar oleh
kelompok. Kata-kata bersayap, gosip, keraguan, pesimisme hanya
bisa dilawan dengan sikap yang jelas, tegas, dan berpegang pada
nilai organisasi. Kita harus ingat bahwa kita bukan hanya punya
dua pilihan: “menyerang” atau “menyerah”, namun sesungguhnya
kita bisa mengambil langkah-langkah untuk menciptakan suasana
di mana semua orang merasa menang atau “win-win”.

Kita perlu meyakini bahwa tidak ada individu yang tidak ingin
organisasinya sukses. Hal inilah yang harus dipastikan antar
individu, apalagi bila ada yang berkonflik. Tidak seperti konflik
antar partai yang bisa terlihat frontal, konflik dalam organisasi
seringkali lebih berbentuk penyebaran rasa tidak puas, keluhan
dan ketidaksetujuan. Mengubah suasana seperti ini tidaklah
mudah, apalagi bila mulai terjadi hubungan “like-dislike” atau
rasa dendam karena kata-kata yang menyakitkan atau
memalukan. Agar bisa berpolitik sehat kita terkadang memang
perlu ‘selfless’ atau mengalahkan kepentingan diri sendiri. Satu
hal yang bisa membawa hasil yang positif adalah mengembalikan
semua tindakan dan ajakan ke tujuan utama organisasi, misalnya
kepuasan pelanggan dan keuntungan perusahaan. Dengan begitu
kita akan selalu ingat untuk bersikap etis.

Dimuat di KOMPAS, 21 Mei 2014

Anda mungkin juga menyukai