HALUSINASI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh :
M. Rijal ( J.0105.23.022 )
2. Paktor Predisposisi
a. Paktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya control dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap
stress
b. Faktor sosiokultural
Seseorang tang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya
c. Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seseorang maka dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
massa depannya
e. Faktor genetic dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
schizofrenia cenderung mengalami schizophrenia.
3. Faktor Presipitasi
a. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku menarik diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat
membedakan keadaan yang nyata dan tidak nyata.
Halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:
1) Dimensi fisik
Seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam
hingga delirium, intoksikasi alcohol dan kesulitan untuk tidur dalam
waktu yang lama.
2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.
3) Dimensi intelektual
Individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan
fungsi ego.
4) Dimensi social
Klien mengalami gangguan interaksi social dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam
nyata sangat membahayakan.
5) Dimensi spiritual
Klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupa secara
spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkandiannya terganggu,
karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang.
Core Problem
Isolasi sosial
Casua
Objektif:
Mata merah, wajah agak merah. Nada suara
tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri/orang lain,
ekspresi masah saat membicarakan orang,
pandangan tajam
2 Gangguan persepsi Subjektif :
sensori ; Halusinasi - Klien mengatakan mendengar bunyi
yang tidak berhubungan dengan
stimulus nyata
- Klien mengatakan melihat gambaran
tanpa ada stimulus yang nyata
- Klien merasa makan sesuatu
- Klien merasa ada sesuatu pada
kulitnya
- Klien takut pada suara/bunyi/gambar
yang dilihat dan didengar
Objektif:
- Klien berbicara dan tertawa sendiri
- Klien bersikap seperti
mendengar/melihat sesuatu
- Klien berhenti bicara ditengah
kalimat untuk mendengarkan sesuatu
- disorientasi
3 Isolasi sosial Subjektif:
Sukar didapat jika klien menolak
komunikasi, kadang hanya dijawab dengan
singkat “tiidak”, “ya”
Objektif:
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul,
menyendiri/menghindari orang lain, berdiam
diri dikamar, komunikasi kurang atau tidak
ada (banyak diam), kontak mata kurang,
menolak berhubungan dengan orang lain,
perawatan diri kurang, posisi tidur seperti
janin (menekur)
1 Gangguan 1. Klien dapat 1.1 Ekspresi wajah 1.1.1 bina hubungan saling percaya dengan Hubungan
persepsi membina bersahabat, mengungkapkan prinsip komunikasi saling percaya
sensori : hubungan menunjukkan rasa terapeutik: merupakan
halusinasi saling senang, ada kontak dasar untuk
percaya mata, mau berjabat a. sapa klien dengan ramah baik verbal kelancaran
tangan, mau maupun non verbal hubungan
menyebutkan nama, b. perkenalkan diri dengan sopan interaksi
mau menjawab salam, c. tanyakan nama lengkap klien dan selanjutnya
klien mau duduk nama panggilam yang disukao
berdampingan dengan d. jelaskan tujuan pertemuan
perawat, mau e. jujur dan menempati janji
mengutarakan f. tunjukkan sikap empati dan
masalah yang dihadapi menerima klien apa adanya
g. beri perhatian pada klien dan
perhatikan kebutuhan dasar klien
2.1 klien dapat
menyebutkan waktu,
isi, frekuensi 2.1.1 adakah kontak sering dan singkat Kontak sering
2. Klien dapat timbulnya halusinasi secara bertahap tapi singkat
mengenali selain membina
hubungan
halusinasiny 2.2 klien dapat saling percaya,
a mengungkapkan juga dapat
perasaan terhadap 2.1.2 observasi tingkah laku klien terkait memutuskan
halusinasi dengan halusinasinya; bicara dan tertawa halusinasi
tanpa stimulus, memandang ke kiri atau ke
kanan atau ke depan seolah-lah ada teman
bicara
4.2 keluarga dapat 4.1.2 diskusikan dengan keluarga (pada saat Dengan
menyebutkan berkunjung/kunjungan rumah) menyebutkan
pengertian, tanda a. gejala halusinasi yang dialami klien dosis, frekuensi
dan kegiatan untuk b. cara yang dapat dilakukan klien dan dan manfaat
mengendalikan keluarga untuk memutus halusinasi obat
halusinasi c. cara merawat anggota keluarga
untuk memutus halusinasi di rumah,
beri kegiatan, jangan biarkan
sendiri, makan bersama, bepergian
Bersama
d. beri informasi waktu follow up atau
kapan perlu mendapat banuan:
halusinasi terkontrol dan resiko
mencederai orang lain
5. Klien dapat 5.1 klien dan keluarga 5.1.1 diskusikan dengan klien dan keluarga Dengan
memanfaatk dapat menyebutkan tentang dosis, manfaat, ftekuensi obat menyebutkan
an obat manfaat, dosis dan efek dosis, frekuensi
dengan baik samping obat dan manfaat
obat.
5.2 klien dapat 5.1.2 anjurkan klien minta sendiri obat Diharapkan
mendemonstrasikan pada perawat dan merasakan klien
penggunaan obat secara manfaatnya menjelaskan
benar program
pengobtan.
Menilai
kemampuan
klien dalam
pengobatannya
sendiri
5.3 klien dapat informasi 5.1.3 anjurkan klien bicara dengan dokter Dengan
tentang efek samping obta tentang manfaat dan efek samping mengetahui
obat yang dirasakan efek samping
obat klien akan
tahu apa yang
harus
dilakukan
setelah minum
obat
5.4 klien dapat memahami 5.1.4 diskusikan akibat berhenti minum Program
akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi pengobatan
obat dapat berjalan
sesuai rencana
5.5 klien dapat 5.1.5 bantu klien menggunakan obat dengan Dengan
menyebutkan prinsip 5 prinsip benar mengetahui
benar minum obat prinsif
penggunaan
obat, maka
kemandirian
klien dapat
ditingkatkan
secara bertahap
DAFTAR PUSTAKA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh :
M. Rijal ( J.0105.23.022 )
Gambar Pohon Masalah Perubahan Proses Pikir : Waham (Nita Fitria, 2010: 80)
b. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan Data Yang Perlu Dikaji
Perubahan Isi Pikir : Waham DS :
Klien mengungkapkan sesuatu yang
diyakininya ( tentang agama,
kebesaran, kecurigaan, keadaan
dirinya) berulang kali secara
berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
DO :
Klien tampak tidak mempunyai orang
lain, curiga, bermusuhan, merusak
(diri, orang lain, lingkungan), takut,
kadang panik, sangat waspada, tidak
tepat menilai lingkungan / realitas,
ekspresi wajah klien tegang, mudah
tersinggung.
[1] D. Mukhripah and I. , Asuhan Keperawatan Jiwa, Bandung: PT Refika Aditama, 2012.
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh :
M. Rijal ( J.0105.23.022 )
b. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah
1) Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi,
akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat
pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian
dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak
aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada
orang lain maupun ling kungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai
objek.
2) Faktor Biologis
jiwa Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa Insiden
tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarganya
ada yang menderita skizofrenia.
3) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
"karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga seperti
anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial. Kelainan pada
struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penuri nam berat dan
volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan
skizofrenia.
c. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:
1) Stresor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan.
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan
orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kese pian karena
ditinggal jauh, dirawat di rumah sakit atau dipenjara Semua ini dapat
menimbulkan isolasi sosial.
2) Stresor Biokimia
a) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan meso
limbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia.
b) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan
MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka
menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizo
frenia.
c) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada
klienskizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan
karena dihambat
d. Tanda Gejala
Menurut Mustika Sari (2002) dalam asuhan keperawatan jiwa (2014: 80), tanda dan
gejala klien dengan isolasi sosial, yaitu:
1) Kurang spontan
2) Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)
3) Ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi sedih)
4) Afek tumpul
5) tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri
6) Komunikasi verbal menurun atau tidak ada.Klien tidak bercakap-cakap
7) dengan klien lain atau perawat
8) Mengisolasi (menyendiri)
9) Klien tampak memisahkan diri dari orang lain
10) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar
11) Pemasukan makanan dan minuman terganggu
12) Retensi urine dan feses
13) Aktivitas menurun atau kurang energi
14) Harga diri rendah
15) Menolak hubungan dengan orang lain
Effect
Isolasi Sosial
Core Problem
V. Diagnosa Keperawatan
a. Isolasi Sosial
b. Harga diri Rendah Kronik
c. Resiko gangguan persepsi sensori halusinasi
VI. Rencana Keperawatan Isolasi Sosial
No Diagnosa Perencanaan
Tgl Intervensi
Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi
1 Isolasi Sosial 1. Klien dapat 1. Ekspresi wajah 1.1. Bina hubungan saling percaya
membina bersahabat dengan mengungkapkan prinsip
hubungan saling 2. menunjukan rasa komunikasi terapeutik
percaya senang, a. Sapa klien dengan ramah
3. ada kontak mata, b. Perkenalkan diri dengan
4. mau berjabat tangan, sopan
5. mau menjawab salam, c. Tanyakan nama klien dan
6. klien duduk nama panggilan yang disukai
berdampingan dengan d. Jelaskan tujuan pertemuan
perawat, e. Jujur dan menepati janji
7. mau mengutarakan f. Tunjukan sifat empati dari
masalah yang dihadapi menerima klien apa adanya
g. Beri perhatian kepada klien
dan perhatikan kebutuhan
dasar klien
2. Klien dapat 1. Klien dapat 2.1.kaji pengetahuan klien tentnag
menyebutkan menyebutkan perilaku menarik diri dan tanda-
penyebab menarik penyebab menarik diri tandanya.
diri yang berasal dari : 2.2. Beri kesempatan kepada klien untuk
- Diri sendiri mengungkapkan perasaan penyebab
- Orang lain menarik diri.
- lingkungan 2.3.Diskusikan bersama klien tentang
perilaku menarik diri tanda-tanda
serta penyebab yang muncul
2.4.Berikan pujian terhadap kemampuan
klien dalam menggunakan
perasaannya.
3. Klien dapat 1. Klien dapat 3.1.Kaji pengetahuan klien tentang
menyebutkan menyebutkan manfaat dan keuntungan dan
keuntungan keuntungan kerugian berhubungan dengan orang
berhubungan berhubungan dengan lain
dengan orang lain orang lain 3.2.Beri kesempatan dengan klien untuk
dan kerugian tidak 2. Klien dapat mengungkapkan perasaan tentang
berhubungan menyebutkan kerugian keuntungan dan kerugian
dengna orang lain tidak berhubungan berhubungan dengan orang lain
dengan orang lain 3.3.Diskusikan bersama klien tentang
keuntungan dan kerugian
berhubungan dengan orang lain
3.4.Beri reinforcement positif terhadap
kemampuan pengungkapan perasaan
tentang keuntungan dan kerugian
berhubungan dengan orang lain.
4. Klien dapat 1. Klien dapat 4.1. Kaji kemapuan klien membina
melaksanakan mendemontrasikan hubungan dengan orang lain
hubungan sosial hubungan sosial secara 4.2. Dorong dan bantu klien utnuk
secara bertahap bertahap, antara berhubungan dengan orang lain
K-P melalui tahap
K-P-K K-P
K-P-Kel K-P-P lain
K-P-Klp K-P-P lain- K lain
K-P-Kel/Klp/Masy.
4.3.Beri reinforcement terhadap
keberhasilan yang telah dicapai
4.4.Bantu klien untuk mengevaluasi
manfaat yang berhubungan
4.5.Diskusikan jadwal harian yang dapat
dilakukan bersama klien untuk
mengisi waktu luang
4.6.Motivasi klien untuk mengikuti
kegiatan ruangan
4.7.Beri reinforcement atas kegiatan
kliendalam ruangan
[1] Damayanti, Mukhripah & Iskandar, Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
ADITAMA, 2014.
[2] Yosep, Iyus & Sutini, Titin, Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika ADITAMA,
2014.
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh :
M. Rijal ( J.0105.23.022 )
b. Faktor Predisposisi :
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistik, kegagalan yang berulang, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain,
dan ideal diri yang tidak realistis.
2. Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotipe peran
gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya
3. Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan
orangtua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial.
(Stuart & Sundeen, 2006)
c. Faktor Presipitasi :
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,kegagalan atau
produktivitas yang menurun. Secara umum, gangguan konsep diri harga diri
rendah ini dapat terjadi secara emosional atau kronik. Secara situasional karena
trauma yang muncul secara tiba tiba, misalnya harus
dioperasi,kecelakaan,perkosaan atau dipenjara, termasuk dirawat dirumah sakit
bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik atau
pemasangan alat bantu yang membuat klien sebelum sakit atau sebelum dirawat
klien sudah memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat.( Yosep,2009)
Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang
tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system
pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang
negatif, disfungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan
awal.(Townsend,2008)
b. Respon Maladaptif
Respon yang diberikan individu ketika dia tidak mampu lagi
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
1. Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk
menilai dirinya yang negatif dan merasa lebih rendah dari orang
lain
2. Keracunan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas
sehingga tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan
3. Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu
mempunyai kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu
berhubungan dengan orang lain secara intim. Tidak ada rasa
percaya diri atau tidak dapat membina hubungan baik dengan
orang lain
III.
a. Pohon Masalah
Isolasi Sosial
effect
DO :
Klien tampak lebih suka sendiri,
bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri / ingin
mengakhiri hidup
Format pengkajian pasien harga diri
rendah:
a. Keluhan utama:
b. Pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan:
c. Konsep diri:
1. Gambaran diri
2. Ideal diri
3. Harga diri
4. Identitas
5. Peran
IV. Diagnosa Keperawatan
a. Isolasi sosial menarik diri b/d harga diri rendah
b. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
inefektif
V. Rencana Tindakan Keperawatan
Tgl No Dx Perencanaan
Dx keperawat
an Tujuan Kreteria Evaluasi Intervensi
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh :
M. Rijal ( J.0105.23.022 )
f. Faktor Predisposisi
Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku destruktif diri
sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut :
1) Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu beresiko untuk meakukan tindakan bunuh diri adalah
gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko bunuh
diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan spikososial
faktor presdiposisi terjadinya bunuh diri, diantaranya adalah pengalaman
kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian negatif dalam
hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau bahkan perceraian.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
5) Faktor biokimia
Data menunjukan bahwa klien dengan resiko bunuh diri terjadi peningkatan
zat-zat kimia yang terdapat diotak seperti seretonin, adrenalin, dan
dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman
gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
g. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetus sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor
lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media
mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi
individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
h. Tanda Gejala
Menurut Fitria, dalam Asuhan Keperawatan Jiwa (2014 : 120) tanda gejala dari
resiko bunuh diri adalah :
1) Mempunyai ide bunuh diri
2) Mengungkapkan keinginan untuk mati
3) Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4) Impulsif
5) Menunjukan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi patuh)
6) Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
7) Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosis mematikan)
8) Status emosional (harapan penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan
mengasingkan diri)
9) Kesehatan mental ( secara klinis klien terlihat seperti orang depresi, spikosis
dan menyalahgunakan alkohol)
10) Kesehatan fisik (biasanya pada klien penyakit kronik dan terminal)
11) Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karir)
12) Usia (15-19 tahun atau diatas usia 45 tahun)
13) Status perkawinan ( mengalami kegagalan pernikahan)
14) Konflik interpersonal
15) Latar belakang keluarga
16) Orientasi seksual
17) Menjadi korban kekerasaan saat kecil
Faktor yang resiko bunuh diri menurut
FAKTOR RESIKO TINGGI RESIKO RENDAH
Umur >45 tahun/ akil balik 24-45th/< 12th.
Jenis kelamin Pria Wanita
Status kawin Cerai, Pisah Janda, duda Kawin
Hidup sosial Terisolasi Aktif bermasyarakat
Profesional, Dr, ahli
Keahlian Buruh
hukum
Pekerjaan Pengangguran Bekerja
Kesehatan fisik Kronik/ terminal Tak ada masalah medis
Kesehatan mental Depresi, dilusi, halusinasi Gangguan kepribadian
Obat dan alkohol Kecanduan Tidak pernah
Usaha bunuh diri
Minimal 1x Tidak pernah
sebelumnya
Rencana Pasti / spesifik Kabur (samar)
Tembak, loncat, gantung
Cara Minum obat, racun
diri
Tersedia alat Selalu tersedia Tidak sedia
[1] Damayanti, Mukhripah & Iskandar, Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
ADITAMA, 2014.
[2] Yosep, Iyus & Sutini, Titin, Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
ADITAMA, 2014.
[3] Gung Nugroho. (2011) Asuhan Keperawatan Pada Pasien Resiko Bunuh Diri.
[Online]. https://studylibid.com/doc/478962/asuhan-keperawatan-pada-
pasien-risiko-bunuh-diri,
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh :
M. Rijal ( J.0105.23.022 )
I. Masalah Utama
Perilaku Kekerasan
II. Proses Terjadinya Masalah
a. Definisi :
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan akan kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman
( AH Yusuf, dkk,2015).
Rentang Respon
Rentang Respon Marah
Respon adaptif Respon
Maladaptif
Asertif frustasi pasif agresi Perilaku kekerasan
C. Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan mengeluarkan respon marah apabila dirinya
merasa terancam. Ancaman tersebut dapat berupa luka secara psikis atau lebih
dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang
merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang terjadi
sember kemarahanya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-
sama mengidentifikasinya.
Contoh stressor eksternal : serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang
dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain
Contoh stressor internal : merasa gagal dalam merasa kehilangan orang yang
dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang di derita (Keliat, 1996 dalam Abdul
Muhith, 2015).
Perilaku kekerasan
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh :
M. Rijal ( J.0105.23.022 )
DO :
Badan bau, pakaian kotor, rambut
dan kulit kotor, kuku panjang dan
kotor, gigi kotor, mulut bau,
penampilan tidak rapih, tak bisa
menggunakan alat mandi.