Anda di halaman 1dari 35

PROPOSAL PROMOSI KESEHATAN

DAN PENDIDIKAN DALAM KESEHATAN

“Promosi Kesehatan tehnik Situation Awareness : Edukasi, dan Terapi Simulasi


pelaksanaan patient safety pada perawat di Ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit X

A Danang Asmara
220120230007

Dosen Koordinator :
Laili Rahayuwati, Dra, M.Kes, Dr.PH

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Unit Perawatan Intensif (ICU) merupakan sistem terorganisir yang memberikan
perawatan intensif kepada pasien yang mengalami kondisi kritis. ICU memberikan
perawatan medis dan keperawatan khusus, meningkatkan pemantauan pasien, dan
menyediakan dukungan beragam untuk fungsi organ tubuh guna mempertahankan
kehidupan selama kondisi organ akut (Marshal et al. 2016). ICU adalah tempat dengan
banyak insiden yang dapat mengancam keselataman pasien karena situasi yang sensitive
dan kompleks, seperti keadaan pasien kritis (Armitage, 2003). Data dari World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa 9,8-24,6% per 100.000 penduduk di dunia
menderita penyakit kritis dan telah mendapatkan perawatan di ruang intensif. Dari
jumlah tersebut, 1.1 - 7.4 juta pasien meninggal di ruang perawatan akibat penyakit kritis
(WHO, 2019). Prevalensi jumlah pasien kritis di Indonesia juga mengalami lonjakan.
Pada tahun 2019, tercatat pasien kritis mencapai 33.148 pasien dengan kematian pasien
di ICU mencapai 36.5% (Kemenkes RI, 2019). Tahun 2021 jumlah ruangan ICU di
Indonesia mencapai 81.032 tempat tidur, dari 2.979 Rumah Sakit dan sepanjang tahun
telah terisi 52.719 pasien kritis. Rata-rata pemakaian ICU di Indonesia pada tahun 2021
mencapai 64,83% (Kemenkes RI, 2021). ICU dengan kompleksitasnya memerlukan
berbagai jenis strategi perawatan untuk menjamin keamanan dan keselamatan pasien dan
untuk mengurangi kasus kegagalan dalam pelayanan (Claro, 2011).
Peraturan menteri kesehatan no. 11 tahun 2017 menyatakan bahwa patient safety
adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi asesmen resiko,
identifikasi dan pengelolaan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(PERMENKES, 2017). Hubungan perawat dengan pasien selama dua puluh empat jam
memungkinkan perawat memberikan informasi yang diperlukan dan mampu untuk
mengidentifikasi masalah sebagai bagian dari solusi keselamatan pasien (Armitage,
2003). Hal tersebut membutuhkan kesadaran dari setiap perawat. Kesadaran situasi atau
situation awareness adalah keterampilan non-teknis yang berkontribusi terhadap
pengurangan kesalahan yang menyebabkan efek samping medis dalam pelayanan patient
safety (Stomski et al, 2018).
Situational awareness atau Kesadaran situasi adalah persepsi unsur-unsur
lingkungan dalam volume ruang dan waktu, pemahaman maknanya, dan proyeksi
statusnya dalam waktu dekat (Endsley, 1995). Perawat dengan kesadaran situasional
mengantisipasi kebutuhan pasien dengan mengetahui apa yang sedang terjadi, mengapa
hal itu terjadi, dan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Dengan melihat gambaran
besarnya, perawat dapat mengenali kejadian di sekitarnya. Perawat bertindak dengan
benar ketika segala sesuatunya berjalan sesuai rencana dan bereaksi dengan tepat ketika
tidak berjalan sesuai rencana (HSE, 2019).
Kesadaran situasional merupakan konsep mendasar yang dipahami dengan baik
dan digunakan untuk menjaga keselamatan operasional dalam organisasi dengan tingkat
keandalan tinggi seperti di ruang ICU. Karakteristik umum dari situasional awareness
adalah perception, comprehension, dan projection. Perception adalah Langkah pertama
dimana perawat menangkap tanda-tanda atau keadaan dari pasien. Tahap kedua adalah
comprehension, dimana perawat mampu memahami keadaan yang terjadi. Langkah
ketiga adalah projection, dimana perawat mampu memproyeksian suatu bentuk aksi akan
apa yang terjadi selanjutnya (Fore & Sculli, 2013). Teradapat hal yang
berkesinambungan terkait dengan karakteristik dari situational awareness dan pengertian
dari patient safety, dimana perawat dapat mengidentifikasi insiden, dan mempelajari dari
insiden tersebut untuk memberikan solusi yang terbaik dalam memberikan kemanan
pelayanan.
Perawat memainkan peran sebagai sistem pengawasan untuk mendeteksi secara
dini komplikasi dan masalah dalam pelayanan kesehatan, serta berada dalam posisi
terbaik untuk memulai tindakan yang dapat mengurangi dampak negatif bagi pasien.
Keselamatan pasien telah dianggap sebagai tujuan global (Cohen, 2023). Perawat
mempunyai informasi, pengetahuan, keterampilan, lingkungan, peralatan, waktu dan
dukungan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan mereka, untuk bekerja secara
efektif dengan orang lain demi keselamatan, untuk meningkatkan keselamatan dan untuk
mengidentifikasi, menerapkan dan mempertahankan praktik keselamatan (HSE, 2019).
Pada kasus pelayanan di ICU, hal tersebut masih tetap dimiliki dan dilakukan, namun
komplesitas yang tinggi dapat membuat pelayanan tidak maksimal. Pelayanan yang tidak
maksimal, dapat menimbulkan kesalahan dalam patient safety.
Pelayanan yang tidak maksimal, dapat menimbulkan kesalahan dalam patient
safety. Sekitar 1 dari 10 pasien mengalami kerugian dalam pelayanan kesehatan dan
lebih dari 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya karena pelayanan kesehatan yang tidak
aman. Di negara-negara berpendapatan rendah hingga menengah, sebanyak 4 dari 100
orang meninggal akibat perawatan yang tidak aman (Lachman et al., 2022). Secara
spesifik, masalah dalam pelayanan dapat terjadi pada kesalahan identifikasi pasien.
Kegagalan dalam mengidentifikasi pasien dengan benar dapat menjadi akar penyebab
berbagai masalah dan berdampak serius pada penyediaan layanan kesehatan. Hal ini
dapat menyebabkan efek samping yang sangat buruk, seperti pembedahan yang salah
lokasi. Laporan dari The Joint Commission yang diterbitkan pada tahun 2018
mengidentifikasi 409 kejadian sentinel terhadap identifikasi pasien dari 3326 insiden
(12,3%) antara tahun 2014 dan 2017 (Rezende et al., 2021).
Kegagalan dalam pelayanan patient safety juga dapat berdampak pada kasus
ulkus dekubitus. Ulkus dekubitus adalah luka pada kulit atau jaringan lunak. Penyakit ini
berkembang dari tekanan ke bagian tubuh tertentu dalam jangka waktu lama. Jika tidak
segera ditangani, penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi yang fatal. Ulkus
dekubitus mempengaruhi lebih dari 1 dari 10 pasien dewasa yang dirawat di ICU (Li et
al., 2020). Meskipun dapat dicegah, penyakit ini mempunyai dampak yang signifikan
terhadap kesehatan mental dan fisik, serta kualitas hidup pasien.
Sepsis adalah kondisi serius yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh bereaksi
ekstrem terhadap suatu infeksi. Reaksi tubuh menyebabkan kerusakan pada jaringan dan
organnya sendiri. Dari seluruh kasus sepsis yang ditangani di rumah sakit, 23,6%
berhubungan dengan layanan kesehatan, dan sekitar 24,4% pasien yang terkena dampak
kehilangan nyawa sebagai akibatnya (Markwart et al., 2020). Kasus lain yang terjadi
akibat kegagalan dalam meningkatkan patient safety adalah eror medikasi, eror
pembedahan, infeksi akibat tenaga kesehatan, pasien jatuh, tromboembolisme pembuluh
darah vena, pemberian transfusi darah yang tidak aman dan pemberian injeksi yang tidak
aman.
Laporan insiden keselamatan pasien di Indonesia berdasarkan propinsi
menunjukkan bahwa dari 145 insiden yang dilaporkan terdapat 55 kasus (37,9%) terjadi
di wilayah DKI Jakarta. Sedangkan berdasarkan jenisnya didapatkan Kejadian Nyaris
Cedera (KNC) sebanyak 69 kasus (47,6%), Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) sebanyak
67 kasus (46,2%) dan lain-lain sebanyak 9 kasus (6,2%) (Lumenta, 2008). Kejadian
seperti ini dapat terjadi di rumah sakit akibat dari beberapa faktor.
Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi pelayanan terkait pelaksanaan
patient safety, dan biasanya dalam suatu insiden keselamatan pasien didapatkan lebih
dari satu faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain dari faktor sistem dan
organisasi, faktor teknologi, faktor dari pasien, faktor eksternal, dan faktor dari pemberi
pelayanan tenaga kesehatan seperti perawat (WHO, 2023). Kesalahan dalam pelayanan
yang mengakibatkan cedera pada pasien bukan hasil dari perorangan atau tim dan
pelayanan Kesehatan, namun lebih kepada sistem atau proses yang menyebabkan
perorangan atau pelayanan kesehatan melakukan keselahan.
Membentuk tim dengan pemimpin yang mumpuni dapat mengurangi insiden
terkait dengan patient safety. Langkah lain untuk mengurangi insiden seperti
meningkatkan budaya dan lingkungan yang aman, melibatkan pasien dan keluarga,
meningkatkan sistem pelayanan patient safety dan langkah terakhir adalah membangun
kompetensi tenaga Kesehatan untuk meningkatkan Kerjasama tim dan komunikasi.
(WHO, 2023). Strategi yang baik untuk meningkatkan patient safety adalah dengan
memberdayakan dan melibatkan perawat (HSE, 2019). Strategi ini membantu perawat
dalam meningkatkan situation awareness dalam memberikan pelayanan dengan patient
safety.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh program promosi kesehatan situation awareness perawat dalam
pelaksanaan patient safety di ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit X.
1.3 Tujuan Promosi Kesehatan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan Promosi Kesehatan ini adalah untuk meningkatkan situation awareness
perawat dalam pelaksanaan patient safety di ruang Intensive care Unit Rumah Sakit X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Untuk meningkatkan pengetahuan tentang situation awareness pada perawat di
ruang ICU.
2) Untuk meningkatkan pengetahuan tentang patient safety pada perawat di ruang ICU.
3) Untuk mendata faktor-faktor negatif yang mempengaruhi perawat dalam
menerapkan situation awareness.
4) Untuk membuat perawat terampil dalam melakukan pelakasanaan patient safety
pada pasien di ruang ICU Rumah Sakit X.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
1) Bagi keilmuan keperawatan. Diharapkan hasil ini dapat menjadi dasar
pengembangan ilmu keperawatan selanjutnya, terlebih dalam peningkatan situation
awareness perawat dalam pelaksanaan patient safety
1.4.2 Manfaat praktis
1) Bagi perawat. Perawat mendapat pengetahuan baru mengenai situation awareness
yang dapat digunakan untuk pelaksanaan patient safety di ruang ICU
2) Bagi Institusi. Sebagai masukan pada bagian yang berwenang untuk melanjutkan
promosi peningkatan situation awareness pada perawat dalam pelaksanaan patient
safety di ruangan lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Intensive care Unit
2.1.1 Definisi Intensive care
Unit perawatan intensif (ICU) adalah suatu sistem terorganisir untuk penyediaan
perawatan bagi pasien sakit kritis yang memberikan perawatan medis dan keperawatan
intensif dan spesialis, pemantaun ketat, dan berbagai modalitas dukungan organ
fisiologis untuk mempertahankan kehidupan selama periode tertentu. Meskipun ICU
berbasis di wilayah geografis tertentu di sebuah rumah sakit, aktivitasnya seringkali
melampaui dinding ruang fisik hingga mencakup unit gawat darurat, bangsal rumah
sakit, dan klinik tindak lanjut. sistem layanan kesehatan tertentu yang dapat bervariasi
bergantung pada sumber daya yang tersedia dan pendekatan terhadap layanan (Al-
Moteri, 2023).
2.1.2 Faktor yang mempengaruhii pelayanan ruang ICU
Faktor-faktor yang membuat perawatan klinis menjadi intensif dan yang
membedakan dari penyediaan layanan lain dapat diklasifikasikan menjadi 5 domain:
2.1.2.1 Ruang Fisik
Meskipun perawatan kritis semakin banyak diberikan di luar batas ruang ICU,
keberadaan lokasi geografis tertentu di dalam rumah sakit atau pusat kesehatan di mana
pasien yang paling sakit dapat dirawat merupakan inti dari definisi ICU. Ruang fisik
yang terpisah memungkinkan konsentrasi, teknologi serta keahlian secara efisien
sehingga semua pasien mendapatkan manfaat maksimal (Christensen & Liang, 2023).
Ruang fisik ICU harus cukup luas untuk menampung jumlah tempat tidur ICU
yang diinginkan dengan nyaman. Setiap tempat tidur memerlukan akses dari semua sisi
untuk memungkinkan penilaian dan pengobatan pasien serta penerapan tindakan
pengendalian infeksi yang efektif dan andal. Idealnya, setiap pasien harus dirawat di
kamar dengan satu tempat tidur. Setiap ruangan harus memiliki wastafel dan
menggabungkan fitur desain untuk mengakomodasi dan menyediakan akses mudah ke
perangkat pendukung seperti ventilator dan mesin dialisis, serta monitor. Oksigen dan
sistem pengisapan, sebaiknya dari sistem yang terpasang, harus tersedia, dan sumber
cahaya alami juga diperlukan. Tempat tidur dan ruangan individu harus diatur
sedemikian rupa sehingga terlihat dari pusat perawatan dan, jika memungkinkan, harus
memiliki ruang yang cukup untuk memungkinkan anggota keluarga mengunjungi dan
bahkan berpartisipasi dalam perawatan pasien. ICU idealnya memiliki satu atau lebih
ruang bertekanan negatif, dengan kapasitas untuk mengisolasi pasien dengan infeksi
yang ditularkan melalui udara. Area terpisah harus tersedia untuk mencampur dan
mengeluarkan obat serta untuk membersihkan dan menyimpan perangkat bekas seperti
bronkoskop dan sirkuit ventilator.
Stasioner keperawatan pusat harus mereproduksi data dari monitor pasien secara
individual. Kapasitas untuk mencatat dan menafsirkan data pasien dari waktu ke waktu
harus tersedia, baik dalam bentuk catatan kertas atau elektronik. Idealnya, beberapa
stasiun komputer harus tersedia untuk menyediakan akses ke rekam medis elektronik,
serta untuk memfasilitasi
komunikasi dan mengizinkan akses ke database bibliografi. Satu atau lebih ruang
seminar dan fasilitas tidur untuk staf jaga harus tersedia dekat dengan ICU. Yang
terakhir, ruang tunggu untuk anggota keluarga dan ruangan yang tenang di mana
informasi terbaru tentang pasien dapat diberikan kepada keluarga dan orang-orang
terkasih merupakan inti dari komunikasi ICU yang efektif (Hasandoost et al., 2020).
2.1.2.2 dukungan teknologi dan pemantauan
Kemampuan untuk melakukan pemantauan terus menerus terhadap status
fisiologis pasien merupakan faktor kunci yang membedakan perawatan intensif dari
perawatan rumah sakit berbasis bangsal. Pemantauan mungkin bersifat noninvasif
(saturasi oksigen transkutan, pemantauan noninvasif terhadap denyut jantung dan
tekanan darah, atau pemantauan elektrokardiogram atau elektroensefalogram
berkelanjutan) atau invasif (pemantauan hemodinamik, pemantauan tekanan
intrakranial) (Christensen & Liang, 2023). Data harus terus ditampilkan sehingga
mudah diakses oleh semua pihak yang terlibat dalam merawat pasien, dan dicatat
sehinggadokter dapat memantau tren dan memberikan respons yang tepat.
Dukungan pernapasan yang tersedia di ICU dapat berkisar dari oksigen
tambahan yang diberikan melalui masker atau sistem oksigen aliran tinggi hingga mode
ventilasi mekanis konvensional dan nonkonvensional; di beberapa ICU, hal ini
mungkin termasuk oksigenasi membran ekstrakorporeal (ECMO) atau pembuangan
karbon dioksida. Dukungan hemodinamik sebagian besar bersifat farmakologis dan
dipandu oleh data yang dihasilkan dari pemantauan parameter hemodinamik secara
terus menerus; mode dukungan tambahan termasuk pacu jantung, dukungan jantung
mekanis dengan counterpulsation balon intraaortik atau alat bantu ventrikel, dan ECMO
untuk memberikan oksigenasi jaringan. Dukungan ginjal dalam bentuk terapi
penggantian ginjal intermiten atau terus menerus biasanya diperlukan, begitu pula
dukungan nutrisi yang diberikan secara enteral menggunakan selang makanan atau
secara parenteral. Terdapat kebutuhan berkelanjutan untuk menghilangkan rasa sakit
dan kecemasan serta untuk mencegah dan mengobati keadaan umum dari delirium.
Kemampuan pemantauan dan dukungan spesifik dari ICU tertentu akan bergantung
pada sumber daya yang tersedia dan sifat dari populasi pasien yang dilayani di rumah
sakit dengan ICU subspesialisasi, ICU bedah saraf akan terlihat berbeda dari unit luka
bakar atau ICU khusus transplantasi (Patient Safety, n.d.).
2.1.2.3 Sumber Daya Manusia
Tim klinis yang memberikan perawatan di ICU berkualifikasi khusus,
interdisipliner, dan interprofesional. Perawatan yang diberikan lebih intensif
dibandingkan dengan perawatan di ruang bangsal karena adanya interaksi yang lebih
intens dan cepat antara anggota tim dan pasien yang sakit kritis. Idealnya, anggota tim
medis dan keperawatan mempunyai kualifikasi khusus tingkat lanjut dalam pengobatan
perawatan intensif, serta pengalaman yang luas dalam merawat orang yang sakit kritis
(Christensen & Liang, 2023). Selain dokter dan perawat, anggota tim dapat mencakup
praktisi perawat, terapis pernapasan yang mengelola ventilator mekanis, fisioterapis
yang mendukung mobilitas dan rehabilitasi, ahli gizi yang ahli dalam kebutuhan nutrisi
enteral dan parenteral pada populasi pasien yang kompleks, dan apoteker dengan
keahlian khusus dalam interaksi obat-obat dan dosis optimal pada pasien sakit kritis,
pekerja sosial yang dapat mendukung kebutuhan pasien dan keluarga, dan banyak
lainnya termasuk ahli mikrobiologi untuk membantu diagnosis dan pengelolaan infeksi
dan personel perawatan spiritual untuk mendukung pasien dan keluarga selama masa
krisis (Lachman et al., 2022).
Ketajaman pasien mengharuskan staf medis segera siap menangani keadaan
darurat dan membuat banyak keputusan dalam situasi klinis yang berubah dengan
cepat. Bahkan pada saat lebih banyak staf medis tersedia, penting untuk membatasi
jumlah pasien yang menjadi tanggung jawab setiap dokter sehingga perhatian yang
memadai dapat diberikan terhadap kebutuhan masing-masing dokter. Asuhan
keperawatan berkelanjutan juga penting, dan diberikan dengan rasio perawat per-pasien
yang lebih tinggi dibandingkan di tempat lain di rumah sakit, dan sesuai dengan
kebutuhan pasien tertentu saat ini. Rasio optimal juga akan ditentukan oleh
ketersediaan personel pendukung lainnya termasuk asisten perawat dan ahli terapi
pernapasan. Rasio perawat dan pasien, di beberapa yurisdiksi, mungkin ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan atau kontrak kerja (Christensen & Liang, 2023).
Koordinasi tim interdisipliner yang besar memerlukan struktur administratif
yang dipikirkan dengan matang dengan direktur medis yang ditunjuk serta direktur
keperawatan yang akan mengoordinasikan kebutuhan staf dan perawatan serta
menetapkan kebijakan dan prioritas untuk perawatan pasien yang berkelanjutan.
2.1.2.4 Layanan Perawatan Kritis
ICU juga ditentukan oleh layanan yang diberikannya di luar tuntutan langsung
perawatan pasien secara individu. Di dalam rumah sakit, ICU menyediakan kapasitas
untuk merawat pasien yang sangat tidak stabil untuk mengevaluasi, melakukan
resusitasi, dan mendukung pasien dengan menggunakan fasilitas tercanggih yang dapat
disediakan oleh rumah sakit. Praktisi perawatan kritis memperoleh keahlian yang besar
dalam mendukung pasien dan keluarga mereka melalui proses kematian dan keadaan
sekarat ketika sudah jelas bahwa melanjutkan perawatan intensif tidak lebih dari
sekedar memperpanjang proses kematian, dan keterampilan ini sering kali
dimanfaatkan tidak hanya selama proses kematian. proses kematian tetapi juga dalam
diskusi awal untuk memperjelas keinginan dan perspektif pasien di akhir hidup atau
dalam menghadapi risiko kematian yang signifikan.
2.1.2.5 Penelitian, Pendidikan, dan Peningkatan Kualitas
ICU dalam tugas fungsional, seperti komponen khusus lainnya dalam sistem
layanan kesehatan, mempunyai kewajiban untuk terus meningkatkan layanan pasien
berdasarkan evaluasi berkelanjutan terhadap kekurangan layanan yang disediakan dan
perubahan basis pengetahuan yang memberikan informasi mengenai layanan terbaik.
Sejauh mana ICU dapat terlibat dalam peningkatan kualitas, penelitian, dan pendidikan
akan bervariasi. Meskipun demikian, keterlibatan dalam proses-proses ini harus
menjadi tujuan aspirasional semua ICU karena hal ini pasti akan menghasilkan
perawatan pasien yang lebih baik dan hasil klinis yang lebih baik (Christensen & Liang,
2023).

2.2 Patient Safety


2.2.1 Definisi
Patient safety adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman,
meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengeloaan resiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya di ambil (HSE, 2019).
2.2.2 Kelompok Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran Keselamatan Pasien wajib diterapkan di rumah sakit untuk mencegah
terjadinya insiden keselamatan pasien serta meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Tujuan SKP adalah untuk mendorong rumah sakit melakukan perbaikan-perbaikan
yang menunjang tercapainya keselamatan pasien (World Health Organization, 2021).
Sasaran sasaran dalam SKP menyoroti bidang-bidang yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan, memberikan bukti dan solusi hasil konsensus yang berdasarkan
nasihat para pakar serta penelitian berbasis bukti.
Di Indonesia secara nasional untuk seluruh Fasilitas pelayanan Kesehatan,
diberlakukan Sasaran Keselamatan Pasien Nasional yang terdiri dari:
2.2.2.1 Sasaran 1 Mengidentifikasi pasien dengan benar
a. Standar SKP 1
Rumah sakit menerapkan proses untuk menjamin ketepatan identifikasi pasien
b. Maksud dan Tujuan SKP 1
Kesalahan mengidentifikasi pasien dapat terjadi di semua aspek pelayanan baik
diagnosis, proses pengobatan serta tindakan. Misalnya saat keadaan pasien masih
dibius, mengalami disorientasi atau belum sepenuhnya sadar; adanya kemungkinan
pindah tempat tidur, pindah kamar, atau pindah lokasi di dalam rumah sakit; atau
apabila pasien memiliki cacat indra atau rentan terhadap situasi berbeda.
Adapun tujuan dari identifikasi pasien secara benar ini adalah:
1. mengidentifikasi pasien sebagai individu yang akan diberi layanan, tindakan atau
pengobatan tertentu secara tepat.
2. mencocokkan layanan atau perawatan yang akan diberikan dengan pasien yang akan
menerima layanan
Identifikasi pasien dilakukan setidaknya menggunakan minimal 2 (dua) identitas yaitu
nama lengkap dan tanggal lahir/bar code, dan tidak termasuk nomor kamar atau lokasi
pasien agar tepat pasien dan tepat pelayanan sesuai dengan regulasi rumah sakit.
Pasien diidentifikasi menggunakan minimal dua jenis identitas pada saat:
1. Melakukan tindakan intervensi/terapi (misalnya pemberian obat, pemberian darah
atau produk darah, melakukan terapi radiasi);
2. Melakukan tindakan (misalnya memasang jalur intravena atau hemodialisis);
3. Sebelum tindakan diagnostik apa pun (misalnya mengambil darah dan spesimen
lain untuk pemeriksaan laboratorium penunjang, atau sebelum melakukan
kateterisasi jantung ataupun tindakan radiologi diagnostik); dan
4. Menyajikan makanan pasien.
Rumah sakit memastikan pasien teridentifikasi dengan tepat pada situasi khusus,
seperti pada pasien koma atau pada bayi baru lahir yang tidak segera diberi nama
serta identifikasi pasien pada saat terjadi darurat bencana.
Penggunaan dua identitas juga digunakan dalam pelabelan. misalnya, sampel darah
dan sampel patologi, nampan makanan pasien, label ASI yang disimpan untuk bayi
yang dirawat di rumah sakit.
c. Elemen Penilaian SKP 1
1. Rumah sakit telah menetapkan regulasi terkait Sasaran keselamatan pasien
meliputi poin 1 – 6 pada gambaran umum.
2. Rumah sakit telah menerapkan proses identifikasi pasien menggunakan minimal
2 (dua) identitas, dapat memenuhi tujuan identifikasi pasien dan sesuai dengan
ketentuan rumah sakit.
3. Pasien telah diidentifikasi menggunakan minimal dua jenis identitas meliputi poin
1) - 4) dalam maksud dan tujuan.
4. Rumah sakit memastikan pasien teridentifikasi dengan tepat pada situasi khusus,
dan penggunaan label seperti tercantum dalam maksud dan tujuan.
2.2.2.2 Sasaran 2 meningkatkan komunikasi yang efektif
a. Standar SKP 2
Rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan efektivitas komunikasi lisan
dan/atau telepon di antara para profesional pemberi asuhan (PPA), proses pelaporan
hasil kritis pada pemeriksaan diagnostic termasuk POCT dan proses komunikasi saat
serah terima (hand over).
b. Maksud dan tujuan SKP 2
Komunikasi efektif adalah komunikasi yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan
dipahami oleh resipien/penerima pesan akan mengurangi potensi terjadinya kesalahan
serta meningkatkan keselamatan pasien. Komunikasi dapat dilakukan secara lisan,
tertulis dan elektronik.
Komunikasi yang paling banyak memiliki potensi terjadinya kesalahan adalah
pemberian instruksi secara lisan atau melalui telpon, pelaporan hasil kritis dan saat
serah terima.. Latar belakang suara, gangguan, nama obat yang mirip dan istilah yang
tidak umum sering kali menjadi masalah.
Metode, formulir dan alat bantu ditetapkan sesuai dengan jenis komunikasi agar dapat
dilakukan secara konsisten dan lengkap.
1. Metode komunikasi saat menerima instruksi melalui telpon adalah:
“menulis/menginput ke komputer - membacakan - konfirmasi kembali” (writedown,
read back, confirmation) kepada pemberi instruksi misalnya kepada DPJP. Konfirmasi
harus dilakukan saat itu juga melalui telpon untuk menanyakan apakah “yang
dibacakan” sudah sesuai dengan instruksi yang diberikan. Sedangkan metode
komunikasi saat melaporkan kondisi pasien kepada DPJP dapat menggunakan metode
misalnya Situation -background - assessment - recommendation (SBAR).
2. Metode komunikasi saat melaporkan nilai kritis pemeriksaan diagnostik melalui telpon
juga dapat dengan: “menulis/menginput ke komputer - membacakan - konfirmasi
kembali” (writedown, read back). Hasil kritis didefinisikan sebagai varian dari rentang
normal yang menunjukkan adanya kondisi patofisiologis yang berisiko tinggi atau
mengancam nyawa, yang dianggap gawat atau darurat, dan mungkin memerlukan
tindakan medis segera untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah kejadian yang tidak
diinginkan. Hasil kritis dapat dijumpai pada pemeriksaan pasien rawat jalan maupun
rawat inap. Rumah sakit menentukan mekanisme pelaporan hasil kritis di rawat jalan
dan rawat inap. Pemeriksaan diagnostik mencakup semua pemeriksaan seperti
laboratorium, pencitraan/radiologi, diagnostik jantung juga pada hasil pemeriksaan
yang dilakukan di tempat tidur pasien (point-of-care testing (POCT). Pada pasien rawat
inap pelaporan hasil kritis dapat dilaporkan melalui perawat yang akan meneruskan
laporan kepada DPJP yang meminta pemeriksaan. Rentang waktu pelaporan hasil kritis
ditentukan kurang dari 30 menit sejak hasil di verifikasi oleh PPA yang berwenang di
unit pemeriksaan penunjang diagnostik.
3. Metode komunikasi saat serah terima distandardisasi pada jenis serah terima yang sama
misalnya serah terima antar ruangan di rawat inap. Untuk jenis serah terima yang
berbeda maka dapat menggunakan metode, formulir dan alat yang berbeda. Misalnya
serah terima dari IGD ke ruang rawat inap dapat berbeda dengan serah terima dari
kamar operasi ke unit intensif;
Jenis serah terima (handover) di dalam rumah sakit dapat mencakup:
1. antara PPA (misalnya, antar dokter, dari dokter ke perawat, antar perawat, dan
seterusnya);
2. antara unit perawatan yang berbeda di dalam rumah sakit (misalnya saat pasien
dipindahkan dari ruang perawatan intensif ke ruang perawatan atau dari instalasi
gawat darurat ke ruang operasi); dan
3. dari ruang perawatan pasien ke unit layanan diagnostik seperti radiologi atau
fisioterapi.
Formulir serah terima antara PPA, tidak perlu dimasukkan ke dalam rekam medis.
Namun demikian, rumah sakit harus memastikan bahwa proses serah terima telah
dilakukan. misalnya PPA mencatat serah terima telah dilakukan dan kepada siapa
tanggung jawab pelayanan diserahterimakan, kemudian dapat dibubuhkan tanda
tangan, tanggal dan waktu pencatatan).
c. Elemen Penilian SKP 2
1. Rumah sakit telah menerapkan komunikasi saat menerima instruksi melalui telepon:
menulis/menginput ke komputer - membacakan - konfirmasi kembali” (writedown,
read back, confirmation dan SBAR saat melaporkan kondisi pasien kepada DPJP serta
di dokumentasikan dalam rekam medik
2. Rumah sakit telah menerapkan komunikasi saat pelaporan hasil kritis pemeriksaan
penunjang diagnostic melalui telepon: menulis/menginput ke komputer – membacakan
– konfirmasi kembali” (writedown, read back, confirmation dan di dokumentasikan
dalam rekam medik.
3. Rumah sakit telah menerapkan komunikasi saat serah terima sesuai dengan jenis serah
terima meliputi poin 1) - 3) dalam maksud dan tujuan.
2.2.2.3 Sasaran 3 meningktakan kemanaan obat-obatan yang perlu diwaspadai
a. Standar SKP 3
Rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan keamanan penggunaan obat yang
memerlukan kewaspadaan tinggi (high alert medication) termasuk obat Look - Alike
Sound Alike (LASA).
b. Standar SKP 3.1
Rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan keamanan penggunaan elektrolit
konsentrat.
c. Maksud dan Tujuan SKP 3 dan SKP 3.1
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat-obatan yang
memiliki risiko menyebabkan cedera serius pada pasien jika digunakan dengan tidak
tepat.
Obat high alert mencakup:
1. Obat risiko tinggi, yaitu obat dengan zat aktif yang dapat menimbulkan kematian
atau kecacatan bila terjadi kesalahan (error) dalam penggunaannya (contoh:
insulin, heparin atau sitostatika).
2. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan
Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
3. Elektrolit konsentrat contoh: kalium klorida dengan konsentrasi sama atau lebih
dari 1 mEq/ml, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9% dan magnesium
sulfat injeksi dengan konsentrasi sama atau lebih dari 50%.
Rumah sakit harus menetapkan dan menerapkan strategi untuk mengurangi risiko
dan cedera akibat kesalahan penggunaan obat high alert, antara lain: penataan
penyimpanan, pelabelan yang jelas, penerapan double checking, pembatasan akses,
penerapan panduan penggunaan obat high alert. Rumah sakit perlu membuat daftar
obat-obatan berisiko tinggi berdasarkan pola penggunaan obat-obatan yang berisiko
dari data internalnya sendiri tentang laporan inisiden keselamatan pasien. Daftar ini
sebaiknya diperbarui setiap tahun. Daftar ini dapat diperbarui secara sementara jika ada
penambahan atau perubahan pada layanan rumah sakit.
Obat dengan nama dan rupa yang mirip (look-alike/sound-alike, LASA) adalah
obat yang memiliki tampilan dan nama yang serupa dengan obat lain, baik saat ditulis
maupun diucapkan secara lisan. Obat dengan kemasan serupa (look-alike packaging)
adalah obat dengan wadah atau kemasan yang mirip dengan obat lainnya. Obat-obatan
yang berisiko terjadinya kesalahan terkait LASA, atau obat dengan kemasan produk
yang serupa, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pengobatan yang berpotensi
cedera. Terdapat banyak nama obat yang terdengar serupa dengan nama obat lainnya,
sebagai contoh, dopamin dan dobutamine. Penyimpanan elektrolit konsentrat di luar
Instalasi Farmasi diperbolehkan hanya dalam situasi klinis yang berisiko dan harus
memenuhi persyaratan yaitu staf yang dapat mengakes dan memberikan elektrolit
konsentrat adalah staf yang kompeten dan terlatih, disimpan terpisah dari obat lain,
diberikan pelabelan secara jelas, lengkap dengan peringatan kewaspadaan.
d. Elemen Penilaian SKP 3
1. Rumah sakit menetapkan daftar obat kewaspadaan tinggi (High Alert) termasuk
obat Look -Alike Sound Alike (LASA).
2. Rumah sakit menerapkan pengelolaan obat kewaspadaan tinggi (High Alert)
termasuk obat Look -Alike Sound Alike (LASA) secara seragam di seluruh area
rumah sakit untuk mengurangi risiko dan cedera.
3. Rumah sakit mengevaluasi dan memperbaharui daftar obat High-Alert dan obat
Look -Alike Sound Alike (LASA) yang sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali
berdasarkan laporan insiden lokal, nasional dan internasional
e. Elemen Penilaian SKP 3.1
1. Rumah sakit menerapkan proses penyimpanan elektrolit konsentrat tertentu hanya di
Instalasi Farmasi, kecuali di unit pelayanan dengan pertimbangan klinis untuk
mengurangi risiko dan cedera pada penggunaan elektrolit konsentrat.
2. Penyimpanan elektrolit konsentrat di luar Instalasi Farmasi diperbolehkan hanya
dalam untuk situasi yang ditentukan sesuai dalam maksud dan tujuan.
3. Rumah sakit menetapkan dan menerapkan protokol koreksi hipokalemia,
hiponatremia, hipofosfatemia.
2.2.2.4 Sasaran 4 memastikan sisi yang benar, prosedur yang benar, pasien yang benar
pada pembedahan/atau tindakan infasif.
a. Standar SKP 4
Rumah sakit menetapkan proses untuk melaksanakan verifikasi pra opearsi, penandaan
lokasi operasi dan proses time-out yang dilaksanakan sesaat sebelum tindakan
pembedahan/invasif dimulai serta proses sign-out yang dilakukan setelah tindakan
selesai.
b. Maksud dan Tujuan SKP 4
Salah-sisi, salah-prosedur, salah-pasien operasi, adalah kejadian yang
mengkhawatirkan dan dapat terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini terjadi akibat adanya
komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurangnya
keterlibatan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), serta tidak adanya
prosedur untuk memverifikasi sisi operasi. Rumah sakit memerlukan upaya kolaboratif
untuk mengembangkan proses dalam mengeliminasi masalah ini.
Tindakan operasi dan invasif meliputi semua tindakan yang melibatkan insisi atau
pungsi, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, operasi terbuka, aspirasi perkutan, injeksi
obat tertentu, biopsi, tindakan intervensi atau diagnostik vaskuler dan kardiak perkutan,
laparoskopi, dan endoskopi. Rumah sakit perlu mengidentifikasi semua area di rumah
sakit mana operasi dan tindakan invasif dilakukan. Protokol umum (universal protocol)
untuk pencegahan salah sisi, salah prosedur dan salah pasien pembedahan meliputi:
1. Proses verifikasi sebelum operasi
2. Penandaan sisi operasi
3. Time-out dilakukan sesaat sebelum memulai tindakan
c. Proses Verifikasi Praoperasi
Verifikasi praoperasi merupakan proses pengumpulan informasi dan konfirmasi secara
terus-menerus. Tujuan dari proses verifikasi praoperasi adalah:
1. Melakukan verifikasi terhadap sisi yang benar, prosedur yang benar dan pasien
yang benar;
2. Memastikan bahwa semua dokumen, foto hasil radiologi atau pencitraan, dan
pemeriksaan yang terkait operasi telah tersedia, sudah diberi label dan di siapkan;
3. melakukan verifikasi bahwa produk darah, peralatan medis khusus dan/atau implan
yang diperlukan sudah tersedia.
Di dalam proses verifikasi praoperasi terdapat beberapa elemen yang dapat
dilengkapi sebelum pasien tiba di area praoperasi. seperti memastikan bahwa dokumen,
foto hasil radiologi, dan hasil pemeriksaan sudah tersedia, di beri label dan sesuai
dengan penanda identitas pasien. Menunggu sampai pada saat proses time-out untuk
melengkapi proses verifikasi praoperasi dapat menyebabkan penundaan yang tidak
perlu. Beberapa proses verifikasi praoperasi dapat dilakukan lebih dari sekali dan tidak
hanya di satu tempat saja. Misalnya persetujuan tindakan bedah dapat diambil di ruang
periksa dokter spesialis bedah dan verifikasi kelengkapannya dapat dilakukan di area
tunggu praoperasi.
d. Penandaan Lokasi
Penandaan sisi operasi dilakukan dengan melibatkan pasien serta dengan tanda
yang tidak memiliki arti ganda serta segera dapat dikenali. Tanda tersebut harus
digunakan secara konsisten di dalam rumah sakit; dan harus dibuat oleh PPA yang akan
melakukan tindakan; harus dibuat saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan,
dan harus terlihat sampai pasien disiapkan. Penandaan sisi operasi hanya ditandai pada
semua kasus yang memiliki dua sisi kiri dan kanan (lateralisasi), struktur multipel (jari
tangan, jari kaki, lesi), atau multiple level (tulang belakang). Penandaan lokasi operasi
harus melibatkan pasien dan dilakukan dengan tanda yang langsung dapat dikenali dan
tidak bermakna ganda. Tanda “X” tidak digunakan sebagai penanda karena dapat
diartikan sebagai “bukan di sini” atau “salah sisi” serta dapat berpotensi menyebabkan
kesalahan dalam penandaan lokasi operasi. Tanda yang dibuat harus seragam dan
konsisten digunakan di rumah sakit. Dalam semua kasus yang melibatkan lateralitas,
struktur ganda (jari tangan, jari kaki, lesi), atau tingkatan berlapis (tulang belakang),
lokasi operasi harus ditandai.
Penandaan lokasi tindakan operasi/invasif dilakukan oleh PPA yang akan
melakukan tindakan tersebut. PPA tersebut akan melakukan seluruh prosedur
operasi/invasif dan tetap berada dengan pasien selama tindakan berlangsung. Pada
tindakan operasi, DPJP bedah pada umumnya yang akan melakukan operasi dan
kemudian melakukan penandaan lokasi.. Untuk tindakan invasif non-operasi,
penandaan dapat dilakukan oleh dokter yang akan melakukan tindakan, dan dapat
dilakukan di area di luar area kamar operasi. Terdapat situasi di mana peserta didik
(trainee) dapat melakukan penandaan lokasi, misalnya ketika peserta didik akan
melakukan keseluruhan tindakan, tidak memerlukan supervisi atau memerlukan
supervisi minimal dari operator/dokter penanggung jawab. Pada situasi tersebut, peserta
didik dapat menandai lokasi operasi. Ketika seorang peserta didik menjadi asisten dari
operator/dokter penanggung jawab, hanya operator/dokter penanggung jawab yang
dapat melakukan penandaan lokasi. Penandaan lokasi dapat terjadi kapan saja sebelum
tindakan operasi/invasif selama pasien terlibat secara aktif dalam proses penandaan
lokasi jika memungkinkan dan tanda tersebut harus tetap dapat terlihat walaupun
setelah pasien dipersiapkan dan telah ditutup kain. Contoh keadaan di mana partisipasi
pasien tidak memungkinkan meliputi : kasus di mana pasien tidak kompeten untuk
membuat keputusan perawatan, pasien anak, dan pasien yang memerlukan operasi
darurat.
e. Time-Out
Time-out dilakukan sesaat sebelum tindakan dimulai dan dihadiri semua anggota tim
yang akan melaksanakan tindakan operasi. Selama time-out, tim menyetujui komponen
sebagai berikut:
1. Benar Identitas pasien
2. Benar prosedur yang akan dilakukan
3. Benar sisi operasi/tindakan invasif
Time-out dilakukan di tempat di mana tindakan akan dilakukan dan melibatkan secara
aktif seluruh tim bedah. Pasien tidak berpartisipasi dalam time-out. Keseluruhan proses
time-out didokumentasikan dan meliputi tanggal serta jam time-out selesai. Rumah
sakit menentukan bagaimana proses time-out didokumentasikan.
f. Sign-Out
Sign out yang dilakukan di area tempat tindakan berlangsung sebelum pasien
meninggalkan ruangan. Pada umumnya, perawat sebagai anggota tim melakukan
konfirmasi secara lisan untuk komponen sign-out sebagai berikut:
1. Nama Tindakan operasi/invasife yang dicatat/ditulis
2. Kelengkapan perhitungan instrumen, kasa dan jarum (bila ada).
3. Pelabelan specimen (Ketika terdapat specimen selama proses sign-out, label
dbacakan dengan jelas, meliputi nama pasien, tanggal lahir)
4. Masalah peralatan yang perlu ditangani (bila ada)
g. Elemen Penilaian SKP 4
1. Rumah sakit telah melaksanakan proses verifikasi pra operasi dengan daftar tilik
untuk memastikan benar pasien, benar tindakan dan benar sisi.
2. Rumah sakit telah menetapkan dan menerapkan tanda yang seragam, mudah
dikenali dan tidak bermakna ganda untuk mengidentifikasi sisi operasi atau
tindakan invasif.
3. Rumah sakit telah menerapkan penandaan sisi operasi atau tindakan invasif (site
marking) dilakukan oleh dokter operator/dokter asisten yang melakukan operasi
atau tindakan invasif dengan melibatkan pasien bila memungkinkan.
4. Rumah sakit telah menerapkan proses Time-Out menggunakan “surgical check list”
(Surgical Safety Checklist dari WHO terkini pada tindakan operasi termasuk
tindakan medis invasif).
2.2.2.5 Sasaran 5 mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan
a. Standar SKP 5
Rumah sakit menerapkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk menurunkan risiko
infeksi terkait layanan kesehatan.
b. Maksud dan Tujuan SKP 5
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam tatanan
pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan
dengan pelayanan kesehatan merupakan hal yang sangat membebani pasien serta
profesional pemberi asuhan (PPA) pada pelayanan kesehatan. Infeksi umumnya
dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih-
terkait kateter, infeksi aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali
dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Kegiatan utama dari upaya eliminasi infeksi
ini maupun infeksi lainnya adalah dengan melakukan tindakan cuci tangan (hand
hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene yang berlaku secara internasional dapat
diperoleh di situs web WHO. Rumah sakit harus memiliki proses kolaboratif untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi
pedoman hand hygiene yang diterima secara luas untuk implementasinya di rumah
sakit.
c. Elemen Penilaian SKP 5
1. Rumah sakit telah menerapkan kebersihan tangan (hand hygiene) yang mengacu
pada standar WHO terkini.
2. Terdapat proses evaluasi terhadap pelaksanaan program kebersihan tangan di rumah
sakit serta upaya perbaikan yang dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan
program.
2.2.2.6 Sasaran 6 mengurangi risiko cedera pasien akibat jatuh
a. Standar SKP 6
Rumah sakit menerapkan proses untuk mengurangi risiko cedera pasien akibat jatuh di
rawat jalan.
b. Standar SKP 6.1
Rumah sakit menerapkan proses untuk mengurangi risiko cedera pasien akibat jatuh di
rawat inap.
c. Maksud dan Tujuan SKP 6 dan 6.1
Risiko jatuh pada pasien rawat jalan berhubungan dengan kondisi pasien, situasi,
dan/atau lokasi di rumah sakit. Di unit rawat jalan, dilakukan skrining risiko jatuh pada
pasien dengan kondisi, diagnosis, situasi, dan/atau lokasi yang menyebabkan risiko
jatuh. Jika hasil skrining pasien berisiko jatuh, maka harus dilakukan intervensi untuk
mengurangi risiko jatuh pasien tersebut. Skrining risiko jatuh di rawat jalan meliputi:
1. kondisi pasien misalnya pasien geriatri, dizziness, vertigo, gangguan keseimbangan,
gangguan penglihatan, penggunaan obat, sedasi, status kesadaran dan atau kejiwaan,
konsumsi alkohol.
2. diagnosis, misalnya pasien dengan diagnosis penyakit Parkinson.
3. situasi misalnya pasien yang mendapatkan sedasi atau pasien dengan riwayat tirah
baring/perawatan yang lama yang akan dipindahkan untuk pemeriksaan penunjang
dari ambulans, perubahan posisi akan meningkatkan risiko jatuh.
4. lokasi misalnya area-area yang berisiko pasien jatuh, yaitu tangga, area yang
penerangannya kurang atau mempunyai unit pelayanan dengan peralatan parallel
bars, freestanding staircases seperti unit rehabilitasi medis. Ketika suatu lokasi
tertentu diidentifikasi sebagai area risiko tinggi yang lebih rumah sakit dapat
menentukan bahwa semua pasien yang mengunjungi lokasi tersebut akan dianggap
berisiko jatuh dan menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi risiko jatuh yang
berlaku untuk semua pasien.
Skrining umumnya berupa evaluasi sederhana meliputi pertanyaan dengan jawaban
sederhana: ya/tidak, atau metode lain meliputi pemberian nilai/skor untuk setiap
respons pasien. Rumah sakit dapat menentukan bagaimana proses skrining dilakukan.
Misalnya skrining dapat dilakukan oleh petugas registrasi, atau pasien dapat melakukan
skrining secara mandiri, seperti di anjungan mandiri untuk skrining di unit rawat jalan.
Contoh pertanyaan skrining sederhana dapat meliputi:
1. Apakah anda merasa tidak stabil ketika bediri atau berjalan?
2. Apakah anda khawatir akan jatuh?
3. Apakah anda pernah jatuh dalam setahun terakhir?
Rumah sakit dapat menentukan pasien rawat jalan mana yang akan dilakukan
skrining risiko jatuh. Misalnya, semua pasien di unit rehabilitasi medis, semua pasien
dalam perawatan lama/tirah baring lama datang dengan ambulans untuk pemeriksaan
rawat jalan, pasien yang dijadwalkan untuk operasi rawat jalan dengan tindakan
anestesi atau sedasi, pasien dengan gangguan keseimbangan, pasien dengan gangguan
penglihatan, pasien anak di bawah usia 2 (dua) tahun, dan seterusnya. Untuk semua
pasien rawat inap baik dewasa maupun anak harus dilakukan pengkajian risiko jatuh
menggunakan metode pengkajian yang baku sesuai ketentuan rumah sakit. Kriteria
risiko jatuh dan intervensi yang dilakukan harus didokumentasikan dalam rekam medis
pasien. Pasien yang sebelumnya risiko rendah jatuh dapat meningkat risikonya secara
mendadak menjadi risiko tinggi jatuh. Perubahan risiko ini dapat diakibatkan, namun
tidak terbatas pada tindakan pembedahan dan/atau anestesi, perubahan mendadak pada
kondisi pasien, dan penyesuaian obat-obatan yang diberikan sehingga pasien
memerlukan pengkajian ulang jatuh selama dirawat inap dan paska pembedahan.
d. Elemen Penilaian SKP 6
1. Rumah sakit telah melaksanakan skrining pasien rawat jalan pada kondisi, diagnosis,
situasi atau lokasi yang dapat menyebabkan pasien berisiko jatuh, dengan
menggunakan alat bantu/metode skrining yang ditetapkan rumah sakit.
2. Tindakan dan/atau intervensi dilakukan untuk mengurangi risiko jatuh pada pasien
jika hasil skrining menunjukkan adanya risiko jatuh dan hasil skrining serta
intervensi didokumentasikan.
e. Elemen Penilaian SKP 6.1
1. Rumah sakit telah melakukan pengkajian risiko jatuh untuk semua pasien rawat inap
baik dewasa maupun anak menggunakan metode pengkajian yang baku sesuai
dengan ketentuan rumah sakit.
2. Rumah sakit telah melaksanakan pengkajian ulang risiko jatuh pada pasien rawat
inap karena adanya perubahan kondisi, atau memang sudah mempunyai risiko jatuh
dari hasil pengkajian.
3. Tindakan dan/atau intervensi untuk mengurangi risiko jatuh pada pasien rawat inap
telah dilakukan dan didokumentasikan.

Untuk memaksimalkan implementasi sasaran keselamatan pasien, World Health


Organization (WHO) telah membuat 7 langkah dalam mewujudkan keselamatan pasien,
antara lain :
- Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
- Memimpin dan mendukung staf
- Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan riset
- Mengembangkan sistem pelaporan
- Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien
- Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
- Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien

2.3 Situation Awareness


2.3.1 Definisi
Perawat mewakili komponen terbesar dari tenaga kesehatan dan melakukan
tugas penting dalam penilaian dan pengawasan pasien untuk mendeteksi kesalahan dan
mencegah kejadian buruk (Al-Moteri, 2023). Hilangnya kesadaran situasional adalah
penyebab paling sering terjadinya kesalahan dalam tugas real-time dan dikaitkan
dengan kinerja yang buruk (Cohen, 2013). Untuk itu, perlu ada suatu startegi dalam
peningkatan kesadaran situasional perawat dalam melakukan pelayanan.
Situation awareness (SA) merupakan suatu persepsi dari elemen lingkungan
dengan lingkup jumlah ruang dan waktu, pemahaman dari situasi, dan proyeksi dari
status di masa depan (Fore et al., 1995). Dari pengertian tersebut, situation awareness
mempunyai 3 fase yaitu
Level 1 SA : Persepsi dari elemen lingkungan
Langkah pertama untuk menerima SA adalah mengerti tentang status, atribut, dan
dinimac yang berhubungan dengan elemen dari lingkungan. Seorang perawat mungkin
melihat unsur-unsur seperti hipotensi, takikardi, lesu, kulit demam, sesak, hematuri dan
lain sebagainya. Unsur unsur ini ditangkap oleh perawat, namun pada tahap ini belum
ada pemrosesan.
Level 2 SA : Pemahaman situasi
Berdasarkan elemen dari tingkat satu, pengambilan keputusan membentuk gambaran
holistic tentang lingkungan. Misalnya, perawat harus memahami unsur-unsur tertentu
seperti pasien demam pasca operasi dengan takikardia, takipnea, kemerahan pada lokasi
sayatan, kulit berbintik bitnik, oliguria, kemungkinan besar mengalami sepsis.
Level 3 SA : Kemampuan memproyeksikan tindakan di masa depan
Bagian ini merupakan level tertinggi dari situation awareness. Keputusan diambil atau
dibuat karena proyeksi pada waktu dekat setelah pemahaman hal yang terjadi. Perawat
perlu meramalkan apa yang kemungkinan besar terjadi berikutnya dan membuat
rencana yang sesuai.
2.3.2 Faktor Penyebab Kehilangan SA
Ada banyak faktor yang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap
keberhasilan SA. Faktor-faktor ini dapat dikaitkan dengan konteks situasi atau faktor
lingkungan, faktor individu, dan faktor pemrosesan kognitif tertentu yang menyebabkan
SA buruk (Morsy et al., 2021).
1) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang berdampak antara lain beban kerja, lingkungan yang
bising, kerja sama tim yang buruk, serta desain tempat dan peralatan kerja yang buruk.
Hal ini dapat meningkatkan tekanan pada kapasitas memori kerja dan mengakibatkan
pemindaian lingkungan yang buruk. Selain itu, gangguan dan interupsi merupakan
faktor yang sangat mengganggu pemeliharaan SA (Gluyas et al., 2019). Individu
sangat bergantung pada memori kerja untuk memproses informasi guna
mempertahankan SA. Sayangnya, memori kerja memiliki kapasitas penyimpanan
yang sangat terbatas dan kemampuan menyimpan informasi yang terbatas (Morsy et
al., 2021). Jadi interupsi dan gangguan menyebabkan pembusukan cepat informasi
yang ada dalam memori kerja karena digantikan dengan informasi sensorik yang telah
menarik perhatian dari gangguan atau interupsi tersebut.
2) Faktor Individu
Faktor individu seperti kecemasan, penyakit, kelelahan dan kejadian negative
dalam hidup juga dapat mempengaruhi kapasitas memori kerja. Selain itu,
pengalaman dan keterampilan dalam konteks di mana individu bekerja berdampak
langsung pada model mental yang tersedia dalam memori jangka panjang untuk
persepsi (isyarat apa yang harus diperhatikan), tahap pemahaman (pencocokan pola
untuk memahami apa yang terjadi). ) dan tahap proyeksi (memprediksi apa yang
mungkin terjadi)(Priambodo et al., 2022)
3) Faktor Kognitif
Dari perspektif kognitif, SA yang akurat bergantung pada kemampuan
individu memproses banyak informasi berbeda secara bersamaan. Masalah dengan
pemrosesan kognitif dapat muncul yang mencakup penerowongan atensi, keterbatasan
kapasitas, informasi yang berlebihan, dan kepekaan terhadap jenis kebisingan, cahaya,
dan warna tertentu (Endsley, 2012). Selain itu, kemampuan manusia untuk melakukan
tugas-tugas yang biasa dilakukan secara otomatis dengan sedikit perhatian kognitif
dapat mengakibatkan SA yang buruk, karena perubahan situasi tidak diperhatikan
(Endsley, 2012; Flin et al., 2008; Gluyas & Harris, 2016).

2.3.3 Program Meningkatkan SA


Prinsip dasar yang mendasari SA dan strategi untuk meningkatkan SA dapat
diajarkan kepada individu (Fore & Sculli, 2013). Hal ini mendorong individu untuk
meningkatkan keterampilan di bidang SA dan mengenali kondisi yang mungkin
mempengaruhi SA yang akurat. Banyak faktor organisasi dan sistem yang
melemahkan SA seperti beban kerja, peralatan yang tidak memadai atau dirancang
dengan buruk, dan kondisi kerja yang buruk mungkin berada di luar jangkauan
pengaruh individu terhadap perubahan. Namun, memahami pengaruh negatif dari
faktor organisasi, sistem, dan individu terhadap pengembangan dan pemeliharaan SA
dapat membantu individu untuk meningkatkan SA (Muething et al., 2013).
2.3.4 Penelitian Sebelumnya tentang Meningkatkan SA
Hasil telaah jurnal dari penelitian menunjukan bahwa terdapat pengeruh yang
siginfikan (p < 0.05) terhadap pelaksanaan patient safety pada penggunaan situation
awareness perawat di ruang ICU. Peneliti pada penelitian ini membentuk tim pelatihan
berdasarkan terkait dengan komunikasi SBAR untuk situasi patient safety. Pelatihan
diberikan melalui teori dan praktik. Pelatihan diberikan sebanyak 4 sesi dan dilakukan
selama 2 hari. Setiap harinya dilakukan 2 sesi dan 1 sesi dilaksanakan selama 2 jam.
Untuk pelatihan praktik dilakukan di ICU setelah proses pemberian teori dan dilakukan
sebanyak 12 bagian. Setiap partisipan menerima 24 sesi edukasi selama 12 hari (Sayed
et al, 2021).
Pelatihan untuk meningkatkan situation awarenss juga dilakukan pada
mahasiswa keperawatan terkait dengan patient safety. Partisipan pada penelitian adalah
mahasisnya Tingkat akhir pada universitas di Australia. Pelatihan terkait dengan
situation awarenss memberikan materi mengenai cara untuk membangun dan
mempertahankan situation awareness, faktor situasi dan organisasi yang dapat
mempengaruhi situation awareness dan mengarah kepada kesalahan, serta strategi yang
dapat meningkatkan situation awareness. Peneliti menggunakan video dan scenario
dalam pemecahan masalah. Setelah diberikan intervensi, aspek yang meningkat pada
partisipan ada pada bagian kerjasama tim profesional (p = 0.01), memahami manusia
dan faktor yang mempengaruhi (p = 0.07), menyadari kejadian buruk (p = 0.06), dan
meningkatnya keamanan (p = 0.009) (Stomski et al, 2018).
Penelitian lain terhadap mahasiswa keperawatan terkait dengan peningkatan
sitation awareness juga dilakukan dan memberikan dampak yang positif. Sebelum
melakukan penelitian, peneliti melakukan telaah terkait dengan topic, dan
mengembangkan konten dan dijadikan modul mengenai SBAR untuk patient safety.
Pelatihan yang dilakukan adalah pemberian materi terkait dengan SBAR situation
awareness dengan 4 sesi selama 4 minggu. Setiap sesinya dilakukan selama 180 menit.
Hasil menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok intervensi
dengan kelompok control (p = <0.001) (Morsy et al, 2019).
Pogram ini dibuat untuk memberikan penguatan bagi perawat ruang ICU dalam
memberikan pelayanan berfokus pada keselamatan pasien. Program ini dilaksanakan
dengan mengikuti berbagai seminar dan pelatihan. Seminar akan mencakup mengenai
masalah yang terjadi di ruang ICU yang dapat memberikan hasil yang buruk hingga
mengancam nyawa pasien. Pembahasan masalah yang terjadi adalah kesalahan
pemberian obat, komunikasi dan koordinasi yang lemah antara tenaga kesehatan,
kompetensi perawat yang rendah akibat jam kerja yang berlebih, cuci tangan, pelayanan
tidak sesuai SOP serta pencegahan terhadap resiko pasien jatuh. Seminar yang akan
diberikan akan berfokus terhadap pemberian pelayanan dengan patient safety.
Pelayanan akan mengutamakan keselamatan sehingga menurunkan kejadian kesalahan
dalam pemberian pelayanan. Penjelasan seminar berfokus pada program patient safety
yang telah menjadi target global dan telah disosialisasikan oleh WHO. Terdapat tujuh
framework strategi yang akan dipublikasin dan dijelaskan kepada perawat yaitu :
1. Make zero avoidable harm to patients a state of mind and a rule of engagement in
the planning and delivery of health care everywhere
2. Build high-reliability health systems and health organizations that protect patients
daily form harm
3. Assure the safety of every clinical process
4. Engage and empower patients and families to help and support the journey to
safer health care
5. Inspire, educate, skill and protect health workers to contribute to the design and
delivery of safe care systems
6. Ensure a constant flow of information and knowledge to drive the mitigation of
risk, a reduction in levels of avoidable harm, and improvements in the safety of
care
7. Develop and sustain multisectoral and multinational synergy, partnership and
solidarity to improve patient safety and quality of care
Framework tersebut akan dijelaskan satu strategi dalam satu pertemuan,
sehingga akan dilakukan tujuh kali seminar. Setelah itu, akan dilakukan pelatihan
terkait dengan 6 sasaran keselamatan pasien pada perawat ruang ICU. Setelah
dilakukan proses seminar dan pelatihan, perawat diharapkan mampu mengurangi angka
insiden keselamtan pasien dan menghindari terjadinya cedera hingga kematian pada
pasien. Hal ini diharapkan meningkatkan efektivitas, kualitas, dan dampak positif dari
layanan kesehatan yang mereka berikan kepada pasien, sejalan dengan tujuan
pelayanan rumah sakit.
Untuk dapat berjalan dengan kokoh, program ini akan mengikutsertakan
beberapa perawat ruang ICU agar dapat terlibat aktif dalam menyiapkan seminar dan
pelatihan. Saat proses seminar, perawat akan menyiapkan materi untuk melakukan
penjelasan saat proses seminar. Selain itu, aka nada proses interaktif tanya jawab
hingga perawat ruang ICU menjadi jelas terkait dengan patient safety (HSE, 2019).
2.4 Health Belief Model (HBM)
2.4.1 Definisi Health Belief Model
Health Belief Model (HBM) adalah suatu teori perilaku kesehatan yang
mengemukakan bahwa keputusan individu untuk melakukan tindakan kesehatan
dipengaruhi oleh 5 faktor yaitu persepsi terhadap keparahan penyakit, persepsi terhadap
kerentanan atau rentan terhadap penyakit, manfaat yang diharapkan dari perilaku
kesehatan, dan hambatan atau rintangan dalam melakukan perilaku kesehatan serta
kepercayaan diri .
HBM terbukti efektif dalam meningkatkan berbagai perilaku pencegahan
penyakit dan perilaku yang terdokumentasi dengan baik, meningkatkan kemungkinan
deteksi dini penyakit, dan implikasi dari setiap perubahan perilaku secara umum.
Dalam HBM, ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan individu untuk
melakukan tindakan kesehatan, yaitu:
1. Faktor sosial-ekonomi: Faktor ini meliputi pendapatan, pekerjaan, dan tingkat
pendidikan.
2. Faktor budaya dan agama: Faktor ini meliputi keyakinan budaya dan agama objek
tentang perilaku.
3. Faktor psikososial: Faktor ini meliputi dukungan sosial, stigma, dan kesehatan
mental.
4. Faktor pengetahuan dan informasi: Faktor ini meliputi pengetahuan dan informasi
yang diberikan kepada objek.

2.4.2 Komponen Health Belief Model


Health Belief Model digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku
kesehatan yang bersifat preventif, serta peran penyakit dan perilaku penyakit (Bayat,
et al., 2013). Menurut model ini, orang harus percaya bahwa bahkan tanpa adanya
gejala apapun, penyakit tersebut mungkin ada. Ketika orang menemukan diri mereka
berisiko terkena penyakit (perceived susceptibility) dan menyadari bahwa penyakit
tersebut memiliki konsekuensi potensial yang serius (perceived seriousness) dan
percaya bahwa pencegahan akan memberikan hasil yang positif (perceived benefits)
dan hambatan dari perilaku tersebut lebih sedikit daripada manfaat yang diperoleh
(perceived barriers) dan percaya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk
melakukan kegiatan perilaku kesehatan (self-efficacy), maka akan lebih
memungkinkan bagi mereka untuk melakukan perilaku tersebut (Masoudiyekta, et al.,
2018).

1. Perceived Susceptibility (kerentanan yang dirasakan)


Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko dari kondisi
kesehatannya. Di dalam kasus penyakit secara medis, dimensi tersebut meliputi
penerimaan terhadap hasil diagnosa, perkiraan pribadi terhadap adanya
resusceptibilily (timbul kepekaan kembali), dan susceptibilily (kepekaan) terhadap
penyakit secara umum.
2. Perceived Severity (keparahan yang dirasakan)
Perasaan mengenai keseriusan terhadap suatu penyakit, meliputikegiatan evaluasi
terhadap konsekuensi klinis dan medis (sebagai contoh, kematian, cacat, dan sakit)
dan konsekuensi sosial yang mungkin terjadi (seperti efek pada pekerjaan, kehidupan
keluarga, dan hubungan sosial). Banyak ahli yang menggabungkan kedua komponen
diatas sebagai ancaman yangdirasakan (perceived threat
Perceived Barriers (hambatan yang dirasakan)
Hambatan yang dirasakan untuk berubah, atau apabila individu menghadapi rintangan
yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Sebagai tambahan untuk empat
keyakinan (belief) atau persepsi. Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu
upaya kesehatan (seperti: ketidakpastian, efek samping), atau penghalang yang
dirasakan (seperti: khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang mungkin
berperan sebagai halangan untuk merekomendasikan suatu perilaku.
3. Perceived Benefits (manfaat yang dirasakan)
Penerimaan susceptibility sesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya dapat
menimbulkan keseriusan (perceived threat) adalah mendorong untuk menghasilkan
suatu kekuatan yang mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada
kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari berbagai upaya yang tersedia
dalammengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan-keuntungan yangdirasakan
(perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya Kesehatan tersebut. Ketika
seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan (susceptibility)
dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan untuk menerima apapun upaya
kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya tersebut dirasa manjur dan
cocok.
4. Self-efficacy (Kepercayaan diri)
Isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal maupun internal, misalnya pesan-
pesan pada media massa, nasihat atau anjuran kawan atau anggota keluarga lain,
aspek sosiodemografis misalnya tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal,
pengasuhan dan pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman, agama, suku,
keadaan ekonomi, sosial, dan budaya, self-efficacy yaitu keyakinan seseorang bahwa
dia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau menampilkan suatu perilaku
tertentu.
BAB III
RANCANGAN PROGRAM

3.1 Deskripsi Program


Promosi yang dirancang untuk perawat di ruang ICU Rumah Sakit X ini bertujuan
untuk menurunkan kesalahan yang terjadi dalam memberikan pelayanan dan
meningkatkan situation awareness perawat dalam pelaksanaan patient safety. Promosi ini
dilakukan dengan cara pemberian edukasi secara interaktif, dimana perawat di
ikutseratakan untuk memahami tentang situation awareness. Kegiatan yang dilakukan
berupa promosi menjelaskan tentang pentingnya menggukan situation awareness,
memberikan edukasi, serta melakukan metode simulasi dan dilakukan observasi oleh tim
promosi kesehatan.
3.2 Sasaran Program
Sasaran program ini adalah seluruh perawat pelaksana ruang intensive care unit di
Rumah Sakit X
3.3 Tempat/Lokasi Kegiatan
Program ini akan dilakukan sejak bulan januari 2024, dan dilakukan pengukuran
ulang pada bulan maret 2024. Proses pelaksanaan kegiatan dilakukan di Rumah Sakit x
Tabel 1. Rancangan Kegiatan
Kegiatan Waktu Tempat
Promosi Kesehatan 3 Januari 2024 Auditorium Rumah Sakit X
Pentingnya Situation
Awareness
Simulasi Situation 4 Januari 2024 Ruang ICU Rumah Sakit x
Awareness pada kasus
patient safety pre intervensi
Pengisian Kuesioner Pre 4 Januari 2024 Ruang ICU Rumah Sakit x
Intervensi
Pendidikan Kesehatan 5 Januari 2024 Auditorium Rumah Sakit x
Situation awareness
Simulasi Situation 6 Januari 2024 Ruang ICU Rumah Sakit x
Awareness pada kasus
patient safety post
intervensi
Pengisian Kuesioner post 6 Januari 2024 Ruang ICU Rumah Sakit x
intervensi
Pengisian Kuesioner 9 30 Maret 2024 Ruang ICU Rumah Sakit x
minggu Post Intervensi
3.3 Rincian Kegiatan
Kegiatan yang dilakukan adalah:
1. Promosi Kesehatan
2. Pendidikan kesehatan
3. Simulasi patient safety
3.4 Cara Melaksanakan Kegiatan
3.4.1 Promosi kesehatan
Sebelum memberikan materi, peneliti mengkaji masalah terkait dengan
patient safety dan melakukan promosi kesehetan melalui edukasi
menggunakan health belief model. Promosi dilakukan kepada perawat tentang
pentingnya meningkatan situation awareness untuk melaksanakan patient
safety
3.4.2 Proses Promosi Kesehatan
Kegiatan seminar dan pelatihan bagi perawat ruang IGD direncakan
untuk dilaksanakan selama satu bulan. Proses ini membutuhkan waktu yang
luas agar dapat memberikan pemahaman yang mendalam serta dapat
menerapkan pelatihan yang menyeluruh terkait berbagai tindakan yang akan
dilakukan perawat di ruang IGD. Setiap bulannya akan diadakan seminar
mulai dari masalah yang terjadi di IGD, framework strategi patient safety dari
WHO, serta enam sasaran keselamatan pasien. Selain seminar, pelatihan juga
akan diterapkan guna mengurangi insiden keselamatan pasien. Rencana jangka
panjang ini juga akan memberikan kesempatan terhadap perawat ruang IGD
untuk menerapkan pada pelayanan selama seminar dan pelatihan berlangsung,
sehingga proses kemajuan dan pemantauan dapat dilaksanakan. Pemberian
edukasi akan dialakukan 8 sesi selama satu bulan, 2 sesi selama satu minggu
dan dilaksanakan selama 90 menit setiap sesinya.
Pengamatan SA sebelum dan sesudah intervensi ini dilakukan di ruang
simulasi klinis ruang simulasi mereplikasi bangsal dengan tujuh tempat tidur,
di mana perawat dapat merencanakan dan memberikan perawatan untuk
pasien yang dialokasikan. Terdapat jendela observasi satu arah di ruang
kontrol yang menghadap ke ruang simulasi, yang memberikan visibilitas
umum ke ruang kerja. Selain itu, terdapat kamera yang merekam partisipan
selama simulasi, sehingga hasil rekaman dapat menjadi pelajaran bagi perawat
dalam proses peningkatan. Evaluasi akhir akan dilakukan pada akhir
pertemuan.
3.5 Rancangan Anggaran Biaya
Tabel 2. Rancangan Anggaran Biaya
No Kebutuhan Jumlah (Rp.)
1 Biaya survei 100.000
2 Media Promosi Kesehatan 5.000.000
3 Cetak Proposal 100.000
4 Konsumsi 5.000.000
5 Souvenir 1.500.000

DAFTAR PUSTAKA

Al-Moteri, M. (2022). Mental model for information processing and decision-making in


emergency care. PLoS ONE, 17(6 June).
https://doi.org/10.1371/JOURNAL.PONE.0269624

Al-Moteri, M. (2023). Team situational awareness in the context of hospital emergency: A


concept analysis. International Emergency Nursing, 69(July 2022), 101284.
https://doi.org/10.1016/j.ienj.2023.101284

Christensen, M., & Liang, M. (2023). Critical care: A concept analysis. International Journal
of Nursing Sciences, 10(3), 403–413. https://doi.org/10.1016/j.ijnss.2023.06.020

Cohen, N. L. (2013). Using the ABCs of situational awareness for patient safety. Nursing,
43(4), 64–65. https://doi.org/10.1097/01.NURSE.0000428332.23978.82

Fore, A. M., & Sculli, G. L. (2013). A concept analysis of situational awareness in nursing.
Journal of Advanced Nursing, 69(12), 2613–2621. https://doi.org/10.1111/jan.12130

Fore, A. M., Sculli, G. L., Farnan, J. M., April, M., Dyson, J., & Endsley, M. R. (1995).
Toward a theory of situation awareness in dynamic systems. Improvement Academy,
106(5), 32–64. https://doi.org/10.1518/001872095779049543

Gluyas, H., Stomski, N., Andrus, P., Walters, J., Morrison, P., Williams, A., Hopkins, M., &
Sandy, M. (2019). Performance based situation awareness observations in a simulated
clinical scenario pre and post an educational intervention. Nurse Education in Practice,
36, 20–27. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2019.02.011

Hasandoost, F., Mohammadi, E., Khademi, M., & Seddighi, M. (2020). Humanistic Care in
the Intensive Care Unit: A Qualitative Study. 1–20. https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-
56266/v2

HSE. (2019). Patient Safety Strategy 2019-2024. HSE.Ie. www.hse.ie

Lachman, P., Brennan, J., Fitzsimons, J., Jayadev, A., & Runnacles, J. (2022). The economics
of patient safety. Oxford Professional Practice: Handbook of Patient Safety, 43–54.
https://doi.org/10.1093/med/9780192846877.003.0005

Li, Z., Lin, F., Thalib, L., & Chaboyer, W. (2020). International Journal of Nursing Studies
Global prevalence and incidence of pressure injuries in hospitalised adult patients : A
systematic review and meta-analysis. International Journal of Nursing Studies, 105,
103546. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2020.103546
Markwart, R., Saito, H., Harder, T., Tomczyk, S., Cassini, A., Struzek, C. F., Reichert, F.,
Eckmanns, T., & Allegranzi, B. (2020). Epidemiology and burden of sepsis acquired in
hospitals and intensive care units : a systematic review and meta - analysis. Intensive
Care Medicine, 2019. https://doi.org/10.1007/s00134-020-06106-2

Morsy, A. A., Ahmed, F. R., Wright, S. M., Fallacaro, M. D., White, A., Maguire, M. B. R.,
Brannan, J., Brown, A., Chen, J. J., Gompers, A., Evenson, A., James, B. C., Royce, C.,
Stomski, N., Gluyas, H., Andrus, P., Williams, A., Hopkins, M., Walters, J., &
Morrison, P. (2021). Situational Awareness in Acute Patient Deterioration: Identifying
Student Time to Task. Nurse Educator, 46(2), 47. https://doi.org/10.5430/jnep.v10n5p47

Muething, S., Kotagal, U., Ashby, M., Gallagher, R., Hall, D., Goodfriend, M., White, C.,
Bracke, T. M., Decastro, V., Geiser, M., Simon, J., Tucker, K. M., Olivea, J., Conway,
P. H., & Wheeler, D. S. (2013). Improving Situation Awareness to Reduce
Unrecognized Clinical Deterioration and Serious Safety Events abstract. Pediatrics,
131(1).

Patient safety. (n.d.). Retrieved November 12, 2023, from


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/patient-safety

Priambodo, A. P., Nurhamsyah, D., Lai, W. S., & Chen, H. M. (2022). Simulation-based
education promoting situation awareness in undergraduate nursing students: A scoping
review. Nurse Education in Practice, 65(1), 103499.
https://doi.org/10.1016/j.nepr.2022.103499

Weigl, M., Catchpole, K., Wehler, M., & Schneider, A. (2020). Workflow disruptions and
provider situation awareness in acute care: An observational study with emergency
department physicians and nurses. Applied Ergonomics, 88.
https://doi.org/10.1016/j.apergo.2020.103155

World Health Organization. (2021). Towards eliminating avoidable harm health care. In
Global patient safety action plan 2021–2030. https://www.who.int/teams/integrated-
health-services/patient-safety/policy/global-patient-safety-action-plan

Anda mungkin juga menyukai