Resensi Kumpulan Puisi “Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api” Karya Moon
Changgil Terjemahan Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah
Siapa yang tidak mengenal negeri ginseng yang terkenal akan boyband, girlband, dan
program tvnya? Yakni drama Korea Selatan yang bahkan hingga saat ini ramai
diperbincangkan di berbagai media sosial. Benar, selama ini kita hanya mengetahui negara
Korea Selatan sebatas permukaannya saja, tidak pernah menyelami sedalam apa ragam
budaya dan masyarakat Korea Selatan yang sebenarnya. Kita hanya mengetahui realitas
sosial yang sudah dibumbui oleh berbagai imajinasi dan dramatisasi yang terjadi dalam
drama korea yang tayang di berbagai platform streaming online.
Jika membahas soal realitas sosial dan budaya tidak bisa terlepas dari pembahasan
karya sastra. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sariban (2009) bahwa karya sastra dapat
pula merupakan potret kehidupan masyarakat. Karya sastra dapat digunakan sebagai media
penyampaian kritik sosial yang biasanya mengungkapkan cerminan realitas yang terjadi pada
suatu masyarakat. Namun, bagaimana dengan karya sastra korea? Sejauh ini saya belum
pernah membaca karya sastra korea sampai menemukan kumpulan buku puisi “Apa yang
Diharapkan Rel Kereta Api” karangan Moon Changgil. Saya terhanyut dan terbawa hingga
ke dasar ketika membaca kumpulan puisi tersebut, saya menemukan bahwa potret masyarakat
Korea Selatatan yang sebenarnya tidak seindah yang pernah saya lihat di drama-drama korea,
walau memang ada beberapa drama korea yang menggambarkan realitas masyarakat yang
sebenarnya.
Moon Changgil merupakan penyair Korea Selatan angkatan 80-an yang lahir di
Gimje, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan. Pada tahun 1984-1990 ia merupakan salah satu
anggota Komunitas Sastra Buruh Guro yang termasuk ke dalam bagian Sastra Persatuan
Pemuda Perusahaan Demokratisasi. Kumpulan puisinya “Apa yang Diharapkan Rel Kereta
Api” yang berjudul asli Cholgili Hwimanghanun Koteun merupakan salah satu karyanya
yang terbit pada tahun 2001 dan berhasil mendapatkan dana kreasi karya dari Institut
Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian Korea. Contoh karya-karyanya yang lain ialah
kumpulan puisi “Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api” terdapat karya-karya puisinya yang
lain, seperti “Amanat Kemerdekaan Negara Utara” (Bukguk Dokrip Seoshin) pada tahun 2019
juga berhasil mendapatkan dana bantuan, namun kali ini dana bantuan berasal dari Yayasan
Kebudayaan Kyonggi. Selain dalam kumpulan puisi tunggal, karya puisi-puisinya juga terbit
dalam antologi bersama, yaitu “Di Ujung Mata Ikan” (Mulkogi Kyotnun Soke Deun). Selain
aktif menulis puisi, ia juga aktif di berbagai kegiatan sastra. Moon Changgil aktif memimpin
sejumlah media dan aktif di organisasi sastra di Korea Selatan. Ia memimpin kelompok
Changjak21 dan aktif mengatur majalah sastra Changjak21. Moon Changgil juga menjadi
pemimpin penerbit Dlkot. Di samping itu, ia tergabung ke dalam Konferensi Pengarang
Korea, Perhimpunan Penyair Korea, Persatuan Pengarang Bangsa Korea, Lembaga Riset
Kesusastraan Bangsa, Perhimpunan Pengarang Goyang, dan Solidaritas Sosial Masyarakat
Demokrasi Goyang.
Kumpulan cerpennya yang berjudul Cholgili Hwimanghanun Koteun baru saja
diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul “Apa yang
Diharapkan Rel Kereta Api” pada tahun 2021. Hal tersebut tentu saja memberikan efek yang
baik, karena artinya kesempatan untuk mengenal sastra korea dapat dilakukan dengan mudah
karena adanya bentuk terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Alih bahasa kumpulan puisi
tersebut dilakukan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah. Kim Young Soo lahir di
Seoul, Korea Selatan. Ia merupakan lulusan S1 di jurusan Bahasa Malay-Indonesia HUFS
(Hankuk University of Foreign Studies). Kemudian ia melanjutkan pendidikan S2 dengan
mengambil Program Studi Kesusastraan Modern Indonesia (khususnya berfokus pada karya
Pramoedya Ananta Toer) HUFS. Lalu, pendidikan S3-nya ia lanjutkan melalui Jurusan Sastra
Bandingan HUFS dengan disertasi berjudul A Study on Chairil Anwar’s Poems with the
Postcolonialistic View. Ia juga aktif menulis, hasil tulisannya ialah antara lain The Haecho’s
Journey: A Monk of Shilla’s Kingdom Korea TO Sriwijaya Kingdom dan Indonesian
Language Practice. Ia juga menerjemahkan beberapa buku dari bahasa Korea ke dalam
bahasa Indonesia dan sebaliknya. Buku-buku yang berhasil ia terjemahkan antara lain
kumpulan puisi Orang Suci, Pohon Kelapa karya Choi Jun dan Perawa Remaja dalam
Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer. Selain aktif menulis dan
menerjemahkan, Kim Young Soo juga pernah menjadi Kepala Siaran Bahasa Indonesia,
Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System) selama 30 tahun dan kegiatannya
saat ini ia berpuisi sebagai anggota Changjak21.
Penerjemah kedua yang menerjemahkan kumpulan puisi ini ialah Nenden Lilis
Aisyah yang merupakan orang Indonesia. Ia lahir di Garut, Jawa Barat, Indonesia. Ia aktif
menulis sajak, cerpen, dan esai dan sudah dimuat di berbagai media massa nasional maupun
internasional. Beberapa karyanya dipublikasikan dalam berbagai antologi kanon sastra
Indonesia. Karya-karyanya juga mendapatkan penghargaan. Penghargaan yang ia terima
antara lain Penghargaan Pusat Bahasa pada tahun 2005 untuk kumpulan cerpen Ruang
Belakang (Penerbit Buku Kompas). Beberapa karyanya berhasil diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan Mandarin, antara lain sajak-sajaknya (kumpulan sajak
tunggal Negeri Sihir) dan cerpennya. Ia kerap kali diundang untuk membacakan karyanya
dan menjadi pembicara dalam berbagai acara yang berkaitan dengan sastra. Seperti pada
Workshop cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara, Festival de Winternachten di Den Haag
Belanda, pembacaan sajak dan diskusi di KBRI dan INALCO Paris, Prancis, Festival Puisi
Internasional di Teater Utan Kayu Jakarta; Festival Puisi Internasional Indonesia; diskusi dan
pembacaan puisi di Yayasan Kesenian Perak Ipoh Malaysia; Seminar di IPG Malaysia; The
3rd Schamrock Festival of Women Poets di Jerman; dan masih banyak lagi. Selain membuat
karya fiksi, ia juga membuat buku nonfiksi yang berhasil terbit. Selain itu, ia juga aktif
menerjemahkan berbagai karya sastra mancanegara, antara lain Antologi Puisi dan Prosa
Langit, Angin, Bintang, dan Puisi karya penyair Korea Yun Dong Ju yang ia diterjemahkan
bersama Prof. Shin Young Duk, PhD (Pustaka Obor, 2018). Antologi sajak terbaru yang
ditulis oleh Nenden ialah Maskumambang Buat Ibu. Kini, ia aktif sebagai dosen di salah satu
universitas di kota Bandung yakni Universitas Pendidikan Indonesia.
Dapat kita lihat biografi dari pengarang maupun penerjemah yang luar biasa hebat dan
sudah mumpuni di bidang sastra, menjadikan terjemahan puisi “Apa yang Diharapkan Rel
Kereta Api” juga tidak serampangan dan benar-benar dipikirkan betul bagaimana
mengalihkan satu bahasa ke bahasa yang lain. Bahasa korea dan bahasa Indonesia tentu
sangat berbeda, mulai dari aksaranya hingga pelafalan dan pengucapannya. Namun di dalam
kumpulan puisi tersebut, saya selaku pembaca dapat memahami apa yang ingin diungkapkan
oleh penyair walau terjemahan bahasa asing. Kumpulan puisi tersebut juga menggunakan
bahasa yang formal. Digunakan juga beberapa majas yang menghiasinya, menjadikan
kumpulan puisi tersebut semakin memiliki ruh di dalamnya.
Jika ingin memahami apa yang diungkapkan oleh penyair di dalam suatu karya sastra,
tak terlepas dari pembahasan struktur fisik dan batinnya. Dalam teori sastra, di dalam suatu
karya sastra terdapat isi dan bentuk. Isi disebut struktur batin yang merupakan makna puisi,
teridiri atas tema, nada, perasaan, itikad. Sementara, bentuk sering disebut struktur fisik
(sarana penyampaian makna, terdiri dari diksi, gaya bahasa, imaji, bunyi dan, tipografi).
Namun, isi dan bentuk bukanlah sesuatu yang terpisah, melainkan keduanya merupakan satu
kesatuan yang utuh.
Kumpulan puisi “Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api” terbagi ke dalam beberapa
rangkuman, yakni terdiri dari empat rangkuman. Setiap rangkuman memiliki tema dan
bahasan yang berbeda. Pada rangkuman 1, penyair banyak menggunakan nama tempat untuk
dijadikan tema di dalam puisi-puisinya seperti Samyang-dong, dermaga Bangojin, Ahnyang,
pabrik elektronik, dan sebagainya. Selain menggunakan nama tempat, penyair juga
menggunakan banyak nama tokoh yang dijadikan aku lirik di dalam puisinya seperti Tuan
Hwang, Tuan Kim, Ibu Yeonhee, Park Daljae, dan lain-lain. Jika dilihat, pada rangkuman 1
penyair banyak menggunakan diksi formal yang memberikan kesan serius terhadap pembaca.
Walau menggunakan bahasa formal, puisi tersebut masih dapat dimengerti bahkan oleh orang
awam, karena bahasa formal yang digunakan bukan bahasa formal yang kaku. Keindahan di
dalam puisi tetap ada, karena penggunaan majas serta pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa.
Seperti pada salah satu puisi yang terdapat di rangkuman 1 yaitu “Anak Perempuan yang
Cerah” terdapat larik
Pagi hari, setelah istri keluar
Seakan ingin mengisi kekosongan kamar sewa bulanan
Dapat kita lihat, bahwa diksi yang dipilih ialah kata-kata formal dan terdapat majas
alegori karna terdapat pengandaian atau kiasan bahwa kepergian istrinya seakan mengisi
kosongnya kamar sewa bulanan. Hal tersebut bukanlah tanpa sebab digunakan bahasa formal
yang tidak kaku memberikan efek serius dan dekat kepada pembaca karena secara garis
besar, di dalam rangkuman 1 penyair membahas mengenai cerita-cerita soal nasib para
pekerja kecil seperti petani, buruh bangunan, pekerja kasar, nelayan, dan sebagainya. Melalui
rangkuman 1, Moon Changgil mengungkapkan eksistensi realitas yang sebenarnya melalui
penggambaran kondisi rakyat kecil melalui berbagai pekerjaan di berbagai tempat yang harus
terus menjalani kehidupan di negara Korea yang keras. Di dalam rangkuman 1 juga penulis
menaruh berbagai harapan-harapan rakyat kecil tersebut. Penggambaran pekerja nelayan
dituangkan ke dalam puisi yang berjudul “Di Dermaga Bangojin”. Di dalam puisi tersebut
diungkapkan apa yang dirasakan oleh para nelayan ketika bekerja. Terlihat pada bait ke-2.
Sendiku yang tumpul sakit-sakitan
dan angin laut yang terasa pedas
mengusir waktu-waktu bodoh.
Bau amis yang memenuhi mulut
Tumpah bagai pembuangan limbah di kota bernanah.
Selain penyair yang mengungkapkan kondisi para pekerja rakyat kecil, salah satunya
nelayan, di dalam puisi tersebut, penerjemah juga memanfaatkan bunyi-bunyi bahasa agar
lebih enak ketika dibacakan. Terlihat bunyi bahasa rima ganda pada kata tumpah, limbah,
bernanah. Dapat kita lihat bagaimana para nelayan bekerja sampai sendi-sendinya sakit.
Kemudian, sudah seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa di dalam rangkuman 1 ini
penyair juga menyebutkan harapan-harapan yang akan ditemukan oleh para pekerja, seperti
pada bait ke-5.
Gerombolan serupa lampu pengumpul ikan
menenggak minuman keras untuk mengisi perut lapar
seperti menghirup napas dingin dari alveolus yang tersumbat
dari atas bahu mereka muncul
setitik harapan manis.
Kemudian terlihat juga pada harapan yang diinginkan salah satu penduduk daerah
khusus, Tuan Ju dalam puisi “Tuan Ju, Penduduk Daerah Khusus” pada bait ke-5.
Kalau musim dingin ini berlalu
harapanku yang bagai mimpi
sinar matahari musim semi
pasti akan kembali.
Dapat disimpulkan bahwa pada rangkuman 1, penyair menggambarkan keadaan dan
kehidupan sehari-hari masyarakat Korea sebagai para pekerja seperti nelayan, petani, buruh,
pekerja elektronik, dan sebagainya juga mengenai harapan-harapan yang mereka inginkan.
Hal tersebut dapat juga disebut sebagai kritik sosial terhadap para penguasa karena dengan
memaparkan keadaan-keadaan para pekerja dapat menggugah kesadaran para pembaca.
Tipografi yang sederhana dan suasana yang mengharukan dapat terasa ketika kita
membacanya.
Kemudian, pada rangkuman 2, penyair membahas tema yang berbeda yakni mengenai
perang yang terjadi di korea, yakni pemisahan negara korea menjadi dua yakni selatan dan
utara. Negara yang sudah menyatu selama 2000 tahun dalam sejarahnya, harus terpisah
karena akibat Perang Dunia II. Penyair juga mengungkapkan mengenai kerinduan akan
bersatunya negara mereka. Karena pemisahan tersebut banyak orang korea yang berpisah
dengan kerabat bahkan keluarganya. Puisi di dalam rangkuman 2 yang paling menyentuh hati
saya ialah puisi yang berjudul “Kita adalah Satu”. Di dalam puisi tersebut, digambarkan
bagaimana penyair sangat menginginkan persatuan negaranya namun tertampar oleh
kenyataan bahwa negara mereka sudah terpisah. Terlihat pada bait ke-5.
Ketika dadamu yang ingin berlari bersama
dengan teman-teman dari Baekdu sampai Halla
itu runtuh lalu tersadar, Joseon terbagi dua
dan kau baru sadar, Korea terpecah dua.
Dan bagaimana penyair berusaha mendobrak kenyataan dengan menuangkan
keinginannya pada larik terakhir dalam puisi tersebut yakni “Kita adalah satu”.
Selain tentang keinginan persatuan kembali negara Korea, penyair juga
menggambarkan bagaimana kekejaman militer Amerika Serikat ketika menjajah Korea.
Terlihat pada puisi “Gadis Geumchon 1” pada bait ke-1 dan ke-2.
Di bawah injakan sepatu militer Yankee
Gadis-gadis Geumchon dengan mudahnya terampas, terinjak
Dan diusir ke pinggir jalan