Anda di halaman 1dari 60

HUBUNGAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DENGAN KEJADIAN TIDAK

DIHARAPKAN (ADVERSE EVENTS) DI PUSKESMAS KOTA MALANG

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Oleh:

Ismulia Aldama Susanto

NIM 205070201111031

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2023
DAFTAR ISI

i
DAFTAR TABEL

ii
DAFTAR GAMBAR

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pusat Kesehatan Masyarakat, disingkat Puskesmas, adalah fasilitas

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat

dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih

mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Permenkes, 2014). Berbagai

upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada

pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang

optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan.

Puskesmas dipimpin oleh seorang kepala Puskesmas yang bertanggung

jawab kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Alamsyah, 2017).

Puskesmas merupakan pelayanan kesehatan yang beresiko tinggi

akan kecelakaan kerja, tidak hanya para pekerja rumah sakit yang beresiko

dalam kecelakaan tetapi juga pasien (Alamsyah, 2017). Keselamatan pasien

harus diutamakan dikarenaka pasien dalam penanganan medis.

Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat

asuhan yang lebih aman melalui upaya-upaya, mengidentifikasi resiko,

pengelolaan resiko, belajar dari resiko yang terjadi

agartidakterulangdimasayangakandatang.Dengan lebih sederhana dapat

dikatakan keselamatan pasien rumah sakit adalah mencegah kejadian yang

tidak diinginkan, apabila tidak dapat dicegah diupayakan agar tidak terulang,

1
melalui upaya belajar dari kesalahan.Keselamatan merupakan prinsip dasar

dalam pelayanan pasien dan komponen kritis dari manajemen mutu.

Dalam organisasi layanan kesehatan, keselamatan pasien

didefinisikan sebagai pencegahan yang tidak disengaja yang disebabkan

oleh kesalahan pekerjaan (Institute of Medicine, 2004 dalam Huang et al.,

2020) dan dianggap sebagai prioritas utama (Zheng et al, 2018 dalam

Huang et al., 2020). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan

keselamatan pasien sebagai pencegahan kesalahan dan efek samping pada

pasien terkait dengan perawatan kesehatan dan tidak membahayakan

pasien. Ada jutaan pasien di dunia yang menderita kecacatan, cedera atau

kematian setiap tahun karena praktik medis yang tidak aman. Hal ini

menyebabkan pengakuan yang lebih luas akan pentingnya keselamatan

pasien (Lawati et al., 2018).

Dengan publikasi “To Er is Human : Building a Safer Health System”

diterbitkan pada tahun 1999 oleh Institute of Medicine (IOM), menekankan

bahwa keselamatan adalah perhatian mendasar utama. Publikasi tersebut

penting untuk keselamatan pasien dan memperingatkan kesalahan dalam

perawatan kesehatan dan potensi bahaya pasien. Keselamatan pasien

dalam perawatan primer salah satunya Puskesmas belum dieksplorasi pada

tingkat yang sama seperti di rumah sakit. Mencapai budaya keselamatan

membutuhkan pemahaman tentang nilai-nilai, sikap, keyakinan, dan norma-

norma yang penting untuk organisasi kesehatan perilaku apa yang sesuai

dan diharapkan untuk keselamatan pasien (Lawati et al., 2018).

Ada informasi yang terbatas tentang kejadian tidak diharapkan di

Puskesmas. Beberapa literatur internasional yang ditinjau memperkirakan

2
bahwa sebanyak 24 dari setiap 100 pasien dapat mengalami kejadian yang

merugikan setiap tahunnya. Penatua dkk. dan Hoffman dkk. memperkirakan

bahwa antara 24 dan 42 dari setiap 100 pasien yang mengalami kejadian

tidak diharapkan mengalami kerugian dan sekitar 6 dari setiap 100 pasien

yang mengalami kejadian buruk dapat mengalami cedera serius setiap

tahunnya. Menurut beberapa penelitian yang melakukan identifkasi dan

menganalisis jenis insiden tersebut menyebutkan bahwa faktor utama yang

menyebabkan kejadian ini adalah masalah manajemen pengobatan,

kesalahan diagnosis, tindakan dokter, komunikasi pasien, masalah

pengetahuan dan keterampiran, masalah dalam pemeriksaan fisik pasien,

kegagalan untuk mengawasi atau memantau pasien, dan malpraktik

(Verstappen, Gaal and Wensing, 2016).

Secara keseluruhan, insiden yang paling sering terkait dengan

manajemen administrasi klinis prosedur manajemen klinis, diikuti oleh

insiden terkait pengobatan. Sebaliknya, insiden yang terkait dengan

dokumentasi analog dan digital, infrastruktur dan fasilitas, peralatan dan

perangkat perawatan kesehatan, perilaku pasien, jatuh dan kecelakaan

lainnya, dan infeksi yang terkait dengan perawatan kesehatan, relatif jarang

terjadi. Demikian pula, efek samping yang paling sering dilaporkan juga

terkait dengan manajemen administrasi klinis dan prosedur manajemen

klinis , dan pengobatan (Gens-Barberà et al., 2021).

Penelitian tentang keselamatan pasien di Puskesmas telah

difokuskan terutama pada aspek-aspek tertentu dari pemberian perawatan,

seperti manajemen pengobatan, diagnosis, dan komunikasi antara pasien

dan praktisi. Insiden masalah keselamatan pasien yang dilaporkan berbeda

3
secara substansial antara studi yang berbeda, tergantung pada pertanyaan

penelitian spesifik yang ditujukan dan pendekatan studi yang digunakan, dan

sebagai akibat dari kurangnya terminologi umum untuk menggambarkan

peristiwa keselamatan. Salawati (2020), mengemukakan tingkat insiden

keselamatan pasien dalam perawatan primer telah dilaporkan serendah 4

dan setinggi 240.000 per 1.000.000 konsultasi perawatan primer. Temuan

berikut dari literatur menunjukkan variasi yang luas dalam kejadian masalah

keselamatan pasien dalam perawatan primer (Verstappen, Gaal and

Wensing, 2016).

Kejadian tidak diharapkan (Adverse Events) sering terjadi dalam

sistem medis dan setidaknya satu dari sepuluh pasien terpengaruh. Adverse

Events (AEs) adalah hasil yang berbahaya dan negatif yang terjadi ketika

seorang pasien telah diberikan perawatan medis. Kejadian tidak diharapkan

(KTD) disebabkan oleh perawatan medis, yang mencederai pasien. Ada

banyak metodologi di mana KTD dapat terjadi. KTD tersebut dapat

disebabkan oleh pengobatan seperti pembedahan atau obat-obatan. Dalam

kasus ini, penyebabnya mungkin karena kesalahan manusia atau zat dalam

obat. Penyebab lain, seperti kegagalan peralatan atau perangkat, dapat

berkontribusi pada terjadinya peristiwa yang merugikan. KTD dapat terjadi

secara tidak sengaja atau sebagai efek samping selama perawatan.

Komunikasi yang buruk dan perintah atau dokumentasi yang tidak tepat juga

dapat menyebabkan kesalahan medis (Skelly, Cassagnol and Munakomi,

2023).

Saat klien dinilai, potensi diagnosis yang terlewatkan atau diagnosis

yang salah dapat menyebabkan klien mengalami kejadian yang merugikan.

4
Kesalahan pembedahan adalah penyebab lain dari potensi KTD. Setiap

tahun, banyak klien meninggal akibat operasi atau menderita perawatan

yang tidak tepat selama pengobatan, seperti kesalahan lokasi yang salah

(Skelly, Cassagnol and Munakomi, 2023).

Banyak jenis kecelakaan atau insiden diantaranya adalah Kejadian

tidak diharapkan (KTD)/adverse event. Kejadian tidak diharapkan

(KTD)/adverse event yang disebabkan lebih oleh kesalahan pengobatan

(treatment) dan bukan karena kondisi pasien. Korban Kejadian tidak

diharapkan (KTD)/adverse event bervariasi dari yang ringan seperti mual,

gatal-gatal dan diare sehingga harus dirawat lebih lama sampai pada akibat

yang fatal seperti misalnya cacat seumur hidup dan bahkan meninggal.

Kejadian tidak diharapkan (KTD)/adverse event jelas merugikan pasien,

selain mereka harus membayar lebih untuk pengobatan karena suatu

kesalahan namun juga kesehatan fisik dan juga jiwa mereka turut terancam.

Ketidak perdulian akibat keselamatan pasien akan menyebabkan

kerugian bagi pasien dan pihak puskesmas itu sendiri, seperti biaya yang

harus dipertanggung jawabkan oleh pasien menjadi lebih besar, pasien akan

semakin lama dirawat di rumah sakit dan terjadinya resistensi obat.

Keruggian bagi rumah sakit yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar

yaitu, pada upaya tindakan pencegahan terhadap kejadian luka tekan,

infeksi nosocomial, pasien jatuh dengan cidera, kesalahan obat yang

mengakibatkan cidera.

Dampak dari adanya kejadian tidak diharapkan (KTD) adalah diagnose

yang salah akan menimbulkan pengobatan yang tidak tepat, memerlukan

rawat inap yang berkepanjangan, perlunya intervensu medis atau

5
pembedahan , menyebabkan kesalahan berkelanjutan, menurunnya kondisi

kesehatan atau gangguan permanen fungsi dan struktur tubuh dan

menyebabkan cacat permanen hingga sampai kematian (Skelly, Cassagnol

and Munakomi, 2023).

Salah satu pencegahan yang dapat dilakukan dalam pencegahan

Kejadian tidak diharapkan (KTD)/adverse event di Puskesmas adalah

dicegah dengan sistem rancangan yang mempersulit orang berbuat salah,

sebaliknya mengarahkan orang untuk berbuat benar. Dengan perkataan lain,

para penganut pendekatan sistem berpendapat bahwa kesalahan dapat

dicegah atau dikendalikan dengan sistem, misalnya supaya orang tidak

salah menekan tombol maka tombol tersebut diberi warna yang sangat

mencolok, supaya perawat tidak kelelahan sehingga berbuat kelasahan

maka penjadwalan dilakukan berdasarkan sistem yang mengacuh pada

jumlah jam kerja maksimum.

Budaya keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam

suatu Puskesmas yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman.

Termasuk di dalamnya asesmen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko

terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar

dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta

meminimalisir timbulnya risiko (Ismainar, 2018). Pasien bebas dari harm

/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial

akan terjadi (penyakit, cedera fisik / sosial / psikologis, cacat, kematian dll),

terkait dengan pelayanan kesehatan. Melihat pentingnya penerapan budaya

keselamatan pasien dalam meningkatkan kualitas perawatan dan

mengurangi kejadian tidak diharapkan (Adverse Events) di Puskesmas. Oleh

6
karena itu, puskesmas perlu membangun budaya keselamatan pasien yang

kuat dan melibatkan semua staf medis dan administrasi dalam menciptakan

lingkungan yang aman bagi pasien.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis melakukan

sebuah penelitian dengan judul penelitian “Hubungan Budaya

Keselamatan Pasien Dengan Kejadian Tidak Diharapkan (Adverse

Events) Di Puskesmas Kota Malang”. Penulis melakukan penelitian

dengan mengambil judul tersebut karena penulis ingin meneliti dan

mengetahui hubungan budaya keselamatan pasien dengan kejadian tidak

diharapkan (Adverse Events) khususnya pengaruhnya terhadap kejadian

tidak diharapkan pada Puskesmas di Kota Malang, dimana Kota Malang

adalah salah satu kota yang memiliki Puskemas dengan jumlah banyak dan

memiliki resiko tinggi dari adanya kejadian tidak diharapkan (Adverse

Events).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

bahwa rumusan masalah penelitian yaitu adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan Budaya Keselamatan Pasien di Puskesmas

Kota Malang ?

2. Apa yang dimaksud dengan Kejadian Tidak Diharapkan (Adverse

Events) pada Puskesmas Kota Malang ?

3. Apa Hubungan Budaya Keselamatan Pasien Dengan Kejadian Tidak

Diharapkan (Adverse Events) Di Puskesmas Malang ?

7
3.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum berdasarkan rumusan masalah adalah untuk

mengetahui hubungan budaya keselamatan pasien dengan kejadian

tidak diharapkan (Adverse Events) di Puskesmas Malang.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi budaya keselamatan pasien di puskesmas

Kota Malang

2. Untuk mengidentifikasi kejadian tidak diharapkan (Adverse Events)

pada Puskesmas Kota Malang.

3. Untuk mengetahui hubungan budaya keselamatan pasien dengan

kejadian tidak diharapkan (Adverse Events) di Puskesmas Kota

Malang.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi

tambahan bagi Ilmu keperawatan dan kepustakaan hubungan budaya

keselamatan pasien dengan kejadian tidak diharapkan (Adverse

Events) di Puskesmas Kota Malang

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Bagi Universitas Brawijaya Malang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

sumber informasi mengenai keterkaitan budaya keselamatan pasien

8
dengan kejadian tidak diharapkan (Adverse Events) di Puskesmas

Kota Malang

2. Bagi Mahasiswa

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menambah wawasan

mahasiswa keperawatan mengenai keterkaitan budaya

keselamatan pasien dengan kejadian tidak diharapkan (Adverse

Events) di Puskesmas Kota Malang

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan pada hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

tambahan literature dan referensi bahan kajian untuk

mengembangan ilmu keperawatan terkait hubungan budaya

keselamatan pasien dengan kejadian tidak diharapkan (Adverse

Events) di Puskesmas kota Malang

4. Bagi Pemberi Layanan Asuhan Keperawatan

Diharapkan dapat menjadi bekal edukasi tenaga kesehatan kepada

pasien dalam mengatasi masalah.

9
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya Keselamatan Pasien

2.1.1. Pengertian Budaya Keselamatan Pasien

Budaya keselamatan pasien adalah sejauh mana keyakinan, nilai,

dan norma organisasi mendukung dan mempromosikan keselamatan

pasien. Keyakinan ini meluas ke semua tingkat organisasi (misalnya,

sistem, departemen, unit) dan mempengaruhi tindakan dan perilaku

staf di seluruh organisasi.

Budaya keselamatan pasien adalah produk dari nilai, sikap,

kompetensi dan pola perilaku individu dan kelompok yang menentukan

komitmen, style dan kemampuan suatu organisasi pelayanan

kesehatan terhadap program keselamatan pasien (Kemenkes, 2017).

Menurut Blegen (2018), budaya keselamatan pasien adalah persepsi

yang dibagikan diantara anggota organisasi ditujukan untuk melindungi

pasien dari kesalahan tata laksana maupun cidera akibat intervensi.

Persepsi ini meliputi kumpulan norma, standar profesi, kebijakan,

komunikasi dan tanggung jawab dalam keselamatan pasien. Budaya

ini kemudian mempengaruhi keyakinan dan tindakan individu dalam

memberikan pelayanan. Budaya keselamatan pasien merupakan

bagian penting dalam keseluruhan budaya organisasi yang diperlukan

dalam institusi kesehatan. Budaya keselamatan didefinisikan sebagai

seperangkat keyakinan, norma, perilaku, peran, dan praktek sosial

maupun teknis dalam meminimalkan pajanan yang membahayakan

10
atau mencelakakan karyawan, manajemen, pasien, atau anggota

masyarakat lainnya.

Kohn (2017) menyatakan, budaya keselamatan pasien

dikembangkan dari konsep-konsep budaya keselamatan di dunia

industri. Walaupun memiliki karakteristik yang berbeda, berbagai

penelitian budaya keselamatan di industri lain menjadi dasar

pengembangan konsep keselamatan pasien di puskesmas. Salah satu

perbedaan konsep budaya keselamatan yang ada di puskesmas

adalah fokus untuk melindungi pasien lebih besar daripada

perlindungan terhadap personel sendiri.

Menurut Fleming (2018), budaya keselamatan pasien merupakan

suatu hal yang penting karena membangun budaya keselamatan

pasien merupakan suatu cara untuk membangun program

keselamatan pasien secara keseluruhan, karena apabila kita lebih

fokus pada budaya keselamatan pasien maka akan lebih

menghasilkan keselamatan yang lebih apabila dibandingkan hanya

dengan memfokuskan programnya saja. Vellyana (2018) menyatakan

bahwa kesalahan medis sangat jarang disebabkan oleh faktor

kesalahan manusia secara individu, namun lebih banyak disebabkan

karena kesalahan sistem di rumah sakit yang mengakibatkan rantai-

rantai sistem terputus.

2.1.2. Komposisi Budaya Keselamatan Pasien

Survei pada puskesmas tentang budaya keselamatan pasien

menekankan keselamatan pasien dan kesalahan dan kejadian

pelaporan. Ada 42 item yang dikelompokkan menjadi 12 ukuran

11
komposisi. Sebagai tambahannya komposisi, survei mencakup dua

pertanyaan yang meminta responden untuk memberikan keseluruhan

penilaian keselamatan pasien untuk area/unit kerja mereka dan untuk

menunjukkan jumlah kejadian yang mereka laporkan selama 12 bulan

terakhir. Selain itu, responden diminta untuk memberikan latar

belakang yang terbatas informasi demografis tentang diri mereka

sendiri (area/unit kerja mereka, posisi staf, apakah mereka berinteraksi

langsung dengan pasien, masa kerja di area/unit kerja mereka, dll.).

Berdasarkan pendapat dari Hamdani (2017) Komposisi Budaya

Keselamatan Pasien yaitu antara lain:

1. Keterbukaan komunikasi; Staf bebas berbicara jika mereka melihat

sesuatu yang dapat berdampak negatif pada pasien dan merasa

bebas untuk menanyai mereka yang lebih berwenang.

2. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan; Staf diberitahu

tentang kesalahan yang terjadi, diberi umpan balik tentang

perubahan yang diterapkan, dan mendiskusikan cara untuk

mencegah kesalahan.

3. Frekuensi peristiwa yang dilaporkan; Jenis kesalahan berikut

dilaporkan: (1) kesalahan yang diketahui dan diperbaiki sebelum

mempengaruhi pasien, (2) kesalahan yang tidak berpotensi

membahayakan pasien, dan (3) kesalahan yang dapat

membahayakan pasien tetapi tidak.

4. Serah terima dan transisi; Informasi penting perawatan pasien

ditransfer ke seluruh unit rumah sakit dan selama pergantian shift.

12
5. Dukungan manajemen untuk keselamatan pasien; Manajemen

rumah sakit menyediakan iklim kerja yang mengedepankan

keselamatan pasien dan menunjukkan bahwa keselamatan pasien

adalah prioritas utama.

6. Respon tidak menghukum terhadap Kesalahan; Staf merasa

bahwa kesalahan dan laporan acara mereka tidak ditahan dan

kesalahan tidak disimpan dalam arsip personel mereka.

7. Pembelajaran organisasi peningkatan berkelanjutan; Kesalahan

telah menyebabkan perubahan positif dan perubahan dievaluasi

untuk efektivitas.

8. Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien; Prosedur dan

sistem baik dalam mencegah kesalahan dan kurangnya masalah

keselamatan pasien.

9. Kepegawaian; Ada cukup staf untuk menangani beban kerja dan

jam kerja yang tepat untuk memberikan perawatan terbaik bagi

pasien.

10. Harapan dan tindakan supervisor/manajer

mempromosikan keselamatan pasien. Supervisor/manajer

mempertimbangkan saran staf untuk meningkatkan keselamatan

pasien, memuji staf karena mengikuti prosedur keselamatan

pasien, dan tidak mengabaikan masalah keselamatan pasien.

11. Kerjasama tim lintas unit; Unit-unit rumah sakit bekerja

sama dan berkoordinasi satu sama lain untuk memberikan

perawatan terbaik bagi pasien.

13
12. Kerja sama tim dalam unit; Staf saling mendukung,

memperlakukan satu sama lain dengan hormat, dan bekerja sama

sebagai sebuah tim.

2.1.3. Manfaat Budaya Keselamatan Pasien

Menurut Bird (2017) manfaat budaya keselamatan pasien antara

lain:

1. Organisasi lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika

kesalahan telah terjadi.

2. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari

kesalahan yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian sama

yang berulang kembali dan keparahan dari keselamatan pasien.

3. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah

error dan melaporkan jika ada kesalahan.

4. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena

kesalahan yang telah diperbuat.

5. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang mengalami

insiden umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan

pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya

diterima pasien.

6. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan

terapi.

7. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan dalam menangani

keluhan pasien.

14
2.1.4. Indikator Budaya Keselamatan Pasien

Menurut Reason (2017) budaya keselamatan terdiri dari empat

indikator yaitu antara lain:

1. Informed culture. Budaya dimana pihak yang mengatur dan

mengoperasikan sistem memiliki pengetahuan terkini tentang faktor-

faktor yang menjelaskan keselamatan dalam suatu sistem.

2. Reporting culture. Budaya dimana anggota di dalamnya siap untuk

melaporkan kesalahan atau near miss. Pada budaya ini organisasi

dapat belajar dari pengalaman sebelumnya. Konsekuensinya makin

baik reporting culture maka laporan kejadian akan semakin

meningkat

3. Just culture. Budaya membawa atmofer trust sehingga anggota

bersedia dan memiliki motivasi untuk memberikan data dan

informasi serta sensitif terhadap perilaku yang dapat diterima dan

tidak dapat diterima, termasuk di dalamnya lingkungan non punitive

(no blame culture) bila staf melakukan kesalahan. Penting bagi

setiap level di organisasi untuk bersikap jujur dan terbuka.

4. Learning culture. Budaya dimana setiap anggota mampu dan

bersedia untuk menggali pengetahuan dari pengalaman dan data

yang diperoleh serta kesediaan untuk mengimplementasikan

perubahan dan perbaikan yang berkesinambungan (continous

improvement). Learning culture merupakan budaya belajar dari

insiden dan near miss.

15
2.1.5. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien

Berikut adalah penjelasan dari dimensi-dimensi yang digunakan

untuk mengukur budaya keselamatan pasien :

a. Kepemimpinan

Yahya (2017) dalam konvensi nasional mutu rumah sakit

dalam membangun budaya keselamatan pasien di rumah sakit ada

dua model kepemimpinan sekaligus yang dibutuhkan yakni

kepemimpinan transaksional dan tranformasional. Kepemimpinan

transaksional dapat digunakan untuk mendorong staf melakukan

pelaporan kejadian insiden dan kepemimpinan transformasional

dipakai untuk proses belajar dari kejadian dan merancang kembali

program untuk keselamatan pasien.

Menurut Kohn (2017) dalam Hamdani (2017) IOM

merekomendasikan bahwa prinsip pertama dalam mendesain

sistem keselamatan dalam organisasi kesehatan adalah dengan

kepemimpinan. Termasuk di dalamnya patient safety dijadikan

sebagai prioritas utama, menjadikan patient safety menjadi

tanggung jawab bersama serta menyediakan sumber daya manusia

maupun dana untuk analisis error dan merancang ulang sistem.

b. Kerja sama/Teamwork

Kerja sama didefinisikan sebagai kumpulan individu dengan

keahlian spesifik yang bekerja sama dan berinteraksi untuk

mencapai tujuan bersama (Ilyas, 2018).

Faktor-faktor yang menjadi tantangan bagi perawat dalam

memberikan keperawatan yang aman dan memberikan kontribusi

16
dalam keselamata pasien salah satunya adalah kerja sama tim

(Setiowati, 2019). Kinerja kerja sama tim yang terganggu juga

merupakan salah satu penyebab insiden keselamatan pasien yang

merupakan kombinasi dari kegagalan sistem. Peluang insiden

terjadi akibat dari kondisikondisi tertentu. Kondisi yang

memudahkan terjadinya kesalahan misalnya gangguan lingkungan

dan teamwork yang tidak berjalan (Cahyono, 2018).

c. Komunikasi Terbuka

Menurut National Patient Safety Agency (2016), komunikasi

dalam keselamatan pasien telah menjadi standar dalam Joint

Commision Acerditation of Health Organization sejak tahun 2010.

Komunikasi terbuka dapat diwujudkan pada saat serah terima,

briefing, dan ronde keperawatan. Perawat menggunakan

komunikasi terbuka pada saat serah terima dengan

mengkomunikasikan kepada perawat lain tentang risiko terjadinya

insiden, melibatkan pasien pada saat serah terima. Briefieng

digunakan untuk berbagi informasi seputar isu-isu keselamatan

pasien, perawat dapat secara bebas bertanya seputar keselamatan

pasien yang potensial terjadi dalam kegiatan sehari-hari. Ronde

keperawatan dapat dilakukan setiap minggu dan fokus hanya pada

keselamatan pasien.

Keterbukaan pada komunikasi juga melibatkan pasien. Pasien

mendapatkan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang

telah terjadi. Pasien mendapatkan informasi tentang kondisi yang

akan menyebabkan risiko terjadinya kesalahan. Perawat memberi

17
motivasi untuk memberikan setiap hal yang berhubungan dengan

keselamatan pasien (Nurmalia, 2017).

Dalam komunikasi hal mejadi pokok penting salah satunya

adalah komunikasi efektif. Komunikasi efektif merupakan salah satu

strategi untuk membangun budaya keselamatan pasien.

Komunikasi efektif sangat berperan dalam menurunkan KTD dalam

sebuah asuhan medis pasien. Strategi ini ditetapkan oleh The Joint

Commission on Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO)

sebagai tujuan nasional keselamatan pasien. Hal ini didasarkan

pada laporan Agency of Healthcare Research and Quality (AHRQ)

bahwa komunikasi merupakan 65 % menjadi akar masalah dari

KTD. Strategi yang diterapkan JCAHO untuk menciptakan proses

komunikasi efektif adalah pendekatan standarisasi komunikasi

dalam serah terima pasien (hand over). Komunikasi saat proses

transisi perawatan pasien dapat berisiko kesalahan ketika informasi

yang diberikan tidak akurat (Cahyono, 2018).

d. Respon Non-Punitive/Respon tidak menyalahkan

Perawat dan pasien diperlakukan secara adil ketika terjadi

insiden. Ketika terjadi insiden, tidak berfokus untuk mencari

kesalahan individu tetapi lebih mempelajari secara sistem yang

mengakibatkan terjadinya kesalahan. Budaya tidak menyalahkan

perlu dikembangkan dalam menumbuhkan budaya keselamatan

pasien. Perawat akan membuat laporan kejadian jika yakin bahwa

laporan tersebut tidak akan mendapatkan hukuman atas kesalahan

yang terjadi. Lingkungan terbuka dan adil akan membantu membuat

18
pelaporan yang dapat menjadi pelajaran dalam keselamatan pasien

(Nurmalia, 2017).

e. Staffing

Menurut Beginta (2019), staffing didefinisikan sebagai proses

menegaskan pekerja yang ahli untuk mengisi struktur organisasi

melalui seleksi dan pengembangan personel. Dengan adanya

staffing diharapkan terpenuhinya jumlah dan keterampilan yang

dimiliki perawat sesuai dengan kebutuhan yang ada di tiap unit yang

dibutuhkan. Jumah perawat di rumah sakit memengaruhi kualitas

pelayanan yang diterima pasien di rumah sakit. Karena staf yang

memadai merupakan suatu hal yang mendasar untuk perawatan

yang berkualitas. Terbukti dengan banyaknya perawat setara

dengan keselamatan pasien yang lebih baik.

f. Reporting culture

Menurut Beginta (2019) pelaporan merupakan unsur penting

dari keselamatan pasien. Informasi yang adekuat pada pelaporan

akan dijadikan bahan oleh organisasi dalam pembelajaan.

Organisasi belajar dari pengalaman sebelumnya dan mempunyai

kemampuan untuk mengidentifikasi faktor risiko terjadinya insiden

sehingga dapat mengurangi atau mencegah insiden yang terjadi.

Budaya keselamatan dalam implementasi sistem manajemen

keselamatan yang kuat mencakup: mendorong setiap orang

bertanggung jawab akan keselamatan terhadap diri sendiri, rekan

kerja, pasien, dan pengunjung; mengutamakan keselamatan dan

keuntungan di atas keutungan dan tujuan organisasi; mendorong

19
dan memberikan penghargaan terhadap identifikasi, pelaporan, dan

penyelesaian isu keselamatan; memberi kesempatan pembelajaran

dari kejadian celaka; mengalokasikan sumber daya, struktur dan

tanggung jawab, yang sesuai untuk memelihara sistem

keselamatan yang efektif; serta menghindari tindakan sembrono

yang absolut (Beginta, 2019).

2.2. Keselamatan Pasien

2.2.1. Pengertian Keselamatan Pasien

The Institute of Medicine (IOM) mendefinisikan keselamatan

pasien sebagai freedom from accidental injury. Senada dengan yang

disebutkan dalam DepKes (2016) keselamatan pasien (Patient Safety)

adalah keselamatan pasien dan ini merupakan pencegahan dan

perbaikan dari kejadian yang tidak diharapkan atau mengatasi cedera

dari proses pelayanan kesehatan. Keselamatan pasien rumah sakit

adalah sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pelayanan

kesehatan pasien lebih aman dan diharapakan dapat mencegah

terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang

seharusnya dilakukan. Sistem yang dimaksud meliputi; penilaian risiko,

identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko

pasien, pelaporan dan analisis insiden dan tindak lanjutnya serta

implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.11 Tahun

2017 tentang keselamatan pasien dirumah sakit, disebutkan bahwa

20
keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah

sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen

risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan

risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari

insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk

meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah trejadinya cedera yang

disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatau tindakan atau

tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

2.2.2. Tujuan Keselamatan Pasien

Tujuan keselamatan pasien telah ditentukan secara internasional

maupun nasional, dimana tujuan yang ditentukan secara internasional

oleh Joint Commission International (JCI) (2017) yaitu sebagai berikut:

a. Identify patient correctly (mengidentifikasi pasien secara benar).

b. Improve effective communication (meningkatkan komunikasi yang

efektif).

c. Improve the safety of high-alert medications (meningkatkan

keamanan dari pengobatan resiko tinggi).

d. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery

(mengeliminasi kesalahan penempatan, keselahan pengenalan

pasien, kesalahan prosedur operasi).

e. Reduce the risk of health care-associated infections (mengurangi

risiko infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan).

f. Reduce the risk of patient harm from falls (mengurangi risiko

pasien terluka karena jatuh).

21
Sedangkan tujuan keselamatan pasien menurut Departemen

Kesehatan RI (2016), tujuan keselamatan pasien adalah sebagai

berikut:

a. Tercapainya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.

b. Meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan

masyarakat.

c. Menurunkan kejadian tidak diharapkan dirumah sakit.

d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak

terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.

2.2.3. Standar Keselamatan Pasien

Menurut Rebbeca (2017) patient-center care terdiri dari 7 upaya

keselamatan pasien, yaitu :

a. Peduli terhadap niali-nilai pasien, pencegahan dan pengendalian

kebutuhannya.

b. Melakukan koordinasi dan integrasi perawatan.

c. Pendidikan, Komunikasi dan informasi.

d. Kenyamanan fisik.

e. Dukungan emosi.

f. Membuat pasien sebagai keluarga atau teman.

g. Transition and Continuity (keberlanjutan).

Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini

mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikelurkan

oleh Joint Commission on Accreditation of Health Organizations,

Illinois, USA pada tahun 2002 yang disesuaikan dengan situasi dan

22
kondisi perumah sakitan di Indonesia. Standar keselamatan pasien

tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu:

1. Hak pasien

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan

informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk

kemungkinan terjadinya insiden.

2. Mendidik pasien dan keluarga

Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang

kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.

3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

Rumah sakit menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan

pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit

pelayanan.

4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan

evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien.

Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki

proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui

pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan

melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta

keselamatan pasien.

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program

keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi

23
melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan

Pasien Rumah Sakit”.

b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk

identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan

atau mengurangi insiden.

c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan

koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan

pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk

mengukur, mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah sakit

serta meningkatkan keselamatan pasien.

e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya

dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan

pasien.

6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan

orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan

dengan keselamatan pasien secara jelas.

b. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan

yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara

kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisipliner

dalam pelyanan pasien.

7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai

keselamatan pasien.

24
a. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses

manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi

kebutuhan informasi internal dan eksternal.

b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

2.3. Kejadian Tidak Diharapkan (Adverse Events)

2.3.1. Pengertian Adverse Events

Adverse Events (AE) didefinisikan sebagai suatu kejadian yang

tidak diharapkan (KTD) yang disebabkan oleh kesalahan

pengobatan/treatment serta dapat berdampak negatif bahkan fatal

pada pasien. Pada dasarnya, Adverse Events (AE) bersifat ketidak

sengajaan. Jadi tidak direncanakan untuk merugikan orang lain.

Namun apa pun alasannya hal tersebut tidak boleh terjadi karena

bisa berdampak negatif dan bahkan fatal pada pasien.

Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit atau (KKP-

RS, 2018) mendefenisikan KTD sebagai suatu kejadian yang

mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena

suatu tindakan (Commission) atau karena tidak bertindak (omission),

dan bukan karena kondisi pasien. KTD ada yang dapat dicegah dan

ada yang tidak dapat dicegah. KTD yang dapat dicegah berasal dari

kesalahan proses asuhan pasien. KTD sebagai dampak dari

kesalahan proses asuhan sudah banyak dilaporkan terutama di

Negara maju. KTD yang tidak dapat dicegah adalah suatu kesalahan

akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah walaupun dengan

pengetahuan yang mutakhir (Cahyono, 2018). Setiap organisasi dan

25
institusi yang bergerak di bidang apapun, menerapkan suatu sistem

pengamanan untuk mencegah suatu insiden termasuk organisasi

rumah sakit. Menurut James Reason pendekatan sistem dapat

digunakan untuk menggambarkan bagaimana suatu insiden terjadi.

2.3.2. Indikator Adverse Events

Indikator dari Adverse Events (AE) yaitu meliputi (Nursery,

2018):

a. Kejadian Sentinel, adalah kejadian yang dapat mengakibatkan

kematian atau cedera yang serius .

b. Kejadia Nyaris Cedera (KNC) adalah kecelakaan tetapi belum

sampai terpapar ke pasien.

c. Kejadian Tidak Cedera (KTC), adalah kecelakaan yang

mengakibatkan pasien terpapar, tetapi tidak menimbulkan

cedera.

d. Kondisi Potensial Cedera (KPC), adalah kecelakaan yang

berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadinya

insiden.

2.3.3. Faktor Terjadinya Adverse Events

Faktor terjadinya Kejadian tidak diharapkan (KTD)/adverse

event adalah meliputi (Nursery, 2018) :

a. Alat Kesehatan

 Defect (bawaan pabrik)

 Pemeliharaan yang tidak memadai

 Alat kesehatan dimodifikasi sendiri

 Penyimpanan alat kesehatan yang tidak memadai

26
 Penggunaan yang tidak sesuai prosedur

 Alat kesehatan tidak mengacu pada SOP

 Kurangnya pengetahuan atau kurang pelatihan dalam

penggunaan alat kesehatan

b. Sumber Daya Manusia, dimana interaksi sumber daya manusia

(SDM) dengan teknologi, system, ataupun situasi yang dinamis.

2.4. Puskesmas

2.4.1. Pengertian Puskesmas

Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan

fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan

masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping

memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada

masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.

Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas

pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya, maka

wilayah kerja dari puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian.

Puskesmas merupakan perangkat Pemerintah Daerah Tingkat II,

sehingga pembagian wilayah kerja puskesmas ditetapkan oleh Bupati

(Peraturan Menteri Kesehetan Republik Indonesia, 2017)..

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya

kesehatan perseorangan tingkat pertama dengan lebih mengutamakan

upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Pelayanan

27
kesehatan adalah upaya yang diberikan oleh puskesmas kepada

masyarakat mencakup perencanaan, pelaksanaan, evaluasi,

pencatatan, pelaporan dan dituangkan dalam suatu sistem (Peraturan

Menteri Kesehetan Republik Indonesia, 2017).

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan tingkat pertama

dan terdepan dalam sistem pelayanan kesehatan, harus melakukan

upaya kesehatan wajib (basic six) dan beberapa upaya kesehatan

pilihan yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, tuntutan,

kemampuan dan inovasi serta kebijakan pemerintah daerah setempat.

Puskesmas dalam menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat

menyeluruh dan terpadu dilaksanakan melalui upaya peningkatan,

pencegahan, penyembuhan dan pemulihan disertai dengan upaya

penunjang yang diperlukan (Peraturan Menteri Kesehetan Republik

Indonesia, 2017).

Dalam rangka pemenuhan Pelayanan Kesehatan yang

didasarkan pada kebutuhan dan kondisi masyarakat, Puskesmas

dapat dikategorikan berdasarkan karakteristik wilayah kerja dan

kemampuan penyelenggaraan. Puskesmas berdasarkan karakteristik

wilayah kerja dikategorikan menjadi:

a. Puskesmas kawasan perkotaan

b. Puskesmas kawasan pedesaan

c. Puskesmas kawasan terpencil dan sangat terpencil.

28
Puskesmas berdasarkan kemampuan penyelenggaraan

dikategorikan menjadi:

a. Puskesmas non rawat inap

b. Puskesmas rawat inap

2.4.2. Fungsi dan tujuan puskesmas

Sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional, Puskesmas sebagai

fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama mempunyai 3 (tiga)

fungsi sebagai berikut:

a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

Puskesmas harus mampu membantu menggerakkan

(motivator,fasilitator) dan turut serta memantau pembangunan yang

diselenggarakan di tingkat kecamatan agar dalam pelaksanaannya

mengacu, berorientasi serta dilandasi oleh kesehatan sebagai

faktor pertimbangan utama.

b. Pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga Pemberdayaan

masyarakat adalah segala upaya fasilitas yang bersifat non

instruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan

masyarakat atau keluarga agar mampu mengidentifikasi masalah,

merencanakan dan mengambil keputusan untuk pemecahannya

dengan benar (Subekti, 2019).

c. Pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama Pelayanan kesehatan

tingkat pertama (primary health service) adalah pelayanan

kesehatan yang bersifat pokok (basic health service), yang sangat

dibutuhkan oleh sebagian masyarakat serta mempunyai nilai

29
strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

(Azwar, 2016).

30
BAB III

KERANGKA KONSEP, PENELITIAN TERDAHULU DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang

hubungan atau kaitan antara konsep- konsep atau variabel- variabel yang

akan diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan

(Notoatmodjo, 2016). Berikut adalah kerangka konsep dari penelitian ini.

Gambar 3.1.

Kerangka Konsep

BUDAYA KEJADIAN TIDAK


KESELAMATAN MENYENANGKAN
KERJA (ADVERSE EVENTS)
(X1) (Y)

a. Informed culture a. Kejadian Sentinel


b. Reporting culture b. KejadianNyaris
c. Just culture Cedera (KNC)
d. Learning culture c. KejadianTidak
Cedera (KTC)
d. KondisiPotensial
Cedera (KPC)

Kerangka konsep menggambarkan alur pikiran penulis berdasarkan

dari latar belakang masalah, identifikasi masalah dan perumusan masalah

yang telah peneliti uraikan sebelumnya, maka untuk mengetahui seberapa

besar pengaruh Budaya Keselamatan terhadap Kejadian Tidak Diharapkan

(Adverse Events) pada Puskesmas di Kota Malang. Budaya keselamatan

31
pasien adalah produk dari nilai, sikap, kompetensi dan pola perilaku

individu dan kelompok yang menentukan komitmen, style dan kemampuan

suatu organisasi pelayanan kesehatan terhadap program keselamatan

pasien (Kemenkes, 2017). Menurut Reason (2017) budaya keselamatan

terdiri dari empat indikator yaitu antara lain:

1. Informed culture. Budaya dimana pihak yang mengatur dan

mengoperasikan sistem memiliki pengetahuan terkini tentang faktor-

faktor yang menjelaskan keselamatan dalam suatu sistem.

2. Reporting culture. Budaya dimana anggota di dalamnya siap untuk

melaporkan kesalahan atau near miss. Pada budaya ini organisasi

dapat belajar dari pengalaman sebelumnya. Konsekuensinya makin

baik reporting culture maka laporan kejadian akan semakin

meningkat.

3. Just culture. Budaya membawa atmofer trust sehingga anggota

bersedia dan memiliki motivasi untuk memberikan data dan informasi

serta sensitif terhadap perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat

diterima, termasuk di dalamnya lingkungan non punitive (no blame

culture) bila staf melakukan kesalahan. Penting bagi setiap level di

organisasi untuk bersikap jujur dan terbuka.

4. Learning culture. Budaya dimana setiap anggota mampu dan

bersedia untuk menggali pengetahuan dari pengalaman dan data

yang diperoleh serta kesediaan untuk mengimplementasikan

perubahan dan perbaikan yang berkesinambungan (continous

improvement). Learning culture merupakan budaya belajar dari

insiden dan near miss.

32
Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit atau (KKP-

RS, 2018) mendefenisikan KTD sebagai suatu kejadian yang

mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena

suatu tindakan (Commission) atau karena tidak bertindak (omission),

dan bukan karena kondisi pasien. KTD ada yang dapat dicegah dan

ada yang tidak dapat dicegah. KTD yang dapat dicegah berasal dari

kesalahan proses asuhan pasien. KTD sebagai dampak dari

kesalahan proses asuhan sudah banyak dilaporkan terutama di

Negara maju. KTD yang tidak dapat dicegah adalah suatu kesalahan

akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah walaupun dengan

pengetahuan yang mutakhir (Cahyono, 2018). Setiap organisasi dan

institusi yang bergerak di bidang apapun, menerapkan suatu sistem

pengamanan untuk mencegah suatu insiden termasuk organisasi

rumah sakit. Menurut James Reason pendekatan sistem dapat

digunakan untuk menggambarkan bagaimana suatu insiden terjadi.

Indikator dari Adverse Events (AE) yaitu meliputi (Nursery, 2018):

a. Kejadian Sentinel, adalah kejadian yang dapat mengakibatkan

kematian atau cedera yang serius .

b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) adalah kecelakaan tetapi belum

sampai terpapar ke pasien.

c. Kejadian Tidak Cedera (KTC), adalah kecelakaan yang

mengakibatkan pasien terpapar, tetapi tidak menimbulkan cedera.

d. Kondisi Potensial Cedera (KPC), adalah kecelakaan yang

berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadinya

insiden.

33
3.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu adalah upaya penulis untuk mencari perbandingan

dan selanjutnya untuk menemukan inspirasi baru untuk peneltiain

selanjutnya di samping itu kajian terdahulu membantu penelitian dapat

memposisikan penelitian serta menujukkan orsinalitas dari penelitian. Berikut

adalah peneliytian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.

Tabel 3.1.

Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian


Dan Tahun Penelitian Penelitian

1 Najla Asyah Pentingnya Metode Pengetahuan


Syafawani Pengetahuan literatur merupakan domain
Lubis Pada Perawat review yang sangat penting
Tahun 2020 Tentang untuk terbentuknya
Keselamatan tindakan seseorang.
Pasien Menjadi pengetahuan
Issu Terkini diperlukan sebagai
Terkait dukungan dalam
Keselamatan menumbuhkan rasa
Pasien percaya diri maupun
sikap
dan perilaku, sehingga
pengetahuan
merupakan Fakta yang
mendukung tindakan
seseorang.
pengetahuan pada
perawat tentang
keselamatan pasien
(patient safety)
merupakan hal yang

34
penting, karena jika
pengetahuan perawat
tentang keselamatan
pasien kurang maka
jelas ini akan
berpengaruh terhadap
kinerja perawat itu
sendiri dalam
penerapan
keselamatan pasien di
rumah
sakit. peningkatan
pengetahuan
merupakan dampak
yang diharapkan dari
pelatihan mutu dan
keselamatan pasien.
Pelatihan merupakan
salah satu sarana
menambah kebutuhan
akan pengetahuan
baru dan untuk
meningkatkan kinerja
individu dan kinerja
sistem.

2 Naufal Fakhri Organizational Metode Hasil penelitian


Nugraha, Hadi Supports as Kuantitatif menunjukkan bahwa
Susiarno dan Moderation in profesionalisme
Hendrati Dwi Increasing the berpengaruh positif
Mulyaningsih. Effect of dan signifikan
Tahun 2021 Professionalism berdampak pada
on Patient budaya keselamatan
Safety Culture pasien (p-value

35
<0,001), dan Dukungan
organisasi adalah
moderasi semu
variabel pengaruh
profesionalisme
terhadap budaya
keselamatan pasien (p-
value<0,001).

3 Derlina Faktor Yang Metode Berdasarkan hasil


Nasution, Memengaruhi Kuantitatif penelitian diketahui
Juliandi Kinerja Perawat bahwa da pengaruh
Harahap dan dalam umur terhadap kinerja
Elvi Era Penerapan perawat, ada pengaruh
Liesmayani. Patient Safety jenis kelamin terhadap
Tahun 2022 di Ruang kinerja perawat
Rawat Inap (p=0,000), ada
RSUD Dr. pengaruh status
Kumpulan pernikahan terhadap
Pane Kota kinerja perawat
Tebing Tinggi (p=0,000), ada
Tahun 2021 pengaruh lama
bekerja terhadap
kinerja perawat
(p=0,000), ada
pengaruh pengetahuan
terhadap
kinerja perawat
(p=0,000), ada
pengaruh suvervisi
terhadap kinerja
perawat (p=0,000).
Dan variabel yang
dominan berpengaruh

36
terhadap kinerja
perawat dalam
penerapan patient
safety di ruang rawat
inap RSUD Dr.
Kumpulan Pane Kota
Tebing Tinggi Tahun
2021 adalah variabel
umur.

4 Achmad Yasin Analisis Metode Sistem keselamatan


Mustamin et all. Budaya Literature pasien merupakan
Tahun 2022 Keselamatan Review prioritas utama yang
Pasien Di Klinik harus dilaksanakan
Pratama oleh klinik, hal ini
sangat erat kaitannya
baik dengan citra klinik
maupun keselamatan
pasien. Oleh sebab itu
setiap klinik harus
menerapkan 7 standar
keselamatan pasien
untuk melindungi
pasien dari kejadian
yang tidak diharapkan.

5 I Made Raditya The Effect of Metode Implementasi dari


Mahardika, Service Quality, Kuantitatif kualitas layanan,
Sandra Dewi Structural pemberdayaan
dan Rian Adi Empowerment, struktural, dan
Pamungkas. and Safety keselamatan
Tahun 2022 Culture On budaya secara
Nurse Job signifikan berpengaruh
Satisfaction in positif terhadap
Indonesia

37
pekerjaan perawat
kepuasan.

6 Karmila, Hubungan Metode Hasil penelitian


Suharni dan Budaya Kuantitatif menunjukkan bahwa
Muhammad Keselamatan budaya keselamatan
Kidri Alwi. Pasien dengan pasien berhubungan
Tahun 2023 Pelaporan dengan pelaporan
Insiden insiden keselamatan
Keselamatan pasien = 0,009< =
Pasien oleh 0,05,
Perawat di ekspektasi
Instalasi Rawat supervisor/manajemen
Inap Rumah terkait dengan
Sakit TK II pelaporan insiden
Pelamonia keselamatan pasien =
Makassar 0,002< = 0,05,
pembelajaran
organisasi peningkatan
berkelanjutan terkait
pelaporan insiden
keselamatan pasien =
0,045< = 0,05,
kerjasama di unit
rumah sakit terkait
pelaporan insiden
keselamatan = 0,009<
= 0,05, umpan balik
komunikasi terkait
keselamatan
pelaporan insiden =
0,045< = 0,05, respons
non-hukuman terkait
dengan pelaporan

38
insiden keselamatan =
0,002 < = 0,05.
Variabel budaya
keselamatan
berhubungan signifikan
dengan pelaporan
insiden keselamatan
pasien di rumah sakit.

3.3. Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak terdapat pengaruh atau hubungan dari Budaya Keselamatan

terhadap Kejadian Tidak Diharapkan (Adverse Events) pada

Puskesmas di Kota Malang.

H1 : Terdapat pengaruh atau hubungan dari Budaya Keselamatan terhadap

Kejadian Tidak Diharapkan (Adverse Events) pada Puskesmas di Kota

Malang.

39
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kuantitatif

dengan rancangan retrospektif yaitu menggali budaya keselamatan dengan

kejadian tidak diharapkan (Adverse Events). Penelitian deskriptif bertujuan

untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan dengan variabel

dependen, bertujuan untuk menjelaskan hubungan dari budaya

keselamatan dengan kejadian tidak diharapkan (Adverse Events).

4.2. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi merupakan suatu obyek/subyek yang memiliki kualitas

serta karakteristik tertentu yang telah ditentukan oleh penulis yang

kemudian akan dipahami serta dipelajari dan berakhir dengan ditariknya

sebuah kesimpulan. Populasi pada penelitian ini yaitu semua perawat

yang bekerja pada Puskesmas di Kota Malang dengan jumlah 30

karyawan.

b. Sampel

Sampel adalah elemen dari jumlah serta karakteristik yang di miliki

oleh populasi tersebut. Penulis akan menggunakan teknik nonprobability

sampling yakni sensus (sampling total) yang merupakan teknik

pengembalian sampel dimana seluruh anggota populasi dijadikan

40
sampel semua. Menurut Sugiyono, (2017) metode penetuan sampel

jenuh atau total sampling adalah teknik penentuan sampel bila semua

anggota populasi digunakan sebagai sampel. Sampel yang diambil

dalam penelitian ini adalah Perawat pada Puskesmas Kota Malang yang

berjumlah 30 perawat sebagai responden penelitian ini. Alasan

menggunakan seluruh populasi menjadi sampel adalah dikarenakan

mewakili seluruh populasi karena jika kurang dari 100 populasi, maka

dijadikan sampel penelitian semuanya, oleh karena itu peneliti

mengambil 30 sampel yang diambil dari seluruh Perawat pada

Puskesmas Kota Malang.

4.3. Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian kuantitatif (numerik) adalah variabel yang

mewakili kuantitas yang dapat dihitung atau diukur. Pada penelitian

kuantitatif menggambarkan dua variabel, yaitu variabel bebas (variabel yang

variasinya mempengaruhi variabel lain) dan variabel terikat (variabel

penelitian yang diukur untuk mempengaruhi besarnya efek atau pengaruh

variabel lainnya). Pada penelitian ini menggunakan variabel bebas yaitu

budaya keselamatan pasien sebagai X1 dan menggunakan variael terikat

yaitu kejadian tidak diharapkan (Adverse Events) sebagai Y.

4.4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Puskesmas di Kota Malang. Kegiatan

penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2023 - Agustus 2023.

41
4.5. Bahan dan Alat/Instrumen Penelitian

Berdasarkan karakteristik penelitian kuantitatif, instrumen yang

digunakan pada penelitian yaitu lembar kuesioner dan format checklist data

variabel independen budaya keselamatan pasien dan variabel dependen

kejadian tidak diharapkan (Adverse Events).

4.6. Definisi Operasional

Definisi teori dan definisi konseptual dari variabel budaya keselamatan

pasien dan variabel kejadian tidak diharapkan (Adverse Events) dapat dilihat

sebagai berikut :

Tabel 4.1

Definisi Teori Dan Definisi Konseptual Variabel Penelitian

No Variabel Indikator Definisi Definisi Alat


Penelitian Teori Konsep Ukur
1 Budaya a. Informed Budaya Persepsi ini Skala
Keselamatan culture keselamatan meliputi Likert
Pasien b. Reporting pasien kumpulan
culture adalah norma,
c. Just produk dari standar
culture nilai, sikap, profesi,
d. Learning kompetensi kebijakan,
culture dan pola komunikasi
perilaku dan tanggung
individu dan jawab dalam
kelompok keselamatan
yang pasien.
menentukan Budaya ini
komitmen, kemudian

42
style dan mempengaru
kemampuan hi keyakinan
suatu dan tindakan
organisasi individu
pelayanan dalam
kesehatan memberikan
terhadap pelayanan.
program Budaya
keselamatan keselamatan
pasien pasien
(Kemenkes, merupakan
2017). bagian
penting
dalam
keseluruhan
budaya
organisasi
yang
diperlukan
dalam
institusi
kesehatan.

2 Kejadian Tidak a. Kejadian Menurut Adverse Skala


Diharapkan Sentinel Komite Events (AE) Likert
(Adverse b. Kejadian Keselamatan didefinisikan
Events) Nyaris Pasien sebagai suatu
Cedera Rumah Sakit kejadian yang
(KNC) atau (KKP- tidak
c. Kejadian RS, 2018) diharapkan
Tidak mendefenisik (KTD) yang
Cedera an KTD disebabkan
(KTC) sebagai oleh
suatu kesalahan

43
d. Kondisi kejadian pengobatan/tr
Potensial yang eatment serta
Cedera mengakibatk dapat
(KPC) an cedera berdampak
yang tidak negatif
diharapkan bahkan fatal
pada pasien pada pasien.
karena suatu Pada
tindakan dasarnya,
(Commission Adverse
) atau karena Events (AE)
tidak bersifat
bertindak ketidak
(omission), sengajaan.
dan bukan Jadi tidak
karena direncanakan
kondisi untuk
pasien. KTD merugikan
ada yang orang lain.
dapat Namun apa
dicegah dan pun
ada yang alasannya hal
tidak dapat tersebut tidak
dicegah. boleh terjadi
karena bisa
berdampak
negatif dan
bahkan fatal
pada pasien.

4.7. Prosedur Penelitian/Pengumpulan Data

44
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kuantitatif cross-sectional, peneliti akan mengamati masalah budaya

keselamatan pasien terhadap kejadian tidak diharapkan (Adverse Events).

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

menggunakan checklist data kelengkapan dan lembar kuesioner sesuai

dengan variabel yang sudah ditetapkan. Pengumpulan data untuk variabel

budaya keselamatan pasien dan variabel kejadian tidak diharapkan (Adverse

Events). Penulis akan menelaah berkas kejadian tidak diharapkan (Adverse

Events), yaitu mengumpulkan berkas dan data-data yang diperlukan dalam

permasalahan penelitian yaitu mengenai budaya keselamatan pasien

terhadap kejadian tidak diharapkan (Adverse Events).. Berkas kejadian tidak

diharapkan (Adverse Events) dapat terdiri dari identitas pasien, jumlah

kejadian sentinel, jumlah kejadian nyaris cedera (KNC), jumlah kejadian

tidak cedera (KTC), jumlah kondisi potensial cedera (KPC) dan lainnya.

Pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih 5 hari kerja.

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini adalah dengan cara:

1. Kuesioner

Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang disiapkan oleh peneliti

dimana tiap pertanyaannya berkaitan dengan masalah penelitian.

Kuesioner tersebut pada akhirnya diberikan kepada responden untuk

dimintakan jawaban. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang

diberikan kepada orang lain dengan maksud agar orang yang diberikan

tersebut bersedia memberikan respon sesuai dengan permintaan

pengguna. Responden dalam penelitian ini adalah Perawat pada

Puskesmas Kota Malang yang berjumlah 30 perawat.

45
2. Telaah dokumen

Penulis akan menelaah dan melihat kembali data dokumen-dokumen

yang ada, dan kemudian dianalisis. Telaah dokumen menggunakan

lembar kuesioner dan check list data.

4.8. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan oleh penulis menggunakan analisis

kuantitatif mengenai pentingnya tiap variabel yang ada pada budaya

keselamatan dengan kejadian tidak diharapkan (Adverse Events)

dilakukan dengan skoring penilaian menggunakan checklist data dan

kuesioner. Kuisioner perlu untuk dilakukan uji instrumen yang terdiri dari uji

validitas dan uji reliabilitas terlebih dahulu, dikarenakan untuk melihat

kevaidtan dari setiap pertanyaan kuisioner..

Pada tahap menganalisis data kuantitatif menggunakan checklist

data, dilakukan pengkodean data menjadi dua bagian yaitu kode dengan

nomor 1 (satu) yaitu lengkap dan kode data 0 (nol) yaitu tidak lengkap.

Kemudian data diolah dengan menggunakan perangkat lunak statistik

untuk mengelompokkan data berdasarkan nilai rata – rata kelengkapan

kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Data yang telah

diolah kemudian dianalisis dengan bantuan komputer menggunakan

program SPSS versi 25 sesuai kebutuhan. Untuk membuktikan hipotesis

dilakukan tehnik sebagai berikut:

Sebelum melakukan uji hipotesis maka harus dilakukan uji asumsi

dasar terhadap data penelitian. Uji Asumsi Dasar terdiri dari uji normalitas

dan uji homogenitas. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah

46
suatu populasi (data) terdistribusi normal atau tidak, dan apakah

mempunyai beberapa varian yang sama serta menguji kelinieritasan data.

Pada penelitian ini uji normalitas yang digunakan adalah Uji

Shapiro-Wilk. Hal ini disebabkan jumlah responden pada penelitian ini < 50

orang.

4.8.1. Analisis Univariat

Analisis ini mendeskripsikan karakteristik dari masing- masing

variabel yang diteliti, yang terdiri dari variabel independen yaitu

budaya keselamatan pasien dengan kriteria responden berdasarkan

usia, jenis kelamin dan jabatan serta variabel dependen yaitu

kejadian tidak diharpkan (Adverse Events) .

4.8.2. Analisis Multivariat

Analisis multivariat adalah salah satu dari teknik statistik yang

diterapkan untuk memahami struktur data dalam dimensi tinggi.

Dimana variabel-variabel yang dimaksud tersebut saling terkait satu

sama lain. Uji ini dilakukan adalah uji validitas, uji realibilitas dan uji

Asumsi Klasik.

a. Uji Validitas

Uji validitas dimanfaatkan guna mengukur valid tidaknya

suatu kuesioner (Ghozali, 2016). Suatu kuesioner dinyatakan

valid apabila pertanyaan pada kuesioner bisa sebagai pembuka

sesuatu yang akan diukur kemudian dijadikan data oleh penguji.

Jadi, validitas sebagai gambaran dari apakah ada kesesuaian

sebuah kuesioner dengan apa yang akan diukur. Dasar

pengambilan keputusan dalam menguji validitas yaitu :

47
 Jika r hitung positif dan r hitung > r tabel (taraf sig 5%)

maka variabel dinyatakan valid.

 Jika r hitung tidak positif serta r hitung < r tabel (taraf sig

5%) maka variabel dinyatakan tidak valid.

b. Uji Realibititas

Uji reliabilitas merupakan alat untuk mengukur suatu

kuesioner sebagai indikator dan variabel (Ghozali, 2016).

Kuisioner dinyatakan reliabel apabila pertanyaan pada kuesioner

dijawab secara konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Jadi,

reliabilitas merupakan alat yang dipakai dalam mengukur suatu

kuesioner sebagai indikator dari suatu variabel. Cara yang

dipakai dalam menguji reliabilitas kuesioner pada penelitian ini

dengan menggunakan rumus koefisien Alpha Cronbach, yaitu :

 Jika hasil koefisien Alpha > taraf signifikansi 60% atau 0,6

maka kuesioner dinyatakan reliabel.

 Jika hasil koefisien Alpha < taraf signifikansi 60% atau 0,6

maka kuesioner dinyatakan tidak reliabel.

c. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik memiliki tujuan guna melihat kondisi data

yang dipakai dalam penelitian. Hal itu supaya didapatkan

model analisis yang tepat. Supaya memperoleh regresi yang

baik harus memenuhi uji-uji asumsi yang memjadi suatu

syarat tertentu yaitu terpenuhinya uji normalitas,

multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas

(Ghozali, 2016).

48
1) Uji Normalitas

Uji normalitas memiliki tujuan dalam menguji apakah

penggunaan model regresi, variabel independen dan

dependen memiliki distribusi normal atau tidak. Model

regresi yang baik yaitu jika hasil distribusi data normal

atau mendekati normal, apabila terjadi penyebaran data

di sekitar garis diagonal dan searah dengan garis

diagonal, maka sudah terpenuhinya asumsi normalitas.

Apabila tingkat signifikansi probabilitas > 0,05 maka bisa

dinyatakan data berdistribusi normal. Apabila tingkat

signifikansi probabilitas < 0,05 maka bisa dinyatakan data

tidak berdistribusi normal (Ghozali, 2016).

2) Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas memiliki tujuan dalam menguji

apakah dalam model regresi didapatkan adanya korelasi

antar variabel bebas (independen). Jika terjadi korelasi,

maka disebut sebagai terdapat problem multikolinearitas

(Ghozali, 2016). Model regresi yang baik semestinya tidak

terjadi korelasi diantara variable bebas. Berdasarkan

pendapat (Ghozali, 2016) dalam mengetahui ada atau

tidaknya multikolinearitas pada model regresi yaitu

sebagai berikut:

 Nilai R2 tinggi tetapi variable bebas banyak yang

tidak signifikan, maka dalam model regresi

ditemukan adanya multikolinearitas.

49
 Menganalisis matrik korelasi variable bebas.

Apabila korelasi antar variable bebas tinggi diatas

0,90 maka ditemukan multikolinearitas.

 Multikolinearitas bisa dilihat dari nilai Tolerance

dan nilai Variance Inflation Factor (VIF). Tolerance

mengukur variabilitas variabel independen yang

telah dipilih dan tidak diuraikan oleh variabel

bebas lainnya. Apabila nilai tolerance yang tinggi

sama dengan VIF tinggi (karena

VIF=1/Tolerance). Nilai cut off yang biasa

diterapkan sebagai upaya dalam memperlihatkan

adanya multikolinearitas yaitu nilai Tolerance ≤

0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10 dengan

tingkat kolonearitas 0,95.

3) Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas memiliki tujuan dalam menguji

apakah pada model regresi terjadi ketidaksamaan

variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan

yang lain (Ghozali, 2016). Apabila variance pada residual

dari suatu pengamatan ke pengamatan lain tidak

berubah, maka dinamakan homoskedastisitas dan

apabila mengalami perubahan dinamakan

heteroskedastisitas. Model regresi yang baik yaitu ialah

homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas

(Ghozali, 2016). Cara untuk mengetahui ada atau

50
tidaknya heteroskedastisitas dengan model Glejser Test,

yaitu dengan cara meregresikan nilai absolute residual

terhadap variabel independen. Sehingga bisa terlihat ada

tidaknya derajat kepercayaan 5%. Apabila nilai signifikan

variable independen > 0,05 maka tidak terjadi

heteroskedastisitas. Begitupula apabila nilai signifikansi

variabel independent < 0,05 maka terjadi

heteroskedastisitas

4.8.3. Uji Hipotesis

Penelitian ini menggunakan SPSS untuk pengujian hipotesis.

Uji hipotesis digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh

signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen baik

secara parsial maupun simultan.

1). Uji Signifikan Simultan (Uji F)

Uji F digunakan untuk menguji keberartian pengaruh dari

seluruh variabel independen secara bersama-sama pada variabel

dependen. Dasar pengambilan keputusannya adalah melakukan

analisis dengan program SPSS. Dengan program SPSS, uji Anova

atau F test, bila didapatkan koefisien signifikan t (βi) < taraf

signifikansi yang telah ditetapkan (α = 5%), maka model regresi

bisa dipakai untuk memprediksi variabel dependen menurut Imam

Ghozali (2013). Dalam uji F, ada beberapa kriteria untuk

menentukan pengaruh seluruh variabel independen secara

simultan pada variabel dependen. Kriteria yang digunakan adalah:

51
 Ho : β1 = β2 = β3 = β4 = 0

Ho diterima apabila F hitung < F tabel, artinya semua

variabel bebas secara bersama-sama bukan merupakan

variabel penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.

 Ha : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ β4 ≠ 0

Ho ditolak apabila F hitung > F tabel, artinya semua

variabel bebas secara bersama-sama merupakan penjelas

yang signifikan terhadap variabel terikat.

2) Uji Parsial (Uji t)

Uji t pada dasarnya menunjukan seberapa jauh pengaruh satu

variabel independen secara individual menerangkan variasi

variabel terikat (Ghozali, 2018). Pengujian parsial regresi

dimaksudkan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara

individual mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat dengan

asumsi variabel yang lain itu konstan. Dasar pengambilan

keputusan :

 Ho : βi = 0 Jika probabilitas (signifikansi)> 0,05 (α) atau

hitung < t tabel berarti hipotesa tidak terbukti maka H0

diterima Ha ditolak, bila dilakukan uji secara parsial..

 Ha : βi ≠ 0 Jika probabilitas (signifikansi)< 0,05 (α) atau t

hitung > t tabel berarti hipotesa terbukti maka H0 ditolak

dan Ha diterima, bila dilakukan uji secara parsial.

4.8.4. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) untuk mengukur seberapa jauh

kemampuan model (budaya keselamatn pasien) dalam menerangkan

52
variasi variabel dependen/terikat (kejadian tidak diharapkan/Adverse

Events) (Ghozali, 2016). Nilai koefisien determinasi yaitu berkisar dari

nol (0) dan satu (1). Nilai R2 yang kecil artinya kemampuan variabel-

variabel independen dalam menguraikan variasi variabel dependen

sangat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel

independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan

untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2016). Dalam

penelitian ini koefisien determinasi bertujuan untuk mengetahui

seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh budaya keselamatan

pasien (X1) terhadap kejadian tidak diharapkan (Adverse Events )

(Y). Angka koefisien determinasi dapat diperoleh dengan

menggunakan program SPSS, kemudian dilihat pada tabel model

summary dikolom Adjusted R Square (R2).

DAFTAR PUSTAKA

53
Alamsyah, Dedi. (2017). Manajemen Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Nuha

Medika.

Azwar, A. 2016. Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi III. Binarupa Aksara.

Jakarta.

Beginta, Romi. 2019. Pengaruh Budaya Keselamatan Pasien, Gaya

Kepemimpinan, Tim Kerja, Terhadap Persepsi Pelaporan Kesalahan

Pelayanan Oleh Perawat Di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Bekasi Tahun 2019.

Bird, D. 2017. Patient safety: Improving incident Patient safety: Increase the

incidence of adverse events.

Blegen, M Am et, al. 2018. Safety Climate In Hospital Unit: A New Measure

Advance In Patient Safety. Vol. 4

Cahyono, J.B. Suharjo B. 2018. Membangun Budaya Keselamatan Pasien Dalam

Praktik Kedokteran. (Yogyakarta : Kanisius)

DepKes RI. 2016. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient

Safety). Edisi 2. Jakarta: Bakti Husada.

Flemming M & Wentzell N. 2018. Patient Safety Culture Improvement Tool :

Development and Guidelines for Use. Healthcare Quarterly Vol 11 Special

Issue 2018.

Ghozali, Imam. 2016. Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS. Edisi ke

tujuh. BPFE: Universitas Diponegoro. Semarang.

54
Hamdani, Siva. 2017. Analisis Budaya Keselamatan Pasien (Patient safety Culture)

Di Rumah Sakit Islam Jakarta Tahun 2007. Tesis. FKM UI

Ilyas, 2018. Kiat Sukses Manajemen Tim Kerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Ismainar, H. (2018). Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Deepublish.

Joint Commission. International. JCI, 2017. Standar akreditasi rumah sakit. ed 6.

TransMedical Institute for RSUP. Dr. W

Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS. 2017. Institute of Medicine : To Err is

Human: Building a Safer Health System. Washington DC: National

Academy Press

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit. 2018. Pedoman Pelaporan Insiden

Keselamatan Pasien (Patient Safety Incident Report). Jakarta : Edisi 2

National Patient Safety Agency. 2016. Manchester Patient Safety Framework

(MaPSAF) – Acute

Notoatmodjo,S. 2017. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurnalia, Devi.2017. Pengaruh Program Mentoring Keperawatan terhadap

Penerapan Budaya Keselamatan Pasien di Ruang Rawat Inap RS Sultan

Agung Semarang.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan

Masyarakat. 2014.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 11 Tahun 2017 Tentang Keselamatan Pasien

55
Reason JT, Carthey J. 2017. Diagnosing “Vulnerable System Syndrome”: an

Essential Prerequisite to Efective Risk Management. Quality in Health

Care. 10

Rebecca Cohen RN. EdD,. Providing Person – Centered Care In The Real World.

HN–BC;eNews. 2017

Salawati, L. (2020). Penerapan keselamatan pasien rumah sakit. AVERROUS:

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh.

Setiowati, Dwi. 2019. Hubungan Kepemimpinan Efektif Head Nurse dengan

Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana di RSUPN

Dr. Cipto Mangkusumo Jakarta.

Subekti, D. 2009. Analisis Hubungan Persepsi Mutu Pelayanan dengan Tingkat

Kepuasan Pasien Balai Pengobatan (BP) Umum Puskesmas Kabupaten

Tasikmalaya Tahun 2019.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Vellyana D. 2015. Tesis: Analisis Budaya Keselamatan Pasien dalam Pelayanan

Kesehatan di RS PKU Muhammadiyah Unit II Gamping. Program Studi

Magister Manajemen Rumah Sakit. Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta. Yogyakarta.

Yahya, A. 2017. Konsep dan Program Patient Safety. Pidato disampaikan dalam

Konvensi Nasional Mutu Rumah Sakit ke VI. Bandung

56

Anda mungkin juga menyukai