Anda di halaman 1dari 19

SATUAN ACARA KEGIATAN (SAK)

PERAN KELUARGA PADA PASIEN HALUSINASI


DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA

Topik : Peran Keluarga Pada Pasien Halusinasi


Hari/Tanggal : Kamis, 22 November 2018
Waktu : 06.30 WIB
Penyaji : Mahasiswa Profesi Ners UNUSA
Tempat : Di Poli Jiwa Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya
Sasaran : Seluruh Keluarga Pasien

A. Latar Belakang
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan sensori
persepsi. Pasien yang mengalami halusinasi biasanya merasakan sensori palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau pengciuman (Direja,
2011). Sensori dan persepsi yang dialami pasien tidak bersumber dari
kehidupan nyata, tetapi dari diri pasien itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa
pengalaman sensori tersebut merupakan sensori persepsi palsu. Chaery
(2009) menyatakan bahwa dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang
mengalami halusinasi adalah kehilangan kontrol dirinya. Pasien akan
mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Pada situasi
ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain
(homicide),bahkan merusak lingkungan Untuk memperkecil dampak yang
ditimbulkan halusinasi, dibutuhkan penanganan yang tepat.
Peran perawat dalam menangani halusinasi di rumah sakit antara lain
melakukan penerapan standar asuhan keperawatan, terapi aktivitas kelompok,
dan melatih keluarga untuk merawat pasien dengan halusinasi. Standar
asuhan keperawatan mencakup penerapan strategi pelaksanaan halusinasi.
Strategi pelaksanaan adalah penerapan standar asuhan keperawatan terjadwal

1
yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk mengurangi masalah
keperawatan jiwa yang ditangani (Fitria, 2009).
Strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi mencakup kegiatan
mengenal halusinasi, mengajarkan pasien menghardik halusinasi, minum obat
dengan teratur, bercakap-cakap dengan orang lain saat halusinasi muncul,
serta melakukan aktivitas terjadwal untuk mencegah halusinasi (Keliat dkk,
2010).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyuluhan tentang cara merawat pasien dengan
perilaku kekerasan di harapkan keluarga pasien mengerti tentang apa
perilaku kekerasan dan bagaimana peran keluarga dalam merawat pasien
dengan perilaku kekerasan
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan penyuluhan tentang peran keluarga dalam
merawat pasien dengan perilaku kekerasan di harapkan mampu untuk :
a. Mengetahui tentang apa itu halusinasi
b. Mengetahui tentang penyebab dari halusinasi
c. Mengetahui tanda dan gejala halusinasi
d. Mengetahui dampak halusinasi
e. Mengetahui penatalaksanaan halusinasi
f. Mengetahui bagaimana peran keluarga dalam merawat pasien
dengan halusinasi

C. Sub Pokok Bahasan


1. Pengertian halusinasi
2. Penyebab halusinasi
3. Tanda dan gejala halusinasi
4. Dampak halusinasi
5. Penatalaksanaan halusinasi
6. Peran keluarga dalam merawat pasien dengan halusinasi

2
D. Tempat
Tempat : Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya Poli Jiwa
Alamat :

E. Strategi Pelaksanaan
1. Metode : Ceramah, Demonstrasi, dan Diskusi
2. Media : Lefleat dan Lembar Balik

F. Setting Tempat Duduk

Keterangan :
: Moderator

: Penyaji

: Peserta

: Observer

G. Kepanitiaan
1. Moderator : Evie Nurainy A. (1120018042)
2. Penyaji : Mita Dwi Nurandila (1120018054)
3. Observer : Sinta Anggyliani (1120018017)
Farahdhillah Zahra (1120018043)
4. Time Keeper : Ghoniyatur Rohmah (1120018024)
5. Dokumentasi : Sofia Kamala (1120018117)

3
H. Kegiatan
No Kegiatan Waktu Respon Keluarga
1. Pendahuluan
a. Salam Pembuka a. Menjawab salam
b. Perkenalan 15 menit b. Mendengarkan
c. Menyampaikan Pokok c. Memperhatikan
bahasan
d. Menyampaikan Tujuan d. Memperhatikan
2. Kegiatan inti
Penyampaian materi
menjelaskan tentang:
a. Pengertian Halusinasi
b. Penyebab halusinasi
c. Tanda dan Gejala 20 menit
halusinasi Memperhatikan
d. Dampak halusinasi
e. Penatalaksanaan
halusinasi
f. Peran keluarga dalam
merawat pasien dengan
halusinasi
3. Tahap Terminasi 10 menit Memberikan kesempatan
keluarga untuk
mendemonstrasikan ulang dan
bertanya
4. Penutup 5 menit
a. Memberikan kesimpulan a. Mengucapkan terimakasih.
b. memberikan salam b. Mengucapkansalampenutup
penutup

I. Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
a. Tenaga pelaksana kegiatan ini adalah mahasiswa.
b. Diharapkan anggota keluarga mengikuti kegiatan.
c. Kesiapan pemateri dari mahasiswa S1 Keperawatan Universitas NU
Surabaya.
d. Tersedianya alat dan bahan serta media untuk pelaksanaan kegiatan
2. Evaluasi Proses
a. Peserta
1) Diharapkan selama proses berlangsung, keluarga pasien mengikuti
hingga akhir

4
2) Diharapkan selama kegiatan berlangsung keluarga pasien aktif
bertanya.
3) Kegiatan terlaksana secara sistematis dan sesuai dengan rencana
kegiatan.
4) Media yang digunakan membuat keluarga lebih mudah paham
mengenai peran keluarga dalam merawat pasien dengan gangguan
jiwa
b. Pemateri
1) Mahasiswa dapat melaksanakan kegiatan sesuai perannya
2) Mahasiswa bisa memfasilitasi jalannya kegiatan
3. Evaluasi Hasil
a. Di awal : keluarga pasien dapat mengerti pengertian, penyebab, dan t
Keluarga pasien mengerti bagaimana cara merawat pasien dengan
perilaku kekerasan.
b. Di Akhir : Pemateri menanyakan apa yang sudah di sampaikan kepada
audience dan Audience menjawab lalu pemateri akan menyimpulkan.
c. Ada peningkatan pengetahuan tentang peran keluarga dalam merawat
pasien dengan perilaku kekerasan

5
BAB 2
TINJAUAN TEORI
A. Halusinasi
1. Pengertian
Halusinasi adalah gangguan persepsi yang membuat seseorang
medengar, merasa, mencium aroma dan melihat sesuatu yang
kenyataannya tidak ada. Klien memberi resepsi atau pendapat tentang
lingkungan tanpa ada objek rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien
mengatakan mendengar suara padahal tidaka ada orang yang berbicara
(Kusumawati, 2010).
Halusinasi adalah suatu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan sensori persepsi: merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, perabaan pengecapan dan penghiduan (Keliat,
2009)
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang
berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara mengenai klien
sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut (Stuart, 2007).
Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai
halusinasi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah
suatu keadaan yang merupakan gangguan persepsi panca indera tanpa ada
rangsang dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan pada
seseorang dengan keadaan sadar penuh (baik).

2. Faktor – faktor penyebab


a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Perkembangan yang terganggu misalnya rendah control dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, yang menyebabkan mudah frustasi, hilang percaya diri, dan
lebih rentan terhadap stress

6
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak terima lingkungannya sejak bayi
(unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya.
3) Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinnya gangguan jiwa, adannya
strees yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia,
seperti bufennol dan dimetytranferase (DMP). Akibat stress
bekepanjangan menyebabkan teraktifasinya, neurotransmitter otak,
misanya terjadi ketidakseimbangan asetyl kolin dan dopamine.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidak mampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata kea lam khayal.
5) Faktor genetic dan pola asuh
Penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh ortu
skizofreinia cenderung mengalami skizofreinia. hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
saling berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
1) Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak
dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlinsh
Heacock, 1993 mencoba mememcahkan masalah halusinasi
berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai
makhluk yang dibangun atas dasar unsur bio, psiko, sosial, spiritual.
Sehingga dapat dilihat dari 5 dimensi:

7
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alcohol, dan kesulitan tidur dalam waktu
lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi isi halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan
menakutkan.
c) Dimensi intelektual
Dalam dimensi ini individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan ego. Awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego sendiri melawan impuks yang menekan,
namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaaan
yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan akan
mengontrol semua perilaku klien.
d) Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asik dengan halusinasinya, seolah-olah dia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan agar interaksi
sosial, control diri, dan haarga diri yang tidak didapatkan dalam
dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan system control oleh individu
tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya
atau orang lain cenderung untuk itu. Aspek penting dalam
melakukan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan
suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal
yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri
sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan
halusinasi tidak berlangsung.

8
e) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan berupaya
secara spiritual untuk menyucikan diri.

3. Tanda dan Gejala


Menurut Stuart dan Sundeen (1998), seseorang yang mengalami halusinasi
biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu:
a) Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.
b) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
c) Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
d) Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.
e) Perilaku menyerang teror seperti panik.
f) Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
g) Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan
agitasi.

4. Jenis – jenis
Jenis-jenis Halusinasi menurut Buku Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa
(W.F Maramis):
a. Halusinasi penglihatan (visual optic): tak berbentuk atau sinar, kilapan
atau pola cahaya atau berbentuk orang, binatang atau barang lain yang
dikenalnya, berwarna atau tidak.
b. Halusinasi pendengaran (auditif, acustic): suara manusia, hewan atau
mesin, barang, kejadian alamiah dan musik.
c. Halusinasi pencium (olfactoric): mencium sesuatu bau.
d. Halusinasi pengecap (gustactori): merasa/mengecap sesuatu.
e. Halusinasi peraba (tactil): merasa diraba, disentuh, ditiup, disinari atau
seperti ada ulat bergerak dibawah kulitnya.
f. Halusinasi kinestetik : merasa badannya bergerak dalam sebuah ruang,
atau anggota badannya bergerak (umpamanya anggota badan
bayangan atau “panthom limb”).

9
g. Halusinasi viseral: perasaan timbul didalam tubuhnya.
h. Halusinasi hipnagogic: terdapat ada kalanya pada seorang yang
normal, tepat sebelum tertidur persepsi sensori bekerja salah.
i. Halusinasi hipnopompic: seperti pada nomor 8, tetapi terjadi tepat
sebelum terbangun sama sekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula
pengalaman halusinatoric dalam impian yang normal.
j. Halusinasi histeric: timbul pada nerosa histeric karena konflik
emosional.

5. Tahap – tahap
Menurut kusumawati, farida , 2011
Fase pertama disebut juga fase comforting yaitu fase menyenangkan.
Pada tahap ini masuk dalam golongan nonpsikotik. Karakteristik: klien
mengalami stres, cemas, perasaan perpisaan, rasa bersalah, kesepian yang
memuncak, dan yang tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan
memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara ini hanya menolong
sementara. Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon ferbal
yang lambat jika sedang asik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.
Fase kedua disebut juga dengan fase condemning atau ansietas berat
yaitu halusinasi menjadi menjijikkan. Termasuk kedalam psikotik ringan.
Karakteristik : pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan,
kecemasan meningkat, melamun, dan berpikir sendiri jadi dominan. Mulai
dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu,
dan ia tetap dapat mengiontrolnya. Perilaku klien : meningkatnya tanda-
tanda system saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah. Klien asik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan
realitas.
Fase ketiga adalah fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman
sensori menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi, semakin meninjol, menguasai
dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap

10
halusinasinya. Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang
perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien
berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah.
Fase ke empat adalah fase conquering atau panic yaitu klien lebur
dengan halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat. Karakteristik:
halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah, dan memarahi
klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang control dan tidak dapat
berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan. Perilaku klien
: perilaku terror akibat panic, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap
perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien halusinasi resiko menciderai
diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien skizofrenia adalah dengan pemberian obat-obatan
dan tindakan lain, yaitu :
a) Psikofarmakologis
Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada pasien skizofrenia
adalah obat-obatan anti-psikosis
b) Terapi kejang listrik atau Elektro Compulcive Therapy (ECT)

B. Konsep Keluarga
1. Definisi Keluarga
Keluarga adalah sekumpulan orang yang di hubungkan oleh
perkawinan, adopsi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan
mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan
fisik, mental, emosional dan social dari individu-individu yang ada di

11
dalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan untuk
mencapai tujuan bersama.
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung
karena hubungan darah, hubungan perkawinan, atau pegangkatan dan
mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinterksi sama lain dan
didalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan
kebudayaan (Friedman, 2010)
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu
rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi.
Mereka saling berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai peran
masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya
(Bailon dan Maglaya, 1978) , dikutip dari Setyowati, 2008)
Dari pengertian keluarga diatas penulis dapat menyimpulkan
bahwa keluarga adalah seperangkat bagian yang saling tergantung satu
sama lain serta memiliki perasaan beridentitas dan berbeda dari anggota
dan tugas utama keluarga adalah memelihara kebutuhan psikososial
anggota-anggotanya dan kesejahteraan hidupnya secara umum.

2. Tipe Keluarga
Menurut Harnilawati, (2013) pembagian tipe ini bergantung
kepada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan.
a. Secara tradisional
Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1) Keluarga Inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang hanya
terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunan
atau adopsi atau keduanya.
2) Keluarga Besar (Exended Family) adalah keluarga inti ditambah
anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah
(kakek-nenek, paman-bibi).
b. Secara modern berkembangnya peran individu dan meningkatnya
rasa individualisme maka pengelompokan tipe keluarga selain di atas
adalah:

12
1) Tradisional Nuclear : Ayah + Ibu + Anak – Serumah – Ikatan
pernikahan (saksi legal).
2) Extended Family : Keluarga inti + Sanak saudara (nenek, kakek,
keponakan, saudara, sepupu, paman, bibi, dsb).
3) Reconstituted Nuclear : Pembentukan baru dari keluarga inti,
ada perkawinan kembali, tinggal serumah dengan anak dari
perkawinan lama maupun baru, satu / keduanya dapat bekerja di
luar rumah.
4) Middle Age / Aging Couple : Suami sebagai pencari uang, istri
di rumah / kedua-duanya bekerja di rumah, anak – anak sudah
meninggalkan rumah karena sekolah / perkawinan / meniti karir.
5) Dyadic Nuclear : Suami + istri sudah berumur, tidak
mempunyai anak, keduanya / salah satu bekerja di luar rumah.
6) Single Parent : Satu orang tua, akibat perceraian / kematian
pasangan, anak – anak dapat tinggal di rumah / diluar rumah.
7) Dual Carier : Suami istri atau keduanya berkarier dan tanpa
anak
8) Commuter Carier : Suami istri / keduanya orang karier &
tinggal terpisah pada jarak tertentu, keduanya selagi mencari
pada waktu tertentu.
9) Single Adult : Wanita / pria dewasa tinggal sendiri dengan tidak
ada keinginan menikah.
10) Three Generation : Tiga generasi / lebih tinggal dalam satu
rumah.
11) Institutional : Anak- anak atau orang-orang dewasa tinggal
dalam suatu panti.
12) Communal : Satu rumah tidur dari 2 / lebih pasangan yang
monogami dengan anak – anaknya & bersama – sama dalam
penyediaan fasilitas.
13) Group Marriage : Satu Perumahan : Oorang tua &
keturunannya, satu kesatuan keluarga, tiap individu menikah

13
dengan yang lain & semuanya adalah orang tua dari anak –
anak.
14) Unmarried Parend and Child : Ibu & anak dimana perkawinan
tidak dikehendaki, anaknya diadopsi.
15) Cohibing Couple : Dua orang / pasangan yang tinggal bersama
tanpa pernikahan.

3. Jenis Dukungan Keluarga


Keluarga mempunyai fungsi pendukung yang bisa dilakukan dalam
keluarga tersebut (Friedman, 2010). Meliputi :
a. Dukungan sosial : dalam beberapa literature biasa disebut dukungan
informasional, dimana keluarga berfungsi memberikan, mencari dan
menyebarkan informasi kepada seluruh anggota keluarga.
Contohnya; ketika seorang anggota keluarganya mengalami
hipertensi, anggota keluarga lain mencari informasi seputar penyakit
hipertensi, cara pencegahannya ataupun cara mengobatinya baik itu
melalui petugas kesehatan, brosur, majalah, atau media sosial
lainnya. Jika informasi dirasa sudah cukup, maka beberapa dari
anggota keluarga tersebut menyampaikan pada pederita dan anggota
keluarga yang ikut merawatnya.
b. Dukungan penilaian : keluarga bertindak sebagai sistem pembimbing
umpan balik, membimbing dan menjadi perantara dalam
memecahkan suatu permasalahan, dan merupakan sumber serta
validator identitas anggota keluarga menjadi tempat untuk berbagi.
Tempat untuk menceritakan semua permasalahan dan menjadi
tempat memecahkan permasalahan itu bersama-sama. Contohnya,
tempat yang tepat untuk mendapatkan pengobatan, masalah yang
ditemui saat melakukan program pengendalian hipertensi.
c. Dukungan instrumental : keluarga adalah sumber bantuan praktis
dan konkrit. Contohnya; disaat salah satu anggota keluarga
hipertensi, maka anggota keluarga lain akan menyediakan semua
kebutuhannya, membuat jadwal kegiatan dan aktivitas yang akan

14
dilakukan jadwal pengobatan dan kontrol kesehatan, termasuk
menghindari penderita tersebut dari kelelahan.
d. Dukungan emosional : keluarga berfungsi sebagai pelabuhan
istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan emosional serta
meningkatkan moral keluarga. Keluarga besar dan teman dekat
menjadi tujuan utama dukungan ini. Walaupun begitu, tidak ada
yang bisa mengenal keluarga selain anggota keluarga itu sendiri.
Tenaga profesional kesehatanpun belum tentu bisa mempunyai
kepekaan yang sama dengan dengan keluarga inti. Apalagi untuk
perawatan penderita penyakit kronik yang sangat membutuhkan
keterlibatan keluarga.

4. Fungsi Keluarga
Menurut Friedman, Marilyn M,Vicky R Bowden, Elaine G Jones.
(2010) fungsi keluarga secara umum didefinisikan sebagai hasil akhir
atau akibat dari setruktur keluarga. Walaupun beberapa penulis
menggunakan “fungsi” untuk mengartikan.
a. Fungsi Afektif
Merupakan dasar utama baik untuk pembentukan maupun
keberlanjutan unit keluarga itu sendiri, sehingga fungsi afektif
merupakan salah satu fungsi keluarga yang paling penting. Saat
ini,ketika banyak tugas sosial yang dilaksanakan di luar unit
keluarga, sebagian besar upaya keluarga difokuskan pada
pemenuhan kebutuhan anggota keluarga akan masih sayang dan
pengertian.
b. Fungsi Sosial dan Status Sosial
Sosialisasi anggota keluarga adalah fungsi yang universa ldan
lintas budaya yang dibutuhkan untuk melangsungkan hidup
masyarakat. Sosialisasi merujuk kepada banyaknya pengalaman
belajar yang diberikan kepada keluarga yang ditujuan untuk
mendidik anak-anak tentang cara menjalankan fungsi dan memikul

15
peran sosial orang dewasa seperti yang dipikul suami istri dan ibu-
ayah.
c. Fungsi Kesehatan Keluarga
Fungsi fisik keluarga dipenuhi orang tua yang menyediakan
makanan, pakaina, dan tempat tinggal, perawatan kesehatan, dan
perlindungan terhadap bahaya. Pelayanan dan praktik kesehatan
(yang memengaruhi status kesehatan anggota keluarga secara
individual) adalah fungsi keluarga yang relafan bagi perawat
keluarga.
d. Fungsi Reproduksi
Salah satu fungsi dasar keluarga dalam menjamin kontinuitas
antar-generasi keluarga dan masyarakat yaitu, menyediakan anggota
baru untuk masyarakat. Dahulu, pernikahan dan keluarga dirancang
untuk mengatur dan mengendalikan perilaku seksual serta
reproduksi.
e. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga akan sumber
daya cukup finansial, ruang, dan materi serta alokasinya yang sesuai
melalui proses pengambilan keputusan. Suatu pengkajian mengenai
sumber ekonomi keluarga memberikan perawat, data yang relevan
dengan kemampuan keluarga untuk mengalokasikan sumber yang
sesuai guna memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan,
papan dan perawatan kesehatan yang adekuat.
f. Fungsi Perawatan Kesehatan
1) Kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, termasuk
bagaimana presepsi keluarga terhadap tingkat keparahan
penyakit, pegertian, danda dan gejala, aktor penyebab presepsi
keluarga terhadap masalah yang dialami keluarga.
2) Kemampuan keluaga dalam memgambil keputusan, termasuk
sejauh mana keluarga mengerti mengenai sifat dan luasnya
masalah, bagaimana masalah yang dirasakan oleh keluarga,
keluarga menyerah atau tidak terhadap masalah yang dihadapi,

16
adakah rasa takut terhadap akibat atau adakah sikap negatif dari
keluarga terhadap masalah kesehatan, bagaimana sistem
pengambilan keputusan yang dilakukan keluarga terhadap
angota keluarga yang sakit.
3) Kemampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit,
seperti keluarga mengerti keadaan sakitnya, sikap dan
perkembangan perawatan yang diperlukan, sumber-sumber yang
ada dalam keluarga serta sikap keluarga terhadap yang sakit.
4) Kemampuan keluarga memodifikasi lingkungan, seperti
pentingnya hygiene sanitasi bagi keluarga, upaya pencegahan
penyakit yang dilakukan keluarga, upaya pemelihraan
lingkungan yang dilakukan keluarga, kekompakan anggota
keluaraga dalam menata lingkungan dalam dan luar rumah yang
berdampat terhadap kesehatan keluarga.
5) Kemampuan keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan, seperti kepercayaan keluarga terhadap petugas
kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, keberadaan fasilitas
kesehatan yang ada, keuntungan keluarga terhadap penggunaan
fasilitas kesehatan, apakah pelayanan kesehatan terjangkau oleh
keluarga, adakah pengalaman yang kurang baik yang di
persepsikan keluarga.

C. Peran Keluarga Dalam Merawat Pasien Dengan Halusinasi


Adapun peran keluarga dalam merawat pasien dengan halusinasi
diantaranya adalah sebagai berikut: (Wuryaningsih, 2013 )
1. Bantu mengenal halusinasi
a. Bina saling percaya
b. Diskusikan kapan muncul situasi yang menyebabkan (jika sendiri),
isi dan frekuensi
2. Meningkatkan kontak dengan realita
a. Bicara dengan pasien secara sering dan singkat
b. Ajak bicara jika tampak pasien sedang halusinasi

17
c. Buat jadwal sehari – hari untuk menghindari kesendirian
3. Membantu menurunkan kecemasan dan ketakutan
a. Temani, cegah isolasi dan menarik diri
b. Terima halusinasi pasien tanpa mendukung dan menyalahkan.
Misalnya “Saya percaya anda mendengar tetapi saya sendiri tidak
mendengar:
c. Beri kesempatan untuk megungkapkan
d. Tetap hangat, empati, kalem dan lemah lembut
4. Mencegah pasien melukai diri sendiri dan orang lain
a. Lakukan perlindungan
b. Kontak yang sering secara personal
5. Tingkatkan harga diri
a. Identifikasi kemampuan pasien dan beri kegiatan yang sesuai
b. Beri kesempatan sukses dan beri pujian atau kesuksesaan pasien
c. Dorong supaya berespon pada posisi nyata

18
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E, Suliswati, Rochimah, Suryati, K, R. & Lestari, W. 2009. Asuhan


Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa.
Jakarta : Trans Media

Maramis, W, F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University


Press. Surabaya.

Nasution, Saidah, S. 2003. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan


Perubahan Sensori Persepsi: Halusinasi. http://usupress.usu.ac.id.

Stuart & Sundeen. 1998. Buku Saku Keperwatan Jiwa, Edisi 3. Jakarta : EGC

Townsend, C, Mary. 2002. Psychiatric Mental Health Nursing Consepts of


Care,ed.4. Davis Company. Philadelphia.

19

Anda mungkin juga menyukai