Agonis dan antagonis adrenergik menghasilkan efek klinis melalui interaksinya dengan
reseptor adrenergik (misalnya adrenoreseptor). Efek klinis obat-obatan ini dapat disimpulkan
dari pemahaman mengenai fisiologi adrenoreseptor dan pengetahuan mengenai reseptor-
reseptor yang diaktivasi atau diblok oleh tiap-tiap obat.
FISIOLOGI ADRENORESEPTOR
Istilah “adrenergik” merujuk pada efek epinefrin (adrenalin), meskipun norepinefrin
(noradrenalin) merupakan neurotransmitter utama yang bertanggung jawab untuk kebanyakan
aktivitas adrenergik pada sistem saraf simpatis. Dengan pengecualian pada kelenjar keringat
ekrin dan beberapa pembuluh darah, norepinefrin dirilis oleh serabut preganglion simpatis
pada jaringan organ target (gambar 14-1). Berbeda dengan asetilkolin yang dirilis oleh
serabut preganglion simpatis dan semua serabut parasimpatis.
Reseptor adrenergik dibagi ke dalam dua kategori umum: α dan β. Tiap-tiap reseptor
ini lebih lanjut dibagi ke dalam dua subtipe: : α 1 dan α 2 , serta β 1, β 2, dan β 3. Reseptor α
telah dibagi menggunakan teknik kloning molekul menjadi α 1A, α 1B, α 1D, α 2A, α 2B,
dan α 2C. Reseptor-reseptor ini tertaut dengan protein-G (gambar 14-4; Drs.Rodbell dan
Gilman menerima penghargaan Nobel pada fisiologi dan obat-obatan pada tahun 1994 untuk
penemuan mereka), merupakan reseptor heterotrimetrik dengan sub unit α, β, dan γ.
Adrenoreseptor yang berbeda tertaut dengan protein-G spesifik, masing-masing dengan suatu
efektor unik, tetapi masing-masing menggunakan guanosin trifosfat (GTP) sebagai suatu
kofaktor. α 1 tertaut dengan Gq, yang mengaktifkan fosfolipase; α 2 tertaut dengan Gi, yang
menghambat adenilate siklase dan β tertaut dengan Gs, yang mengaktifkan adenilat siklase.
Reseptor α 1
Reseptor α 1 merupakan adrenoreseptor post sinaptik yang berlokasi pada otot polos
dalam seluruh tubuh (di mata, paru-paru, pembuluh darah, uterus, usus, dan sistem
genitourinaria). Aktivasi reseptor ini meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler yang
menyebabkan kontraksi otot polos. Dengan demikian, agonis α 1 berkaitan dengan midriasis
(dilatasi pupil akibat kontraksi otot radial mata), bronkokonstriksi, vasokonstriksi, kontraksi
uterin, dan konstriksi spinchter pada traktus gastrointestinal dan genitourinaria. Stimulasi α 1
juga menghambat sekresi insulin dan lipolisis. Reseptor α 1 yang menguasai miokardium
memiliki efek inotropik, yang berperan dalam aritmia terinduksi katekolamin. Selama
iskemia miokardium, peningkatan reseptor α 1 yang berpasangan dengan agonis yang
terobservasi. Meski demikian, efek terpenting pada kardiovaskular oleh stimulasi α 1 yaitu
vasokonstriksi, yang meningkatkan resistensi vaskular perifer, beban akhir ventrikel kiri, dan
tekanan darah arteri.
Gambar 14-1: Sistem saraf simpatis.
Inervasi organ, jenis reseptor, dan respon terhadap stimulasi. Asal rantai simpatis adalah
medula spinalis torakoabdominal (T2-L3), berbeda dengan distribusi kraniosakral pada
sistem saraf parasimpatis. Perbedaan anatomis lainnya merupakan jarak yang besar dari
ganglion simpatetik ke struktur viseral.
Reseptor α 2
Berbeda dengan reseptor α 1, reseptor α 2 terletak utamanya di presinap ujung-ujung
saraf. Aktivasi adrenoreseptor ini menghambat aktivitas adenilat siklase. Hal ini menurunkan
masuknya ion kalsium ke dalam neuron terminal, yang membatasi eksositosis subsekuen dari
vesikel yang disimpan dan mengandung norepinefrin. Dengan demikian, reseptor α 2
menyebabkan lingkaran umpan balik negatif yang menghampat pengeluaran norepinefrin
selanjutnya dari saraf. Tambahan, otot polos pembuluh darah mengandung reseptor α 2 post
sinaptik yang menyebabkan vasokonstriksi. Lebih penting lagi, stimulasi reseptor α 2 post
sinaptik pada sistem saraf pust dapat menyebabkan sedasi dan mengurangi kerja simpatik,
yang menyebabkan vasodilatasi perifer dan penurunan tekanan darah.
Reseptor β 1
Reseptor adrenergik- β diklasifikasikan menjadi reseptor β 1, β 2, dan β 3.
Katekolamin, norepinefrin, dan epinefrin merupakan ekuipoten dengan reseptor β 1, tetapi
spinefrin secara signifikan lebih poten daripada norepinefrin pada reseptor β 2.
Reseptor β 1 yang paling penting terletak di membran post sinaptik jantung. Stimulasi
reseptor-reseptor ini mengaktifkan adenilat siklase, yang mengubah adenosin trifosfat
menjadi siklik adenosin monofosfat dan menginisiasi kaskade fosforilasi kinase. Inisiasi
kaskade tersebut memiliki efek kronotrofik (peningkatan laju jantung), dromotropik
(meningkatkan konduksi), dan inotropik positif (meningkatkan kontraktilitas).
Gambar 14-3: Metabolisme sekuensial pada norepinefrin dan epinefrin.
Monoamin oksidase (MAO) dan katekol-O-metiltransferase (COMT) memproduksi produk
akhir, yaitu vanillylmandelic acid (VMA).
1
0, tidak ada efek; +, efek agonis (ringan, sedang, ditandai); ?, efek tidak diketahui; DA 1
dan DA 2 , reseptor dopaminergik.
2
Efek α 1- pada epinefrin, norepinefrin, dan dopamin menjadi lebih menonjol pada dosis
tinggi.
3
Mode kerja utama pada epinefrin adalah stimulasi indirek.
Reseptor β 3
Reseptor β 3 ditemukan di kandung empedu dan jaringan adiposa otak. Peranannya dalam
fisiologi kandung empedu tidak diketahui, tetapi reseptor ini berperan dalam lipolisis dan
termogenesis lemak coklat.
Reseptor Dopaminergik
Reseptor dopamin (DA) merupakan kelompok reseptor adrenergik yang teraktivasi oleh
dopamin; reseptor-reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor D 1 dan D 2. Aktivasi
reseptor D 1 memediasi vasodilatasi pada ginjal, intestinal, dan jantung. Reseptor D 2
dipercaya berperan pada aksi antiemetik droperidol.
AGONIS ADRENERGIK
Agonis adrenergik berinteraksi dengan spesifisat yang bervariasi (selektivitas) pada
adrenoreseptor α dan β (tabel 14-1 dan 14-2). Aktivitas yang tumpang tindih merumitkan
prediksi efek klinis. Sebagai contoh, epinefrin menstimulasi adrenoreseptor α 1, α 2, β 1, dan
β 2. Efeknya pada tekanan darah arteri tergantung pada keseimbangan antara pengaruh
vasokonstriksi α 1, vasodilatasi β 2, dan inotropik β 1. Selain itu, keseimbangan ini berubah
pada dosis yang berbeda.
Agonis adrenergik dapat dikategorikan menjadi direk (langsung) atau indirek (tidak
langsung). Agonis direk mengikat reseptor, sementara agonis indirek meningkatkan aktivitas
neurotransmitter endogen. Mekanisme aksi indirek meliputi peningkatan pengeluaran atau
penurunan ambilan norepinefrin. Perbedaan antara mekanisme kerja direk dan indirek
merupakan hal penting pada pasien yang memiliki penyimpanan norepinefrin endogen yang
abnormal, bisa terjadi dengan penggunaan beberapa obat-obatan antihipertensi atau
penghambat monoamin oksidase. Hipotensi intraoperatif pada pasien-pasien ini seharusnya
diterapi dengan agonis direk, respon pada agonis indirek akan diubah.
Sifat lain yang membedakan agonis adrenergik dari yang lain adalah struktur kimia
mereka. Agonis adrenergik yang memiliki struktur 3,4-dihidroksibenzena (gambar 14-5)
dikenal sebagai katekolamin. Obat-obatan ini secara khusus bekerja singkat karena
metabolismenya oleh monoamine oksidase dan katekol-O-metiltransferase. Pasien yang
menggunakan penghambat monoamine oksidase atau antidepresan trisiklik bisa
menunjukkan respon yang berlebihan pada katekolamin. Secara alami, katekolamin
merupakan epinefrin, norepinefrin, dan dopamin (DA). Perubahan struktur rantai sisi (R1,
R2, R3) secara alami terbentuk katekolamin telah menyebabkan pengembangan katekolamin
sintetik (misalnya isoproterenol dan dobutamin), yang cenderung menjadi reseptor yang lebih
spesifik.