Anda di halaman 1dari 16

Dosen: Dr. Ir.

Yunus Ashari, MT

TOPIK 12
KONTROL GRAVITASI PADA SISTEM ALIRAN
DAN
EVOLUSI AIRTANAH

12.1. Pengertian Gravity Flow


Topografi menghasilkan gaya gravitasi yang ada di mana-mana dan
dominan untuk menggerakkan airtanah yang berasal dari meteorik di
kerak bumi. Hal ini dapat mendorong airtanah bergerak dan menempati
ruang di dalam batuan hingga kedalaman beberapa kilometer,
menyebabkan migrasi lateral pada skala spasial mulai dari lereng bukit
terkecil hingga akuifer skala benua besar, dan akhirnya memaksa
pembuangan dan pengurasan air bawah permukaan ke sungai, danau,
dan lautan. Meskipun perlu waktu lama untuk diakui dalam hidrogeologi
sebagai pendorong penting untuk aliran airtanah, kontrol gravitasi pada
sistem aliran adalah perintis studi teoritis dan lapangan adalah Jozsef
Tóth di tahun 1960-an yang untuk pertama kalinya menunjukkan
bagaimana aliran airtanah yang digerakkan oleh gravitasi (yang
disebabkan oleh perbedaan ketinggian dalam topografi) memiliki kontrol
dominan dan dalam menciptakan himpunan hierarki yang terorganisir
sendiri dari sistem aliran bawah permukaan. Sistem aliran ini memiliki
pengaruh yang besar terhadap hidrogeologi daerah aliran sungai,
perkembangan tanah, stabilitas lereng dan erosi, ekologi lahan basah,
geokimia dan kualitas airtanah, sirkulasi air pada sistem panas bumi,
pembentukan deposit mineral ekonomis, dan akumulasi serta jebakan
minyak bumi. Tóth menjelaskan secara gamblang tentang perkembangan
teori aliran yang digerakkan oleh gravitasi, manifestasinya dalam siklus
hidrologi, dan aplikasinya pada aspek praktis teknik sumber daya air dan
geologi.
Hidrogeologi: Topik 12 - 1
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

Sebagaimana kita ketahui, gaya-gaya yang bekerja dalam menggerakkan


aliran airtanah berlangsung secara bertolak belakang yaitu gaya kapiler
dan gaya gravitasi. Gaya kapiler cenderung mengangkat airtanah melalui
celah ukuran kapiler, di atas garis jenuh berupa muka airtanah (MAT)
menuju zona transisi sebelum memasuki zona tidak jenuh (unsaturated
zone, Gambar 10.1). Studi Toth (2009) yang mengulas teori dasar
topografi- atau aliran yang digerakkan oleh gravitasi, termasuk unit CAT
tak berdimensi, efek geometri cekungan dan geologi pada pola
pengendalian aliran airtanah, dan efek perubahan temporal water-table
pada transien tekanan pori dan dinamika sistem aliran.

Untuk memahami teori ini, kita perlu menguasai persamaan derivasi


matematika yang sangat lekat dengan pengatur aliran gravitasi. Dalam
kajian lanjut Toth (2009) juga menjelaskan tentang peran airtanah
sebagai agen geologi, manifestasi fisik / kimia / botani dari aliran regional
di DAS, dan aplikasi praktis untuk memahami peran aliran regional dalam
pengembangan sumber daya air, ekologi DAS, manajemen limbah nuklir,
dan eksplorasi untuk deposit bijih serta minyak dan gas bumi.

Hidrogeologi: Topik 12 - 2
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

Gambar 12.1. Gaya gravitasi menarik air permukaan dari zona tidak
jenuh menuju zona jenuh (muka airtanah), celah kapiler sebaliknya.

Itulah sebabnya kita harus memahami dasar-dasar dari konsep head


airtanah, yang bisa kita amati dari sumur (baik sumur gali maupun sumur
bor).

Gambar 12.2. Konsep Head dalam hidrogeologi

Hidrogeologi: Topik 12 - 3
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

Dari pemahaman ini, maka kita akan diarahkah kepada bagaimana air
mengalir, yakni karena adanya perbedaan potensial. Airtanah harus
mengikuti hukum gravitasi, sehingga aliran airtanah akan tegak luruh
terhadap garis potensial. Ekuipotensial merujuk kepada kesamaan nilai
potensialnya.

Gambar 12.3. Konsep jejaring aliran airtanah (flow net), yang dibangun
dari garis ekuipotensial, di mana airtanah akan mengalir.

Gambar 12.4. Konsep matematika bagaimana mekanisme aliran


airtanah terjadi, diturunkan dari Hukum Darcy.

Hidrogeologi: Topik 12 - 4
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

Jika masih kurang memahami konsep ini silakan dipelajari lagi, boleh
mengunjungi situs berikut:

https://echo2.epfl.ch/VICAIRE/mod_3/chapt_5/main.htm

Gambar 12.5. Mekanisme aliran fluida di bawah permukaan oleh gaya


gravitasi pada akumulasi minyak bumi (Toth, 2009).

Gambar 12.6. Perkiraan pola aliran batuan permeabel seragam antara


sumber didistribusikan melalui antarmuka udara-air dan lembah
'(Hubbert, 1940, Gambar 45, hal. 930).

Hidrogeologi: Topik 12 - 5
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

Gambar 12.7. Perubahan kimia airtanah sepanjang alirannya (flow


path).

Secara garis besar Toth (2009) menggambarkan bagaimana perubahan


sifat-siat kimia airtanah akibat reaksinya dengan batuan selama airtanah
mengalir menjalani evolusinya. Konsep ini mengikuti prinsip pemahaman
Chebotarev (akan dijelaskan kemudian) dan menggunakan teknik
penilaian dan pengelompokan melalui Fasies Airtanah, yang dapat
ditentukan dengan menggunakan Diagram Piper. Selain sifat-sifat kimia,
sifat kimia fisik (psycho-chemical) airtanah juga berubah. Sifat kimia fisik
yang meliputi temperatur air, pH (derajad keasaman), Eh (potensial
reduksi), TDS (zat padat terlarut di dalam airtanah), dan juga daya hantar
listriknya (DHL atau Electric Conductivity ~EC). Sifat kimia fisik tersebut
harus diukur secara in situ. Sedangkan sifat kimia harus dianalisis di
laboratorium.

Hidrogeologi: Topik 12 - 6
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

Teknik pengelompokan fasies airtanah dapat dirunut melalui tahapan


berikut:

Gambar 12.8.Teknik penentuan Fasies Airtanah dengan menggunakan


Diagram piper.

Hidrogeologi: Topik 12 - 7
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa ujung akhir (end-member) dari


evolusi airtanah adalah air yang kaya (dominan) Kation Na dan anion Cl,
sehingga air yang terbentuk adalah air asin.

12.1 Batasan dan Definisi Air Asin

Salah satu batasan dan bentuk pengelompokan paling sederhana dari air
adalah berdasarkan nilai total padatan terlarut (Total Dissolved Solids
atau TDS), seperti yang diajukan oleh Davis & DeWiest (1966), (Tabel
12.1).

Tabel 12.1. Pengelompokan jenis air berdasarkan nilai TDS (Davis &
DeWiest, 1966).
No Jenis Konsentrasi Electrolite Conductivity
. TDS (ppm) (Mhos/Cm)
1 Fresh water 0 - 1.000 30 - 2.000
2 Brackish Water 1.000 - 10.000 3.000 - 10.000
3 Salty water 10,000 - 45.000 - 55.000
100.000
4 Brine > 100.000 > 100.000

White (1957b) mengelompokkan airtanah secara genetik berdasarkan


lingkungan geologi dan kandungan unsur kimia yang penting seperti
terlihat pada Tabel 12.2.

Tabel 12.2. Klasifikasi airtanah menurut White (1957b).


No Jenis Komposisi Kimia Komposisi Suhu
Isotop *)
1 Meteoric Dikontrol oleh air per- Sama / mirip Normal
Water mukaan dan batuan air
dasar. permukaan

Hidrogeologi: Topik 12 - 8
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

2 Marine Sangat mirip dengan air Sama atau Normal


Water laut; Ca > air laut. mirip dengan
air laut
3 Connate Kaya I, B, SiO2, serta N, H2/H1  air Normal
water (jenis Ca & rendah SO4 dan laut - agak
klorit) Mg relatif terhadap air O18/O16 > air tinggi
laut. laut
4 Metamorphi Tinggi CO2 dan B, H2/H1  air Normal
c Water rendah Cl relatif laut - Tinggi
-
terhadap air laut; I agak O18/O16 > air
tinggi. laut
5 Magmatic Relatif tinggi Li, F, SiO2, H2/H1 < air Sangat
Water B, S, CO2; rendah I, Br, laut tinggi
(Volcanic Ca, & Mg. O18/O16 > air
NaCl) laut
Keterangan : *) dalam Sea Mean Ocean Water (SMOW)

Definisi air konat menurut Lane (1908); Meinzer (1923 dalam Domenico
& Schwartz, 1990); White (1965); Graf, dkk., (1966) dan Degen, dkk.,
(1967 dalam Mathess, 1982) adalah air yang terperangkap dalam pori
batuan bersamaan dengan proses pengendapan dan mengalami
diagenesa, sehingga mengakibatkan perubahan kimia dan peningkatan
konsentrasi. Schoeller (1962) memasukkan di dalamnya air yang terperas
keluar dari batulempung atau gamping oleh kompaksi selama proses
diagenesis. "Connate water" ini mensyaratkan media penyimpan
berporositas besar dengan permeabilitas sangat rendah (Mathess, 1982).
Sedangkan air metamorf adalah air yang terkristalisasi oleh proses
metamorfisme kontak atau metamorfisme regional (White, 1957b).
Proses ini terjadi selama perpindahan atau pembebasan air dari pori.
Schoeller (1962) menyebut kondisi tersebut sebagai air yang
terregenerasi.

Hidrogeologi: Topik 12 - 9
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

Beberapa ahli menamakan air asin dalam formasi batuan sebagai air fosil
(Schoeller, 1962; Degens, dkk., 1967) atau "deep lying water" (Mathess,
1982), “mineralized water” (Degens, dkk., 1967). Istilah lain yang sering
dipergunakan adalah air formasi atau “oil-field brines“ yakni air yang
berasosiasi dengan cekungan formasi minyak bumi (Drever, 1988;
Domenico & Schwartz,1990).

12.2 Evolusi Airtanah

Penelitian yang membahas tentang genesa dan evolusi airtanah telah


banyak dilakukan oleh para ahli, di antaranya adalah Chebotarev (1955),
White (1957b, 1965), Chave (1960), Harmon (1969), Lerman (1970),
Tardy, dkk., (1971), Hitchon, dkk., (1969, 1971), Hingston, dkk., (1976),
Hanor (1983), Lloyd, dkk., (1985) serta Loehnert, dkk., (1992) dan lain-
lain.

12.2.1 Evolusi Anion Dalam Airtanah

Menurut Chebotarev (1955, dalam Freeze & Cherry, 1979) airtanah yang
telah melalui perjalanan regional dalam skala waktu geologi, secara
kimiawi cenderung untuk berubah mendekati komposisi air laut. Evolusi
ini ditandai dengan perubahan anion tertentu yang dominan. Secara
diagramatis evolusi tersebut dapat digambarkan seperti berikut :

Hidrogeologi: Topik 12 - 10
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

Perjalanan aliran regional

HCO3- HCO3- + SO42- SO42- + HCO3-

SO42- + Cl-

Cl- + SO42- Cl-

Perubahan Anion fungsi waktu

Pada cekungan sedimentasi yang besar, sekuen Chebotarev tersebut


dapat dikorelasikan berdasarkan kedalamannya, yang oleh Domenico
(1972) dikelompokkan menjadi 3 zona utama yaitu :
1. Zona atas (upper zone), berada pada daerah dekat permukaan hingga
sekitar kedalaman 1.800 feet, terjadi percampuran aktif dan reaksi
"leaching" batuan pada zona aerasi, konsentrasi TDS rendah dengan
anion dominan [HCO3-],.
2. Zone menengah (intermediate zone), biasanya terjadi pada kedalaman
sekitar 1.800 - 2.300 ft, sirkulasi airtanah kurang aktif, di mana
konsentrasi TDS mulai tinggi dengan anion dominan [SO42-].
3. Zone bawah (lower zone) pada kedalaman rata-rata sekitar 2.300 -
3.600 feet, di mana airtanah mengalir dengan kecepatan sangat
lambat, dicirikan dengan tingginya konsentrasi spesies suatu mineral
tertentu, tergantung kepada batuan induk yang dilaluinya; konsentrasi
TDS umumnya tinggi hingga sangat tinggi dengan anion dominan [Cl-].

Ketiga zona ini tidak dengan sendirinya langsung dapat dikorelasikan,


karena evolusi ini tergantung kepada jarak dan waktu tempuh. Dalam
sekuen evolusi anion Chebotarev ini perubahan secara perlahan baik

Hidrogeologi: Topik 12 - 11
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

komposisi anion maupun TDS dibatasi oleh dua faktor yakni kehadiran
mineral dan kecepatan difusi molekul. Di samping itu secara elektrokimia
evolusi ini dikontrol oleh besaran dan derajat penurunan potensial
redoks di sepanjang aliran (Freeze & Cherry, 1979).

12.2.2 Evolusi Kation Dalam Airtanah

Di antara kelompok kation konsentrasi ion Mg2+ dalam air bawah


permukaan cenderung meningkat dibandingkan dengan Ca2+. Semakin
panjang perjalanan dan lama kontak dengan batuan memungkinkan
terjadinya pertukaran ion, di mana ion Na+ pada akhirnya akan menjadi
kation yang dominan. Zonasi geokimia berdasarkan karakteristik kation
dalam proses evolusi airtanah menurut Mathess (1982) digambarkan
sebagai berikut :

Ca2+ (Ca2+ + Mg2+) Na+

Selama proses recharge air akan mengalami kontak dengan O2 dan CO2
pada zona aerasi sehingga jenuh terhadap kalsium bikarbonat
(Ca[HCO3]2). Selanjutnya jika air tersebut melalui fasies sulfat, maka
spesies sulfatnya akan terlarut hingga tercapai batas jenuh membentuk
MgSO4 dan MgCl2, hasilnya adalah konsentrasi Mg2+ melebihi Ca2+ akibat
pertukaran ion Mg-Ca. Reaksi pertukaran ion terpenting kemudian
adalah keluarnya Ca2+ dan Mg2+ dari air tergantikan oleh Na+. Kondisi
yang dibutuhkan dalam proses ini adalah reservoir yang kaya Na+, dalam
hal ini adalah mineral lempung yang diendapkan dalam lingkungan laut
(Domenico & Scwartz, 1990; Fetter, 1990).

Hidrogeologi: Topik 12 - 12
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

12.3 Hipotesis Terbentuknya Air Asin

Keberadaan air asin dalam batuan sedimen adalah merupakan akibat


dari tiga kejadian utama, (Drever, 1988 dan Domenico & Schwartz,1990)
yakni :
a. Air konat yaitu air yang terbentuk secara syngenetic (terbentuk
bersamaan). Air pori pada cekungan sedimentasi tebal biasanya asin
yang dicirikan oleh predominannya anion Cl- serta kation Na+ dan Ca2+.
Secara isotopik analisis terhadap kandungan D dan O18 air konat
umumnya menunjukkan telah terjadi percampuran antara air laut
dengan air meteorik dalam rasio yang berbeda-beda. Dengan kata
lain, air konat diawali dari air laut yang terjebak pada saat
pengendapan (Hitchon & Friedman, 1969). Meskipun demikian sifat
keasinan air di samping karena faktor "syngenetic" dapat juga terjadi
secara evolusi (Mathess, 1982).
b. Pelarutan endapan evaporit yaitu air asin yang berasal dari pelarutan
batugaram, misalnya halit atau anhidrit. Hipotesis ini dikemukakan
oleh Manheim, dkk., (1969); Hitchon, (1971); Faust, dkk., (1981) dan
Domenico & Schwartz, (1990). Indikasi terjadinya pelarutan halit
(NaCl) terlihat dari kenaikan konsentrasi ion Na dan Cl secara
proporsional relatif terhadap air laut (Faust dkk., 1981).
c. Filtrasi membran; Hipotesa filtrasi membran sebagai suatu proses
pengendali aliran dalam formasi batuan pertama kali dikembangkan
oleh Berry (1959). Selanjutnya konsep ini digunakan oleh Bredehoeft,
dkk., (1963) dan White (1965) untuk menjelaskan terjadinya air asin
dalam batuan sedimen. Proses ini dapat mempengaruhi sifat-sifat air

Hidrogeologi: Topik 12 - 13
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

konat, sehingga dapat dibedakan dengan air laut (Hitchon, 1971).


Menurut White (1965) dan Graff, dkk., (1966) melalui proses filtrasi
membran, akan terjadi pemisahan HCO3- dari air asin sehingga larutan
akan setimbang terhadap Na+. Hal ini diakibatkan oleh “regrading”
dan “reconstitution” mineral lempung (Garrels & Mackenzie, 1966).

Usaha pembuktian efek filtrasi membran di laboratorium telah


dilakukan oleh beberapa ahli berupa percobaan "salt filtering" di
antaranya oleh Berry & Hanshaw (1960), Hanshaw (1962), McKelvey
& Mine (1962), Hanshaw & Coplen (1973), Kharaka & Berry (1973) dan
Kharaka & Smalley (1976).

12.4 Perubahan Komposisi Air Asin Alam

Menurut Drever (1988) proses yang terjadi pada air asin tidak
sesederhana seperti tersebut di atas, karena komposisi kimia air asin
memiliki rentang yang sangat lebar. Drever (1988) menduga
kemungkinan adanya proses lain yang ikut berpengaruh. Penelitian
Hitchon, dkk. (1971 dalam Drever, 1988) menunjukkan bahwa rata-rata
komposisi volume-berat air konat umumnya mirip dengan air laut.
Perbedaan utama adalah tingginya konsentrasi Na+ dan Cl-, konsentrasi
Ca2+ jauh lebih tinggi serta rata-rata konsentrasi Mg2+ dan SO42- air konat
lebih rendah air laut. Perubahan komposisi kimia air asin ini menurut
Hitchon dkk., (1971) di samping akibat proses filtrasi membran
mekanisme berikut adalah cukup penting, di antaranya :

Hidrogeologi: Topik 12 - 14
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

 Presipitasi sulfat. Presipitasi kalsium sulfat (anhidrit dan gipsum)


dapat bertindak sebagai proses tambahan yang memicu terbentuknya
air asin. Meskipun umumnya kalsium sulfat dijumpai dalam jumlah
kecil sebagai fasa mineral, tetapi jika di dalam air asin asal konsentrasi
kalsium lebih rendah dari sulfat, maka presipitasi mineral anhidrit
menyebabkan hilangnya seluruh kalsium dalam air. Konsentrasi sulfat
yang tersisa dalam air selanjutnya terbentuk sebagai air asin (Lerman,
1970; Hitchon dkk., 1971). Seperti diketahui bahwa kelarutan anhidrit
berkurang dengan kenaikan temperatur, sedangkan temperatur akan
meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kombinasi antara
tingginya konsentrasi Ca dan temperatur akan menghasilkan
presipitasi anhidrit.
 Reduksi bakteri sulfat. Rendahnya konsentrasi sulfat umumnya terjadi
akibat reduksi bakteri sulfat, kontaminasi HCO3- dan proses oksidasi
material organik (Graff, dkk., 1966). Tetapi Hitchon dkk., (1971)
menolak hipotesis ini karena tidak cukup banyak dijumpai H2S dalam
air dan asosiasi gas yang terbentuk tidak sebanding dengan jumlah
sulfat yang hilang. Drever (1988) menduga adanya kemungkinan lain
yakni hilangnya sulfur ini hadir sebagai mineral pirit.
 Dolomitisasi; tingginya konsentrasi ion Ca2+ dan rendahnya Mg2+
relatif terhadap air laut adalah ciri umum air konat. Beberapa penulis
menyebutnya sebagai proses dolomitisasi sebelum terbentuknya
kalsit (dolomitization pre-existing calcite), di mana rasio Mg/Ca antara
kalsit dan dolomit menurun dengan naiknya temperatur. Menurut
Hitchon dkk., (1971) secara statistik hubungan konsentrasi antara Ca
dan Mg dalam dolomitisasi adalah tidak sederhana dan menyimpulkan
bahwa proses tersebut bukan penyebab utama. Hal ini bertentangan

Hidrogeologi: Topik 12 - 15
Dosen: Dr. Ir. Yunus Ashari, MT

dengan hasil penelitian Bjorlykke (1984) dan Loehnert, dkk.(1992)


yang menyatakan bahwa proses dolomitisasi erat kaitannya dengan
sifat keasinan air.
 Reaksi diagenesa silikat, kenaikan temperatur akibat tebalnya
tutupan sedimen menyebabkan reaksi diagenesa. Hal terpenting
adalah kemungkinan konversi mineral lempung smektit menjadi illit
dan klorit (Hower dkk., 1976; Boles & Franks, 1979). Reaksi tersebut
akan mempengaruhi komposisi dan asosiasi air serta akan
membebaskan air yang ada di dalam ruang “interlayer” smektit.
Meskipun demikian pengaruh keseluruhan terhadap kimia air belum
sepenuhnya dapat dimengerti (Faust & Aly, 1981; Drever, 1988).
 Cation Exchange; perubahan komposisi fluida dan temperatur
menyebabkan terdistribusikannya kembali ion-ion ke dalam larutan
dan berubahnya mineral lempung dan oksida. Kenaikan konsentrasi Ca
dalam air konat salah satunya adalah karena penggantian oleh Ca2+
dari Na+.
 Reaksi yang melibatkan material organik; reaksi ini berbeda dengan
reduksi sulfat. Hitchon dkk., (1971 dalam Drever, 1988) tidak mencatat
adanya pengaruh yang dapat menjelaskan reaksi material organik.
Meskipun demikian “oil-field brines” terkadang mengandung
konsentrasi anion yang tinggi yang dihasilkan dari alterasi material
organik (Willey dkk., 1975; Carotherr & Kharaka, 1978).

Hidrogeologi: Topik 12 - 16

Anda mungkin juga menyukai