Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN

KLIEN DENGAN HALUSINASI

OLEH:
YULI NURHAYATI
NIM 1930093

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2019
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Gangguan Persepsi Sensori
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. PENGERTIAN
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan
stimulus yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi adalah kesan, respon dan
pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).
2. PENYEBAB
Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu, misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
b. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak
bayi (unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya
pada lingkungannya.
c. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami oleh seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Akibat stress yang berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi
ketidakseimbangan Acetylcholine dan dopamine.
d. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan
klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien
lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam
hayal.
e. Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini.
Faktor Presipitasi
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan
tidak nyata.
Menurut Rawlins dan Heacock (dalam Yosep, 2009) mencoba memecahkan
masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu
sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-
spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :
1. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3. Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls
yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang
akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal
dan conforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol
diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi
dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk
itu.
5. Dimensi spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas
tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara
spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkardiannya terganggu, karena ia
sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa
hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah
dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain
yang menyebabkan takdirnya memburuk.
3. TANDA DAN GEJALA
1) Bicara sendiri.
2) Senyum sendiri.
3) Ketawa sendiri.
4) Menggerakkan bibir tanpa suara.
5) Pergerakan mata yang cepat
6) Respon verbal yang lambat.
7) Menarik diri dari orang lain.
8) Berusaha untuk menghindari orang lain.
9) Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
10) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
11) Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
12) Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
13) Sulit berhubungan dengan orang lain.
14) Ekspresi muka tegang.
15) Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
16) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
17) Tampak tremor dan berkeringat.
18) Perilaku panik.
19) Agitasi dan kataton.
20) Curiga dan bermusuhan.
21) Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
22) Ketakutan.
23) Tidak dapat mengurus diri.
24) Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang
4. KLASIFIKASI
Jenis halusinasi Data objektif Data subjektif

Dengar/suara Bicara atau tertawa sendiri Mendengar suara-suara atau kegaduhan


Marah-marah tanpa sebab Mendengar suara yang mengajak
Mencodongkan telingan bercakap-cakap
kearah tetentu Mendengar suara memerintah
Menutup telingan melaukakn sesuatu yang berbahaya
Penglihatan Menunujuk-nunjuk kearah Melihat bayangan, sinar, bentuk
tertentu geometris, bentuk kartun, melihat hantu
Ketakutan pada sesuatu atau monster
yang tidak jelas
Penciuman Tampak seperti sedang Mencium seperti bau feses, urine, darah,
mencium bau-bauan
Menutup hidung
Pengecapan Sering meludah Merasakan rasa seperti darah, urine dan
Muntah feses
Perabaan Menggaruk-garuk Mengatakan ada serangga dipermukaan
permukaan kulit kulit
Merasa seperti tersengat listrik
5. FASE
1) Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa
pikiran-pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika
ansietas dapat ditangani.
2) Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi menjijikkan.
Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien
mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya
dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami
dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.
3) Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi
berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi
dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik.
Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi
berhenti.
4) Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam
halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika
tidak ada intervensi terapeutik..
6. RENTANG RESPON
Adaptif                                                                                  Maladaptif

           Pikiran logis                     Distorsi pikiran                    Gangguanpikir/delusi


           Persepsi kuat                    Ilusi                                       Halusinasi
           Emosi konsistendengan   Reaksi emosi berlebihan       Sulit berespon
           Pengalaman                      atau kurang                          Perilaku disorganisasi
           Perilaku sesuai                 Perilaku aneh/tidak biasa      Isolasi sosial
           Berhubungan sosial          Menarik diri
7. MEKANISME KOPING
a) Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
b) Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
c) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal
8. AKIBAT
Akibat dari halusinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang
meminta dia untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya
III. POHON MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1) Pohon Masalah
Risiko mencederai diri
orang lain dan lingkungan

Perubahan sensori perseptual: halusinasi

Isolasi sosial : menarik diri

2) Masalah Keperawatan Dan Data yang Perlu Dikaji

Masalah Keperawatan : Gangguan Persepsi Sensori

Data yang perlu di kaji :

Jenis halusinasi, Isi Pikir, Frekuensi Halusinasi, Waktu Halusinasi, Respon

Pasien saat terjadi halusinasi

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
 SP 1 Pasien: Membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara
mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara
pertama: menghardik halusinasi.
 SP 2 Pasien: Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua: bercakap-
cakap dengan orang lain .
 SP 3 Pasien: Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga:
melaksanakan aktifitas terjadwal.
 SP 4 Pasien: Melatih Pasien Menggunakan obat secara teratur.
 SP 1 Keluarga: Pendidikan Kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi
yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi dan cara-cara merawat pasien
halusinasi.
 SP 2 Keluarga: Melatih keluarga praktek merawat pasien langsung dihadapan
pasien.
 SP 3 Keluarga: Membuat perencanaan pulang bersama keluarga.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. (2006) Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Stuart dan Laraia. (2007). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St.
Louis: Mosby Year Book.
LAPORAN PENDAHULUAN
KLIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH (HDR)

OLEH:
YULI NURHAYATI
NIM 1930093

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2019
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Harga Diri Rendah
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. PENGERTIAN
Harga diri rendah adalah perasan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena
tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri (Keliat, 2009).
2. PENYEBAB
a. Faktor predisposisi
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang, kurang mempunyai
tanggung jawab yang tidak realistis, kegagalan yang berulang, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan
ideal diri yang tidak realitis.
2. Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah sterotipe peran gender,
tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya
3. Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidak percayaan
orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial.
b. Faktor presipitasi
Menurut Yosep (2009), faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah
biasanya adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,
kegagalan atau produktivitas yang menurun. Secara umum, gangguan konsep
harga diri rendah dapat terjadi secara situasional atau kronik.secara situasional
karena trauma yang muncul secara tiba-tiba, misalnya harus dioperasi,
kecelakaan,perkosaan,atau penjara, termasuk dirawat di rumah sakit bisa
menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik atau
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman. Harga diri rendah
kronik, biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah
memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat.
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Keliat (2009), tanda dan gejala harga diri rendah kronik adalah sebagai
berikut:
a. Mengkritik diri sendiri
b. Perasaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang pesimis
d. Penurunan produktivitas
e. Penolakan terhadap kemampuan diri
Selain data diatas, dapat juga mengamati penampilan seseorang dengan harga
diri rendah, terlihat dari kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak
rapi, selera makan kurang,tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak
menunduk, bicara lambat dengan suara nada lemah
4. RENTANG RESPON

Respon adaptif Respon maldaptif


Aktualisasi diri Konsep diri Harga diri Kerancuan
Depersonalisasi Positif rendah identitas
III. POHON MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
a. Pohon Masalah
Isolasi sosial

Koping individu tidak efektif

Harga diri rendah kronik

b. Masaah Keperawatan dan Data Yang perlu dikaji


Masalah Keperawatan : Harga Diri Rendah
 Mengkritik diri sendiri
 Perasaan tidak mampu
 Pandangan hidup yang pesimis
 Penurunan produktifitas
 Penolakan terhadap kemampuan diri

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN Isolasi sosial

1. Tindakan keperawatan pada pasien :


 SP 1 Pasien: Mendiskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien,
membantu pasien menilai kemampuan yang masih dapat
Harga digunakan, membantu
diri rendah kronik
pasien memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih, melatih kemampuan
yang sudah dipilih dan menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang telah
dilatih dalam rencana harian. Koping individu tidak efektif
 SP 2 Pasien: Melatih pasien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan
kemampuan pasien.

2. Tindakan Keperawatan Pada Keluarga


 SP 1 Keluarga: Mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat
pasien di rumah, menjelaskan tentang pengertian, tanda dan gejala harga diri
rendah, menjelaskan cara merawat pasien dengan harga diri rendah,
mendemonstrasikan cara merawat pasien dengan harga diri rendah, dan memberi
kesempatan kepada keluarga untuk mempraktekkan cara merawat.
 SP 2 Keluarga: Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
masalah harga diri rendah langsung kepada pasien.
 SP 3 Keluarga : Membuat perencanaan pulang bersama keluarga.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2006. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta :
FIK, Universitas Indonesia
Stuart dan Sundeen . 2012 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Yusuf, Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN

OLEH:
YULI NURHAYATI
NIM 1930093

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2019
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Perilaku Kekerasan
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak keras
tetapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pria berusia
15-25 tahun, orang kota, kulit hitam, atau subgroup dengan budaya
kekerasan, peminum alkohol (Purba, dkk, 2008).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika
Sari, 2015).

2. PENYEBAB
a. Faktor predisposisi
1. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada
lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari
sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau
flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap
stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang
sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan
perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif
dan tindak kekerasan.

2. Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak
kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal
tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun,
dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola
perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih
kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
3. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu
menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai atau padat dan lingkungan yang ribut dapat
berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat
menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2007):
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

3. TANDA DAN GEJALA


Menurut Keliat (2009), tanda dan gejala harga diri rendah kronik adalah sebagai
berikut:
 Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
 Verbal : mengancam,mengumpat dengan kata-kata kotor,berbicara dengan
nada keras,kasar dan ketus.
 Perilaku: menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif
 Emosi: tidak adekuat, tidak nyaman dan nyaman, merasa terganggu,demam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk,ingin
berkelahi,menyalahkan, dan menuntut.
 Intelektual: mendominasi,cerewet,kasar,berdebat,meremehkan dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
 Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak
bermoral dan kreativitas terhambat
 Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran
 Perhatian: bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.
RENTANG RESPON
Respon adaptif respon maladaptif

Asertif frustasi pasif agresif kekerasan

Klien mampu Klien gagal Klien merasa Klien Perasaan


mengungkapkan menapai tujuan tidak dapat mengekspresikan marah dan
rasa marah tanpa kepuasan saat mengungkap secara fisik, tapi bermusuhan
menyalahkan marah dan kan masih terkontrol, yang kuat dan
orang lain dan tidak dapat perasaannya, mendorong orang hilang kontrol
memberikan menemukan tidak berdaya lain dengan disertai amuk,
kelegaan. alternatifnya. dan menyerah. ancaman merusak
lingkungan

III. POHON MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


a. Pohon Masalah
Effect Resiko Perilaku Kekerasan

Core Problem Perilaku Kekerasan

causa

Harga Diri Rendah


b. Masalah Keperawatan yang mungkin muncul
1. Perilaku kekerasan
2. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain
3. Harga diri rendah

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perilaku Kekerasan
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Tindakan keperawatan pada pasien :
 SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab perasaan
marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan,
akibatnya serta cara mengontrol secara fisik I (Tarik nafas dalam).
 SP 2 Pasien: Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik ke-2 (Pukul
kasur atau bantal).
 SP 3 Pasien: Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
(menolak dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan
baik).
 SP 4 Pasien: Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual (berdoa).
 Sp 5 Pasien: Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan obat.

2. Tindakan Keperawatan Pada Keluarga


 SP 1 Keluarga: Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang cara merawat
klien perilaku kekerasan di rumah.
 SP 2 Keluarga: Melatih keluarga melakukan cara-cara mengontrol kemarahan.
 SP 3 Keluarga : Membuat perencanaan pulang bersama keluarga.

VI. DAFTAR PUSTAKA


Keliat, Budi Anna. 2009. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta :
FIK, Universitas Indonesia
Stuart dan Sundeen . 2012 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Yusuf, Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
KLIEN DENGAN RISIKO BUNUH DIRI

OLEH :
YULI NURHAYATI
NIM 1930093

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2019
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Risiko Bunuh Diri
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
Bunuh diri adalah segala aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah
pada kematian (Gail W. Stuart, 2006). Bunuh diri adalah pikiran untuk
menghilangkan nyawa sendiri (Isaacs, Ann, 2005). Bunuh diri adalah ide, isyarat
dan usaha bunuh diri, yang sering menyertai gangguan depresif dan sering terjadi
pada remaja (Harold Kaplan, 2004). Perilaku bunuh diri sosial
Isolasi meliputu isyarat-isyarat,
percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau
mernyakiti diri sendiri (Yosep, Iyus. 2009).
2. Tanda dan Gejala
Harga diri rendah kronik
a. Keputusasaan
b. Celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berguna
c. Alam perasaan depresi
Koping individu tidak efektif
d. Agitasi dan gelisah
e. Insomnia yang menetap
f. Penurunan BB
g. Berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial.
Petunjuk psikiatrik :
a. Upaya bunuh diri sebelumnya
b. Kelainan afektif
c. Alkoholisme dan penyalahgunaan obat
d. Kelaianan tindakan dan depresi mental pada remaja
e. Dimensia dini/ status kekacauan mental pada lansia
Riwayat psikososial:
a. Baru berpisah, bercerai/ kehilangan
b. Hidup sendiri
c. Tidak bekerja, perbahan/ kehilangan pekerjaan baru dialami
Faktor-faktor kepribadian :
a. Implisit, agresif, rasa bermusuhan
b. Kegiatan kognitif dan negative
c. Keputusasaan
d. Harga diri rendah
e. Batasan/gangguan kepribadian antisocial (Rastirainia, 2009)
3. Tingkatan
Menurut Tri Aan (2009), perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang
diantaranya :
a) Suicidal ideation.
Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah
metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/tindakan, bahkan klien pada tahap
ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian,
perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang
keinginan untuk mati
b) Suicidal intent.
Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan yang
konkrit untuk melakukan bunuh diri,
c) Suicidal threat.
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yan dalam
bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya .
d) Suicidal gesture.
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada
percobaan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini
pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum beberapa pil atau
menyayat pembuluh darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena individu
memahami ambivalen antara mati dan hidup dan tidak berencana untuk mati.
Individu ini masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin di selamatkan, dan
individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering di namakan
“Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan stress yang tidak
mampu di selesaikan.

e) Suicidal attempt.
Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu ingin
mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan.
Walaupun demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan
kehidupannya.
f) Suicide.
Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri . hal ini telah didahului oleh
beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya. 30% orang yang berhasil melakukan
bunuh diri adalah orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri
sebelumnya. Suicide ini yakini merupakan hasil dari individu yang tidak punya
pilihan untuk mengatasi kesedihan yang mendalam.
4. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri dibagi menjadi 3 kategori:
a) Ancaman bunuh diri: ada peringatan verbal & non verbal, ancaman ini
menunjukkan ambivalensi seseorang terhadap kematian, jika tidak mendapat
respon maka akan ditafsirkan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh
diri.
b) Upaya bunuh diri: semua tindakan yang dilakukan individu terhadap diri sendiri
yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
c) Bunuh diri: terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan, orang yang
melakukan upaya bunuh diri walaupun tidak benarbenar ingin mati mungkin akan
mati.
B. Rentang Respon ( Menurut Yosep 2009)

Respon Adatif ResponMaladaptif


Peningkatkan Berisiko destruktif Destruktif diri Pencederaan Bunuh
Diri tidak langsung Diri Diri

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman bunuh diri
mungkin menunjukan upaya terakhir untuk mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi
masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adatif pada
diri seseorang.
a. Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri secara
wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertolongan diri. Sebagai contoh
seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai loyalitas
terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
b. Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami
perilaku destruktif atau menyalakan diri sendri terhadap situasi yang seharusnya dapat
mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya
dianggap tidak loyal terhadap pimpimnan padahal sudah melakukan pekerjaan secara
optimal.
c. Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat
atau maladaptive terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan
diri. misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka
seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak
optimal.
d. Pencederaan diri. Seorang melakukan percobaan bunuh diri tau pencederaan diri
akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
e. Bunuh diri. Seseorang telah melakukan tindakan bunuh diri sampai dengan nyawanya
hilang.
C. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen (2004), faktor predisposisi bunuh diri antara lain
1. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh diri
adalah rasa
bermusuhan, implisif dan depresi.
2. Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian, kehilangan
yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko
penting untuk prilaku destruktif.
4. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan depominersik
menjadi media proses yang dapat menimbulkan prilaku destrukif diri.
D. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2006) faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri
adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
E. Mekanisme Koping
1. Mood/affek: Depresi yang persisten, merasa
hopelessness, helplessness, isolation, sedih, merasa jauh dari orang lain, afek datar,
sering mendengar atau melihat bunyi yang sedih dan unhappy, membenci diri
sendiri, merasa dihina, sering menampilkan sesuatu yang tidak adekuat di sekolah,
mengharapkan untuk dihukum.
2. Perilaku/behavior: Perubahan pada penampilan fisik,
kehilangan fungsi, tak berdaya seperti tidak intrest, kurang mendengarkan,
gangguan tidur, sensitive, mengeluh sakit perut, kepala sakit, perilaku antisocial :
menolak untuk minum, menggunakan obat-obatan, berkelahi, lari dari rumah.
3. Sekolah dan hubungan interpersonal: Menolak untuk
ke sekolah, bolos dari sekolah, sosial teman-temannya, kegiatan-kegiatan sekolah
dan hanya interest pada hal – hal yang menyenangkan, kekurangan system
pendukung sosial yang efektif.
4. Keterampilan koping: Kehilangan batas realita,
menarik dan mengisolasikan diri, tidak menggunakan support system, melihat diri
sebagai orang yang secara total tidak berdaya.
F. Faktor – faktor Risiko Bunuh Diri
a. Perilaku
1. Membeli senjata
2. Mengubah surat wasiat
3. Membuat surat wasiat
4. Perubahan sikap yang nyata
5. Membeli obat dalam jumlah yang banyak
b. Fisik
1. Nyeri kronik
2. penyakit fisik
3. penyakit terminal
c. Psikologis
1. Penganiayaan masa kanak-kanak
2. Riwayat bunuh diri dari keluarga
3. Rasa bersalah
4. Remaja homoseksual
d. Situasional
1. Remaja yang tinggal ditatanan nontradisional
2. Ketidakstabilan ekonomi
3. kehilangan kebebasan
4. pension
e. Sosial
1. Gangguan kehidupan keluarga
2. kesepian
3. Kehilangan hubungan yang penting
4. putus asa

f. Verbal
1. menyatakan keinginan untuk mati
2. mengancam bunuh diri
G. Jenis Bunuh Diri
a. Bunuh diri egoistik (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh kondisi
kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalanintergrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa
mereka tidak menikah lebih rentang untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah.
b. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri
karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa kelompok
tersebut sangat mengharapkannya.
c. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antar individu dan
masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang
biasa. Individu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya
tidak memberikan kepuasan padanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya.
III. POHON MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
Risiko perilaku kekerasan ( pada diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal)

Resiko Bunuh Diri


Harga Diri Rendah

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Risiko Bunuh Diri

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tindakan Keperawatan untuk pasien percobaan bunuh diri
1) SP 1 Pasien: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.
2) SP 1 Keluarga: Percakapan dengan keluarga untuk melindungi pasien yang
mencoba bunuh diri.
Tindakan Keperawatan untuk pasien isyarat bunuh diri
1) SP 2 Pasien: Percakapan melindungi pasien dari isyarat bunuh diri.
2) SP 3 Pasien: Percakapan untuk meningkatkan harga diri pasien isyarat bunuh
diri.
3) SP 4 Pasien: percakapan untuk meningkatkan kemampuan dalam
menyelesaikan masalah pada pasien isyarat bunuh diri.
4) SP 2 Keluarga: Percakapan untuk mengajarkan keluarga tentang cara merawat
anggota keluarga berisiko bunuh diri. (isyarat bunuh diri)
5) SP 3 Keluarga: Melatih keluarga cara merawat pasien risiko bunuh diri atau
isyarat bunuh diri.
6) SP 4 Keluarga: Membuat perencanaan pulang bersama keluarga dengan pasien
risiko bunuh diri.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2006. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta :
FIK, Universitas Indonesia

Stuart dan Sundeen . 2012 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .


Yusuf, Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
KLIEN DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI (DPD)

OLEH:
YULI NURHAYATI
NIM 1930093

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2019
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Defisit Perawatan Diri (DPD)
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
Perawatan diri adalah salah suatu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu
perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2000).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah 2000 ).
2. Faktor Predisposisi dan Faktor Presivitasi
Menurut Depkes (2000: 20), penyebab kurang perawatan diri adalah:
a. Factor predisposisi
1) Perkembangan: Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis: Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun: Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya
dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4) Sosial: Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi: kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau
perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000: 59) faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
1. Body Image: Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.
2. Praktik Sosial: Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3. Status Sosial Ekonomi: Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti
sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan
uang untuk menyediakannya.
4. Pengetahuan: Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita
diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya: Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6. Kondisi fisik atau psikis: Pada keadaan tertentu atau sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri
adalah:
a. Fisik: Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor,
Gigi kotor disertai mulut bau, Penampilan tidak rapi.
b. Psikologis: Malas, tidak ada inisiatif, Menarik diri, isolasi diri, Merasa tak
berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Social: Interaksi kurang, Kegiatan kurang, Tidak mampu berperilaku sesuai
norma, Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok
gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
4. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif
Pola perawatan diri kadang perawatan diri Tidak melakukan
seimbang kadang tidak perawatan saat stress
5. Penatalaksanaan: Pasien dengan gangguan defisit perawatan diri tidak
membutuhkan perawatan medis karena hanya mengalami gangguan jiwa, pasien lebih
membutuhkan terapai kejiwaan melalui komunikasi terapeutik.

III. POHON MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


Isolasi Sosial: menarik diri

Defisit Perawatan Diri: mandi, berdandan

Harga Diri Rendah Kronis

Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


Defisit perawatan diri
Data yang Perlu Dikaji
1. Data Subyektif: Klien mengatakan malas mandi, tak mau menyisir rambut, tak mau
menggosok gigi, tak mau memotong kuku, tak mau berhias, tak bisa menggunakan
alat mandi / kebersihan diri.
2. Data Obyektif: Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan
kotor, gigi kotor, mulut bau, penampilan tidak rapih, tak bisa menggunakan alat
mandi.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Defisit Perawatan Diri
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan keperawatan untuk pasien
1) SP 1 Pasien: Mendiskusikan pentingnya kebersihan diri, cara-cara merawat diri
dan melatih pasien tentang cara-cara perawatan kebersihan diri.
2) SP 2 Pasien: Percakapan saat melatih pasien laki-laki berdandan: berpakaian,
menyisir rambut, bercukur.
3) SP 3 Pasien: Percakapan melatih berdandan untuk pasien wanita: berpakaian,
menyisir rambut, berhias.
4) SP 4 Pasien: Percakapan melatih pasien makan secara mandiri.
5) SP 5 Pasien: Percakapan mengajarkan pasien BAK/BAB secara mandiri.

Tindakan keperawatan pada keluarga


1) SP 1 Keluarga: Memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang
masalah perawatan diri dan cara merawat anggota keluarga yang mengalami
masalah kurang perawatan diri.
2) SP 2 Keluarga: Melatih keluarga cara merawat pasien.
3) SP 3 Keluarga: Membuat perencanaan pulang bersama keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2009. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta :
FIK, Universitas Indonesia

Stuart dan Sundeen . 2012 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .


Yusuf, Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
KLIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL (ISOS)

OLEH :
YULI NURHAYATI
NIM 1930093

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2019
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Isolasi Sosial (ISOS)
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien
mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain.
Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia
mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak
sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Keliat, 2010).
2. Faktor Predisposisi dan Faktor Presivitasi
a. Factor predisposisi:
1) Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan
sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat
masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya
stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi
akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa
percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku
curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam
berhubungan terdiri dari:
 Masa Bayi
 Masa Kanak-kanak
 Masa praremaja dan remaja
 Masa Dewasa muda
 Masa Dewasa tengah
 Masa Dewasa akhir
2) Faktor Komunikasi dalam Keluarga
3) Faktor Sosial Budaya
4) Faktor Biologis
b. Faktor presipitasi:
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:
1) Stresor sosial budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya
penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang
dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
2) Stresor biokimia
a. Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta
tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

b. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan


meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah
sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga
dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
3) Faktor endokrin

Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia.


Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat oleh
dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan hormon
adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
4) Viral Hipotesis
Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik diantaranya adalah
virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak.
5) Stresor biologik dan lingkungan sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat
interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
6) Stresor psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim
dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi
masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe
psikotik.
Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha
mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam
dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada masing-masing tingkah
laku adalahsebagai berikut:
 Tingkah laku curiga: proyeksi
 Dependency: reaksi formasi
 Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
 Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
 Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
 Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi dan
regrasi.

3. Tanda dan Gejala


Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat
ditemukan dengan wawancara, adalah:
a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
f. Pasien merasa tidak berguna
g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
h. Kurang spontan
i. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
j. Ekspresi wajah kurang bersih
k. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
l. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
m. Mengisolasi diri
n. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
o. Asupan makanan dan minuman terganggu
p. Retensi urine dan feses
q. Aktivitas menurun
r. Kurang energi (tenaga)
s. Rendah diri
t. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khusunya pada posisi tidur)

4. Rentang Respon

Respons Adaptif Respons Maladaptif

Menyendiri Menarik diri


Merasa sendiri
Otonomi Ketergantungan
Depresi
Bekerja sama Manipulasi
Curiga
Interdependen Curiga

Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.

 Respons Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam
batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk
respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa
yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama lain.
d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain
dalam membina hubungan interpersonal.
 Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan
disuatu tempat. Berikut ini adalah perlaku yang termasuk respons maladaptif.
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, sesorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga
tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara medalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.

III. POHON MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


Risti Mencederai Diri, Orang Lain dan Lingkungan

Defisit Perawatan Diri PPS: Halusinasi


IntoleransiAktivitas Isolasi sosial

Harga Diri Rendah Kronis

Koping Individu Tidak Efektif Koping Keluarga Tidak Efektif


Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
Isolasi Sosial, Halusinasi

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Isolasi Sosial
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan keperawatan untuk pasien
1) SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal
penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain dan mengajarkan pasien berkenalan.
2) SP 2 Pasien: Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan
orang pertama -seorang perawat-).
3) SP 3 Pasien: Melatih Pasien Berinteraksi Secara Bertahap (berkenalan dengan orang
kedua-seorang pasien).
Tindakan keperawatan pada keluarga
1) SP 1 Keluarga: Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang masalah isolasi
sosial, penyebab isolasi sosial, dan cara merawat pasien dengan isolasi sosial.
2) SP 2 Keluarga: Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
masalah isolasi sosial langsung dihadapan pasien.
3) SP 3 Keluarga: Membuat perencanaan pulang bersama keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2010. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta :
FIK, Universitas Indonesia

Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.
Stuart dan Sundeen . 2012 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Yusuf, Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika

Anda mungkin juga menyukai