Anda di halaman 1dari 4

Experd Consultant

Pernahkah kita mengamati dan memikirkan kebiasan buruk kita?


Teman saya mempunyai kebiasaan ‘last minute’ dalam segala hal.
Email anak buah baru dijawab setelah waktu deadline mepet.
Materi rapat dibaca hanya sesaat menjelang sesi dimulai. Kerap
terjadi, koleganya dibuat sport jantung karena kehadirannya
terlambat dalam meeting dengan klien. Ia memang sangat pandai,
juga kritis, dan memiliki banyak kelebihan lain, sehingga
kebiasaan ‘last minute’ ini diterima dan dimengerti rekan kerjanya
sebagai ‘weakness’-nya. Orang menggunakan rumus “strengths vs
weaknesses’ untuk menganalisis dan bertoleransi padanya.
Pernahkah kita berhitung, betapa sering kita mentolerir bahkan
menyuburkan kebiasaan buruk, meskipun sadar kebiasaan buruk
nyata-nyata mengurangi produktivitas?

Orang kerap berkomentar bahwa setiap manusia unik dan harus


diterima apa adanya, dengan segala kekurangannya. Kita bahkan
memberi julukan ‘orang malam’, ‘perokok berat’ yang membuat
orang menerima kebiasaan buruknya dirinya dan orang lain
dengan lapang dada. Beratnya perubahan dalam manajemen pun
sesungguhnya mempunyai logika yang sama dengan apa yang
terjadi di individunya. Adakalanya kebiasaan buruk dalam
organisasi ditolerir, misalnya kebiasaan datang terlambat saat
meeting, kebiasaan memotong pembicaraan orang atau kebiasan
membuat keputusan tidak berdasarkan data dan fakta. Tidak
berubahnya suasana ataupun kultur organisasi ini, kerap di ‘back
up’ oleh alasan-alasan yang yang diciptakan, sehingga tanpa sadar
kita memelihara ‘bad habits’ itu terus menerus.

Para ahli mengatakan bahwa ‘habit’ adalah respons atau tindakan


yang karena muncul begitu sering, akhirnya sering muncul tanpa
dipikirkan lagi. Bahkan filsuf pada jaman sebelum masehi,
Aristoteles, mengatakan : “The Power of Habit is about turning
thinking people into unthinking machines” Artinya, manusia yang
membiarkan dirinya memelihara bad habits bisa dikatakan
me-’robot’-kan dirinya, karena tanpa disadari ia menjadi manusia
yang berespon otomatis, bertindak tanpa memikirkan lagi
kerugian tindakannya. Banyak juga kebiasaan yang kemudian kita
pandang sebagai ‘penyakit kepribadian’, yang tidak bisa diperbaiki
lagi. Benarkah demikian? Apakah gejala ini memang betul
‘penyakit’ yang tidak bisa disembuhkan atau sekedar ‘bad habit”?

Reason dan Reasoning

Kita semua tahu kelebihan manusia adalah pada akal budinya.


Manusia mempunyai kekuatan untuk ‘memikirkan’ tindakan-
tindakannya, bahkan mengontrolnya. Di sisi lain, akal dan
rasional yang kita miliki juga bisa kita gunakan untuk membuat
alasan-alasan pembenaran kebiasaan buruk kita. Banyak orang
bisa dengan cepat memberi jawab rasional mengapa ia terlambat,
mengapa ia merokok, mengapa ia menunda pekerjaan, dan lain
lain. Ini adalah kelebihan dan kekurangan manusia karena alasan
tersebut bisa benar, tetapi juga bisa dibuat-buat.

Selanjutnya, selain membuat alasan, manusia pun bisa


melanjutkannya dengan ‘reasoning’. Ada teman yang
mengatakan: ”Semua orang yang tidak merokok akan mulai
memerlukan lensa kacamata plus pada usia yang lebih muda
daripada yang perokok”. Semakin banyak ungkapannya ini
diucapkan, walaupun sambil bercanda, semakin sah ia
meneruskan bad habitnya. Individu, dari hasil risetnya seolah
memiliki ‘rumus’ untuk mensahkan ‘bad habit’-nya berlanjut. Kita
bisa melihat, terkadang banyak reasoning yang berbahaya. “Ah,
orang lain pasti juga paham bahwa saya mengalami kemacetan”.
“Reasoning’ atau penalaran ini dikatakan sudah tanpa didukung
fakta, seolah-olah riset sudah selesai dilakukan. Jadi, kehendak
untuk memutus bad habit dipatahkan oleh teori diri sendiri.
Dengan kekuatan akal sehat, kita sebetulnya perlu terus
mengingat bahwa ‘Reason’ dan ‘Reasoning–reasoning’ untuk
membenarkan kebiasaan buruk, hanyalah pembohongan diri yang
tak berguna.

Skema Pembentuk Kebiasaan Buruk

Mengubah kebiasaan pada dasarnya memang sulit. “There is no


magic bullet, there is no short cut”, begitu kata seorang ahli. Jadi,
mengubah kebiasan buruk perlu didasari kehendak dan mentalitas
yang kuat, untuk mengembalikan si kebiasaan tersebut ke
kesadaran dulu. Kita perlu berjuang dan menganalisa secara jujur,
bagaimana kebiasaan ini tumbuh dan melekat dalam reaksi-reaksi
kita. Kita bahkan perlu bisa melihat skema “cue-routine-reward”
yang membentuk terjadinya kebiasaan buruk kita dengan
gamblang. Katakanlah kebiasaan untuk tidak mengambil
keputusan. Situasi atau ‘cue’-nya adalah ‘keputusan sulit’. Respon
otomatis atau ‘routine’-nya adalah menghindar dan membiarkan
atasan mengambil alih. Kebiasaan terbentuk karena diperkuat
oleh ‘Reward’, yaitu rasa lega lepas dari tanggung jawab. Skema
ini sangat masuk akal, bukan? Dengan memahami skema tersebut,
kita bisa memahami mengapa orang akhirnya terbelenggu oleh
kebiasan buruknya.
Kebiasaan buruk diperkuat karena adanya ‘reward’, itu sebabnya
untuk merubah kebiasaan buruk, kita perlu membuat saingan
‘reward’. Apa hal positif yang bisa kita peroleh dengan
‘mengambil keputusan sulit’, untuk bisa menyaingi ‘perasaan
lega’ yang didapat dari menghindari keputusan? Di sini rasional
individu harus bekerja dengan kencang. Bila individu bisa melihat
bahwa ia akan mendapat pengalaman berharga, terlihat kredibel,
mendapat apresiasi dan kemungkinan mendapat promosi,
muncullah kekuatan untuk memutus skema lama dan membentuk
skema kebiasaan baru. Ini baru satu kebiasaan dari satu individu.
Dalam organisasi, manajemen dapat membuat upaya yang
berfokus pada ‘reward-reward’ yang bisa didapatkan kalau
kebiasaan buruk diubah. Para karyawan bisa diajak untuk memilih
hal-hal yang lebih maju dan moderen, lebih memilih kreativitas
dan inisiatif daripada kebiasaan dikontrol atasan, lebih memilih
memberi usulan, daripada rasa aman birokratis yang kaku. Standar
prosedur bisa diperbaiki, misalnya tata cara rapat, yang
mengingatkan orang untuk mendengar sampai habis dulu, baru
berbicara. Bayangkan betapa besarnya perbaikan produktivitas
bisa kita dapatkan bila beberapa individu atau banyak karyawan
bisa merubah kebiasaan buruknya.

(Dimuat di Kompas, 8 Februari 2014)

Anda mungkin juga menyukai