Anda di halaman 1dari 89

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah kesehatan anak yang saat ini menjadi prioritas utama yang

ingin di perbaiki oleh pemerintah. yaitu mengenai tumbuh kembang anak.

Banyak masalah tumbuh kembang yang terjadi pada anak salah satunya adalah

Stunting. Stunting merupakan sebuah kondisi di mana tinggi badan seseorang

lebih pendek dibanding tinggi badan orang lain seusianya, yang bersifat kronik

pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan (Pusdatin,

2018).

Berdasarkan data dari World Health Organization prevalensi balita

stunting di Asia Tenggara yang tertinggi yaitu Timor Leste dengan rata-rata

prevalensi sebesar 50,2%, pada urutan kedua yaitu India sebesar 38,4%.

Indonesia berada pada urutan ketiga Negara dengan prevalensi tertinggi balita

stunting sebesar 36,4% pada tahun 2005 sampai 2017, sementara Thailand

memiliki rata-rata prevalensi terendah balita dengan stunting yaitu hanya

sebesar 10,5% di Asia Tenggara. Bahaya Stunting mengancam anak-anak dan

bangsa kita, tercatat 7,8 juta atau lebih dari sepertiga balita Indonesia

mengalami Stunting, di Asia Tenggara Negara kita Indonesia merupakan

urutan ke 4 tertinggi kasus Stunting sesudah Timor Leste, Laos dan Kamboja.

Jika situasi ini dibiarkan maka anak-anak bisa menjadi generasi yang hilang

(WHO, 2018).
Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2018, prevalensi anak balita stunting sebesar 30,8%. Angka ini

menunjukkan penurunan prevalensi stunting dibandingkan dengan hasil

Riskesdas tahun 2013 sebesar 37,2%. Meskipun demikian, persentase stunting

di atas 30% masih tergolong prevalensi tinggi dari masalah kesehatan

masyarakat. Menurut WHO apabila prevalensi balita stunting suatu negara

sebesar 20% ataupun lebih hal tersebut menjadi masalah kesehatan masyarakat

yang perlu ditangani. Oleh sebab itu, walaupun angka prevalensi stunting

menurun di Indonesia namun angkanya masih berada di atas standar yang

dibuat oleh WHO (Riskesdas, 2019).

Data dari Dinas Konawe Kepulauan Prevalensi balita stunting tahun

2018 adalah 38.20 %, pada tahun 2019 prevalensi balita stunting sebesar 38,73

sedangkan tahun 2020 hanya sebesar 3,90 % balita stunting. Hal ini

menunjukkan terjadinya peningkatan di Konawe kepulauan. Dari 8 Puskesmas

yang ada di Konawe Kepulauan yang memiliki prevalensi balita stunting

tertinggidiatas angka prevalensi yaitu Puskesmas Waworete sebesar 37,20%

dibandingkan Puskesmas lain yaitu Puskesmas Lansilowo sebesar 36,94%,

dan Puskesmas Langara sebesar 36,84% (Dinas Kesehatan Konawe

Kepulauan, 2020).

Berdasarkan data yang diperoleh di Puskesmas Waworete menunjukkan

bahwa prevalensi kejadian stunting pada balitapada tahun 2018 sebesar

38,20%. Pada tahun 2019 prevalensi balita stunting sebesar 37,20%.

Sedangkan pada tahun 2020 prevalensi balita stunting sebesar 30,23%


Walaupun angka prevalensi stunting menurun pada tahun 2020 namun

angkanya masih berada di atas standar yang dibuat oleh WHO yaitu sebesar

20%. Penurunan prevalensi stunting di Puskesmas Waworete sangat lambat

dimana pada tahun 2019 penurunan sebesar 1% dan pada tahun 2020

penurunan sebesar 6,97%, angka penurunan ini masih sangat lambat

dibandingkan dengan Puskesmas lain yaitu Puskesmas Langara, Puskesmas

Babolio dan Puskesmas Roko-Roko dengan persentase penurunan masing-

masing sebesar 36%. Lambatnya penurunan prevalensi stunting di Puskesmas

Waworetedipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pendidikan dan

pengetahuan gizi ibu yang rendah tidak dapat menerapkan perilaku hidup sehat

dalam keluarga sehingga akan mengakibatkan masalah status gizi. Selain itu

rendahnya pendapatan keluarga dan pemberian ASI eksklusif yang

berpengaruh terhadap lambatnya penurunan stunting pada balita (Profil

Puskesmas Waworete, 2020).

Kejadian stunting dapat disebabkan oleh faktor yang berhubungan

secara langsung ataupun tidak langsung dengan proses pertumbuhan anak.

Faktor penyebab langsung adalah asupan makanan (asupan energi, asupan

protein, asupan lemak, asupan zink), riwayat BBLR, penyakit infeksi (ISPA

dan diare), dan pola pemberian makanan. Faktor tidak langsung adalah

riwayat ASI eksklusif, jenis kelamin balita, karakteristik keluarga (pendidikan,

pekerjaan dan pendapatan keluarga), pelayanan kesehatan (status imunisasi

dan KEK pada ibu hamil), santitasi lingkungan (personal hygiene) (Zainal

Munir dkk, 2021).


Kejadian Stunting pada balita dapat menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan status kesehatan pada anak.

Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dua yaitu ada dampak

jangka pendek dan dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek terjadi

peningkatan kesakitan dan kematian, perkembangan (kognitif, motorik, dan

verbal) pada anak tidak optimal, peningkatan biaya kesehatan. Sedangkan pada

dampak jangka panjang anak akan mengalami postur tubuh yang tidak optimal

saat dewasa (lebih pendek dibanding pada umumnya), meningkatkan resiko

penyakit, menurunnya kesehatan reproduksi, kapasitas belajar dan performa

yang kurang optimal saat anak sekolah serta produktivitas dan kapasitas kerja

yang tidak optimal (Pusdatin, 2018).

Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan peneliti terhadap 10 orang

ibu yang memiliki balita di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete bahwa. Hasil

wawancara diperoleh bahwa 70 % anak memiliki orang tua dengan pendidikan

rendah, terdapat 80% ibu yang memiliki pengetahuan rendah tentang makanan

bergizi, terdapat 60% anak balita tidak mendapatkan ASI secara eksklusif serta

terdapat 80% anak dengan keluarga berstatus ekonomi rendah. Sebagian

masyarakat masih mengira bahwa kondisi anak khususnya balita yang pendek

merupakan faktor keturunan dan merupakan kejadian yang biasa yang terjadi

sehingga banyak ibu yang mengabaikan asupan gizi anak.


Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul ”Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan

Lambatnya Penurunan Prevalensi Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas

Waworete”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang

dapat di rumuskan sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan pendidikan ibudengan lambatnya penurunan

Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete?

2. Apakah ada hubungan pengetahuan ibu tentang gizidengan lambatnya

penurunan Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete?

3. Apakah ada hubungan pemberian ASI eksklusifdengan lambatnya

penurunan Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete?

4. Apakah ada hubungan pendapatan keluargadengan lambatnya penurunan

Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete?

C. Tujuan Penelitian

1.Tujuan Umum

Mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan lambatnya

penurunan Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi hubungan pendidikan ibudengan lambatnya penurunan

Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete.


b. Mempelajari hubungan pengetahuan ibu tentang gizidengan lambatnya

penurunan Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete.

c. Mempelajari hubungan pemberian ASI eksklusifdengan lambatnya

penurunan Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete.

d. Mempelajari hubungan pendapatan keluargadengan lambatnya

penurunan Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Ilmu Pengetahuan

Sebagai bahan bacaan dan informasi tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian stunting pada balita agar dapat

meningkatkan pengetahuan dan sebagai bahan acuan bagi mahasiswa

lain untuk melakukan penelitian selanjutnya.

b. Bagi Profesi Perawat/Institusi Profesi Keperawatan

Dapat menambah pengetahuan dan keterampilan serta

mengaplikasikan ilmu yang didapatkan selama perkuliahan dan

mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting

di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

penelitianselanjutnya untuk melihat faktor-faktor yang lain yang

menyebabkanstunting.
2. Manfaat Praktis

a. Bagi Keluarga

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi keluarga guna

mengetahui penyebab stunting yang dapat terjadi pada balita dan

sebagai bahan informasi untuk melakukan pencegahan sehingga dapat

memperbaiki status gizi keluarga.

b. Bagi Puskesmas

Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

pedoman dan memberikan informasi kepada orang tua tentang

kejadian stunting pada balita serta petugas kesehatan agar mampu

meningkatkan pengetahuan dan mengoptimalkan pelayanan kesehatan.

c. Bagi Dinas Konawe Kepulauan

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan

pertimbangan bagi pemerintahan untuk menyusun keputusan serta

kebijakan bagi program pencegahan maupun penanggulangan stunting.

E. Kebaruan Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan peneliti tentang“ Faktor-

Faktor Yang Berhubungan Dengan Lambatnya Penurunan Prevalensi

Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete” terdapat sedikit kesamaan

dan perbedaan dengan penelitian terdahulu.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap penelitian –penelitian terdahulu

dapat dilihat pada tabel dibawah ini :


Tabel 1. Kebaruan Penelitian

Nama
Variabel Perbedaan
No Peneliti/ Judul
Penelitian Variabel Penelitian
Tahun
1 Agus Eka Hubungan Antara Tingkat Pendidikan ibu,
Nurma Tingkat Pengetahuan pengetahuan ibu pemberian ASI
Yuneta dkk Ibu Dengan Status dan status gizi eksklusif pendapatan
(2020) Gizi Balita Di balita keluarga
Kelurahan Wonorejo
Kabupaten
Karanganyar
2 Nur Farida Faktor sosial, Faktor sosial, Pemberian ASI
Rahmawati ekonomi, dan ekonomi, dan akses eksklusif,
dkk (2020) pemanfaatan terhadap pelayanan Pengetahuan gizi ibu
posyandu dengan kesehatan dan pemberian ASI
kejadian stunting eksklusif
balita keluarga miskin
penerima PKH di
Palembang
Pengetahuan gizi
3 Yulistiana Faktor Stunting Pada Panjang badan ibu, pemberian ASI
Evayanti Balita Usia 12-59 lahir, berat badan eksklusif dan
dkk (2020) Bulan Di Upt. lahir, dan tingkat pendapatan keluarga
Puskesmas Gedung pendidikan ibu
Surian, Lampung
Barat

4 Septi Faktor-Faktor Yang Panjang Badan Pendidikan ibu,


Viantri Berhubungan Dengan Lahir, Berat Badan pengetahuan gizi ibu
Kurdaningsi Kejadian Stunting Lahir, Pemberian dan pendapatan
h(2020) Pada Anak Usia Asi, Penyakit keluarga
Dibawah 5 Tahun Infeksi

5 Megalea Hubungan Pengetahuan ibu Pendidikan ibu,


Rut Pengetahuan Dan dan sikap ibu pemberian ASI
Harikatangd Sikap Ibu Dengan eksklusif pendapatan
kk (2020) Kejadian Balita keluarga
Stunting Di Satu
Kelurahan Di
Tangerang

6 Rizkia Dwi Hubungan Pengetahuan ibu, Pendidikan ibu,


Rahmandia Pengetahuan Ibu karakteristik ibu pemberian ASI
ni dkk Balita Tentang dan sumber eksklusif dan
(2020) Stunting Dengan informasi pendapatan keluarga
Karakteristik Ibu dan
Sumber Informasi di
Desa Hegarmanah
Kecamatan Jatinangor

7 Erlita Nur Faktor – Faktor yang Usia anak, jenis Pengetahuan gizi
Andinidkk, Berhubungan dengan kelamin, berat ibu, pemberian ASI
(2020) Status Gizi pada Anak badan lahir, eksklusif pendapatan
Usia 0-23 Bulan panjang badan keluarga
Berdasarkan lahir, status gizi ibu
Composite Index of saat hamil, usia ibu
Anthropometric saat hamil, tinggi
Failure (CIAF) di badan ibu saat
Wilayah Kerja hamil, pekerjaan
Puskesmas Karangayu ibu, dan tingkat
Kota Semarang pendidikan.
Pengetahuan gizi
8 Evy Faktor-Faktor Yang Imunisasi Dasar, ibu, pendidikan ibu
Noorhasana Berhubungan Dengan Penyakit Infeksi, dan pendapatan
h dkk Kejadian Stunting Pemberian MP-
(2021) Pada Balita Di ASI, ASI eksklusif, keluarga
Wilayah Kerja
Puskesmas Tatah

9 Gladys Analisis fakto-faktor Pendidikan ibu Pengetahuan gizi


Apriliana resiko terhadap rendah, status gizi ibu, pemberian ASI
dan Sandra kejadian stunting pada dan BBL, eksklusif
Fikawati balita (0-59 bulan) di pendapatan rumah
(2019) Negara berkembang dan sanitasi rumah
dan Asia Tenggara

10 Zainal Faktor-Faktor Yang Gizi ibu pada saat Pendidikan Ibu,


Munir Berhubungan Dengan hamil, pola asuh, Pengetahuan Gizi
dkk(2021) Peningkatan Kasus faktor ekonomi Ibu dan Pemberian
Stunting Pada Balita ASI Eksklusif
Di Kabupaten
Probolinggo

Dari kebaruan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa ada kebaruan


yang akan diteliti oleh penulis yaitu lokasi penelitian, variabel maupun desain
penelitian yang akan digunakan oleh peneliti.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Variabel Bebas

1. Tinjauan Umum Tentang Stunting

a. Pengertian Stunting

Pendek atau stunting merupakan suatu situasi permasalahan gizi

kronik yang mana berdampak terhadap terjadinya permasalahan

perkembangan fisik dan juga perkembangan otak anak. Penyebab

kejadian stunting berasal dari faktor yang komplit. Balita dengan stunting

ini akan berdampak terhadap masa depan individu maupun

perkembangan Negara (Kementerian Kesehatan, 2018).

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (Bagi

bayi di bawah lima tahun) yang diakibatkan kekurangan gizi kronis

sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi

sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan

tetapi, stunting baru terlihat setelah bayi berusia 2 tahun (Yuliana dan

Hakim, 2019).

Nilai z-score tinggi badan anak menurut umir yang (< - 2SD)

merupakan penentu dari adanya kejadian stunting pada anak, sedangkan

severely stunted atau sangat pendek ditentukan dengan z-score tinggi

badan anak menurut umur yang (< -3 SD) . Kondisi anak dikatakan
normal apabila hasil dari antropometri nilai z-score tinggi badan menurut

umur (TB/U) lebih dari -2 SD berdasarkan kriteria pertumbuhan

WorldHealth Organization (WHO, 2019).

Stunting merupakan suatu kondisi yang terjadi akibat adanya

kurangnya asupan gizi yang di dapatkan anak mulai dari janin. Anak

dengan stunting memiliki tingkat kecerdasan hanya 11 poin apabila kita

bandingkan dengan anak pada umumnya. Potensi terjadinya stunting

lebih tinggi pada seribu hari pertama kehidupan. Penyebab tidak

langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin berasal dari

masa sebelum ibu hamil dan juga saat hamil. Bayi yang lahir dengan

kurang gizi merupakan efek dari ibu yang saat hamil mengalami kurang

gizi yang pada akhirnya akan mempengaruhi proses tumbuh dan

kembang anak (Pardede, 2017).

b. Klasifikasi Stunting
Berdasarkan sumber Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

tahun 2010, stunting dibedakan menurut panjang badan menurut umur

(PB/U) dan tinggi badan menurut umur (TB/U) pada balita sebagai

berikut:

Tabel 2.Klasifikasi Stunting

Indeks Status Gizi Z-core

Normal
Panjang Badan -2,0 SD s/d
menurut Umur (PB/U) 2 SD
atau Tinggi Badan Pendek
Menurut Umur (TB/U) < -3,0 SD
s/d < -2,0
SD
Sangat pendek
< -3,0 SD
Sumber Kemenkes, 2010

c. Penyebab Stunting

Menurut WHO (2014), penyebab terjadinya stunting pada anak

dibagi menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga,

makanan tambahan/komplementer yang tidak adekuat, menyusui dan

penyakit infeksi. Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi menjadi faktor

maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi

yang kurang pada prakonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu

yang rendah, infeksi kehamilan pada usia remaja, kesehatan mental,

Intrauterine Growth Restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, dan jarak

kehamilan yang pendek. Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan

aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitas dan

pasokan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang

kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai serta

edukasi pengasuhan yang rendah (Rahayu, dkk, 2018).

d. Ciri-ciri Anak Stunting

Menurut Yuliana dan Hakim, (2019) Stunting ditandai dengan

terhambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam

mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunting

merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan di masa

lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang.


Menurut Rahayu, dkk., (2018) agar dapat mengetahui kejadian

stunting pada anak maka perlu diketahui ciri-cirinya yaitu:

1) Tanda pubertas terhambat

2) Anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya.

3) Berat badan rendah untuk anak seusianya.

4) Usia 8-10 tahun anak lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye

contact.

5) Pertumbuhan terhambat

6) Wajah tampak lebih muda dari usianya

7) Pertumbuhan gigi terhambat

8) Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar

e. Upaya Pencegahan Stunting

Dalam Pusdatin (2018), Stunting merupakan target Sustaintable

Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan

berkelanjutan kedua yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk

malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang

ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025.

Untuk mewujudkan program tersebut, Pemerintah menetapkan stunting

sebagai salah satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan Program


Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk

menurunkan prevalensi stunting antara lain sebagai berikut:

1) Remaja dan Dewasa Muda yaitu meningkatkan penyuluhan tentang

kesehatan reproduksi, deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular),

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pola gizi seimbang, bahaya

merokok/mengonsumsi narkoba.

2) Untuk Ibu hamil dan bersalin diberikan:

a) Intervensi 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)

b) Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu.

c) Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan

d) Menyelenggarakan Program Pemberian Makanan Tinggi Kalori,

Protein, dan Mikronutrien (TKPM)

e) Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku

f) Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan ASI

Eksklusif serta penyuluhan dan pelayanan KB.

3) Pada Balita dilakukan:

a) Pemantauan pertumbuhan balita di Posyandu atau Puskesmas.

b) Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

c) Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak dan memberikan

pelayanan kesehatan yang optimal.

4) Pada Anak Usia Sekolah yaitu:

a) Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)


b) Menguatkan Kelembagaan Tim Pembina UKS

c) Menyelenggarakan program Gizi Anak Sekolah (PROGAS)

d) Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba.

f. Dampak Stunting

Dampak jangka pendek yaitu pada masa kanak-kanak, perkembangan

menjadi terhambat, penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan

tubuh, dan gangguan sistem pembakaran. Berdasarkan Kementerian

Kesehatan (2019) menyebutkan bahwa stunting dapat berdampak bagi

keluarga dan negara diantaranya sebagai berikut:

1) Dampak Kesehatan

Dampak kesehatan merupakan dampak jangka pendek dari

stunting hal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kesakitan

serta kematian. Stunting dapat berdampak terhadap kesehatan

diantaranya memengaruhi pertumbuhan, perkembangan anak dan

mengakibatkan gangguan metabolik. Perubahan dalam jumlah, besar,

ukuran atau dimensi seseorang yang dapat diukur dengan berat, ukuran

panjang, umur tulang dan juga keseimbangan metabolik merupakan

pertumbuhan. Anak stunting mengalami permasalahan yaitu gagal

tumbuh yang ditandai dengan berat lahir rendah, kecil, pendek maupun

kurus pada anak (Adriani & Wirjatman, 2016).

Meningkatnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh dengan

pola beraturan sebagi hasil proses pematangan termasuk perkembangan

intelektual, emosi atau tingah laku yang merupakan hasil dari interaksi
dengan lingkungan sekeliling adalah define dari perkembangan. Anak

stunting dapat mengalami gangguan perkembangan koginitif dan motorik

sehingga mempengaruhi kecerdasan seseorang untuk masa depannya.

Gangguan perkembangan kognitif ini bersifat tidak dapat diperbaiki,

artinya kita tidak dapat mengejar kegagalan perkembangan otak anak

(Adriani & Wirjatman, 2016).

Gangguan metabolik dapat terjadi pada anak yang mengalami

stunting pada masa dewasa kelak. Gangguan metabolik adalah kelainan

kesehatan yang mempengaruhi tubuh manusia, yang mengakibatkan

terjadinya gangguan pada kemampuan metabolisme tubuh manusia.

Risiko untuk mendapatkan penyakit tidak menular sangat tinggi seperti

penyakit jantung, obesitas, stroke serta diabetes.

2) Dampak ekonomi
Stunting tidak hanya sebatas berdampak terhadap kesehatan,

permasalahan kesehatan selalu berhubungan dengan kondisi ekonomi.

Berdasarkan data dari the Worldbank Tahun 2016 dalam Kementerian

Kesehatan (2019) suatu negara berpotensi mengalami kerugian ekonomi

akibat dari stunting setiap tahunnya sebesar 2 – 3 % GDP. Apabila

Produk Domestik Bruto (PDB) yang diproduksi oleh Indonesia sebesar

13.000 triliun rupiah, maka kerugian yang akan dialami yaitu sekitar 260

– 390 triliun rupiah per tahunnya. Negara akan mengalami penghambatan

pertumbuhan ekonomi serta produktivitas yang pada akhirnya dapat

menghambat pembangunan dan kesempatan untuk menjadi negara maju.

Anak dengan stunting akan berlanjut ke masa dewasa sehingga dapat


mengakibatkan terjadinya kualitas hidup yang dapat memperburuk

disparitas yaitu mengurangi 10% dari total penghasilan karena

kemampuan kognitif serta kesehatan yang kurang baik. Hal ini akan

berdampak terjadinya kemiskinan antar generasi.

Kualitas sumber daya manusia (SDM) masa depan bergantung pada

kualitas hidup yang dijalanin pada masa sekarang, kualitas SDM tentu

bergantung terhadap kualitas gizi yang di dapat terutama pada masa

persiapan sebelum menikah, saat hamil dan juga saat menyusui.

Kehidupan pada seribu hari pertama ini sangat penting untuk

diperhatikan sebab permasalahan ketertinggalan gizi yang dialami pada

waktu ini akan berdampak terhadap masa depan yang akan bersifat

persisten dan suklit diperbaiki. Efek dari hal ini tidak hanya akan terlihat

pada kondisi fisik melainkan jauh lebih buruk akan berdampak terhadap

kemampuan berpikir anak yang kurang, risiko terkena penyakit tidak

menular semakin tinggi yang berakibat kualitas hidup yang akan lebih

rendah dibandingkan manusia normal lain (Bappenas, 2012).

Gizi kurang yang dialami dari saat menjadi janin akan berlanjut

seterusnya, apabila bayi tersebut perempuan maka akan berlanjut ke

kehidupan remajanya hingga dewasa mengalami gizi kurang akan

berdampak terhadap terjadinya BBLR. Anak dengan BBLR akan berisiko

mengalami penyakit kronis seperti jantung koroner dan hemorrhagic

stroke. Remaja stunting akan tumbuh menjadi dewasa yang pendek sebab

kecepatan tumbuh kembang kognitif serta perilaku terjadi tidak maksimal


yang diakibatkan oleh kurang gizi, hal tersebut tidak dapat diperbaiki

sepenuhnya (Kusharisupeni, 2014).

Koroner dan hemorrhagic stroke. Remaja stunting akan tumbuh

menjadi dewasa yang pendek sebab kecepatan tumbuh kembang kognitif

serta perilaku terjadi tidak maksimal yang diakibatkan oleh kurang gizi,

hal tersebut tidak dapat diperbaiki sepenuhnya (Kusharisupeni, 2014).

g. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Stunting


Menurut UNICEF (1990) dalam (Nurdiana, 2019). Faktor yang

berhubungan dengan stunting dibagi menjadi dua, yaitu secara langsung

dan tidak langsung. Faktor penyebab secara langsung yang pertama yaitu,

asupan makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi

yang memenuhi syarat makanan beragam dan bergizi seimbang. Yang

kedua penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya penyakit

menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Faktor penyebab tidak

langsung yaitu kebersihan dan sanitasi, ketahanan pangan rumah tangga,

pola asuh bayi, pemberian ASI Eksklusif, pemberian MP-ASI, kualitas

pelayanan kesehatan dan tingkat pendapatan/ekonomi keluarga.

Perawatan anak yang tidak memadai meliputi kesehatan ibu yang buruk,

kurangnya pendidikan Ibu, Pola asuh yang salah, beban kerja ibu yang

berlebihan. Faktor lain seperti berat badan lahir, jenis kelamin, jumlah

anggota keluarga, pekerjaan orang tua dan BBLR juga menjadi faktor

penyebab yang mempengaruhi stunting. Adapun faktor-faktor tersebut

diatas sebagai berikut:


1) Penyebab Langsung

a) Jenis Kelamin

Menurut Ramli, dkk (2009) dalam Larasati (2017) mengatakan

jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi untuk

seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein

dibandingkan wanita. Pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat

yang tidak bisa dilakukan wanita. Selama masa bayi dan anak-anak,

perempuan cenderung lebih rendah kemungkinan mengalami stunting

dan serve stunting dari pada anak laki-laki, selain itu bayi perempuan

dapat bertahan hidup dalam jumlah lebih besar dari pada bayi laki-laki

dikebanyakan Negara berkembang termasuk Indonesia. Anak

perempuan memasuki masa puber dua tahun lebih awal dari pada laki-

laki, dan dua tahun juga merupakan selisih dipuncak kecepatan tinggi

antara kedua jenis kelamin.

b) Berat Badan Lahir

Berat badan lahir adalah berat badan bayi ketika lahir atau

paling lambat berumur 1 hari dilihat dari Kartu Menuju Sehat (KMS)

dimana bila berat badan lahir kurang dari 2.500 gram berarti berat

badan lahir rendah dan bila lebih dari atau sama dengan 2.500 gram

berarti normal. Berat badan lahir rendah sering dihubungkan dengan


tinggi badan yang kurang atau stunting padda balita (Sudarti, dkk.,

2012 dalam Pohan, 2017).

Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan

perkembangan jangka panjang anak balita. Berat badan lahir rendah

dapat terjadi juga akibat kelahiran sebelum usia kehamilan sempurna,

yaitu 37 minggu. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah

mempunyai resiko lebih tinggi terhadap gangguan pertumbuhan,

penyakit infeksi, perkembangan yang lambat dan kematian pada saat

bayi dan anak-anak (WHO, 2011 dalam Pohan, 2017).

c) Pemberian ASI Eksklusif

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33

tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah

pemberian Air Susu Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau

menggantikan dengan makanan dan minuman lain yang diberikan

kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan. Menurut UNICEF

Anak yang diberikan ASI saja selama enam bulan pertama akan

mengalami pertumbuhan yang baik. ASI dapat melindungi bayi dari

serangan penyakit infeksi karena ASI mengandung antibodi, protein

dan vitamin A. biasanya, bayi yang baru lahir perlu menyusu, dengan

jarak antara 1,5 hingga 2 jam sekali menyusui. Biarkan bayi menyusu

hingga merasa kenyang, karena kebutuhan setiap bayi selalu

bervariasi. Atau pada bayi yang baru lahir karena waktunya lebih

banyak untuk tidur, upayakan membangunkannya agar ada waktu


untuk menyusui. Mulai usia 6 bulan bayi memerlukan makanan

tambahan pendamping ASI untuk dapat menjamin pertumbuhan dan

perkembangan yang optimal. Seseorang balita diberikan makanan

pendamping ASI selama 0-6 bulan akan menyebabkan produksi ASI

menurun karena bayi tidak mau mengisap lagi akibat perasaan

kenyang. Jika diberikan makanan pendamping ASI secara dini itu juga

berdampak pada pencernaan bayi. Pada usia 0-6 bulan sistem

pencernaan bayi belum sempurna jiika sudah diberikan makanan

pendamping ASI anak cenderung mengalami diare (Kurniasih dkk,

2010).

d) Penyakit Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan anak tidak merasa lapar atau tidak

mau makan. Penyakit ini juga dapat menghabiskan sejumlah protein

dan kalori yang seharusnya dipakai untuk pertumbuhan. Diare dan

muntah dapat menghalangi penyerapan makanan. Penyakit-penyakit

umum yang memperburuk keadaan gizi adalah diare, dan infeksi

saluran napas atas, tubercolosis, campak, malaria kronis, cacingan

(Proverawati dan Asfuah, 2009). Diare dan infeksi saluran pernapasan

anak merupakan penyakit infeksi yang selalu diderita anak-anak.

Diare adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau

tidak seperti biasanya. Perubahan yang terjadi berupa perubahan

peningkatan volume, keenceran dan frekuensi dengan atau tanpa


lendir darah, seperti lebih dari 3 kali/hari dan pada neonates lebih dari

4 kali/hari (Hidayat, 2011).

2). Faktor Tidak Langsung

a) Pendidikan

Pendidikan seseorang juga sebagai salah satu faktor yang

mempengaruhi status gizi seseorang dengan adanya tingkat

pendidikan yang tinggi diharapkan agar pemahaman mengenai

informasi pemenuhan kebutuhan gizi dapat diterapkan dengan baik

sehingga dapat mencegah terjadinya permasalahan gizi (Fikawati &

Syafiq, 2014). Berdasarkan hasil penelitian Mentari dan Hermansyah

(2018) ibu dengan pendidikan tinggi memiliki anak stunting 39,3%,

sedangkan pendidikan rendah 72,1%. Ini menunjukkan bahwa

pendidikan juga sangat mempengaruhi pemahaman seseorang untuk

dapat memberikan asupan gizi yang baik bagi keluarga.

b) Faktor Ekonomi atau Pendapatan


Jumlah pemasukan yang diterima setiap keluarga dalam

sebulan berdasarkan UMK yang ada di daerah tersebut merupakan

pendapatan keluaga. Pendapatan keluarga sangat berperan penting

dalam pemenuhan zat gizi keluarga. Kemampuan daya beli sesuai

keluaga sesuai dengan pendapatan yang dimiliki. Tingginya

pendapatan yang didapat dalam keluarga, maka diharapkan akan

semakin banyak pula alokasi uang yang digunakan untuk membeli


kebutuhan pangan seperti sayur, buah daging dan lain-lain untuk

memenuhi kebutuhan gizi keluarga (Fikawati & Syafiq, 2014).

Lestari, Rezeki, Mayasari dan Manggabarani (2018) melakukan

penelitian di Sei Renggas memberikan informasi bahwa memang

pendapatan berhubungan dengan stunting pada anak Sekolah Dasar

(SD) dengan nilai p value = 0,001.

c) Jumlah Anggota Keluarga

Anggota keluarga adalah semua orang yag biasanya tinggal di

suatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan maupun

sementara tidak ada. Kategori BKKBN keluarga dengan anggota

keluarga kurang dari 4 orang termasuk kategori keluarga kecil, yang

kemudian dikenal sebagai Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera

(NKKBS). Keluarga dengan anggota lebih dari 4 orang

dikategorikan sebagai keluarga besar. Kesejateraan anak yang

tinggal pada keluarga kecil relative akan lebih terjamin dibandingkan

keluarga besar, sebaliknya semakin banyak jumlah anggota keluarga

pemenuhan kebutuhan anggota keluarga cenderung lebih sulit,

termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga

(Hastuti, 1989 dalam Rahayu, dkk.,2018). Dalam penelitian Oktarina

(2012) mengatakan jumlah anggota keluarga memiliki hubungan

yang signifikan dengan kejadian stunting pada balita. Anak-anak

dengan stunting berasal dari keluarga yang jumlah anggota rumah

tangganya lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak normal.


d) Pola Asuh Orang Tua

Menurut Soetjiningsih (2002) dalam Kusyuantomo (2017)

Pola Asuh adalah pemenuhan kebutuhan fisik dan biomedis anak

termasuk pangan dan gizi, kesehatan dasar, imunisasi, pengobatan,

papan/pemunkiman yang layak, hygiene perorangan, sanitas

lingkungan, sandang dan rekreasi. Pola asuh yang memadai pada

bayi adalah kebutuhan fisik dan biomedis anak terpenuhi secara

optimal. Hal ini dilakukan melalui pemberian gizi yang baik berupa

pemberian ASI, pemberian makanan pendamping air susu ibu (MP-

ASI) tepat waktu dan bentuknya, melanjutkan menyusui anak sampai

anak berumur 2 tahun, ibu punya cukup waktu untuk merawat bayi,

imunisasi dan memantau status gizi melalui kegiatan penimbangan

(Soekirman, 2000 dalam Hutagalung, 2016). Pola asuh adalah

kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan

dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-

baiknya secara fisik, mental dan social. Pola pengasuhan anak

merupakan sikap dan praktek ibu atau pengasuh lain dalam

kedekatannya dengan anak, cara merawat, memberi makan serta

memberi kasih sayang (Azwar, 2004 dalam Hutagalung, 2016).

Pola asih atau kebutuhan emosi atau kasih sayang, penting

menimbulkan rasa aman dengan kontak fisik dan psikis sedini


mungkin dengan ibu. Kebutuhan anak akan kasih sayang,

diperhatikan dan dihargai, pengalaman baru, pujian, tanggung jawab,

untuk kemandirian sangat penting diberikan. Asah atau kebutuhan

akan stimulasi mental adalah mengembangkan perkembangan moral,

etika dan perilaku. Ciri bakal proses pembelajaran, pendidikan dan

pelatihan yang diberikan sedini dan sesuai mungkin (Soetjiningsih,

2002 dalam Kusyuantomo, 2017).

e) Sanitasi lingkungan.

Lingkungan dapat berhubungan dengan stunting, hal ini berkaitan

dengan kejadian infeksi apabila lingkungan tempat tinggal tidak sehat

maka akan memperbesar risiko terjadi penyakit infeksi seperti diare.

Diare dapat mengganggu proses penyerapan nutrisi seorang anak,

sehingga dapat menghambat pertumbuhan anak. Kondisi kesehatan

lingkungan ini dapat dilihat dari hygiene dan sanitasi seperti akses

jamban sehat, penerapan cuci tangan pakai sabun (CTPS), pengelolaan

limbah dan sampah rumah tangga, akses terhadap sumber air bersih

serta pengelolaan air minum.

2. Penilaian Status Gizi Balita

a. Balita

Balita merupakan suatu individu yang memilki rentang usia tertentu.

Balita dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan usia yaitu usia bayi (0

sampai 2 tahun), golongan balita (2 sampai 3 tahun) dan usia pra sekolah

(> 3 sampai 5 tahun). WHO menggolongkan usia balita dari 0 sampai 60


bulan dan pendapat lain mengatakan bahwa balita berada di usia 1 sampai

5 tahun.

Usia balita (1 – 5 tahun) merupakan usia dalam siklus daur kehidupan

yang mana terjadi pertumbuhan yang tidak begitu pesat jika dibandingkan

dengan masa bayi. Elizabeth B. Hurlock dalam Adriani dan Wirjatman

(2016) mengatakan siklus hidup pada masa balita merupakan periode emas

dalam proses perkembangan anak yang akan menjadi modal bagi fase

kehidupan selanjutnya. Balita memiliki kebutuhan gizi yang harus di

penuhi, sebab gangguan gizi yang dialami pada fase ini akan

mempengaruhi kualitas kehidupan selanjutnya. Oleh sebab itu, asupan

makanan yang berkualitas gizi tinggi sangat diperlukan terutama yang

mengandung energi, protein (khususnya protein hewani), vitamin (Vit B

kompleks, Vit C dan Vit A) serta mineral (Ca, yodium, fosfor, Fe dan Zn).

Orang tua dan keluarga sangat berperan dalam pemenuhan asupan gizi

yang tepat dan berkualitas bagi anak balita.

Menurut Mardalena (2017), dalam ilmu gizi ada dua metode penilaian

status gizi yang kita kenal, yaitu:

1) Penilaian status gizi langsung terdiri dari: Antropometri, Klinis,

Biokimia, Biofisik.

2) Penilaian status gizi tidak langsung terdiri dari survei tingkat makanan,

statistik vital faktor ekologi.

Dengan banyak metode penilaian status gizi maka perlu

dipertimbangkan faktor untuk memilih metode penilaian yaitu 1) Tujuan,


2) Unit Sampel yang akan diukur, 3) Jenis Informasi yang dibutuhkan, 4)

Tingkat reliabilitas dan akurasi yang dibutuhkan, 5) Fasilitas dan peralatan

yang ada, 6) Tenaga, 7) Waktu, 8) Dana yang tersedia.

Penilaian status gizi merupakan keadaan gizi individu dengan

cara mengumpulkan data dan mebandingkan data dengan standar yang

ditetapkan (Arisman, 2009 dalam Pohan, 2017). Pada stunting metode

penilaian status gizi yang paling sering digunakan yaitu antropometri.

Antropometri dapat diartikan sebagai ukuran tubuh manusia. Antropometri

berhubungan dengan dimensi dan komposisi tubuh dengan tingkat umur

dan keadaan gizi. Indeks 20 antropometri yang digunakan untuk stunting

adalah tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan nilai Z skor <-2 SD

(Mardalena, 2017).

b. Pengukuran Antropometri

Menurut Mardalena (2017), Antropometri adalah ukuran tinggi

badan manusia. Pengukuran melalui metode ini karena manusia

mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan mencakup

perubahan besar, jumlah, ukuran dan fungsi sel, jaringan, organ tingkat

individu yang diukur dengan ukuran panjang, berat, umur tulang dan

keseimbangan metabolik. Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya

kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam

pola yang teratur dan dapat diramalkan. Pertumbuhan dan perkembangan

dipengaruhi oleh faktor internal (Genetik) dan faktor

eksternal/Lingkungan.
Metode antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan

asupan protein dan energi (karbohidrat dan lemak). Metode ini memiliki

keunggulan dimana alat mudah, dapat dilakukan berulang-ulang dan

objektif, siapa saja yang bisa dilatih mengukur, relatif murah, hasilnya

mudah disimpulkan, secara ilmiah diakui kebenarannya, sederhana, aman,

bisa sampel besar tepat, akurat, dapat menggambarkan riwayat gizi masa

lalu, bisa untuk skrining dan mengevaluasi gizi masa lalu. Selain

keunggulannya, ada juga kelemahannya antara lain: tidak sensitif dan

spesifik mengukur suatu zat gizi, bisa dipengaruhi faktor diluar gizi

misalnya penyakit, bisa terjadi kesalahan pengukuran (Mardalena, 2017).

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan

mengukur beberapa parameter. Parameter ini terdiri dari:

1) Umur, yaitu bulan penuh untuk anak 0-2 tahun dan tahun penuh > 2

tahun dihitung dari hari lahir.

2) Berat badan menggunakan timbangan yang sesuai dan cara yang tepat.

3) Tinggi badan diukur pada posisi lurus dengan cara yang tepat.

4) Lingkar Lengan Atas dapat menggunakan pita LILA atau meteran.

5) Lingkar Dada

6) Lingkar Kepala

7) Jaringan lunak (lemak sub cutan) diukur menggunakan alat khusus.


Parameter sebagai alat ukur tunggal sebenarnya belum bisa

digunakan untuk menilai status gizi, maka harus dikombinasikan.

Kombinasi beberapa parameter disebut dengan Indeks Antropometri yang

terdiri dari:

a) Berat badan menurut umur (BB/U)

b) Tinggi badan menurut umur (TB/U)

c) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

d) Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U)

e) Indeks Massa Tubuh, dll.

Tabel 3. Indeks Antropometri

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Berat Badan Menurut Umur Gizi Buruk <-3 SD


(BB/U) Anak Umur 0-60 Gizi Kurang -3 SD sampai dengan -2 SD
Bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD

Gizi lebih >2 SD

Panjang Badan Menurut Sangat Pendek <-3SD


Umur atau Tinggi Badan
Menurut Umur (TB/U)
Pendek -3 SD sampai dengan <-2
Anak Umur 0-60 Bulan
SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Tinggi >2 SD

Berat Badan Menurut Sangat Kurus <-3 SD


Panjang Badan (BB/PB)
atau Berat Badan Menurut Kurus -3 SD sampai dengan -2 SD
Tinggi Badan (TB/U) Anak
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Umur 0-60 Bulan
Gemuk >2 SD
Indeks Massa Tubuh Sangat Kurus <-3 SD
Menurut Umur (IMT/U)
Kurus -3 SD sampai -2 SD
Anak Umur 0-60 Bulan
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk >2 SD

Indeks Massa Tubuh Sangat Kurus <-3 SD


Menurut Umur (IMT/U)
Anak Umur 0-60 Bulan Kurus -3 SD sampai -2 SD
Anak Umur 5-18 tahun
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk >2 SD

Sumber: Kemenkes, 2010

B. Tinjauan Umum Tentang Variabel Bebas

1. Pendidikan Ibu

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur

penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat

pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang

gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Seorang dengan pendidikan rendah

belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi

persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih

tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah, kalau orang tersebut rajin

mendengarkan atau melihat informasi mengenai gizi, bukan mustahil

pengetahuan gizinya akan lebih baik.

Tingkat pendidikan mempengaruhi pola konsumsi makan melalui

cara pemilihan bahan makanan dalam kualitas dan kuantitas. Pendidikan

ibu mempengaruhi status gizi anak, dimana semakin tinggi pendidikan ibu
maka akan semakin baik pula status gizi anak. Tingkat pendidikan juga

berkaitan dengan pengetahuan gizi yang dimiliki, dimana semakin tinggi

pendidikan ibu maka semakin baik pula pemahaman dalam memilih bahan

makan (Yuliana dan Hakim, 2019).

Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat berhubungan

dengan pengetahuan gizi dan pemenuhan gizi keluarga khususnya anak,

karena ibu dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit menyerap

informasi gizi sehingga dapat berisiko mengalami balita mengalami

kejadian stunting. Jika pendidikan ibu dan pengetahuan ibu rendah

akibatnya ia tidak mampu untuk memilih hingga menyajikan makanan

untuk keluarga memenuhi syarat gizi seimbang (Yulistiana Evayanti dkk,

2020).

Berdasarkan hasil penelitian Mentari dan Hermansyah (2018) ibu

dengan pendidikan tinggi memiliki anak stunting 39,3%, sedangkan

pendidikan rendah 72,1%. Ini menunjukkan bahwa pendidikan juga sangat

mempengaruhi pemahaman seseorang untuk dapat memberikan asupan

gizi yang baik bagi keluarga.

2. Pengetahuan Gizi Ibu

Menurut Kusmivati, dkk (2014) menyatakan bahwa pendidikan

dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang semakin mudah

menerima informasi, sehingga makin baik pengetahuannya, akan tetapi

seseorang yang berpendidikan rendah belum tentu berpengetahuan rendah.

Pengetahuan tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal akan tetapi juga
bisa diperoleh melalui pendidikan nonformal, seperti pengalaman pribadi,

media lingkungan dan penyuluhan kesehatan, Kusmivati, dkk (2014).

Maka Pengetahuan ibu yang baik tentang gizi akan mempengaruhi pola

asuh ibu contohnya dalam hal pemberian makanan.

Salah satu faktor penting yang mem-pengaruhi status gizi pada

balita adalah faktor pengetahuan ibu tentang gizi pada balita. Kurangnya

pengetahuan ibu ten-tang keragaman bahan dan keragaman je-nis makanan

akan menimbulkan tergang-gunya proses pertumbuhan dan perkem-

bangan balita terutama perkembangan otak, oleh karena itu penting untuk

ibu dalam memberikan asupan makanan yang bergizi kepada anaknya.

Banyak orang tua terutama ibu yang tidak memperhati-kan asupan nutrisi

pada anak balitanya. Padahal anak usia balita rentan terhadap penyakit dan

infeksi (Agus Eka Nurma Yuneta. 2020).

3. Pemberian ASI Eksklusif

ASI Ekslusif adalah pemberian hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir

sampai usia 6 bulan. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan

mengonsumsi obat-obatan, vitamin dan mineral tetes atas sarandokter

(PERMENKES, 2014). ASI eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi

yang berupa ASI saja tanpa diberi cairan lain baik dalam bentuk apapun

kecuali sirup obat. ASI eksklusif diberikan minimal dalam jangka waktu

enam bulan. ASI saja dapat mencukupi kebutuhan bayi pada enam bulan

pertama kehidupannya. Makanan dan minuman lain justru dapat

membahayakan kesehatannya. Manfaat pemberian ASI eksklusif tidak


hanya dirasakan oleh bayi, tetapi juga oleh ibu, lingkungan bahkan negara.

Manfaat ASI, sebagai berikut:

a. Sumber gizi terbaik dan paling ideal dengan komposisi yang seimbang

sesuai dengan kebutuhan bayi pada masa pertumbuhan

b. ASI mengandung berbagai zat kekebalan sehingga bayi akan jarang

sakit, mengurangi diare, sakit telinga, dan infeksi saluran pernafasan.

c. ASI mengandung asam lemak yang diperlukan untuk pertumbuhan

otak sehingga bayi yang mendapatkan ASI eksklusif potensial akan

lebih unggul pada prestasi/meningkatkan kecerdasan.

d. ASI sebagai makanan tunggal untuk memenuhi kebutuhan

pertumbuhan sampai usia enam bulan.

Makanan lain yang diberikan terlalu dini justru dapat meningkatkan

penyakit infeksi pada bayi yang secara langsung berpengaruh terhadap

status gizi bayi. Guna menjamin anak akan protein yang bermutu tinggi,

sehingga terhindardari baya kwahiokor, Jelliefe (7) menganjurkan

penggunaan 3 sumber protein secara maksimal yaitu:

1) Anak diberi ASI selama mungkin sepanjang ASI masih keluar.

2) Anak diberi campuran protein nabati dari biji-bijian (serelia) dan

kacang-kacangan (leguminosa).

3) Berikan bahan makanan sumber protein hewani setempat yang mudah

didapat dan murah harganya (dapat dijangkau masyarakat).

Pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan risiko kejadian

stunting karena ASI mengandung antibodi dan kandungan kalsium pada


ASI mempunyai bioavailabilitas yang tinggi sehingga dapat diserap

dengan optimal terutama dalam fungsi pembentukan tulang (Septi, 2020).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Yuniarti et al., (2019) yang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif

merupakan faktor risiko kejadian stunting. Anak kelompok stunting

sebagian besar tidak diberikan ASI eksklusif. Anak tidak ASI eksklusif

berisiko19,5 kali untuk menjadi stunting.

4. Pendapatan Keluarga

Larasati (2017) mengatakan pendapatan keluarga adalah jumlah

uang yang dihasilkan dan jumlah uang yang dikeluarkan untuk membiayai

keperluan keluarga selama satu bulan. Pendapatan yang memadai akan

menunjang perilaku anggota untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

keluarga yang lebih memadai.

Salah satu faktor penyebab masalah gizi adalah kemiskinan.

Kemiskinan dinilai mempunyai peran penting yang bersifat timbal balik

sebagai sumber permasalahan gizi yakni kemiskinan menyebabkan

kekurangan gizi sebaliknya individu yang kurang gizi akan memperlambat

pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan. Apabila

seseorang mengalami kurang gizi maka secara langsung akan

menyebabkan hilangnya produktifitas kerja karena kurang fisik,

menurunnya fungsi kognitif yang akan mempengaruhi tingkat pendidikan

dan ekonomi keluarga. Dalam mengatasi masalah kelaparan dan

kekurangan gizi, tantangan yang dihadapi adalah mengusahakan


masyarakat miskin, terutama ibu dan balita memperoleh bahan pangan

yang cukup dan gizi yang seimbang serta harganya terjangkau (Bappenas,

2011 dalam Larasati, 2017).

Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang

signifikan terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek

(UNICEF, 2013). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Khoirun Ni’mah dan Sri Rahayu (2015) bahwa pendapatan keluarga

merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita

(p=0,004).

Dewan Pengupahan Konawe Kepulauan menetapkan Upah Minimun

Regional (UMR) tahun 2020 sebesar Rp. 1.200.000. Penetapan UMP

Sulawesi Tenggara tahun 2020 ditetapkan melalui keputusan Gubernur

Sulawesi Tenggara No,36 tahun 2020 Tentang Upah Minimun Provinsi

dan Upah Minimum Sektoral tahun 2020. Penetapan UMP tersebut dengan

mempertimbangkan usulan dewan pengupahan Provinsi Sultra yang

terdiri dari unsur pemerintah, Asosiasi pengusaha dan serikat kerja.

C. Tinjauan Empiris

Beberapa penelitian terdahulu yang mengkaji tentang factor-faktor yang

berhubungan dengan lambatnya penurunan prevalensi stunting telah banyak

dilaksanakan seperti:
Penelitian yang dilakukan oleh Agus Eka Nurma Yuneta dkk (2020)

dengan judul “Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Status Gizi

Balita Di Kelurahan Wonorejo Kabupaten Karanganyar”. Desain penelitian

adalah cross sectional. Populasi penelitian ini adalah ibu yang mempunyai

balita usia 1-5 tahun dan semua balita di posyandu kelurahan Wonorejo. Hasil

analisis data menggunakan Kendall’s tau didapatkan nilai p sebesar 0,000 (p <

0,05) yang menyatakan terdapat korelasi yang bermakna dan nilai korelasi

pada penelitian ini adalah sebesar 0,482 yang menyatakan kekuatan korelasi

sedang dengan arah yang positif. Dengan demikian terdapat hubungan yang

signifikan antara tingkat pengetahuan ibu dan status gizi balita di Kelurahan

Wonorejo.

Penelitian yang dilakukan oleh Yulistiana Evayanti dkk (2020) dengan

judul “Faktor Stunting Pada Balita Usia 12-59 Bulan Di Upt. Puskesmas

Gedung Surian, Lampung Barat”. Rancangan penelitian ini adalah survey

analitik dengan menggunakan pendekatan Cross sectional. Hasil uji square

menunjukkan bahwa ada hubungan berat badan lahir pada balita dengan

kejadian stunting menunjukan signifikansi paling tinggi nilai (P-Value 0,000);

(Odd-Ratio 0,607). Ada hubungan tingkat pendidikan ibu yang rendah

terhadap kejadian stunting di UPT.Puskesmas Gedung Surian Lampung Barat

mencapai signifikansi cukup tinggi nilai (P-Value 0,005); (Odd-Ratio 5,000).

Ada hubungan panjang badan lahir pada balita dengan kejadian stunting di

UPT.Puskesmas Gedung Surian Lampung Barat, sangat signifikan nilai (P-

Value 0,039) dan (Odd-Ratio).


Penelitian yang dilakukan oleh Nur Farida Rahmawati dkk (2020)

dengan judul “Faktor sosial, ekonomi, dan pemanfaatan posyandu dengan

kejadian stunting balita keluarga miskin penerima PKH di Palembang”. Jenis

penelitian menggunakan kuantitatif. Hasil uji regresi logistik ganda

menunjukkan ada empat variabel yang secara simultan berhubungan signifi

kan terhadap kejadian stunting balita, yaitu. Pendidikan ibu dan pemanfaatan

posyandu merupakan faktor protektif, sementara jumlah anggota keluarga

banyak dan anak urutan ketiga dan selanjutnya meningkatkan risiko terjadinya

stunting balita pada keluarga miskin penerima PKH.

Penelitian yang dilakukan oleh Septi Viantri Kurdaningsih (2020).

Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel dalam

penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak usia 2 sampai 5 tahun yang

berjumlah 63 responden, teknik pengambilan sampel menggunakan accidental

sampling. Analisa data meliputi univariat dan bivariat dengan menggunakan uji

chi-square. Berdasarkan uji statistik didapatkan hubungan yang signifikan

antara variabel panjang badan lahir (p=0,000), berat badan lahir (p=0,05),

pemberian ASI (p=0,005) dan penyakit infeksi (p=0,001) dengan kejadian

stunting pada anak usia di bawah 5 tahun.

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pikir Penelitian


Pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor resiko yang penting pada

pertumbuhan anaknya, peranan ibu sebagai pengasuh utama anaknya sangat di

perlukan mulai dari pembelian hingga penyajian makanan. Jika pendidikan dan

pengetahuan ibu rendah akibatnya ia tidak akan mampu memilih hingga

menyajikan makanan yang memenuhi syarat gizi. Dengan pendidikan ibu yang

rendah, tidak dapat menerapkan perilaku hidup sehat dalam keluarga sehingga

akan mengakibatkan masalah stus gizi contohnya stunting pada balita.

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi status gizi pada balita

adalah faktor pengetahuan ibu tentang gizi pada balita. Kurangnya pengetahuan

ibu tentang keragaman bahan dan keragaman jenis makanan akan

menimbulkan terganggunya proses pertumbuhan dan perkembangan balita

terutama perkembangan otak, oleh karena itu penting untuk ibu dalam

memberikan asupan makanan yang bergizi kepada anaknya untuk menghindari

penyakit dan infeksi.

Pemberian ASI esklusif merupakan faktor yang berpengaruh terhadap

terjadinya kejadian stunting. Balita yang tidak diberikan ASI eksklusif rentan

terhadap berbagai penyakit sedangkan bayi yang secara eksklusif mendapatkan

zat gizi yang cukup dan mendapat antibodi atau zat kekebalan yang akan

melindungi balita dari berbagai penyakit.

Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang

anak dan status gizi anak, karena orang tua dapat menyediakan semua

kebutuhan anak. Pendapatan keluarga yang tinnggi dapat memenuhi

ketersediaan pangan dalam rumah tangga sehingga akan tercukupi zat gizi
dalam keluarga. Sebaliknya jika pendapatan yang rendah maka akan

mengakibatkan ketersediaan pangan dalam rumah tanggga tidak tercukupi.

Sehingga pemenuhan zat gizi dalam keluarga tidak efesien dan berdampak

pada pertumbuhan anak.

B. Bagan Kerangka Konsep

Adapun bagan kerangka konsep dalam penelitian ini adalah

menggambarkan variabel-variabel yang diukur atau diamati selama penelitian:

Pendidikan Ibu

Pengetahuan
z Ibu Tentang Gizi
Gizi
Lambatnya Penurunan
Pemberian ASI Eksklusif Prevalensi Stunting

Pendapatan Keluarga

Sanitasi Lingkungan

Keterangan :

= Variabel bebas
= Variabel terikat
= Variabel yang tidak diteliti
Gambar 1. Bagan Kerangka Konsep

C. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (Independen) merupakan variabel yang mempengaruhi

variabel dependent (variabel terikat), yang mana dalam penelitian ini


variabel independent yaitu pendidikan ibu, pengetahuan ibu tentang gizi,

pemberian ASI Eksklusif dan pendapatan keluarga.

2. Variabel terikat (dependent) merupakan variabel yang dipengaruhi atau

yang menjadi akibat adanya variabel bebas, yang mana dalam penelitian ini

variabel dependent adalah lambatnya penurunan Prevalensi Stunting.

D. Definisi Operasional Dan Kriteria Objektif

Untuk menghindari presepsi tentang pengertian dalam variabel ini, maka

penulis membuat definisi operasional dan kriteria objektif berdasarkan varaibel

yang diteliti.

1. Kejadian Stunting

Stunting adalah keadan dimana panjang badan anak tidak sesuai

dengan umur. Stunting adalah tinggi badan balita menurut umur (TB/U)

kurang dari -2 standar deviasi (SD) sehingga lebih pendek dari pada tinggi

yang seharusnya. Panjang badan biasanya diukur dengan menggunakan alat

Antropometrik berdasarkan tabel Z-score.

Kriteria Objektif :
a. Pendek: Bila hasil pengukuran tabel Z- score-3SD sampai dengan -2 SD

b. Sangat Pendek : Bila hasil pengukuran tabel Z-score<-3 sampai dengan

-2 SD (Kemenkes, 2010).

2. Pendidikan Ibu

Pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan formal yang pernah

ditempuh oleh responden.


Kriteria Objektif :

a. Tinggi: Jika pendidikan terakhir responden tamat SMA dan Perguruan

Tinggi

b. Rendah: Jika pendidikan terakhir responden tamat SD, SMP atau

Sederajat

3. Pengetahuan Ibu Tentang Gizi

Pengetahuan ibu tentang gizi adalah pengetahuan ibu tentang gizi

yang diukur dengan kuesioner. Pengetahuan ibu yang akan diukur meliputi:

pengetahuan ibu tentang keragaman makanan , gizi seimbang, Asi, dan

bentuk makanan Balita. Penilaian menggunakan skala Arikunto yang

didasarkan atas jumlah pertanyaan keseluruhan yaitu sebanyak 15

pertanyaan, yakni jawaban jawaban “Benar” diberi nilai 1 dan jawaban

“Salah” diberi nilai 0. Rumus yang digunakan untuk mengukur presentase

dari jawaban yang didapat dari kuesioner menurut Arikunto (2013), yaitu

Jumla h nilai yang benar


Presentase= x100%
Jumla h Soal

Kriteria Obyektif :

a. Baik : Jika nilai jawaban benar responden ≥75%

b. Kurang : Jika nilai jawaban benar responden¿75%

4. Pemberian ASI Eksklusif


Pemberian ASI Eksklusif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

Memberikan hanya ASI saja untuk bayi yang baru lahir sampai berusia 6

bulan.

Kriteria Objektif :

a. ASI Eksklusif : Jika responden hanya memberikan ASI pada bayi sejak

lahir tanpa tambahan makanan/minuman sampai usia 6 bulan

b. Tidak ASI Eksklusif : Jika responden memberikan makanan selain ASI

(air putih, susu formula, madu, dll) pada usia sebelum 6 bulan.

4. Pendapatan Keluarga

Jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun kebutuhan

perseorangan. Kemudian dibandingkan dengan UMR (Upah Minimum

Regional) Kabupaten Konawe Kepulauan yaitu sebesar Rp 1.200.000.

Kriteria Objektif :

a. Tinggi : Bila pendapatan rata-rata keluarga ≥Rp 1.200.000

b. Rendah : Bila pendapatan rata-rata keluarga <Rp. 1.200.000

E. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Pendidikan Ibu dengan lambatnya penurunan Prevalensi stunting

H0 :Tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan lambatnya

penurunan prevalensi stunting di Wilayah Kerja Puskesmas

Waworete

Ha :Adahubungan antara pendidikan ibu dengan lambatnya penurunan

prevalensi stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete

2. Pengetahuan Ibu tentang gizi dengan Lambatnya Penurunan Prevalensi

Stunting

H0 :Tidak ada hubungan antara pengetahuan Ibu tentang gizidengan

lambatnya penurunan prevalensi stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Waworete

Ha :Ada hubungan antara pengetahuan Ibu tentang gizidengan

lambatnya penurunan prevalensi stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Waworete

3. Pemberian ASI Eksklusif dengan Lambatnya Penurunan Prevalensi Stunting

H0 :Tidak ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan

lambatnya penurunan prevalensi stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Waworete

Ha :Ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan lambatnya

penurunan prevalensi stunting di Wilayah Kerja Puskesmas

Waworete

4. Pendapatan Keluarga dengan Lambatnya Penurunan Prevalensi Stunting


H0 :Tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan lambatnya

penurunan prevalensi stunting di Wilayah Kerja Puskesmas

Waworete

Ha :Ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan lambatnya

penurunan prevalensi stunting di Wilayah Kerja Puskesmas

Waworete

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan

desain Cross Sectional Study dimana jenis penelitian yang menekankan waktu

pengukuraan/observasi variable independent dan dependent hanya satu kali

pada satu saat (Nursalam, 2016). Penelitian ini bertujuan untuk factor-faktor

yang berhubungan dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja Puskesmas

Waworete Kecamatan Wawonii Timur.

Adapun desain penelitian dalam penelitian ini mulai dari awal hingga

selesai adalah sebagai berikut :

Populasi/Sampel

Faktor (+) Faktor (-)

Efek (+) Efek (-) Efek (+) Efek (-)

Gambar 2: Desain Penelitian Cross Sectinal Study(Nursalam, 2016)

B. Waktu dan Lokasi Penelitian


1. Waktu Penelitian

Penelitian initelah dilaksanakan pada tanggal 10 Juni sampai

dengan 03 Agustustahun 2021.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas

Waworete Kecamatan Wawonii Timur.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian yang

diteliti(Nursalam, 2016).Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

ibu yang mempunyai balita yang menderita stuntingyang berkunjung ke

Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete tahun 2020 sebanyak 129

balita.

2. Sampel

a. Penentuan Jumlah Sampel

Menurut Dr. Soekidjo, Notoatmodjo (2010) sampel adalah bagian

dari populasi yang diteliti jumlah sampel disesuaikan dengan

kemampuan dan populasi yang ada. Sampel dalam penelitian ini yaitu

sebagianibu balita yang mempunyai balita menderita stunting yang

berkunjung ke Puskesmas Waworete tahun 2020.

Besarnya sampel dalam penelitian ini dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Slovin menurut Sugiyono (2016) adalah sebagai

berikut :
N
n= 2
1+ N (e )

Keterangan :

N : Jumlah Populasi

n : Jumlah sampel

e: Nilai kritis (Batas ketelitian) yang diinginkan (batas kelonggaran

ketidaktelitian karena kesalahan penarikan sampel) yaitu 10 %.

Perhitungan besar sampel:

129
n=
1+129 (0 ,1 x 0 ,1)

129
n=
1+1 , 29

129
n=
2 , 29

n=¿57

Jadi sampel yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian adalah sebesar

57 balita sebagai responden. Untuk mengantisipasi drop out responden

makan ditambahkan 10% dari besar sampel yang dihitung dengan rumus

(Sastroasmoro, dkk, 2010 dalam Aziz Alimul H, 2021) yaitu :

n
n '=
(1−f )

Keterangan :

n’: besar sampel yang dihitung

n : Jumlah sampel

f: perkiraan proporsidrop out (10%)


57
n '=
(1−10 % )

57
n '=
(1−0 ,1)

57
n '=
(0 , 9)

n’ = 63,33 (Dibulatkan menjadi 64 )

Jadi sampel pada penelitian ini yaitu 64 balita yang menderita

stunting.

c.Metode Sampling

Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan

menggunakan Simple Random Sampling atau pengambilan sampel secara

acak sederhana yaitu pengambilan sampel dimana setiap anggota dari

populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel.

Cara ini dilakukan bila anggota populasi dianggap homogen, sebagai contoh

bila populasinya homogen kemudian diambil secara acak, maka akan

didapatkan sampel yang representatif.

d. Kriteria Sampel

1) Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Ibu yang mempunyai balita stunting yang tercatat dalam rekam medik

Puskesmas Waworete

b)Bersedia untuk menjadi responden penelitian

c) Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Waworete selama minimal

6 bulan
d)Jika ibu memiliki 2 anak balita maka yang menjadi sampel adalah anak

yang termuda.

2) Kriteria Eksklusi

a) Tidak bersedia menjadi responden

b) Responden yang sedang tidak ada ditempat pada saat penelitian

berlangsung.

D. Pengumpulan Data

1. Jenis Data

a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari responden yang

berkaitan dengan sampel penelitian dengan menggunakan

instrumen/alat ukur kuesioner. Data primer dalam penelitian ini yaitu

pendidikan, pekerjaan,, ASI Eksklusif, dan pola pemberian makan.

b. Data Sekunder

Data ini merupakan data penunjang kelengkapan data primer.

Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe

Kepulauan, Puskesmas Waworete, KMS, dan berbagai sumber

lainnya. Data sekunder dalam penelitian ini yaitu identitas balita

stunting serta jenis kelamin balita.

2. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


a. Kuesioner yaitu merupakan lembar berisi pernyataan – pernyataan yang

berhubungan dengan penelitian.

1) Validitas

a) Uji validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu

benar – benar mengukur apa yang diukur. (Notoadmojo, 2012).

Teknik korelasi yang dipakai adalah Teknik korelasi“ Product

Moment” yang rumusnya sebagai berikut:

r hitung=¿ n𝛴 Xi Yi – (𝛴 Xi) (𝛴 Yi)


√ ¿Xi2 – (𝛴Xi)2I n𝛴 Yi2 – (𝛴 Yi)2 ]

Suatu instrument dinyatakan valid jikar hitung lebih besar dari

r tabel. Adapun kriteria validitas instrument adalah sebagai berikut.

0,80 <rxy 1,00 validitas sangat tinggi (sangat baik)

0,60 <rxy 0,80 validitas tinggi (baik)

0,40 <rxy 0,60 validitas sedang (cukup)

0,20 <rxy 0,20 validitas rendah (jelek)

0,20 <rxy 0,20 validitas sangat rendah (baik)

Rxy 0,00 tidak valid

b) Hasil Uji Validitas

Perhitungan validitas instrument penelitian ini menggunakan

program SPSS statistic 16.0 for windows. Hasil uji validitas


instrument atas seluruh pertanyaan dalam kuesioner yang akan

digunakan dalam penelitian ini dirangkum dalam tabel berikut:

Tabel 4. Hasil Uji Validitas instrument

Variabel Hasil Item Korelasi Keterangan

Pengetahuan Ibu Valid


Pemberian ASI 0,305-0,96 Valid
eksklusif

b. Reliabilitas

1) Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu

alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Adapun rumus

reliabilitas yang digunakan adalah dengan uji Alpha Cronbach

sebagai berikut:

( )( )
2
K s r −Σsi ²
α=
K −1 Sx ²

Keterangan:

alpha = Koefisien reliabilitas Alfa Cronbach

K= Jumlah pertanyaan yang diuji

Ʃ Si2= Jumlah varian skor item

SX2= Varian skor – skortes (seluruh item K)

Jika nilai alpha > 0,7 artinya reliabilitas mencukupi (sufficient

reliability) sementara jika alpha >0,80 menunjukan bahwa seluruh

item reliabel dan seluruh tes secara konsisten secara interbal karena
memiliki reliabilitas yang kuat. Adapun kriteria reliabilitas instrument

adalah sebagai berikut:

0,00 – 0,199 Sangat Rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat

0,80 – 1,000 Sangat Kuat

2) Hasil Uji Reliabilitas

Perhitungan uji reliabilitas ini menggunakan program SPSS

Statistik 16.0 for windows. Hasil – hasil uji reliabilitas instrument yang

dilakukan terhadap 30 responden dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen

Variabel Alpha Cronbach Reliabilitas


Pengetahuna Gizi 0,761 Reliabel
Pemberian ASI eksklusif 0,733 Reliabel

Berdasarkan hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa kuesioner

pengetahuan gizi dan pemberian ASI eksklusif reliabel atau dapat

dipercaya untuk digunakan dalam peneltian.

3. Cara Pengumpulan Data

a. Kuesioner
Kuesioner berisi daftar pertanyaan terkait identitas responden dan

variabel dalam penelitian yang diajukan peneliti terhadap responden.

1) Data Identitas Responden dan balita

a) Responden meliputi : Nama Responden (Ibu Balita), umur

b) Balita meliputi : Nama Balita, jenis kelamin, Umur

2) Data Pendapatan Keluarga

Data ini dikumpulkan dengan metode wawancara.Dengan

menanyakan hasil pendapatan perkapita keluarga perbulan.Hasilnya

dibandingkan dengan rata-rata dengan UMK Konawe Kepulauan.

3) Data Pendidikan Ibu

Data ini dikumpulkan dengan metode wawancara. Dengan

menanyakan pendidikan ibu. Kemudian hasilnya dikategorikan yaitu:

Rendah ( SMP ke bawah) dan Tinggi (SMA ke atas).

4).Data Pengetahuan Ibu tentang gizi

Data ini dikumpulkan dengan metode wawancara dengan alat

bantu kuesioner. Pada penelitian ini terdapat 15 pertanyaan yang

berkaitan dengan pengetahuan ibu tentang gizi.

b. Alat Pengukuran

1) Data Panjang Badan Balita

Data panjang balita diperoleh dengan mengukur panjang

balitadengan menggunakan alat ukur length board atau Infantometer.

Langkah-Langkah mengukur panjang badan:


a) Letakan pengukuran panjang badan pada meja atau tempat yang

rata. Bila tidak ada meja, alat dapat diletakkan diatas tempat yang

datar (misalnya , lantai).

b) Letakkan alat ukur dengan posisi panel kepala di sebelah kiri dan

panel penggeser di sebelah kanan pengukur. Panel kepala adalah

pengukur. Panel kepala adalah bagian yang tidak bisa di geser.

c) Tarik geser bagian panel yang dapat sampai diperkirakan cukup

panjang untuk menaruh bayi/anak

d) Baringkan bayi/anak dengan posisi terlentang, diantara kedua siku,

dan kepala bayi/anak menempel pada bagian panel yang tidak

dapat digeser.

e) Rapatkan kedua kaki dan tekan lutut bayi/anak sampai lurus dan

menempel pada meja/tempat menaruh alat ukur.tekan telapak kaki

bayi/anak sampai membentuk siku, kemudian geser bagian panel

yang dapat digesesr sampai persis menempel pada telapak

kakibayi/anak.

f) Bacalah panjang badan bayi/anak pada skala kearah angka yang

lebih besar. Misalkan:67,5 cm. jangan lupa untuk mencatat hasil

pengukuran.

g) Setelah pengukuran selesai,kemudian bayi/anak diangkat

E. Pengolahan dan Penyajian Data

1. Pengolahan Data
Seluruh kuesioner yang telah dikumpulkan, kemudian dilakukan

beberapa tahap pengolahan data, yaitu sebagai berikut :

a. Editing, yaitu penyuntingan data yang dilakukan untuk mengetahui

kelengkapan pengisian, kejelasan pengisian, dan konsistensi jawaban

dari setiap kuesioner di dalam penelitian ini.

b. Koding, yaitu mengklasifikasikan data dan member kode dari setiap

informasi, khususnya pada setiap pertanyaan terbuka yang ada dalam

kuesioner.

c. Skoring, yaitu untuk memudahkan dalam menganalisis data yang masih

bersifat kualitatif diubah menjadi data kuantitatif dengan memberikan

nilai/skor

d. Entri data, yaitu memasukkan data kuantitatif dari kuesioner ke

komputer.

e. Cleaning data, yaitu mengecek data yang sudah dientri untuk

pengolahan data ini dilakukan secara komputerosasi menggunakan

program SPSS.

2. Penyajian Data

Setelah dikumpulkan, data harus disusun secara sistematis dan

disajikan dengan baik agar data tersebut dapat dimengerti. Pada penelitian

ini penyajian data menggunakan table distribusi frekuensi statistik sesuai

dengan kebutuhan dan jenis data kemudian akan di narasikan agar lebih

mudah dipahami.

F. Analisis Data
1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui

distribusi dan proporsi variable bebas. Analisis univariat dilakukan secara

deskriptif menggunakan persentase dengan rumus :

f
P¿ x 100 %
N

Keterangan :

f : Frekuensi yang sedang dicari presentasenya

N : Number of cases(jumlah frekuensi/banyaknya individu)

P : Angka persentase (Arikunto,2010)

2. Analisis Inferensial

a) Uji Normalitas Data

Dalam penelitian ini prasyarat analisis yang dilakukan adalah uji

normalitas karena disesuiakan dengan rumus masalah yang diajukan

yaitu untuk melihat hubungan antara variabel x dan y. Uji statistik

yang digunakan untuk menguji normalitas data adalah menggunakan

chi kuadrat (X2) dengan bantuan SPSS 16. Data dikatakan

berdistribusi normal jika p > 0,05.

b) Uji Hipotesis

Analisis yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada

hubungan antara variabel independen dengan dependen dengan


menggunakan uji statistik Chi Square dengan menggunakan batas

kemaknaan α = 0,05.

adapun rumus uji-chi-square (Sugiono, 2016)adalah :


2
x =n ¿ ¿

Keterangan :

x2 = nilai chi-square

n =jumlah sampel

a, b dan c = nilai pengamatan pada petak-petak tabel kontigensi 2x2

Tabel 6. Tabel 2 X 2 Kontigensi

Faktor resiko Faktor Efek (Variabel Dependent)


(Independent) Positif Negatif Jumlah
Positif a b a+b
Negatif c d c+d
Jumlah a+c b+d N
Sumber: Budiarto, 2010
Pengambilan Keputusan :

a. Apabila X2hitung > X2tabel, maka H0 ditolak dan Ha diterima, artinya ada

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.

b. Apabila X2hitung < X2tabel, maka H0 diterima dan Ha ditolak, artinya tidak

ada hubungan antara variabel independen denganvariabel dependen.

Selanjutnya variabel yang berhubungan akan diuji keeratan hubungan

dengan rumus koefisien phi (φ ) sebagai berikut :

φ= √
x2
n

Keterangan :

X2= Nilai Chi-Square


N = Jumlah Sampel (Sugiyono, 2016)

φ = Kontigensi phi

Dengan interpensi Sebagai berikut :

0,80 -1,000 = Hubungan sangat kuat

0,60 - 0,799 = Hubungan kuat

0,40 - 0,599 = Hubungan sedang

0,20 – 0,399 = Hubungan lemah

0,00- 0,199 = Hubungan sangat lemah (Sugiono, 2016)

G. Etika Penelitian

Dalam melekukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada Kepala Puskesmas Waworete dan masing-masing Kepala Desa untuk

mendapat persetujuan kemudian kuesioner dijalankan kesubjek yang diteliti

dengan menekankan pada masalah etika yang meliputi :

1. Informed consent (persetujuan responden)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden, tujuannya adalah

supaya mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti

selama pengumpulan data. Jika subjek menolak diteliti maka peneliti tidak

akan memaksa dan tetap akan menghormati haknya.

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak akan

mencantumkan nama subjek. Lembar tersebut diberi kode tertentu.

3. Confidentiality (kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika, dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah- masalah

lainnya, semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu akan di laporkan pada waktu riset.

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Kerja

Puskesmas Waworete pada tanggal 10 Juli sampai dengan 03 Agustus tahun

2021 dengan jumlah sampel sebanyak 64 responden. Setelah data tersebut

terkumpul, maka dilakukan pengolahan sesuai dengan tujuan penelitian,

kemudian dibahas dalam bentuk tabel disertai penjelasan sebagai berikut :

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. Keadaan Geografis

Puskesmas Waworetemerupakan salah satu dari 7 Puskesmas

yang ada diKabupaten Konawe Kepulauan sekitar 43 km dari ibu Kota

Kabupaten Konawe Kepulauan dengan luas ±4 Ha. Luas Wilayah Kerja

terdiri dari 10 Desa 1 Kelurahan. Adapun batas-batas Wilayah Kerja

Puskesmas Waworeteadalah sebagai berikut:

1) Sebelah Utara berbatasan dengan KecamatanWawonii Utara

2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Wawonii Selatan

3) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda

4) Sebelah Barat berbatasan dengan Gunung Waworete

b. Keadaan Demografis

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Waworete pada

tahun 2020 sebanyak 3.415 jiwa. Dimana jumlah penduduk wanita


sebanyak 1.795 (52,57%) jiwa dan penduduk laki-laki sebanyak 1.682

jiwa (47,43%)

c. Keadaan Sosial Budaya Dan Ekonomi

Masyarakat dalam wilayah kerja Puskesmas Waworete ditinjau

dari segi keadaan sosial ekonomi adalah sebagian besar penduduknya

hidup sebagai nelayan dan selebihnya adalah PNS Tni/Polri, pedagang,

Wiraswasta, petani, buruh dan lain-lain. Masyarakatnya terdiri dari

berbagai macam suku. Mayoritas adalah suku Wawonii selebihnya

adalah Buto dan Muna. Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Waworete

mayoritas memeluk agama Islam.

d. Keadaan Sarana Pendidikan


Tingkat pendidikan atau sumber daya manusia sangat berpengaruh

terhadap kesehatan, baik kesehatan secara personal maupun kesehatan

lingkungan. Untuk menunjang sumber daya manusia maka diperlukan

sarana pendidikan sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia

secara formal di wilayah kerja Puskesmas Waworete tingkat pendidikan

terdiri dari tidak tamat SD, SD, SMP, SMA,SMK, DII, DIII,DIV/SI.

e. Sarana dan Prasarana

Untuk menunjang peningkatan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat, maka sangat dibutuhkan sarana dan prasarana. Sarana dan

prasarana di wilayah Kerja Puskesmas Waworete terdiri atas.

1) Tenaga Medis

Adapun jumlah tenaga medis dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 5. Jumlah Tenaga Medis di Wilayah Kerja Puskesmas
Waworete Tahun 2020
No Nama Jabatan Jumlah
1 Perawat 15
2 Bidan 7

3 Perawat Gigi 1

4 Tenaga Kefarmasian 1

5 Petugas Rekam Medis 1

6 Petugas Ahli Gizi 1

7 Tenaga Kesehatan Masyarakat 1

8 Satpam 1

9 Sopir 1

10 Cleaning Servis 1
Total 36

Sumber: Profil Puskesmas Waworete, 2020

Tabel 5 menunjukkan bahwa tenaga medis yang paling banyak

adalah tenaga perawat yaitu sebanyak 15 orang dan yang paling terkecil

adalah perawat gigi, farmasi, petugas rekam medis, ahli gizi dan

kesehatan masyarakat yaitu masing-masing 1 orang.

2) Fasilitas Kesehatan

Adapun fasilitas kesehatan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 6. Jumlah Failitas Keshatan di Wilayah Kerja Puskesmas


Waworete Tahun 2020
No Nama Fasilitas Jumlah Keadaan
1 Poliklinik Umum 1 Baik
No Nama Fasilitas Jumlah Keadaan
2 Poliklinik Gigi 1 Baik

3 Poliklinik Kebidanan 1 Baik

4 Ruang Kesling 1 Baik

5 Ruangan Farmasi 1 Baik

6 Ruangan Gizi 1 Baik


Total 8 100

Sumber: Profil Puskesmas Waworete, 2020


Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah fasilitas kesehatan di di

Puskesmas Waworete sebanyak 6 unit dengan kondisi baik.

2. Data 10 Besar Penyakit

Data 10 besar penyakit di Puskesmas Waworete dapat dilihat pada

tabel berikut ini:

Tabel 7 : Data 10 besar Penyakit di Puskesmas Waworete Tahun 2020

No Jenis Penyakit Jumlah Kasus


1 ISPA Bukan Pneumonia 2.027
2 Hipertensi 224
3 Diare 189
4 Nekrosis Pulpa 170
5 Febris 166
6 Pulpitis 156
7 Stunting 129
8 TB Paru BTA Positif 110
9 Dermatitis Alergi 98
10 Demam Berdarah 43
Sumber :Profil Puskesmas Waworete, 2020
Tabel 7 menunjukkan bahwa kasus yang paling banyak ditemukan yaitu

ISPA bukan Pneumonia sebanyak 2.027 kasus dan kasus paling sedikit yaitu

demam berdarah dengue sebanyak 43 kasus.

3. Karakteristik Responden

Karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin dan

pendidikan responden. Setiap karakteristik responden dibuat dalam tabel

dengan tahapan pembuatan tabel sebagai berikut :

a. Umur Ibu

Adapun jumlah responden menurut umur ibu dapat dilihat pada

tabel di bawah ini :

Tabel 8: Distribusi Responden Menurut Umur di Wilayah Kerja


Puskesmas Waworete

No Umur Ibu n %
1 21-30 tahun 15 23,4
2 31-40 tahun 37 57,9
3 41-50 tahun 12 18,7
Jumlah 64 100

Tabel 8 menunjukkan bahwa dari 64 responden, kelompok umur

terbanyak yaitu kelompok umur 31-40 tahun sebanyak 37 responden

(57,9%) dan umur yang paling sedikit terdapat pada umur 41-50 tahun

sebanyak 12 responden (18,7%).

b. Pekerjaan Ibu

Adapun jumlah respondenberdasarkan pekerjaan ibu yang

diteliti dapat dilihat pada tabel dibawah ini :


Tabel 9 : Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Wilayah
Kerja Puskesmas Waworete
No Pekerjaan n %
1 IRT 16 25,0
2 Wiraswasta 30 46,9
3 Pedagang 18 28,1
Jumlah 64 100

Tabel 9menunjukkan bahwa dari 64 responden, pekerjaan

terbanyak adalah Wiraswasta sebanyak 30 (46,9%)responden dan

kelompok dengan pekerjaan paling sedikit terdapat IRT yaitu sebanyak

16 (25,0%)responden.

c. Jenis Kelamin Balita

Adapun jumlah respondenmenurut jenis kelamin balita dapat

dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 10 : Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Balitadi


Wilayah Kerja Puseksmas Waworete

No Jenis Kelamin n %
1 Laki-Laki 34 53,1
2 Perempuan 30 46,9
Jumlah 64 100
Tabel 10menunjukkan bahwa dari 64 responden,

kelompokterbanyak adalah jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak

30responden (46,9%) dan yang terkecil adalah jenis kelamin perempuan

yaitu sebanyak 30 responden (46,9%).

d. Umur Balita

Adapun jumlah responden menurut umur balita dapat dilihat pada

tabel di bawah ini :


Tabel 11 : Distribusi Responden Menurut Umur Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Waworete

No Umur n %
1 1 tahun 7 10,9
2 2 tahun 23 35,9
3 3 tahun 18 28,1
4 4 tahun 12 18,6
5 5 tahun 4 6,2
Jumlah 64 100

Tabel 11menunjukkan bahwa dari 64 responden, kelompok umur

balita terbanyak yaitu kelompok umur 2 tahun sebanyak 23 balita (35,9)

dan umur yang paling sedikit terdapat pada umur 5 tahun sebanyak 4

balita (6,2%).

4. Analisis Data

a. Analisis Deskriftif

Pada penelitian ini variabel yang diukur adalah pendidikan ibu,

pengetahuan ibu tentang gizi, pemberian ASI Eksklusif dan pendapatan

keluarga. Berikut ini akan diuraikan masing-masing variabel dalam

bentuk tabel sebagai berikut:

1) Kejadian Stunting

Adapun jumlah responden berdasarkan kejadian stunting di

Wilayah Kerja Puskesmas Waworete dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 12: Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Stunting


di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete
No Kejadian Stunting n %
1 Pendek 35 54,7%
2 Sangat Pendek 29 45,3%
Total 64 100
Sumber: Data Primer, 2021
Tabel 12 menunjukkan bahwa dari64 responden, terdapat 32

(54,7%) responden yang memiliki balita pendek dan terdapat 29

(45,3%)responden yang memiliki balita sangat pendek.

2) Pendidikan Ibu

Adapun jumlahresponden berdasarkan tingkat pendidkan ibu di

Wilayah Kerja Puskesmas Waworete dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 13: Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu di


Wilayah Kerja Puskesmas Waworete
No Pendidikan Ibu n %
1 Tinggi 24 37,5
2 Rendah 40 62,5
Jumlah 64 100%
Tabel 13 menunjukkan bahwa dari 64 responden, terdapat 24

(37,5%) responden dengan pendidikan kategori tinggi dan 40 (62,5%)

responden dengan pendidikan kategori rendah.

3) Pengetahuan Ibu Tentang Gizi

Adapun jumlahresponden berdasarkan pengetahuan ibu tentang

gizi di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 14 : Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Ibu


Tentang Gizidi Wilayah Kerja Puskesmas Waworete
No Pengetahuan Ibu tentang Gizi n %
1 Cukup 28 43,8
2 Kurang 36 56,2
Jumlah 64 100%
Tabel 14 menunjukkan bahwa dari 64 responden, terdapat 28

(43,8%) responden yang memiliki pengetahuan tentang gizi kategori

cukup terdapat 36(56,2%) responden yang memiliki pengetahuan

tentang gizi kategori kurang.


4) Pemberian ASI Eksklusif

Adapun jumlahresponden berdasarkan pemberian ASI eksklusif

di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 15: Distribusi Responden Berdasarkan Pemberian ASI


Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete

No Pemberian ASI Eksklusif n %


1 ASI Eksklusif 36 56,2
2 ASI Tidak Eksklusif 28 43,8
Jumlah 64 100
Tabel 15 menunjukkan bahwa dari 64 responden, terdapat 36

(56,2%) responden yang memberikan ASI eksklusifdan 28 (43,8%)

responden yang tidak memberikan ASI eksklusif.

5) Pendapatan Keluarga

Adapun jumlah responden berdasarkan pendapatan keluargadi

Wilayah Kerja Puskesmas Waworete dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 16:Distribusi BerdasarkanPendapatan Keluargadi Wilayah


Kerja Puskesmas Waworete

No Pendapatan Keluarga n %
1 Tinggi 34 53,1
2 Rendah 30 46,9
Jumlah 64 100
Tabel 16 menunjukkan bahwa dari 64 responden, terdapat 34

(53,1%) responden dengan pendapatan tinggi dan 30 (46,9%)

responden dengan pendapatan rendah.

b. Analisis Inferensial

1. Uji Normalitas
Uji normalitas data masing-masing variabel penelitian

menggunakan uji kolmogrof-smirnov dengan hasil disajikan pada tabel

berikut ini :

Tabel 17 : Distribusi Normalitas Variabel Penelitian

No. Variabel Sig Keterangan


Pengetahuan ibu
1 0,000 Distribusi tidak normal
tentang gizi

Pemberian ASI
2 0,000 Distribusi tidak normal
Eksklusif

Tabel 17 menunjukkan bahwa dari semua variabel menunjukkan

bahwa semua berdistribusi tidak normal karena nilai p < 0,05,

berdasarkan hal tersebut maka untuk uji hipotesis digunakan uji

nonparametrik yaitu Chi Square test.

2. Uji Hipotesis

Analisis statistik dengan menggunakan rumus Chi-square untuk

mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu tentang

gizi, pemberian ASI eksklusif dan pendapatan keluarga terhadap

lambatnya penurunan stunting.

a. Hubungan Pendidikan Ibu dengan Lambatnya Penurunan Stunting


Adapun hubungan pendidikan ibu dengan lambatnya penurunan

stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete dapat di lihat pada tabel

berikut :

Tabel 18:Distribusi Pendidikan Ibu dengan dengan Lambatnya


Penurunan Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas
Waworete

No Pendidikan Kejadian Stunting


Ibu Pendek Sangat Pendek Total
n % n % n %
1 Tinggi 22 91,7 2 8,3 24 100
2 Rendah 13 32,5 27 67,5 40 100
Jumlah 35 54,7 29 45,3 64 100
Tabel 18 menunjukkan bahwa diantara 24 responden dengan

pendidikan ibu tinggiterdapat 2 (8,3%) responden memiliki bayi stunting

kategori sangat pendek. Sedangkan diantara 40 responden dengan

pendidikan ibu rendahterdapat 27 (67,5%) yang memiliki bayi stunting

kategori sangat pendek. Hal ini berarti responden dengan kategori

pendidikan rendah lebih banyak memiliki bayi stunting sangat pendek

dibandingkan dengan responden yang memiliki pendidikan tinggi.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square di dapatkan

hasil nilai X2hitung> X2Tabel (21,190>3,841), hal ini menunjukkan bahwa H0

ditolak dan Ha diterima, dengan demikian terdapat hubungan antara

pendidikan ibu dengan lambatnya penurunan stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Waworete. Kemudian nilai Phi (φ)= 0,575. Hal ini

menunjukkan bahwa adanya hubungan yang sedang.

b. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Gizi dengan Lambatnya


Penurunan Stunting
Adapun hubungan pengetahuan ibu tentang gizi dengan lambatnya

penurunan stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete dapat di lihat

pada tabel berikut :

Tabel 19:Distribusi Pengetahuan Ibu tentang Gizi dengan dengan


Lambatnya Penurunan Stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Waworete
No Pengetahuan Kejadian Stunting
Ibu Pendek Sangat Pendek Total
n % n % n %
1 Cukup 24 85,7 4 14,3 28 100
2 Kurang 11 30,6 25 69,4 36 100
Jumlah 35 54,7 29 45,3 64 100

Tabel 19 menunjukkan bahwa diantara 28 responden dengan

pengetahuan ibu tentang gizi cukup4 (14,3) responden memiliki bayi

stunting kategori sangat pendek. Sedangkan diantara 36 responden

dengan pengetahuan ibu tentang gizi kurangterdapat 25 (69,4%) responden

yang memiliki bayi stunting kategori sangat pendek. Hal ini berarti

responden dengan kategori pengetahuan ibu tentang gizi kategori kurang

lebih banyak memiliki bayi stunting sangat pendek dibandingkan dengan

responden dengan pengetahuan ibu tentang gizi kategori cukup.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square di dapatkan

hasil nilai X2hitung> X2Tabel (19,338>3,841), hal ini menunjukkan bahwa H0

ditolak dan Ha diterima, dengan demikian terdapat hubungan antara

pengetahuan ibu tentang gizi dengan lambatnya penurunan stunting di

Wilayah Kerja Puskesmas Waworete. Kemudian nilai Phi (φ)= 0,550. Hal

ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang sedang.

c. Hubungan Pemberian ASI Esklusif dengan Lambatnya Penurunan


Stunting
Adapun hubungan pemberian ASI eksklusif dengan lambatnya

penurunan stunting dapat di lihat pada tabel berikut :


Tabel 20 : Distribusi Pemberian ASI Eksklusif dengan dengan
Lambatnya Penurunan Stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Waworete
Kejadian Stunting
No Pemberian ASI Sangat Total
Pendek
Eksklusif Pendek
n % n % n %
1 ASI Eksklusif 27 75,0 9 25,0 36 100
ASI Tidak
2 8 28,6 20 71,4 28 100
Eksklusif
Jumlah 35 54,7 29 45,3 64 100

Tabel 20 menunjukkan bahwa diantara 36 yang memberikan ASI

eksklusif terdapat 9 (25,0) responden memiliki bayi stunting kategori

sangat pendek. Sedangkan diantara 28 yang tidak memberikan ASI

eksklusif terdapat 20 (71,4%) responden memiliki bayi stunting kategori

sangat pendek. Hal ini berarti responden yang tidak memberikan ASI

eksklusif lebih banyak memiliki bayi stunting sangat pendek dibandingkan

dengan responden yang memberikan ASI eksklusif.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square di dapatkan

hasil nilai X2hitung> X2Tabel (13,701>3,841), hal ini menunjukkan bahwa H0

ditolak dan Ha diterima, dengan demikian terdapat hubungan antara

pemberian ASI eksklusif dengan lambatnya penurunan stunting di Wilayah

Kerja Puskesmas Waworete. Kemudian nilai Phi (φ)= 0,463. Hal ini

menunjukkan bahwa adanya hubungan yang sedang.


d. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Lambatnya Penurunan
Stunting
Adapun hubungan pendapatan keluarga dengan lambatnya

penurunan stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete dapat di lihat

pada tabel berikut :

Tabel 21 :Distribusi Pendapatan Keluarga dengan dengan


Lambatnya Penurunan Stunting di Wilayah Kerja
Puskesmas Waworete
Kejadian Stunting
No Pendapatan Total
Pendek Sangat Pendek
Keluarga
n % n % n %
1 Tinggi 27 79,4 7 20,6 34 100
2 Rendah 8 26,7 22 73,3 30 100
Jumlah 35 54,7 29 45,3 64 100

Tabel 21 menunjukkan bahwa diantara 34 responden dengan

pendapatan rendahterdapat 7 (20,6) responden memiliki bayi stunting

kategori sangat pendek. Sedangkan diantara 30 responden dengan

pendapatan rendahterdapat 22 (73,3%) yang memiliki bayi stunting

kategori sangat pendek. Hal ini berarti responden dengan pendapatan

rendah lebih banyak memiliki bayi stunting sangat pendek dibandingkan

responden dengan pendapatan tinggi.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square di dapatkan

hasil nilai X2hitung> X2Tabel (17,893>3,841), hal ini menunjukkan bahwa H0

ditolak dan Ha diterima, dengan demikian terdapat hubungan antara

pengetahuan ibu tentang gizi dengan lambatnya penurunan stunting di

Wilayah Kerja Puskesmas Waworete. Kemudian nilai Phi (φ)= 0,529. Hal

ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang sedang.


C. Pembahasan

Adapun pembahasan hubungan variabel hasil dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Hubungan Pendidkan Ibudengan Lambatnya Penurunan Stunting di


Wilayah Kerja Puskesmas Waworete

Menurut Apriani (2018) menjelaskan bahwa ibu yang memiliki

pendidikan tinggi akan mudah dalam menerima dan memahami informasi

yang diberikan khususnya dalam memilih makanan yang bergizi, namun

untuk memperoleh bahan pangan yang bergizi dipengaruhi juga oleh status

ekonomi keluarga atau kemampuan keluarga dalam membeli bahan pangan

yang bergizi. Sehingga, dengan memiliki pekerjaan yang baik saja,

pengetahuan yang baik saja, atau pendapat yang sudah bagus belum dapat

menentukan tingkat kesehatan dari seseorang, jadi harus seimbang antara

hal-hal tersebut.

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa dari 64 responden,

terdapat 24 (37,5%) responden dengan pendidikan kategori tinggi.

Tingginya tingkat pendidikan yang dimiliki responden maka akan

mempengaruhi pengetahuan tentang gizi. orang yang memiliki tingkat

pendidikan baik dapat dengan mudah menerima informasi dan dapat

memahami dengan baik informasi yang diterima dan 40 (62,5%) responden

dengan pendidikan kategori rendah. tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu

sangat berhubungan dengan pengetahuan gizi dan pemenuhan gizi keluarga

khususnya anak, karena ibu dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit
menyerap informasi gizi sehingga dapat berisiko mengalami balita

mengalami kejadian stunting. Jika pendidikan ibu dan pengetahuan ibu

rendah akibatnya ia tidak mampu untuk memilih hingga menyajikan

makanan untuk keluarga memenuhi syarat gizi seimbang.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa pada responden dengan

pendidikan ibu tinggiterdapat 22 (91,7%) responden yangmemiliki bayi

stunting kategori pendek dan 2 (8,3%) responden memiliki bayi stunting

kategori sangat pendek. Hal ini disebabkan rendahnya pendapatan

responden, faktor ekonomi yang rendah akan mempengaruhi kualitas dan

kuantitas bahan makanan yang di konsumsi oleh keluarga, Makanan yang di

dapat biasanya akan kurang bevariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada

bahan sumber protein, vitamin dan mineral.Sedangkan responden dengan

pendidikan ibu rendahterdapat 13 (32,5%) respondenmemiliki bayi stunting

kategori pendek dan 27 (67,5%) yang memiliki bayi stunting kategori

sangat pendek. Hal inidikarenakan di masyarakat masih

berkembangpemikiran bahwa pendidikan tidak penting sertaterkait

dukungan dari keluarga untuk menempuhpendidikan yang lebih tinggi yang

masih belummaksimal. Secara tidak langsung tingkatpendidikan ibu akan

mempengaruhikemampuan dan pengetahuan ibu mengenaiperawatan

kesehatan terutama dalammemahami pengetahuan mengenai gizi.

Terdapatnya hubungan antara pendidikan ibu dengan lambatnya

penurunan stunting disebabkan oleh semakin rendah tingkat pendidikan

ibu maka proporsi masalah gizi balita semakin tinggi, begitu pula
sebaliknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu salah

satu komponen yang tidak bisa diabaikan. tingkat pendidikan dan

pengetahuan ibu sangat berhubungan dengan pengetahuan gizi dan

pemenuhan gizi keluarga khususnya anak, karena ibu dengan pendidikan

rendah antara lain akan sulit menyerap informasi gizi sehingga dapat

berisiko mengalami balita mengalami kejadian stunting. Jika pendidikan

ibu dan pengetahuan ibu rendah akibatnya ia tidak mampu untuk memilih

hingga menyajikan makanan untuk keluarga memenuhi syarat gizi

seimbang(Evy Noorhasanahdkk, 2020).

Tingkat asupan gizi janin harus dimengerti oleh ibu hamil,

disamping itu pada daerah penelitian rata-rata tingkat pendidikan ibu yang

rendah membuat pengetahuan tentang asupan gizi seimbang saat kehamilan

tidak dapat dimengerti dengan cepat, meskipun penyuluhan tentang gizi

seimbang bagi ibu dan balita pada saat dalam kandungan sudah rutin

diberikan ketika kegiatan posyandu dilaksanakan. Kurangnya kesadaran ibu

dan daya tangkap terhadap pemenuhan gizi saat melahirkan ini menjadi

perhatian khusus, karena pendampingan dinas kesehatan dengan ibu hamil

tidak serta merta dapat termemonitor penuh (Yuliana dkk, 2019).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Komalasari dkk (2020)hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p value

0,046< 0,05, artinya ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian stunting

pada balita dikampung tulung kakan Kecamatan Bumituru Kabupaten

Lampung Tengah Tahun 2019. Nilai OR di peroleh sebesar 2,885 yang


berarti bahwa balita dengan ibu dengan pendidikan dasar memiliki risiko

2,885 kali lebih tinggi untuk mengalami kejadian stunting dibandingkan

dengan ibu dengan pendidikan tinggi.

Berdasarkan hasil tersebut maka diharapkan tenaga kesehatan

khususnya bidan dan kader Posyandu serta pihak terkait lainnya untuk

meningkatkan promosi kesehatan nutrisi bayi dan balita serta pada saat ibu

hamil guna menambah wawasan ibu terutama pada ibu dengan pendidikan

dasar agar mereka dapat memperoleh lebih banyak informasi yang tidak

mereka peroleh pada jenjang pendidikan yang lampau.

2. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibudengan Lambatnya Penurunan


Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete

Salah satu faktor penting yang mem-pengaruhi status gizi pada balita

adalah faktor pengetahuan ibu tentang gizi pada balita. Kurangnya

pengetahuan ibu ten-tang keragaman bahan dan keragaman je-nis makanan

akan menimbulkan tergang-gunya proses pertumbuhan dan perkem-bangan

balita terutama perkembangan otak, oleh karena itu penting untuk ibu dalam

memberikan asupan makanan yang bergizi kepada anaknya. Banyak orang

tua terutama ibu yang tidak memperhati-kan asupan nutrisi pada anak

balitanya. Padahal anak usia balita rentan terhadap penyakit dan infeksi

(Rizkia Dwi Rahmandiani, dkk2020).

Pengetahuan gizi yang tidak memadai menyebabkan kurangnya

pengertian tentang kebiasaan makan yang baik, serta pengertian tentang

konstribusi gizi dari berbagai jenis makanan akan menimbulkan masalah


gizi.Penyediaan bahan dan menu makanan yang tepat untuk balita dalam

upaya peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila ibu mempunyai

tingkat pengetahuan gizi yang baik. Ketidaktahuan mengenai informasi

tentang gizi dapat menyebabkan kurangnya mutu atau kualitas gizi makanan

bagi keluarga khususnya bagi makanan bagi makanan makanan yang

dikonsumsi balita (Wulandari dan Indra, 2019).

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa dari 64 responden,

terdapat 28 (43,8%) responden yang memiliki pengetahuan tentang gizi

kategori cukup. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu sudah baik

karena mayoritas pendidikan tertinggi ibu dalam penelitian ini adalah

DIII/Sarjana, seseorang yang berpendidikan tinggi sudah terpapar dengan

cara memperoleh pengetahuan dengan metodologi penelitian sehingga dapat

dengan mudah menerima dan mengelola informasi. Responden yang

memiliki pengetahuan yang cukup karena responden paham bahwa balita

perlu diberikan makanan yang beraneka ragam sesuai pedoman gizi

seimbang agar tercukupi kebutuhan gizinya, mereka mengetahui bahwa

sumber karbohidrat adalah makanan pokok yang terdapat pada kacang-

kacangan, ikan, tahu dan tempe dan terdapat 36 (56,2%) responden yang

memiliki pengetahuan tentang gizi kategori kurang. Salah satu penyebab

gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi dan kemampuan seorang

menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat

pengetahuan gizi ibu mempengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih


bahan makanan, yang lebih lanjut akan mempengaruhi keadaan gizi

keluarganya.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa diantara 28 responden

dengan pengetahuan ibu tentang gizi cukup terdapat 24 (85,7%) responden

yang memiliki bayi stunting kategori pendek. Hal ini disebabkan karena

adanya faktor lain seperti rendahnya status ekonomi yang dimiliki

responden sehingga menyulitkan responden untuk memenuhi kebutuhan

makanan yang bergizi dan 4 (14,35) responden memiliki bayi stunting

kategori sangat pendek. Sedangkan diantara 36 responden dengan

pengetahuan ibu tentang gizi kurang terdapat 11 (30,6%) responden

memiliki bayi stunting kategori pendek dan 25 (69,4%) responden yang

memiliki bayi stunting kategori sangat pendek. Hal ini berarti responden

dengan kategori pengetahuan ibu tentang gizi kategori kurang lebih banyak

memiliki bayi stunting sangat pendek dibandingkan dengan responden

dengan pengetahuan ibu tentang gizi kategori cukup.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

pengetahuan ibu tentang gizi dengan lambatnya penurunan stunting di

Wilayah Kerja Puskesmas Waworete. Kemudian nilai Phi (φ)= 0,550. Hal

ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang sedang.

Terdapatnya hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan

lambatnya penurunan stunting pada dasarnya berhubungan rendahnya

tingkat pengetahuan ibu tentang gizi. Pengetahuan ibu tentang gizi

berpengaruh pada perilaku dalam menyediakan makanan dengan jenis dan


jumlah yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal

(Komalasari dkk. 2020).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Agus Eka Nurma Yuneta dkk (2020 bahwa dari hasil uji statistik

didapatkan hasil setelah dilakukan analisis dengan Kendall’s Tau didapat-

kan hasil nilai p = 0,000 yang berarti nilai p < 0,01 sehingga dapat

dikatakan ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi

balita di Kelurahan Wonorejo Kabupaten Karanganyar.

Berdasarkan hasil tersebut maka diharapkan kepada orang tua

sebaiknya lebih aktif dalam mencari pengetahuan tentang pemberian gizi

pada balita melalui cara dengan aktif mengikuti posyandu, bertanya ke

tenaga kesehatan atau mencari informasi dari media massa agar tumbuh

kembang balita sesuai.

3. Hubungan Pemberian ASI Eksklusifdengan Lambatnya Penurunan


Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete

Bayi membutuhkan ASI yang cukup untuk meningkatkan status

gizinya selama masa pertumbuhan, jika asupannya kurang maka

pertumbuhan dan perkembangan anak dengan riwayat ASI parsial tentunya

akan terhambat. ASI mengandung zat anti bodi yang menambah kekebalan

tubuh anak, jika anak diberi ASI saja maka kekebalan tubuhnya akan lebih

kuat dibanding anak yang diberikan ASI parsial. Anak yang diberikan ASI

saja tentunya tidak mudah mudah sakit sehingga penyerapan nutrisi lebih

maksimal dibandingkan anak yang diberikan susu formula. Penyerapan


nutrisi yang baik akan membantu perkembangan dan pertumbuhan anak

dengan maksimal sehingga tinggi badannya dapat bertambah sesuai dengan

usianya (Namangboling, 2017).

Pemberian ASI dapat meningkatkan imunitas bayi terhadap penyakit

sebagaimana diperlihatkan dalam sejumlah penelitian ketika pemberian ASI

disertai dengan penurunan frekuensi diare, konstipasi kronis, penyakit

gastrointestinal dan infeksi traktus respiratorius, serta infeksi telinga.

Pemberian ASI dapat membawa manfaat bagi interaksi ibu dan anak serta

memfasilitasi pembentukan ikatan yang lebih kuat sehingga menguntungkan

bagi perkembangan anak dan perilaku anak (Pangalila, 2018)

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 64 responden, terdapat 36

(56,2%) responden yang memberikan ASI eksklusif. Berdasarkan hasil

wawancara dengan responden mengatakan bahwa balita hanya mendapatkan

ASI saja tanpa tambahan makanan atau minuman apapun mulai dari lahir

sampai usia 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan risiko

kejadian stunting karena ASI mengandung antibodi dan kandungan kalsium

pada ASI mempunyai bioavailabilitas yang tinggi sehingga dapat diserap

dengan optimal terutama dalam fungsi pembentukan tulang dan 28 (43,8%)

responden yang tidak memberikan ASI eksklusif. Anak yang tidak

mendapatkan ASI secara ekslusif dapat menyebabkan anak lebih pendek.

Hal ini dapat disebabkan karena ASI mengandung zat gizi lengkap yang

mudah dicerna oleh perut bayi sehingga jika ibu memberikan ASI saja

kepada bayi maka pemenuhan gizinya sudah mencukup, namun jika bayi
mendapatkan susu formula maka zat gizinya tidak selengkap ASI

pertumbuhan anak menjadi tidak maksimal.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa nilai ektrim pada

responden yang memberikan ASI eksklusif, namun menderita stunting

yaitu sebanyak 27 (75,0%) responden kategori pendek dan 9 (25,0%)

responden kategori sangat pendek. Kondisi tersebut dapat terjadi karena

beberapa faktor misalnya rendahnya pendapatan keluarga. Menurut peneliti

faktor ekonomi yang rendah akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas

bahan makanan yang di konsumsi oleh keluarga, makanan yang di dapat

biasanya akan kurang bevariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan

sumber protein, vitamin dan mineral. Anak pada keluarga faktor ekonomi

rendah cenderung mengkonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas,

serta variasi yang kurang dan akan mengakibatkan anak stunting.

Sedangkan nilai ektrim pada responden yang tidak memberikan ASI

eksklusif terdapat 8 (28,6%) responden memiliki bayi stunting kategori

pendek dan 20 (71,4%) memiliki bayi stunting kategori sangat pendek. Hal

ini dipengaruhi oleh banyaknya ibu yang bekerja sehingga banyak ibu yang

tidak memberikan ASI eksklusif pada bayi dengan alasan bekerja. Selain itu

rendahnya pendidikan ibu berpengaruh terhadap pengetahuan ibu tentang

ASI. Rendahnya pemberian ASI eksklusif tersebut terdapat pengaruh

terhadap kejadian ISPA pada bayi, di mana lebih tinggi pada bayi yang

diberikan susu formula dibanding dengan bayi yang diberikan ASI.


Terdapatnya hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan

lambatnya penurunan prvalensi stunting pada dasarnya bahwa pemberian

ASI eksklusif pada bayi baru lahir sampai usia 6 bulan dapat mencegah

terjadinya stunting pada anak. Kandungan pada ASI dapat meningkatkan

pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal. Pemberian ASI yang

tidak eksklusif merupakan salah satu faktor terjadinya Stunting pada anak.

ASI ekslusif adalah makanan pertama dan utama hingga bayi berusia

sampai bayi beusia >6 bulan untuk pemenuhan gizi mencegah terjadinya

Stunting (Nurdiana, 2019).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Evy Noorhasanah (2020), hasil uji statistic diperoleh Riwayat ASI tidak

eksklusif sebagian besar memiliki tubuh yang pendek sebanyak 23 (57,5%)

sedangkan anak dengan riwayat ASI eksklusif seluruhnya memiliki tubuh

yang pendek sebanyak 10 orang (100%). p value sebesar 0,010, nilai

tersebut secara statistik bermakna (p < 0,05) hal ini menunjukkan bahwa ada

hubungan antara riwayat ASI eksklusif dengan kejadian Stunting.

Disarankan kepada masyarakat terutama ibu hamil agar mau

melaksanakan saran yang diberikan oleh petugas kesehatan untuk

memberikan bayinya ASI secaraeksklusif dari mulai lahir sampai dengan

usia 6 bulan dan memberikan MPASI sesuai yang dianjurkan oleh petugas

kesehatan yang berguna mencegah balita untuk terserang penyakit dan

pertumbuhan tidak terhambat dan dapat mengurangi risiko terjadinya

stunting.
4. Hubungan Pendapatan Keluargadengan Lambatnya Penurunan
Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Waworete

Pendapatan keluarga merupakan jumlah pemasukan yang diterima

setiap keluarga dalam sebulan berdasarkan Upah Minimum Regional

(UMR) yang ada di daerah tempat tinggal. UMRKonawe Kepulauan Tahun

2020 adalah Rp 1.200.000. Pendapatan keluarga sangat berperan penting

dalam pemenuhan zat gizi keluarga. Tingkat pendapatan akan

mempengaruhi kemampuan daya beli keluarga, maka semakin tinggi tingkat

pendapatan suatu keluarga maka akan semakin banyak pula alokasi uang

yang digunakan untuk membeli kebutuhan pangan seperti sayur, buah

daging dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga (Nur Farida

Rahmawati dkk, 2020).

Kesenjangan ekonomi keluarga secara signifikan sangat terkait

dengan kekurangan gizi kronis pada anak-anak, selain itu juga akses

terhadap pelayanan kesehatan sangat sulit. Keluarga yang berstatus sosial

ekonomi yang rendah atau miskin umumnya mengalami masalah gizi

kurang (stunting) sedangkan keluarga yang berstatus sosial ekonomi tinggi

dapat menunjang tumbuh kembang anaknya karena orang tua menyedikan

semuakebutuhan anak-anaknya (Miko, Agus Hendra A. Rahmad Dan

Ampera, 2017).

Hasil peneltian menunjukkan bahwa dari 64 responden, terdapat 34

(53,1%) responden dengan pendapatan tinggi. Semakin meningkatnya faktor

ekonomi akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan

kualitas yang lebih baik, keluarga dengan faktor ekonomi yang memadai
akan memiliki kemampuan untuk menyediakan semua kebutuhan baik

primer maupun sekunder anak. Keluarga dengan faktor ekonomi yang baik

juga memiliki akses pelayanan kesehatan yang lebih baik dan 30 (46,9%)

responden dengan pendapatan rendah.Menurut peneliti faktor ekonomi yang

rendah akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas bahan makanan yang di

konsumsi oleh keluarga . makanan yang di dapat biasanya akan kurang

bevariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan sumber protein,

vitamin dan mineral. Anak pada keluarga faktor ekonomi rendah cenderung

mengkonsumsimakanan dalam segi kuantitas, kualitas, serta variasi yang

kurang dan akan mengakibatkan anak stunting

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa responden yang memiliki

pendapatan tinggi terdapat 27 (79,4%) responden yang memiliki bayi

stunting kategori pendek dan 7 (20,6) responden memiliki bayi stunting

kategori sangat pendek. Hal ini disebabkan adanya faktor lain yang

menyebabkan kejadian stunting misalnya bayi tidak mendapatkan ASI

secara eksklusif. Balita yang mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki

daya tahan tubuh yang lebih baik dibandingkan dengan balita yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif serta rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi

seperti menu seimbang adalah menu yang terdiri dari makanan pokok, lauk,

sayur, buah dan susu, anak balita perlu diberikan makanan yang beraneka

ragam sesuai pedoman gizi seimbang agar tercukupi kebutuhan gizinya.

Sedangkan pada responden dengan pendapatan rendah terdapat 8 (26,7%)

responden memiliki bayi stunting kategori pendek dan 22 (73,3%) yang


memiliki bayi stunting kategori sangat pendek.Keluarga yang berstatus

sosial ekonomi yang rendah atau miskin umumnya mengalami masalah gizi

kurang (stunting) sedangkan keluarga yang berstatus sosial ekonomi tinggi

dapat menunjang tumbuh kembang anaknya karena orang tua menyedikan

semua kebutuhan anak-anaknya.

Terdapatnya hubungan antara pendapatan keluarga dengan

lambatnya penurunan prevalensi stunting pada dasarnya berhubungan

dengan pendapatan. Keluarga yang berstatus sosial ekonomi yang rendah

atau miskin umumnya mengalami masalah gizi kurang (stunting) sedangkan

keluarga yang berstatus sosial ekonomi tinggi dapat menunjang tumbuh

kembang anaknya karena orang tua menyedikan semua kebutuhan anak-

anaknya (Miko, Agus Hendra A. Rahmad Dan Ampera, 2017).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Zainal Munir (2021), Hasil uji statistik di peroleh nilai p = 0,026 (p<0,05)

sehingga Ho di tolak dan Ha di terima, hal ini bahwa kejadian stunting pada

anak balita di sebabkan olehpendapatan keluarga yang rendah, artinya anak

balita yang mengalami stunting resikonya 3 kali lebih besar di sebabkan

oleh pendapatan keluarga yang rendah di bandingkan dengan keluarga yang

berpendapatan tinggi.

Berdasarkan hasil tersebut maka diharapkan kepada responden

dengan status ekonomi rendah agar dapat meningkatkan pendapatannya

dengan cara mencari lapangan pekrjaan yang lain untuk memenuhi kebutuah

di dalam keluarganya. Hal ini karena status ekonomi rendah dianggap


memiliki pengaruh yang dominan terhadap kejadian kurus dan pendek pada

anak. Anak pada keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung

mengkonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas, serta variasi yang

kurang. Status ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih dan

membeli makanan yang bergizi dan bervariasi.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ada hubungan sedang antara pendidikan ibu dengan lambatnya penurunan

stunting Wilayah Kerja Puskesmas Waworete.

2. Ada hubungan sedang antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan

lambatnya penurunan stunting Wilayah Kerja Puskesmas Waworete.

3. Ada hubungan sedang antara pemberian ASI eksklusif dengan lambatnya

penurunan stunting Wilayah Kerja Puskesmas Waworete.

4. Ada hubungan sedang antara pendapatan keluarga dengan lambatnya

penurunan stunting Wilayah Kerja Puskesmas Waworete.

B..Saran

Adapun saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Dinas Kesehatan Konawe Kepulauan

Diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua agar rajin

membawa anak mereka ke posyandu untuk melakukan pemantauan status

gizi terhadap balita khususnya pada stunting, sehingga dengan mengetahui

lebih dini akan dapat mengurangi risiko terjadinya stunting.

2. Bagi Puskesmas

Diharapkan peranan petugas kesehatan lebih ditingkatkan lagi

dalam hal pelaksanaan penimbangan, pengukuran tinggi badan dan


imunisasi serta juga memberikan edukasi kepada ibu balita mengenai

pentingnnya perhatian terhadap pertumbuhan balita.

3. Bagi Keluarga

a. Dapat menganjurkan para ibu untuk lebih memahami pentingnya

pengetahuan Ibu tentang Gizi dengan kejadian stunting pada balita.

b. Orang tua sebaiknya lebih aktif dalam mencari pengetahuan tentang

pemberian gizi pada balita melalui cara dengan aktif mengikuti

posyandu, bertanya ke tenaga kesehatan atau mencari informasi dari

media massa agar tumbuh kembang balita sesuai.

4. Ilmu Pengetahuan

Sebagai bahan masukan kepada institusi dalam perencanaan dan

darma penelitian dan pengabdian pada masyarakat serta menambah

literatur di perpustakaan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian stunting pada balita.

5. Bagi Profesi Keperawatan

Informasi dari penelitian ini diharapkan mendorong pihak institusi

untuk dapat berperan dalam masyarakat atau pada balita yang mengalami

stunting dengan melakukan edukasi atau penyuluhan tentang stunting.

6. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti berharap untuk melakukan penelitian selanjutnya agar dapat

melakukan penelitian dengan variabel lain yang lebih komplek yang

belum diteliti oleh peneliti guna untuk lebih menyempurnakan peneliian

ini sehingga hasil yang diperoleh lebih mendalam dan maksimal.

Anda mungkin juga menyukai