Anda di halaman 1dari 17

INDONESIA DI ANTARA SISTEM PEMERINTAHAN

PARLEMENTER DAN SISTEM PRESIDENSIAL

Dosen Pengampu:
Nabella Dananier S.Sos.I, M.Pd

Disusun oleh:
Nama : Muhammad Yusuf Satria
NIM : 2310101029
Kelas : MBS E Kelas Karyawan

JURUSAN MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


INSTITUT AGAMA ISLAM TAZKIA
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya,


meminta ampunan dari-Nya dan meminta perlindungan kepada-Nya dari
kejahatan diri kita serta keburukan amal perbuatan kita. Shalawat dan salam
semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Karena hidayah serta kesehatan yang di berikannya pula, Alhamdulillah,
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “INDONESIA DI ANTARA
SISTEM PEMERINTAHAN PARLEMENTER DAN SISTEM
PRESIDENSIAL” ini sebagai tugas dari mata kuliah Bahasa Indonesia tepat pada
waktunya. Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada Bapak selaku
dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah banyak memberikan
bimbingan dan pengarahan. , serta semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Akhirnya penulis mohon kritik dan saran untuk lebih sempurnanya
makalah ini. Selanjutnya penulis berharap makalah yang sederhana ini
bermanfaat.

Bogor, 26 Desember 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................
A. Latar Belakang................................................................................................................
B. Perumusan Masalah.........................................................................................................
C. Tujuan Penelitian............................................................................................................
D. Manfaat Penelitian...........................................................................................................
E. Metode Penelitian............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................
A. Pengertian Sistem Pemerintahan.....................................................................................
B. Pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial.....................................
C. Ciri-Ciri Sistem Parlementer Dan Presidensil.................................................................
D. Kelebihan Dan Kekurangan Sistem Parlementer Dan Sistem Presidensil......................
E. Sistem Pemerintahan Indonesia......................................................................................
BAB III PENUTUP...............................................................................................................
Kesimpulan...........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika kita mengatakan bahwa sistem pemerintahan kita menganut
sistem presidensial, tetapi dalam prakteknya sistem tersebut masih belum
diimplementasikan secara murni dan konsekuen bahwa kita benar-benar
menerapkan sistem pemerintahan presidensial dengan presiden sebagai kepala
negara dan juga sekaligus kepala pemerintahan (dalam sistem parlementer,
kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri).
Sistem presidensial kita masih belum bisa membuat pembatas yang jelas
antara posisi kewenangan eksekutif dan legislatif. Dalam konstitusi kita,
dalam hal ini UUD 1945, redaksional tentang apa-apa yang menjadi
kewenangan presiden, masih sering bertabrakan dengan
kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh DPR.
Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu
kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan
separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat
ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang
kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan
mempunyai sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan
berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk
memprotes hal tersebut. (Kansil, 2008)
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan
masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas,
menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan,
ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinyu dan
demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam
pembangunan sistem pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit
negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh.
Secara sempit, Sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk
menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu
relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari
rakyatnya itu sendiri. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka
penulis memberi judul “INDONESIA DI ANTARA SISTEM
PEMERINTAHAN PARLEMENTER DAN SISTEM PRESIDENSIAL”

B. Perumusan Masalah
Agar perumusan masalah ini tidak meluas maka penulis perlu membatasi
ruang lingkup sebagai berikut:
A. Pengertian Sistem Pemerintahan.
B. Pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial.

1
C. Ciri-ciri Pemerintahan Parlementer dan Presidensial.
D. Kelebihan dan kekurangan sistem Pemerintahan Parlementer dan
Presidensial.
E. Sistem Pemerintahan Indonesia

C. Tujuan Penelitian.
 Sebagai salah satu tugas dalam mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan..
 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Sistem Pemerintahan
 Pengelompokkan Sistem Pemerintahan
 Mengetahui Pelaksanaan Sistem pemerintahan Negara Indonesia.
 Kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia
 Kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia

D. Manfaat Penelitian.
1. Sebagai pedoman untuk menambah wawasan dalam menulis dan
membuat suatu karya ilmiah terutama pada makalah ini.
2. Sebagai referensi bagi penulis dalam pembuatan makalah beikutnya.
3. Sebagai bahan bacaan dan lebih memahami bagaimna tata cara
penulisan makalah.
E. Metode Penelitian.
Pada karya Ilmiah Ini, Saya membaca buku-buku dan tulisan yang
berhubungan dengan penulisan karya ilmiah serta yang berkaitan dengan
masalah sistem pemerintahan (Study Pustaka).

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Pemerintahan.


Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata sistem dan
pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system (bahasa
Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan
Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata
perintah. Pada Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti:
a. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan
sesuatau
b. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah,
daerah, atau, Negara.
c. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah
yang dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu
negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti
yang sempit, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh
badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan
penyelenggaraan negara. Sistem pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan
utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling
bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi
pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
 Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-
undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan.
 Kekuasaan Legislatif yang berarti kekuasaan membentuk undang-
undang
 Kekuasaan Yudikatif yang berarti kekuasaan mengadili terhadap
pelanggaran atas undang-undang.
Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jadi, sistem pemerintaha negara
menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga
negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan
negara yang bersangkutan.

Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita


atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Lembaga-lembaga yang berada dalam satu sistem pemerintahan Indonesia

3
bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari
pemerintahan di negara Indonesia.

B. Pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial


Sistem parlementer adalah adalah sebuah sistem pemerintahan di mana
parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini
parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan
parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara
mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Kepala eksekutif (head of
government) adalah berada di tangan seorang perdana menteri Adapun kepada
Negara (head of state) adalah berada pada seorang ratu, raja ataupun sultan,
misalnya di Negara Inggris, Malaysia
Sistem presidensial (presidensial), atau disebut juga dengan sistem
kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana
kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan
legislatif.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari 3 unsur yaitu:
 Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan
mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
 Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang
tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
 Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan
badan legislatif.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat
dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya
dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden.
Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap
negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia
diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang
wakil presiden akan menggantikan posisinya.

C. Ciri-Ciri Sistem Parlementer Dan Presidensil

a. Parlementer
. Ciri-ciri pemerintahan parlemen yaitu:
 Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan
sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.
 Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang
anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan
lembaga legislatif

4
 Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja
diseleksi berdasarkan undang-undang.
 Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin
departemen dan non-departemen.
 Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
 Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
 Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
b. Presidensil
Ciri-ciri pemerintahan presidensial yaitu :
 Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan
sekaligus kepala negara.
 Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat
dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan
rakyat.
 Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat
dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan
non-departemen.
 Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan eksekutif
(bukan kepada kekuasaan legislatif).
 Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan
legislatif.
 Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif.

D. Kelebihan Dan Kekurangan Sistem Parlementer Dan Sistem Presidensil

a. Sistem Parlementer
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
 Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi
penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena
kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi
partai.
 Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
publik jelas.
 Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet
sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan
pemerintahan.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer:
 Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas
dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan
oleh parlemen.

5
 Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa
ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-
waktu kabinet dapat bubar.
 Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para
anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai
meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai,
anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
 Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif.
Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan
manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif
lainnya.
b. Sistem Presidensil
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial:
 Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung
pada parlemen.
 Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu.
Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun,
Presiden Filipina adalah enam tahun dan Presiden Indonesia adalah
lima tahun.
 Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka
waktu masa jabatannya.
 Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif
karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial:
 Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga
dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
 Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
 Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-
menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi
keputusan tidak tegas
 Pembuatan keputusan memakan waktu yang lama.
E. Sistem Pemerintahan Indonesia
Sistem pemerintahan Negara RI Menurut UUD 1945.
 Sistem Pemerintahan menurut UUD ’45 sebelum diamandemen:
1. Kekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
2. DPR sebagai pembuat UU.
3. Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
4. DPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
5. MA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
6. BPK pengaudit keuangan.
 Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002).
1. MPR bukan lembaga tertinggi lagi.

6
2. Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang
dipilih oleh rakyat.
3. Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
4. Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
5. Kekuasaan Legislatif lebih dominan.
Berdasarkan penjelasan UUD ’45, Indonesia menganut sistem
Presidensial. Tapi dalam praktiknya banyak elemen-elemen Sistem
Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat dikatakan Sistem Pemerintahan
Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan Parlementer.
Dari rangkaian perjalanan system pemerintahan Indonesia, kalau dikatakan
sistem pemerintahan presidensil, Indonesiatidak menganut asas pemisahan
kekuasaan.Begitupun, kalau dikatakan system parlementer, tidak terdapat
mekanisme pembagian kekuasaan yang jelas, bahkancenderung mengadopsi
kedua sistem.Sistem pembagian kekuasaan yang dianutitu tidak terpisah antara
lembaga negarayang satu dengan lembaga negara lainnya. (Yani, 2018)
Sistem presidensial kita masih belum bisa membuat pembatas yang jelas
antara posisi kewenangan eksekutif dan legislatif. Dalam konstitusi kita,
dalam hal ini UUD 1945, redaksional tentang apa-apa yang menjadi
kewenangan presiden, masih sering bertabrakan dengan
kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh DPR Dalam batang tubuh (Pasal
10) UUD 1945 secara jelas memang disebutkan bahwa presiden republik
Indonesia memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat (AD),
Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU).
Dalam posisi ini, tidak ada campur tangan legislatif (dalam hal ini DPR)
atas posisi presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan
AU. Namun dalam pasal selanjutnya (pasal 11), disebutkan bahwa presiden
berwenang mengumumkan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain, tetapi harus melalui persetujuan DPR menyangkut
stabilitas.
Sama halnya dengan pengangkatan duta dan konsul yang harus meminta
pertimbangan DPR. Hal ini dimaklumi mengingat pengumuman tentang
perang, perjanjian dan perdamaian dengan negara lain serta pengangkatan duta
dan konsul merupakan hal yang sangat strategis dan sensitif karena
menyangkut stabilitas dan kedaulatan (souvereignity) negara.
Namun hal yang tampak kontradiksi tampak dalam pasal 20 ayat (5)
tentang pembuatan peraturan perundang-undangan antara eksekutif dan
legislatif (dalam hal ini DPD tidak termasuk pihak yang ikut membentuk
undang-undang) bahwa peraturan yang disahkan (dalam hal ini undang-
undang) harus melalui persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif,
salah satu pasal menyebutkan, bahwa dalam waktu 30 hari undang-undang
yang disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden, maka undang-
undang tersebut bisa disahkan.

7
Dalam posisi ini kemudian terdapat relasi yang terputus antara fungsi
kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan legislatif dimana posisi politik DPR
lebih kuat ketimbang eksekutif. Hal ini sama tentang sistem yang 'bukan-
bukan' ini juga bisa ditemukan dalam lembaga legislatif. Secara gamang kita
masih belum jelas menyebutkan 'jenis kelamin' penerapan konsep lembaga
legislatif kita. Apakah bikameral (DPD dan DPR) unikameral (MPR/DPR)
atau bahkan trikameral (DPR-DPD-MPR). Sehingga ketika ada ahli
pemerintahan dari negara lain menanyakan sistem legislatif yang kita anut,
maka kita hanya meraba-raba saja dengan mengatakan antara unikameral,
bikameral, atau bahkan trikameral. Sistem legislatif kita adalah sistem yang
'bukan-bukan'.
Sistem yang 'bukan-bukan' ini bisa kita dapatkan jika mempelajari konsep
pembagian kekuasaan antara tiga cabang legislatif; MPR, DPR dan DPD.
Dalam prakteknya, terdapat diskriminasi konstitusi antara DPR dan DPD
dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan. Diskriminasi konstitusi
ini terkesan menganaktirikan DPD dalam hal pembuatan peraturan perundang-
undangan yang hanya membentuk DPD tanpa diberikan kewenangan
membentuk undang-undang.
Karena menurut pasal 22D UUD 1945 yang juga diatur dalam Pasal 42
ayat (1) UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, bahwa DPD hanya diberikan kewenangan mengajukan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketika masuk pada
ayat (2) lebih lanjut disebutkan bahwa setelah DPD mengusulkan rancangan
undang-undang tersebut kepada DPR, maka DPR kemudian memanggil DPD
untuk membahasnya sesuai tatib DPR. Namun ketika tiba pada pengambilan
keputusan, DPD tidak dilibatkan. Pada posisi ini kemudian diskriminasi
konstitusi ini terlihat. DPD hanya dijadikan tameng mendapatkan pengakuan
dari rakyat, bahwa pemerintah sudah memperhatikan aspirasi rakyat didaerah
dengan membentuk DPD, sementara kekuasaan membentuk undang-undang
tetap dimiliki oleh presiden dan DPR. DPD tak ubahnya lembaga penunjang
(auxilary agency) DPR yang bertugas memberikan nasehat dan usulan,
sementara ketika tahapan pengambilan keputusan, DPD tidak dilibatkan.
Perselingkuhan politik antara partai-partai di DPR membawa DPD pada
bayang-bayang ketidakpastian politik. DPD tetap diberikan kewenangan yang
tumpul dan tetap mengekor di belakang DPR. DPD dan DPR ibarat saudara
tiri yang diperlakukan tidak proporsional oleh konstitusi sebagai ibu kandung.
(Masnur, 2011)
Demikian pula dengan pembagian job antara DPR dan DPD. DPD hanya
diberi kewenangan mengusulkan rancangan undang-undang yang berkaitan

8
dengan otonomi daerah, termasuk perluasan dan penggabungan daerah. Dalam
konteks yang lebih luas, kedaulatan negara tetap dipegang oleh elit parpol di
DPR. Konstalasi politik nasional tetap berada dalam pengawasan dan kontrol
DPR.
DPD tak ubahnya Dewan Pertimbangan Agung pada masa Orba. Kekuatan
negara yang dikendalikan parpol menyulitkan DPD melakukan penguatan
kewenangan karena pasti akan di tentang kalangan parpol di DPR. Kekuatan
lobi yang maksimal pun belum tentu menggoyahkan ratusan anggota DPR
untuk rela `berbagi kue' dengan DPD.
Sementara yang kita inginkan adalah visi membangun dan menciptakan
lembaga legislatif yang kuat. Yang akan menunjang kerja-kerja pemerintahan,
termasuk dalam hal mekanisme kontrol. Masyarakat menginginkan
terwujudnya dua kamar yang sama kuatnya (strong becameralism) antara DPR
dan DPD. Bukan konsep bikameralism lunak (soft/weak bicameralisme), satu
kamar mendominasi kamar lainnya (DPR mendominasi DPD). Bukan pula
konsep trikameralism, kamar yang satu hanya menjadi 'penonton' dua kamar
lainnya (MPR). Sistem legislatif di Indonesia adalah sistem legislatif 'abstrak-
samar', bukan bikameral, trikameral, maupun unikameral. Sehingga tidak
mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif, kritis-tajam.
Sistem yang 'bukan-bukan' juga kita dapatkan dalam konsep kekuasaan
kehakiman (yudisial) antara tiga cabang kekuasaan kehakiman MA, MK dan
KY. Pasca amandemen ketiga UUD 1945 yang membuka peluang
terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) pada
Bab IX Pasal 24 B dan C, nampak bahwa dinamisasi struktur ketatanegaraan
kita mengalami tahap pendewasaan dan perkembangan yang cukup signifikan.

Dibentuknya MK dengan salah satu alasannya untuk menyeimbangkan


struktur kekuasaan kehakiman dengan karakteristik perkara masing-masing,
selain juga sebagai pembagian fungsi dan tugas dalam sistem kekuasaan
kehakiman yang selama ini menjadikan MA sebagai pemain tunggal dalam
wilayah peradilan. Selain itu, hadirnya KY dengan tugas utamanya melakukan
pengawasan terhadap kinerja hakim serta menjaga keluhuran martabat hakim
melambungkan opitimisme jutaan rakyat Indonesia yang menginginkan sistem
peradilan sehat, bersih, serta jauh dari nuansa KKN setelah sekian lamanya
wajah peradilan kita telah cukup telak ditampar dengan isu mafia peradilan
hingga menjatuhkan wibawa pengadilan.
Namun capaian tersebut tidak begitu saja melepaskan kejanggalan-
kejanggalan praktek ketatanegaraan kita. Dalam beberapa kasus, kesan antara
antara pihak superior dan inferior hingga membuka wilayah perseteruan antara
tiga cabang kekuasaan kehakiman ini menjadikan optimisme ini menjadi
luntur kembali. Sama dengan perseteruan antara DPR dan DPD, keangkuhan
MA yang tidak ingin menjadi subyek dalam pengawasan KY hingga

9
mengajukan gugatan konstitusi ke MK menjadikan wacana check and
balances terkesan dipahami dan diterapkan setengah hati. Bahwa MA lebih
superior dibanding KY. Bahwa KY ibarat 'anak ingusan' yang belum punya
pengalaman. Penderitaan KY semakin bertambah dengan dikabulkannya
gugatan MA oleh MK hingga menjadikan KY seolah 'anak bawang' dalam
permainan politik kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Secara obyektif kita menilai, posisi KY memang lemah. Walaupun secara
yuridis KY dilegitimasi dengan UU No 22 Tahun 2004 (MK UU No 24/2003),
namun karena konstitusi tidak memberikan KY kewenangan peradilan. Maka
posisi tawar (bargaining position) KY memang tidak cukup kuat untuk
memaksa MK dan MA menerima kehadirannya dalam diskursus kelembagaan
antara cabang kekuasaan kehakiman. Kekuasaaan peradilan tetap menjadi
kewenangan MA dan MK dengan pembagian wilayah perkara yang berbeda
antara satu dengan lainnya.
Beberapa praktek ketimpangan konstitusi selama ini telah mengakibatkan
penyelenggaraan sistem pemerintahan tidak harmonis. Disamping itu, juga
berakibat pada menurunya kualitas produk legislasi yang dihasilkan akibat
konflik internal (conflic of interest) pada beberapa lembaga-lembaga negara.
Ketidakdewasaan penyelenggara negara dalam memaknai dan menjalankan
amanah konstitusi menjadikan praktek ketatanegaraan kita akan selamanya
penuh dengan konflik.
Pemerintah dan Negara jadi satu, Pemerintah terlibat dalam pembikinan
UU, Negara adalah penguasa, Hak Warga Negara belum sepenuhnya sebagai
pemberian Tuhan YME, sebagian masih sebagai pemberian Negara, Sistem
kenegaraan yang dianut baik dalam UUD-45 yang asli maupun hasil
amandemen masih mencampurkan paham otoriter yang azasnya “Top-Down”
dengan paham demokrasi yang azasnya “Bottom-Up”, Bahkan posisi Kepala
Negara tidak sebagai lembaga yang tertinggi dalam Negara, padahal diseluruh
dunia Kepala Negara adalah Lembatga Negara Tertinggi dalam sebuah negara.
UUD-45 yang asli Lembaga Negara Tertinggi adalah MPR, sedang Hasil
amandemen UUD-45 justru meniadakan posisi Kepala Negara, karena
Presiden bukanlah sebagai Kepala Negara, tapi Kepala Pemerintahan Negara.
Hal ini menjadi sangat prinsip karena posisi Kepala Negara haruslah
mempunyai hak ”Can Do No Wrong”, untuk berbuat apa saja demi
kemanusiaan dan atau tegaknya kedaulatan negara. Lantas bagaimana kalau
negara kita diserang mendadak oleh negara lain, siapa yang akan memainkan
hak “Can Do No Wrong”. Lepas dari persoalan kadar keberanian presiden
SBY, sumber kegamangan pemerintah dalam menangani musibah
kemanusiaan lumpur Lapindo juga disebabkan sistem kenegaraan yang tidak
secara tegas mengatur hak “Can Do No Wrong” yang mestinya harus ditangan
seorang Kepala Negara.

10
SISTEM DEMOKRASI CAMPURAN PARLEMENTER DENGAN
PRESIDENSIAL

Sistem PARLEMENTER, ciri utamanya adalah:


Perdana Menteri diangkat oleh Parlemen, artinya legitimasi pemerintahan
datangnya dari parlemen, Program yang ditawarkan (dijual) dalam pemilu adalah
program partai, Program Pemerintah adalah program partai pemenang pemilu,
Dalam Pemilu rakyat memilih partai (Beberapa negara yang dipilih gambar Calon
Anggota DPR, tapi yang dijual oleh calon anggota DPR tetap yaitu program
partai), Maka Ketua Partai otomatis calon Perdana Menteri, Karena yang
dipercaya rakyat adalah partai, maka partai lah yang membentuk kabinet
(pemerintahan), Sehingga disana dikenal istilah partai pemerintah, dan partai yang
tidak duduk dalam pemerintah disebut partai oposisi, Perdana Menteri setiap saat
bisa jatuh karena alasan politik, yaitu ketika dukungan di parlemen tidak lagi
mayoritas. Untuk terwujudnya ”Chek and Balance” maka anggota DPR pun setiap
saat juga bisa dicopot ditengah jalan dengan alasan politik. Kewenang partai
dalam mencopot anggota karena dalam pemilu yang dipercaya (yang dicoblos)
oleh rakyat adalah partai, DPR adalah wakil partai maka dalam DPR ada lembaga
Fraksi, Posisi Partai kuat, karena ia membuat program, menyusun kabinet dan
memilih pejabat –pejabat politis lainnya, Pemerintah dibentuk setelah pemilu
DPR. Bila di parlemen tidak mayoritas tunggal (50% + 1), maka partai pemenang
terbesar berkoalisi dengan partai lain, maka kabinet yang dibentuk disebut kabinet
koalisi. Pemilu legislatif lebih dahulu daripada pemilu Presiden
Sistem PRESIDENSIAL, ciri utamanya:
Rakyat langsung memilih presiden artinya legitimasi presiden
(Pemerintah) langsung dari Rakyat, Program yang dijual dalam pemilu bukan
program partai, tapi program sang Capres, Program pemerintah adalah program
Capres pemenang pemilu yang ditawarkan saat kampanye, Kabinet yang dibentuk
adalah “Zaken” kabinet (Kabinet Ahli), Dalam menjalankan pemerintahan,
presiden tidak tergantung dari besar kecilnya dukungan DPR, karena legitimasi
presiden bukan dari DPR, tapi langsung dari rakyat. Bila Presiden tergangu oleh
DPR maka Presiden punya Hak veto terhadap keputusan DPR (Disanalah maka
dalam sistem presidensial Pemerintah tidak terlibat dalam membuat UU) dan
Presiden juga punya hak bertanya langsung kepada rakyat (referendum), Presiden
dipilih oleh rakyat untuk untuk jangka waktu tertentu (di Indonesia 5 tahun) maka
Presiden tidak bisa dicopot ditengah jalan karena alasan politik. Artinya dalam
sistem presidensial tidak ada “impeach” politik. Begitu pula untuk anggota DPR,
seharusnya dipilih langsung oleh rakyat untuk jangka waktu tertentu (di Indonesia
5 tahun) maka anggota DPR tidak boleh dicopot oleh partai, maka disana lahir
kondisi ”Chek and Balance” yang statis. Dengan kata lain, karena rakyat dalam
pemilu nyoblosnya gambar orang bukan gambar partai, maka partai tidak punya
hak untuk mencopot anggota DPR ditengah jalan karena alasan politik, DPR

11
adalah wakil rakyat, maka di DPR tidak dikenal lembaga Fraksi, Pemilu presiden
dilaksanakan lebih dahulu dari pemilu DPR, Tugas partai adalah mengembangkan
ideologi dan mencari figure yang laku jual dalam pemilu, Tidak ada dalam sistem
Presidensial ketua partai jadi calon Presiden, Diseluruh dunia tidak ada dalam
sistem Presidensial Presiden dan Wakil Presiden lain Partai, Karena legitimasi
datangnya langsung dari rakyat, maka dalam sistem presidensial
mengakomodasikan calon independen. Pemilu Presiden dulu baru Pemilu
Legislatif
BAGAIMANA DENGAN INDONESIA......?
Selama Orde Baru kita menggunakan sistem presidensial tapi pemilu nya
memilih partai. Tahun 2004 Pemilu sudah langsung artinya rakyat langsung
mencoblos tanda gambar Calon Presiden, tapi presiden bisa dicopot ditengah jalan
karena alasan politik. Padahal rakyat memilih presiden untuk jangka waktu 5
tahun. Sistem kita pakai adalah presidensial tapi mengenal lembaga impeach
politik. Anggota DPR bisa dicopot ditengah jalan dengan alasan politik oleh
partai, padahal rakyat dalam pemilu tidak pernah berhubungan dengan partai,
karena yang diilih rakyat adalah orang dengan cara mencoblos gambar calon
anggota DPR, sama sekali bukan partai, Pemilu 2004 dilaksanakan secara
langsung, artinya legitimasi presiden datangnya langsung dari rakyat, tapi kabinet
yang dibentuk koalisi, DPR bukan wakil rakyat tetapi wakil partai dan di DPR ada
lembaga Fraksi (sehingga presiden terpaksa menghitung jumlah dukungan di
DPR), Ada lembaga “Fit and Proper Test” oleh DPR, padahal rakyat tidak pernah
memberi kuasa kepada partai untuk tugas-tugas tersebut. (Hal ini terjadi karena
amandemen UUD-45 tidak mengubah paradigma sistem kenegaraan, artinya
sistem kenegaraan hasil amandemen UUD-45 adalah turunan dari sistem Orde
Baru)

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
• Untuk perubahan UUD-45, sesungguhnya oleh Bung Karno tanggal 18
Agustus
1845 sudah diingatkan bahwa UUD -45 adalah UUD kilat, UUD darurat.
Bahkan
Bung Karno berpesan agar kelak kalau negara sudah dalam keadaan tenteram
anggota MPR akan dipanggil lagi untuk merumuskan UUD yang baru. Hal ini
tidak bisa lepas dari proses penyusunan batang tubuh UUD-45 yang hanya
disusun 1 hari dan didominasi oleh Moh Yamin dan Supomo, sebagai tokoh
yang paham hukum ketatanegaraan.
• Masing-masing sistem demokrasi mempunyai kelebihan dan kekurangan, dan
ketika dicampur adukkan begitu saja maka keduanya justru saling mereduksi
kelebihan masing-masing dan bahkan saling menegasikannya. Kelebihan
sistem Presidensial pada kuatnya stabilitas politik, hal ini terwujud karena
Presiden dan anggota DPR sama-sama tidak bisa dicopot ditengah jalan.
Ketika sistem yang dirancang membenarkan Presiden bisa di “impeach”
(politik) dan juga bisa dicopot ditengah jalan dengan alasan politik, begitu
pula untuk anggota DPR bisa di PAW (Pergantian Antar Waktu) ditengah
jalan dengan
alasan politik (yang hanya lazim terjadi dalam sistem parlementer), maka
sistem kenegaraan kita menjadi begitu rentan, karena posisi Presiden yang
notabene Kepala Negara negara setiap saat bisa digoyang. Berbeda dengan
sistem parlementer yang menempatkan posisi Kepala Negara terpisah dengan
Kepala Pemerintahan, maka biarpun terjadi instabilitas ditingkat
pemerintahan, tidak berarti membahayakan stabilitas apalagi eksistensi negara,
karena masih ada Kepala Negara yang biasa
• Belum lagi intervensi legislatif (DPR) terhadap eksekutif yang mestinya hanya
terjadi pada sistem parlementer, sehingga membuat peran eksekutif menjadi
mandul karna banyak direcoki oleh

13
DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C. S. (2008). Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rineka


Cipta.
Masnur, M. (2011, Desember 25). Pemisahan Kekuasaan dan Prinsip Checks and
Balances dalam UUD 1945. Diakses Desember 31, 2023, dari
http://masnurmarzuki.blogspot.com/2011/12/pemisahan-kekuasaan-dan-
prinsip-checks.html
Syafiie, I. K. (2013). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.
Yani, A. (2018). Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori dan Praktek
Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Jurnal Hukum, 125.

14

Anda mungkin juga menyukai