Identitas Sosial
Perbincangan tentang identitas tidak hanya berhenti pada aspek pembeda yang ada
dalam identitas. Diskusi tentang identitas juga menyangkut bagaimana identitas dibentuk
dan terbentuk serta konsekuensi identitas dan refleksi atas konsekuensi identitas tersebut.
§ Pengertian Identitas
Pada umumnya identitas disandarkan pada ciri yang bersifat alamiah, seperti jenis
kelamin atau identitas berbasis genetik seperti ras. Identitas jenis ini biasanya lebih mudah
dikenali secara fisik. Namun ada pula identitas yang tidak berangkat dari ciri-ciri
alamiah, namun karena dilekatkan secara sosial seperti identitas berbasis agama dan
suku/ etnis. Identitas jenis ini dapat diamati melalui praktik-praktik kehidupan sosial
seseorang, misalnya praktik beribadah atau tradisi yang dirawat dan diwariskan oleh suku-
suku yang ada. Pada suku tertentu terdapat kebiasaan menambahkan nama marga atau nama
keluarga pada keturunan dari suku/marga tersebut.
Identitas juga dapat dikaitkan dengan ciri-ciri seperti gaya hidup, keyakinan, bahkan
orientasi seksual. Dalam gaya hidup misalnya identitas ditemukan pada kebiasaan makan
yang melahirkan identitas vegan (tidak memakan daging/vegetarian) atau bagi kalian yang
memiliki hobi bola biasanya teridentifikasi sebagai anggota dari klub suporter. Keyakinan
atau ideologi juga dapat menjadi dasar identitas seperti sosialis, penganut liberal, dan
sebagainya. Secara singkat, identitas adalah cerminan diri yang berasal dari gender, tradisi,
etnis dan proses sosialisasi.
§ Pembentukan Identitas
§ Dampak Identitas
Identitas menjadi dasar bagi seseorang untuk mengikatkan dirinya pada komunitas atau
kelompoknya. Ikatan tersebut memunculkan kedekatan dengan orang-orang yang memiliki
kesamaan identitas. Kelompok juga membuka diri bagi individu-individu yang memilki
kesamaan identitas. Ikatan-ikatan inilah yang pada akhirnya membuat perbedaan antar
kelompok. Dari identitas melahirkan perasaan dan keinginan untuk membedakan satu di antara
yang lain. Dorongan untuk membedakan diri dengan orang lain pada gilirannnya akan memicu
pemikiran superioritas. Dorongan semacam ini dapat berupa merasa kelompok sendiri paling
unggul atau paling benar, dan sebagainya, sementara kelompok lain lebih rendah atau salah.
Pada titik ini sesungguhnya kelompok ini menjadi eksklusif atau membatasi dirinya dengan
kelompok lain, oleh karena itu dibutuhkan kemampuan bagi setiap kelompok anak bangsa
dalam mengembangkan karakter inklusifnya; Pendekatan inklusif berusaha menciptakan
lingkungan atau sistem yang mengakomodasi keberagaman dan memastikan bahwa setiap
individu.