Dosen Pengampu:
Nabella Dananier S.Sos.I, M.Pd
Disusun oleh:
Nama : Muhammad Yusuf Satria
NIM : 2310101029
Kelas : MBS E Kelas Karyawan
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................
A. Latar Belakang................................................................................................................
B. Perumusan Masalah.........................................................................................................
C. Tujuan Penelitian............................................................................................................
D. Manfaat Penelitian...........................................................................................................
E. Metode Penelitian............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................
A. Pengertian Sistem Pemerintahan.....................................................................................
B. Pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial.....................................
C. Ciri-Ciri Sistem Parlementer Dan Presidensil.................................................................
D. Kelebihan Dan Kekurangan Sistem Parlementer Dan Sistem Presidensil......................
E. Sistem Pemerintahan Indonesia......................................................................................
BAB III PENUTUP...............................................................................................................
Kesimpulan...........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika kita mengatakan bahwa sistem pemerintahan kita menganut
sistem presidensial, tetapi dalam prakteknya sistem tersebut masih belum
diimplementasikan secara murni dan konsekuen bahwa kita benar-benar
menerapkan sistem pemerintahan presidensial dengan presiden sebagai kepala
negara dan juga sekaligus kepala pemerintahan (dalam sistem parlementer,
kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri).
Sistem presidensial kita masih belum bisa membuat pembatas yang jelas
antara posisi kewenangan eksekutif dan legislatif. Dalam konstitusi kita,
dalam hal ini UUD 1945, redaksional tentang apa-apa yang menjadi
kewenangan presiden, masih sering bertabrakan dengan
kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh DPR.
Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu
kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan
separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat
ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang
kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan
mempunyai sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan
berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk
memprotes hal tersebut. (Kansil, 2008)
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan
masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas,
menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan,
ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinyu dan
demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam
pembangunan sistem pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit
negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh.
Secara sempit, Sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk
menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu
relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari
rakyatnya itu sendiri. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka
penulis memberi judul “INDONESIA DI ANTARA SISTEM
PEMERINTAHAN PARLEMENTER DAN SISTEM PRESIDENSIAL”
B. Perumusan Masalah
Agar perumusan masalah ini tidak meluas maka penulis perlu membatasi
ruang lingkup sebagai berikut:
A. Pengertian Sistem Pemerintahan.
B. Pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial.
1
C. Ciri-ciri Pemerintahan Parlementer dan Presidensial.
D. Kelebihan dan kekurangan sistem Pemerintahan Parlementer dan
Presidensial.
E. Sistem Pemerintahan Indonesia
C. Tujuan Penelitian.
Sebagai salah satu tugas dalam mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan..
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Sistem Pemerintahan
Pengelompokkan Sistem Pemerintahan
Mengetahui Pelaksanaan Sistem pemerintahan Negara Indonesia.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia
Kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia
D. Manfaat Penelitian.
1. Sebagai pedoman untuk menambah wawasan dalam menulis dan
membuat suatu karya ilmiah terutama pada makalah ini.
2. Sebagai referensi bagi penulis dalam pembuatan makalah beikutnya.
3. Sebagai bahan bacaan dan lebih memahami bagaimna tata cara
penulisan makalah.
E. Metode Penelitian.
Pada karya Ilmiah Ini, Saya membaca buku-buku dan tulisan yang
berhubungan dengan penulisan karya ilmiah serta yang berkaitan dengan
masalah sistem pemerintahan (Study Pustaka).
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari
pemerintahan di negara Indonesia.
a. Parlementer
. Ciri-ciri pemerintahan parlemen yaitu:
Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan
sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.
Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang
anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan
lembaga legislatif
4
Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja
diseleksi berdasarkan undang-undang.
Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin
departemen dan non-departemen.
Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
b. Presidensil
Ciri-ciri pemerintahan presidensial yaitu :
Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan
sekaligus kepala negara.
Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat
dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan
rakyat.
Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat
dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan
non-departemen.
Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan eksekutif
(bukan kepada kekuasaan legislatif).
Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan
legislatif.
Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif.
a. Sistem Parlementer
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi
penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena
kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi
partai.
Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
publik jelas.
Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet
sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan
pemerintahan.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer:
Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas
dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan
oleh parlemen.
5
Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa
ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-
waktu kabinet dapat bubar.
Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para
anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai
meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai,
anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif.
Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan
manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif
lainnya.
b. Sistem Presidensil
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial:
Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung
pada parlemen.
Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu.
Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun,
Presiden Filipina adalah enam tahun dan Presiden Indonesia adalah
lima tahun.
Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka
waktu masa jabatannya.
Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif
karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial:
Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga
dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-
menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi
keputusan tidak tegas
Pembuatan keputusan memakan waktu yang lama.
E. Sistem Pemerintahan Indonesia
Sistem pemerintahan Negara RI Menurut UUD 1945.
Sistem Pemerintahan menurut UUD ’45 sebelum diamandemen:
1. Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
2. DPR sebagai pembuat UU.
3. Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
4. DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
5. MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
6. BPK pengaudit keuangan.
Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002).
1. MPR bukan lembaga tertinggi lagi.
6
2. Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang
dipilih oleh rakyat.
3. Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
4. Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
5. Kekuasaan Legislatif lebih dominan.
Berdasarkan penjelasan UUD ’45, Indonesia menganut sistem
Presidensial. Tapi dalam praktiknya banyak elemen-elemen Sistem
Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat dikatakan Sistem Pemerintahan
Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan Parlementer.
Dari rangkaian perjalanan system pemerintahan Indonesia, kalau dikatakan
sistem pemerintahan presidensil, Indonesiatidak menganut asas pemisahan
kekuasaan.Begitupun, kalau dikatakan system parlementer, tidak terdapat
mekanisme pembagian kekuasaan yang jelas, bahkancenderung mengadopsi
kedua sistem.Sistem pembagian kekuasaan yang dianutitu tidak terpisah antara
lembaga negarayang satu dengan lembaga negara lainnya. (Yani, 2018)
Sistem presidensial kita masih belum bisa membuat pembatas yang jelas
antara posisi kewenangan eksekutif dan legislatif. Dalam konstitusi kita,
dalam hal ini UUD 1945, redaksional tentang apa-apa yang menjadi
kewenangan presiden, masih sering bertabrakan dengan
kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh DPR Dalam batang tubuh (Pasal
10) UUD 1945 secara jelas memang disebutkan bahwa presiden republik
Indonesia memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat (AD),
Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU).
Dalam posisi ini, tidak ada campur tangan legislatif (dalam hal ini DPR)
atas posisi presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan
AU. Namun dalam pasal selanjutnya (pasal 11), disebutkan bahwa presiden
berwenang mengumumkan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain, tetapi harus melalui persetujuan DPR menyangkut
stabilitas.
Sama halnya dengan pengangkatan duta dan konsul yang harus meminta
pertimbangan DPR. Hal ini dimaklumi mengingat pengumuman tentang
perang, perjanjian dan perdamaian dengan negara lain serta pengangkatan duta
dan konsul merupakan hal yang sangat strategis dan sensitif karena
menyangkut stabilitas dan kedaulatan (souvereignity) negara.
Namun hal yang tampak kontradiksi tampak dalam pasal 20 ayat (5)
tentang pembuatan peraturan perundang-undangan antara eksekutif dan
legislatif (dalam hal ini DPD tidak termasuk pihak yang ikut membentuk
undang-undang) bahwa peraturan yang disahkan (dalam hal ini undang-
undang) harus melalui persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif,
salah satu pasal menyebutkan, bahwa dalam waktu 30 hari undang-undang
yang disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden, maka undang-
undang tersebut bisa disahkan.
7
Dalam posisi ini kemudian terdapat relasi yang terputus antara fungsi
kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan legislatif dimana posisi politik DPR
lebih kuat ketimbang eksekutif. Hal ini sama tentang sistem yang 'bukan-
bukan' ini juga bisa ditemukan dalam lembaga legislatif. Secara gamang kita
masih belum jelas menyebutkan 'jenis kelamin' penerapan konsep lembaga
legislatif kita. Apakah bikameral (DPD dan DPR) unikameral (MPR/DPR)
atau bahkan trikameral (DPR-DPD-MPR). Sehingga ketika ada ahli
pemerintahan dari negara lain menanyakan sistem legislatif yang kita anut,
maka kita hanya meraba-raba saja dengan mengatakan antara unikameral,
bikameral, atau bahkan trikameral. Sistem legislatif kita adalah sistem yang
'bukan-bukan'.
Sistem yang 'bukan-bukan' ini bisa kita dapatkan jika mempelajari konsep
pembagian kekuasaan antara tiga cabang legislatif; MPR, DPR dan DPD.
Dalam prakteknya, terdapat diskriminasi konstitusi antara DPR dan DPD
dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan. Diskriminasi konstitusi
ini terkesan menganaktirikan DPD dalam hal pembuatan peraturan perundang-
undangan yang hanya membentuk DPD tanpa diberikan kewenangan
membentuk undang-undang.
Karena menurut pasal 22D UUD 1945 yang juga diatur dalam Pasal 42
ayat (1) UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, bahwa DPD hanya diberikan kewenangan mengajukan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketika masuk pada
ayat (2) lebih lanjut disebutkan bahwa setelah DPD mengusulkan rancangan
undang-undang tersebut kepada DPR, maka DPR kemudian memanggil DPD
untuk membahasnya sesuai tatib DPR. Namun ketika tiba pada pengambilan
keputusan, DPD tidak dilibatkan. Pada posisi ini kemudian diskriminasi
konstitusi ini terlihat. DPD hanya dijadikan tameng mendapatkan pengakuan
dari rakyat, bahwa pemerintah sudah memperhatikan aspirasi rakyat didaerah
dengan membentuk DPD, sementara kekuasaan membentuk undang-undang
tetap dimiliki oleh presiden dan DPR. DPD tak ubahnya lembaga penunjang
(auxilary agency) DPR yang bertugas memberikan nasehat dan usulan,
sementara ketika tahapan pengambilan keputusan, DPD tidak dilibatkan.
Perselingkuhan politik antara partai-partai di DPR membawa DPD pada
bayang-bayang ketidakpastian politik. DPD tetap diberikan kewenangan yang
tumpul dan tetap mengekor di belakang DPR. DPD dan DPR ibarat saudara
tiri yang diperlakukan tidak proporsional oleh konstitusi sebagai ibu kandung.
(Masnur, 2011)
Demikian pula dengan pembagian job antara DPR dan DPD. DPD hanya
diberi kewenangan mengusulkan rancangan undang-undang yang berkaitan
8
dengan otonomi daerah, termasuk perluasan dan penggabungan daerah. Dalam
konteks yang lebih luas, kedaulatan negara tetap dipegang oleh elit parpol di
DPR. Konstalasi politik nasional tetap berada dalam pengawasan dan kontrol
DPR.
DPD tak ubahnya Dewan Pertimbangan Agung pada masa Orba. Kekuatan
negara yang dikendalikan parpol menyulitkan DPD melakukan penguatan
kewenangan karena pasti akan di tentang kalangan parpol di DPR. Kekuatan
lobi yang maksimal pun belum tentu menggoyahkan ratusan anggota DPR
untuk rela `berbagi kue' dengan DPD.
Sementara yang kita inginkan adalah visi membangun dan menciptakan
lembaga legislatif yang kuat. Yang akan menunjang kerja-kerja pemerintahan,
termasuk dalam hal mekanisme kontrol. Masyarakat menginginkan
terwujudnya dua kamar yang sama kuatnya (strong becameralism) antara DPR
dan DPD. Bukan konsep bikameralism lunak (soft/weak bicameralisme), satu
kamar mendominasi kamar lainnya (DPR mendominasi DPD). Bukan pula
konsep trikameralism, kamar yang satu hanya menjadi 'penonton' dua kamar
lainnya (MPR). Sistem legislatif di Indonesia adalah sistem legislatif 'abstrak-
samar', bukan bikameral, trikameral, maupun unikameral. Sehingga tidak
mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif, kritis-tajam.
Sistem yang 'bukan-bukan' juga kita dapatkan dalam konsep kekuasaan
kehakiman (yudisial) antara tiga cabang kekuasaan kehakiman MA, MK dan
KY. Pasca amandemen ketiga UUD 1945 yang membuka peluang
terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) pada
Bab IX Pasal 24 B dan C, nampak bahwa dinamisasi struktur ketatanegaraan
kita mengalami tahap pendewasaan dan perkembangan yang cukup signifikan.
9
mengajukan gugatan konstitusi ke MK menjadikan wacana check and
balances terkesan dipahami dan diterapkan setengah hati. Bahwa MA lebih
superior dibanding KY. Bahwa KY ibarat 'anak ingusan' yang belum punya
pengalaman. Penderitaan KY semakin bertambah dengan dikabulkannya
gugatan MA oleh MK hingga menjadikan KY seolah 'anak bawang' dalam
permainan politik kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Secara obyektif kita menilai, posisi KY memang lemah. Walaupun secara
yuridis KY dilegitimasi dengan UU No 22 Tahun 2004 (MK UU No 24/2003),
namun karena konstitusi tidak memberikan KY kewenangan peradilan. Maka
posisi tawar (bargaining position) KY memang tidak cukup kuat untuk
memaksa MK dan MA menerima kehadirannya dalam diskursus kelembagaan
antara cabang kekuasaan kehakiman. Kekuasaaan peradilan tetap menjadi
kewenangan MA dan MK dengan pembagian wilayah perkara yang berbeda
antara satu dengan lainnya.
Beberapa praktek ketimpangan konstitusi selama ini telah mengakibatkan
penyelenggaraan sistem pemerintahan tidak harmonis. Disamping itu, juga
berakibat pada menurunya kualitas produk legislasi yang dihasilkan akibat
konflik internal (conflic of interest) pada beberapa lembaga-lembaga negara.
Ketidakdewasaan penyelenggara negara dalam memaknai dan menjalankan
amanah konstitusi menjadikan praktek ketatanegaraan kita akan selamanya
penuh dengan konflik.
Pemerintah dan Negara jadi satu, Pemerintah terlibat dalam pembikinan
UU, Negara adalah penguasa, Hak Warga Negara belum sepenuhnya sebagai
pemberian Tuhan YME, sebagian masih sebagai pemberian Negara, Sistem
kenegaraan yang dianut baik dalam UUD-45 yang asli maupun hasil
amandemen masih mencampurkan paham otoriter yang azasnya “Top-Down”
dengan paham demokrasi yang azasnya “Bottom-Up”, Bahkan posisi Kepala
Negara tidak sebagai lembaga yang tertinggi dalam Negara, padahal diseluruh
dunia Kepala Negara adalah Lembatga Negara Tertinggi dalam sebuah negara.
UUD-45 yang asli Lembaga Negara Tertinggi adalah MPR, sedang Hasil
amandemen UUD-45 justru meniadakan posisi Kepala Negara, karena
Presiden bukanlah sebagai Kepala Negara, tapi Kepala Pemerintahan Negara.
Hal ini menjadi sangat prinsip karena posisi Kepala Negara haruslah
mempunyai hak ”Can Do No Wrong”, untuk berbuat apa saja demi
kemanusiaan dan atau tegaknya kedaulatan negara. Lantas bagaimana kalau
negara kita diserang mendadak oleh negara lain, siapa yang akan memainkan
hak “Can Do No Wrong”. Lepas dari persoalan kadar keberanian presiden
SBY, sumber kegamangan pemerintah dalam menangani musibah
kemanusiaan lumpur Lapindo juga disebabkan sistem kenegaraan yang tidak
secara tegas mengatur hak “Can Do No Wrong” yang mestinya harus ditangan
seorang Kepala Negara.
10
SISTEM DEMOKRASI CAMPURAN PARLEMENTER DENGAN
PRESIDENSIAL
11
adalah wakil rakyat, maka di DPR tidak dikenal lembaga Fraksi, Pemilu presiden
dilaksanakan lebih dahulu dari pemilu DPR, Tugas partai adalah mengembangkan
ideologi dan mencari figure yang laku jual dalam pemilu, Tidak ada dalam sistem
Presidensial ketua partai jadi calon Presiden, Diseluruh dunia tidak ada dalam
sistem Presidensial Presiden dan Wakil Presiden lain Partai, Karena legitimasi
datangnya langsung dari rakyat, maka dalam sistem presidensial
mengakomodasikan calon independen. Pemilu Presiden dulu baru Pemilu
Legislatif
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA......?
Selama Orde Baru kita menggunakan sistem presidensial tapi pemilu nya
memilih partai. Tahun 2004 Pemilu sudah langsung artinya rakyat langsung
mencoblos tanda gambar Calon Presiden, tapi presiden bisa dicopot ditengah jalan
karena alasan politik. Padahal rakyat memilih presiden untuk jangka waktu 5
tahun. Sistem kita pakai adalah presidensial tapi mengenal lembaga impeach
politik. Anggota DPR bisa dicopot ditengah jalan dengan alasan politik oleh
partai, padahal rakyat dalam pemilu tidak pernah berhubungan dengan partai,
karena yang diilih rakyat adalah orang dengan cara mencoblos gambar calon
anggota DPR, sama sekali bukan partai, Pemilu 2004 dilaksanakan secara
langsung, artinya legitimasi presiden datangnya langsung dari rakyat, tapi kabinet
yang dibentuk koalisi, DPR bukan wakil rakyat tetapi wakil partai dan di DPR ada
lembaga Fraksi (sehingga presiden terpaksa menghitung jumlah dukungan di
DPR), Ada lembaga “Fit and Proper Test” oleh DPR, padahal rakyat tidak pernah
memberi kuasa kepada partai untuk tugas-tugas tersebut. (Hal ini terjadi karena
amandemen UUD-45 tidak mengubah paradigma sistem kenegaraan, artinya
sistem kenegaraan hasil amandemen UUD-45 adalah turunan dari sistem Orde
Baru)
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
• Untuk perubahan UUD-45, sesungguhnya oleh Bung Karno tanggal 18
Agustus
1845 sudah diingatkan bahwa UUD -45 adalah UUD kilat, UUD darurat.
Bahkan
Bung Karno berpesan agar kelak kalau negara sudah dalam keadaan tenteram
anggota MPR akan dipanggil lagi untuk merumuskan UUD yang baru. Hal ini
tidak bisa lepas dari proses penyusunan batang tubuh UUD-45 yang hanya
disusun 1 hari dan didominasi oleh Moh Yamin dan Supomo, sebagai tokoh
yang paham hukum ketatanegaraan.
• Masing-masing sistem demokrasi mempunyai kelebihan dan kekurangan, dan
ketika dicampur adukkan begitu saja maka keduanya justru saling mereduksi
kelebihan masing-masing dan bahkan saling menegasikannya. Kelebihan
sistem Presidensial pada kuatnya stabilitas politik, hal ini terwujud karena
Presiden dan anggota DPR sama-sama tidak bisa dicopot ditengah jalan.
Ketika sistem yang dirancang membenarkan Presiden bisa di “impeach”
(politik) dan juga bisa dicopot ditengah jalan dengan alasan politik, begitu
pula untuk anggota DPR bisa di PAW (Pergantian Antar Waktu) ditengah
jalan dengan
alasan politik (yang hanya lazim terjadi dalam sistem parlementer), maka
sistem kenegaraan kita menjadi begitu rentan, karena posisi Presiden yang
notabene Kepala Negara negara setiap saat bisa digoyang. Berbeda dengan
sistem parlementer yang menempatkan posisi Kepala Negara terpisah dengan
Kepala Pemerintahan, maka biarpun terjadi instabilitas ditingkat
pemerintahan, tidak berarti membahayakan stabilitas apalagi eksistensi negara,
karena masih ada Kepala Negara yang biasa
• Belum lagi intervensi legislatif (DPR) terhadap eksekutif yang mestinya hanya
terjadi pada sistem parlementer, sehingga membuat peran eksekutif menjadi
mandul karna banyak direcoki oleh
13
DAFTAR PUSTAKA
14