Anda di halaman 1dari 213

BUKU AJAR

PENGELOLAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU

BUKU AJAR PENGELOLAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU


Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan hasil hutan yang patut
dikembangkan dan dikelola sebaik mungkin. Kontribusi HHBK sampai saat
ini memang belum begitu terlihat nyata dibanding kayu, dalam mengatasi
permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat. Seiring semakin
berkurangnya hasil hutan kayu, maka HHBK dapat menjadi tumpuan
pembangunan.
Pemilihan jenis yang tepat sesuai dengan aspek ekologis, ekonomis,
teknis dan sosial dapat menjadi langkah penting agar HHBK dapat BUKU AJAR
berkembang dengan pesat. Inovasi-inovasi produk juga dapat menjadi
langkah agar produk HHBK semakin dilirik. Domestikasi tanaman HHBK
bukan hanya memperbesar peluang keberhasilan pengembangannya, tetapi
PENGELOLAAN HASIL HUTAN
juga dapat menjadi ikon atau ciri khas dari setiap daerah.
Buku ini membahas semaksimal mungkin merangkum aneka HHBK
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan nomor
BUKAN KAYU
P.35/Menhut-II/2007 tahun 2007 tentang Hasil hutan Bukan Kayu. Jenis
HHBK yang dimaksud adalah dari kelompok rotan dan bambu, kelompok Trisnu Satriadi
getah-getahan, kelompok zat ekstraktif, kelompok minyak atsiri, dan
kelompok hasil hewani.
Siti Hamidah
Gusti Abdul Rahmat Thamrin

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Penerbit :
CV Banyubening Cipta Sejahtera BANJARBARU
Jl. Sapta Marga Blok E No.38 RT 007/003 2022
Guntung Payung, Landasan Ulin, Banjarbaru 70721
Email : penerbit.bcs@gmail.com
BUKU AJAR
PENGELOLAAN HASIL HUTAN
BUKAN KAYU

Trisnu Satriadi
Siti Hamidah
Gusti Abdul Rahmat Thamrin
Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu

Trisnu Satriadi
Siti Hamidah
Gusti Abdul Rahmat Thamrin

Editor : Lusyiani
Layout : Norlena
Desain sampul : Ainun Jariyah
Ukuran : x, 202 halaman, 21 x 29,7 cm ”
Cetakan pertama, November 2021

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang.


Dilarang Memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Diterbitkan oleh penerbit CV. Banyubening Cipta Sejahtera yang bekerjasama


dengan Fakultas Kehutanan, ULM.

Penerbit :
CV. Banyubening Cipta Sejahtera
Jl. Sapta Marga Blok E. No. 38, RT. 007, RW. 003
Guntung Payung, Landasan Ulin, Banjarbaru 70721
Penerbit.bcs@gmail.com

ISBN : 978-623-5774-22-0

No.Anggota : 006/KSL/2021

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu ii


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa,
penyusunan buku ajar Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (P-
HHBK) ini telah dapat diselesaikan. Penyusunan buku ajar P-HHBK
bertujuan sebagai bahan pengembangan materi mata kuliah
Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu yang penulis sampaikan
diperkuliahan di Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung
Mangkurat (ULM). Mata kuliah P-HHBK merupakan mata kuliah
wajib bagi mahasiswa minat teknologi hasil hutan yang berada di
semester 6. Pokok bahasan dalam mata kuliah ini adalah ruang
lingkup hasil hutan bukan kayu, pengelolaan dan pemanfaatannya;
dasar-dasar kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan HHBK,
bagaimana cara-cara pengolahan HHBK serta memahami cara -
cara pengujian HHBK sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).
Hasil Hutan Bukan Kayu merupakan hasil hutan yang patut
dikembangkan dan dikelola sebaik mungkin. Kontribusi HHBK
sampai saat ini memang belum begitu terlihat nyata dibanding
kayu, dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi
masyarakat. Seiring semakin berkurangnya hasil hutan kayu, maka
HHBK dapat menjadi tumpuan pembangunan. Pemilihan jenis yang
tepat sesuai dengan aspek ekologis, ekonomis, teknis dan sosial
dapat menjadi langkah penting agar HHBK dapat berkembang
dengan pesat. Inovasi-inovasi produk juga dapat menjadi langkah
agar produk HHBK semakin dilirik. Domestikasi tanaman HHBK
bukan hanya memperbesar peluang keberhasilan
pengembangannya, tetapi juga dapat menjadi ikon atau ciri khas
dari setiap daerah, seperti Kalimantan Selatan dengan tanaman
kayu manisnya atau Lampung dengan getah damarnya, dan lain
sebagainya.
Buku ajar ini terdiri dari 15 Bab, yang mencakup Bab 1
Pendahuluan, Bab 2 Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu, Bab

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu iii


3 hingga Bab 5 berbicara tentang rotan mulai dari ciri-ciri morfologi,
sebaran, jenis, pemungutan dan pengolahan, hingga pembahasan
tentang produk rotan yang menjadi ciri khas masyarakat
Kalimantan yaitu Lampit Rotan. Pada Bab selanjutnya yaitu Bab 6
tentang Bambu, Bab 7 tentang Gaharu, Bab 8 Gondorukem, Bab 9
Kopal dan Damar, Bab 10 Getah Merah, Bab 11 Kayu Manis, Bab
12 Sagu, Bab 13. Minyak Kayu Putih, Bab 14. Madu dan Bab 15
Arang dan Cuka Kayu.
Bahasan dalam buku ini semaksimal mungkin merangkum
aneka HHBK sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri
Kehutanan nomor P.35/Menhut-II/2007 tahun 2007 tentang Hasil
hutan Bukan Kayu. Jenis HHBK yang dimaksud adalah dari
kelompok rotan dan bambu, kelompok getah-getahan, kelompok zat
ekstraktif, kelompok minyak atsiri, dan kelompok hasil hewani.
Pada kesempatan ini, penulis dengan segenap kerendahan
hati mengucapkan terimakasih kepada
1. Rektor Rektor Universitas Lambung Mangkurat
2. Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat
3. Rekan-rekan sejawat di Fakultas Kehutanan Universitas
Lambung Mangkurat
4. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu per satu yang
telah memberikan inspirasi dan motivasi dalam penyusunan
buku ajar P-HHBK ini.
Buku ini juga kami dedikasikan kepada guru kami Bapak Ir.
H. Sunardi, MS, IPU (Alm) yang telah mendedikasikan hidupnya
untuk pengembangan dunia kehutanan di Kalimantan Selatan,
khususnya di sektor HHBK. Semoga segala usaha beliau menjadi
amal jariyah bagi beliau. Penulis menyadari buku yang disusun ini
masih jauh dari sempurna. Saran yang membangun penulis
harapkan demi perbaikan penyusunan buku di masa datang. Buku
ini tidak lebih dari sebutir buih di luasnya samudera ilmu tanpa
tepi dari Sang Maha Tahu. Semoga kita semua selalu dalam

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu iv


bimbingan-Nya dalam mengembangan dan mengelola sumber daya
hutan untuk kesejahteraan umat.
Banjarbaru, November 2021

Penulis

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu v


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... iii


DAFTAR ISI........................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ ix
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu ............................................... 3
C. Peran Hasil Hutan Bukan Kayu ...................................................... 5
D. Pengelompokkan Hasil Hutan Bukan Kayu ..................................... 7
E. Soal-soal Latihan .......................................................................... 11
II. PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU .......................... 13
A. Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu ......................... 13
B. Prioritas Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu........................ 15
C. Faktor Pendukung Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu ........ 29
D. Soal-soal Latihan .......................................................................... 33
III. ROTAN .......................................................................................... 35
A. Ciri dan Sifat Morfologi.................................................................. 35
B. Manfaat Rotan .............................................................................. 38
C. Prospek Pengusahaan Rotan di Indonesia ..................................... 40
D. Jenis Rotan Terpenting di Indonesia ............................................. 45
E. Soal-soal Latihan .......................................................................... 51
IV. PEMUNGUTAN DAN PENGOLAHAN ROTAN ................................ 53
A. Pemungutan Rotan ....................................................................... 53
B. Pengolahan Rotan Bulat ............................................................... 54
C. Pengawetan dan Pemutihan Rotan ............................................... 57
D. Kualitas dan Cara Pengujian Rotan Bulat ..................................... 59
E. Soal-soal Latihan .......................................................................... 63
V. LAMPIT ROTAN ............................................................................ 65
A. Proses Pembuatan Lampit Rotan .................................................. 65
B. Standar Bahan Baku Lampit Rotan .............................................. 67
C. Standar Mutu Lampit Rotan ......................................................... 69
D. Soal-soal Latihan .......................................................................... 74
VI. BAMBU .......................................................................................... 75
A. Penyebaran ................................................................................... 75
B. Klasifikasi ..................................................................................... 75

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu vi


C. Pertumbuhan Bambu ................................................................... 76
D. Jenis Bambu di Indonesia ............................................................ 77
E. Manfaat Bambu ............................................................................ 84
F. Teknologi Pengolahan Bambu ....................................................... 86
G. Soal-soal Latihan .......................................................................... 91
VII. GAHARU........................................................................................ 93
A. Pengertian .................................................................................... 93
B. Deskripsi ...................................................................................... 94
C. Potensi.......................................................................................... 98
D. Manfaat Gaharu ........................................................................... 99
E. Teknologi Pengolahan Gaharu .................................................... 101
F. Kualitas Gaharu ......................................................................... 104
G. Soal-soal Latihan ........................................................................ 108
VIII. GONDORUKEM .......................................................................... 109
A. Pengertian .................................................................................. 109
B. Cara Penyadapan Getah Pinus ................................................... 110
C. Hasil Getah Pinus ....................................................................... 111
D. Pengolahan Getah Pinus ............................................................. 112
E. Kualitas Gondorukem ................................................................. 114
F. Pengujian Gondorukem .............................................................. 116
G. Soal-soal Latihan ........................................................................ 117
IX. KOPAL DAN DAMAR .................................................................... 119
A. Kopal .......................................................................................... 120
B. Damar ........................................................................................ 124
C. Soal-soal Latihan ........................................................................ 127
X. GETAH MERAH ............................................................................. 129
A. Pengertian Getah Merah ............................................................. 129
B. Pohon Penghasil Getah Merah .................................................... 130
C. Pemungutan dan Pengolahan Getah Merah ................................ 132
D. Sifat Getah Merah....................................................................... 134
E. Kegunaan Getah Merah .............................................................. 136
F. Soal-soal Latihan ........................................................................ 137
XI. KAYU MANIS ................................................................................ 139
A. Pengertian .................................................................................. 139
B. Pemungutan Kulit Manis ............................................................ 139
C. Pengolahan Kulit Kayu Manis ..................................................... 141
D. Kegunaan dan Kualitas Kulit Kayu Manis .................................. 141

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu vii


E. Soal-soal Latihan ........................................................................ 143
XII. SAGU ........................................................................................... 145
A. Pendahuluan .............................................................................. 145
B. Botani ......................................................................................... 145
C. Potensi Sagu ............................................................................... 147
D. Ciri Fisik Sagu Siap Panen.......................................................... 150
E. Aci Sagu ..................................................................................... 153
F. Pemanenan Sagu ........................................................................ 154
G. Pemanfaatan Pohon Sagu ........................................................... 157
H. Soal-soal Latihan ........................................................................ 158
XIII. MINYAK KAYU PUTIH ............................................................... 159
A. Pengertian .................................................................................. 159
B. Pemugutan dan Pengolahan Minyak Katu Putih ......................... 159
Kekurangan cara penguapan : ........................................................ 161
C. Faktor yang Mempengaruhi Rendemen dan Kualitas .................. 162
D. Kualitas Minyak Kayu Putih ....................................................... 165
E. Pengujian Minyak Kayu Putih ..................................................... 165
F. Soal-soal Latihan ........................................................................ 168
XIV. MADU ......................................................................................... 169
A. Pendahuluan .............................................................................. 169
B. Budidaya Lebah Madu ................................................................ 173
C. Proses Terjadinya Madu .............................................................. 174
D. Manfaat Madu ............................................................................ 175
E. Kualitas Madu ............................................................................ 177
F. Pakan Lebah ............................................................................... 181
G. Soal-soal Latihan ........................................................................ 182
XV. ARANG DAN CUKA KAYU ........................................................... 183
A. Arang .......................................................................................... 183
B. Cuka Kayu .................................................................................. 192
C. Soal-soal Latihan ........................................................................ 197
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 198

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu viii


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Manfaat Beberapa Jenis Rotan .............................................................. 39


Tabel 3.2 Produksi Rotan di Indonesia tahun 2018 .............................................. 40
Tabel 3.3 Sebaran pertumbuhan rotan di Indonesia .............................................. 43
Tabel 3.4 Jumlah Kelompok Usaha Perhutanan Sosial berbasis Rotan Tahun 2019
.............................................................................................................. 44
Tabel 3.5 Sebaran industri rotan di Indonesia ....................................................... 45
Tabel 4.1 Persyaratan Mutu Rotan Bulat (WS ) Indonesia ................................... 62
Tabel 5.1 Syarat Mutu Bahan Baku Lampit Rotan (Rotan Belah Berkulit) ......... 68
Tabel 5.2 Syarat Mutu Lampit Rotan.................................................................... 72
Tabel 6.1 Perbedaan Pertumbuhan Bambu Tipe Simpodial dan Monopodial ...... 77
Tabel 7.1 Jenis pohon penghasil gaharu dan sebarannya ...................................... 94
Tabel 8.1 Kualita Gondorukem di Indonesia ...................................................... 115
Tabel 8.2 Standar LPHH (suatu standar berupa seri warna 1 – 18 yang dibuat dari
larutan Karamel dengan kepekatan tertentu menurut metode
GARDNER (Standar warna menurut GARDNER)........................... 115
Tabel 11.1 Karakteristik Kulit Kayu Manis Dan Standar Mutu Secara Teknis .. 142
Tabel 11.2 Komposisi Kimia Cinnamomum zeylanicum .................................... 143
Tabel 12.1 Estimasi luas tumbuhan Sagu di beberapa lokasi seperti Indonesia,
Papua New Guinea, Malaysia, Thailand dan Filipina ...................... 148
Tabel 12.2 Luas Areal sagu di Provinsi Irian Jaya dari berbagai sumber ........... 149
Tabel 13.1 Persyaratan Kualita Minyak Kayu Putih ........................................... 165
Tabel 14.1 Siklus Hidup Apis cerana ................................................................. 171
Tabel 14.2 Kualitas tiga jenis madu di Indonesia berdasarkan SNI 8664-2018 . 178
Tabel 14.3 Tanaman Hutan (kayu-kayuan) Sebagai Pakan Lebah Madu ........... 181
Tabel 14.4 Tanaman Tumpang Sari Sebagai Pakan Lebah Madu ...................... 181
Tabel 14.5 Tanaman Buah-buahan Sebagai Pakan Lebah Madu ........................ 182

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu ix


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram alir analisis penentuan jenis HHBK unggulan .................... 16
Gambar 3.1 Skema pemanfaatan rotan .................................................................. 38
Gambar 3.2 Produksi rotan tahun 2014 – 2017 ..................................................... 42
Gambar 7.1 Budidaya Gaharu di Kalsel ................................................................ 99
Gambar 13.1 Penyulingan dengan menggunakan uap air ................................... 161
Gambar 13.2 Penyulingan sederhana .................................................................. 162

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu x


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui (renewable) dan dimanfaatkan untuk kepentingan
manusia. Manfaat hutan bagi kehidupan manusia dapat dirasakan
secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung
misalnya sebagai tempat rekreasi, penghasil berbagai bahan
makanan, kayu, rotan, bambu, dan lain-lain. Manfaat tidak
langsung antara lain sebagai pengatur tata air, sumber
plasmanutfah, pengatur iklim mikro, dan lain-lain.
Hutan selama ini dimanfaatkan terutama sebagai tempat
untuk mendapatkan berbagai komoditas (hasil hutan) untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Hasil hutan adalah segala sesuatu
yang diambil (dihasilkan) dari hutan atau kawasan hutan baik
berupa nabati maupun hewani. Hasil hutan dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu hasil hutan berupa kayu (timber/ major forest
product) dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) (non timber forest
product/ minor forest product). Mengingat pentingnya hasil hutan
hutan bagi kehidupan manusia maka harus dikelola dengan baik
sehingga secara terus menerus (lestari/ sustained) dapat memenuhi
kebutuhan manusia. Pengelolaan dapat diartikan sebagai suatu
tindakan atau kegiatan yang dilakukan terhadap suatu objek
(dalam hal ini bisa berupa hutan atau hasil hutan) untuk mencapai
tujuan yang diinginkan atau yang telah ditetapkan. Jadi
pengelolaan hasil hutan (bukan kayu) adalah suatu kegiatan atau
perlakuan terhadap hasil hutan (bukan kayu) agar dapat dihasilkan
dan dimanfaatkan secara optimal (baik kualitas maupun kuantitas)
dan berkesinambungan (lestari).
Indonesia mengalami deforestasi sebesar 0,48 juta ha di
tahun 2016-2017, yang terjadi baik di dalam maupun di luar

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 1


kawasan hutan (Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber
Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
2018). Di samping itu, konsep pengelolaan hutan yang lama juga
hanya berorientasi pada pemanfaatan hasil kayu saja. Kondisi ini
menyebabkan pasokan kayu untuk kebutuhan industri berkurang
pula. Fakta memilukan akibat pengelolaan yang berorientasi pada
pemanenan kayu (Timber Based Management) ini menyebabkan
tumbuhan bawah yang ada di sekitarnya mengalami kerusakan
bahkan mati. Tumbuhan bawah atau tumbuhan yang tidak
menghasilkan kayu, yang umunya kita kenal dengan HHBK
sebetulnya adalah komoditas yang potensial untuk dikembangkan.
Dampak lainnya berimbas kepada masyarakat sekitar hutan yang
mengalami kesulitan memanfaatkan HHBK dan jasa lingkungan
untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Keberpihakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan dengan
melibatkan peran serta masyarakat atau yang dikenal dengan
istilah Community Based Development menjadi sebuah paradigma
baru pengelolaan hutan. Berbagai aspek seperti ekologi, manusia
dan ekonomi saling dikaitkan satu sama lain sehingga menjadi
faktor kunci keberhasilan pengelolaan hutan lestari. Selanjutnya
pemerintah melalui Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan pada tahun 2016 menerbitkan peraturan nomor
P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.
Peraturan ini menjelaskan tentang pemanfaatan kawasan hutan
baik kayu maupun bukan kayu serta jasa lingkungan oleh
masyarakat sekitar dengan berlandaskan kelestarian.
Pengelolaan sumber daya hutan dapat dilakukan secara
lestari dengan mempertimbangkan aspek-aspek ekonomi, ekologi
dan manusia yang saling terkait satu sama lain. Keberpihakan
pembangunan kehutanan kepada masyarakat sekitar hutan atau
yang dikenal dengan istilah Community Based Development menjadi

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 2


faktor kunci pengelolaan hutan yang lestari. Manfaat pengelolaan
hutan lestari dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan akan
mudah terwujud baik itu berupa kayu, hasil hutan bukan kayu
maupun jasa lingkungan yang disesuaikan dengan potensi lokal
yang ada.
Pengelolaan hasil hutan adalah perlakuan fisik yang
diberikan terhadap hasil hutan seperti pemotongan, pembersihan,
penempatan, pengukuran dan-lain-lain. Perlakuan fisik tersebut
kemudian diikuti dengan perlakuan/ kegiatan administrasi seperti
pencatatan, pelaporan, pengawasan kualita dan lain-lain. Tindakan
atau perlakuan fisik dan administrasi terhadap objek yang dikelola
(hasil hutan) dimaksudkan agar secara kualitatif dan kuantitatif
dapat diketahui data (informasinya) sehingga memudahkan dalam
tindakan selanjutnya (pemanfaatan).
Panjangnya tahapan pengelolaan tersebut, menjadikan
produk-produk HHBK memiliki keunggulan apabila bila ditinjau
dari aspek kelestarian, konservasi, maupun ekonomi. Ditinjau dari
aspek kelestarian, proses pemanenan HHBK dapat dilakukan
berulang kali tanpa melakukan penebangan, tetapi cukup
melakukan pemangkasan daun, pengambilan buah. Keunggulan
HHBK dari aspek konservasi adalah kegiatan pemanenan HHBK
menimbulkan dampak yang sangat minimal terhadap kerusakan
lingkungan / kawasan hutan. Aspek ekonomi HHBK merupakan
nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari HHBK, di mana pada
keadaan tertentu, nilai ekonomi suatu jenis HHBK dapat jauh lebih
tinggi dibanding pendapatan lainnya. Oleh sebab itu, pengelolaan
HHBK merupakan langkah yang tepat bagi kelestarian hutan dan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
B. Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu
Penamaan hasil hutan bukan kayu mengalami beberapa kali
perubahan. Pada beberapa dekade yang lalu, Food and Agriculture
Organization (FAO), Lembaga dunia yang mengurusi pangan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 3


menamakannya dengan Non wood forest product (NWFP’s). Istilah-
istilah baru terkait HHBK juga bermunculan seperti ‘non-wood
goods and benefits’ / 'barang dan manfaat bukan kayu', ‘non-wood
goods and services’ / 'barang dan jasa bukan kayu',‘other forest
products’ / 'hasil hutan lainnya', ‘secondary forest products’ / 'hasil
hutan sekunder', ‘special forest products’ / 'hasil hutan khusus',
‘wild crafted products’ / ‘produk kerajinan alam', ‘biodiversity
products’ / 'produk keanekaragaman hayati’, ‘natural products’ /
‘hasil alam’, ‘minor forest products / hasil hutan minor’, ‘non-timber
forest products / hasil hutan non-kayu’, ‘forest products other than
wood/timber’ and ‘tree-crops’ / 'hasil hutan selain kayu dan pohon'
(Belcher, 2003).
Organisasi dunia lainnya yaitu International Tropical
Trade Organization (ITTO) dan Center for International Forestry
Research (CIFOR) menggunakan sebutan “non-timber forest products
/ NTFP” untuk menyebutkan istilah HHBK (Wahyudi, 2013).
Berdasarkan penggunaan istilah tersebut dalam Bahasa Inggris,
NTFP merupakan istilah yang yang paling banyak digunakan
(Belcher, 2003). Istilah kata “wood” apabila diartikan adalah
dipergunakan untuk penyebutan setiap tumbuhan berkayu baik itu
pohon maupun bukan pohon yang berkayu. Sebaliknya, istilah
“timber” diartikan sebagai kayu olahan yaitu kayu yang dihasilkan
oleh tumbuhan berkayu yang telah mengalami proses pengolahan
atau pengkonversian.
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
telah dengan tegas menyebutkan tentang pengertian dan klasifikasi
hasil hutan, yang telah mengalami perubahan yang substansial
dibanding Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967. Dalam undang-
undang tersebut dijelaskan bahwa hasil hutan adalah benda-benda
hayati, non-hayati dan turunanya, serta jasa yang berasal dari
hutan. Dengan demikian pengertian hasil hutan memiliki dimensi
yang lebih luas, mulai dari produk-produk hayati, produk-produk

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 4


non-hayati, sampai seluruh produk turunan dari benda hayati dan
non-hayati yang diambil dari hutan serta produk-produk jasa yang
dihasilkan dari hutan. Pemerintah melalui melalui Menteri
Kehutanan juga telah mengatur penyebutan dan pengertian HHBK.
Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.35/Menhut-II/2007 tahun
2007 tentang Hasil hutan Bukan Kayu, menyebutkan bahwa Hasil
Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil
hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan
dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan.
C. Peran Hasil Hutan Bukan Kayu
Indonesia memiliki sumber daya HHBK yang melimpah.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari tahun 2019
telah merilis data statistik potensi HHBK di Indonesia selama tahun
2018. Produksi hasil hutan bukan kayu (HHBK) tahun 2018 masih
didominasi oleh HHBK dari kelompok getah dengan produksi
mencapai 119.594 ton. Jenis getah yang diproduksi umumnya
adalah getah pinus dan getah karet. Jenis batang didominasi oleh
bambu dan rotan, Jenis resin didominasi oleh kemedangan, damar
kopal, dan kemenyan. Selain itu masih terdapat kelompok HHBK
lainnya seperti biji-bijian, umbi, buah-buahanm, dan palawija.
Manusia sejak zaman dulu telah banyak memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada di sekitarnya, khususnya HHBK.
Bahkan HHBK bagi masyarakat sekitar hutan adalah sumber
bahan pokok. Sumber pangan dapat diperoleh dari berbagai HHBK
yang mengandung pati seperti sagu, aren, dan umbi-umbian.
Sebagai penambah cita rasa makanan, HHBK juga dapat berperan
sebagai bahan bumbu makanan seperti kayu manis dan lada.
Masyarakat juga banyak memanfaatkan HHBK sebagai sumber obat
seperti pasak bumi dan akar kuning. Kebutuhan sandang /
pakaian, banyak digunakan oleh masyarakat purba dan di era
sekarang dengan kemajuan teknologi, HHBK seperti ulat sutera,
kapas dan kapuk telah menjadi berbagai bahan sandang yang

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 5


memiliki nilai estetika dan kualitas yang jauh lebih baik.
Pemanfaatan HHBK untuk kebutuhan papan hingga saat ini juga
masih banyak kita temukan di desa-desa sekitar hutan seperti
bambu, rotan untuk bangunan, rotan untuk kursi, meja dan
perabot rumah lainnya. Selain sebagai kebutuhan pokok (pangan,
sandang, papan), HHBK juga telah menjadi bagian penting dalam
budaya adat istiadat mereka. Berbagai jenis HHBK dapat kita
jumpai saat pelaksanaan upacara adat seperti bambu dan buah-
buahan.
Secara umum peranan hasil hutan bukan kayu bagi
kehidupan manusia adalah:
1) Sebagai bahan makanan seperti pati sagu, umbi-umbian (talas,
gadung, suweg dan lain-lain), biji-bijian (pangi, biji aren, biji
polong-polongan dan lain-lain) dan buah-buahan (mangga,
durian, sukun)
2) Sebagai komponen bangunan (bambu dan batang aren)
3) Sebagai furniture
4) Sebagai perabot rumah tangga
5) Sebagai penghasil bahan kimia dan produk-produk industri
6) Sebagai bahan obat-obatan
7) Sebagai bahan kosmetik
8) Sebagai bahan pengawet
9) Sebagai bahan perekat
10) Sebagai bahan minuman
11) Sebagai bahan bioenergi
12) Sebagai pewarna alami
13) Sebagai bahan kerajinan tangan
14) Sebagai bahan indutri tekstil
15) Sebagai alat musik dan olahraga
16) Sebagai makanan ternak
17) Sebagai alat mainan dan boneka
18) Sebagai senjata dan peralatan berburu

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 6


19) Sebagai bahan penghiasan (tanaman hias dan kegemaran)
20) dan lain sebagainya
Ciri ekonomi mata pencaharian masyarakat di pedesaan,
terutama di negara-negara berkembang adalah suatu keberagaman.
Masayarakat desa mengandalkan pemanfaatan langsung hasil
pertanian dan hutan serta berbagai sumber pendapatan lainnya
yang dihasilkan dari penjualan hasil hutan atau dari upah bekerja.
Berdasarkan tingkat pendapatan tunai rumah tangga dan proporsi
pendapatan dari perdagangan hasil hutan bukan kayu, maka
masyarakat desa yang berkecimpung dalam pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu dapat dibagi ke dalam tiga kategori utama yaitu:
1. Rumah tangga yang bergantung penuh pada sumber daya
sekadarnya (pemanfaatan langsung dari hutan).
2. Rumah tangga yang menggunakan hasil hutan bukan kayu
komersial sebagai pendapatan tambahan
3. Rumah tangga yang mendapatkan sebagian besar
pendapatan tunainya dari penjualan hasil hutan bukan kayu.
D. Pengelompokkan Hasil Hutan Bukan Kayu
Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa hasil yang dapat
diperoleh atau dipungut dari hutan ada beberapa macam (jenis),
oleh karenanya oleh para ahli hasil hutan tersebut dikelompokkan
dengan dasar pemikiran:
1. Adanya perbedaan fisik (bentuk, ukuran, dan lain-lain) dari
hasil hutan tersebut
2. Adanya perbedaan manfaat dan cara pemanfaatan
3. Adanya perbedaan cara pengelolaan hasil hutan tersebut
4. Adanya perbedaan proses pengelolaan dan pengolahan
5. Adanya perbedaan sifat atau karakter dari hasil hutan
tersebut.
Tujuan dari pengelompokan tersebut adalah:
1. Untuk memudahkan dalam mempelajari hasil hutan
tersebut

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 7


2. Untuk memudahkan dalam pemanfaatan
3. Untuk memudahkan dalam pengelolaan
4. Untuk memudahkan pengelompokan jenis-jenis hasil
hutan yang belum dikenal.
Secara biologis hasil hutan dikelompokkan menjadi:
1. Nabati, yang termasuk kelompok ini antara lain rotan,
bambu, kulit kayu, minyak atsiri, zat ekstraktif, dan lain-lain
2. Hewani, yang termasuk dalam kelompok ini antara lain madu,
ulat sutera, kulit hewan, sarang burung, dan lain-lain.
Menurut produk utamanya, hasil hutan dapat
dikelompokkan :
1. Hasil hutan kayu (timber)/ major forest product)
2. Hasil hutan bukan kayu (non-timber forest product/ minor
forest product), yang dikelompokkan menjadi:
a. Kelompok rotan dan bambu
b. Kelompok getah-getahan (getah merah, latex, dan lain-lain)
c. Kelompok zat ekstraktif (gaharu, kemenyan, gondorukem,
dan lain-lain)
d. Kelompok minyak atsiri (minyak kayu putih, minyak
ekaliptus, minyak nilam, serai wangi, dan lain-lain)
e. Kelompok hasil hewani (kulit binatang, madu, benang
sutera, dan lain-lain)
Berdasarkan bagian dari pohon, hasil hutan dapat
dikelompokkan :
1. Kayu/ log, yang merupakan hasil utama dari hutan
2. Bagian dari pohon, seperti :
1) Akar (pasak bumi, dan lain-lain)
2) Kulit kayu (kayu manis, dan lain-lain)
3) Getah pohon (getah merah, dan lain-lain)
4) Zat ekstraktif (gaharu, dan lain-lain)
5) Daun (kayu putih, dan lain-lain)

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 8


3. Turunan atau hasil karbonisasi dari pohon/ bagian dari
pohon, misalnya arang.
Potensi komoditi HHBK yang melimpah selanjutnya perlu
dikelompokkan sebagaimana diatur pemerintah melalui Permenhut
no P.35/Menhut-II/2007, yaitu sebagai berikut
1. Kelompok Hasil Tumbuhan dan Tanaman
a. Kelompok Resin
Kelompok resin merupakan tumbuhan yang dapat
menghasilkan resin, yaitu eksudat (getah) yang dikeluarkan
oleh banyak jenis tumbuhan, terutama sekali dari jenis
konifer. Contohnya adalah gondorukem yang berasal dari
tusam (Pinus merkusii), kopal dari Agathis (Agathis spp.) dan
damar dari Meranti (Shorea spp.)
b. Kelompok minyak atsiri
Kelompok minyak atsiri adalah tumbuhan yang dapat
menghasilkan minyak atsiri, yaitu zat cair yang mudah
menguap dan umumnya digunakan sebagai bahan dasar
wangi-wangian, aromaterapi. Contohnya adalah minyak
ekaliptus dari Eucalyptus sp.
c. Kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan
Kelompok ini merupakan tumbuhan penghasil minyak lemak,
pati / karbohidrat dan juga buah-buahan. Contoh minyak
lemak adalah minyak kemiri (Aluerites moluccana), contoh
pati / karbohidrat adalah tepung dan gula aren (Arenga
pinnata). Semua jenis buah-buahan yang berasal dari hutan
yang dapat dimanfaatkan merupakan kelompok tumbuhan
HHBK buah.
d. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah
Kelompok penghasil tannin merupakan tumbuhan yang
banyak memiliki kandungan tannin yang dapat digunakan
sebagai bahan penyamak dan pewarna. Contohnya adalah
tannin dari Acacia mangium. Tumbuhan juga dapat

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 9


digunakan sebagai bahan pewarna seperti Jati (Tectona
grandis) sebagai pewarna coklat. Sementara getah adalah
eksudat tumbuhan, salah satunya adalah getah perca dari
Palaquium gutta.
e. Kelompok tumbuhan obat dan tanaman hias
Tumbuhan juga dikenal memiliki potensi sebagai obat.
Semua bagian bagian tumbuhan dapat digunakan sebagai
obat tergantung jenis penyakitnya. Contoh tumbuhan obat
yang umum kita kenal adalah pasak bumi (Eurycoma
longifolia). Selain itu, tumbuhan juga memiliki manfaat
secara estetika yaitu sebagai tanaman hias, seperti berbagai
jenis anggrek hutan.
f. Kelompok palma dan bambu
Kelompok palma dan bambu terdiri atas berbagai jenis rotan
dan bambu.
g. Kelompok Alkaloid
Tumbuhan penghasil alkaloid adalah seperti kina (Cinchona
officinalis) yang dapat diambil dari bagian pepagan.
h. Kelompok lainnya
Kelompok HHBK lainnya dari jenis tumbuhan adalah
kelompok yang belum tidak termasuk ke dalam klasifikasi di
atas, seperti Purun (Eleocharis sp.) yang digunakan sebagai
bahan anyaman

2. Kelompok hasil hewan


a. Kelompok hewan buru
Kelompok hewan buru adalah kelompok HHBK hewani yang
diburu seperti babi hutan, biawak, dan berbagai jenis burung
b. Kelompok hewan penangkaran
Hewan hasil penangkaran juga dikategorikan sebagai HHBK
hewani seperti Arwana, buaya, dan rusa
c. Kelompok hasil dari hewan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 10


Hasil dari hewan adalah produk-produk yang dihasilkan dari
hewan seperti madu lebah, ulat sutera, dan sarang burung
walet
E. Soal-soal Latihan
1. Jelaskan pengertian hasil hutan bukan kayu
2. Jelaskan dasar pemikiran dilakukannya pengelompokan hasil
hutan.
3. Jelaskan tujuan dari pengelompokan hasil hutan.
4. Uraikan pengelompokkan hasil hutan yang dimaksud.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 11


Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 12
II. PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU

A. Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu


Kekayaan hutan yang dimiliki Indonesia terutama dari HHBK,
sangat melimpah. Selain berasal dari kawasan hutan, HHBK juga
dapat diperolah di luar kawasan hutan atau di lahan milik / hutan
rakyat. Di sisi sistem produksi HHBK, masing-masing produk
HHBK dihadapkan pada karakter potensi sumberdaya, kinerja
ekonomi (yang pernah tercatat), karakter morfologis yang berpotensi
mendorong pengembangan, berpotensi sebagai hambatan,
berpotensi membuka peluang pengembangan, bersifat terbatas,
serta ancaman terhadap sumberdaya maupun usaha komoditas
HHBK yang bersangkutan. Setiap sistem usaha komoditas HHBK
mempunyai ciri morfologis tersendiri yang perlu diperhatikan pada
saat akan dirumuskan strategi pengembangan yang spesifik. Ada
beberapa komoditas yang sudah dapat diusahakan pada skala
menengah (rotan, pinus, kayu putih, arwana, walet) tetapi
komoditas lainnya masih sangat kental dengan bentuk skala usaha
rumah tangga, kelompok, dan skala usaha kecil.
Sejumlah regulasi telah diterbitkan dalam rangka pengelolaan
HHBK yang lebih baik. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.49/MENLHK/SETJEN/KUM.1/9/2017
tanggal 7 September 2017 tentang Kerjasama Pemanfaatan Hutan
pada KPH, yang memberikan ruang bagi KPHP untuk membangun
kerjasama dengan berbagai pihak (perorangan/kelompok
masyarakat setempat, BUM Desa, koperasi setempat, UMKM,
BUMN, BUMD, BUMSI), yang bertujuan untuk memberikan akses
kepada masyarakat sekitar hutan dalam mengoptimalkan sumber
daya hutan (potensi khas masing-masing KPHP) yang berbasis
usaha lokal masyarakat. Dengan fokus pengembangan usaha
produktif berbasis masyarakat lokal di wilayah KPHP dan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 13


penerapan strategi multibisnis, multikomoditas, dan
multistakeholder dapat mendorong percepatan kemandirian KPHP,
yang diawali dengan memproduksi barang dan jasa secara lestari
Pada kesempatan acara “Kick-off Pengembangan Multiusaha
Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan, dengan tema
“Pengembangan Usaha Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa
Lingkungan Berbasis Masyarakat Menuju Revolusi Industri 4.0” di
Auditorium Soejarwo Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Jumat
(10/5/2019), Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya menyampaikan arahan
pengembangan HHBK selanjutnya adalah
1. HHBK dapat menjadi salah satu modal pembangunan nasional,
dan modal bagi wilayah provinsi yang diikuti dengan kegiatan
a. Pemetaan potensi HHBK;
b. Peningkatan budidaya tanaman dengan bibit unggul;
c. Mengoptimalkan pemanfaatan lahan pada IUPHHK-
HA/HT/KPH; dan
d. Mendorong keterlibatan para pihak terutama pihak hilir
dalam mengembangkan sumber-sumber bahan baku;
2. Ketersediaan sumber bahan baku HHBK harus dapat dipastikan
baik secara kualitas, kuantitas dan kontinuitas;
3. Buat sentra-sentra HHBK unggulan untuk mempermudah
investor dalam berinvestasi, Integrasikan kebijakan mulai dari
penguatan bahan baku, pengolahan sampai pemasarannya,
seperti:
a. Pengembangan industri hilir mengacu pada potensi bahan
baku dalam paket-paket klusterisasi industri;
b. Pengaturan peredaran/rantai pasar HHBK yang dapat
menjamin stabilitas harga mulai dari masyarakat/pemegang
izin sampai industri pengolahannya;
4. Insentif kebijakan fiskal;
5. Buat pengemasan/packing yang menarik dan berkualitas,
sehingga memiliki daya saing eksport;

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 14


6. Ciptakan HHBK skala industri, sehingga harganya bisa murah.

B. Prioritas Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu


Melimpahnya aneka HHBK yang ada sebagaimana
dituangkan dalam P.35/Menhut-II/2007, maka dalam
pengembangannya perlu dilakukan skala prioritas dengan
mempertimbangkan kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan,
kelembagaan, sosial, dan teknologi. Oleh sebab itu, pemerintah
kembali mengatur pengelolaan HHBK melalui Permenhut No
P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan
Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan.
Nilai ekonomi HHBK menjadi peluang dalam meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Keuntungan nilai
ekonomi yang tinggi ini tidak serta merta menjadikan HHBK dapat
dikembangkan dengan baik apabila tidak didukung dengan 4
(empat) aspek lainnya tersebut. Faktor penghambat dalam
pengembangan HHBK umumnya adalah penguasaan teknologi yang
masih rendah sehingga kalah bersaing. Penyelarasan kelima aspek
yang ada merupakan langkah identifikasi HHBK unggulan.
Ketersediaan jenis komoditas HHBK unggulan akan memudahkan
pengembangan HHBK dengan lebih terencana dan fokus baik dari
usaha budidaya, pengolahan dan pemasarannya sehingga
pengembangan HHBK dapat berjalan dengan baik, terarah dan
berkelanjutan.
Permenhut No P.21/Menhut-II/2009 menerangkan bahwa
jenis HHBK unggulan adalah jenis tanaman penghasil HHBK yang
dipilih berdasarkan kriteria dan indikator tertentu yang ditetapkan.
Penetapan jenis HHBK unggulan dilakukan di setiap
kabupaten/kota dan merupakan jenis tanaman yang diprioritaskan
untuk dikembangkan baik budidaya, pemanfaatan dan
pengolahannya sampai dengan pemasarannya sehingga menjadi

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 15


jenis HHBK yang dapat memberikan kontribusi ekonomi suatu
daerah secara berkelanjutan.
Jenis HHBK unggulan dikelompokkan dalam 3 (tiga)
unggulan yakni unggulan nasional, unggulan provinsi, dan
unggulan lokal (kabupaten/kota setempat). Unggulan nasional
ditetapkan sebagai jenis yang memiliki skala prioritas untuk
dikembangkan secara nasional. Penetapan jenis HHBK unggulan
daerah dipilih terhadap jenis yang memiliki sebaran cukup
potensial serta memiliki budaya pemanfaatan dan pengolahan
HHBK.
Suatu HHBK dapat dijadikan sebagai unggulan dengan
langkah penetapan kriteria indikator dan nilai, pengumpulan data,
pengolahan data dan penetapan nilai unggulan dan penetapan jenis
HHBK unggulan. Gambaran langkah penentuan HHBK unggulan
sebagaimana disajikan pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Diagram alir analisis penentuan jenis HHBK unggulan

Keunggulan komoditas HHBK ditentukan berdasarkan


kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial, dan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 16


teknologi. Setiap kriteria tersebut memiliki indikator yang dapat
diukur secara kuantitatif maupun kualitatif dan dinyatakan sebagai
standar. Ukuran dalam standar selanjutnya diberi nilai, dimana
besarnya nilai tersebut mencerminkan rangking dari fakta kondisi
atau keadaan indikator di lapangan. Tinggi rendahnya nilai (skor)
menunjukkan tinggi rendahnya nilai keunggulan jenis HHBK.
1. Kriteria ekonomi
Kriteria ekonomi adalah aspek yang mengukur besaran
ekonomi dari jenis HHBK yang sedang dievaluasi. Besarnya bobot
yang diberikan pada kriteria ekonomi adalah 35%. Angka ini
dipengaruhi oleh tujuan untuk pembangunan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terdapat 7 (tujuh)
indikator dalam kriteria ekonomi ini yaitu:
a. Nilai Perdagangan Ekspor
1) Nilai perdagangan ekspor adalah volume devisa HHBK yang
diperoleh dari tiap kabupaten yang diukur dalam satu tahun
yang dinyatakan dalam satuan dolar Amerika/tahun.
2) Nilai eskpor di kelompokkan dalam 3 katagori skor yakni
tinggi, sedang dan rendah. Semakin tinggi skor maka jenis
HHBK memiliki prioritas untuk ditetapkan menjadi HHBK
unggulan.
3) Standar kategori tinggi (nilai 3) apabila nilai ekspor per tahun
lebih dari US $ 1 juta. Dengan nilai kurs Rp. 10.000,- per
dolar Amerika, nilai ekspor Rp. 10 milyar per tahun dianggap
sudah dapat menggerakkan perekonomian masyarakat dan
kabupaten pengekspor HHBK bersangkutan.
4) Standar kategori sedang (nilai 2) apabila nilai ekspor per
tahun antara US $ 500.000,- sampai 1 juta.
5) Standar kategori rendah (nilai 1) apabila nilai ekspor per
tahun kurang dari US $ 500.000,-. Dengan nilai kurs Rp.
10.000,- per dollar Amerika, nilai ekspor Rp. 500.000.000,-

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 17


per tahun dianggap belum banyak menggerakkan
perekonomian kabupaten.
b. Nilai Perdagangan Ekspor
1) Nilai perdagangan dalam negeri menunjukkan volume
pendapatan dari hasil penjualan komoditas HHBK di pasar
dalam negeri yang diukur di tiap kabupaten tiap tahun,
dinyatakan dalam rupiah/tahun.
2) Nilai perdagangan dalam negeri dikelompokkan ke dalam 3
kategori, yaitu tinggi, sedang dan rendah.
3) Standar kategori tinggi (nilai 3) apabila nilai perdagangan
HHBK yang dievaluasi mencapai lebih dari Rp. 1 milyar per
tahun. Jumlah ini dianggap sudah dapat menggerakkan
perekonomian masyarakat di kabupaten bersangkutan
4) Standar kategori sedang (nilai 2) apabila nilai perdagangan
per tahun mencapai antara Rp. 500 juta sampai Rp. 1 milyar.
5) Standar kategori rendah (nilai 1) apabila nilai perdagangan
per tahun kurang dari Rp. 500 juta. Jumlah ini dianggap
belum cukup menggerakkan perekonomian kabupaten
bersangkutan.
c. Lingkup pemasaran
1) Lingkup pemasaran menunjukan cakupan wilayah
perdagangan, yang dibedakan dalam 3 lawas yakni;
internasional dipasarkan antar negara, nasional dipasarkan
di lingkup antar kabupaten, antar provinsi atau antar pulau,
dan lokal dipasarkan dalam wilayah kabupaten (untuk
penilaian tingkat kabupaten) atau antar kabupaten dalam
provinsi (untuk penilaian tingkat provinsi).
2) Suatu jenis HHBK mendapat nilai 3 apabila pemasarannya
meliputi internasional, nasional dan lokal. Mendapat nilai 2
apabila pemasarannya meliputi kombinasi internasional dan
nasional, atau internasional dan lokal, atau nasional dan
lokal. Mendapat nilai 1 apabila pemasarannya hanya lokal.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 18


d. Potensi pasar internasional
1) Potensi pasar internasional menunjukkan tingkat permintaan
komoditas tersebut dipasaran internasional. Potensi pasar
internasional dibedakan ke adalam 3 (tiga) kategori, yaitu
tinggi, sedang dan rendah.
2) Standar kategori tinggi (nilai 3) apabila komoditas HHBK yang
dievaluasi diminta lebih dari 3 (tiga) negara. Hal ini
menunjukkan pasar belum jenuh dan belum mampu
memenuhi order/pesanan
3) Standar kategori sedang (nilai 2) apabila komoditas HHBK
diminta oleh antara 1 sampai 3 negara.
4) Standar kategori rendah (nilai 1) apabila tidak ada
permintaan pasar internasional terhadap HHBK yang
dievaluasi.
e. Mata rantai pemasaran
1) Mata rantai pemasaran menunjukkan tingkat kompleksitas
rantai pemasaran (market chain) dan saluran pemasaran
(market channel).
2) Kategori tinggi (nilai 3) apabila pemasaran melibatkan unsur
masyarakat pengumpul, pengusaha UMKM, pengusaha
besar/industri, dan unsur pemerintah. Keadaan ini berarti
komoditas tersebut sangat bernilai ekonomis tinggi sehingga
melibatkan banyak aktor dan kepentingannya.
3) Kategori sedang (nilai 2) apabila pemasaran melibatkan
masyarakat pengumpul, pengusaha UMKM, dan pemerintah.
4) Kategori sederhana (nilai 1) apabila pemasaran hanya
melibatkan masyarakat pengumpul dan pengusaha UMKM.
f. Cakupan pengusahaan
1) Cakupan pengusahaan menunjukkan perkembangan
industri dalam upaya meningkatkan nilai tambah (value
added).

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 19


2) Skor nilai 3 apabila pengusahaan HHBK yang dievaluasi
meliputi industri hulu, tengah (barang setengah jadi), dan
hilir. Cakupan di tiga wilayah industri tersebut menunjukkan
komoditas tersebut dapat meningkatkan kegiatan ekonomi
dan nilai tambah yang tinggi.
3) Skor nilai 2 apabila pengusahaan HHBK yang dievaluasi
meliputi industri hulu dan tengah (barang setengah jadi).
4) Skor nilai 1 apabila pengusahaan HHBK yang dievaluasi
hanya bergerak di industri hulu.
g. Investasi usaha
1) Investasi usaha menunjukkan bahwa melalui investasi,
komoditas tersebut memberikan kontribusi yang nyata bagi
pertumbuhan ekonomi. Indikator investasi usaha dibedakan
kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu banyak, sedikit, tidak ada.
2) Banyak (nilai 3) apabila telah ada 5 atau lebih dunia usaha
berinvestasi dalam komoditas HHBK bersangkutan. Jumlah
investor ! 5 dunia usaha dianggap sudah cukup
menggerakkan perekonomian.
3) Sedikit (nilai 2) apabila terdapat kurang dari 5 dunia usaha
berinvestasi dalam komoditas HHBK bersangkutan
4) Apabila tidak ada dunia usaha berinvestasi dalam HHBK
bersangkutan maka nilainya 1.
2. Kriteria biofisik dan lingkungan
Biofisik dan lingkungan merupakan aspek yang perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan suatu jenis HHBK, dan
memiliki bobot 15%. Indikator utama yang dipergunakan dalam
menentukan tingkat keunggulan suatu jenis HHBK adalah potensi
tanaman, penyebaran, dan status konservasi. Ketiga indikator
tersebut sangat mempengaruhi tingkat kemudahan pengembangan
lebih lanjut jenis HHBK bersangkutan.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 20


a. Potensi tanaman
1) Potensi tanaman menunjukkan tingkat kelimpahan
(abundance) komoditas tersebut di alam yang diukur dalam
persentase antara jumlah pohon atau rumpun per hektar
terhadap kondisi tegakan normal.
2) Untuk pohon pada hutan alam tegakan normal diasumsikan
100 pohon/ha, sedangkan pohon pada hutan tanaman
tegakan normal diasumsikan 500 pohon/ha. Jumlah rumpun
rotan dianalogkan dengan jumlah pohon, sedangkan untuk
tumbuhan bawah dilihat dari persentase penutupan lahan.
3) Suatu komoditas memiliki potensi tinggi (nilai 3) apabila
populasi komoditas tersebut berjumlah > 60% dari populasi
normal; potensi sedang (nilai 2) apabila populasi komoditas
tersebut berjumlah 40-60% dari populasi normal; dan rendah
(nilai 1) bila populasinya <40% dari populasi normal.
b. Penyebaran
1) Penyebaran menunjukkan tingkat keberadaan suatu
komoditas dalam suatu wilayah.
2) Skor nilai 3 (merata) dikategorikan apabila komoditas
tersebut ada di 2/3 wilayah tersebut. Nilai 2 (cukup merata)
apabila terdapat di antara 1/3-2/3 wilayah, dan nilai 1 (tidak
merata) apabila terdapat di < 1/3 wilayah. Untuk kabupaten,
wilayah dihitung dari jumlah kecamatan, untuk tingkat
provinsi wilayah dihitung dari jumlah kabupaten/kota, dan
untuk tingkat nasional wilayah dihitung dari jumlah provinsi.
c. Status konservasi
1) Status konservasi menunjukkan keleluasaan pemanfaatan
dan perdagangan komoditas tersebut dikaitkan dengan
ancaman kepunahan.
2) Skor nilai 3 (tidak terdaftar di CITES) berarti komoditas
tersebut lebih leluasa dimanfaatkan. Komoditas atau jenis
yang terdaftar di Appendix CITES memiliki skor lebih rendah

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 21


karena jenis tersebut memiliki batasan untuk
diperdagangkan.
3) Pemberian nilai ini akan bertolak belakang dengan penetapan
prioritas untuk tujuan konservasi yang memberikan prioritas
tinggi terhadap jenis yang menuju kepunahan.
d. Budidaya
1) Budidaya menunjukkan upaya memproduksi komoditas
HHBK selain dari tegakan alam. Semakin tinggi persentase
hasil budidaya memiliki skor nilai lebih tinggi karena dengan
adanya usaha budidaya maka jaminan keberlangsungan
produksi akan semakin tinggi dan akan mengurangi tekanan
terhadap tegakan alam.
2) Persentase produski hasil budidaya lebih dari 70% memiliki
skor tinggi dengan nilai 3 karena dianggap cukup menjamin
keberlangsungan usaha.
3) Persentase produksi antara 40% sampai 70% memiliki skor
sedang dengan nilai 2, sedangkan persentase dibawah 40%
memiliki nilai 1.
e. Aksesibilitas ke sumber HHBK
1) Aksesibilitas ke sumber HHBK menunjukkan tingkat
kemudahan sumber HHBK untuk dicapai dan dijangkau
moda transportasi.
2) Semakin mudah dijangkau suatu sumber HHBK semakin
tinggi skor nilainya karena akan semakin mudah untuk
diusahakan.
3) Nilai 3 apabila sumber HHBK mudah dijangkau moda
transportasi darat dan atau air sepanjang tahun
4) Nilai 2 apabila sumber HHBK dapat dijangkau moda
transportasi darat dan atau air tidak sepanjang tahun.
5) Nilai 1 apabila sumber HHBK sulit dijangkau moda
transportasi sepanjang tahun.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 22


3. Kriteria kelembagaan
Kelembagaan merupakan aspek penting dalam penentuan
tingkat keunggulan suatu komoditas HHBK karena menyangkut
unsur pelaku dan tata aturan produksi dan perdagangan HHBK
tersebut. Bobot dari kriteria kelembagaan adalah 20%. Enam
indikator pada kriteria kelembagaan yang dipergunakan dalam
penentuan tingkat keunggulan suatu komoditas HHBK adalah
sebagai berikut:
a. Jumlah Kelompok Usaha (produsen/koperasi)
1) Jumlah kelompok usaha produsen menunjukkan tingkat
keterlibatan kelompok usaha yang mengusahakan komoditas
tersebut. Makin banyak jumlah kelompok usaha yang
memproduksi suatu komoditas/jenis maka semakin tinggi
peluangnya dalam menggerakkan roda perekonomian
masyarakat.
2) Kategori banyak (nilai 3) apabila terdapat lebih dari 5
kelompok usaha produsen/koperasi yang mengusahakan
komoditas HHBK bersangkutan di suatu daerah. Banyaknya
kelompok usaha produsen ini mencerminkan bahwa
komoditas tersebut bernilai ekonomis tinggi.
3) Kategori sedang (nilai 2) apabila jumlah kelompok usaha
produsen berjumlah antara 1 sampai 5 kelompok.
4) Nilai 1 apabila tidak terdapat kelompok usaha
produsen/koperasi yang mengusahakan komoditas HHBK
bersangkutan.
b. Asosiasi Kelompok Usaha
1) Keberadaan Asosiasi Kelompok Usaha menunjukkan tingkat
ketertarikan kelompok usaha membentuk asosiasi untuk
meningkatkan daya saing.
2) Kategori tinggi (nilai 3) menunjukan bahwa komoditas
tersebut intensif diusahakan oleh beberapa kelompok usaha

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 23


mulai dari asosiasi, koperasi, kelompok tani, dan dunia
usaha.
3) Kategori sedang (nilai 2) apabila terdapat koperasi dan
kelompok tani.
4) Kategori rendah (nilai 1) apabila hanya terdapat kelompok
tani.
c. Aturan tentang komoditas bersangkutan
Menunjukkan ketersediaan peraturan dan tingkat
pengaturan komoditas tersebut. Komoditas yang telah diatur
dengan Peraturan Menteri atau bahkan yang lebih tinggi (nilai 3)
berarti komoditas tersebut memiliki nilai lebih karena telah
memiliki dasar hukum dan aturan yang jelas dalam
pengembangan selanjutnya, terlebih lagi kalau peraturan
dimaksud berkaitan dengan tata perniagaan atau pemasaran.
d. Peran Institusi
Menunjukkan dukungan dari berbagai institusi, seperti
pemerintah dengan UPT nya, pemerintah daerah dan LSM.
Bentuk dukungan berupa keterlibatan institusi baik langsung
ataupun tidak langsung pada kagiatan-kegiatan pengembangan
usaha HHBK seperti budidaya, pengolahan, maupun pemasran.
Kategori tinggi (nilai 3) apabila seluruh institusi yang ada
mendukung terhadap pengembangan komoditas HHBK yang
dinilai. Kategori sedang (nilai 2) apabila hanya ada salah satu
institusi yang mendukung, dan kategori rendah apabila tidak
ada dukungan dari institusi.
e. Standar komoditas bersangkutan
Menunjukkan ada tidaknya standardisasi dari produk
komoditas HHBK bersangkutan. Dengan adanya standar, seperti
SNI atau standar internasional lainnya (skor nilai 3) berarti
komoditas tersebut sudah menjadi komoditas perdagangan di
pasar internasional yang berarti memiliki pangsa pasar yang
jelas di dunia internasional.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 24


f. Sarana/fasilitas pengembangan komoditas bersangkutan
Menunjukkan ketersediaan fasilitas untuk pengembangan
komoditas tersebut, seperti berupa pusat pelatihan, trade centre,
clearing house, sarana laboratorium atau networking (misal
rotan ASEAN).

4. Kriteria sosial
Dipilihnya aspek sosial sebagai salah satu kriteria dalam
penentuan tingkat keunggulan komoditas HHBK merupakan
keberpihakan kepada masyarakat lokal dalam pengusahaan HHBK.
Indikator yang dipilih berupa keterlibatan dan kepemilikan
masyarakat dalam usaha HHBK. Kriteria sosial ini memiliki bobot
15%.
a. Pelibatan masyarakat
Menunjukkan tingkat keterlibatan masyarakat diukur
dalam persentase jumlah petani yang terlibat dalam
mengusahakan (memungut, menanam, mengolah dan
memperdagangkan) komoditas tersebut untuk sumber
penghasilannya. Nilai 3 menunjukan tingkat keterlibatan yang
tinggi (persentase yang terlibat lebih dari 20%) berarti komoditas
tersebut menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat.
b. Kepemilikan usaha:
Menunjukkan tingkat keikutsertaan atau kolaborasi
masyarakat dengan pengusaha dalam mengusahakan komoditas
tersebut. Nilai 3 menunjukkan komoditas tersebut diusahakan
oleh masyarakat dan swasta dalam pola usaha kemitraan
sehingga komoditas tersebut memberi manfaat bagi kalangan
luas dan masyarakat.

5. Kriteria teknologi
Aspek teknologi dipilih sebagai kriteria penentuan unggulan
komoditas HHBK karena memiliki peran dalam pengembangan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 25


HHBK tersebut baik dalam menjamin pasokan HHBK sebagai bahan
baku maupun dalam peningkatan nilai tambah HHBK tersebut.
Bobot untuk kriteria teknologi adalah 15%
a. Teknologi budidaya
Menunjukkan tingkat penguasaan teknik budidaya
komoditas HHBK. Skor nilai 3 (teknologi dikuasai) berarti
komoditas tersebut siap untuk dibudidayakan secara luas dalam
skala ekonomis untuk memenuhi permintaan pasar.
b. Teknologi pengolahan hasil
Menunjukkan tingkat penguasaan teknologi pengolahan
untuk meningkatkan nilai tambah. Nilai 3 (teknologi dikuasai)
berarti proses nilai tambah dapat diperoleh untuk nilai ekonomi
yang lebih tinggi dari komoditas HHBK tersebut.

Hasil perhitungan dan penentuan bobot dijadikan sebagai


dasar penentuan nilai indikator tertimbang (NIT) yang diperoleh dari
rumus NIT suatu kriteria (NITk) adalah hasil bagi antara bobot
suatu kriteria (Bk) dengan jumlah indikator pada kriteria tersebut
(JIk) dikali dengan jumlah hasil pembagian antara nilai indikator
dengan nilai indikator maksimal (dalam hal ini 3) yang ada dalam
kriteria bersangkutan. Secara matematis, perhitungan dilakukan
dengan rumusan berikut:

Di mana:
NIT = Nilai Indikator Tertimbang
k = Kriteria penentuan unggulan ( 1 ... 5)
n = Jumlah indikator dalam tiap kriteria
Ni = Nilai indikator tiap kriteria

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 26


Bk = Besarnya nilai Bobot dari kriteria ke k
Nimax = Nilai indikator terbesar, dalam hal ini 3
JIk = Jumlah indikator untuk kriteria ke k

Perhitungan Total Nilai Unggulan (TNU) suatu jenis HHBK


dilakukan dengan menjumlahkan semua nilai indikator tertimbang
dari semua kriteria.
TNU = NIT ekonomi + NIT Biofisik + NIT Kelembagaan
+ NIT Sosial + NIT Teknologi

Berdasarkan Total Nilai Unggulan (TNU) jenis HHBK dikelompokan


ke dalam
tiga kelas Nilai Unggulan (NU) sebagai berikut :
1. Nilai Unggulan 1, dalah jenis komoditas HHBK yang memiliki
nilai TNU antara 78 – 100
2. Nilai Unggulan 2; adalah jenis komoditas HHBK yang memiliki
nilai TNU antara 54 – 77
3. Nilai Unggulan 3; adalah jenis komoditas HHBK yang memiliki
nilai TNU antara 30 – 53
Penetapan Jenis HHBK Unggulan dilakukan berdasarkan
besarnya skor Nilai Unggulan dan mempertimbangkan frekuensi
penyebaran jenis komoditas tersebut di wilayah Indonesia.
Selanjutnya Jenis HHBK Unggulan dikelompokkan dalam 4 kelas;
HHBK Unggulan Nasional, HHBK Unggulan Provinsi, HHBK
Unggulan Kabupaten dan HHBK Bukan Unggulan. Penentuan
sebagai berikut :
1. Unggulan Nasional; Adalah jenis HHBK yang termasuk NU 1 dan
tersebar minimal di 5 Provinsi.
2. Unggulan Provinsi; Adalah jenis HHBK yang termasuk NU 1 yang
tersebar kurang dari 5 provinsi dan atau NU 2 yang tersebar
minimal di 2 Kabupaten.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 27


3. Unggulan Kabupaten; Adalah jenis komoditas HHBK yang
termasuk minimal dalam NU2
4. Tidak unggul; tidak unggul adalah jenis komoditas HHBK yang
termasuk dalam NU3.
Road Map HHBK sektor kehutanan (2010 s/d 2025) maka
program pengembangan HHBK sektor kehutanan terdiri atas:
1. Tier 1 (level 1): HHBK yang termasuk dalam kelompok advance
(komoditas HHBK ekonomis yang telah dikuasai teknik budidaya
dan teknologi pengolahan).
2. Tier 2 (level 2): HHBK yang termasuk dalam kelompok
intermediate (komoditas HHBK ekonomis yang belum
sepenuhnya dikuasai teknik budidaya dan teknologi
pengolahan).
3. Tier 3 (level 3): HHBK yang termasuk dalam kelompok
preliminary (komoditas HHBK ekonomis yang belum dikuasai
teknik budidaya dan teknologi pengolahannya).
Pengembangan HHBK harus dilakukan mulai dari hulu
(budidaya, produksi dan penanganan pasca panen), hingga hilirnya
(teknologi pengolahan produknya) Setiap lima tahun dilakukan
evaluasi terhadap perkembangan status dan produktifitas HHBK
pada setiap level (Badan Litbang Kehutanan, 2009)
Berdasarkan rumusan di atas, pengembangan HHBK tidak
hanya mutlak tergantung potensi bahan bakunya, tetapi peranan
para pihak dan dukungnan teknologi menjadi faktor penting
pendukungnya. Pemerintah dapat berperan sebagai mediator
antara produsen / masyarakat, pengusaha UMKM dan konsumen /
industri besar terutama dalam penentuan harga yang adil dan
kontrol kualitas produk. Transfer teknologi sangat membantu
masyarakat produsen dalam bersaing di berbagai level pasar.
Pemanfaatan informatika dapat menjadi sarana promosi komoditas
HHBK yang diunggulkan (Fauzi, et al., 2014).

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 28


C. Faktor Pendukung Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.19/Menhut-II/2009 Tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan
Bukan Kayu Nasional, pengembangan HHBK ditentukan oleh faktor
pendukung sebagai berikut:
1. Pemantapan kawasan
a. Peningkatan kelengkapan, keakuratan dan keterkinian hasil
inventarisasi HHBK di dalam setiap kegiatan inventarisasi
hutan; Pelaksanaan inventarisasi HHBK di tiap level; Metode
dan pelaksanaan inventarisasi HHBK; Jenis parameter
inventarisasi hutan dimasing-masing level
b. Percepatan proses pengukuhan; Penyelesaian konflik
kawasan; Identifikasi kawasan hutan yang potensial untuk
non kehutanan: Proses penyesuaian tata ruang;
Rekonstruksi (tinjau ulang) dan realisasi tata batas.
c. Percepatan proses pembentukan unit-unit KPH pada
seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi)
dengan mengarus-utamakan kelas perusahaan HHBK
d. Implementasi dari perencanaan pengembangan HHBK
sebagai bagian dari sistem perancanaan kehutanan menuju
terwujudnya rencana kehutanan yang hirarkis dan
terintegrasi mulai dari tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota dan unit pengelolaan, yang meliputi jangka
waktu panjang dan pendek pada seluruh kawasan hutan
(konservasi, lindung dan produksi).
e. Mempertimbangkan Indonesia merupakan negara
kepulauan (terdiri dari lebih kurang 17.000 pulau yang
sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil), dengan
kawasan hutan yang juga tersebar di sebagian besar pulau-
pulau tersebut, maka arah pengembangan HHBK harus
mempertimbangkan ekosistem, termasuk ekogeografis yang
spesifik.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 29


2. Mitigasi perubahan iklim
a. Terselenggaranya secara optimum peran kawasan hutan di
dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan
diterimanya imbalan yang seimbang dari peran tersebut.
Pengembangan HHBK ditempatkan sebagai salah satu
elemen pendukung percepatan pembentukan KPH untuk
diposisikan sebagai register area dalam mekanisme
perdagangan karbon. •Identifikasi lokasi-lokasi yang
potensial memasuki skema pasar karbon dan membangun
model implementasi skema perdagangan karbon dengan
lebih menitikberatkan pemanenan HHBK serta lebih banyak
menunda pemanenan kayu untuk memperbesar cadangan
karbon
b. Penyelenggaraan penelitian kemampuan/kapasitas
penyerapan dan penyimpanan karbon (CO2) oleh tegakan
hutan dan pengembangan sistem perhitungannya, ketika
tegakan lebih diarahkan untuk produksi HHBK.
3. Pemanfaatan hutan
a. Penyempurnaan pedoman dan percepatan tata hutan baik
untuk hutan konservasi, lindung dan produksi sebagai dasar
arahan bentuk pemanfaatan hutan dalam sistem KPH yang
meliputi kayu dan bukan kayu; Penyusunan rencana
pengelolaan hutan pada setiap unit KPH
b. Peningkatan kegiatan inventarisasi sumberdaya hutan
sehingga dapat dikuasainya data/informasi potensi hutan
sebagai dasar pemanfaatan kayu dan bukan kayu yang
lestari.
c. Intensifikasi pemanfaatan lahan hutan; peningkatan
produktifitas melalui perbaikan teknik silvikultur yang
disesuaikan dengan tipologi hutan setempat; Joint production
(dalam satu tapak hutan dapat dimanfaatkan dengan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 30


berbagai tujuan misalnya hasil hutan kayu, HHBK dan
sekaligus jasa lingkungan hutan).
d. Pemanfaatan hutan guna produksi hasil hutan bukan kayu
diselenggarakan oleh usaha skala kecil untuk menciptakan
dunia usaha kehutanan yang tahan (lentur) menghadapi
perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis.
e. Peningkatan pemberdayaan masyarakat di dalam
pemanfaatan hutan, antara lain melalui peningkatan
kapasitas dan akses masyarakat terhadap sumber daya
hutan termasuk di dalamnya HHBK, dengan memanfaatkan
secara maksimal instrumen pemberdayaan (pola kemitraan,
HKm dan Hutan Desa) serta pelibatan dalam usaha
kehutanan skala kecil antara lain melalui HTR.
4. Rehabilitasi
a. Meningkatkan pertimbangan pengembangan HHBK pada
percepatan pembangunan hutan tanaman (HTI dan HTR),
pembangunan hutan rakyat, RHL, dan gerakan menanam
lainnya sehingga lebih dapat terjamin adanya laju rehabilitasi
yang lebih besar dari laju degradasi
b. Percepatan rehabilitasi pada DAS prioritas dengan
memaksimumkan kelas perusahaan HHBK untuk
meningkatkan daya dukung ruang hidup.
c. Kegiatan rehabilitasi dipersiapkan kemungkinannya untuk
memasuki skema voluntary carbon market, pemanfaatan air,
dan wisata alam yang dapat memberikan manfaat langsung
kepada masyarakat.
5. Perlindungan dan pengamanan hutan
a. Penguatan peraturan perundangan dan kelembagaan untuk
meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan
pemberantasan gangguan terhadap hutan dan kawasan
hutan melalui berbagai insentif yang melekat pada
pengembangan HHBK.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 31


b. Penyadaran dan penguatan kelembagaan masyarakat untuk
ikut berperan dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan
hutan melalui berbagai insentif pemanfaatan HHBK.
c. Penegakan hukum (law enforcement) yang adil dan
transparan.
6. Konservasi alam
a. Pemanfaatan HHBK tidak dapat dilepaskan dari upaya
peningkatan konservasi keanekaragaman hayati melalui
konservasi ekosistem in-situ dan konservasi ex-situ.
b. Penguatan pengelolaan kawasan konservasi ekosistem, jenis
dan genetik melalui kolaborasi pengelolaan, profesionalisme
sumber daya manusia, penerapan good forest governance
serta pengembangan sistem insentif konservasi yang
kondusif.
c. Memperluas pelaku dan jumlah jenis pemanfaatan HHBK di
kawasan konservasi.
7. Penelitian dan Pengembangan
a. Pemanfaatan hasil litbang dan teknologi dalam pemanfaatan
HHBK untuk meningkatkan efisiensi serta nilai tambah
pemanfaatan hutan.
b. Membangun kegiatan penelitian yang lebih integratif;
melibatkan berbagai disiplin ilmu dan berorientasi kepada
kebutuhan pengguna (user-oriented); menghasilkan produk
HHBK dan teknologi pengembangannya yang inovatif, bernilai
tambah tinggi, berorientasi pasar, ramah lingkungan dan
berdaya saing tinggi.
8. Kelembagaan
a. Kelembagaan pengurusan HHBK dibangun kembali dengan
sumberdaya manusia yang berorientasi pada kompetensi
program dan kerja, dengan dukungan organisasi dan tata
hubungan kerja serta sumber dana, SDM yang berkualitas
dalam jumlah dan penyebaran yang memadai.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 32


b. Penguatan SDM melalui pengembangan Sistem Pendidikan
dan Pelatihan Kehutanan berbasis kompetensi usaha HHBK;
pengembangan standardisasi kompetensi, peningkatan
jumlah dan distribusi SDM profesional kehutanan; serta
pembinaan SDM kehutanan untuk pengembangan HHBK.
c. Penyuluhan kehutanan dilakukan secara terintegrasi (pusat
dan daerah); Peningkatan penyuluhan terpadu, bimbingan
teknis dan pendampingan masyarakat dalam kegiatan
pengelolaan hutan; Bisnis dan pemasaran HHBK,
Penyesuaian program penguatan kelembagaan penyuluhan
kehutanan guna melayani kebutuhan pengembangan HHBK;
termasuk perluasan sasaran penyuluhan kehutanan
d. Pengawasan yang menjamin terselenggaranya pengurusan
hutan sesuai dengan mandat UU, sebagai umpan balik yang
menjadi bahan penyempurnaan kebijakan pengurusan hutan
dari waktu ke waktu; Optimalisasi peran pengawasan kinerja
pembangunan kehutanan oleh unsur masyarakat
e. Pengembangan kebijakan/regulasi tentang HHBK yang dapat
memfasilitasi terselenggaranya kebijakan yang lebih bersifat
insentif daripada disinsentif serta penerapan pemerintahan
yang baik (good governance).
D. Soal-soal Latihan
1. Jelaskan arahan pengembangan HHBK.
2. Jelaskan tujuan dari penentuan HHBK Unggulan
3. Jelaskan kategori HHBK Unggulan
4. Jelaskan faktor pendukung pengembangan HHBK

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 33


Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 34
III. ROTAN

A. Ciri dan Sifat Morfologi


Rotan merupakan tanaman dengan bentuk batang bulat,
kecil, halus dan panjang, beruas-ruas. Panjang batang rotan bisa
mencamai 100 meter dengan ukuran diameter antara 4 mm sampai
50 mm, panjang ruas 15 cm sampai 70 cm tergantung pada jenis
dan varitasnya.
Ciri dan sifat morfologi rotan dapat dilihat dari akarnya,
bentuk batang, pelepah dan daunnya, bunga dan buahnya srta
kelengkapan tanaman lain seperti duri pemanjatnya.
1. Akar
Akar merupakan salah satu bagian tanaman yang sangat
penting karena memiliki beberapa fungsi seperti:
a. Memperkuat berdirinya tanaman secara keseluruhan
b. Menyerap air dan zat makanan yang tersedia dalam tanah
c. Mengangkut air dan zat makanan yang sudah terserap ke bagian
tanaman lainnya.
Sifat akar tanaman rotan, seperti halnya jenis palmae lainnya
adalah :
a. Rotan mempunyai sitem perakaran serabut
b. 40 % dari akar rotan masuk ke dalam tanah (geotrop) dan 60 %
(akar primer dan akar sekunder) tumbuh secara horizontal
menuju ke air (hidrotrop) hingga ke permukaan atanah.
c. Akar berwarna keputuih-putihan, kekuning-kuningan atau
kehitam-hitaman.
d. Akar tanaman rotan selalu tumbuh terus pada ujungnya, namun
kecepatan tumbuhnya lebih lambat dibanding dengan kecepatan
tumbuh batangnya.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 35


2. Batang
Batang rotan adalah bagian terpenting dari rotan yang
memiliki nilai ekonomis, dengan ciri-ciri umum sebagai berikut :
a. Batang rotan berbentuk bulat memanjang seperti silinder,
bersifat aktinomorf, yakni bila dibagi dua akan menjadi bagian
yang setangkup
b. Batang yang panjang tersebut terdiri dari ruas-ruas yang
dibatasi oleh buku-buku. Pelepah dan tangkai daun melekat
pada buku tersebut.
c. Batang rotan selalu tumbuh ke atas menuju sinar matahari
(fototrop atau heliotrop)
d. Ujung tanaman rotan akan selalu bertambah panjang.
Fungsi batang rotan adalah :
a. Mendukung bagian tanaman yang ada di atas tanah, seperti
pelepah, daun, bunga dan buah
b. Merupakan saluran angkutan bahan makanan dari akar ke
bagian tanaman lain (daun) dan juga hasil asimilasi dari daun
ke bagian tanaman yang lain
c. Menjadi tempat penimbunan zat makanan cadangan
setiap jenis rotan memiliki ciri dan sifat yang berbeda-beda
tergantung pada jenis dan varitasnya. Panjang ruas dari pangkal
batang hingga mencapai panjang 1,5 meter tidak sama panjang,
tetapi 1,5 meter dari pangkal batang ke atas mempunyai panjang
ruas yang seragam (relatif sama), demikian pula diameter
batangnya.
3. Pelepah dan daun
Rotan memiliki daun majemeuk dan meiliki pelepah daun
yang duduk pada buku dan pelepah tersebut menutupi permukaan
ruas batang.Anak adun tumbuh di atas pelepah. Letak daun
sejajar/menyirip genap atau menyirip ganjil atau berseling di
sepanjang pelepah daun.Daun rotan ditimbuhi duri dengan
berbagai bentuk dan warna. Duri yang tumbuh pada daun ini

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 36


umumnya menghadap ke dalam yang berfungsi sebagai penguat
dalam mengaitkan batang pada pohon panjat (inang).
4. Bunga dan Buah
Rotan termasuk tumbuhan berbunga majemuk, ukurannya
kecil, hanya beberapa jenis yang mencapai 1 cm atau lebih. Warna
bunga rotan bervariasi, ada yang berwarna kecoklat-coklatan,
kehijau-hijauan atau berwarna krem. Apabila dalam 1 – 2 hari tidak
terjadi penyerbukan maka bunga tersebut akan jatuh.
Masa berbuanga dan masa berbuah rotan tidak sama,
tergantung pada jenis dan kondisi iklim setempat. Masa berbunga
hingga buah masak memerlukan waktu 7 sampai 13 bulan.
Umumnya buah rotan masak pada bulan Agustus sampai bulan
Maret.
Buah rotan terdiri dari kulit luar yang berupa sisik (pericarp).
Buah berbentuk bulat, lonjong atau bulat telur. Kulit buah
berwarna cokelat, cokelat merah, kemerah-merahan, hijau berlapis
lilin atau kuning emas. Stiap buah memiliki biji yang terdapat
dalam (dibungkus oleh) daging buah.
5. Alat Perambat (Assesory)
Tanaman rotan selama pertumbuhannya dilengkapi dengan
alat perambat berupai misai yang dikenal dengan sulur panjat.
Sulur ini tumbuh pada buku, panjangnya 3 – 5 cm, tergantung pada
jenisnya. Sepanjang sulur biasanya ditumbuhi duri-duri pendek
dan kuat. Fungsi sulur panjat adalah sebagai alat perambat atau
panjat pada batang inang dimana rotan tersebut tumbuh.
6. Komponen kimia rotan
Komposisi kimia rotan adalah :
a. Karbon (C) lebih kurang 50 %
b. Hidrogen (H2) lebih kurang 6 %
c. Nitrogen (N2), 0,04 – 0,1 %
d. Kadar abu; 0,2 – 0,5 %
e. Oksigen (O2), sisanya

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 37


Kandungan rotan:
a. Sellulosa 40 – 50 %
b. Lignin 18 – 33 %
c. Pentosan 21 – 24 %
d. Zat ekstraktif 1 – 12 %
e. Abu 0,22 – 6 %
f. Silika 3–7%

B. Manfaat Rotan
Bagian dari rotan yang paling banyak dimanfaatkan adalah
batangnya, terutama batang yang sudah tua. Batng rotan
dipergunakan sebagai bahan baku berbagai kerjainan dan perabot
rumabh tangga. Disamping itu batang yang masih muda (umbut)
dapat dimanfaatkan sebagai sayuran, akar dan buahnya sebagai
obat, getahnya (jernang) juga dipergunakan sebagai bahan pewarna
pada industri keramik dan industri farmasi.
Bagian-bagian dari rotan dapat dimanfaatkan dengan skema
sebagai berikut:

Bahan baku rotan

Batang Buah Akar Daun

Tua Muda Obat


Bibit Atap
Obat tradisional tradisional rumah
Bahan pewarna
Bumbu sayur
Bahan Untuk
kerajinan sayuran
-Konstruksi
-Bangunan
-Perikanan

Gambar 3.1 Skema pemanfaatan rotan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 38


Manfaat beberapa jenis rotan yang sudah tua antara lain :
Tabel 3.1 Manfaat Beberapa Jenis Rotan
No Jenis Rotan Kegunaan
1 Tohiti Bahan mebel, batang sapu lantai,
sandaran kapal, penahan pasir di gurun,
pengisi batang sepeda, dll
2 Umbul Bahan anyaman untuk membuat
keranjang
3 Terampu, tanah Bahan baku mebel
4 Jarmasin Bahan tali pengikat
5 Taman, irit, Bahan kursi, bahan tali pengikat, bahan
pulut putih, lampit rotan, tirai, dan lain-lain
pulut merah,
pulut hijau,
cincin
6 Batang, manau Bahan baku mebel (kuris, ranjang, meja)
dan lain-lain
7 Sabutan, Ahas, Bahan pembuat alat penangkap ikan,
danan pengikat rakti, dan lain-lain

Dari 128 jenis rotan di Indonesia yang telah diketahui


pemanfaatannya, berdasarkan jenisnya, pemanfaatannya adalah
sebagai berikut:
a. Kegunaan batang rotan untuk berbagai keperluan seperti
kerajinan, lampit, furniture, dan lain-lain sebanyak 11 jenis
b. Yang dimanfaatkan pucuknya (umbut) dan buah untuk sayuran
dan bumbu ada 9 jenis rotan
c. Kegunaan rotan untuk atas (daun) dan konstruksi tulangan
beton sebanyak 2 jenis
d. Kegunaan rotan untuk obat tradisional ada 2 jenis
e. Kegunaan sebagai penghasil getah jernang ada 7 jenis.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 39


Berdasarkan suku atau marga, jumlah rotan yang telah
dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
a. Suku/marga Korthalsia sebanyak 14 jenis rotan
b. Suku/marga Ceratolobus sebanyak 3 jenis
c. Suku/marga Plectocomia sebanyak 2 jenis rotan
d. Suku/marga Plepcomiopsis sebanyak 3 jenis
e. Suku/marga Myrialepis sebanyak 2 jenis
f. Suku/marga Daemonorops sebanyak 31 jenis
g. Suku/marga Calamus sebanyak 73 jenis.

C. Prospek Pengusahaan Rotan di Indonesia


Di Indonesia, rotan umumnya tumbuh di hutan-hutan yang
lebat. Dari 15 suku palme, 8 jenis diantaranya ditemukan di
Indonesia. Jumlah jenis rotan yang telah ditemukan dan
dipergunakan secara lokal sebanya 128 jenis. Sementara itu, yang
sudah umum diusahakan/ diperdagangkan dengan nilai ekonomis
tinggi untuk berbagai keperluan baru mencapai 28 jenis. Jenis-jenis
lainnya belum banyak dimanfaatkan karena potensinya yang kecil
atau belum diketahui sifat-sifatnya.
Luas hutan di Indonesia yang mencapai 120 juta ha,
sedangkan luas areal yang disurvei untuk pengumpulan data
potensi rotan hanya seluas 5,6 juta ha yang tersebar di 16 provinsi
di Indonesia (sampel). Data hasil survei potensi rotan di Indonesia
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.2 Produksi Rotan di Indonesia tahun 2018
No Provinsi Produksi Produksi
batang Ton
1 Aceh 92.255 1.054,90
2 Sumatera Barat 205.250
3 Riau 51,33
4 Jambi 3.000 70,00
5 Jawa Barat 5.613

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 40


6 Jawa Tengah 1.500 1.106,23
7 Nusa Tenggara 80,42
Barat
8 Kalimantan Barat 26.205 113,45
9 Gorontalo - 128,98
10 Sulawesi Tengah 4.934,90
11 Sulawesi Selatan 215,79
12 Sulawesi Barat 110,00
13 Sulawesi 920,01
Tenggara
14 Kalimantan <1
Selatan *
JUMLAH 333.823 8.786,01
Sumber : KemenLHK, 2019, * Dishut Kalsel, 2020

Dilihat dari luas kawasan hutan yang terdapat di masing-


masing propinsi dan potensi produksi seperti terlihat pada tabel di
atas, memang potensi rotan Indonesia sangat besar. Namun
demikian, potensi riilnya seringkali berubah-ubah karena
perubahan luas hutan sebagai akibat pembangunan, seperti
perkebunan, transmigrasi, kebakaran hutan dan lain-lain.
Berkurangnya luas kawasan hutan akan mengurangi potensi
produksi rotan yang ada. Inventarisasi untuk mendapatkan data
yang lebih baik perlu segera dilakukan sehinga perencanaan
pemanfaatannya dapat dilakukan dengan tepat, baik bagi
pemerintah maupun para industriawan. Bahkan menurut Subagya
(2019), produksi rotan senantiasa mengalami penurunan dari
tahun ke tahun (Gambar 3.2).
Khusus di Kalimantan Selatan, usaha rotan juga mengalami
kemorosotan yang tajam. Bberdasarkan data Disperindag pada
2017 volume ekspor rotan Kalimantan Selatan sebanyak 170,6 ton
turun hingga 46,27 persen dibanding 2016 yang mencapai 317,6

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 41


ton. Pemerintah Kalimantan Selatan berupaya mengembalikan
masa keemasan industri rotan Kalimantan dengan meminta agar
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian
membuka kembali kran ekspor rotan mentah.

Gambar 3.2 Produksi rotan tahun 2014 – 2017

Usaha budidaya rotan harus segera digalakkan terutama bagi


masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan yang selama
ini mereka hanya memungut rotan alam. Budidaya rotan sudah
dilaksanakan oleh masyarakat di Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan dan di beberapa provinsi lain di Indonesia. Namun luas
tanaman rotan masih sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan
industri lampit rotan yang ada.
Kebun rotan yang pertama kali dan tercatat sebagai pionir
kegiatan pembudidayaan rotan di Indonesia terletak di desa
Mengkatip dekat kota Buntok dan di desa Dadahup, Kapuas,
keduanya berada di provinsi Kalimantan Tengah. Budidaya rotan di
kedua desa ini telah dimulai sekitar tahun 1850. Pengakuan akan
hak dan keberadaan kebun rotan hasil budidaya tersebut
dibuktikan dengan adanya Verklaring kebun rotan yang diterbitkan
oleh Pejabat yang berwewenang pada tahun 1901 yang diberikan
kepada seorang penduduik di desa Dadahup. Verklaring tersebut

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 42


menjadi bukti otentik bahwa budidaya rotan telah dilakukan oleh
masyarakat (Januminro, 2000).
Sampai saat ini, hampir seluruh hasil produksi rotan bulat
Indonesia masih berasal dari hutan alam. Adapun rotan tanaman
yang ditanam secara tradisional oleh masyarakat di Kalimantan
Selatan, tengah dan timur masih sangat kecil (Rachman dan Jasni,
2013). Namun demikian ternyata salah satu kabupaten di
Kalimantan, yaitu Kabupaten Katingan di Kalimantan Tengah
merupakah salah satu daerah penghasil rotan terbesar di
Indonesia. Hampir 50% penduduk yang tinggal di sekitar hutan
memiliki mata pencaharian sebagai petani rotan. Dengan
perkebunan rotan yang mencakup kawasan seluas 325.000 hektar.
Katingan memiliki potensi produksi rotan hingga 15.000 ton per
tahunnya (Saputera, 2013).
Berdasarkan beberapa sumber, data sebaran tumbuh rotan
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.3 Sebaran pertumbuhan rotan di Indonesia

Sumber: Rachman dan Jasni, 2013

Industri pengolahan rotan di Indonesia telah lama dilakukan


oleh masyarakat yang pada mulanya merupakan kerajinan rumah
tangga untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Lama kelamaan
berkembang menjadi industri rumah tangga (home industry), seperti

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 43


pembuatan lampit rotan, furniture, berbagai macam alat kebutuhan
rumah tangga dan hiasan. Perkembangan ekonomi dan budaya
yang terjadi diikuti pula oleh perkembangan industri rotan di
Indonesia. Industri pengolahan rotan yang sebelumnya hanya
merupakan industri rumah tangga, kemudian berkembang menjadi
industri besar dengan peralatan yang lebih baik. Dulu dilakukan
secara manual, kini sebagian besar proses produksi dilakukan
secara mekanis.
Penggalakan usaha rotan oleh pemerintah, dengan
melibatkan perusahaan pemegang IUPHHBK di berbagai provinsi
yang memiliki potensi rotan. Selain itu, pemerintah juga
menggerakkan kelompok masyarakat melalui Kelompok Usaha
Perhutanan Sosial (KUPS) di masing-masing kelompok. Sedikitnya
ada 35 KUPS yang berbasis rotan yang tercatat.
Tabel 3.4 Jumlah Kelompok Usaha Perhutanan Sosial berbasis
Rotan Tahun 2019

No Provinsi Jumlah
KUPS
1 Kalimantan 9
Barat
2 Kalimantan 2
Tengah
3 Sulawesi Selatan 11
4 Maluku 6
5 Maluku Utara 5
6 Papua 2
Jumlah 35
Sumber: KemenLHK, 2019

Pengembangan usaha rotan tidak hanya terbatas pada


daerah / provinsi penghasil rotan. Teridenfikasi sebanyak 224

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 44


industri rotan yang tersebar di 14 Provinsi di Indonesia (Tabel 3.5).
Jenis produk yang umumnya dihasilkan adalah furniture / mebel
dan kerajinan anyaman
Tabel 3.5 Sebaran industri rotan di Indonesia
No Provinsi Jumlah
Indsutri
1 Kalimantan 7
Selatan
2 Kalimantan 15
Tengah
3 Jawa Timur 41
4 Jawa Barat 113
5 Jawa Tengah 18
6 Yogyakarta 4
7 Banten 6
8 Jakarta 1
9 Gorontalo 1
10 Sulawesi Barat 1
11 Sulawesi Tengah 6
12 Sulawesi 2
Tenggara
13 Sulawesi Selatan 4
14 Sumatera Utara 5
224
Sumber: KemenLHK, 2019

D. Jenis Rotan Terpenting di Indonesia


Dalam sistematika tumbuhan rotan termasuk dalam divisio
Spermatophyta, sub-divisio Angiospermae, kelas Monocotyledonae,
ordo Spacadicioflorae dan family atau suku Palmae. Sampai saat ini
dikenal 15 suku rotan, yaitu Calamus, Daemonorops, Khorthalsia,
Plectocomia, Ceratolobus, Plectocomiopsis, Myrialepsis, Calospatha,

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 45


Bejaudia, Cornera, Schizospatha, Eremospatha, Ancitrophylum dan
Oncocalamus.
Di Indonesia sampai saat ini ditemukan 8 suku rotan, yaitu
Calamus, Daemonorops, Khorthalsia, Plectocomia, Ceratolobus,
Plectocomiopsis, Myrialepsis dan Calospatha. Dari 8 suku tersebut
jenis yang ditemukan mencapai 306 jenis. Rotan tersebut tersebar
di Kalimantan (137 jenis), Sumatera (91 jenis), Sulawesi (36 jenis)
Jawa (19 jenis), Irian (48 jenis), Maluku (11 jenis) Timor dan
Sumbawa masing-masing 1 jenis (Dransfield, 1974, Januminro,
2000). Dari jumlah rotan tersebut, rotan yang memiliki nilai
komersial tinggi dan banyak dipungut serta diperdagangkan sekitar
28 jenis.
1. Rotan jernang besar (Daemonorops draco Blume)
Penyebaran rotan ini di Sumatera dan semenanjung Malaya.
Di Jawa Tengah disebut getik warak dan di Jawa Barat disebut getik
badak, sedangkan di Sumatera Selatan disebut jernang beruang
atau jernang kuku.
Secara alami rotan ini tumbuh di dataran rendah di hutan
Dipterocarpaceae sampai pada ketinggian 300 meter dpl. Tumbuh
memanjat dan membentuk rumpun, diameter batang mencapai 12
mm dan panjang ruas antara 18 – 35 cm.
Batang yang telah kering dan telah dirunti berwarna cokelat
kekuningan, sedangkan bagian hati berwarna putih. Batang rotan
ini dimanfaatkan untuk furniture, sedangkan getah buahnya
(jernang) dimanfaatkan untuk bahan pewarna dan bahan industri
farmasi.
2. Rotan Dahanan (Korthalsia flagellaris Miq.)
Rotan dahanan secara alami tumbuh di Sumatera dan
Kalimantan, umumnya di daerah berawa, dataran rendah sampai
pada ketinggian 50 meter dpl. Tumbuh dalam rumpun dan dalam
setiap rumpun dapat mencapai 20 batang dan merambat pada
pohon lain. Batang rotan dahanan sering bercabang, diameter

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 46


antara 1,5 cm – 3 cm, panjang ruas 20 sampai 50 cm dan batang
yang berambat dapat mencapai 50 meter.
Permukaan batang agak kasar, berwarna coklat, kuat dan
liat. Rotan dahanan dipergunakan untuk kerangka mebel.
3. Rotan semambu (Calamus scipionum Louer)
Rotan semambu hidup dalam rumpun yang satu atau dua
batangnya menjalar dan memanjat. Rotan ini banyak tumbuh
secara alami di Kalimantan dan Sumatera. Tumbuh di dataran
rendah sampai pada ketinggian 1000 meter dpl. Diameter batang
mencapai 3 cm, ruas batang mencapai 30 cm dan batang rotan
mencapai lebih dari 20 meter. Batang rotan ini kuat dan ulet,
dipergunakan untuk tongkat, gagang payung dan rangka
pembuatan mebel.
4. Rotan jarmasin (Calamus leocojolis Becc.)
Rotan jarmasin secara alami tumbuh di hutan Kalimantan,
Sumatera dan Sulawesi pada ketinggian 10 sampai 100 meter dpl.
Biasa tumbuh di tanah berbatu dan banyak pasir, pada lereng,
lembah dan punggung gunung. Tumbuh dalam rumpun dan ketika
dewasa, setiap rumpun mencapai 30 – 50 batang.
Batang rotan berwarna hijau kekuningan dan apabila telah
kering dan di runti berwarna hijau telur kekuningan srta lebih
mengkilat. Diameter batang 6 mm sampai 10 mm, pajang ruas 15
cm sampai 40 cm, batang dapat mencapai panjang 50 meter.
5. Rotan buyung (Calamus optimus Becc.)
Rotan buyung tumbuh di piunggir-pinggir sungai, daerah
berbukit dengan ketinggian antara 100 m – 300m dpl. Rotan ini
tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun sebanyak 60
batang. Di Kalimantan rotan ini dikenal dengan anam rotan
buyung, rotan selutup dan rotan sega bulu.
Batangnya berwarna hijau tua, setelah dirunti dan kering
akan berubah berwarna kuning telur mengkilap. Diameter batang
antara 12 mm – 24 mm, panjang ruas 20 – 30 cm dan pajang batang

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 47


mencapai 40 meter. Kegunaan rotan buyung adalah untuk bahan
baku mebel.
6. Rotan batang (Daemonorops robustus Warb.)
Rotan batang tumbuh di daerah Sulawesi dan menyukai
tanah sarang sampai berbatu dan berpasir dengan ketinggian 10
sampai 900 meter dpl. Rotan ini tumbuh secara berumpun dengan
jumlah mencapai 90 batang. Batang berwarna hijau tua, tetapi
setelah kering berwarna abu-abu tetapi ada juga yang ke merah-
merahan. Diameter batang 2,5 cm – 6 cm, panjang ruas 25 cm – 60
cm. Rotan batang dipergunakan untuk kerangka dalam pembuatan
mebel.
7. Rotan manau (Calamus manan Miq.)
Secara alami rotan manau tumbuh di Kalimantan dan
Sumatera, tumbuh baik padav ketinggian 50 meter sampai 600
meter dpl. Rotan ini tumbuh tunggal, tidak dalam rumpun.
Diameter batang mencapai 25 mm, panjang ruas 35 cm dan panjang
batang rotan mencapai 100 meter.
8. Rotan irit (Calamus trachycoleus Becc.)
Rotan ini tumbuh endemik di tepi sungai Barito dan Kahayan
di Kalimantan Tengah, sejak lama telah dibudidayakan oleh
penduduk di desa Dadahup dan Mengkatip (Kalimantan Tengah).
Rotan ini tumbuh dan berkembang di daerah rawa, baik yang
tergenang air maupun tidak pada ketinggian 0 sampai 15 meter dpl.
Rotan irit tumbuh dalam rumpun yang dapat mencapai 100 batang.
Batang rotan irit yang masih hidup berwarna hijau kekuningan,
tetapi setelah dirunti berubah menjadi kuning telur dan mengkilap.
Diameter batang 4 mm sampai 11 mm, panjang ruas 10 cm sampai
15 cm dan panjang batang dapat mencapai 50 meter atau lebih.
Batang rotan cukup kuat, mudah dibelah dan berwarna
stabil. Rotan ini banyak dipergunakan bahan baku anyaman,
bahan baku kursi, lampit rotan, tirai, anyaman dan lain-lain.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 48


9. Rotan taman (Calamus caesius Blume)
Rotan taman banyak tumbuh di Kalimantan. Rotan ini
mempunyai beberapa nama daerah seperti rotan sega (Aceh), rotan
sego (Sumatera Barat), rotan sega buah (Malaya).
Rotan taman tumbuh di daerah yang kering, di dataran
rendah sampai berbukit-bukit. Rotan taman sudah sejak lama
dibudidayakan oleh masyarakat di Kalimantan Tengah di sepanjang
sungai Mentaya, Katingan, Kahayan dan daerah lainnya.
Rotan taman tumbuh berumpun yang dapat mencapai 100
batang dalam satu rumpun, panjang batang mencapai 50 meter,
diameter batang 4 mm sampai 11 mm dan panjang ruas 15 cm
sampai 30 cm. Batang rotan berwaarna kekuning-kuningan dan
berupah menjadi kuning telur setelah kering dan dirunti. Sama
seperti rotan irit, rotan taman dipergunaklan sebagai bahan baku
anyaman, bahan baku kursi, lampit rotan, tirai, anyaman dan lain-
lain.
10. Rotan lilin (Calamus javensis Blume)
Rotan lilin tumbuh secara berumpun dan memanjat, panjang
batang mencapai 50 meter, diameter batang 2 mm sampai 6 mm
dan panjang ruas mencapai 30 cm atau lebih. Rotan lilin tumbuh
secara alami di Kalimantan dan Sumatera. Jenis rotan ini menyukai
daerah dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian
sampai 1200 meter dpl.
Rotan taman dalam setiap batang dewasa yang dapat
dipungut sampai 10 meter atau lebih. Kegunanan utama batang
rotan lilin adalah keranjang, pengikat, berbagai anyaman, tikar dan
kerajinan lainnya.
11. Rotan pulut merah (Calamus sp)
Rotan pulut merah banyak tumbuh secara alami di daerah
Kalimantan, terutama di Kalimantan Timur, yaitu di tanah alluvial
daerah dataranm rendah dan di tepi sungai. Jenis rotan ini sejak
lama telah dibudidayakan oleh masyarakat karena memiliki

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 49


kualitas yang sangat baik dan tumbuh berumpun. Bila telah
dewasa, dalam setiap rumpun dapat mencapai 50 batang.
Batang rotan ini berdiameter 2 mm sampai 5 mm, panjang
ruas mencapai 40 cm dan panjang batang mencapai 30 meter.
Rotan pulut merah batangnya berwarna abu-abu kemerah-
merahan, banyak dipergunakan untuk bahan anyaman.
12. Rotan manau riang (Calamus oxleyanus T et B)
Secara alami rotan manau riang tumbuh di Sumatera dan
Semenanjung Malaya, tumbuh di dataran rendah dan tidak
menyukai tanah gambut dan alluvial. Tumbuh memanjat dalam
rumpun yang dalam setiap rumpun jumlah batangnya tidak
banyak.
Diameter batang mencapai 1,5 cm, panjang ruas 12 cm.
Rotan manau banyak dipergunakan untuk mebel.
13. Rotan tohiti (Calamaus inops Becc.)
Rotan tohiti tumbuh secara alami di daerah berbukit dan
ditemukan hamper di seluruh daratan Sulawesi. Tumbuh secara
tunggal (tidak berumpun) dan perkembangbiakan dengan biji.
Rotan manau mempunyai permukaan batang berwarna
kuning mengkilap dengan gelang berwarna kelam melingkar buku.
Batang rotan agak keras dan tidak mudah dibelah, diameter
mencapai 15 mm dan panjang ruas 20 cm sampai 35 cm.
Karena rotan tohiti mempunyai sifat liat, keras dan tidak
mjudah dibelah, maka rotan tohiti sangat baik untuk pembuatan
mebel, penahan pasir di gurun pasir, dan lain-lain.
14. Rotan dahan (Korthalsia rigida Blume)
Rotan dahan secara alami banyak tumbuh di daerah Bangka
dan Belitung, Sumatera dan Kalimantan. Tumbuh di dataran
rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1.100 meter dpl.
Rotan ini tumbuh berumpun dan setiap rumpun mencapai 5
batang, batang dapat mencapai panjang 20 mewter atau lebih,
diameter 20 mm sampai 25 mm dan panjang ruas mencapai 20 cm.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 50


Bentuk batang tidak rata dan buku-bukunya menonjol, dengan
warna cokelat kusam. Batang rotan mudah dibelah dan banyak
dipergunakan untuk pembuatan keranjang atau kerajinan lainnya.
15. Rotan tunggal (Calamus laevigatus Mart.)
Sesuai dengan namanya, rotan ini tumbuh tunggal (tidak
berumpun), mempunyai jangkauan merambat yang cukup tinggi
karena batangnya dapat mencapai panjang 30 meter. Secara alami,
rotan batang tersebar di Kalimanatan dan Sumatera, tumbuh di
dataran rendah yang kering sampai pada ketinggian 800 meter dpl.
Batang rotan tunggal berdiameter 8 mm sampai 10 mm dan panjang
ruas mencapai 25 cm. Rotan ini dipergunakan untuk bahan
anyaman dan kerajianan lainnya.

E. Soal-soal Latihan
1. Jelaskan jenis-jenis rotan beserta cirinya
2. Sebutkan kandungan batang rotan dan komposisi kimianya
3. Jelaskan propek pengusahaan dan pemanfaatan rotan bulat
di Indonesia

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 51


Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 52
IV. PEMUNGUTAN DAN PENGOLAHAN ROTAN

A. Pemungutan Rotan
Rotan yang berdiameter kecil (rotan irit, sega, taman, pulut
merah) umumnya dapat dipanen pada umur 6 sampai 8 tahun,
namun demikian hanya rotan hasil budidaya saja yang diketahui
umurnya. Sedangkan rotan alam umurnya sulit untuk diketahui.
Sedangkan untuk rotan yang berdiameter besar seperti rotan
manau, rotan batang, panen dapat dilakukans etelah berumur 12 –
15 tahun.
Tanaman rotan umumnya tumbuh berumpun terutama rotan
yang berdiameter kecil, sedangkan rotan dengan diameter besar
tumbuhnya tunggal. Untuk rotan yang berdiameter kecil tersebut
panen dilakukan dengan sistem tebang pilih (dipilih yang telah tua)
dan dapat dilakukan setiap dua tahun setelah panen pertama.
Tanda-tanda rotan telah siap panen adalah:
a. Daun dan durinya sudah patah/ rontok
b. Warna durinya berubah menjadi kuning kehitamanan atau
hitam
c. Pelepah daunya sebagian mengelupas dan daun berwarna
kuning
Cara yang biasa dilakukan petani rotan di Kalimantan
umumnya sebgaia berikut:
a. Duri dan pelepah yang menempel pada batang dibersihkan
dengan cara memukul-mukul pakai parang
b. Batang rotan kemudian dipotong lebih kurang 1 meter dari
pangkal, kemudian ditarik-tarik agar duri atau pelepah yang
masih menempel pada pohon inang terlepas. Jika sulit
ditarik, duri dan pelepah dipotong dengan pisau yang
dipasang pada galah atau dipanjat.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 53


c. Batang rotan dipotong-potong sesuai dengan panjang yang
diinginkan, jadi 1 batang rotan bisa diperoleh lebih dari 1
potong.
d. Batang rotan yang telah dipotong kemudian dilipat dua dan
dibawa ke tempat pengumpulan.
Berdasarkn diameter, rotan dikelompokkan menjadi dua,
yaitu :
a. Rotan kecil, dengan diameter < 14 mm, yang dikelompokkan
lagi menjadi :
- diameter < 4 mm
- diameter 4 – 7 mm
- diameter 8 – 10 mm
- diameter 11 – 14 cm
Yang termasuk rotan kecil aantara lain rotan irit, sega,
taman, jarmasin, ronti, pulut merah, pulut putih, dan lain-
lain.
b. Rotan berdiameter besar, yaitu > 15 mm dan dikelompokkan
menjadi:
- diameter 15 – 17 mm
- diameter 18 – 24 mm
- diamater 25 – 30 mm
- diameter > 30 mm
Yang termasuk keompok rotan ini adalah rotan manau,
rotan batang, tohiti, semambu, wilatung, dahan, buyung,
lambang, ambulu, andaru, dan lain-lain.

B. Pengolahan Rotan Bulat


Pengolahan rotan merupakan pengolahan terhadap bahan
baku rotan asalan yang telah dipungut dari hutan (kebun) menjadi
rotan setengah jadi, misalnya rotan bulat asalan, rotan W dan S
(washed and sulfurized). Pengolahan tersebut diarahkan untuk

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 54


bahan baku barang jadi seperti furniture, lampit rotan, berbasgai
kerajinan, dan lain-lain.
Tujuan pengolahan adalah:
a. Menghilangkan kotoran dan lapisan silika yang terdapat pada
batang rotan
b. Mendapatkan bahan baku rotan yang baik, sesuai dengan
tujuan penggunaan
c. Mendapatkan rotan yang tahan terhadap serangan hama dan
penyakit
d. Meningkatkan nilai tambah, keindahan dan hasil guna bahan
baku rotan.
Tahap pengolahan rotan asalan (W and S) adalah:
1. Pemotongan rotan
Pemotongan dilakukan untuk membagi panjang rotan menjadi
beberapa potong sesuai dengan panjang yang berlaku umum
atau permintaan pasar. Untuk rotan kecil umumnya dipotong
dengan ukuran 6 meter kemudian dilipat (ditekuk) menjadi dua.
Untuk rotan besar panjang potongan biasanya 4 meter dan rotan
tidak dilipat (ditekuk).
2. Perendaman dalam air
Rotan yang telah dipotong diikat dengan jumlah 50 sampai 100
batang, kemudian direndam dalam air mengalir (sungai) selama
1 sampai 7 hari. Pada saat perendaman warna rotan menjadi
kuning kehitam-hitaman.
3. Pencucian dan penggosokan
Pencucian rotan bertujuan untuyk menghilangkan kotoran (sisa-
sia pelepah, debu dan lain-lain) yang terdapat pada batang rotan.
Dengan pencucian ini warna rotan menjadi lebih mengkilap
(kilap rotan muncul). Pencucian dilakukan sambil menggosok-
gosok dengan serabt kelapa, kain kasar atau goni yang diberi
pasir halus. Kegiatan ini biasanya dilakukan di tepi sungai.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 55


4. Peruntian
Peruntian adalah menghilangkan lapisan epidermis sebelah
dalam seludang daun yang masih tersisa atau epidermis luar
batang yang mengandung silika. Peruntian dilakukan dengan
menggunakan peralatan sederhana dan hanya dilakukan pada
rotan kecil.
5. Pengikisan
Pengikisan dilakukan untuk meratakan batang rotan, terutama
pada bukunya. Pengikisan dilakukan dengan menggunakan
pisau kecil yang dibuat khusus untuk tujuan tersebut.
Meskipun demikian, tidak semua rotan dikikis tulangnya,
tergantung pada jenis, diameter, pesanan konsumen dan tujuan
penggunaan.
6. Pengeringan
Pengeringan merupakan proses pengolahan yang amat penting,
karena secara langsung akan mempengaruhi kualitas rotan yang
dihasilkan. Tujuan pengeringan adlah untuk menurunkan kadar
air rotan sekaligus terjadinya perubahan warna rotan.
Pengeringan umumnya dilakukan secara alami (memanfaatkan
sinar matahari), yaitu dengan menjemur rotan pada tempat yang
telah disediakan (para-para, rotan dijenur horizontal) atau pada
sandaran (rotan terletak vertikal). Lama pengeringan tergantung
pada jenis rotan, diameter dan keadaan cuaca.
7. Pelurusan dan pemotongan
Pelurusan biasanya dilakukan terhadap rotan besar, karena
secara alami rotan tersebut tidak lurus. Pelurusan dilakukan
dengan menggunakan peralatan yang sederhana (dibuat sendiri
dari balok, dibuat koakan untuk meluruskan rotan). Setelah
lurus, rotan kemudian dipotong agar diperoleh ukuran panjang
yang seragam, sesuai dengan persyaratan kualitas yang telah
ditentukan atau keinginan konsumen.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 56


8. Pengawetan dan pemutihan
Pemutihan dan pengawetan rotan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas rotan khususnya kecerahan dan
keseragaman warna rotan serta ketahanan terhadap serangan
hama dan penyakit.
Pengawetan dapat dilakukan dengan perendaman di air mengalir
(melarutkan gula) atau dilakukan dengan perendaman dalam
larutan bahan pengawet. Selain itu ada pula yang dilakukan
dengan penggorengan dalam minyak tanah atau solar,
khususnya dilakukan pada rotan diameter besar.
9. Pengasapan
Pengasapan bertujuan untuk memasukan asap belerang (sulfur)
ke dalam pori-pori rotan sehingga dapat membunuh hama dan
penyakit yang ada dalam batang rotan serta untuk
mengkilapkan warna rotan. Pengasapan dilakukan selama 12
sampai 24 jam atau lebih tergantung pada warna awal rotan dan
keputihan warna yang diinginkan.
10. Sortasi dan pengemasan
Sortasi ini dilakukan agar setiap ikat rotan mempunyai kualitas
yang sama sehingga akan lebih memudahkan dalam pemasaran
dan meningkatkan pendapatan. Biasanya rotan dengan jenis,
diameter, ukuran dan kualitas yang sama diikat (dikemas)
menjadi satu paket untuk dipasarkan atau dikirim ke
konsumen.

C. Pengawetan dan Pemutihan Rotan


1. Pengawetan rotan
Tujuan dari pengawetan rotan adalah untuk mencegah
kerusakan akibat serangan serangga atau jamur (hama dan
penyakit). Ada dua cara pengawetan rotan, yaitu :
a. Perendaman dalam air mengalir. Cara ini biasanya dilakukan
terhadap rotan segar hasil panen yang dilakukan para petani.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 57


Dengan perendaman diharapkan bahan yang disukai oleh
serangga (gula dan karbohidrat) akan larut terbawa air.
b. Pengawetan dengan menggunakan bahan kimia. Cara ini
dilakukan dengan merendam rotan dalam larutan bahan kimia
(bahan pengawet), yang bersifat racun bagi serangga perusak.
Bahan pengawet yang dipergunakan umumnya yang larut dalam
air, sehingga biaya relatif murah.
Pengawetan dengan asam bor dan boraks
Peralatan yang diperlukan :
- bak perendaman
- timbangan
- tali pengikat
- pemberat
- alat ukur/ penakar
Konsentrasi larutan adalah : 60 gr boraks + 40 gr asam bor
yang dilarutkan dalam 1 liter air. Perendaman dilakukans
elama 5 sampai 10 jam
2. Pemutihan rotan
Tujuan pemutihan adalah untuk memperoleh warna rotan
yang putih/ kekuningan, seragam dan mengkilap (cerah).
Pemutihan dapat dilakukan dengan dua cara :
a. Pemutihan dengan belerang dioksida (SO2)
Pemutihan dengan belerang sering juga disebut dengan
pengasapan. Hal ini disebabkan karena dalam proses pemutihan,
rotan diasap dengan asap yang berasal dari pembakaran belerang.
Oran diletakkan diatas para-para, ditutup rapat atau dalam ruang
tertutup, dibawahnya dibakar belerang sehingga asap yang terjadi
menyelimuti rotan dalam jangka waktu 12 sampai 24 jam.
Kriteria belerang yang baik adalah :
1) Kadar air pada temperatiur 700 C = 0,02 %
2) Kadar abu = 0,01 %
3) Zat yang tidak larut dalam CS2 = 0,04 %

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 58


4) Tidak mengandung H2S

b. Pemutihan dengan larutan perhidrol (H2O2)


Pemutihan dengan perhidrol dapat dilakukan terhadap rotan
bulat (batangan) maupun rotan belah . Bahan yang diperlukan
adalah :
1) Perhidrol (H2O2)
2) Soda api (NaOH)
3) Air kaca (Na2SiO2)
4) Asam cuka (CH3COOH)
5) Air (H2O)
Untuk mendapatkan hasil yang baik, dilakukan 5 kali
perendaman, yaitu :
1) Perendaman I . Dalam 1 liter air ditambahkan 10 cc perhidrol,
1 gr soda api. Rotan direndam dalam larutan ini selama 48 jam
2) Perendaman II . Dalam 1 liter air ditambahkan 1 gram soda api.
Rotan yang telah direndam pada perendaman I direndam dalam
larutan ini selama 1 jam.
3) Perendaman III. Dalam 1 liter air ditambahkan 10 cc perhidrol,
0,5 gram soda api. Rotan hasil rendaman II direndam dalam
larutan ini selama 48 jam.
4) Perendaman IV. Dalam 1 liter air ditambahkan 10 cc perhidrol,
0,5 gram soda api dan 0,5 gram air kaca. Rotan hasil rendaman
III direndam dalam larutan ini selama 48 jam.
5) Perendaman V. Dalam 1 liter air ditambahkan 10 cc asam cuka.
Rotan hasil rendaman IV direndam dalam larutan ini selama 1
sampai 1,5 jam.

D. Kualitas dan Cara Pengujian Rotan Bulat


Tujuan dari dikeluarkannya Peraturan Pengujian Rotan
Bulat ( SK Dirjen Kehutanan No. 204/Kpts/DJ/1980 tanggal 24
Nopember 1980) adalah sebagai pedoman dalam melakukan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 59


pengujian rotan bulat di Indonesia sehingga terjadi keseragaman
persyaratan dan cara dalam menetapkan kualitas, sehingga tidak
terjadi keraguan baik di pihak penjual, pembeli maupun pemakai.
Peraturan tersebut berlaku untuk semua rotan bulat yang
diperdagangkan baik untuk konsumsi eksport maupun dalam
negeri.
Syarat-syarat kualitas rotan bulat:
1. Panjang rotan; panjang rotan diukur dengan menggunakan alat
ukur panjang (meteran) yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal
Kehutanan. Satuan ukuran adalah meter (m)
2. Diameter rotan; diameter diukur dengan menggunakan alat
ukur yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan.
Pengukuran dilakukan ditengah-tengah batang dan ditengah
ruas dengan satuan ukuran milimeter (mm).
3. Warna; ditentukan secara okuler pada seluruh batang rotan.
Jika timbul keragu-raguan dalam penetapan warna rotan, maka
dapat dibandingkan dengan standar warna yang dikeluarkan
oleh Lembaga Penelitian Hasil Hutan.
4. Cacat; cacat diamati secara okuler menurut jenis cacat, besarnya
cacat dan penyebarannya.
- Tidak cacat, jika tidak terdapat cacat pada seluruh batang
rotan yang diuji
- Bercacat, jika terdapat banyak cacat karena faktor alami atau
cacat akibat pengolahan
5. Cerah; kecerahan diamati secara okuler pada seluruh batang
yang diuji.
- Cerah , jika batang rotan dapat memantulkan cahaya/ sinar
- Tidak cerah, jika batang rotan tidak dapat memantulkan
cahaya/ sinar
6. Elastisitas; ditentukan dengan membengkokan salah satu ruas
pada pangkal batang rotan dengan mempergunakan tangan
sampi setengah lingkaran.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 60


- Elastis, bila dibengkokkan permukaan rotan tidak retak atau
patah
- Setengah elastis, jika dibengkokan permukaan rotan retak
- Tidak elastis, jika rotan dibengkokkan permukaan batangnya
patah.
7. Ruas; dukur dengan menggunakan alat ukur yang telah
ditetapkan dan satuan panjang ruas adalah sentimeter (cm).
Setelah rotan diuji, pada bundel rotan diberi tanda :
a. Tanda pengenal perusahaan
b. Jensi rotan dan ukurannya
c. Jenis pengolahan
d. Tanda kualitas
e. Berat, (untuk rotan berdiameter kecil) ; jumlah (untuk rotan
berdiameter besar)
Kepada produsen juga diberikan Sertifikat Pengujian oleh
Pengawas Penguji Rotan Bulat yang memuat:
a. Nama dan alamat produsen
b. Jenis dan ukuran rotan
c. Jenis pengolahan
d. Kualita
e. Tanggal pengujian
Kualitas rotan berdasarkan hasil pengujian ada 4 kualita,
yaitu :
a. Kualitas Utama (Prime Quality), disingkat P
b. Kualitas I (First Quality), disingkat I
2. Kualitas II (Second Quality), disingkat II
3. Kualitas III (Third Quality), disingkat III

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 61


Persyaratan mutu sortimen rotan bulat (washed and
sulfured/ WS) Indonesia spesifikasi rotan bahan mentah adalah
sebagai berikut :
Tabel 4. 1 Persyaratan Mutu Rotan Bulat (WS ) Indonesia
Karakteristik P I II III
A. UKURAN :
1. Pj, R.B.Kecil, m 4/6 3/3,95 2/2,95 1/1,95

2. Pj, R.B.Besar, m ¾ 2/2,95 1,5/1,95 1/1,45

3. Diameter, mm @ @ @ @
B. BATANG :
1. Kelurusan Lu Lu Lu Lu

2. Kesilindrisan - - - -

3. Panjang rusa @ @ @ @

4. Bentuk buku @ @ @ @

5. Arah buku @ @ @ @
C. WARNA :
1. Warna dasar @ @ @ @
2. Kecerahan c/m c/m c/ tm -
D. BONTOS sk sk sk Sk
E. CACAT (Akukumlasi cacat
ringan max) :
1. Salahwarna
2. Lengkung 10% 25% pj 50% pj 50% pj
pj
3. Pecah Kulit

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 62


4. Kulit terkelupas
(Umbulu)
5. Perut buaya (Tohiti)
6. Kulit tergores
7. Gosong
8. Mata pecah pada 3 3 3 3
satu atau 2 ujung
max. 10 % Pj
9. Cacat berat lain X X X X

Keterangan :
4/6 = panjang 4 sampai dengan 6 meter
@ = menurut karakteristik tiap jenis rotan
Lu = Lurus
- = tidak dibatasi
sk = dipotong siku
c/ m = cerah nerata sepanjang batang
c/tm = cerah, tapi tidak merata sepanjang batang
X = tidak diperkenankan

E. Soal-soal Latihan
1. Jelaskan teknik pemungutan rotan batang/ pohon
2. Jelaskan proses pengolahan rotan menjadi barang setengah
jadi (WS)
3. Jelaskan proses pemutihan rotan sehingga diperoleh warna
yang baik
4. Jelaskan tujuan dari pengujian mutu atau kualitas rotan
bulat
5. Sebutkan dan jelaskan criteria/ variable yang diukur dan
diuji dalam menentukan kualitas rotan bulat
6. Sebutkan, ada berapa macam kualitas rotan bulat (WS).

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 63


Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 64
V. LAMPIT ROTAN

A. Proses Pembuatan Lampit Rotan


Lampit rotan adalah lembaran yang berbentuk empat persegi,
bujur sangkar atau bentuk-bentuk lainnya yang dibuat dari
susunan hijiran rotan. Pada mulanya lampit rotan dibuat secara
manual dalam industri rumah tangga, untuk memenuhi kebutuhan
sendiri atau tujuan pemasaran lokal. Perkembangan selanjutnya,
lampit rotan tidak hanya dipasarkan secara lokal, namun sudah
diperdagangkan antar pulau bahkan untuk memenuhi permintaan
luar negeri (eksport). Sejalan dengan perkembangan teknologi,
proses pembuatan lampit rotan sebagian besar sudah
menggunakan mesin, khususnya industri besar. Namun dalam
proses pembuatan lampit tersebut sampai saat ini belum bisa
dilakukan secara mekanis total, masih ada yang harus dikerjakan
secara manual.
Proses pembuatan lampit rotan secara berurutan adalah
sebagai berikut :
a. Sortasi rotan bulat. Rotan bulat yang dibeli sebagai bahan baku
utama seringkali mempunyai kualitas yang tidak seragam,
sehingga perlu diseleksi untuk memperoleh keseragaman bahan
baku. Rotan yang mempunyai kualitas sama dikelompokkan
tersendiri, dipisahkan dengan rotan dengan kualitas lain.
b. Mengikis buku. Setelah diseksi, kemudian dilakukan pengikisan
buku-buku rotan, karena belum tentu pengikisan buku yang
dilakukan petani/ pengumpul hasilnya sudah sesuai dengan
yang diharapkan atau sudah memenuhi persyaratan untuk
lampit. Oleh karena itu pengikisan buku masih harus dilakukan
agar diperoleh keseragaman bahan baku.
c. Meluruskan rotan bulat. Rotan bulat yang dibeli umumnya
dilipat menjadi dua, sehingga perlu diluruskan sebelum rotan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 65


tersebut diproses lebih lanjut. Pelurusan rotan dapat dilakukans
ecara manual dengan peralatan yang dibuat sendiri asyau secara
mekanis dengan menggunakan mesin rattan straigthening
machine.
d. Membelah rotan. Rotan bulat kemudian dibelah menjadi dua
atau empat, tergantung pada diameter rotannya. Pada industri
besar, pembelahan rotan dilakukan dengan menggunakan rattan
splitting machine.
e. Menjangat. Menjangat adalah membuat hijiran rotan dari rotan
yang telah dibelah dengan ukuran lebar dan tebal tertentu.
Secara mekanis, mesin yang dipergunakan adalah trimmed wide
machine. Hijiran rotan berukuran lebar 3,2 mm – 5,8 mm dan
tebal 3,0 mm sampai 5,0 mm.
f. Sortasi rotan belah (hijiran). Tidak semua hasil penjangatan
berkualitas baik dan bisa dipergunakan untuk lampit. Oleh
karena itu diseleksi sesuai dengan ukuran yang dikehendaki
(panjang, lebar dan tebal).
g. Melubang. Rotan hijiran hasil seleksi kemudian diberi lubang
pada jarak tertentu secara teratur. Lubang ini dibuat untuk
memasukkan benag dalam membentuk lembaran. Mesin
pelubang disebut punch rattan machine.
h. Mengain dan mewaton. Mengain adalah menyusun hijiran-
hijiran rotan dan ditautkan (dirangkai) satu dengan lainnya
dengan menggunakan benang melalui lubang yang telah dibuat.
Mewaton adalah memberi hijiran rotan yang lebih besar (lebar)
pada kedua ujung lembaran (awal dan akhir), sebagai ikatan
benang.
i. Memotong dan menangkiwang. Ujung hijiran rotan hasil
mengain tidak sama panjang, oleh karenanya perlu dipotong
agar rata dan sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.
Menangkiwang adalah membuat lekukan (takik) pada ujung

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 66


setiap hijiran rotan untuk mengaitkan pada saat menulang
walut.
j. Menulang walut. Menulang walut adalah membuat anyaman
(jalinan) pada kesua sisi (ujung hijiran rotan) agar hijiran rotan
menyatu dan tampak lebih indah. Tulang walut dibuat dengan
menggunakan kulit rotan yang tipis, dengan ukuran tebal 0,6 –
1,0 mm dan lebar 1,6 – 2,0 mm.
k. Pengompaan. Pengompaan atau penyemprotan dengan api pada
permukaan bawah dari lampit agar serabut-serabut yang ada
terbakar sehingga rotan tampak bersih dan rapi.
l. Pengasapan. Adakalanya lampit rotan yang dihasilkan diasap
dengan menggunakan asap belerang agar warnnya menjadi
seragam dan cerah. Untuk memperoleh hasil yang baik,
pengasapan dilakukan selama 12 sampai 24 jam.

B. Standar Bahan Baku Lampit Rotan


Standar mutu bahan baku lampit rotan adalah berupa rotan
hijiran, yang mengacu pada SII–0800-83. Rotan hijiran adalah rotan
belahan berkulit dengan ukuran tebal dan lebar tertentu yang
diperoleh melalui proses penjangatan. Penjangatan adalah cara
membentuk hijiran dengan menggunakan jangat, yaitu sejenis
pisau yang khusus dipergunakan untuk membelah rotan bulat.
Secara mekanis (mesin) untuk membelah rotan dipergunakan
mesin : rattan splitting machine dan untuk menjangat rotan
dipergunakan mesin yang diberi nama trimmed wide machine.
Jenis rotan yang dipergunakan sebagai bahan baku adalah
rotan sega (Calamus caesius BL), rotan taman (Calamus rouis BL)
dan rotan irit/ jahab (Calamus trachycoleus BECC). Ukuran bahan
baku adalah sebagai berikut :
6) Panjang = 50 cm s/d 400 cm
7) Lebar = 3,20 mm s/d 5,80 mm
8) Tebal = 3,00 mkm s/d 5,00 mm

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 67


Syarat mutu bahan baku lampit rotan secara detail adalah :
Tabel 5.1 Syarat Mutu Bahan Baku Lampit Rotan (Rotan Belah
Berkulit)
Mu Keadaan Cacat ** Jumlah Tebal lebar Kadar
tu warna * pecah air
lapisan
silika
I Rata Tidak ada < 3 cm Sama Sama < 18 %
II Tidak rata Tidak ada 3 – 8 cm Sama Sama < 18 %
III Tidak rata Ada *** 8 – 15 cm Tidak Tidak < 18 %
sama sama
Keterangan :
*) Keadaan warna biasanya kuning muda/ kekuningan
**) Cacat meliputi :
- Serangan jamur
- Serangan serangga
- Patah/ goresan
- Larut pada bagian kulit
***) Kecuali cacat pada bagian kulit

Cara pengukuran dan pengujian bahan lampit rotan :


a. Ukuran panjang. Contoh uji diletakkan pada bidang datar,
kemudian diukur dengan meteran. Pengukuran dilakukan
sebanyak 3 kali pada setia contoh uji kemudian hasilnya
dirata-ratakan.
b. Lebar. Pengukuran lebar contoh uji dilakukan dengan
menggunakan kaliper di lima tempat pada setiap contoh uji
kemudian hasilnya dirata-ratakan
c. Tebal. Pengukuran tebal contoh uji dilakukan dengan
menggunakan kaliper di lima tempat pada setiap contoh uji
kemudian hasilnya dirata-ratakan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 68


d. Keadaan warna cacat. Pengujian dilakukans ecara visual
sebanyak tiga kali
e. Jumlah pecah lapisan silika. Pengamatan dilakukan pada
setiap contoh uji, lapisan silika yang pecah diukur kemudian
dijumlahkan. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali dan
hasilnya dirata-ratakan
f. Kadar air. Pengukuran kadar air dilakukan dengan moisture
meter pada limat tempat di setiap contoh uji, kemudian
dirata-ratakan.

C. Standar Mutu Lampit Rotan


Lampit rotan adalah lembaran empat persegi panjang, bujur
sangkar atau bentuk-bentuk lainnya yang dibuat dari susunan
hijiran rotan yang umumnya dibuat untuk penutup lantai dalam
ruangan.
Bagian penting dari rotan adalah watun dan tulang walut.
Watun adalah hijiran rotan yang ukurannya lebih besar yang
diletakkan di kedua ujung sisi lampit yang merupakan penyekat
atau tempat pegangan tali pengikat hijiran. Sedangkan tulang walut
adalah kulit rotan tipis yang diayam pada kedua sisi rotan untuk
mengikat kuat (dan indah) antar hijiran rotan. Standar mutu lampit
rotan mengacu pada SII –0801-83.
Syarat uji lampit rotan meliputi ukuran, hijiran, permukaan
atas lampit, tolang walut, ikatan tulang walut pada watun, bahan
tulang walut, watun, benang, jalur benang, cacat, serat terangkat,
serat patah, pecah lapisan silika dan kadar air.
1. Ukuran
a. Panjang. Contoh uji (lampit) diletakkan pada bidang datar.
Pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan
meteran. Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali dan
hasilnya dirata-ratakan.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 69


b. Lebar. Contoh uji (lampit) diletakkan pada bidang datar.
Pengukuran lebar dilakukan dengan menggunakan meteran.
Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali dan hasilnya
dirata-ratakan

2. Hijiran
a. Tebal. Pengukuran tebal dilakukan dengan menggunakan
kaliper atau alat ukur lain yang sesuai. Pengukuran
dilakukan sebanyak lima kali pada lima tempat dan hasil
pengukuran dirata-ratakan.
b. Lebar. Pengukuran lebar dilakukan dengan menggunakan
kaliper atau alat ukur lain yang sesuai. Pengukuran
dilakukan sebanyak lima kali pada lima tempat dan hasil
pengukuran
c. Jarak lubang. Pengukuran jarak lubang perangkai benang
dengan menggunakan meteran atau alat ukur lain yang
sesuai. Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali pada lima
tempat dan hasil pengukuran
3. Permukaan atas lampit
a. Warna. Lampit diletakkan ditempat yang datar, pengamatan
warna dilakukan secara visual dan hasil pengamatan
dicacat.
b. Kerapatan. Lampit diletakkan ditempat yang datar.
Kemudian dilakukan pengukuran pada kedua diagonalnya
dengan menggunakan meteran. Selisih hasil pengukuran
kedua diagonal tidak boleh lebih dari 1 %.
c. Kerataan. Lampit diletakkan ditempat yang datar,
pengamatan kerataan dilakukan pada permukaan atas.
4. Tulang walut dan ikatan tulang walut pada watun
Lampit diletakkan pada bidang datar kemudian diamati
watun, tulang walut dan ikatan tulang walut pada watun. Hasilnya
dicatat.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 70


5. Bahan tulang walut
a. Tebal. Pengukuran tebal tulang walut m,enggunakan kaliper.
Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali pada dua tempat
dan hasilnya dirata-ratakan.
b. Lebar. Pengukuran lebar tulang walut m,enggunakan kaliper.
Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali pada dua tempat
dan hasilnya dirata-ratakan
6. Watun.
a. Tebal. Tebal watun diukur dengan menggunakan kaliper.
Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali pada dua tempat
dan hasilnya dirata-ratakan.
b. Lebar. Lebar watun dikur dengan menggunakan kaliper.
Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali pada dua tempat
dan hasilnya dirata-ratakan.
7. Jalur benang
Jalur benang diamati dari watun yang satu sampai ke watun
yang lain, dilakukan minimal sebanyak tiga kali pada tiga tempat
dan hasilnya dicatat.
8. Nomor benang
Ukur panjang benang, kemudian ditimbang. Nomor benang
kemudian dihitung dengan menggunakan rumus:
100 x G
Tex =
M
Keterangan:
Tex = satuan nomor benang
M = panjang benang (meter)
G = berat benanag (gram)
9. Cacat, serat terangkat dan serta patah
Lampit diletakkan di atas bidang datar. Pengamatan
dilakukan untuk mengetahui cacat, serat terangkat, dan serta
patah. Hasilnya dicacat.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 71


10. Pecahan lapisan silika
Lampit diletakkan di atas bidang datar. Pengamatan
dilakukan untuk mengetahui pecahan silika yang terdapat pada
lapisan atas dan diukur .
11. Kadar air
Kadar air diukur dengan menggunakan moisture meter pada
lima tempat yang berbeda dan hasil pengukuran dirata-ratakan.
Syarat mutu lampit rotan setiap kualita dapat dilihat pada Tabel 5.2
Tabel 5.2 Syarat Mutu Lampit Rotan
Uraian Mutu I Mutu II Mutu III
Tebal hijiran Harus sama Harus sama Harus sama
3,0 mm – 5,0 3,0 mm – 5,0 3,0 mm – 5,0
mm mm mm
Lebar hijiran 3,2 mm – 5,8 3,2 mm – 5,8 3,2 mm – 5,8
mm mm mm
Jarak lubang Harus sama; Harus sama; Harus sama;
pada 5,3 cm atau 6,0 5,3 cm atau 6,0 5,3 cm atau 6,0
hijiran cm cm cm
Warna Kuning cera Kuning cerah Kuning cerah
permukaan dan rata tapi kurang dan tidak rata
atas lampit rata
Susunan Rapat dan rata Rapat dan rata Rapat dan rata
hijiran
Tulang walut Erat, rata, Erat, rata, Erat, rata,
agak rapat, agak rapat, agak rapat,
tidak tidak tidak
bergelombang bergelombang bergelombang
Lebar tulang 1,6 mm – 2,0 0,6 mm – 2,0 0,6 mm – 2,0
walut mm mm mm
Tebal tulang 0,6 mm – 1,0 0,6 mm – 1,0 0,6 mm – 1,0
walut mm mm mm

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 72


Ikatan tulang Pada keempat Pada keempat Pada keempat
walut pada sudutnya sudutnya sudutnya
watun sama, 8 – 15 sama, 8 – 15 sama, 8 – 15
putaran putaran putaran
Tebal watun 5,0 mm 5,0 mm 5,0 mm
Lebar watun 2 – 2,5 kali 2 – 2,5 kali 2 – 2,5 kali
lebar hijiran lebar hijiran lebar hijiran
Jalur benang Tepat, lurus, Tepat, lurus, Tepat, lurus,
tidak goyah, tidak goyah, tidak goyah,
dan tidak dan tidak dan tidak
tampak dari tampak dari tampak dari
luar luar luar
Benang Katun atau Katun atau Katun atau
nylontek 1500 nylontek 1500 nylontek 1500
atau bahan atau bahan atau bahan
lain yang lain yang lain yang
sesuai sesuai sesuai
Cacat, kerut, Tidak ada Boleh ada, Boleh ada,
retak, tidak lebih dari tidak lebih dari
goresan 5% 10 %
berlubang,
bekas
serangga dan
jamur
Serat Tidak ada Tidak ada Tidak ada
terangkat
Serat patah Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Pecahan Tidak lebih Tidak lebih Tidak lebih
lapisan silika dari 3 % dari 5 % dari 10 %
pada setiap

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 73


hijiran lembar
lampit
Kadar air Tidak lebih Tidak lebih Tidak lebih
dari 18 % dari 18 % dari 18 %

D. Soal-soal Latihan
1. Jelaskan pengertian dari lampit rotan
2. Sebutkan dan jelaskan tahapan proses pembuatan lampit
rotan
3. Sebutkan dan jelaskan cara pengukuran dan pengujian rotan
sebagai bahan baku lampit
4. Sebutkan perbedaan persyaratan mutu lampit rotan Mutu I
dan Mutu III

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 74


VI. BAMBU

A. Penyebaran
Bambu secara alami terdapat di Asia, Afrika, Amerika dan
terdapat pula di Australia walau dalam jumlah yang sedikit (jenis
dan individunya). Di Asia, bambu tumbuh tersebar di Indoburma
(Indonesia, Malaysia, Thailand, Birma, Vietnam), India, Cina dan
Jepang.
Bambu dapat mulai dataran rendah sampai dengan
ketinggian 3000 m dari permukaan laut. Bambu akan tumbuh baik
di tempat-tempat terbuka dan bebas dari genangan air. Oleh karena
itu, rumpun bambu sering terbentuk di lereng-lereng gunung atau
tebing sungai. Sekali rumpun bambu terbentuk, sulit untuk
mengendalikannya.
Di Indonesia tanaman bambu paling banyak dibudidayakan
di pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Pulau Jawa paling banyak
menggunakan bambu untuk berbagai kebutuhan. Selain pulau
Jawa, penggunaan bambu agak berkurang, karena orang lebih suka
menggunakan kayu yang masih banyak terdapat di daerah tersebut.
Meskipun bambu memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, pembudidayaan bambu secara
luas belum dilakukan. Dengan demikian penyediaan bambu untuk
berbagai keperluan masih menggantungkan pada hasil dari
pekarangan (di Jawa biasanya ditanam di bagian belakang
pekarangan).

B. Klasifikasi
Klasifikasi bambu adalah sebagai berikut :
- Divisio : Spermatophyta
- Sub-divisio : Angiospermae
- Class : Monocotyledonae

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 75


- Ordo : Graminales
-Family : Gramineae
- Sub-family : Bambusoidae
Berdasarkan berbagai literature disebutkan bahwa di dunia
ditemukan 75 genus bambu yang terdiri dari 1.500 species. Di
Indonesia dikenal 10 genus bambu, yaitu :
1) Arundinaria
2) Bambusa
3) Dinochloa
4) Dendrocalamus
5) Gigantochloa
6) Melocanna
7) Nastus
8) Phyllostachys
9) Schizostachyum
10) Thyrsostachys
C. Pertumbuhan Bambu
Bambu tumbuh dalam rumpun, tumbuh tegak dan ujung
batangnya menjuntai. Tingginya antara 0,3 meter sampai dengan
30 meter, diameter batang antara 0,25 cm sampai 25 cm, tebal
diding buluh mencapai 25 mm.
Ada dua tipe pertumbuhan bambu, yaitu :
1. Tipe simpodial (Clump type). Dalam perkembangan
pertumbuhannya, tunas keluar dari ujung rimpang.
Percabangan rhizom di dalam tanah cenderung mengumpul dan
membentuk rumpun. Jadi bambu tipe ini tumbuh dalam
rumpun yang antar batangnya saling berdekatan (bahkan
berimpit). Bambu tipe ini banyak terdapat di daerah tropis,
seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam dan India.
2. Tipe monopodial (Running type). Tunas baru keluar dari buku-
buku rimpang dan bambu tipe ini pertumbuhannya tidak
membentuk rumpun yang rapat. Batang tampak menyebar,

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 76


antara batang satu dengan yang lainnya ada jarak yang
memperlihatkan bahwa tidak membentuk rumpun. Bambu tipe
ini banyak terdapat di daerah sub-tropis, seperti Amerika, Korea,
China dan Jepang.
Perbedaan pertumbuhan kedua tipe bambu tersebut dapat
dijelasklan sebagai berikut :
Tabel 6.1 Perbedaan Pertumbuhan Bambu Tipe Simpodial dan
Monopodial

Kriteria Simpodial Monopodial


Habitat Batang tumbuh Batang tumbuh
rumpun dalam rumpun yang terpencar dengan jarak
rapat tertentu

Rhizom Pendek, lebih besar Panjang dan ramping,


dari batang batang tumbuh dari
tunas

Daun Tidak terdapat urat Selalu terdapat urat


daun melintang daun melintang

Contoh Bambusa sp Arundinaria sp


Dendrocalamus sp Phyllostachys sp
Gigantochloa sp
Schyzostachyum sp

D. Jenis Bambu di Indonesia


1. Bambu apus (Gigantochloa apus BL)
Bambu apus sering pula disebut bambu tali atau paring tali,
karena jenis bambu ini baik dipergunakan untuk tali. Bambu apus
tumbuh dalam rumpun yang rapat, hingga sulit untuk memanen.
Bambu apus dapat mencapai ketinggian 20 meter, warna batang
hijau cerah sampai kekuning-kuningan. Diameter batang antara

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 77


2,5 sampai 15 cm, tebal dinding 3 – 15 mm, panjang ruas 45 – 65
cm. Panjang batang yang dapat dimanfaatkan bisa mencapai 15
meter. Menurut sejarahnya, bambu apus di Indonesai berasal dari
Burma.
Bambu apus tumbuh baik di dataran rendah sampai dengan
ketinggian 1000 m dari permukaan laut (dpl). Untuk
membudidayakan bambu apus lebih mudah dilakukan dengan stek
batang. Bambu apus baik dipergunakan untuk anyam-anyaman,
karena seratnya yang penjang dan lentur.
Mengingat akan pemakaian bambu apus ini sangat luas, jenis
bambu ini perlu mendapat perhatian khususnya dalam
pembudidayaannya sehingga tercapai keseimbangan anatara
pertumbuhan dan pemakaiannya.
2. Bambu ater (Gigantochloa atter Kurz)
Batang bambu ater berwarna hijau, berdiameter 5 sampai 10
cm, tebal dinding mencapai 8 mm, panjang ruas 40 sampai 50 cm
dan tinggi batang mencapai 22 meter. Jenis bambu ini tumbuh
dengan baik di dataran rendah sampai pada ketinggian 750 meter
dpl. Pertumbuhan bambu ini dalam rumpun tampak kurang rapat
dibandingkan dengan jenis bambu lain yang dibudidayakan.
Bambu ater banyak ditanam orang di pekarangan rumah,
khususnya di bagian belakang pekarangan. Bambu ater
dipergunakan untuk dinding, pagar, peralatan rumah tangga,
kerajinan tangan dan alat musik (angklung).
3. Bambu andong (Gigantochloa verticillata)
Batang bambu berwarna hijau kekuningan dengan garis-
garis kuning sejajar batang. Bambu andong tumbuh dalam rumpun
yang tidak terlalu rapat. Batang bambu andong berdiameter 5 – 13
cm, panjang ruas 40 – 60 cm dan ketebalan dinding mencapai 20
mm serta tinggi batang 7 sampai 7 – 30 meter.
Batang bamu andong dipergunakan sebagai bahan kerajinan
tangan, bahan bangunan dan chop stick.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 78


4. Bambu betung (Dendrocalamus asper)
Bambu betung tumbuh dalam rumpun yang rapat, batang
berwarna hijau kekuningan dan dapat mencapai tinggi 20 meter.
Diameter batang bambu betung mencapai 20 cm, panjang ruas 40
sampai 60 cm dan tebal dinding 10 sampai 15 mm.
Bambu betung secara alami tumbuh di dataran rendah
sampai dengan ketinggian 2000 meter dpl. Bambu betung
diperguankan sebagai bahan bangunan, saluran air, dinding
rumah, kerajinan tangan, dan lain-lain.
5. Bambu kuning (Bambusa vulgaris)
Bambu kuning tumbuh dalam rumpun yang tidak terlalu
rapat, batang tumbuh tegak dan berwarna kuning, ada bercak
coklat atau bergaris hijau. Tinggi batang antara 15 sampai 20 meter,
diameter mencapai 10 cm. Tebal dinding 10 – 15 mm dan panjang
ruas 20 – 45 cm.
Bambu kuning cepat tumbuh dan dapat tumbuh dengan baik
sampai ketinggian 700 meter dpl. Batang bambu kuning
dipergunakan sebagai bahan meubel, kerajianan tangan dan lain-
lain.

6. Bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea)


Bambu hitam sering juga disebut bambu wulung. Batang
berwarna hitam atau ungu tua.Tumbuh dalam rumpun yang agak
jarang, tinggi batang antara 15 – 20 meter, panjang ruas 40 – 50
cm, diameter 6 – 8 cm dan tebal dinding lebih kurang 8 mm. Bambu
ini dipergunakan untuk alat musik, furniture dan kerajinan tangan.
7. Bambu talang (Schizostachyum brachycladum)
Bambu talang tumbuh dalam rumpun yang rapat, batang
berwarna hijau kekuningan, tinggi batang mencapai 15 meter,
panjang ruas 30 – 50 cm dan diameter mencapai 10 cm. Bambu
talang tumbuh baik sampai pada ketinggian 1000 meter dpl. Bambu

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 79


talang dipergunakan untuk atap, dinding dan lantai rumah adat
(Toraja), untuk rakit, kerajinan tangan dan lain-lain.
8. Bambu ori (Bambusa arundinacea Wild)
Bambu ori tumbuh dalam rumpun yang rapat, batang
tumbuh tegak dan mencapai ketinggian 25 meter, diameter batang
10 cm, dinding tebal dan ruasnya relatif pendek. Bambu ori berasal
dari Burma, tumbuh baik sampai ketinggian 300 meter dpl. Bambu
ori dipergunakan sebagai bahan bangunan (konstruksi rumah,
jembatan sederhana) anyaman, dan lain-lain.
9. Bambu duri (Bambusa blumeana BL)
Bambu duri hampir sama dengan bambu ori, tumbuh dalam
rumpun yang rapat, batang tumbuh tegak. Pada cabang (ruas
cabang) ditumbuhi duri, batang mencapai ketinggian 25 meter,
diameter batang 10 cm, dinding tebal dan ruasnya relatif pendek.
Bambu ori berasal dari Burma, tumbuh baik sampai ketinggian 300
meter dpl. Bambu ori dipergunakan sebagai bahan bangunan
(konstruksi rumah, jembatan sederhana) anyaman, dan lain-lain.
10. Bambu pagar (Bambusa glaucescens)
Disebut bambu pagar karena jenis bambu ini sering ditanam
orang untuk apgar halaman. Tumbuh dalam rumpun yang sangat
rapat, batangnya kecil berwarna hijau. Tinggi dapat mencapai 8
meter, diameter dapat mencapai 2 cm dan panjang ruas 15 sampai
50 cm. Bambu pagar berasal dari Cina dan dapat tumbuh dengan
baik sampai ketinggian 700 meter dpl.
11. Bambu batu (Dendrocalamus strictus)
Bambu batu berasal dari India dan Burma. Bambu ini
tumbuh dalam rumpun yang agak rapat, batang berwarna hijau,
tinggi mencapai 12 meter, diameter mencapai 10 cm dan berdinding
tipis. Bambu batu dipergunakan sebagai bahan untuk kerajinan
dan pembuatan perabot rumah tangga.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 80


12. Bambu tutul (Bambusa vulgaris)
Bambu tutul diduga berasal dari Srilangka yang kemudian
tersebar ke daerah tropika. Di Indonesia banyak terdapat di Jawa,
Bali, Lombok dan Sulawesi. Batang bambu yang tua bertutul-tutul
coklat, tinggi batang mencapai 12 meter, diameter mencapai 10 cm
dengan dinding yang tipis.
Bambu tutul dipergunakan untuk bahan kerajinan dan perabot
rumah tangga, misalnya meja, kursi, hiasan dinding, kerajianan
tangan, tirai dan dinding rumah.
13. Bambu cendani (Bambusa multiplex)
Bambu cendani dapat mencapai tinggi 7 meter, panjang ruas
30 – 60 cm berdiameter 2,5 cm dengan dinding 3 – 6 mm.Warna
batang hijau atau hijau kekuningan. Bambu ini banyak
dipergunakan untuk bahan kerajinan.
14. Bambu perling (Schyzostachyum zollingei)
Tinggi batang bambu perling dapat mencapai 15 meter,
diameter batang 1,5 – 5 cm, tebal dinding 2,5 – 4 mm. Panjang ruas
mencapai 75 cm. Bambu perling dipergunakan anyaman, tirai, dan
lain-lain.
15. Bambu cengkoreh (Dinochloa scandens)
Bambu cengkoreh adalah bambu yang memanjat, tumbuh
dalam rumpun yang jarang, tinggi mencapai 15 – 25 meter, diameter
8 – 25 cm, panjang ruas 20 – 30 cm. Warna batang hijau tua,
bermiang kasar dan dipergunakan sebagai bahan baku anyaman.
Bambu ini merupakan tumbuhan asli Asia, di Indonesia terdapat di
bagian barat dan tengah, tumbuh di hutan-hutan pada ketinggian
200 sampai 1200 meter dpl.
16. Bambu tamiang (Schizostachyum blumei)
Bambu tamiang dapat mencapai tinggi 10 meter, diameter 2
– 4 cm dan tebal dinding 3 – 7 mm. Panjang ruas mencapai 60 cm.
Bambu ini dipergunakan untuk pembuatan kerajinan dan
perlengkapan memancing.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 81


17. Bambu loleba (Bambusa atra)
Loleba adalah nama yang umum dipakai di Maluku untuk
jenis bambu ini. Bambu ini tumbuh dalam rumpun yang tidak
terlalu rapat, buluhnya tegak, berwarna hijau sampai hijau tua,
dapat mencapai ketinggian 7 meter dengan diameter buluh
mencapai 5 cm dan panjang ruas dapat mencapai 80 cm.
Bambu ini tumbuh tersebar di Maluku dan Irian Jaya,
tumbuh di hutan-hutan dataran rendah, hutan sagu atau di tepi
sungai. Bambu laleba dipergunakan untuk membuat dinding
rumah, untuk tali seperti halnya bambu apus di Jawa.
18. Bambu Eul-eul (Nastus elegantissimus)
Jenis bambu ini tidak banyak dikenal orang, karena tidak
ditanam sebagai tanaman pekarangan. Umumnya tumbuh liar di
hutan-hutan (Jawa Barat) pada ketinggian 1500 meter sampai 2000
meter dpl.
Bambu ini tumbuh dalam rumpun yang tidak rapat, tingginya
mencapai 25 meter, diameter mencapai 4 cm dengan panjang ruas
antara 45 – 60 cm. Bambu ini di Jawa Barat dipergunakan untuk
menjemur tembakau, penahan erosi, pembuatan persemaian atau
untuk pagar.
19. Bambu embong (Bambusa horsfieldii)
Bambu ini merupakan jenis yang memanjat, tumbuh dalam
rumpun yang rapat, dapat mencapai tinggi 30 meter dengan
diameter buluh 5 cm. Bambu embong belum diketahui asal
usulnya, di Jawa ditemukan di jawa Timur. Tempat tumbuh
tanaman ini adalah dataran rendah atau tempat-tempat sampai
pada ketinggian 600 meter dpl.
20. Bambu sembilang (Dendrocalamus giganteus)
Bambu ini merupakan jenis yang terbesar, baik rumpunnya
maupun ukuran buluhnya. Rumpun tidak terlalu rapat dan
tumbuh tegak, tinggi mencapai 30 meter, diameter 18 - 25 cm dan
panjang ruas mencapai 50 cm dan tebal dinding 2,5 cm.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 82


Bambu ini berasal dari Burma dan Siam, buluhnya dipakai sebagai
tempat mengambil air dan rebungnya dapat dimakan.
21. Bambu jalur (Schyzostachyum longispiculatum)
Bambu ini tumbuh dalam rumpun yang rapat dengan ujung
buluh yang terkulai dengan ketinggian mencapai 7,5 meter,
diameter 6 cm panjkang ruas mencapai 75 cm. Bambu ini
merupakan jenis asli Indonesia bagian barat, seperti di Kalimantan,
Jawa dan Sumatera, tumbuh ditempat terbuka di dataran rendah
sampai ketinggian 300 meter dpl. Rebung jenis bambu ini dapat
dimakan.
22. Bambu toi (Schyzostachyum lima)
Bambu ini tumbuh dalam rumpun yang jarang, buluh
tumbuh tegak dengan ketinggian mencapai 10 meter, diameter
buluh 6 cm dan panjang ruas mencapai 100 cm. Buluh berwarna
hijau keputih-putihan. Bambu ini tumbuh liar di Indonesia bagian
timur seperti Sulawesi, Maluku dan Irian. Tumbuh di tempat
terbuka, mulai dataran rendah sampai pada ketinggian 700 meter
dpl.
23. Bambu bongkok (Schyzostachyum caudatum)
Bambu ini mempunyai keistimewaan, yaitu buluhnya sering
pada di bagian dalamnya. Bambu ini tumbuh dalam rumpun yang
rapat, buluhnya ramping dan tumbuh tegak dengan bagian
ujungnya yang menjuntai. Tinggi batang dapat mencapai 10 meter
dengan diameter batang 8 cm dan panjang ruasnya dapat mencapai
40 cm. Buluh berwarna hijau tua.
Bambu ini tumbuh liar di hutan-hutan di Sumetera dan Jawa, lebih
menyukai tanah terbuka, ditepi sungai atau di dataran rendah
sampai ketinggian 300 meter dpl.
24. Bambu lengka (Gigantochloa nigrociliata)
Bambu ini tumbuh dalam rumpun yang rapat, buluhnya
tegak dengan ketinggian mencapai 12 meter, diameter 2 – 5 cm dan
panjang ruas mencapai 50 cm. Bambu ini banyak dijumpai di

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 83


taman-taman di Jawa, terutama di Jawa Barat dan dijumpai pula
di Sumatera. Tumbuh di dataran rendah sampai dengan ketinggian
600 meter dpl. Bambu ini dimanfaatkan untuk pagar, dinding
rumah dan rebungnya dapat dimakan.
25. Bambu tuda munro (Bambusa tulda)
Bambu ini berasal dari Burma dan Pakistan. Tumbuh dalam
rumpun yang rapat, buluhnya agak condong berwarna hijau tua.
Tinggi buluh dapat mencapai 20 meter, diameter 10 cm dan panjang
ruas mencapai 60 cm.
26. Bambu lengkatali (Gigantochloa hasscarliana)
Bambu ini tumbuh dalam rumpun yang rapat dengan
ketinggian mencapai 6 meter, buluh berwarna hijau tua dengan
diameter 3 – 5 cm dan panjang ruas antara 30 sampai 40 cm.
Bambu ini diduga berasal dari Burma, Di Jawa banyak
dijumpai di Bogor dan tumbuh baik pada ketinggian 600 meter
sampai 900 meter dpl. Rebung dari jenis ini dapat dimakan.
27. Bambu jepang (Arundinaria japanica)
Jenis bambu ini berasal dari Jepang dan kemudian banyak
ditanam di Indonesia. Rumpun tidak terlalu rapat, buluh tumbuh
tegak dan berwarna hijau. Tinggi mencapai 5 meter, diameter 3 cm
dan panjang ruas mencapai 30 cm.
Perbanyakan biasanya dilakukan dengan rimpang atau
dengan stek. Jenis ini dapat tumbuh dengan baik pada tempat-
tempat terbuka, beriklim kering tetapi cukup air. Bambu ini
biasanya ditanam sebagai tanaman hias.
E. Manfaat Bambu
Hampir seluruh bagian dari bambu dapat dimanfaatkan atau
mempunyai fungsi penting. Manfaat bagian-bagian bambu tersebut
sebagai berikut:
i.Rebung
Rebung bambu bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan, seperti
untuk pengolahan kripik, sebagai bahan untuk sayuran dan bisa

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 84


juga dibuat menjadi tepung untuk bahan pangan lainnya setelah
melalui proses pengeringan dan pengolahan tepung. Menurut
Krisdianto, et al (2014) Rebung bambu sekarang sudah jadi
komoditas internasional di pasar global. Terbukti bahwa
permintaan rebung lewat e-mail seperti negara Jepang, Inggris,
Korea Selatan, Hongkong dan Slovakia.
ii.Bonggol
Bonggol bambu dapat digunakan untuk berbagai keperluan
diantaranya sebagai pegangan golok atau hulu pisau, alat untuk
membuat sambel (olek), papan partikel, gantungan kunci dan
lainnya (Sunarko, et al 2012).
iii.Batang
Batang bambu merupakan bagian yang paling banyak digunakan
untuk dibuat berbagai macam keperluan mulai dari sebagai
bahan bangunan, bahan kerajinan dan bahan pembuatan
perkakas rumah tangga. Batang bambu baik masih muda
maupun sudah tua dalam keadaan bulat atau sudah dibelah-
belah dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Batang bambu
dapat dimanfaatkan untuk komponen bangunan rumah,
komponen konstruksi jembatan, pipa saluran air dan lain-lain.
Batang bambu yang sudah dibelah-belah banyak dimanfaatkan
untuk industri kerajinan dalam bentuk anyaman atau ukiran
untuk keperluan hiasan, perabot rumah tangga dan lain-lain
(Winarto dan Ediningtyas, 2012)
iv.Daun
Daun bambu dapat digunakan sebagai alat pembungkus,
misalnya makanan kecil seperti uli dan wajik. Selain itu didalam
pengobatan tradisional daun bambu dapat dimanfaatkan untuk
mengobati demam panas pada anak-anak. Hal ini disebabkan
karena daun bambu mengandung zat yang bersifat
mendinginkan (Berlian dan Rahayu, 1995).

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 85


v.Akar
Akar tanaman bambu dapar berfungsi sebagai penahan erosi
guna mencegah bahaya kebanjiran. Akar bambu juga dapat
berperan dalam menanganai limbah beracun akibat keracunan
merkuri. Bagian tanaman ini menyaring air yang terkena limbah
tersebut melalui serabut-serabut akarnya (Berlian dan Rahayu,
1995).
vi.Tanaman hias
Tanaman bambu banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias,
mulai dari jenis bambu kecil hingga jenis bambu besar yang
banyak ditanam sebagai tanaman pagar di pekarangan. Selain itu
terdapat jenis-jenis bambu hias lain yang dapat dimanfaatkan
untuk halaman pekarangan yang luas, halaman terbatas dan
untuk pot. Saat ini bambu hias banyak dicari konsumen,
alasannya adalah penampilan tanaman bambu yang unik dan
menawan sehingga bambu banyak ditanam sebagai elemen
taman yang bergaya Jepang (Rahayu, 1995).

F. Teknologi Pengolahan Bambu


Bambu dapat dioleh menjadi produk yang lebih menarik dan
berkualitas. Berbagai produk hasil teknologi pengolahan bambu
sebagai berikut:
1. Bambu Lamina
Bambu memiliki batang yang kecil dan berlubang, sehingga
jika digunakan untuk keperluan yang lebih lebar, panjang dan tebal
atau datar perlu dilakukan teknologi perekatan atau laminasi,
misalkan jika digunakan untuk keperluan pembuatan mebel, lantai
dan dinding bangunan. Bambu lamina dibuat dari bahan baku
bambu yang dibentuk menjadi strip dengan ukuran panjang sesuai
dengan kemampuan alat press, lebar strip sesuai dengan keadaan
bambu yang digunakan untuk pembuatan bambu lamina atau
bambu lapis yang diinginkan. Tebal strip bambu yang digunakan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 86


untuk bambu lamina atau papan buatan tergantung dengan jenis
bambu dan tebal bambu, seperti bambu Betung, bambu Andong,
bambu Hitam dan lainnya. Menurut Iskandar (2007), penggunaan
bambu lapis atau lamina antara lain untuk rangka balok, dinding,
lantai, pintu, lemari, meja, kursi dan peti kemas. Teknologi yang
digunakan terdiri dari pengeringan strip bambu pada suhu kamar,
perekatan dan pengepressan dengan tekanan dan waktu tertentu.
Perekat yang digunakan bisa menggunakan Urea Formaldehid
maupun Poly Vinyl Acetat dengan lama waktu press sesuai rencana
kerja. Untuk penggunaan perekat UF waktu pengepressan tidak
terlalu lama karena menggunakan panas, sedangkan jika
menggunakan perekat Poly Vinyl Acetat biasanya lama waktu
pengepressan selama 12 jam tanpa pemanasan. Menurut Misdarti,
(2006) dalam Arhamsyah, (2011). Nilai keteguhan rekat dipengaruhi
oleh kandungan padat dari perekat, semakin tinggi kandungan
padat maka. kadar resin akan semakin tinggi, hal itu menunjukkan
bahwa perekat tersebut berkualitas baik. Selain itu keteguhan rekat
dipengaruhi oleh kadar abu perekat. Semakin tinggi kadar abu
maka nilai keteguhan rekatnya akan semakin berkurang.

2. Kayu Lapis
Bambu dapat digunakan sebagai bahan baku untuk inti kayu
lapis, tatapi dalam prosesnya terlebih dahulu bambu dilakukan
pemotongan dan pembelahan dilanjutkan dengan pembuatan strip.
Dilakukan pengeringan strip pada suhu kamar. Dilanjutkan dengan
perekatan dengan menggunakan perekat Urea Formaldehid yang
biasa digunakan untuk perekat kayu lapis. Strip bambu disusun
diatas venir yang sudah diberi perekat kemudian diatas strip bambu
diberi perekat, selanjutnya bagian atas ditutup dengan venir dan
dilakukan pengepressan serta diberikan pemanasan dengan
tekanan tertentu dan waktu tertentu. Setelah itu dikeluarkan dari
alat press yang dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu kamar,

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 87


setelah dingin dilakukan pembuatan contoh uji untuk diuji sifat
fisik dan mekanik. Menurut Sulastiningsih et al (2004) dalam
Arhamsyah (2011), pada umumnya kerapatan produk komposit
dipengaruhi oleh kerapatan bahan penyusunnya, perekat dan
proses perekatan. Seperti halnya dengan kadar air, kerapatan juga
dipengaruhi oleh perbedaan bahan baku, perekat dan kadar
perekat.

3. BioPellet
Pembuatan Wood Pellet dapat pula digunakan bahan baku
selain kayu yaitu bambu maupun dari limbah pengolahan bambu.
Karena bambu merupakan tumbuhan yang mengandung
lignoselulosa. Bambu sebagai salah satu sumber daya alam yang
cukup potensial. Bambu memiliki sifat-sifat yang positif seperti
kuat, ulet, mudah dibelah, dibentuk dan mudah pengerjaannya,
disamping itu harganya relatif murah dibandingkan bahan baku
kayu. Disamping itu bambu merupakan tanaman yang cepat panen.
Pada umumnya pembuatan wood pellet berasal dari limbah industri
penggergajian kayu, limbah tebangan dan hasil hutan lainnya,
termasuk bambu. Industri di Indonesia baru mampu menghasilkan
wood pellet sebesar 40.000 ton sedangkan produksi di dunia
mencapai 10 juta ton. Jumlah ini belum memenuhi kebutuhan
dunia pada tahun 2010 yang diperkirakan mencapai 12,7 juta ton.
Peluang mengembangkan wood pellet sangat terbuka luas
mengingat limbah hasil hutan Indonesia sangat besar (Anonim,
2010). Beberapa penelitian tentang wood pellet telah dilakukan,
menurut Wang dan Yan, (2005), pemanfaatan wood pellet mampu
mengurangi emisi CO2 dan menghasilkan efisiensi panas sebesar
80%. Pembuatan wood pellet dari sumber terbarukan (renewable
resource), seperti limbah kayu (waste wood) berbagai sumber bahan
baku kayu (feed stock) dapat digunakan untuk menghasilkan wood
pellet. Untuk bahan baku limbah kayu hanya memerlukan sedikit

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 88


pengeringan (bahkan tanpa pengeringan) sebelum memasuki proses
produksi pellet. Menurut Terroka et al (2009), biomassa pellet secara
signifikan mempunyai emisi yang lebih rendah dari pada kayu
bakar, tetapi masih lebih tinggi dibanding pembakaran gas alam.
Menurut Rocha (2006), kekuatan mekanis wood pellet yang
dihasilkan pada umumnya cukup rendah, mudah patah dan
kurang efisien. Kualitas bakaran tidak mengandung banyak asap
seperti kayu bakar, Hendra (2012), mengemukakan wood pellet
dapat ditentukan dari bahan baku dan proses produksi. Oleh
karena itu diperlukan pengembangan teknologi konversi biomassa
yang baru, murah dan efisien. Penggunaan pellet untuk bahan
bakar cukup mudah dan hasil pe Total kontribusi sumber energi
biomassa diperkirakan sebesar 36% dari total kebutuhan energi
Indonesia, selebihnya adalah untuk kebutuhan rumah tangga dan
industri skala rumah tangga. Prihandana dan Hendroko (2007).

4. Pulp dan Kertas


Bambu merupakan hasil hutan non kayu yang dapat
dikembangkan, dibudidayakan serta dapat dijadikan bahan baku
pengolahan pulp dan kertas, diberdayakan untuk berbagai
keperluan dengan upaya teknologi permesinan maupun teknologi
sederhana. Bambu yang berlimpah di Indonesia dapat digunakan
sebagai bahan baku multi guna dan memiliki keunggulan tertentu.
Diharapkan bambu dapat menggantikan bahan baku konvensional,
dalam hal ini kayu. Pada saat ini kayu mulai terbatas dan harganya
relatif mahal, sedangkan bambu merupakan salah satu keperluan
serat pulp untuk kertas terus meningkat, hampir di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Khusus di Indonesia yang berada di daerah
tropis, tanaman bambu merupakan salah satu pilihan bahan baku
pulp dan kertas paling penting (Lybeen et al. 2006). Bambu
mempunyai keunggulan jika digunakan sebagai bahan baku kertas,
karena cepat pertumbuhan dan mudah diputihkan setelah diolah

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 89


menjadi pulp menggunakan proses kraft karena tekstur bambu
sebagai tanaman monokotil lebih banyak jaringan parenkim,
sehingga tidak sepadat kayu. Patt et al (2005), mengemukakan
bahwa selain komponen kimia dan kondisi pengolahan, morfologi
serat bahan berlignoselulosa juga merupakan salah satu faktor
yang perlu diperhatikan dalam pembuatan pulp dan kertas, karena
komposisi jaringan tanaman dalam sel yang beragam. Secara
khusus serat yang panjang fleksibilitas yang tinggi, tebal dinding
terhadap lumen yang rendah diperlukan dalam pembuatan pulp
dan kertas Xu et al (2005). Menurut Khakifirooz, et al (2013),
klasifikasi serat bambu termasuk kelas serat panjang, yaitu
minimal 1,9 mm). Menurut Lapierre, (2006) dalam Nuriyatin dan
Sofyan, (2011), menegaskan bahwa panjang serat berpengaruh
positif terhadap kekuatan kertas. Sedangkan Kerapatan ikatan
pembuluh, berdasarkan anatomi 8 jenis bambu berturut-turut dari
yang tertinggi ke yang terendah Nuriyatin, (2011).

5. Arang
Arang bambu dibuat dari bahan baku bambu, Bambu yang
digunakan pada umumnya adalah jenis bambu yang memiliki
daging bambu yang cukup tebal, proses pembuatan arang bambu
dilakukan dengan cara memotong bambu yang masih segar terlebih
dahulu dilakukan pengeringan agar bambu mudah dilakukan
proses karbonisasi atau pengarangan adapun panjangnya
disesuaikan dengan besar dan tingginya alat dan bisa juga dengan
cara timbun. Cara timbun ini yaitu dengan menggali tanah,
dilakukan pembakaran dengan waktu 5 sampai dengan 6 jam.
Selanjutnya dilakukan pembongkaran arang dalam tungku. Setelah
itu dilakukan proses pendinginan. Kemudian dilakukan pengujian
sesuai dengan ketentuan yang mengacu standar (SNI 01 - 1682 –
1996) tentang syarat arang tempurung kelapa.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 90


Adapun manfaat dari arang bambu selain sebagai pelindung
dari gelombang elektromagnet, arang bambu juga bermanfaat
sebagai penghilang bau dan kelembaban, untuk perawatan kulit,
penjernihan air, menambah aroma dan meneral dalam memasak
nasi, menjaga air dalam akuarium tetap bersih dan sehat, serta
dapat pula dijadikan sebagai media tanaman bunga dan lainya (Mai
Tan Weng, 2007). Menurut Krisdianto et al (2006) dalam Amaliyah
dan Kuswarini (2012) nilai kalor arang rata-rata hasil penelitian
sebesar 6602 kal/g, sedangkan nilai kalor arang hasil penelitian
6731,08 kal/g hingga 7245,23 kal/g.

G. Soal-soal Latihan
1. Jelaskan perbedaan bambu tipe simpodial dengan tipe
monopodial
2. Jelaskan bagaimana perospek pengusahaan bambu di
Indonesia
3. Jelaskan hubungan antara pemanfaatan bambu dengan
pendapatan masyarakat di sekitar hutan
4. Bambu merupakan bahan baku industri pulp dan kertas yang
potensial untuk dikembangkan. Jelaskan maksud dari
pernyataan tersebut

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 91


Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 92
VII. GAHARU

A. Pengertian
Menurut definisi yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi
Nasional (BSN) SNI 01-5009.1-1999, gaharu adalah sejenis kayu
dengan berbagai bentuk yang memiliki warna yang khas, serta
memiliki kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon
penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai
akibat dari proses infeksi yang terjadi baik secara alami maupun
buatan pada pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi pada
pohon Aquilaria sp yang dikenal dengan nama daerah seperti Karas,
Alim, Gaharu dan lain – lain.
Proses terjadinya kayu gaharu adalah hasil dari proses
pathogenic karena timbulnya infeksi, yaitu hasil proses infeksi dari
jamur jenis Fusarium spp yang terjadi pada pohon inang gaharu.
Menurut berbagai sumber infeksi pada pohon inang, sehingga
menghasilkan gaharu dapat sebabkan oleh tiga sebab yaitu karena
1) infeksi jamur (fungi); 2) perlukaan dan 3) proses non pathology.
Subowo (2010) menyebutkan bahwa Jamur Fusarium sp JG12,
Aspergillus sp JG17, Aspergillus sp JG31 dan Aspergillus sp JG32
merupakan jamur yang dapat digunakan sebagai penginfeksi
batang gaharu sehingga membentuk gaharu
Kayu yang telah terinfeksi akan mengeluarkan suatu fragnant
bahan kimia yang menyerupai minyak, dan membuat kayu tersebut
lama-kelamaan akan menjadi keras dan berwarna gelap. Secara
sepintas, gaharu adalah seperti kayu yang mengalami proses
pembusukan, tetapi pembusukan yang belum sempurna, dan
menghasilkan aroma yang khas. Di Indonesia, komoditas gaharu
sering diperdagangkan dengan nama gaharu, dalam nama
perdagangan internasional dikenal dengan nama Agarwood,

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 93


Eaglewood, Aloes wood dan agalocha, (Goloubinoff, de Beer dan
Katz, 2004).
Tiga jenis gaharu yang mulai dibudidayakan adalah Aquilaria
vilaria yang dibudidayakan di daerah Papua dan Maluku, Aquilaria
malaccensis dibudidayakan di daerah Pulau Sumatra dan
Kalimantan dan jenis Gyrinops verstigi dibudidayakan di wilayah
Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara.

B. Deskripsi
Pohon penghasil atau inang gaharu termasuk dalam diviso
spermatohyta, kelas dicotyledoeneae, dengan family Thymeleaceae
(gaharu-gaharuan). Selain itu, penghasil gaharu juga dapat
ditemukan pada famili Euphorbiaaceae dan Leguminoceae.
Indonesia memiliki pohon penghasil gaharu yang beragam, dimana
ada sekitar 26 jenis dalam tujuh marga tumbuh di hutan alam yaitu
Aetoxylon, Aquilaria, Enkleia, Gonystylus, Gyrinops, Phaleria dan
Wikstroemia. Dari tujuh marga tersebut, hanya marga Aquilaria,
Gyrinops, dan Gonystylus yang paling banyak dimanfaatkan (Susilo,
et al., 2014). Jenis-jenis pohon penghasil gaharu dan sebarannya
disajikan pada Tabel 7.1 berikut:
Tabel 7.1 Jenis pohon penghasil gaharu dan sebarannya
No Nama Ilmiah Famili Penyebaran
1 Aquilaria beccariana Thymeleaceae Indonesia
(Kalimantan dan
Sumatera) dan
Semenanjung
Malaya
2 Aquilaria cumingian Thymeleaceae Indonesia (pulau
Morotai dan
Halmahera di

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 94


Maluku) dan
Filipina
3 Aquilaria filaria Thymeleaceae Indonesia
(Morotai, Seram,
Ambon, Nusa
Tenggara, dan
Papua)
4 Aquilaria hirta Thymeleaceae Indonesia
(Sumatera) dan
Semenanjung
Malaya
5 Aquilaria malaccensis Thymeleaceae Indonesia
(Sumatera,
Simalue, dan
Kalimantan),
Filipina (Luzon),
India (Assam),
Bangladesh,
Myanmar, dan
Malaysia
(Semenanjung
Malaya, Sabah,
dan Serawak)
6 Aquilaria microcarpa Thymeleaceae Indonesia
(Sumatera,
Bangka, Belitung,
dan Kalimantan)
dan Malaysia
(Semenanjung
Malaya, Sabah,
dan Serawak)

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 95


7 Aquilaria apiculata Thymeleaceae Mindanao,
Filipina
8 Aquilaria bailonii Thymeleaceae Vietnam, Laos,
dan Kamboja
9 Aquilaria banaense Thymeleaceae Vietnam
10 Aquilaria brachyantha Thymeleaceae Filipina dan Luzon
11 Aquilaria citrinicarpa Thymeleaceae Filipina dan
Mindanau
12 Aquilaria crassna Thymeleaceae Vietnam,
Kamboja, dan
Laos
13 Aquilaria khasiana Thymeleaceae India
14 Aquilaria parvifolia Thymeleaceae Luzon, Filipina
15 Aquilaria rostrata Thymeleaceae Malaysia
16 Aquilaria rugosa Thymeleaceae Vietnam
17 Aquilaria sinensis Thymeleaceae Tiongkok
18 Aquilaria subintegra Thymeleaceae Thailand
19 Aquilaria urdantesis Thymeleaceae Mindanau,
Filipina
20 Aquilaria Thymeleaceae Tiongkok
yunnanensis
21 Aetoxylon Thymelaeaceae Kalimantan dan
sympethalum Papua
22 Enkleia malaccensis Thymelaeaceae Papua dan
Maluku
23 Wikstroemia poliantha Thymelaeaceae Nusa Tenggara
dan Papua
24 Wikstroemia Thymelaeaceae Sumatera,
tenuriamis Bangka, dan
Kalimantan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 96


25 Wikstroemia Thymelaeaceae Kalimantan, Nusa
andresaemofilia Tenggara Timur,
Papua, dan
Sulawesi
26 Gonystylus bancanus Thymelaeaceae Bangka,
Sumatera, dan
Kalimantan
27 Macrophyllus sp. Thymelaeaceae Nusa Tenggara
dan Papua
28 Gyrinops cumingiana Thymelaeaceae Nusa Tenggara
29 Gyrinops rosbergii Thymelaeaceae Nusa Tenggara
Timur dan Nusa
Tenggara Barat
30 Gyrinops versteegii Thymelaeaceae Maluku dan
Halmahera
31 Gyrinops moluccana Thymelaeaceae Sulawesi Tengah
32 Gyrinops decipiens Thymelaeaceae Papua
33 Gyrinops ledermanii Thymelaeaceae Papua
34 Gyrinops salicifolia Thymelaeaceae Papua
35 Gyrinops audate Thymelaeaceae Papua
36 Gyrinops podocarpus Thymelaeaceae Papua
37 Dalbergia farviflora Leguminoceae Sumatera dan
Kalimantan
38 Exccocaria agaloccha Euphorbiacae Jawa,
Kalimantan, dan
Sumatera

Untuk marga Aquilaria, terdiri atas 20 species yang tersebar


di daerah tropis Asia, yaitu India, Pakistan, Myanmar, Lao,
Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Filipina dan
Indonesia. Famili Thymelaeaceae yang menjadi penghasil Gaharu
adalah dari marga Aetoxylon, Enkleia, Wikstroemia, Gonystylus,

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 97


Macrophyllus, dan Gyrinops. Marga Dalbergia merupakan jenis
penghasil gaharu dari famili Leguminoceae yang tersebar di
Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan famili Euphorbiaceae
berasal dari marga Exccocaria yang tersebar di Jawa, Kalimantan
dan Sumatera. Table 7.1 di atas terlihat bahwa komoditas gaharu
dapat ditemukan hampir diseluruh wilayah Indonesia, yaitu dari
Sabang sampai Merauke. Akan tetapi, bila kita perhatikan dengan
seksama, komoditas gaharu kebanyakan dihasilkan dari kawasan
hutan alam di luar Pulau Jawa, yang mana masih memiliki hutan
hujan tropis yang asli dan luas.

C. Potensi
Informasi dan data potensi pohon penghasil gaharu belum
diketahui secara pasti. Beberapa pustaka dan referensi yang
membahas tentang gaharu, hanya membahas daerah penyebaran
gaharu, tanpa menyebutkan potensi tegakan gaharu yang pasti. Hal
ini dimungkinkan karena, pohon gaharu tersebar secara sporadis
pada hutan alam, tidak tersebar homogen atau terpusat pada suatu
areal habitat, sperti halnya pada hutan tanaman.
Pada daerah Papua, diketahui setidaknya ada 8 jenis
tumbuhan penghasil gaharu yang tercatat tersebar di Papua.
Diantaranya adalah jenis G. ladermannii Domke yang tumbuh di
tanah berkapur dengan ketinggian 50-200 m dpl di sekitar Danau
Sentani, G. caudate (Gilg.) Domke tercatat tersebar di hutan primer
berawa dengan ketinggian 5-20 m dpl di Agat, Mappi, Boven Digul
dan Merauke, Papua Barat; G. podocarpus (Gilg.) Domke dan G.
salicifolia Ridl. yang ditemukan di perbukitan sekitar Danau
Sentani; G. sp yang tumbuh di hutan primer berlumut di Gunung
Jayawijaya, Wamena,dan G. verstegii (Gilg.) Domke (van
Steenis1960; Mulyaningsih &Yamada, 2007). Berdasarkan Komar et
al. (2014), penyebaran geografis gaharu di Papua, terutama
Gyrinops spp. terpusat di Sorong dan Nabire. Menurut informasi

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 98


dari data koleksi Herbarium Bogoriense, selain Gyrinops spp.,
ternyata jenis Aquilaria macrocarpa juga dapat dijumpai di sekitar
kepala burung Papua (Roemantyo & Partomihardjo, 2010). Namun
hingga saat ini informasi mengenai gaharu di kawasan Sorong Raya
sangatlah terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
gambaran awal keanekaragaman jenis, preferensi habitat dan
populasi gaharu di kawasan Sorong Raya (Destri et al., 2019).
Upaya pengembangan komoditi Gaharu dilakukan dengan
penanaman. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Prastyaningsih et
al. (2015), di Kabupaten Kampar Riau telah melakukan penanaman
dengan pola tanam multikultur yaitu tanaman gaharu (A.
malacensis Lamk) ditanam disela-sela tananan karet dan atau
tanaman hutan. Begitu pula untuk daerah Kalimantan Selatan
(Silalahi, 2010).

Gambar 7.1 Budidaya Gaharu di Kalsel


(kiri: pembibitan Gaharu, kanan: Penanaman Gaharu di bawah
tegakan Karet)
Sumber: Koleksi pribadi Trisnu Satriadi

D. Manfaat Gaharu
Gaharu ternyata memiliki berbagai khasiat sebagai obat-
obatan antara lain: sebagai anti asmatik, anti mikrobia, stimulan
kerja syaraf dan pencernaan. Dari segi etnobotani di China
digunakan sebagai, obat sakit perut, Aphrodisiac (perangsang nafsu
birahi), anodyne (penghilang rasa sakit), kanker, diare, tersedak,
ginjal, tumor paru paru dan lain-lain, demikian juaga di Eropa

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 99


gaharu digunakan sebagai obat kanker. Selain itu di India gaharu
juga dikenal sebagai obat tumor usus. Khasiat gaharu untuk
berbagai macam obat tersebut di atas, disebabkan karena gaharu
diketahui mengandung tidak kurang dari 17 macam senyawa
antara lain; 3,4-dihydroxydihydroagarufuran, agaros-pirol, p-
methoxybenzylacetone, aquillochin dan noroxoagarufuran.
Pohon Gaharu yang kayunya bewarna putih dan lunak dilihat
dari produk kayunya sendiri termasuk bermutu rendah., karena itu
tidak memenuhi syarat untuk bahan bangunan atau bahan perabot
rumah tangga. Namun gaharu termasuk komoditi yang bernilai
tinggi karena produk gubalnya yang mengandung dammar wangi
(aromatic resin). Oleh karena kandungan resin tersebut maka global
gaharu sudah lama diperdagangkan sebagai komoditif ekspor untuk
keperluan industri parfum, kosmetik, hio, setanggi dan obat-
obatan. Negara-negara pengimpor utama antara lain: Singapura,
Saudi Arabia, Taiwan, Uni emirat Arab dan Jepang. Selain produk
gubal yang dihasilkan, bagian lain dari pohon gaharu seperti daun
dan buahnya, diyakini oleh sebagian masyarakat sasak berkhasiat
sebagai obat malaria. Selain itu, kulit kayunya yang memiliki serat
yang sangat ulet dapat dibuat talitemali atau produk kerajinan
lainnya yang cukup berharga.
Meskipun pengkajian tentang pembudidayaan tanaman
gaharu telah lama dilakukan tapi teknologi budidaya gaharu
termasuk teknologi yang relatif baru dalam bidang pertanian. Oleh
karena itu, dalam rangka pemberdayaan masyarakat perlu
memperhatikan persyaratan-persyaratan dalam penerapannya,
yaitu : (1) teknis bisa dilaksanakan; (2) ekonomis menguntungkan;
(3) sosial tidak bertentangan bahkan menumbuhkan /mendorong
motivasi petani atau pengusaha; (4) tidak mencemari lingkungan
bahkan mengkonversi lingkungan yang serasi dan sehat; dan (5)
dapat mendorong pertumbuhan wilayah yang bersangkutan secara
berkelanjutan.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 100


Dengan demikian berarti, dalam pengembangan agroforestry
gaharu harus layak bukan hanya dari aspek ekonomi, tapi juga dari
aspek teknis, sosial budaya, lingkungan dan juga dari aspek
pembangunan wilayah. Untuk memenuhi persyaratan tersebut
berarti system dan jenis tanaman yang diusahakan haruslah dipilih
sedemikian rupah agar sesuai dengan kondisi sosio-kultural dan
ekonomi masyarakat setempat, lingkungan tempat pengembangan,
dan mempunyai potensi pasar yang jelas.

E. Teknologi Pengolahan Gaharu


Gubal gaharu (Aromatic resin) berasal dari bagian pohon
penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai
akibat dari proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan
pada pohon tersebut dan pada umumnya terjadi pada jenis pohon
dari suku Thymeliceae. Pohon gaharu yang tidak terifeksi oleh
suatu mikrobia yang sesuai tidak akan menghasilkan gubal gaharu.
Di belantara sering dijumpai pohon gaharu yang sudah sangat tua,
diameter sampai mencapai 40 – 150 m tetapi belum dapat
menghasilkan gubal gaharu. Hal ini menggambarkan bahwa untuk
terbentuknya gubal gaharu, perlu adanya mikrobia yang masuk
melalui luka sehingga dapat memacu pembentukan gubal gaharu.
Mikrobia yang menyebabkan terjadinya pembentukan gaharu
pada setiap jenis pohon gaharu biasanya berlainan, bahkan ada
yang menyebutkan bahwa bagian batang dan akar mikrobianya
berlainan. Keberadaan jamur Cytosphaera mangifera sebagai hasil
isolasi dari gubal yang terbentuk pada batang gaharu A.
malaccensis Lamk. Jamur parasit dari jenis Phialophora parasitica.
Jamur tersebut, kecuali dapat menginfeksi batang pohon yang
masih hidup juga dapat menginfeksi potongan-potongan batang
yang sudah mati.
Parman, et al (1996) menemukan mikrobia penyebab
terbentuknya gubal gaharu pada pohon ketimunan yakni cendawan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 101


Fusarium lateritium dan Popollaria sp. Kemudian menemukan
teknik inokulasi yang paling efektif dalam memacu terbentuknya
gubal, yakni dengan menggunakan gergaji.
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan produksi gaharu
secara artificial dengan meliputi tiga hal yang perlu dipahami yaitu:
1. Metode inokulasi
2. Evaluasi pasca inokulasi
3. Pemanenan
Penyuntikan (inokulasi) yang dimaksudkan disini adalah
memasukkan bibit gubal gaharu untuk memacu pembentukan
gubal gaharu. Bibit gubal gaharu berupa jamur ditumbuhkan pada
medium khusus. Untuk mendukung keberhasilan penyuntikan
perlu dilakukan pemilihan pohon yang sesuai. Pohon yang
memenuhi syarat-syarat untuk disuntik adalah :
1. Pohon yang sudah berbuah, yaitu pohon yang berumur sekitar
5 - 6 tahun.
2. Pertumbuhan pesat dan subur, diameter telah mencapai lebih
dari 10 cm.
3. Keadaan sekitarnya cukup teduh agar kelembaban tanah dan
udara tetap terpelihara.
4. Bibit gubal gaharu tidak terkontaminasi oleh jamur lain.
5. Pertumbuhan jamur yang telah optimal, memenuhi semua
media inokulum.
Bahan dan alat serta prosedur yang digunakan untuk
inokulasi adalah
1. Bahan
Bibit gubal gaharu, berupa serbuk yang telah ditumbuhi jamur,
spritus atau alkohol 70 %, paku reng, kawat, dan lilin lunak.
2. Alat
Gergaji, bor, parang, batang besi sepanjang 35 cm, pisau tajam
(cutter), corong seng, serok, hand sprayer, meteran, kuas, palu, dan
tang

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 102


3. Prosedur
a) Pengukuran dan pembuatan tanda pada pohon yang akan
disuntik
b) Pembuatan lubang inokulasi
c) Inokulasi bibit gaharu
d) Penutupan lubang inokulasi
Pemanenan dan Penanganan Pasca Panen Gaharu dilakukan
dengan langkah sebagai berikut:
1. Tanda-tanda morfologi pohon gaharu yang telah di inokulasi dan
siap panen
a) Kulit batang disekitar lubang inokulasi berwarna coklat
kehitaman, rapuh, apabila ditarik mudah putus.
b) Jaringan disekitar lubang inokulasi berwarna coklat
kehitaman atau hitam, jika bagian batang berwarna hitam
diambil dan dibakar akan mengeluarkan bau harum.
c) Batang yang sudah diinokulasi ditumbuhi tunas adventif
dalam jumlah yang cukup banyak
d) Kanopi pohon yang mempunyai tanda-tanda seperti merana,
atau daunnya banyak menguning dan mengalami
kerontokan, sehingga menyebabkan beberapa ranting tidan
berdaun.
2. Pemanenan dengan cara bertahap
1. Pemangkasan tunas adventif
2. Pencuplikan jaringan kayu yang mengandung gaharu
3. Pengupasan dan pengerokan gubal gaharu
4. Pemilahan gaharu menurut kelasnya
5. Pengeringan gaharu hasil pemilahan
3. Pemanenan dengan cara tebang habis
a) Penebangan dan pemotongan batang
b) Pembelahan, pengupasan dan pengerokan gaharu
c) Pembongkaran akar

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 103


Sistem dan jadwal panen
Sistem dan jadwal panen akan menentukan arus penerimaan dan
periode waktu investasi. Periode investasi ditentukan oleh jadwal
panen tanaman gaharu sebagai pokok. Jadwal panen ditentukan
oleh system panen yang dipilih. Ada dua kemungkinan system
panen gaharu yang dapat dipilih, yaitu :
1. Sistem panen habis, artinya semua tanaman gaharu yang
ditanam pada tahun pertama akan dipanen habis pada akhir
tahun kedelapan. Berarti penyuntikan inokulan dilakukan pada
tahun keenam, karena sejak penyuntikan sampai panen
membutuhkan waktu selama 2 tahun (Dephut, 2002; Parman,
2003). Dengan demikian berarti periode investasi dipandang
berakhir pada akhir tahun kedelapan. Tanaman-tanaman lain
yang belum habis masa panennya pada waktu itu
diperhitungkan sebagai sisa investasi yang dimasukkan dalam
arus penerimaan bersama-sama dengan hasil gaharu.
2. Sistem panen pilih, artinya tanaman gaharu yang ditanam pada
tahun pertama dipanen secara bertahap sesuai dengan
pertumbuhan tanaman atau pertimbangan-pertimbangan lain
yang telah menguntungkan. Kalau panen misalnya dijadwalkan
rata-rata 25 % sejak tahun kedelapan, berarti jadwal panen dan
periode investasi akan berakhir pada ahun kesebelas. Pada akhir
tahun kesebelas, kemungkinan besar tanaman-tanaman lain
seperti kopi dan coklat umur ekonomisnya belum berakhir.
Karena itu sisa dari tanaman-tanaman yang ada juga tetap
diperthitungkan sebagai nilai sisa yang dimasukkan dalam arus
penerimaan.
F. Kualitas Gaharu
Untuk keperluan standarisasi dalam kualitas, cara
pengujian, cara pemungutan dan beberapa pedoman pengujian
gaharu di Indonesia telah diatur secara lengkap dalam Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-5009.1-1999.. SNI ini mengatur tata

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 104


cara pegujian dan gaharu, yang mana di dalamnya membahas
tentang definisi, lambang, singkatan, istilah, spesifikasi, klarifikasi,
cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji,
syarat lulus uji, syarat penandaan, sebagai pedoman pengujian
gaharu yang diproduksi di Indonesia.
Berdasarkan SNI tersebut, komoditas gaharu dibedakan
menjadi 4 (empat) jenis yaitu:
1. Abu gaharu adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari
proses penggilinngan atau penghancuran kayu gaharu sisa
pembersihan atau pengerokan.
2. Damar gaharu adalah jenis getah padat dan lunak, yang berasal
pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang
kuat dan ditandai oleh warnanya yang hitam kecoklatan
3. Gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian
pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi
dengan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang
hitam atau kehitaman berseling coklat.
4. Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian
pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi
dengan aroma lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-
abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya
yang lunak.
Dalam perdagangan sehari-hari, penentuan kualitas kayu
gaharu tidak mengacu kepada standar kualitas yang ditentuntan
oleh SNI 01-5009.1-1999. Penentuan kualitas biasanya ditentukan
oleh pedagang dan pembeli, maupun ditentukan sepenuhnya oleh
para tengkulak. Menurut SNI kualitas gaharu yang diperdagangkan
di Indonesia, terbagai ke dalam 13 kelas yaitu:
1. Gubal gaharu terbagi ke dalam 3 (tiga) kelas kualita yaitu mutu
utama (U) setara mutu Super; mutu Pertama (I) setara dengan
mutu AB dan mutu Kedua (II) atau setara dengan mutu Sabah
Super.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 105


2. Kemedangan terbagi ke dalam 7 (tujuh) kelas mutu yaitu Mutu
pertama (I) setara dengan Tanggung TGA atau Tanggung
Kemedangan I (TKI); Mutu Kedua (II) setara mutu Sabah 1 (SB I);
mutu Ketiga (III) setara mutu Tanggung AB (TAB); mutu Keempat
(IV) setara mutu Tanggung C (TGC); Mutu Kelima (V) setara mutu
Kemedangan 1 (M1); mutu Keenam (VI) setara mutu Kemdangan
2 (M2); dan mutu Ketujuh (VII) setara mutu Kemdangan 3 (M3).
3. Abu gaharu terbagi ke dalam 3 (tiga) kelas mutu yaitu Mutu
Utama (U); mutu Pertama (I); dan Mutu Kedua (II).
Sedangkan menurut Asosiasi Gaharu Indonesia (ASGARIN)
tahun 2005 seperti yang dikutip oleh Dimara dan Siburian (2007),
kualitas gaharu yang diperdagankan di Indonesia terbagai dalam
dua jenis yaitu gaharu Gubal dan Kemedangan. Klasifikasi produk
gaharu berdasarkan kelas, mutu dan spesifikasi dilakukan melalui
pemisahan dalam bentuk serpihan (chips), yaitu bentuk teri, kacang
dan abuk. Sedangkan pengelompokan kayu gaharu ke gubal atau
kemedangan dilakukan dengan memperhatikan faktor ukuran,
bentuk, warna dan aroma. Khusus untuk pengujian aroma,
dilakukan denganmemotong dan membakar potongan (dalam
bentuk serpihan kecil) dan mencium aromanya, apakah kuat atau
lemah.
Di Kalimantan, penggolongan kualitas gaharu ditentukan
berdasarkan kesepakatan para pelaku bisnis gaharu. Kalimantan
Barat terdapat 9 (sembilan) jenis mutu gaharu, yaitu dari kualitas
Super A (terbaik) sampai mutu Kemedangan Kropos (terburuk).
Sedangkan di Kalimantan Timur dan Riau kualitas gaharu terbagi
ke dalam 8 jenis mutu, yaitu mutu Super A (terbaik) sampai kepada
Kemedangan (terburuk).
Dimara dan Siburian (2007) melapokan komoditas gaharu
yang diperdagangkan di pasaran lokal Manokwari, provinsi Papua
Barat telah dikelompokkan ke dalam beberapa kelas dengan
karakterisitk tertentu dan harga yang sudah ditetapkan. Uraian

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 106


singkat dari ketentuan-keentuan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Gaharu Kelas Super. Kelompok ini memiliki ciri-ciri fisik seperti
Kayu berwarna hitam yg tersebar merata, padat serta mengkilap,
banyak mengandung minyak, Serat Kayu tidak kelihatan. Harga
untuk kelas super ini berkisar antara Rp. 1.500.000 –2.000.000
per kg.
2. Gaharu Kelas AB. Komoditas gaharu kelas AB memiliki ciri-ciri
penampakan adalah kayu berwarna hitam & agak mengkilap,
padat & serat kayu agak kelihatan (Kelas A), dan kelas B
memiliki alur atau bintik putih, dan bagian tengah terdapat
rongga. Kelas AB memiliki kisaran harga antara Rp. 150.000 –
200.000 per kg.
3. Gaharu Kelas Teri. Komoditas gaharu kelas ini memiliki
kenampakan fisik yaitu kayu berwarna hitam, kepingan kayu
berukuran kecil dan pendek, dan alur pada serat kayu berwarna
putih. Komoditas ini memiliki kisaran harga antara Rp. 75.000 –
100.000 per kg.
4. Gaharu Kelas Tanggung. Komoditas gaharu kelas ini memiliki
penampilan fisik di antaranya adalah kayu berwarna coklat
kehitaman sampai coklat bergaris putih, serat kayu kasar, dan
kayu padat namun memiliki bobot yang agak ringan. Jenis
gaharu ini memiliki harg aberkisar dari Rp. 50.000 – Rp70.000
per kg.
5. Kemedangan kelas A, B, dan C. Kelompok gaharu kemedangan
A, B, dan C memiliki karakterisik fisik di antaranya adalah kayu
berwarna coklat bercampur putih, untuk kelas kemedangan A
memiliki bobot lebih berat dan serat kayu agak padat.
Sedangkan untuk kelas kemedangan B banyak memiliki alur
atau bintik putih dan serat kayunya kasar. Untuk kelas
kemedangan C memiliki warna kayu kuning sampai coklat

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 107


muda, sedikit mengandung gaharu dan serat kayunya juga
kasar.
6. Gaharu Buaya. Kelompok gaharu ini memiliki penampakan
dengan ciri-ciri seperti kayu berwarna coklat sampai coklat
kehitaman, serat kayu kasar dan memiliki aroma yang tajam.
Komoditas gaharu buaya ini juga tidak disertai kisaran harga
yang berlaku di pasaran Manokwari dan sekitarnya
G. Soal-soal Latihan
5. Tuliskan potensi dan penyebaran jenis-jenis inang
terbentuknya kayu gubal gaharu baik di dunia dan
khususnya di Indonesia
6. Tuliskan budidaya dan inokulasi gaharu
7. Tuliskan cara pemanenan dan pengolahan
gaharuJelaskan tentang kualitas gaharu

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 108


VIII. GONDORUKEM

A. Pengertian
Gondorukem merupakan suatu residu (sisa) dari pengolahan
getah pinus. Pada pengolahan getah pinus tersebut juga dihasilkan
terpentin sebagai destilat. Nama lainnya dari Gondorukem adalah
Songka, siongka (Sunda), Arpus (aceh), rosin, Colophonium
(Inggris).
Selain di indonesia, jenis ini banyak terdapat di wilayah
myanmar, thailand, kamboja, laos, vietnam dan philipina. Di
indonesia secara alami banyak tersebar di sumetera utara dan aceh.
Saat ini, tanaman ini banyak dikembangkan sebagai hutan di
berbagai daerah di Indonesia. Tanaman ini tumbuh pada daerah
dengan ketinggian 200 - 2.000 meter dari permukaan laut.
Tanaman ini tidak memerlukan persyaratan yang di ideal dalam
pertumbuhan bahkan dapat tumbuh pada daerah kritis. Oleh
karena itu, pohon pinus banyak digunaan sebagai tumbuhan
pioneer. Walaupun demikian, pertumbuhan yang baik untuk
tanaman ini adalah daerah dengan ketinggian di atas 400 m dari
permukaan laut dengan curah hujan 1.500-4.000 mm per tahun
Gondorukem dapat didigunakan untuk berbagai keperluan
antara lain :
1. Sebagai bahan pencampur lilin batik dalam industri batik
2. Sebagai bahan sizing (pengisi) dalam industri kertas
3. Sebagai bahan pencampur dalam industri sabun
4. Untuk vernish, tinta cetak, bahan isolasi listrik, industri kulit
Getah pinus yang dihasilkan dari pohon pinus diperoleh
dengan cara menyadap batang pohon pinus. Di dalam
batang/pohon pinus, getahnya terdapat di dalam saluran-saluran
getah (saluran resin) pada seluruh bagian kayu luarnya (kayu gubal)

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 109


yang menjalar pada arah vertikal (ke atas) maupun horizontal
(mendatar).
Umumnya pohon pinus yg disadap dipilih & ditentukan dgn
2 cara/dasar, yaitu :
1. Dasar diameter minimum (diameter limit cupping)
Pada cara ini diameter minimal pohon pinus yang disadap yaitu
sekitar 20 cm. Prinsip metode ini adalah mengambil hasil
pertama (getah) saat riap tumbuh pohon/tegakan tersebut
maksimal.
2. Dasar Pemilihan Pohon Pohon (Selective Cupping)
Pada cara ini hanya pohon-pohon yang akan dijarangi yang
diutamakan untuk disadap. Aturan penjarangan yaitu sejak mur
11 th (memasuki KU III). Cara ini biasanya dipakai untuk suatu
perusahaan yang mengolah getah pinus secara terintegrasi
untuk berbagai keperluan.

B. Cara Penyadapan Getah Pinus


Getah pinus dapat disadap dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Mengerok kulit batang, kemudian kayunya dilukai sedalam 1 –2
cm, lebarnya 1 cm. Pelukaan berbentuk huruf U terbalik dengan
jarak mula-mula 20 cm dari permukaan tanah. Cara seperti ini
disebut “Sistem Perancis”. Cara ini umumnya digunakan pada
pohon-pohon dengan diameter kecil sampai besar.
2. Sama dengan cara ke 1, tetapi pelukaannya berbentuk huruf V.
Cara seperti ini disebut “Sistem Amerika”. Pada permulaan
pelukaan dengan cara ini menghasilkan getah lebih sedikit
dibandingkan dengan Sistem Perancis
3. Cara pengeboran ialah dengan membuat luka pada pohon yang
akan disadap dengan cara di bor sedalam 3 – 12 cm (diameter
mata bor sekitar 3 cm).

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 110


Jika menggunakan cara koakan, maka jumlah koakan yang
dianjurkan berdasarkan besarnya perbedaan diameter pohon
sebagai berikut :
1. Diameter 21 – 31 cm → jumlah koakan 1
2. Diameter 32 – 44 cm → jumlah koakan 2
3. Diameter > 45 cm → jumlah koakan 3 dst
Letak koakan pada prinsipnya dimaksudkan untuk
menghasilkan getah semaksimal mungkin dan memudahkan
pemeriksaan, oleh karena itu letak koakan (terutama pada tahun
pertama dengan satu alur koakan) sebaiknya :
1. Menghadap ke jalan pemeriksaan
2. Diusahakan menghadap ke Timur dan sejajar sumbu pohon
Jika dalam suatu pohon terdapat dua koakan maka koakan
yang kedua dan yang pertama harus terletak saling bertolak
belakang.

C. Hasil Getah Pinus


Banyaknya getah yang dihasilkan dapat dibedakan
berdasarkan Bagian pohon, Jenis pohon dan Waktu
Hasil Getah Berdasarkan bagian pohon :
1. Kayu gubal 36,30%
2. Kayu dahan/cabang 16,48%
3. Kayu pangkal akar 6,64%
4. Batang, tinggi 10 m dpt 9,33%
5. Batang, tinggi 15 m dpt 1,76%
6. Batang, tinggi 10 m dpt 1,87%
7. Kayu akar 0,70%
Hasil Getah Berdasarkan jenis :
1. Pinus merkusii 6,0 kg/batang/th
2. Pinus khasya 7,0 kg/batang/th
3. Pinus palustris 4,2 kg/batang/th
4. Pinus maritima 3,0 kg/batang/th

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 111


5. Pinus longifolia 2,5 kg/batang/th
6. Pinus austriaca 1,2 kg/batang/th
Hasil getah berdasarkan waktu :
1. Hari ke 1 61,5%
2. Hari ke 2 23,5%
3. Hari ke 3 15,0%
4. Total sekali pungut sekitar 60 – 70 gram

D. Pengolahan Getah Pinus


Pengolahan getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin
dikenal ada 3 macam yaitu :
1. Proses pemanasan langsung
2. Proses pemanasan uap dengan sistem distilasi bertahap
3. Proses pemanasan uap dengan sistem distilasi kontinyu
1) Proses pemanasan langsung
Cara ini prinsipnya seperti merebus atau menggodog suatu
bahn. Jadi bak (ketel) yang berisi getah pinus, langsung dipanaskan
dengan api dibawahnya. Urut-urutan cara pemasakannya sebagai
berikut :
a) Mula-mula bak/ketel di isi air 80,- 1000 liter dengan tyujuan
untuk mwncairkan atau mendinginkan ketel
b) Setelah itu ketel di isi getah pinus samapi 1/3 – 2/5 bagian dari
kapasitasnya dan ditutup (1/3 jika getah kental ; 2/5 jika getah
encer). Jika getah kotor sekali maka dilakukan penyaringan
dengan saringan 40 mesh.
c) Selanjutnya api dinyalakan di bawah ketel, dengan waktu
pemasakan sekitar 2 – 4 jam per satu kali pemasakan
d) Setelah terpentin yang keluar tinggal 5% dengan suhu ketel 157
– 165°C, maka pemasakan telah dapat dihentikan, terpentin
dapat langsung diperoleh dengan menampung hasil distilasi,
sedang gondorukemnya tinggal sebagai residu di dalam ketel
pemasak. Dengan mengalirkan gondorukem melewati saringan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 112


80, 120 dan 160 mesh, maka diperoleh gondorukemnya dan
dapat langsung dimasukkan dalam tempat penampungan.

2) Proses pemanasan uap dengan sistem distilasi bertahap


Dalam cara ini dikenal ada tiga tahapan perlakuan dalam
pengolahan gondorukem, yaitu :
• Tahap pengenceran, yang di ikuti penyaringan
• Tahap pengendapan
• Tahap penyulingan/distilasi
Urut-urutan pengolahan dengan cara ini sebagai berikut :
a) Mula-mula getah ditampung dlam bak penampung (semen atau
logam yang dilapisi aluminium)
b) Kemudian getah pinus dimasukkan ke dalam tangki pengencer
dan dilakukan pemanasan dengan uap (melalui pipa-pipa
langsung/taklangsung) dengan suhu 70 – 90°C selama 1 -2 jam.
Setelah itu ke dalam tangki pengencer tersebut dimasukan pula
: terpentin untuk mengencerkan getah, garam untuk menarik air
dalm getah dn asam oksalat untuk mengikat ion besi dalam
getah yang berasal dari alat penampungnya. Setelah diberi
campuran tersebut, sambil dipanaskan dn diaduk-aduk selama
kira-kira 1 – 2 jam getah selanjutnya disaring dengan saringan
ukuran 40 – 120 mesh.
c) Setelah itu getah yang telah encer dimasukkan dalam tangki
pengendapan dan diendapkan selama 4 – 18 jam pada suhu 50
-70°C. Agar getah tetap cair/encer, kedalam tangki tersebut
diberikan uap (melalui pipa-pipa) dan agar uap dalam pipa tetap
panas, sering bagian luar pipa-pipa dibalut asbes. Hasil
pengendapan ini akan diperoleh 3 lapisan getah :
- Lapisan atas berupa getah bersih dan jernih
- Lapisan tengah berupa air dan kotoran (termasuk garam-
garam)
- Lapisan bawah berupa getah kotor bersama pasir dan tanah

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 113


3) Proses pemanasan uap dengan sistem distilasi kontinyu
Pada prinsipnya cara ini sama dengan cara sistem distilasi
bertahap, tetapi cara pengenceran (penyampuran) getahnya yang
berbeda.
Urut-urutan cara kerja cara ini sebagai berikut :
a) Mula-mula getah yang diperoleh ari hutan dmasukan ke dalam
bak
b) Selanjutnya sedikit demi sedikit dialirkan ke bak penyampur
melalui parit-parit pengaliran. Saat getah melalui parit ini, lalu
diberikan campuran terpentin kotor sekitar 5% dan garam dapur
secukupnya.
c) Setelah itu melalui tangga berputar dn naik, campuran getah
tadi ditam,pung dalam bak penyampur dan diadakan
pemanasan dengan uap panas pada suhu 70°C, Dengan
demikian campuran getah akan jadi cair.
d) Selanjutnya campuran getah cair tersebut dipompa ke bak
pengendap dengan lebih dahulu melewati saringan (yang panas
agar getah tidak melekat pada saringan tersebut). Di dalam bak
pengendap dilengkapi dnegan pipa-pipa yang melingkar yang
berisi uap. Dengan demikian maka suhu getah akan dapat
dipertahankan pada suhu 50o – 70°C selama 12 – 18 jam. Hasil
pengendapan ini diperoleh :
- Bagian atas merupakan getah yang bersih
- Bagian bawah merupakan getah yang kotor

E. Kualitas Gondorukem
Gondorukem Indonesia umumnya berasal dari getah yang
disadap dari pohon Pinus merkusii, yang mempunyai sifat fisiko
kimia :
Warna : ambar kuning (warna B, C, D, E, F, G, H, I, K, M,
dan W-G)
Berat jenis : 1,01 - 1,06

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 114


Titik lunak : 53 – 78°C
Bilangan : asam 159 – 192 dan Ester 15 – 67
Kadar abu : 0,02 – 1,20
Kualita gondorukem di Indonesia tersaji pada tabel berikut :
Tabel 8. 1 Kualita Gondorukem di Indonesia
Kualita Warna Transmisi (%) Titik Leleh
(C)
Utama < 13 >74,8 > 60
I 13 – 14 62,8 – 74,8 55 – 60
II 14 – 15 52,6 – 62,7 50 – 55
III > 15 < 52,5 < 50

Tabel 8. 2 Standar LPHH (suatu standar berupa seri warna 1 – 18


yang dibuat dari larutan Karamel dengan kepekatan
tertentu menurut metode GARDNER (Standar warna
menurut GARDNER)
Kualita Standar Warna
Kode Nama Warna
X Extra (Rex) 6 - 7 Kuning pucat
(yellow pale)
WW Water white 6 - 7 Pucat (pale)
WG Window glass 7 - 8
N Nancy 8 - 9
M Mary 9 - 10
K Kate 10 - 11 Sedang (medium)
I Isaac 10 - 11
H Harry 11 - 12
G George 12 - 13
F Frank 14 - 15 Gelap (dark)
E Edward 16 - 17
D Dolly 18 Hitam kemerahan
(dark reddish)

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 115


F. Pengujian Gondorukem
1. Penentuan Warna Gondorukem
Cara penentuan warna gondorukem dilakukan tahapan-tahapan
sebgaai berikut :
a) Mula-mula diambil contoh gondorukem yang telah
doihaluskan sebanyak `10 gram dn dilarutkan dalam 12 cc
toluol dalam tabung erlemeyer
b) Selanjutnya larutan yang terjadi dituangkan dalam tabung
reaksi standar dan warnya ditetapkan dengan mebandingkan
terhadap warna standar LPHH
c) Nomor standar LPHH yang mendekati warna contoh tersebut
adalah nomor warna gondorukem contoh
d) Penetapan yang lebih teliti dilakukan dengan menentukan
transmisinya dengan alat elektrofotometer
2. Penentuan Titik Leleh
Titik leleh gondorukem diukur dengan alat Melting Point Apparatus
(MPA), dengan cara sebagai berikut :
a) Mula-mula diambil contoh gondorukem halus sebesar butiran
beras
b) Kemudian beberapa butir gondorukem diambil dan diletakkan
di atas gelas obyek dari suatu alat pengukur titik leleh
tersebut. Saat butiran berada di atas obyek gelas, dilihat suhu
saat gondorukem mulai mengalami perubahan bentuk
(meleleh) dan dicatat. Suhu saat mulai meleleh pada
gondorukem tersebut disebut “Titik Leleh”
3. Transmisi cahaya
Cara penentuan transmisi cahaya dilakukan dengan alat
elektrofotometer teradap larutan 5% gondorukem dalam toluol.
Transmisi ihi menunjukan kejernihan gondorukem

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 116


G. Soal-soal Latihan
8. Tuliskan potensi dan penyebaran jenis-jenis inang
terbentuknya kayu gubal gaharu baik di dunia dan
khususnya di Indonesia
9. Tuliskan budidaya dan inokulasi gaharu
10. Tuliskan cara pemanenan dan pengolahan gaharu
11. Jelaskan tentang kualitas gaharu

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 117


Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 118
IX. KOPAL DAN DAMAR

Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang serbaguna


untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesejahteraan
seluruh umat manusia. Salah satu dari manfaat langsung dari
hutan yang dapat dirasakan oleh manusia yaitu berupa hasil hutan
baik non kayu maupun hasil hutan berupa kayu.
Hasil hutan non kayu dapat berupa dari golongan hewani dan
golongan nabati. Begitu juga hasil hutn berupa kayu dapat
digolongkan menjadi dua yaitu golongan hewani dan golongan
nabati.
Yang termasuk daripada golongan nabati adalah segala benda
yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan yaitu terdiri-dari bagian
tnaman berkayu misal : rotan, bambu, pinang hutan sagu, sedang
dari getah-getahan, misal : getah pinus, jelutung damar kopal,
kemenyan dan lain sebagainya. Biji-bijian, misal : kemiri, jarak,
tengkawang. Sedangkan golongan hewani terbagi atas tiga bagian,
yaitu terdiri dari satwa, misal : buaya, biawak, ular, beruang.
Bagian dario hewan, misal : kulit ular, kulit buaya. Dan yang
terakhir yaitu bagian yang diperoleh dari hewan, misal : sarang
burung, madu, benang sutera, lak dan sebagainya.
Kalau dilihat dalam perkembangan dalam hal perdagangan,
hasil hutan bukan kayu berada jauh dibelakang dibandingkan
dengan hasil hutan burpa kayu, baik itu perdagangan dalam negeri
sendiri maupun lur negeri.
Walaupun demikian peranan hasil hutan non kayu cukup
penting dan punya andil dalam penambahan devisa negara, dan
setidaknya memppunyai prospek yang cukup baik untuk masa yang
akan datang.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 119


A. Kopal
a Pengertian Kopal
Ada beberapa anggapan bahwa kopal dan damar mempunyai
arti yang sama, hal itu disebabkan karena kopal dan damar
dihasilkan atau diperoleh dari pohon yang sama yaitu pohon damar.
Menurut beberapa ahli, kopal adalah getah yang dihasilkan dari
pohon damar (Aghatis) yang tergolong dalam famili Araucariaceae,
sedangkan damar merupakan getah yang diperoleh dari pohon-
pohon yang tergolong dalam famili Dipterocarpaceae dan
Burseraceae. Manuputy, (1980) dekemukakan secara rinci
perbedaan antara kopal dan damar dari segi sifat-sifat yang dimiliki
getah-getah tersebut. Adapun sifat-sifat dari kopal adalah :terbakar
dengan nyala besar, tidak ada lobang-lobang udara, tidak dapat
dipupurkan, dapat larut dalam alkohol dan tidak dapat dilarutkan
dalam minyak tanah ataupun terpentin, Sedangkan sifat-sifat dari
damar adalah :bertetes jika terbakar, banyak lobang-lobang udara,
dapat dipupurkan, dapat dilarutkan dalam alkohol dan tidak dapat
dilarutkan oleh alkohol tetapi dapat dilarutkan dalam minyak tanah
atau minyak terpentin.
Kopal yang terdapat di Indonesia sebagian besar diperoleh
dari jenis (Agathis), dan pada ummnya berasal dari famili
Araucariaceae dan Pinaceae. Damar dari famili tersebut yang dapat
menghasilkan kopal diantaranya adalah : Agathis philippinensis
Warb, Agathis hammi MDR, Agathis alba Warb, Agathis celebica
KDS, Agathis lorantifolia Salisb, Agathis damara Warb, Agathis
macrostachys Warb, Agathis regia Warb, dan Agathis beccarit Warb.
Penyebaran pohon damar di Indonesia yaitu daerah
Klaimantan barat, Kalimantan timur, Kalimantang Tengah,
Sumatera, Maluku, Irian Jaya. Pada umumnya Agathis tumbuh di
daerah rawa, dataran rendah sampai tanah pegunungan dengan
ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 120


b Pemungutan Kopal
Pemungutan kopal biasanya dilakukan oleh penduduk atau
masyarakat setempat secara musiman. Cara pemungutannya
dilakukan dengan penyadapan dan penggalian dari dalam tanah.
Dalam hal ini penyadapan getah kopal dilakukan dengan
pembuatan takik-takik pada bagian pohon penghasilnya. Setelah
proses panyadapan tersebut selesai, maka getah pada takik-takik
itu dibiarkan selama satu sampai tiga bulan yang dimaksudkan
agar getah-getahh tersebut menjadi kering dan meneras. Pada saat
pemunggutan nanti getah-getah kopal itu telah menjadi blok-blok
kopal, dan blok-blok inilah yang dipungut.
Hasil kopal yang dipungut dengan cara di atas mempunyai
produksi rata-rata per pohon setiap 3 bulan berkisar 0,5 sampai
dengan 1 Kg.
Adapun beberapa cara dalam penyadapan getah kopal, yaitu
dengan cara primitif dan cara tradisional. Penyadapan kopal damar
secara primitif adalah dengan cara memukul-mukul kulit kayu.
Kulit pohon yang terluka akan mengeluarkan getah, cara
penyadapan seperti ini dapat menyebabkan pembususkan pada
batang pohon yang disadap.
Cara tradisional merupakan cara penyadapan kopal yang
sedikit lebih maju. Penyadapan menggunakan alat yang dapat
untuk memotong cabang dan menyadap kopal. Untuk membuat lika
sadapan, alat sadap ditusukkan berulang kali pada batang pohon
dengan cara tidak beraturan ke sekeliling pohon. Setelah 6 hari
damar kopal telah menegental dan membeku untuk kemudian
dipungut sambil memperbaharui luka.

c Jenis-jenis Kopal dan Manfaatnya


Dalam garis besarnya kopal dapat dibagi dalam dua jenis
menurut asal dan cara dihasilkannya, yaitu:

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 121


1) Kopal sadap, yaitu kopal yang didapat dengan cara melukai kulit
pohon.
Jenis-jenis kopal yang tergolong kopal sadap adalah kopal loba
dan kopal melekat/melengket.
2) Kopal galian, yaitu kopal yang kebanyakan diperoleh dari dari
dalam tanah yang berasal dari getah yang keluar dari pohon
damar, kopal tersebut biasanya tertimbun di dalam tanah. Jenis
kopal yang tergolong ke dalam kopal galian adalah kopal bua.
Secara umum kopal yang ada di Indonesia dapat
dikelompokkan dalam lima macam, yaitu kopal melengket, kopal
loba, kopal bua, kopalabu dan kopal lainnya.
Perlu juga disini dikemukakan mengenai pengolahan kopal.
Pengolahan kopal di Indonesia dilakukan dengan sederhana yaitu
sama dengan pengolahan damar sehingga kopal yang diperoleh
dengan kualita yang baik hanya sebagian kecil saja.
Secara umum pengolahan kopal yang dipungut dari pohon
penghasilnya adalah terbagi dalam beberapa tahap kegiatan
pekerjaan, yaitu:
1. Untuk tahap pertama, blok-blok kapal yang telah dipungut
kemudian dipecah-pecah sehingga mencapai butiran yang
dikehendaki sesuai dengan standar ukuran kualita tertentu.
2. Selanjutnya adalah membuang kotoran-kotoran yang melekat
pada butiran kopal tersebut, kemudian kotoran-kotoran itu
dipisahkan dan kopal-kopal yang telah dipecahkan
itudikelompokkan menurut warna, kekerasan, besar butiran
dan kebersihannya.
Dari cara pengolahan di atas, maka kopal dapat
diklasifikasikan menurut kualitanya yakni kualita utama, kualita I,
kualita II dan kualita III. Untuk kualita I, kopalnya bersih dari kayu
atau kotoran, kualita II, sedikit terdapat kayu dan kualita III banyak
terdapat kayu.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 122


Untuk lebih jelasnya mengenai kualita kopal mak di sini
diuraikan secara terperinci mengenai kriteria untuk masing-masing
kelas (kualita) kopal.
1. Kualita utama
a. Kopal melengket
- warna putih tanpa kotoran
- besar butir 3 – 4 cm
b. Kopal loba
- warna putih kekuning-kuningan, bersih
- besar butir 6 cm keatas
c. Kopal bua
- warna coklat
- besar butir 4 cm ke atas
2. Kualita I
a. Kopal melengket
- Setelah dibersihkan masih berwarna
- Besar butir 2 - 3 cm
b. Kopal loba
- Putih kekuning-kuningan
- Besar butir 4 – 6 cm
c. Kopal bua
- Warna coklat
- Besar butir 3 – 4 cm
3. Kualita II
a. Kopal melengket
- Warna kuning keputih-putihan, mengandung sedikit
kotoran kulit kayu dan bagian kayu.
- Besar butir 3 – 4 cm
b. Kopal loba
- Warna kuning kecoklatan
- Besar butir 3 – 4 cm
4. Kualita III

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 123


a. Kopal melengket
- Warna coklat kekuning-kuningan
- Mengandung kotoran kayu dan bagian kayu
b. Kopal loba
- Warna kecoklatan
- Besar butir 1 – 3 cm
- Atau disebut juga chips
c. Kopal bua
- Warna kehitaman
- Besar butir 1 – 2 cm

Pada masa sekarang ini kopal yang mempunyai kualita baik


diekspor keluar negeri. Pemakaian kopal biasa dalam pembuatan
vernis, alat-alat listrik, kulit imitasi, lileum, lak zegel dan
pembuatan kertas.
Dalam suatu laporan dari Economishe Voorlichtingsdienst
tertera bahwa copal merupakan salah satu bahan dalam
pembuatan antara lain : bahan –bahan warna, semen-semen, tinta-
tinta cetak, piring gramafon, bahan plastik, bahan-bahan untuk
mencairkan tekstil dan lain sebagainya.

B. Damar
a Pengertian Damar
Damar adalah salah satu hasil hutan bukan kayu yang
tergolong ke dalam kelompok getah yang merupakan sekresi pohon
Shorea, Vatica, Dryobalanops dan lain lain yang termasuk famili
Dipterocarpaceae. Secara kimiawi, komposisi damar terdiri dari
23% asam damar C54H77O3(COOH)2, 40% damar resin C11H17O
(larut dalam alkohol), dan 23% damar resecesulfida, benzena dan
sebagian larut dalam minyak terpentin. Jenis-jenis pohon
penghasil getah damar, sebagai berikut:
1. Family Dipterocarpaceae:

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 124


a. Shorea spp. (S. javanica; S. lamellata; S. virescens; S. retinoldes;
S. guiso;
S. robusta; S. lativolia)
b. Hopea spp. (H. dryobalanoides; H. celebica; H. sangal; H.
mengarawan)
c. Vatica spp. (V. rassak)
d. Vateria spp.; Balanocarpus spp.
2. Family Burseraceae : Canarium spp.
Salah satu jenis pohon penghasil damar adalah meranti
(Shorea spp.). Tanaman meranti dapat dijumpai di Malaysia,
Filipina, Indonesia (Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Aceh, Bengkulu, Riau, Lampung, Sumatera
Utara, Sulawesi Selatan, Maluku). Secara alam terdapat dalam
hutan dataran rendah pada ketinggian 0-500 m dari permukaan
laut. Pada umumnya pohon ini dijumpai di daerah dengan tipe iklim
A dan B, pada tanah-tanah latosol, podsolik merah kuning dan
podsolik kuning. Tinggi pohon meranti dapat mencapai 20-60 m
dan tinggi batang bebas cabang sekitar 10-45 m. Pohon meranti
dapat tumbuh besar dengan diameter batang dapat mencapai 150
cm. Bentuk batang lurus dan silindris. Batang berbanir dan biasa
mencapai tinggi 3-6,5 m.

b Pemungutan Damar
Pengolahan damar banyak dilakukan oleh masyarakat
tradisional di kawasan hutan lindung/hutan produksi terbatas di
Krui, Lampung Barat. Pengambilan hasil damar dapat dilakukan
dengan langkah sebagai berikut:
1. Pohon yang disadap adalah pohon dengan umur di atas 16-20
thn dengan diameter 25-30 cm, selama 30-50 tahun secara
teratur
2. Melukai bagian batang dalam bentuk takik segitiga sama sisi 7.5
– 12 cm kedalaman 2-4 cm atau segi empat

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 125


3. Pembaharuan luka sadap : pembesaran takik
4. Produksi per takik 0.20 kg (15 hari); 0.50 kg (30 hari)
Proses pengolahan damar dapat dilakukan secara sederhana
maupun di industri:
1. Pengolahan Sederhana di pengumpul : bongkohan dipecah lalu
diseleksi menurut warna dan besar butiran menggunakan
saringan bertingkat
2. Pengolahan di Industri : Pelarutan damar yang dilanjutkan
dengan pemutihan dan pemurnian

c Jenis-Jenis Damar dan Manfaatnya


Di Indonesia masih menggunakan cara sederhana, damar
hasil seleksi dikelompokkan dalam berbagai tingkat mutu. Hasil
pemantauan di lapangan, kualitas damar mata kucing dapat
dibedakan :
1. Kualitas A : warna kuning bening dan merupakan bongkahan
besar (berukuran 3 cm x 3 cm atau lebih)
2. Kualitas B : warna kuning bening dan merupakan bongkahan
yang agak kecil (berukuran 2 cm x 2 cm atau lebih)
3. Kualitas C : warna kuning bening, bongkahan berukuran 1 cm x
1 cm atau lebih
4. Kualitas AB : warna kuning agak kehitaman, merupakan
bongkahan berukuran 2 cm x 2 cm atau lebih
5. Kualitas AC : warna kehitam-hitaman dan berupa butiran kecil
6. Kualitas Debu : damar berwujud debu
Dalam perdagangan dikenal klasifikasi berdasarkan lokasi.
Misalnya damar Jakarta, damar Padang, dan damar Pontianak.
Selain itu, dikenal pula damar mata kucing dengan kelas A sampai
F, dan kelas abu. Klasifikasi didasarkan pada ukuran butir, A paling
kasar dan F paling halus. Damar, dalam perdagangan internasional
memiliki nama : gum damar, damar batu, damar mata kucing.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 126


Damar dapat dibagi menjadi 5 jenis berdasarkan warnanya,
yaitu damar mata kucing, damar rasak, damar putih, damar merah,
damar hitam. Kualitas terbaik dengan harga tertinggi berasal dari
damar mata kucing karena memiliki karakteritik mengkilap dan
bening seperti kaca. Shorea javanica, Hopea sp., Anisoptera cortata
adalah jenis pohon penghasil damar mata kucing.
Manfaat damar pada awal mulanya adalah sebagai bahan
bakar untuk menyalakan obor, membuat pewarna batik, dupa, dan
sebagai bahan pelapis bagian-bagian sambungan kapal agar tahan
air. Seiring perkembangan teknologi, sejak abad ke-18, damar mulai
dimanfaatkan dalam industri korek api, kembang api, plastik,
plester, vernis, lak, cat, tinta, vernis, bahan tambahan dalam soda
dan sebagaianya. Larutannya dalam kloroform atau xilena dapat
dipakai untuk mengawetkan hewan dan tumbuhan guna
pemeriksaan secara mikroskopis.

C. Soal-soal Latihan
1. Jelaskan perbedaam kopal dan damar
2. Sebutkan jenis-jenis pohon penghasil kopal dan damar
beserta daerah penyebarannya
3. Jelaskan bagaimana cara pemungutan dan pengolahan
kopal
4. Sebutkan ada berapa macam kualitas kopal dan ciri-cir
dari masing-masing kualitas tersebut.
5. Jelaskan kelompok kualitas damar

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 127


Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 128
X. GETAH MERAH

A. Pengertian Getah Merah


Getah merah merupakan barang bernilai ekspor, disamping
pemungutannya merupakan mata pencaharian rakyat. Pada
umumnya dari seluruh getah merah yang diekspor dalam jangka
waktu 15 tahun yang lalu, sebagian besar (66%) masih didominir
oleh getah yang bermutu rendah dan dipasarkan dalam bentuk
bahan mentah (Abidin, 1974).
Pemanfaatan getah mentah di dalam negeri secara langsung
sangat terbatas, disebabkan industri pengolahan di dalam negri
belum berkembang. Oleh karena itu dapat dikatakan hampir
seluruhnya ditujukan untuk keperluan ekspor. Penggunaan secara
langsung di dalam negeri saat ini hanya terbatas untuk pembuatan
barang-barang kerajinan, misalnya di Kalimantan Tengah seperti
pembuatan miniatur rumah adat, perahu adat dan aneka hiasan
dinding.
Getah merah adalah sejenis getah yang diperoleh dari hasil
penyadapan pohon famili Sapotacaea, khususnya genus Palaquium
(Nyatoh). Getah yang dikumpulkan dari hasil penyadapan masih
banyak bercampur dengan berbagai kotoran, seperti tatal kayu,
kulit kayu bekas penyadapan, daun-daun kayu dan tanah. Getah
yang demikian harus dibersihkan terlebih dahulu agar diperoleh
getah yang bermutu tinggi dan tidak kalah pentingnya pembersihan
getah akan memperbaiki rupa getah. Untuk mendapatkan getah
yang bersih dilakukan pembersihan, yaitu dengan jalan merendam
getah dalam air panas dan kemudian kotorannya dipisahkan.
Getah merah untuk pertama kali diperkenalkan di Eropa
pada tahun 1843 (Van der Laan, 1927), tetapi pada tahun
sebelumnya yaitu pada tahun 1834 contoh tanaman ini telah
dikirim dari Singapura ke London oleh Montgomery dan Jose D’

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 129


Almaida (Tromp De Haas, 1922 dalam Njoman Karmaningsih,
1969).
Di Indonesia, getah merah mulai diusahakan sejak akhir abad
yang lalu (Moersidi, 1968), sedangkan penelitian penanamannya
dilakukan oleh DR. W. Burck direktur Kebun Raya Bogor. Hasil
penelitian DR. Burck ini dipublikasikan pada tahun 1887 (Van der
Laan, 1927). Sebagai hasil usaha dari penelitian tersebut, pada
tahun 1901 pemerintah Hindia Belanda membuat suatu kebun
model di Cipetir Jawa Barat. Dari tahun 1901 sampai 1906 ada
sekitar 2500 acre lahan telah ditanami dengan pohon Palaquium
(Nyatoh) dan penanaman ini sangat berhasil.
Dalam perdagangan internasional getah merah dikenal
dengan nama Gutta percha (Suparyanto, 1982), perkataan Gutta
percha berasal dari bahasa Latin yang berarti getah yang keluar
(Gutta = tetesan ; getah, dan percha = dari daerah asal ; keluar ;
bercucuran) (Njoman Karmaningsih, 1969).
Menurut Tromp (1922) dalam Njoman Karmaningsih (1969),
dikatakan bahwa nama Gutta percha tersebut diberikan oleh
seseorang bernama William Hooker yang mendapat kiriman contoh
tanaman dari Oxley pada tahun 1847 dan dimasukkannyan dalam
genus Isonadra dari famili Sapotaceae. Tetapi kemudian oleh
Bentham dimasukkan dalam genus Dichopsis dan akhirnya oleh
Burck dimasukkan dalam genus Palaquium (Bernard, 1961 dalam
Njoman Karmaningsih, 1969). Nama yang terakhir inilah yang
hingga saat ini yang masih digunakan untuk tanaman penghasil
getah merah.

B. Pohon Penghasil Getah Merah


Banyak tanaman yang dapoat menghasilkan getah susu
(latex) yang merupakan tanaman penghasil bahan karet seperti
Ficus elastika dan Castiola elastica dari famili Moraceae, Jelutung
(Dyera sp) dari faimili Apocynaceae, Getah Merah (Gutta Percha)

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 130


dari famili Sapotaceae, Guajule (Parthenum argetatum) dari famili
Composite dan Karet Alam (Havea brasiliensis) dari famili
Euphorbiaceae (Sei Utami,1979).
Khusus getah merah dari Indonesia, umumnya banyak
dihasilkan oleh pohon dari famili Sapotaceae, terutama genus
Palaquium spp, Payena spp dan jenis Ganua motleyana
(Abidin,1974).
Menurut Tantra (1981), Palaquium sebagai sumber utama
getah merah mempunyai marga yang besar, yaitu sekitar 115 jenis.
Di Malysia terdapat 9 genus, yang terdiri dari 54 jenis yang dapat
menghasilkan getah dan di Filipina menurut catatan ada 36 jenis,
35 jenis diantaranya dihasilkan oleh jenis Palaquium dan sisanya
dari jenis Payena (Suparyanto, 1982).
Dari semua jenis getah yang diahsilkan tersebut, getah yang
bermutu tinggi dan paling baik adalah Getah Tamban Merah yang
dihasilkan oleh jenis Palquium gutta Burck, dan getah yang
nermutu rendah adalah getah Tamban Putih yang umumnya
diohasilkan oleh jenis Palaquium Abovatum CB Clarke (Suparyanto,
1982).
Pohon getah merah tumbuh dengan baik mulai daerah 60 LU
sampai 60 LS dan di antara 990 BT, tersebar mulai dari India Barat,
Srilanka, Malaysia, Indonesia, Filipina, Papua Nugini (PNG) dan
negara-negara tropis lainnya (Vander Laan, 1927; Hill, 1951dan
Suprayanto, 1982).
Dari Indonesia pohon penghasil getah merah banyak terdapat
di Sumatera dan Kalimantan di dalam hutan primer di tempat-
tempat kering dan basah, di tepi pantai dan daerah-daerah
berbukit. Hidup tersebar di atas tanah berpasir dan liat dengan
curah hujan yang cukup tinggi tumbuh tersebar dan terpencar di
dataran rendah sampai ketinggian lebih kurang 500 m dari
permukaan laut (Tantra. 1981 dan Suparyanto, 1982).

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 131


Berdasarkan data dari hasil survey yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Kehutanan dapat diperkirakan bahwa potensi
getah merah di seluruh hutan-hutan di Indonesia tidak kurang dari
10.000 ton per tahun. Potensi getah merah tersebut penyebarannya
sebagian besar terdapat di Kalimantan (53 %), Sumatera Selatan (23
%) dan Sulawesi Selatan (23 %) sedangkan di darah lainnya seperti
Jambi, Sumatera Utara sekitar 19 % (Abidin, 1974).

C. Pemungutan dan Pengolahan Getah Merah


a Pemungutan Getah Merah
Menurut Vander Laan (1927) getah yang dihasilkan diperoleh
dari penyadapan, tetapi dapat juga diperoleh dari ekstraksi dari
sejumlah daun Palaquium. Pohon getah merah telah dapat diambil
getahnya pada umur 6 atau 8 tahun dengan diameter sekitar 25 cm
(Suparyanto, 1982). Pengambilan getah dapat dilakukan dengan
cara sadap mati (menebang pohonnya). Pohon yang cukup besar
ditebang dan kemudian disadap melingkar batang. Getah yang
keluar dikumpulkan dari bidang sadapan dengan cara mengeruk
(Kochhar, 1981).
Di samping cara diatas pengambilan getah dapat pula di
lakukan dengan cara penorehan, karena pada saat ini cara sadap
mati di beberapa daerah sudah di tinggalkan, misalnya di
kepulauan Riau. Penyadapan dengan cara penorehan dapat
dilakukan pada bagian-bagian batang paling bawah sampai ke
cabang-cabang dan dikerjakan satu kali dalam setahun untuk tiap-
tiap pohon. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada bekas luka penyadapan yang terdahulu pulih kembali. Pada
umumnya penyadapan yang dilakukan pada musim hujan, karena
pada saat itu getah lebih cair.
Hasil getah yang diperoleh tergantung pada beberapa faktor,
yaitu antara lain keadaan pohon, umur pohon, jumlah percabangan
dan cara penorehan (Suparyanto, 1982). Pengambilan getah secara

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 132


ekstraksi pernah dilakukan oleh pabrik di Cipetir, suatu pabrik
yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1919.
Daun-daun yang bersih di masukkan ke dalam suatu tempat,
kemudian oleh mesin-mesin khusus benang-benang dari jaringan
daun dilepaskan tanpa proses pemecahan daun. Setelah tahap ini
selesai, kemudian di cuci dalam air panas yang diikuti dengan
pencucian dalam air dingin, sehinga menyebabkan benang-benang
tersebut terpisah dari jaringan daun dan bagian lain uang
berbentuk serpihan, bagian permukaannya direndam dalam asar
bak pencuci agar diresapi air. Selanjutnya sesudah proses ini
diulang beberapa kali dan serpih-serpih diangkat, hasilnya diproses
dengan pemurnian khusus sebelum proses pencucian dan
pengadukan. Getah yang dimurnikan dibuat elstis dalam air panas
dan digiling, kemudian digulung dan dimasukkan dalam cetakan
dengan berat kira-kira 9 pon, yang telah dilakukan pengeringan
dimasukkan ke dalam peti yang berisi 16 potong. Bahan ini
dipisahkan dan dipindahkan dari suatu proses ke proses
selanjutnya oleh elevator dan conveyor (Vander Laan, 1927).
b Pengolahan Getah Merah
Menurut Vander Laan (1927) proses pengolahan
pendahuluan adalah pemurnian getah yang dilakukan dengan
mencelupkan getah ke dalam air panas. Pada saai ini getah dengan
cepat menjadi elastis, sehingga getah mudah dikerjakan dengan
tangan dan bagian-bagian yang banyak kotorannya dipisahkan.
Selama getah melunak, kemudian dimasukkan dalam cetakan
sesuai dengan bentuk penyimpanan yang disukai. Oleh Vander
Laan (1927) disebutkan pula bahwa besarnya rendemen berkisar
antara 60 % hingga 70 %, sedangkan getah yang diperoleh dengan
cara ekstraksi mencapai 86 %.
Proses pembersihan ini akan memperbaiki rupa getah. Getah
yang dibersihkan dalam kondisi yang paling baik adalah jika getah
disimpan dengan mencelupkannnya ke dalam air

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 133


D. Sifat Getah Merah
Getah merah adalah sejenis getah yang komponen-
komponennya disusun oleh gutta (getah) sekitar 41 %, harsa
(damar) 20 %, air 23 % dan kotoran 16 % (Vander Laan, 1927;
Santoso, Oei Giok Bie dan Soemardi, 1962 dan Abidin, 1974).
Suparyanto (1982) mengatakan bahwa pada waktu baru di
sadap getah ini berwarna putih seperti getah para atau rambung.
Lama kelamaan getah merah berubah menjadi putih keabu-abuan
hingga coklat kemerah-merahan bila dianginkan dan akhirnya
menjadi rapuh. Agar mutunya dapat dipertahankan dalam waktu
cukup lama , maka getah direndam dalam air laut.
Getah merah termasuk kelompok balata, yaitu suatu
kelompok pohon yang umumnya menghasilkan latex yang
berbentuk padat atau tidak elastis. Partikel getah merah adalah
hidrokarbon poliisoprena atau rumus kimianya (C5H8)n. Tidak
seperti karet alam mempunyai bentuk ruang cis 1,4 poliisoprena
maka getah merah mempunyai bentuk ruang trans poliisoprena,
dan nama kimianya adalah 1,4 poliisoprena (Sri utami, 1979 dan
Kochhar, 1981).
Berbeda dengan karet alam, getah merah berbentuk padat,
melunak atau elastis pada suhu 250 C, dapat dibentuk pada suhu
500 C dan mencair pada suhu 1200 C (Abidin, 1974; Kochhar, 1981
dan Suparyanto, 1982).
Nilai suatu getah merah untuk sesuatu penggunaan terutama
tergantung pada sifat-sifat fisik dari kemurnian bahan. Sifat-sifat
tersebut dipengaruhi oleh hubungan antaa banyaknya kandungan
getah atau gutta dan kandungan damar atau harsa. Pada
umumnya apabila getah mengandung damar cukup tinggi, muni
atau bersih dari kotoran dan titik lelehnya tinggi, maka getah akan
berharga tinggi (Abidin, 1974). Hubungan ini bervariasi tergantung
dengan asal penghasil getah.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 134


Suhu pelunakan dan pengerasan getah secara lengusng
dipengaruhi oleh banyaknya kandungan damar, lebih tinggi
prosentase kandungan damar getah cepat melunak dan lebih
mudah mengeras. Rendahnya kandungan damar, getah akan
memiliki tegangan (Tensile strength) yang besar, sedangkan sifat
listrik getah banyak dipengaruhi ketidak-bersihan bahan dan kadar
air. Keadaan ini disebabkan sortasi bahan yang kurang teliti
(Indian Rubber Journal, 1926 dalam Vander Laan, 1927).
Vander Laan (1927) menyebutkan bahwa salah satu sifat
yang tidak baik dimiliki getah merah dan hasil-hasil olahan dari
getah ini adalah ketidak-stabilan dan ketidak-mampuannya
bertahan dalam waktu penyimpanan yang relatif lama.
Kelambabab, panas, dan waktu yang lama merupakan faktor-faktor
yang menghambat keberhasilan penyimpanan getah merah. Tanpa
suatu perlindungan akan menurunkan mutu getah. Dalam
keadaan yang demikian, maka getah mempunyai kerugian yang
lebih besar bila menggunakan dengan karet alam
Kadar air atau kelembaban menyebabkan timbulnya bintik-
bintik warna hijau kebiru-biruan. Warna ini dengan cepat
menyebar dan pada waktu yang bersamaan seluruh permukaan
getah menjadi rusak. Bila akan melakukan pembersihan tidak ada
jalan lain yang dapat dikerjakan, kecuali dibersihkan dengan kain
yang telah dibasahi dengan air dingin. Menurut penggolongan
harsa alam dari Mantell, getah merupakan bentuk harsa yang lain
dari kopal (Sumadiwangsa, 1973).
Selanjutnya menurut Payen (1985) dalam Sumadiwangsa
(1973) disebutkan bahwa sifat fisiokimia getah merah terdiri dari
komponen Alban (C17H28O) yang berbentuk kristal dan tidak larut
dalam ir serta Fluavil (C40H64O) yang menyerupai damar, berbentuk
amof, berwarna kuning, melunak pada suhu 500 C, mendidih pada
suhu 1500 C dan larut dalam alkohol. Getah merah larut sebagian

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 135


dalam karbonbisulfida, chloroform, pelarut naphta dan benzen
hangat.
Dikatakan pula oleh Silitonga dan Sumadiwongso (1977)
bahwa harsa atau resin terdiri atas 80 % - 90 % senyawa asam,
yaitu tipe Abitat dan Pinarat. Asam tipe Abitat mudah terisomer
oleh panas dan mudah teroksidasi oleh oksigen dari udara,
sedangkan tipe Pinarat lebih stabil (Sutjipto, 1977 dan Swanson
dalam Silitongan dan Sumadiwangsa, 1977).
Kemudian Sinclair et al (1970) dalam Silitongan dan
Sumadiwangsa (1977) mengatakan bahwa pengaruh dimeriasiasi
ini dapat diketahui dengan jalan antara lain melihat warna dan titik
lunak. Hall (1932) dalam Silitongan dan Sumadiwangsa (1977)
menyebutkan bahwa perubahan warna terutama disebabkan oleh
adanya glukosida, sejenis alkohol yang mirip eter dan gula dalam
getah yang mudah teroksidasi dan memberikan warna gelap.
Disamping itu, getah merah murni bersifat non konduktor
terhadap panas dan listrik serta tidak tembus air dan tahan
terhadap serangan cacing laut (Suparyanto, 1982).
E. Kegunaan Getah Merah
Karena sifat-sifat getah ini yang khas, maka getah merah
banyak digunakan untuk pembuatan kabel laut dan peralatan
listrik. Pembuatan getah merah untuk kabel laut pertama kali
diaplikasikan oleh Dr. Werner von Siemens pada tahun 1846
(Vander Laan, 1927). Dan sejak tahun 1900-an dipertimbangkan
sebagai bahan baku paling baik untuk pembuatan kabel laut
(Robbins dan Mathews, 1974).
Penggunaan penting lainnya adalah untuk pembuatan bola
golf, tempat penampungan tahan asam, tali pengikat transmisi,
penerima telpon (loud speaker), bahan campuran permen karet,
bahan perekat, cat air, alat kedokteran gigi, penutup luka dan
sangat penting adalah untuk pembuatan kertas mewah atau uang
(sebagai bahan campuran) (Hill, 1951; Abidin 1974; Kochhar, 1981

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 136


dan Suparyanto, 1982). Berdasarkan informasi terakhir, getah
meah juga sangat diperlukan untuk bahan penelitian di ruang
angkasa, sehingga memeliki masa depan yang cukup cerah
(Moersidi, 1968).
Sebagai akibat sangat luasnya penggunaan getah merah yang
mencakup berbagai disiplin ilmu, maka telah diusahakan untuk
menggantinya dengan getah yang lain (jenis lain) tetapi sejauh ini
masih belum dapat digantikan posisinya (Kochhar, 1981 dan
Suparyanto, 1982).

F. Soal-soal Latihan
1. Sebutkan jenis-jenis pohon penghasil getah merah dan
penyebarannya
2. Bagaimana proses pemungutan dan pengolahan getah
merah sehingga siap untuk dipasarkan
3. Jelaskan kegunaan dari getah merah

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 137


Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 138
XI. KAYU MANIS

A. Pengertian
Kulit kayu manis merupakan hasil pengupasan bagian kulit
dari tanaman kayu manis, dan didalam dunia perdagangan dikenal
dengan istilah lain “Cassiavera”. Indonesia sendiri sangat dikenal
sebagai pemasok kebutuhan dunia, dimana sekitar 85% dari
kebutuhan tersebut dipasok dari Indonesia.
Ada beberapa jenis tanaman yang dapat menghasilkan kulit
kayu manis, yaitu :
• Cinnamomum burmanii
• Cinnamomum zeylanicum
• Cinnamomum cassia
• Cinnamomum cullilawan
dimana diantara keempat jenis tanaman kayu manais tersebut jenis
Cinnamomum burmanii merupakan jenis yang paling dominan
dalam menghasilkan kulit kayu manis. Agar tanaman kayu manis
dapat tumbuh dengan baik, maka ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi yaitu :
• 500 – 1.500 m dpl
• Kelembaban 70% - 90%
• Berbagai jenis tanah, teksturnya agak berpasir
• Tanpa musim kering yang panjang
Dapat ditanam didaerah yang lereng.

B. Pemungutan Kulit Manis


Untuk pemungutan kulit kayu manis, ada beberapa patokan
yang dapat dijadikan acuan, yaitu panen panjarangan dan panen
total.
Panen Penjarangan :
• Umur 6 th (panjarangan I)

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 139


• Umur 10 th (panjarangan II)
Panen Total :
• Umur 15 th

1. Cara pemungutan
Dikenal beberapa teknis cara untuk memungut kulit kayu
manis
• Sistem pemotongan pohon
Untuk sistem ini pohon yang akan dipungut kulitnya
ditebang terlebih dahulu, baru kulitnya diambil
• Pengupasan Kulit (sebelum ditebang)
Pada cara ini kulit kayu manis diambil selagi pohon masih
berdiri
• Pohon dipukuli
Cara ini dilakukan sebetulnya dimaksudkan agar dapat
mempermudah dalam pengembalian kulit
• Sistem Vietnam
Pada sistem ini batang pohon kayu manis diberi tanda
berselang seling segi empat seperti papan catur, dimana
bagian yang diambil dan tidak kulitnya dilakukan secara
berselingan sesuai tanda yang sudah diberikan
2. Cara pengupasan kulit (sebelum ditebang)
• Kulit dibersihkan dari kotoran
• Mengerat kulit 5 – 10 cm diatas akar (tanah) melingkar batang
• Mengerat lagi dengan jarak 100 cm diatas keratan pertama
• Menoreh dari atas ke bawah dengan jarak 5 – 10 cm
• Dengan pengungkit, kulit dicungkil melalui garis vertikal tadi.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 140


C. Pengolahan Kulit Kayu Manis
Dikenal ada beberapa tahapan dalam pengolahan kulit kayu
manis, dan bisa berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya,
namun demikian secara garis besar dapat dirinci sebagai berikut :
• Pengulitan : pengambilan kulit dari batang
• Pengikisan : permbersihan kulit dari kotoran dan
sebagainya
• Pemotongan : memeotng kulit sesuai ukuran
tertentu
• Penjemuran : mengeringkan kulit kayu manis

Kulit kayu manis Petani (Kulit kayu manis asalan)


KA 30% - 35%

Eksportir 5% - 6%

Upgrading : - Pencucian
- Pengeringan Ulang
- Potong/Pilih
- Penyimpanan yang sesuai
- Pengepakan

D. Kegunaan dan Kualitas Kulit Kayu Manis


Kegunaan Kulit Kayu Manis dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Bahan rempah-rempah
2. Pencampur minuman keras
3. Obat-obatan (mis : obat perangsang)
4. Kosmetika

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 141


Kulit kayu manis dapat memiliki kualitas yang jelek yang
disebabkan oleh faktor:
1. Dihasilkan pada musim hujan
2. Pengeringan tidak sempurna
3. Penjemuran ditempat sembarang
4. Dipanen di bawah umur 8 th

Kulit kayu manis untuk perdagangan ekspor tidak boleh


dikemas sembarangan, tetapi ada beberapa ketentuan tergantung
mutunya, sebagai berikut :
1. Cassia vera disajikan dalam bentuk gulungan yang diikat rapi
atau dalam bentuk kepingan
2. Cut and Washed vera AA dan vera A disajikan dalam bentuk
potongan dengan panjang yangg sama tetapi dicuci
3. Cut and Unwashed disajikan dalam bentuk potongan dengan
panjang yang sama, tetapi tidak dicuci
4. Broken cleaned dari potongan mutu vera AA, A, B dan C serta
korinci A, B, dan C disajikan dlm Bentuk pecahan-pecahan dan
bersih sehingga harus dicuci
Tabel 11.1 Karakteristik Kulit Kayu Manis Dan Standar Mutu
Secara Teknis
Karateristik C.burmanii C.zeylanicum C.cassia Standar
mutu
Kadar air 10,5 1,2 10,6 14
(b/b) (maks)
Kadar 3,45 3,95 3,78 1,5
minyak (v/b) (min)
Kadar abu 2,20 3,42 4,3 5
(b/b) (maks)
Kadar pasir 0,30 0,47 0,77 2
(b/b) (maks)
NB : b/b = bobot/bobot v/b = volume/bobot

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 142


Tabel 11. 2 Komposisi Kimia Cinnamomum zeylanicum

Uraian Kandungan
Kadar Air 7,9 %
Minyak Atsiri 3,4%
Alkohol ekstrak 8,2%
Abu 4,5%
Abu Larut dlm air 2,23%
Abu tdk dpt larut 0,013%
Serat kasar 29,1%
Karbohidrat 23,3%
Eter ekstrak yg tdk menguap 4,2%
Nitrogen 0,66%
Berat jenis rata-rata 1,02 – 1,07

E. Soal-soal Latihan
1. Sebutkan jenis-jenis pohon penghasil kayu manis dan
sebutkan persyaratan tumbuh secara umum
2. Sebutkan bagaimana proses pemungutan dan pengolahan
kulit kayu manis
3. Bagaimana prospek budidaya kayu manis dalam kaitannya
dengan upaya pengendalian perladangan berpindah

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 143


Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 144
XII. SAGU

A. Pendahuluan
Sagu adalah tumbuhan yang sangat penting keberadaannya
bagi beberapa kelompok masyarakat adat, khususnya saudara-
saudara kita yang berdomisili di Indonesia bagian timur, seperti
sebagain wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua. Sagu dimanfaatkan
dan dipergunakan sebagai tumbuhan sumber penghasil
karbohidrat utama (staple food). Masyarakat yang hidup di daerah
pesisir, rawa dan daerah pantai umumnya memanfaatkan sagu
sebagai pengganti karbohidrat, karena sumber karbohidrat yang
lain seperti tanaman padi tidak dapat tumbuh dengan baik, atau
masyarakat belum terbiasa dengan bercocok tanam padi. Khusus
untuk daerah Papua, sagu memegang peran yang sangat penting,
karena potensinya yang cukup melimpah, memberikan konstribusi
sebagai sumber pendapatan kepada masyarakat lokal dan beberapa
sosial dan ekonomi, ekologi serta beberapa aspek lainnya yang
dihasilkan dari tumbuhan sagu.

B. Botani
Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp) adalah merupakan salah
satu tumbuhan Monokotil dari genus Metroxylon dan famili Palmae.
Nama latin dari tumbuhan Sagu adalah Metroxylon, yang aslinya
berasal dari bahasa latin, yaitu metra dan xylem. Metra berarti
empulur (pith) atau isi dan xylem yang berarti pembuluh kayu,
Flach (1977). Sagu dapat didefinisikan sebagai jenis tumbuhan
monokotil yang pembuluh kayu atau empulurnya berisi.
Berdasarkan karakteristik pembungaannya, tumbuhan sagu
dapat dibedakan menjadi dua keloompok yaitu jenis yang berbunga
atau berbuah sekali (Hepaxantic) dan jenis yang berbunga atau
berbuah dua kali atau lebih (Pleonanthic), Soerjono, 1980; Manan,
dkk 1984) yang dikutip oleh Haryanto dan Pangloli (1992).

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 145


Selanjutnya ditambahkan bahwa jenis hepaxanthic adalah
kelompok sagu yang secara umum memiliki kandungan Aci yang
tinggi, sehingga memegang peranan penting, baik secara ekonomi
maupun secara sosial. Sagu jenis hepaxantic di antaranya adalah
Metroxylon rumpii Martius, Metroxylon sagus Rottbol, Metroxylon
sylvester Martius, Metroxylon longispinum Martius dan Metroxylon
micronatum Martius. Sedangkan kelompok yang berbuah dua kali
terdiri atas dua jenis yaitu: Metroxylon filarae dan Metroxylon
elatum, yang memiliki ciri yaitu menghasilkan kandungan aci yang
rendah.
Di Irian Jaya, sekarang Papua dan Papua Barat, terdapat lima
5 (lima) varietas penting yang di budidayakan oleh masyarakat yaitu
Sagu Molat (Metroxylon sagus M), Sagu Ihur (Metroxylon sylvester
M), sagu Tuni (Metroxylonrrumphii M), sagu Makanaru (Metroxylon
longispinum dan sagu Rotan (Metroxylon micronatum M).
Pengelompokkan ke dalam jenis yang berduri dengan tidak berduri,
maka jenis sagu Molat adalah tipe sagu yang tidak memiliki duri di
bagian pelepah daunnya, dan sering dinamakan dengan sagu
betina, Haryanto dan Pangloli (1992).
Sagu merupakan salah satu tanaman yang memiliki nilai
sosioekonomi di kawasan Asia Tenggara (Karim, 2008). Sagu yang
merupakan salah satu sumber karbohidrat berasal dari tanaman
rumbia yang banyak tersebar di seluruh Indonesia, terutama di
daerah-daerah yang banyak terdapat sungai besar dan rawanya,
seperti Kalimantan dan Papua (Abd-Aziz, 2002). Pati yang
dihasilkan dari sagu dapat diolah berbagai jenis makanan, baik
dipanggang, disangrai atau direbus. Makanan yang dikenal dari
Maluku dan Papua yang terbuat dari sagu adalah papeda. Papeda
biasanya dimakan dengan ditemani ikan maupun sayur. Di daerah
Kalimantan Selatan, terutama di desa Pemakuan Laut, kecamatan
Sungai Tabuk, kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, sagu diolah
menjadi randang (bubur mutiara), unting (bubur gunting), dan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 146


cendol. Randang dan unting biasanya dimakan dengan
ditambahkan santan dan gula merah menjadi bubur, sedangkan
cendol dimakan dengan ditambahkansirup dan es (Hustiany dan
Fitrial, 2020). Bagian tanaman yang dimanfaatkan oleh Masyarakat
desa Salimuran adalah pati sagu untuk bahan makanan, daun
untuk bahan atap rumah dan kulit batang untuk bahan kayu bakar
(Putri, et al, 2019).

C. Potensi Sagu
Luas hutan dan potensi tanaman sagu di Indonesia belum
diketahui dengan pasti. Hal tersebut terjadi karena banyaknya data
dan informasi yang berbeda, baik menyangkut luas maupun potensi
dan penyebaranya. Pernyataan ini lebih ditegaskan lagi oleh
Haryanto dan Pangloli (1992), yang menyatakan bahwa luas areal
sagu di Indonesia belum diketahui secara pasti. Kedua penulis
tersebut mengutip beberapa hasil penelitian tentang perkiraan luas
areal sagu di Indonesia, yaitu 716 000 Ha menurut Soedewo dan
Haryanto (1983), dan 850.000 Ha menurut Soekanto dan Wijandi
(1983). Perkiraan luas areal sagu yang lebih kontroversial yaitu yang
dikemukakan oleh Manan dan Supangkat (1986) seperti dikutip
oleh Haryanto dan Pangloli (1993), yaitu luas areal sagu di Irian
Jaya seluas 4.183.300 Ha (lihat Tabel 8.2). Fakta luas areal ini tentu
saja sangat mencegangkan dan perlu diteliti keakurantannya lagi.
Sedangkan perkiraan luas areal sagu dibeberapa negara yang
dibuat oleh Flach (1983) hanya mencamtumkan 2 187 000 Ha.
Luas areal sagu untuk beberapa negara telah diperbaharui
oleh Flach pada tahun 1997. Selanjutnya, luas areal tersebut
dikelompokkan mejadi dua kelompok yaitu sagu yang tumbuh
alami (wild stand) dan dibudidayakan (semi-cltivated stands).
Ringkasan dari perkiraan luas areal sagu di beberapa lokasi seperti
di di Indonesia, PNG, Malaysia, Thailand, Filipina dan kepulauan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 147


pasifik yang dibuat oleh Flach (1997) selengkapnya diringkas seperti
pada Tabel 8.1. berikut ini.
Tabel 12. 1 Estimasi luas tumbuhan Sagu di beberapa lokasi seperti
Indonesia, Papua New Guinea, Malaysia, Thailand dan
Filipina

Tumbuh liar Dibudidayakan


Negara/Daerah (ha) (ha)
Indonesia 1 250 000 148 000
Irian Jaya, total 1 200 000 14 000
Bintuni 300 000 2 000
Danau Plain (Lake
Plain) 400 000 -
Irian Selatan
(Southern Irian) 350 000 2 000
Distrik lain (others
districs) 150 000 10 000
Maluku 50 000 10 000
Sulawesi - 30 000
Kalimantan - 20 000
Sumatra - 30 000
Kepulauan Riau - 20 000
Kepulauan Mentawai - 10 000
Papua New Guinea 1 000 000 20 000
Provinsi Sepik 500 000 5 000
Provinsi Gulf 400 000 5 000
Provinsi Lain 100 000 10 000
Malaysia 45 000
Sabah - 10 000
Serawak - 30 000
Malaysia Barat - 5 000

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 148


Thailand - 3 000
Filipina - 3 000
Negara lainnya - 5 000
Total 2 250 000 224 000
Sumber: Flash (1997)
Dari Tabel 12.1. di atas terlihat bahwa potensi sagu di
Indonesia adalah sekitar 54% dari total areal sagu secara
keseluruhan. Luasan areal sagu tersebut hampir seluruhnya
terdapat di Indonesia bagian timur, khususnya Irian Jaya dan
Maluku.Khusus untuk penyebaran luas areal sagu di Provinsi Irian
Jaya dari berbagai sumber telah di ringkas oleh Haryanto dan
Pangloli (1993) disajikan pada Tabel 12.2.

Tabel 12.2 Luas Areal sagu di Provinsi Irian Jaya dari berbagai
sumber
Daerah Luas (ha)

Merauke 3 569530

Fak-fak 389840

Jayapura 36690

Serui 88 020

Sorong 1) 81 810

Sorong 2)

a. Bintuni 50 200

b. S.Kamundan 66 050
c. S.Kais dan Mentawai 94 600
d. Inanwatan 53 050
e. Teminabuan 6 200
270 000
Manokwari 11330
Biak 6 500
Total 4 183300
4371590

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 149


Keterangan: 1). Areal menurut Manan dan Supangkat (1986),
2). menurut BPPT teknologi (1987) khusus meneliti
dikecamatan Inanwatan
Populasi tanaman sagu sangat tergantung pada jenis, daerah
produksi dan perlakuan yang diberikan selama massa
pertumbuhan. Populasi sagu yang diusahakan atau dibudidayakan
populasinya lebih padat daripada yang tumbuh secara liar.

D. Ciri Fisik Sagu Siap Panen

Istilah tumbuhan sagu siap panen adalah pengertian yang


dipergunakan untuk melukiskan ciri-ciri fisik pohon sagu yang
memiliki kandungan aci yang maksium. Siap panen juga sering
dinamakan dengan pohon sagu yang telah masak tebang. Soekarto
dan Wijandi (1983) dalam Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan
bahwa ciri-ciri pohon sagu yang siap panen atau masak tebang
adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk
dan batang. Tetapi ciri morfologi yang utama adalah perubahan
pada primordia bunga atau kuncup bunga yang telah keluar, tetapi
belum sempat mekar. Masyarakat lokal, seperti di Irian Jaya,
Maluku dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, memiliki
pengetahuan tersendiri dalam menentukan tingkat kemasakan
pohon sagu. Khusus untuk penduduk di Papua, ada yang
memukul-mukul batang sagu, apabila mengeluarkan bunyi
tertentu maka pohon tersebut siap panen. Sebagian masyarakat
juga mengambil contoh empulur pohon sagu, dan apabila dikunyah
atau dilarutkan dalam air, kelihatan keruh berarti kandungan
acinya sudah banyak, maka pohon tersebut telah masak tebang.
Disisi lain, untuk keperluan inventarisasi potensi, jenis dan
penyebaran tumbuhan sagu, Simbolon dkk (1989) telah membuat
suatu pedoman Inventarisasi Hutan Sagu. Dalam pedoman
tersebut, khususnya untuk melihat populasi anakan dan fase
pertumbuhan, tanaman sagu dikelompokan ke dalam lima

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 150


tingkatan pertumbuhan, yaitu tingkat semai (seedling), sagu muda,
pohon sagu belum masak tebang (BMT), pohon sagu masak tebang
(MT) dan pohon sagu telah lewat masak tebang (LMT).
Tingkat semai adalah sagu yang mempunyai tinggi batang
dari permukaan tanah sampai bebas pelepahnya < 0,5 m. Sagu
muda adalah sagu yang mempunyai tinggi bebas pelepah 0,5- 3 m.
Pohon sagu adalah adalah tumbuhan sagu yang memiliki tinggi
bebas pelepah >3 m.
Khusus untuk fase pertumbuhan pohon, berdasarkan ciri
kenampakan morfologis dan kematangan pohon sagu dalam
menghasilkan pati, utamanya pohon sagu yang memilikikandungan
aci yang optimum, dapat dikelompokan kefalam tiga tingkat/fase
pertumbuhan, yaitu pohon sagu Belum Masak Tebang (BMT),
pohon sagu Masak Tebang (MT) dan pohon sagu Lewat Masak
Tebang (LMT). Ciri-ciri morfologis dari ketiga fase pertumbuhan
pohon sagu tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Belum Masak Tebang (BMT) dengan ciri-ciri sebagian pelepah
daun telah putus dan deretan duri pada pelepah hilang, daun
pada pucuk mulai memendek, mulai keluar jantung, dan duri
dari daun hampir seluruhnya hilang.
2. Masak Tebang (MT) adalah bila seluruh pelepah daun sudah
menguning, seluruh jantung telah keluar tapi belum pecah.
3. Lewat Masak Tebang (LMT) apabila mempunyai ciri-ciri selubung
jantung mulai pecah dan keluar tangkai-tangkai bunga seperti
buah sirih dan seluruh tandan bunga kelihatan seperti tanduk
rusa.
Khusus untuk daerah Maluku, seperti diuraikan oleh Pieters
(1966) yang dikutip oleh Haryanto dan Pangloli (1992), berdasarkan
kandungan aci pohon sagu masyarakat mengenal empat tingkat
kematangan, yaitu tingkat Wella (putus duri), tingkat Maputih,
tingkat Maputih masa, dan tingkat Siri buah. Deskripsi morfologis

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 151


yang dapat dilihat dari masing-masing fase tersebut dapat
dibedakan sebagai berikut:
1. Tingkat kematangan Wela atau putus Duri, adalah suatu fase di
mana sebagian dari pelepah daun telah lenyap. Tahap ini belum
kematangan sempurna sehingga tingkat acinya masih rendah.
Kandungan aci hanya terdapat pada bagian pangkal batang,
sehingga ujungnya tidak mengandung pati.
2. Tingkat Maputih adalah kematangan yang ditandai dengan
menguningnya pelepah daun, duri yang terdapat pada pelepah
daun hampir seluruhnya lenyap, kecuali pada bagian pengakal
pelepah masih tertinggal sedikit. Daun muda yang terbentuk
ukurannya kecil dan pendek. Khusus untuk jenis Metroxylon
rumphii MART pada fase ini memiliki kandungan acinya sangat
tinggi, bila lewat fase ini acinya turun dan rasanya tidak enak
lagi.
3. Tingkat Maputih Masa atau masa jantung di mana semua
pelepah daun telah menguning dan kuncup bunga sudah mulai
muncul. Pada fase ini kandungan acinya telah padat sehingga
semua bagian pohon dari pangkal ke ujung dapat diolah. Tetapi
acinya kurang enak terutama pada M. RumphiiMART, sedangkan
pada M sylvesterMART fase ini adalah fase yang tepat untuk
pemanenan.

Tingkat siri buah, adalah tingkat kematangan terakhir di


mana kuncup bunga sagu telah mekar dan bercabang menyerupai
tanduk rusa dan buahnya mulai terbentuk. Saat ini adalah fase
pada sagu M. LongispinumMART. Sedangkan jenis sagu yang lain,
pada fase ini kandungan acinya sangat rendah karena sudah
digunakan untuk produksi bunga dan buah. Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (1982a) yang dikutip oleh Haryanto dan
Pangloli (1992) membedakan 4 (empat) fase pertumbuhan sagu,
yaitu tingkat semai atau anakan, tingkat sapihan (Sapling), tingkat

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 152


tiang (Pole) dan tingkat pohon (tree). Penggolongan fase
pertumbuhan tersebut berdasarkan kepada karakteristik
pertumbuhan tinggi batang sagu yang bebas daun atau pelepah.
Tingkat semai adalah anakan sagu yang masih kecil dan memiliki
batang bebas daun 0-0,5 m; tingkat sapihan adalah anakan sagu
yang memiliki batang bebas daun 0,5 – 1,5 m; tingkat tiang adalah
anakan sagu dengan batang bebas daun atau pelepah 1,5 – 5 m;
dan tingkat pohon adalah tumbuhan sagu yang memiliki batang
bebas daun atau pelepah di atas 5 m.
E. Aci Sagu

Terkadang kita dihadapkan kepada dua pengertian yang


sangat membingungkan antara Tepung, Acidan Pati. Keduanya
adalah termasuk senyawa karbohidrat yang dibedakan berdasarkan
kehalusan partikelnya. Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan
bahwa karbohidrat atau patiadalah hasil dari proses penghancuran
beberapa sumber karbohidrat yang berupa biji atau proses
ekstraksi dari umbi atau empulur dari sehingga membentuk bubuk
yang sangat halus (powder). Sedangkan aci adalah suatu bubuk
dari hasil dari proses mengekstraksi pati dari umbi atau empulur
batang. Aci ubi kayu berasal dari hasil ekstrak pati ubi kayu atau
tapioka, aci garut dari umbi garut, aci sagu dari empulur batang
sagu dan sebagainya. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk
mendapatkan aci, harus menggunakan media air, sehingga pati
dapat terlepas dari serat-serat kasarnya.
Para ahli pangan mendefinisikan tepung adalah hasil
pengolahan lebih lanjut dari aci. Sehingga dengan kata lainnya
tepung adalah pati yang telah dibersihkan, sehingga kandungan
karbohidratnya lebih tinggi. Dalam pati masih dimungkinkan
adanya kandungan senyawa lain selain karbohidrat dalam jumlah
yang cukup tinggi, seperti serat, asam-asam maupun lignin atau
tanin.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 153


F. Pemanenan Sagu
Pemanenan pohon sagu diawali dengan cara memilih pohon
sagu yang telah masak tebang. Kemudian pembersihan semak-
belukar, rumput, dan beberapa tumbuhan bawah lainnya di sekitar
pohon sagu yang akan ditebang. Pembersihan ini bertujuan untuk
menciptakan lingkungan kerja untuk proses penokokan yang luas,
bersih, nyaman dan aman. Karena proses pemanenan sagu,
biasanya dilakukan beramai-ramai, atau melibatkan lebih dari satu
keluarga (gotong royong) seperti terlihat pada Gambar 8.2. Hal ini
mengingat volume pohon sagu yang cukup besar dan proses
penokokan yang cukup memakan waktu. Penebangan dilakukan
dengan menggunakan kapak yang tajam. Kapak digunakan
mengingat kulit batang pohon memiliki tingkat kekerasan yang
sama atau melebihi kekerasan batang pohon kelapa yang tua.
Setelah ditebang, dilakukan pemotongan setengah diameter batang
sejajar serat, dengan panjang sesuai dengan kemampuan penebang
untuk dapat mempermudah proses penokokan atau pemarutan
(menghancurkan) empulurnya.
1. Metode Tradisional
Pada metode tradisional, batang sagu yang telah dibelah,
dipukul-pukul dengan alat khusus, untuk menghancurkan
empulur batang sagu Umumya alat tokok ini terbuat dari kayu
keras, yang salah satu ujungnya diberi besi untuk menghancurkan
empulur. Bentuk alat tokok ini berbeda antara satu daerah dengan
daerah yang lainnya. Sedangkan alat tokok yang berupa parut
terbuat dari satu lembar papan kayu, dengan lebar kurang lebih 30
cm dan panjang 1,5 m da tebal 2-3 cm, yang diberi paku atau besi
tajam, menyerupai parut kelapa. Pemarutan dilakuan dengan
menggerakan alat parut bergantian arah dan tegak lurus dengan
arah serat atang sagu
Setelah dihancurkan dari empulurnya, serat empulur sagu
yang telah terpisah dikumpulkan, ditampung dalam karung plastik

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 154


atau wadah lainnya, dan siap untuk diekstrak. Serat empulur
tersebut biasanya diekstrak dekat dengan sumber mata air, karena
proses ekstraksi aci sagu memerlukan banyak persediaan air.
Ekstraksi aci sagu dilakukan dengan cara membuat saluran air,
biasanya terbuat dari pelepah daun sagu yang telah tua. Pelepah ini
berfungsi sebagai media penampung serat empulur sagu. Empulur
sagu selanjutnya diberi air secukupnya, diremas-remas dengan
kedua tangan untuk mengeluarkan dan memisahkan aci dari
seratnya.
Untuk mencegah terbawanya serat bersama air
perasanmenuju tempat penampungang air perasan, maka diberi
saringan. Saringan iniumumnya terbuat dari kain bersih dengan
pori-pori yang tidak terlalu besar. Pelepah tersebut dibuat dengan
konstruksi yang agak miring dan lebih tinggi dari bak penampung,
sehingga air perasan dapat mengalir berdasarkan gaya gravitasi.
Selanjutnya air perasan dibiarkan mengendap dalam bak
penampung selama beberapa jam. Apabila aci yang terlarut pada
bak penampung, telah mengendap, ditunjukkan dengan air yang
bening di permukaan bak penampung, maka aci siap untuk diambil
dengan membuang terlebih dahulu airnya.
Metode ekstraksi aci sagu di daerah Kalimantan, dilakukan
dengan menginjak-injak empulur sagu yang telah diparut, sambil
diberi pencampuran air dengan menggunakan wadah yang terbuat
dari keranjang bambu, sehingga tidak diperlukan lagi saringan. Aci
yang masih basah dapat dimasukkan dalam tumang, ataupun
dalam tas-tas kecil untuk proses penirisan (pengeluaran air).
Tumang adalah keranjang yang terbuat dari daun sagu, dan
dipergunakan khusus untuk menampung aci sagu basah. Setelah
kering aci tersebut dipindahkan dalam tumang lain yang lebih
tertutup, sehingga mencegah terkontaminasi dengan udara luar
dan memudahkan dalam transportasi maupun distribusinya.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 155


2. Metode semi mekanis
Ekstraksi sagu secara semi mekanis, pada prinsipnya sama
dengan cara tradisional tetapi pada proses penghancuran empulur
bukan dilakukan secara manual tetapi dengan mesin pemarut atau
penghancur. Pemarut terbuat dari besi dari lempengan kayu yang
diberi paku dan lempengan kayu ditempelkan pada bingkai kayu
yang berbentuk lingkaran, sehingga apabila diputar, putaran
lempengan kayu tersebut akan memarut empulur sagu. Roda
pemarut ini digerakkan oleh tenaga manusia dengan
mengubungkan pemarut dengan rantai ke gigi roda (seperti sepeda)
dengan sistem pedal.
3. Metode mekanis
Pengolahan sagu diawali dari penebangan pohon sagu,
sellanjutnya pohon yang telah ditebang, dipotong potong sepanjang
1-1,5 M dan kemudian dihanyutkan pada alur-alur sungai setelah
terlebih dahulu di ikat satu sama lain dengan tali agar tidak
tenggelan dan mudah dalam penarikkan. Selanjutnya batang sagu
tersebut ditarik dengan speed boat ke lokasi industri. Batang sagu
tersebut kemudian dibersihkan dari kotoran-kotoran yang
menempel, seperti kerikil, tanah maupun pasir. Setelah itu, batang
yang bersih dimasukkan ke dalam mesin pengupas kulit dan mesin
penghancur (hummermill). Selanjutnya hasil air dari hummermill
diekstrak oleh ekstraktor. Dengan bantuan sentrifuse, serat dan aci
sagu dipisahkan. Aci yang diperoleh kemudian dimasukkan ke
dalam mesin pemanas (drying blower). Selanjutnya aci sagu dari
pemanas, dikeringkan ke dalam hydrating blower dengan sistem
uap panassamapai kering. Setelah proses berakhir, Aci sagu
tersebut sudah keluar dari mesin dalam bentuk tepung (powder)
yang telah dimasukkan dalam karung yang siap disimpan dan
dipasarkan. Pengepakan dilakukan dengan menggunakan karung
dengan berat 50 kg per karung.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 156


G. Pemanfaatan Pohon Sagu
Seluruh bagian tanaman pohon sagu dapat dimanfatakan,
pelepah daun sagu, yang dalam bahasa lokal Papua dinamakan
dengan gaba-gaba adalah bahan baku dinding rumah yang murah
dan meriah tetapi berumur panjang, daun sagu yang relatif lebar
dapat dipergunakan sebagai atap rumah maupun dinding rumah.
Manfaat utamanya dari pohon sagu adalah sebagai sumber
karbohidrat dan bahan bangunan untuk skala tradisional. Seperti
batang luar sagu dapat dimafaatkan untuk membuat dinding dan
lantai rumah kayu, daun sagu untuk membuat atap dan anyaman
sedangkan tulang daun sagu dapat dimanfaatkan untuk membuat
sapu lidi. Sedangkan untuk skala industri sagu diambil acinya
untuk membuat tepung roti, biscuit, mie, bahan kimia, dextrin,
alkohol (fermentasi).
Untuk penggunaan skala lokal, sagu banyak dimanfaatkan
masyarakat untuk bahan pembuatan Papeda, makanan khas
Papua. Papeda hanya dibuat pada waktu-waktu tertentu, misalnya
perayaan ulang tahun orang dewasa, menghormati tamu, kondisi
badan kurang fit dan lain sebagainya. Untuk keperluan bepergian
jauh atau keladang, masyarakat biasanya membuatnya dalam
bentuk sagu kering, dikenal dengan nama sagu lempeng, yang
biasanya dimakan dengan cara mencelupkannya dalam air putih,
atau teh bahkan kopi.
Penggunaan sagu untuk produk non pangan misalnya adalah
pemanfaatan bagian pohon sahu untuk bahan bangunan rumah.
Hal ini terkait dengan kondisi alam penduduk lokal yang
mengusahakan pohon sagu, yang kemudian dikenal dengan nama
peramu sagu, yang tinggal di daerah rawa sebagaimana habitat
pohon sagu, di mana memerlukan konstruksi rumah panggung
yang sebagian besar terbuat dari kayu.
Ampas atau serat kasar dari sisa pemerasan atau ekstraksi
tepung dagu dapat dimanfaatkan sebagai sagu dimanfaatkan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 157


sebagai makanan ternak, media perkembang biakan jamur merang
dan media perkembangbiakan ulat sagu (Rhynchophorus
papuanus). Khusus untuk Ulat Sagu, memiliki kandungan protein
hewani yang cukup tinggi, dan hal ini dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat lokal untuk pemenuhan kebutan protein hewani.
Pohon Sagu (Metroxylon spp) adalah pohon masa depan, yang
dapat difungsikan tidak hanya sebagai sumber karbohidrat
alternatif, tetapi juga sebagai sumber energi alternatif, yaitu etanol.
Bahkan negara Jepang, yang tidak memiliki hutan sagu, memiliki
pusat penelitian tentang sagu, yaitu Palm studies.

H. Soal-soal Latihan

1. Jelasksan tentang aci sagu


2. Jelaskan ciri-ciri sagu siap panen
3. Jelaskan proses pemanenan sagu
4. Jelaskan pemanfaatan pohon sagu.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 158


XIII. MINYAK KAYU PUTIH

A. Pengertian
Minyak Kayu Putih merupakan hasil/distilat yang diperoleh
dari penyulingan tanaman kayu putih (Melaleuca leucadendron,
Melaleuca cajeputi, Melaleuca minor) yang termasuk Famili
Myrtaceae. Dalam dunia perdagangan minyak kayu putih disebut
juga Cayeput Oil atau Ecalyptus oil.
Minyak kayu putih kegunaannya sudah lama dikenal,
terutama oleh ibu-ibu. Lahirnya sudah lama dibandingkan dengan
minyak gosok atau obat gosok lainnya. Dalam penggunaan minyak
kayu putih dapat dibedakan bermacam-macam sesuai dengan
keperluan, antara lain :
1) Secara murni dapat digunakan sebagai obat-obatan
2) Sebagai campuran juga dapat digunakan sebagai obat-obatan
3) Sebagai campuran dapat digunakan sebagai bahan kosmetika
4) Sebagai bahan campuran dalam dosis sangat rendah dapat
digunakan dalam makanan, misalnya : kembang gula.

B. Pemugutan dan Pengolahan Minyak Katu Putih


Cara pemungutan daun kayu putih dapat dilakukan sebagai
berikut :
1) Pemungutan daun kayu putih dimulai pada umur tanaman 5
tahun
2) Tinggi pangkasan pertama minimal 75cm dari permukaan
tanah
3) Diameter tanaman yang dipangkas minimal 2 cm
4) Jangka waktu pemangkasan pertama dengan berikutnya
sekitar 7 – 9 bulan
5) Daur tanaman yang akan ditebang mati ditetapkan 30 tahun
Dalam peoses pengolahan Minyak Kayu Putih, secara garis
besar dilkukan sebagai berikut

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 159


a. Cara Langsung (perebusan = kohobasi = penggodogan)
b. Cara tidak langsung :
Uap langsung (pengukusan)
Uap tdk langsung (penguapan)
1. Cara langsung (perebusan/kohobasi/penggodogan)
Cara ini pada prinsipnya tidak terlalu sulit dan mudah dibuat
sendiri, yaitu dwengan jalan merebus (daun kayu putih dan air
dicampur dalam satu ketel pemasak). Ketel tersebut langsung
dipanaskan. Uap minyak kayu putih yang keluar kemudian
dilewatkan pendingin (kondensor), sehingga akhirnya diperoleh
minyak kayu putih yang masih kotor. Setelah dipisahkan dari air
yang tercampur dn disaring dari kotoran yang masih terbawa, maka
didapat minyak kayu putih yang sudah bersih.
Kekurangan cara Perebusan :
▪ Waktu penyulingan berjalan lambat (lama)
▪ Sebagian minyak kayu putih mengalami hidrolisa
▪ Rendemen & kualita rendah
Kelebihannya :
▪ Alat-alat sederhana
▪ Modal relatif kecil
▪ Peralatan dapat dipindah-pindah
2. Cara Pengukusan
Cara pengolahan minyak kayu putih dengan pengukusann
ini, prinsipnya sama seperti orang menanak nasi, yaitu memasak
daun kayu putih dan air juga pada suatu ketel sama, nanum air
terletak dibagian bawah dan daun dibagian atas, diantara
kedauanya terdapat sekat berlobang (sarangan). Dibagian bawah
ketel langsung dipanasi, sehingga uap air yang dihasilkan dari
pemanasan tersebut dapat memanaskan daun kayu putih.
Mekanisme selanjutnya sama denegan cara perebusan.
Kekurangan cara Pengukusan :
▪ Waktu penyulingan berjalan lama (lebih cepat dari kohobasi)

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 160


▪ Minyak kayu putih masih ada (sedikit) yang mengalami
hidrolisa.
Kelebihannya :
▪ Alat-alat sederhana
▪ Mudah dipindahkan
▪ Rendemen & Kualita lebih tinggi dibandingkan cara
perebusan
3. Cara Penguapan
Cara penguapan ini pada prinsipnya sama dengan cara
pengukusan, perbedaannya hanya terletak pada ketel uap air dan
ketel daun yang sudah terpisah letaknya satu sama lain. Cara
pengolahan ini rerlatif lebih baik dari cara yang lainnya dan
digunakan oleh pabrik-pabrik besar.
Kekurangan cara penguapan :
▪ Bahan tidak boleh terlalu kering
▪ Modal besar
▪ Tidak mudah dipindahkan
Kelebihannya :
▪ Waktu penyulingan lebih cepat
▪ Rendemen & kualita tinggi

Gambar 13.1 Penyulingan dengan menggunakan uap air

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 161


Gambar 13.2 Penyulingan sederhana

C. Faktor yang Mempengaruhi Rendemen dan Kualitas

1. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Rendemen

a. Iklim dan tempat tumbuh :


Kandungan minyak kayu putih pada daun yang berasal dari
tanaman daerah pegunungan (daerah dingin) lebih sedikit
dibandingkan dengan kandungan minyak atsiri yang berasal
dari tanaman yang tumbuh didaerah rendah (berhawa panas
dan hujan lebih jarang).
b. Musim
Jika daun yang diolah dipungut pada musim hujan, maka akan
mengandung minyak kayu putih lebih sedikit dibandingkan
dengan daun yang dipungut pada musim kemarau, atau dengan
perkataan lain yang dipungut pada musim hujan akan
memberikan rendemen lebih rendah.
c. Umur Tanaman :
Makin lama umur tanaman, maka kemampuan tanaman
tersebut untuk menghasilkan minyak kayu putih akan makin
banyak, tetapi tentu saja sampai batas tertentu, karena akhirnya

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 162


kandungan minyak kayu putih pada daun tanaman tersebut
juga akan menjadi semakin berkurang sekali. Sejak umur
tanaman 5 tahun, daunnya telah dapat disuling dengan hasil
minyak yang cukup hingga kira – kira umur tanaman tersebut
25 – 30 tahun.
d. Jenis tanaman :
Jenis tanaman memberikan rendemen yang berbeda, jenis
tanaman yang berasal dari pulau Buru (jenis Buru) relatif
menghasilkan relatif lebih banyak, kemudian menyusul jenis
Timor dan jenis Ponorogo (jenis persilangan).
e. Derajat kesempurnaan tegakan (tanaman)
Derajat kesempurnaan dilihat dari sifat terbuka – tidaknya suatu
areal oleh adanya sinar matahari. Makin kecil derajat
kesempurnaan tanaman, maka tanaman makin banyak
mengandung minyak kayu putih dalam daunnya, atau dengan
perkataan lain ditempat terbuka tanaman tersebut dapat
memberikan produksi minyak lebih banyak dibandingkan
ditempat yang lebih rimbun (tertutup / rimbun).
f. Keadaan Daun :
Daun yang masih segar (basah) bila disuling relatif memberikan
hasil minyak kayu putih yang lebih banyak dibandingkan
dengan daun yang telah kering / kering sekali waktu diolah.
g. Cara penyulingan :
Cara penyulingan ada dua macam secara langsung (perebusan),
secara tidak langsung (penguapan dan pengukusan). Dari kedua
cara tesebut cara penguapan memberikan rendemen yang
tertinggi kemudian menyusul cara pengukusan dan perebusan.
2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kualitas

Kualitas minyak kayu putih dapat dipengaruhi berbagai faktor


sebagai berikut:
a. Jenis tanaman :

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 163


Jenis tanaman kayu putih dari Timor jika disuling memberikan
kualitas minyak kayu putih terbaik kemudian menyusul jenis
Buru dan Ponorogo.
b. Cara penyimpanan :
Penyimpanan daun yang terlalu lama dan tidak terkontrol akan
menyebabkan hasil yang diolah menjadi sedikit dan kualitasnya
rendah.
Cara penyimpanan daun yang baik adalah :
1) Daun ditempatkan dalam ruangan yang suhunya cukup
rendah.
2) Tuangan harus mempunyai pertukaran udara yang cukup.
3) Keadaan tempat / ruangan penyimpanan harus cukup kering
(sebaiknyadiperkeras). Dapat ditambahkan bahwa lamanya
waktu penyimpanan diusahakan jangan sampai melebihi 48
jam.
c. Cara pengisian (pemasukan) daun kedalam ketel pemasak :
Pemasukan / pengisian kedalam ketel pemasak harus dengan
permukaan yang rata sama banyak dan jangan memadat bila
terlalu memadat maka menyebabkan pengembunan dan
pemanasan uap air pada daun akan kurang sempurna.
d. Tahap penyulingan :
Jika saat dilakukan penyulingan daun minyak kayu putih
dilakukan bertahap artinya setiap waktu tertentu diambil
minyaknya maka setiap diambil akan diperoleh minyak dengan
kualitas yang berbeda. Minyak kayu putih yang diambil pada
tahap pertama akan mempunyai kualitas yang terbaik, yang
diambil pada tahap kedua akan berkualitas lebih kurang dan
seterusnya. Jika dilakukan pengambilan minyak kayu putih
sekaligus maka kualitas minyak yang didapat tentu saja
berkualitas cukup atau rata – rata.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 164


D. Kualitas Minyak Kayu Putih

Kualitas minyak kayu putih dapat dibedakan menjadi 3 (tiga),


yaitu kualita utama (U), kualita satu (S) dan kualita dua (D).
Dimana untuk persyaratan standar kualita minyak kayu putih ini
selain persyaratan untuk masing-masing kualita, juga ada
persyaratan kualita yang merupakan persyaratan umum. Secara
rinci persyaratan umum dan standar dari masing-masing kualita
dimaksud sebagai berikut :
1. Persyaratan Umum :
a) Kadar sineol (metode resorcinol) : 25% – 65 %
b) Indeks bias : 1,4635 – 1,4822
c) Putaran optik : (-40) - 00
d) Berat jenis : 0,8748 – 0,9282
2. Persyaratan per kualita
Persyaratan kualitas minyak kayu putih adalah sebagai
berikut :
Tabel 13. 1 Persyaratan Kualita Minyak Kayu Putih
KUALITAS
UTAMA SATU DUA
Kadar Sineol 50% - 60% 40% - 50% 25%-40%
Minyak Negatif Negatif Tidak
Lemak disyaratkan
Minyak Negatif Negatif Tidak
Pelikan disyaratkan
Kelarutan dlm Perb. 1 : 1 s/d Perb. 1 : 1 Tidak
Alkohol 80% 1 : 9 larut s/d disyaratkan
1 : 9 larut

E. Pengujian Minyak Kayu Putih

Paramater pengujian untuk minyak kayu putih adalah


sebagai berikut:
1. Kadar sineol

1) Mula – mula dalam botol atau labu CASSIA dimasukkan minyak


kayu putih sebanyak 10 ml.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 165


2) Kedalam minyak tersebut kemudian ditambahkan larutan
resorsinol 50 % sehingga botolnya terisi 4/5 bagiannya.
3) Selanjutnya larutan digojlok – gojlok selama 20 menit dan
dibiarkan larutan menjadi dua lapisan. Setelah itu kedalam
larutan tersebut diberikan lagi larutan resorsinol sehingga batas
lapisannya naik sampai ketitik nol pada skala pembacaan (botol
/ labu tersebut bagian atasnya terdapat skala)
4) Setelah dibiarkan selama 24 jam larutan dilihat apakah masih
ada bagian minyak yang belum larut (masih terpisah). Kalau
masih ada kemudian dibaca, misalnya = a.ml.
Kadar sineol dihitung dengan rumus sebagai berikut :
10 𝑚𝑙−𝑎.𝑚𝑙
Kadar Sineol = 𝑥100%
10 𝑚𝑙

2. Indeks ias
Untuk mengetahui indeks bias digunakan alat refrektometer,
yaitu dengan cara mengambil beberapa tetes minyak kayu putih,
kemudian beberapa indeks biasnya dapat langsung diketahui
dengan membaca skala pada refrektometer tersebut biasanya
pengukuran dilakukan pada suhu 200 C sehingga harus diadakan
penyesuaian keadaan untuk membuat suhu tersebut (dapat dengan
cara diberi es sekelilingnya). Indeks bias pada 200 C untuk minyak
kayu putih adalah : 1,4635 – 1,4822.
3. Putaran optik
Putaran optik diterapkan pada polarimeter pada suhu kamar.
Putaran optik adalah sudut yang terjadi karena adanya perputaran
pada bidang polarisasi pada polarimeter. Untuk mengetahui
putaran optiknya, dapat ditentukan dengan meneteskan beberapa
tetes minyak kayu putih pada alat polarimeter. Putaran optiknya
dapat langsung dilihat pada alat polarimeter tersebut. Putaran optik
nya berkisar antara (-40) – 00.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 166


4. Uji kelarutan dalam alkohol

1) Mula – mula kedalam gelas ukur 10 milimeter yang bertutup


dimasukkan satu milimeter minyak kayu putih.
2) Selanjutnya kedalam gelas tersebut diberikan alkohol 80 %
sedikit demi sedikit sambil digojlog – gojlog.
3) Jika dengan penambahan 9 ml alakohol 80% ternyata minyak
kayu putih juga belum larut, mak dapat disimpulkan bahwa
minyak kayu putih tersebut tidak murni lagi, tetapi jika dijumpai
keadaan minyak kayu putih yang seluruhnya larut dan warna
larutan menjadi jernih dan tidak berubah dari keadaan semula,
berarti minyak kayu nputih tersebut murni dan baik.
5. Uji Minyak Lemak
1) Mula-mula ke dalam gelas ukur 10 ml dimasukakan 1 ml
minyak kayu putih.
2) Selanjutnya ke dalam gelas tersebut dimasukkan juga alkohol
95% sedikit demi sedikit sambil digojog
3) Setelah itu campuran (larutan) tadi didinginkan dalam termos
yang berisi es dan garam (dengan perbandingan 3 :1) selama 12
jam. Jika kemudian dijumpai adanya endapan putih pada dsar
tabung, maka minyak kayuputih tersebut mengandung minyak
lemak, tetapi jika tidak dijumpai adanya endapan putih, berarti
minyak kayu putih tidak mengandung minyak lemak.
6. Uji Minyak Pelikan
a. Mula-mula ke dalam labu Widner dimasukkan 20 ml minyak
kayu putih
b. Selanjutnya dilakukan penyulingan minyak kayu putih tersebut
secara vakum dengan api kecil, hingga diperoleh hasil sulingan
sebanyak 1 ml.
c. Setelah itu larutan (sulingan) yang didapat ditentukan indeks
biasnya. Jika indeks berkisar 1,42 – 1,45 berarti minyak kayu
putih tersebut mengandung pelikan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 167


F. Soal-soal Latihan

1. Jelaskan bagaimana proses pengolahan daun kayu putih


menjadi minyak kayu Putih
2. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi mutu minyak
kayu putih
3. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen
minyak kayu putih
4. Sebutkan kriteria yang diuji untuk menentukan mutu
minyak kayu putih

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 168


XIV. MADU

A. Pendahuluan
Madu merupakan substansi manis yang dihasilkan oleh
lebah madu dari nektar bunga atau sekresi tumbuh-tumbuhan
yang dikumpulkan ditransformasikan & disimpan dalam sisiran
sarang oleh lebah madu. Indonesia memiliki potensi pakan lebah
cukup tinggi. Beberapa jenis tumbuhan & kondisi iklim tropis
sangat memungkinkan tersedianya bunga sebagai pakan lebah
hampir sepanjang tahun. Lebah madu termasuk hewan serangga
bersayap dan dengan klasifikasi sebagai berikut :
Divisio : Arthopoda
Sub-divisio : Mendibulata
Class : Insecta (Hexapoda)
Ordo : Hymenoptera
Family : Apidae
Genus : Apis
Species : 1. Apis cerana (lebah lokal atau tawon madu)
2. Apis dorsata (lebah hutan/ lebah liar)
3. Apis mellifera (lebah Itali)
4. Trigona sp (lebah tanpa sengat / kelulut)
Lebah-lebah tersebut, khususnya Apis cerana dan Apis
mellifera banyak dibudidayakan di Indonesia, baik oleh masyarakat
maupun oleh Pemerintah (Perum Perhutani dan Dinas Peternakan)
serta perusahaan swasta secara komersial. Namun beberapa tahun
terakhir ini, perkembangan budidaya lebah tanpa sengat / kelulut
semakin marak meningkat drastis
1. Lebah lokal (Apis cerana)
Lebah lokal ini dalam bahasa daerah dikenal dengan tawon
madu atau tawon unduhan (Jawa), nyiruan (Sunda) madu lobang
(Palembang). Lebah ini dapat diternakan secara sederhana dengan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 169


glodok atau secara modern dengan stup (kotak lebah). Lebah liar
hidup disela-sela batu atau di goa-goa.
Ciri khas lebah madu ini adalah mudah untuk diternakan
dalam kotak dan tidak suka gerakan kasar, dan kalau tidak dalam
keadaan terjepit lebah ini tidak menyengat. Jika menyengat,
sengatnya akan tertinggal dan lebahnya akan mati.
Lebah ini cukup produktif sehingga banyak dipelihara aoleh
masyarakat desa sekitar hutan dengan menggunalan glodok yang
dibuat dari batang kelapa atau batang kapuk (randu), hasilnya
berupa larva dan madu. Larva dimanfaatkan sebagai lauk pauk dan
madunya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, khususnya
berkaitan dengan kesehatan.
Perum Perhutani sejak tahun 1974 telah mempelopori
budidaya lebah madu lokal ini dari sistem tradisional dengan hasil
0,35 kg per koloni per tahun menjadi sistem modern dengan hasil 5
kg per koloni per tahun. Setiap koloni lebah terdiri dari beberapa
ekor lebah jantan, 20.000 – 40.000 ekor lebah pekerja dan satu ekor
lebah ratu. Lebah jantan berpantat tumpul, tidak mempunyai
sengat, warna tubuhnya hitam, panjangnya 1,3 cm dan tugasnya
adalah mengawini lebah ratu.
Lebah pekerja pantatnya runcing dan mempunyai sengat,
warna tubuhnya hitam dengan strip kuning, panjangnya 1,1 cm,
tugasnya sebagai perawat, penghubung dalam sarang, penjaga
sarang, pencari makanan dan membuat sarang. Lebah pekerja
mampu menempuk jarak 600 – 700 meter dari sarangnya untuk
mencari makanan. Kegiatannya berhenti setelah pukul 15.00.
Lebah ratu berbadan panjang dan besar, berpantat runcing
dan mempunyai sengat, berwarna kelabu sampai hitam,
panjangnya 1,5 cm. Lebah ini merupakan lebah betina sempurna,
tugasnya hanya bertelur. Setelah kawin, lebah ini masuk sarang
dan bertelur seumur hidupnya. Lebah ini tidak keluar sampai
muncul lebah ratu yang baru.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 170


Siklus hidup Apis cerana sebagai berikut :
Tabel 14. 1 Siklus Hidup Apis cerana
Hari ke/ umur Lebah ratu Lebah Lebah pekerja
jantan
1 hari Telur Telur Telur
7 hari Larva Larva Larva
10 hari Pupa I Pupa I Pupa I
16 hari Lahir Pupa II Pupa II
21 hari Kawin Pupa III Lahir
24 hari Bertelur Lahir Berkerja dlm
sarang
Umur 5 tahun 1,5 tahun 2,5 bulan
Sumber : Perum Perhutani, 1975.

2. Lebah hutan (Apis dorsata)


Dalam bahasa adaerah disebut tawon gung (Jawa), odeng
(Sunda), madu sialang (Palembang). Lebah ini hidup liar dalam
hutan lebat, sampai sekarang belum berhasil dibudidayakan dalam
stup atau glodok. Madu dan lilin yang dihasilkan merupakan
produk terbaik. Madunya lebih encer dari madu lebah biasa, kalau
terganggu lebah ini akan menyerang musuhnya secara berkawan.
Lebah ini sifatnya liar dan tidak galak, panjang badan lebah pekerja
sekitar 1,9 cm.
Penyebaran lebah ini adalah di Asia. Di Indonesia hampir
terdapat diseluruh kepulauan Nusanatara. Jumlahnya
diperkirakan sekitar 30.000 koloni. Yang paling baik hasilnya
adalah yang berasal dari Sumbawa yang diikuti dari kalimantan,
Sulawesi, Sumatera dan Jawa (Sarwono, 2001).
Lebah ini membuat satu rumah besar yang merupakan
kumpulan sarang, satu koloni terdiri dari sebuah sisiran sarang
yang sangat besar ukurannya. Bentuk sarangnya sangat unik,
karena tidak merupakan sisiran-sisiran tapi merupakan satu

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 171


kesatuan yang dibangun di alam terbuka. Sarang ini juga
terlindung dari hujan dan panas matahari. Dalam satu koloni
jumlahnya mencapai jutaan ekor. Sarang dibangun di dahan-dahan
pohon besar atau di tebing-tebing, sarang bagian atas dipergunakan
untuk menyimpan madu yang tebalnya mencapai 10 cm, sarang
bagian bawah untuk mengerami telur yang tebalnya mencapai 4 cm.
Pohon sarang umumnya paling tinggi menjulang dibanding pohon
di sekitarnya (Satriadi, et al., 2018)
Lebah A. dorsata adalah lebah yang paling produktif, satu
sisir sarangnya dapat menyimpan madu sebanyak 10 – 20 kg. Kalau
koloninya besar, hasil madu dapat mencapai 30 kg per sarang.
Produksi lilinnya mencapai 3 – 4 kg per koloni. Pemungutan dapat
dilakukan dua kali dalam setahun.
3. Lebah Italia (Apis mellifira)
Lebah ini di Indonesia merupakan lebah import dari Italia . Di
negara-negara yang telah maju di bidang perlebahan telah lama
mengenal lebah ini, karena sifat-sifatnya yang baik. Lebah Italia
lebih besar dari Apis cerana.
Ciri-ciri lebah Apis mellifera adalah :
a. Tiga gelangan dari bagian belakangnya (abdomen) warnanya
kuning
b. Sifatnya sabar
c. Merupakan produsen madu yang tinggi
d. Menjaga sarangnya lebih bersih
e. Lebih tahan terhadap penyakit (bakteri).
Sarwono (2001) mengemukakan bahwa lebah madu memiliki
panjang sayap 0,8 sampai 0,9 cm dan panjang belalai 0,55 sampai
0,71 cm. Ukuran tubuhnya 1,25 kali lebih besar dibandingkan
lebah lokal (Apis indica). Panjang tubuh lebah ratu sekitar 1,9 cm,
lebah jantan 1,65 cm dan lebah pekerja 1,35 cm.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 172


4. Lebah tanpa sengat (Trigona sp)
Dalam bahasa daerah lebah ini disebut kelulut (Kalimantan /
Melayu), klanceng atau lanceng (Jawa), teuweul (Sunda), gala-gala
atau lebah lilin. Berukuran kecil dan tergolong tidak ganas,
produksi madunya tidak terlalu banyak, sehingga jarang
diusahakan orang. Serangga ini membuat sarang di lubang-lubang
pohon, celah-celah dinding dan lubang bambu dalam rumah.
Tempat tinggalnya suatu lubang yang gelap, terdiri dari beberapa
bagian, setiap bagian dipergunakan untuk menyimpan madu,
menyimpan tepung sari, tempat bertelur dan tempat larvanya. Di
bagian tengahnya terdapat karangan-karangan bola berisi telur,
tempayak dan kepompong. Di bagian sudut terdapat bola-bola agak
kehitam-hitaman untuk menyimpan madu dan tepung sari.
Lebah pekerjanya berwarna hitam dan berahang tajam untuk
menggigit musuh kalau merasa aterganggu. Lebah ratu mempunyai
perut yang sangat besar dan bersayap pendek. Ukurannya 3 – 4 kali
lebih besar dari lebah pekerja, sifatnya tidak mau berpindah-pindah
tempat karena sangat gemuk dan tidak bisa terbang. Mereka pindah
kalaun sarangnya sudah terlalu tua atau lilinnya terlalu keras.

B. Budidaya Lebah Madu


Lebah madu dapat dibudidayakan dengan mempertimbangkan
faktor berikut:
1. Persyaratan lokasi
a. Suhu ideal bagi lebah madu untuk beraktifitas normal adalaj
26oC, suhu diatas 10oC lebah masih dapat beraktifitas.
b. Di lerang pegunungan / dataran tinggi yang bersuhu normal
adalah 25°C seperti Malang dan Bandung lebah madu masih
ideal untuk dibudidayakan
c. Lokasi yang disukai adalah tempat terbuka, jauh dari keramaian
dan banyak terdapat bunga sebagai pakannya.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 173


2. Penempatan stup
Stup / kotak untuk pemeliharaan lebah terdiri dari penutup
bagian atas, alas kotak, bingkai sarang (sisir) dan tiang penyangga.
Penempatan stup sebaiknya adalah :
a. Letak stup menghadap ke tuimur atau kena matahari langsung
b. Tinggi tiang stup dari tanah 30 – 35 cm
c. Tiang penyangga stup diberi minyak pelumas.
3. Pengadaan koloni
a. Menangkap ratu lebah di hutan atau mendapatkan dari orang
yang telah membudidayakannya
b. Memasang stup kosong ditempat tertentu dengan harapan
didatangi lebah
c. Membeli lengkap terdiri dari stup dan koloni lebahnya dengan 6
– 8 frame.
Untuk lebah kelulut, terdapat perbedaan stup atau log
sarangnya, dimana kayu utama yang menjadi sarang kelulut
diambil. Pada bagian atas kayu sarang dipotong hingga batas
sarangnya dan menyebabkan lubang besar yang terlihat.
Selanjutnya bagian atas ini ditutup dengan kotak sebagai ruang
bagi kelulut menyimpan madu. Bagian atas inilah yang selanjutnya
dapat dimanfaatkan madu dan produk lebah lainnya.

C. Proses Terjadinya Madu


Terjadinya madu melalui proses kimia & Fisika, dimana jika
seekor lebah hinggap pada bunga maka ia akan mengisap cairan
manis nektar (suatu zat yg mempunyai susunan yang sangat
kompleks dihasilkan oleh kelenjar2 nectania dalam bunga yang
berupa larutan gula yang pekat terdiri dari gula monosakarida &
disakarida serta senyawa organik lainnya).
Cairan nektar ini dalam tubuh lebah akan mengalami suatu
invertasi yaitu perubahan kimiawi menjadi gula yang lebih
sederhana strukturnya dengan bantuan enzim yang ada dalam

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 174


tubuh lebah. Kandungan air madu sedikit demi sedikit akan
berkurang, setelah itu madu tsb diletakkan lebah dalam sarangnya.
Madu dapat diberdakan sumbernya yaitu:
1. Madu Nektar Flora ialah madu yang dihasilkan oleh lebah
dari bunga satu tanaman madu berwarna keruh dan baunya
tajam.
2. Madu Nektar Ekstra Flora ialah madu yang berasal dari
bagian tanaman selain bunga. Madu ini sering disebut madu
ekstra flora
3. Madu Ekstraksi ialah madu yang diperoleh dari sarang lebah
yang tidak dirusak, biasanya madu diambil dengan cara
memusing atau memberi gaya gravitasi.
4. Madu Paksa ialah madu yang diperoleh dari sarang lebah
dengan cara dipres atau cara lain yang semacamnya
5. Madu putih ialah madu yang terbuat dari cairan manis nektar
bunga atau terbuat dari cairan yang dikeluarga serangga
NB : - Madu Nektar (Bunga)
- Madu Esktra Flora (bagian tanaman selain bunga)
- Madu Embun (cairan hsl suksesi serangga terdapat di bagian
tanaman yang diisap lebah) berwarna gelap dan aroma
merangsang.

D. Manfaat Madu
Madu memiliki nilai gizi yang tinggi & memiliki potensi untuk
pengobatan tradisional, selain itu juga dapat digunakan untuk
berbagai industri kosmetika. Untuk pengobatan secara langsung :
1. Untuk Luka berat atau infeksi
Madu dicampur dengan minyak ikan dan dioleskan pd luka atau
infeksi dapat mempercepat sembuhnya luka atau infeksi.
2. Penyakit lambung asam
Madu diminum setelah makan secara teratur dapat
mengurangi kadar zat asam dan gangguan usus

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 175


3. Penyakit Insomania
Madu diminum dengan segelas air susu sebelum tidur secara
teratur dapat mengurangi/menghilangkan insomania.
4. Penyakit Jantung
Madu diminum dan memakan buah delima setiap hari, akan
bermanfaat bagi penyembuhan penyakit jantung
5. Penyakit Rematik atau encok
Madu dicampur dengan telor ayam & larutan jahe diminum 2
hari sekali secara teratur
6. Penyakit Sesak nafas
Madu dicampur dengan larutan temulawak, kunyit, asam dan
telur ayam, diminum secara teratur setiap hari
7. Penyakit Campak
Madu dicampur dengan telur ayam sbgn diminum dan sebagian
lagi dioleskan pada bagian yang berbintik-bintik.
8. Panas Badan
Madu dicampur dengan kuning telur ayam dan air jeruk nipis,
diminum secara teratur sampai panasnya turun.
Untuk industri madu dapat digunakan antara lain :
1. Industri Kosmetika
▪ Produk cold cream
▪ Produk hair cream
▪ Produk lipstick
2. Industri Farmasi
▪ Produk plester
▪ Coating tablet
Madu Murni (menurut Farmakope Indonesia)
Madu yang diperoleh dari sarang lebah madu yang telah
dimurnikan dgn pemasanan 70 C. Setelah dingin kotoran yang
mengapung disaring, bobot per ml berkisar 1,352 gr s/d 1,358 gr.
Cairan kental. Warna bening atau kuning pucat sampai coklat

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 176


kekuningan. Rasanya khas yaitu manis dgn aroma yang enak dan
segar.
Hasil Penelitian Balai Penelitian Kimia Bogor dan Bag.Ilmu
Gizi UI, dalam 100 gram madu terdapat : 294 kalori, 9,5 gram
karbohidrat, 24 gram air, 16 mg fosfor, 5 mg Kalsium dan 4 mg
vitamin C.

E. Kualitas Madu
Madu di Indonesia sangat beragam. Keragaman madu
tersebut dipengaruhi oleh perbedaan asal daerah, musim, jenis
lebah, jenis tanaman sumber nektar, cara hidup lebah (budidaya
atau liar), cara pemanenan serta cara penanganan pasca panen.
Mengingat keragaman tersebut, maka standar mutu madu
dikembangkan menjadi tiga kategori sebagaimana diatur dalam SNI
8664-2018, yaitu:
1. Madu hutan, yaitu jenis madu yang dihasilkan oleh lebah liar
Api dorsata.
2. Madu budidaya, yaitu jenis madu yang dihasilkan oleh lebah
budidaya: Apis mellifera dan Apis cerana.
3. Madu lebah tanpa sengat, yaitu jenis madu yang dihasilkan oleh
lebah Trigona spp.
Ketiga jenis madu tersebut selanjutnya dibedakan
berdasarkan parameter kualiatas madu sebagaimana disajikan
pada Tabel berikut.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 177


Tabel 14. 2 Kualitas tiga jenis madu di Indonesia berdasarkan SNI
8664-2018

Zat-zat yang ada pada madu yang ikut menentukan citarasa


madu adalah senyawa yang mudah menguap. Karena itu madu
harus ditangani dengan sangat hati-hati. Bila tidak, akan menjadi
sirup biasa. Sesungguhnya rasa dan aroma madu terlezat bila
langsung dari sarang yang masih tertutup oleh lilin. Bagaimana
hati-hatinya orang mengeluarkan madu, tetapi selalu
mengakibatkan kerusakan bagi komponen citarasa dan khasiat
madu. Bila madu dipanaskan pada suhu tinggi lebih besar dari
600C, maka kerusakan menjadi sangat serius. Demikian halnya bila
madu kena udara, karena itu untuk mengawetkan citarasa dan
aroma, sebaiknya madu dihindarkan terekspos pada udara,
pemanasan harus sesedikit mungkin dan ditutup rapat. Bila

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 178


keadaan memungkinkan, madu sebaiknya tidak mengalami
pemanasan sama sekali.
Enzim diastase yang terdapat pada madu berfungsi untuk
mengubah pati menjadi gula (Kowalski, et al., 2012). Enzim
diastase pada madu menunjukkan informasi terkait kemurnian
madu diperoleh. Nilai standar enzim diastase pada madu adalah
minimal 3 DN.
HMF (5-Hidroksimetil-2-furfural) merupakan salah satu
parameter kerusakan madu. HMF merupakan produk dekomposisi
gula yang terbentuk pada madu pada saat pemrosesan panas dan
penyimpanan atau dikenal sebagai reaksi Maillard (Tosi, 2002).
Pengujian kadar HMF dalam madu sangat penting dalam
menentukan keaslian dan kesegaran madu. Faktor yang
mempengaruhi peningkatan kadar HMF dalam madu adalah suhu,
lama penyimpanan dan penambahan fruktosa Kadar HMF dapat
menjadi indikator kerusakan madu oleh pemanasan yang
berlebihan atau karena penambahan gula invert (sebuah campuran
bagian yang sama dari glukosa dan fruktosa yang dihasilkan dari
hidrolisis sukrosa). Kedua perlakuan tersebut akan meningkatkan
kadar HMF (Winarno, 1982). Semakin lama penyimpanan
menyebabkan kadar HMF pada madu semakin tinggi (White, 1994).
Kenaikan kadar HMF juga disebabkan oleh suhu penyimpanan.
Kadar air madu secara langsung menentukan kualitas madu,
jika kadar air tinggi kualitas madu rendah. Kadar air dalam madu
dipengaruhi oleh iklim, pengelolaan saat panen, dan jenis nectar
atau cairan manis yang dikumpulkan oleh lebah. Air yang
terkandung pada sisiran madu berasal dari nektar yang
dimatangkan lebah. Konsentrasinya tergantung dari pelbagai factor
yang mempengaruhi proses pematangan madu, termasuk kondisi
cuaca, kadar air awal nektar, laju sekresi dan kekuatan koloni
lebah. Standar kadar air yang ditetapkan oleh Pemerintah
Indonesai berbeda tergantung jenis madunya. Madu hutan dan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 179


madu budidaya memiliki syarat KA maksimal adalah 22%,
sedangkan untuk madu kelulut memiliki KA maksimal 27,5%
Gula dan komponen madu lainnya dapat berubah selama
penyimpanan dan proses pemanasan (Eshete & Eshete, 2019).
Kandungan gula yang tinggi berperan terhadap pengendalian
terjadinya fermentasi oleh khamir. Fermentasi terjadi ketika
kandungan gula yang rendah. Glukosa dan fruktosa yang
merupakan gula yang ada pada madu, akan mengalami konversi
menjadi alkohol yang akhirnya membentuk asam asetat sehingga
berdampak pada kadar keasaman, rasa dan aroma madu (Prica et
al., 2014). Kandungan sukrosa dari madu digunakan untuk
mendeteksi pemalsuan madu dengan menambahkan tebu atau gula
bit. Kandungan sukrosa maksimum ditetapkan pada 5%.
Keasaman menunjukkan banyaknya asam bebas yang
terdapat dalam larutan. Asam bebas dalam madu bersumber dari
asam organik yang banyak terkandung dalam madu seperti asam
asetat dan asam oksalat dan sebagian kecil dari mineral-mineral
seperti Ca, K, Mg, P dan Na (Abdulkhaliq dan Swaileh. 2016).
Tingkat keasaman madu yang tinggi akan mengurangi
pertumbuhan dan daya hidup bakteri, sehingga bakteri tersebut
akan mati.
Proses pemanenan madu dapat mempengaruhi kualitas
madu termasuk terkontaminasi oleh pengotor-pengotor yang ada di
sekitar sehingga terdapat padatan tak larut dalam air yang
ditemukan di dalam madu. Materi yang tidak larut dalam air
(padatan) termasuk lilin, serbuk sari, puing-puing sarang madu,
lebah, dan partikel kotoran. Sementara itu kadar abu
merepresentasikan total residu anorganik pada proses karbonisasi
madu. Nilai maksimal kadar abu yang terdapat di dalam madu
adalah 0,5%.
Cemaran logam yang dapat mengkontaminasi madu diukur
meliputi timbal (Pb), Merkuri (Hg), dan Kadmium (Cd) serta Arsen

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 180


(As). Madu sebagai salah satu pangan yang dikonsumsi manusia
harus aman dari cemaran logam.
F. Pakan Lebah
Beberapa tanaman sebagai pakan lebah madusebagai berikut :
Tabel 14. 3 Tanaman Hutan (kayu-kayuan) Sebagai Pakan Lebah
Madu
No Jenis tanaman Waktu Berbunga
1 Acacia auricoliformis Sepanjang tahun
2 Acacia decurrens Sepanjang tahun
3 Acacia vilusa Sepanjang tahun
4 Acacia tometosa Juni - September
5 Sengon Juli - September
6 Klampis Mei - Nopember
7 Sonokeling September - Nopember
8 Dadap Sepanjang tahun
9 Gamal Musim kemarau
10 Lamtoro Sepanjang tahun
11 Kayu Putih Akhir musim kemarau
12 Kesambi September - Januari
13 Jati Oktober – Juni

Tabel 14. 4 Tanaman Tumpang Sari Sebagai Pakan Lebah Madu


No Jenis tanaman Waktu Berbunga
1 Jagung Tergantung musim tanam
2 Jarak Tergantung musim tanam
3 Kacang tanah Tergantung musim tanam
4 Kedelai Tergantung musim tanam
5 Randu Musim kemarau
6 Kelapa Sepanjang tahun
7 Lombok Tergantung musim tanam
8 Orok-orok Tergantung musim tanam
9 Padi Tergantung musim tanam

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 181


10 Kapas Tergantung musim tanam

Tabel 14.5 Tanaman Buah-buahan Sebagai Pakan Lebah Madu


No Jenis tanaman Waktu Berbunga
1 Alpokat September – Nopember
2 Duku Desember – Januari
3 Durian Juni – September
4 Jambu Mente Maret – April
5 Jambu Air Mei – Oktober
6 Jeruk besar September – Oktober
7 Keruk keprok September – Oktober
8 Jeruk siam Oktober – Nopember
9 Jeruk nipis Juni – September
10 Kedondong Juni – Agustus
11 Mangga Juni – Agustus
12 Manggis Juni – September
13 Nangka Juli – Agustus
14 Rambutan Juli – September
15 Sarikaya Februari – Maret

G. Soal-soal Latihan
1. Sebutkan jenis-jenis lebah penghasil madu
2. Jelaskan proses terbentukan madu
3. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis madu, dan manfaatnya
bagi kesehatan manusia
4. Jelaskan tentang kualitas madu

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 182


XV. ARANG DAN CUKA KAYU

A. Arang
a Pengertian Arang
Arang adalah benda padat yang biasanya berwarna gelap dan
apabila dibakar akan menghasilkan panas. Bahan baku arang
adalah kayu, limbah-limbah kayu dari proses pengolahan kayu,
oleh karenanya arang sering dikenal dengan nama Bahan Bakar
Arang Kayu atau sering dikenal dengan nama BBAK. Sebaliknya
Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah sumber energi yang berasal dari
fossil fuel. Perbedaan yang sangat mendasar antara BBAK dan BBM
adalah sumber bahan bakunya. BBAK berasal dari bahan baku
yang dapat diperbaharui (renewable resources) sedangkan BBM
berasal dari sumber daya yang tidak dapat diperbaharui
(nonrenewable resources).
Energi alternatif yang cukup melimpah di alam dan sekarang
lagi menjadi bahan pembicaraan diberbagai forum seminar dan
kajian ilmiah beberapa ahli adalah enery biomasa (Biomass energy).
Energi biomas adalah energi yang bersumber dari massa penyusun
tumbuhan atau komponen organik tumbuhan. Komponen yang
dominan pada massa organik tumbuhan adalah senyawa karbon
yang berupa karbohidrat, dan makromolekul lainnya. Unsur
penyusun senyawa biomassa didominasi oleh atom karbon (C),
Oksigen (O) dan Hidrogen (H). Sedangkan beberapa atom lainnya
seperti Mg, Ca, K, dan Mn serta Pberada dalam jumlah yang relatif
sedikit dibandingkan dengan senyawa karbon. Produk turunan dari
energi biomas tersebut di antaranya yang dikenal dengan Bioetanol,
Bioalkohol dan Biodiesel.
Ke depan dengan berbagai kajian dan penelitian yang
dilakukan, kemungkinan untuk mengembangkan energi hidrogen
yang diperoleh dari biomassa cukup besar, di samping energi

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 183


karbonnya. Selama ini kebanyakan untuk sumber energi carbon,
hanya terfokus pada pemanfaatan minyak bumi (fossil fuel) dan
batu bara (coal). Pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif
lainnya yang ramah lingkungan dan cukup melimpah potensinya di
negara Indonesia, belum optimal. Sumber energi alternatif tersebut
misalnya panas bumi, tenaga surya (solar cell), gelombang pasang-
surut air laut, mikro hidro, dan tenaga angin (win power).
Arang pada prinsipnya adalah sumber energi yang
terbarukan dan bersumber dari pembakaran dari unsur carbon.
Pembakaran arang adalah pembakaran carbon, sama dengan
minyak bumi dan batubara. Tetapi kedua bahan bakar berbahan
dasar carbon itu adalah tergolong bahan bakar yang tidak dapat
diperbaharui. Sedangkan arang termasuk yang dapat diperbaharui.
Arang atau charcoal adalah sisa atau residu dari proses destiliasi
kayu karena panas dengan tidak melibatkan/pembatasan oksigen
yang sebagaian besar komponennya adalah karbon. Arang biasanya
berwarna hitam legam, dan terkadang mengkilap apabila terkena
cahaya yang cukup terang. Pembuatan arang dapat dilakukan pada
proses pembakaran/ pemanasan kayu dalam timbunan ataupun
tanur tanpa atau dengan udara yang terbatas. Proses pembuatan
arang dapat dilakukan dengan berbagai macam cara diantarnaya
adalah proses karbonasi, destilasi kering, destilasi destruktif,
peruraian panas dan pirolisis.
Arang sangat digemari sebagai bahan bakar atau sumber
energi karena nilai kalornya yang tinggi (7000-7600 kal), bila
dibandingkan dengan nilai kalor batubara (6000-7000 kal). Arang
juga memiliki kadar abunya yang rendah, sangat reaktif dalam
reaksi kimia, dan mempunyai absorbansi yang tinggi terutama
dalam bentuk serbuk. Arang dapat dipergunakan sebagai bahan
atau penolong dalam industri makanan kimia, logam, tekstil dan
lain lain.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 184


Arang banyak dimanfaakan untuk berbagai keperluan, dari
rumah tangga, industri kecil (home industri) seperti pandai besi,
pedagang makanan kaki lima (kuliner) sampai kepada industri
beskala besar. Berdasarkan pemanfaatannya tersebut, arang
dikelompokan ke dalam tiga kelompok yaitu:
a) Sumber energi dalam rumah tangga seperti memasak, pemanas
ruangan, tungku bakar, tanur pengeringan untuk ikan (azar),
tembakau, binatu, dan industri pandai besi atau empu.
b) Industri metalurgi yaitu sebagai bahan bakar dan reduktor dalam
atau pengolahan biji logam dalam tanur, industri aluminium,
pelat baja, penyepuhan, kobalt, tembaga, nikel, besi, serbuk besi
dan lain-lain.
c) Industri kimia atau farmasi, banyak dipergunakan karbon aktif,
yang biasanya dinamakan arang aktif (activated carbon),
berfungsi untuk mengabsordi suatu zat racun atau senyawa
polutan dalam suatu larutan atau media, obat – obatan,
campuran resin, katalisator, pupuk, perekat, karbon monooksida
dan termasuk di dalamnya industri elektronika.

b Pengolahan Arang
Arang kebanyakan dibuat dengan proses karbonisasi, dengan
cara membakar bakan bakunya sampai menghasilkan arang.
Berdasarkan proses karbonisasinya, arang dibedakan menjadi tiga
yaitu:
1. Arang hitam yang dibuat pada suhu 400 - 700oC yang
diperuntukan untuk pengolahan biji besi, silikon, titanium,
magnesium dan karbon aktif.
2. Arang putih yang dibuat pada suhu karbonisasi di atas 700oC
yang diperuntukan dalam pembuatan carbon bisulfida, natrrium
sulfida dan natrium cianida.
3. Serbuk arang yang dibuat untuk tujuan bahan baku briket
arang, karbon aktif dan bahan bakar.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 185


Proses pembuatan arang melibatkan proses karbonisasi yang
bersifat eksoterm. Reaksi eksoterm berarti bahwa jumlah panas
atau energi yang dihasilkan untuk pembakaran lebih besar
dibandingkan jumlah energi atau panas yang diperlukan. Reaksi
tersebut akan sangat terlihat apabila suhu mencapai 300 – 400oC
di mana suhu menlonjakdengan cepat sedangkan panas yang
diberikan tetap. Proses karbonsasi pada kayu terjadi pada selang
suhu antara 100 – 1000oC, dan perubahan terbesar pada massa
kayu terjadi pada suhu antara 200 – 500oC. Proses pembuatan
arang dilakukan pada suhu di atas 500oC dan bahkan ada yang
lebih dari 1000oC. Sedangkan apabila menghendaki hasil akhir
proses pembuatan arang adalah ter atau destilat maka
menggunakan suhu 500oC.
Pada prinsipnya proses karbonisasi dalam pembuatan arang
dibagi dalam empat tahapan proses yang dibedakan dari besarnya
suhu pembakaran atau pemanasan, yang selengkapnya dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Suhu 0 – 260oC. Pada tahap awal karbonisasi ini berawal dari
saat pemanasan dan pembakaran kayu yaitu penguapan kadar
air kayu, kemudian penguraian selulosa pada suhu sekitar
200oC. Pada suhu ini juga dihasilkan beberapa destilat yang
sebagain besar mengandung asam- asam dengan sedikit metanol.
Pada selang suhu antara 200 – 260oC dihasilkan destilat asam
cuka dan asam – asam lainnya.
2. Suhu 260 –310oC. Pada tahap ini sebagian komponen selulosa
telah terurai menjadi secara itensif. Juga dihasilkan pirolygneous
liquor (cairan lignin) yang berwarna kecoklatan dan banyak
mengandung persenyawaan organik dengan titik didih yang
rendah, di antaranya adalah asam cuka, methanol, dan terlarut.
Sedangkan gas yang dihasilkan dari proses pembakaran pada
suhu ini di antaranya adalah gas Karbon dioksida (CO2) dan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 186


monooksida (CO), di mana setiap setiap kilogram kayu kering
tanur dihasilkan sekitar 50 liter.
3. Suhu 310 – 500oC. Pada fase suhu ini komponen lignin telah
banyak terurai menjadi ter, sedangkan komposisi prolygneous
liquor dan gasnya menurun. Volume gas yang dihasilkan tiap
kilogram bahan mentah juga mengalami penurunan dari 50 liter
menjadi sekitar 30 liter. Gas karbondioksida (CO2) akan
menurun, tetapi gas kabon monooksida (CO), Methane (CH4) dan
H2.
4. Suhu 500 – 1000oC. Pada fase suhu ini akan diperoleh gas kayu
yang sulit untuk dikondensasikan, terutama untuk gas Hidrogen
(H). Fase yang terakhir ini adalah merupakan fase pemurnian
arang.

c Kualitas Arang
Kualitas arang kayu akan sangat dipengaruhi oleh jenis kayu,
cara dan proses pengolahan arang. Khusus untuk proses
karbonisasi pada pembuatan arang banyak ditentukan oleh adanya
kecepatan pemanasan dan tekanan udara dalam tanur, di mana
pemansan yang cepat akan menghasilkan rendemen arang yang
rendah karena tahapan karbonisasi sulit untu dikendalikan dan
rendeman arang makin tinggi dengan meningkatnya tekanan dalam
tanur arang.
Kualitas arang dapat ditentukan berdasarkan unsur kimia
yang terkandung di dalamnya, sifat fisik dan dibedakan menurut
kegunaannya. Untuk pemakaian skala industri, kualitas arang
ditentukan oleh beberapa variabel meliputi: kadar air, abu, nilai
kalor, zat yang mudah menguap (volatile matter), sisa karbon (fixed
carbon), nilai kalor, kekerasan, berat jenis dan titik bakarnya
(ignition point).

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 187


Secara umum kualias arang yang terbuat dari kayu dapat
dibedakan berdasarkan ciri fisiknya. Ciri-ciri fisik tersebut di
antaranya adalah:
1. Memiliki warna hitam mengkilap dan menghasilkan nyala
kebiru-biruan apabila dibakar
2. Penampilanya terlihat mengkilap pada pecahan – pecahannya,
seperti dapat memantulkan cahaya.
3. Arang tidak mudah hancur atau terkikis sehingga akan
mengkotori tangan apabila dipegang
4. Apabila dibakar tidak banyak mengeluarkan asap (tidak berasap)
5. Tidak memercikkan api (tidak ada percikan api) dan tidak berbau
saat dibakar
6. Arang akan mampu menyala terus saat dibakar walaupun tanpa
dikipas
7. Tidak mudah atau cepat terbakar, dalam pengertian cepet
menjadi abu
8. Berdering seperti logam bila bergesekan
Bahan baku arang akan sangat menentukan kualitas arang.
Untuk membuat arang diperlukan beberapa persyaratan di
antaranya bahwa kayu daun lebar (hardwood) lebih disukai
daripada kayu daun jarum (softwood). Hal tersebut karena kayu
daun lebar umunya memiliki kerapatan atau density dan berat jenis
lebih tinggi, dan memiliki kekerasan yang lebih tinggi.
Bahan baku yang berasal dari kayu teras (heartwood) lebih
disarankan daripada kayu gubal (sapwood). Bagian batang kayu
menghasilkan arang yang lebih bagus dibandingkan bagian cabang,
sedangkan kayu kering lebih baik untuk bahan baku dibandingkan
kayu basah. Hal tersebut karena kayu basah memerlukan lebih
banyak energi untuk menguapkan air dibandingkan kayu kering.
Di Indonesia, pada kebanyakan kayu yang dipergunakan
sebagai bahan baku arang adalah kayu dengan nilai berat jenis
kering udara antara 0,6 - 0,7, dan memiliki kadar air antara 30 - 40

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 188


% dengan diameter 10 cm - 20 cm. Kayu dengan berat jenis yang
lebih dari 0,6 memerlukan waktu pengolahan yang lama
dibandingkan kayu dengan berat jenis yang rendah.
Arang kayu dapat dikelompokkan berdasarkan
1. Ukuran : batangan, halus atau pecahan
2. Sifat Fisik : Warna, Bunyi, Nyala, Kekerasan, Kerapuhan, Nilai
kalor, BJ
3. Analisa Arang : KA, Abu, Karbon sisa (Fixed carbon) dan zat yg
mdh menguap (Volatile matter)
4. Suhu maximum pengarangan dan kemurnian arang
Syarat Kualitas sehubungan dengan kegunaannya
1. Bahan bakar : Batangan, hitam mengkilap pada pecahan,
berdenting seperti logam, nyala berwarna biru, tidak berasap
dan tidak cepat menjadi abu, karbon sisa 55% - 70%.
2. Metalurgi : arang hitam, karbon sisa minimum 70%, abu <4%,
zat mudah menguap maksimum 10 %, nilai kalor minimum
7.000 kalori
3. Arang aktif : arang hitam, karbon sisa 7% - 0%, zat mudah
menguap 15% - 20%, abu 1% – 2%.
Oleh sebab itu, untuk mendapatkan arang dengan kualitas
yang baik, bahan baku dapat memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Jenis daun lebar yang mempunyai BJ, kekerasan tinggi lebih
disuka
b. Kayu teras lebih baik dari pada kayu gubal
c. Bagian batang lebih baik dari pada bagian cabang
d. Kayu kering lebih disuka dari pada kayu basah
e. Bj umumnya 0,6 – 0,7 dgn kA 30% - 40% dan diameter 10 – 20
cm
f. Beberapa jenis bahan baku : Alaban, kamalaka, bakau, asam,
kesambi.
Arang kayu yg baik dapat diketahui dengan kriteria sebagai
berikut:

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 189


1. Warna hitam nyala hingga kebiru-biruan
2. Mengkilap pada pecahan
3. Tidak mengotori tangan
4. Jika terbakar asap sedikit, tdk memercik, tdk berbau
5. Dapat menyala terus tanpa dikipas
6. Berdenting seperti logam
7. Tidak terlalu cepat terbakar (habis)
Kualitas arang dapat diuji dengan beberapa parameter
sebagai berikut:
1. Penetapan kadar air
Yaitu menguapkan bagian air bebas yang terdapat dalam
briket arang sampai keseimbangan kadar air tercapai sesuai dengan
udara sekitarnya. Contoh uji arang yang ditimbang sebesar X gram.
Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC – 110oC
sehingga mencapai berat tetap dan ditimbang seberat Y gram.
X −Y
Kadar air (%) = x 100 %
Y
Dalam hal ini : X = berat contoh uji sebelum dikeringkan (gr)
Y = berat contoh uji setelah dikeringkan (gr)
2. Penetapan kadar zat terbang
Yaitu merupakan semua zat-zat yang menguap (volatile
matter) dalam briket selain air.
Ditimbang contoh uji sejumlah A gram, kemudian
dipanaskan dalam tanur listrik pada suhu 800oC – 900oC selama 6
menit. Selanjutnya didinginkan dalam desicator dan ditimbang B
gram.
A− B
Kadar zat terbang (%) = x 100 %
A
Dalam hal ini : A = berat contoh awal (gr)
B = berat contoh akhir (gr)

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 190


3. Penetapan kadar abu
Yaitu abu dalam arang yang terdiri atas mineral tidak
menguap atau hilang pada proses pengabuan tetap tertinggal dalam
alat pengabuan.
Contoh uji arang dari penetapan kadar zat mudah menguap
ditimbang A gram, kemudian diabukan kedalam tanur listrik pada
suhu konstan 750oC selama 6 jam. Kemudian didinginkan dalam
desicator dan abunya ditimbang B gram.
A− B
Kadar abu (%) = x 100 %
A
Dalam hal ini : A = berat contoh sebelum diabukan (gr)
B = berat contoh setelah diabukan (gr)
4. Penetapan kadar karbon
Kadar karbon atau fixed carbon yaitu fraksi karbon dalam
conoth uji arang selain fraksi abu, air dan zat-zat mudah menguap.
Kadar karbon (%) = 100 % - kadar abu (%) – kadar zat terbang (%)
5. Penetapan kerapatan
Contoh uji arang ditimbang sejumlah X gram dan volume
bcontoh uji arang dihitung Y cm3, sehingga kerapatan diperoleh
yaitu :
X
Kerapatan (gr/cm3) =
Y
Dalam hal ini : X = berat contoh uji (gr)
Y = volume contoh uji (cm3)

6. Penetapan nilai kalor


Pengukuran nilai kalor ditentukan dengan cara membakar
contoh didalam boom kalorimeter, kalor yang dihasilkan dihitung
berdasarkan perubahan temperatur sebelum dan sesudah
pembakaran.
W x (t2 − t1 )
Nilai kalor (kal/gar) = −B
A

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 191


Dalam hal ini : W= nilai air dari alat balometer (kaloC)
t1 = suhu mula-mula (oC)
t2 = suhu sesudah pembakaran (oC)
A = berat contoh uji (gr)
B = koreksi pada kawat besi (kal/gr)

B. Cuka Kayu
a Pengertian Cuka Kayu
Cuka kayu biasanya juga dikenal dengan asap cair yang
diperoleh dari proses pembakaran / pembuatan arang. Sesuai
namanya cuka kyau / asap cair berupa produk cair, berasal dari
kondensasi (pengembunan) asap proses karbonisasi materi yang
berlignoselulosa. Asap cair ini mengandung tiga komponen utama,
yaitu asam asetat, fenol, dan alkohol. Asap cair biasa dikenal
dengan istilah lain, yaitu cuka kayu. Penamaan cuka karena
senyawa yang mendominasi (sekitar 50 per sen) adalah asam asetat,
CH3COOH. Bahan dasar untuk membuat asap cair ini bisa
divariasikan, tergantung limbah yang tersedia di sekitar. Misalnya,
konus buah pinus, tempurung kelapa, limbah kayu gergajian, daun
kayu putih limbah, dan sebagainya, maka bisa saja menamakannya
berturut-turut cuka konus, cuka tempurung kelapa, cuka kayu
gergajian, cuka limbah kayu putih, dan lain-lain. Asam asetat
dalam sehari-hari digunakan sebagai pengawet makanan, sehingga
dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang
berkembang. Alkohol merupakan senyawa yang berfungsi sebagai
denaturasi protein, sehingga dapat merusak membran sel.
Sementara fenol adalah senyawa desinfektan yang dapat
menghambat aktivitas enzim. Dengan memahami manfaat senyawa
kimia yang ada dalam asap cair, memungkinkan asap cair ini
berfungsi dalam banyak kegunaan, mulai dari bahan kesehatan
tanaman, meningkatkan produktivitas ternak, pembasmi bau tak
sedap, kesehatan, farmasi dan kecantikan. Di Jepang,

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 192


pengembangan teknologi pembuatan asam kayu semakin pesat,
dan dimanfaatkan dalam keseharian hidup masyarakatnya, dari
sebagai pengawet makanan hingga pengobatan sejumlah penyakit.
Sifat asam cuka dapat menjadi inhibitor (penghambat)
pertumbuhan mikroorganisme yang mengancam tanaman, seperti
fungi, bakteri dan lainnya; di sisi lain asap cair mengandung unsur
hara yang dibutuhkan tanaman, sehingga dapat menggantikan
(alternatif) penambah hara makro dan mikro bagi tanaman.
Asap cair dapat berasal dari materi berupa kayu-kayu limbah
atau sebetan (potongan kayu) yang tak terpakai, seperti dari bahan
bangunan, limbah industri gergajian, ranting-ranting kayu yang
terbuang sebagai limbah, konus (rumah buah), tempurung kelapa
limbah, dan lain-lain. Dengan bahan baku yang berasal dari limbah,
pembuatan asap cair akan mudah dipraktikkan di tengah kegiatan
sehari-hari masyarakat, dan dapat menghasilkan pendapatan
dengan cepat. Dari sisi modal dan penyiapan bahan baku,
memproduksi asap cair tidaklah semahal membuat pestisida,
misalnya. Karena bahan baku asap cair berasal dari materi di
sekitar, maka pemanfaatannya pun dijamin aman akan bahan
berbahaya dan beracun (B3). Cuka kayu mulai banyak
dimanfaatkan di dunia pertanaman, karena telah terbukti mampu
meningkatkan kesehatan tanaman, dan dapat menggantikan
pupuk kimia dengan dosis tertentu. Secara umum asap cair yang
bersifat asam ini dapat berfungsi sebagai anti-bakteri, anti-fungi,
anti-metanogenesis, dan anti-oksidan, secara lengkap disajikan
pada Tabel 15.1.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 193


Tabel 15.1 Manfaat cuka kayu

b Pengolahan Cuka Kayu


Cuka kayu dapat dibuat dengan menggunakan alat yang
sederhana seperti drum bekas. Instalasi asap cair dapat dibangun
di dekat lokasi tempat kita tinggal atau tempat kita bekerja sehari-
hari. Komponen yang akan dirakit pun tidak membutuhkan modal
besar. Dimulai dari menyiapkan satu drum (bekas) yang sudah
dilubangi bagian dasarnya dengan diameter lubang sekitar 1,5 cm.
Untuk komponen proses pendinginan disiapkan cerobong atau
sungkup yang anti-karat, dan pipa besi atau paralon berdiameter 3
cm sepanjang 6 m. Tungku pembakar kayu atau materi input
terbuat dari batu bata. Dengan menggunakan drum dapat
menampung volume input sekitar 0,2 m3, dan akan menghasilkan
asap cair sekitar 12 liter. Bila teknik ini dikembangkan lebih efisien,
produktivitas cuka bisa lebih banyak.
Kayu yang sudah kering disusun dalam drum sampai terisi
hampir penuh. Pipa yang menempel pada drum dihubungkan
dengan cerobong, dan cerobong ini dihubungkan dengan pipa
pendingin. Setelah semua pekerjaan di atas siap, tungku mulai
dinyalakan. Setelah tungku mengeluarkan asap tebal sekitar 5
menit drum ditutup dan diatur sedemikian rupa, agar asap tidak ke
luar. Biasanya dicukupi dengan tanah lempung. Sekitar 25 menit

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 194


akan ke luar cairan bewarna bening, secara berangsur angsur
cairan yang ke luar berwarna hitam. Warna cairan hitam ini
menandakan asap cair telah ke luar semua dari pengasapan kayu.
Tumpukan kayu didalam drum dapat dijadikan arang, dengan
menutup tungku rapat (Corryanti dan Astanti, 2015).
c Kualitas Cuka Kayu
Kualitas cuka kayu bervariasi tergantung pada jenis tempat
pengeringan arang, jenis perubahan oleh temperatur karbonisasi
dan kayu arang. Sekalipun asap cair transparan dan tidak ada noda
dalam container, hal itu tidak menunjukan mutu tinggi dari asap
cair. Mutu tidak bisa dinilai secara visual, karena asap cair
mengandung 200 unsur untuk dinilai. Indikator yang dapat
dijadikan acuan standar mutu dari cuka kayu:
1. pH kertas
Secara umum asap cair mempunyai pH 8,0. Beberapa asap cair
juga mempunyai nilai pH kurang dari 7,0 atau lebih rendah
karena perubahan oleh karbonisasi metode kayu arang yang
spesifik digunakan
2. Bobot jenis
Bobot jenis standar asap cair adalah sekitar 1,010 sampai 1,050
jika nilai yang diukur melebihi cakupan ini menandakan adanya
ter yang dihancurkan dan berbagai hal yang tidak tersusun. Hal
ini dapat merugikan dalam penanaman tumbuhan dan
keperluan pengangkutan asap cair.
3. Warna
Warna asap cair dapat dinilai secara visual untuk menentukan
mutu. Kualitas yang baik dari asap cair mempunyai warna coklat
terang atau warna coklat kemerah-merahan. Asap cair
mempunyai kualitas rendah pada umumnya berwarna gelap,
polimerisasi yang berlebihan mengakibatkan warna hitam gelap.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 195


4. Bau
Asap cair memiliki kualitas baik apabila mempunyai bau asap
dari asap cair tersebut. Kadar keasaman yang lebih tinggi
menghasilkan suatu bau yang lebih kuat, hal ini menandakan
perlunya penyulingan yang lebih baik.
5. Kandungan ter
Residu hitam berupa ter diperoleh saat asap cair ditempatkan di
tempat penguapan dipanaskan dengan pembakaran.
Kandungan ter yang terlarut dengan nilai yang lebih rendah
mempunyai mutu yang lebih baik. Kandungan normal dalam
asap cair tidak lebih dari 3%.
6. Residu pengapian
Residu pengapian diperoleh dari asap cair yang ditempatkan di
tempat penguapan pemanasan pembakaran yang lebih lama.
Residu pengapian berwarna coklat kehitam-hitaman. Residu ini
berisi berbagai unsur yang tidak tersusun dan tahan api.
Proporsi residu pengapian pada asap cair yang murni dengan
berat normal tidak lebih dari 0,2%.
7. Ketransparanan
Ketransparanan asap air dinilai secara visual. Asap cair
berkualitas bagus apabila transparanan dengan tidak ada bahan
yang tertahan, jadi jika cairan tidak transparan atau keruh dan
tidak bersih maka harus disaring (Yatagai, 2004).
Asap cair memiliki standar kualitas yang dinilai dari beberapa
parameter menyangkut dengan asap cair itu sendiri. Standar asap
cair asal Jepang dapat dilihat pada tabel 15.2:
Tabel 15. 2 Standar kualitas asap cair asal Jepang
No Parameter Asap Cair Standar Jepang

1 Warna Kuning- coklat kemerahan pucat – coklat


kemerahan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 196


2 Berat Jenis < 1.005
g/cm³
3 Keasaman 1.5-3.7
(pH)
4 Bau -
5 Kadar Air (%) 1-18
6 Transparansi Tidak keruh, tidak ada suspense
Keterangan : Sumber Yatagai (2004)

C. Soal-soal Latihan
1. Jelaskan pengertian dari arang dan cuka kayu
2. Jelaskan proses pembuatan arang dan karbonisasi
3. Apa saja yang harus diuji untuk menentukan kualitas
arang
4. Jelaskan proses pembuatan cuka kayu
5. Jelaskan tentang kualitas cuka kayu

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 197


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Lahiyo. 1988. Kayu Garu dari Kalimantan Barat.


Bandung.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2009. Roadmap
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010 – 2025.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Badan Standardisasi Nasional. 2018 Standar Nasional Indonesia
Madu: SNI 8664-2018
Bambang Djatmiko, Sumadiwangsa, S dan Semangat ketaren.
1973. Pengujian Kualitas Gondorukem. LPHH, Bogor.
Belcher, B.M. 2003. What isn’t an NTFP? International Forestry
Review 5(2): 161 – 168
Corryanti dan F.E. Astanti. 2015. Memproduksi Cuka (Asap Cair)
Untuk Kesehatan Tanaman. Puslitbang Perum Perhutani –
Cepu
Destri, Z. Mutaqien, E. Susanto, D. A. Samsudin, Rustandi,& Emus.
2019. Distribusi dan Populasi Tumbuhan Penghasil Gaharu
di Kawasan Sorong Raya, Papua Barat, Indonesia. Prosiding
Seminar Nasional Konservasi dan pemanfaatan tumbuhan
dan Satwa Liar “Riset Sebagai Fondasi Konservasi dan
Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar” 2019: hal 26-39
Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan,
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
2018. Data dan Informasi Pemetaan Tematik Kehutanan
Indonesia: Penutupan Lahan Indonesia, Deforestasi
Indonesia, Moratorium Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. 2019.
Statistik Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 198


Lestari tahun 2018. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari
Fauzi, H., M. Aryadi, dan T. Satriadi. 2014. Strategi Pengembangan
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Unggulan Provinsi
Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional “Peranan
Dan Strategi Kebijakan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) dalam Meningkatkan Daya Guna Kawasan
(Hutan)“, 6 November 2014 di University Club UGM,
Yogyakarta, hal 64 – 93.
Flach, M.1997. Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the
conservation and use of underutilized and neglected crops 15.
International Pant Genetic Resources Institute. Rome, Italy.
Flach, M.1997. Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the
conservation and use of underutilized and neglected crops 15.
International Pant Genetic Resources Institute. Rome, Italy.
Haryanto, B dan P. Pangloli.1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu.
Kanisius Yogyakarta.
Hustiany, R. dan Y. Fitrial, 2020. Minat Beli Konsumen Terhadap
Unting Sagu Instan Berbagai Varian Rasa dan Jenis Kemasan.
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-
TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015: hal B-33 –
B41
Januminro. 2000. Rotan Indonesia. Kanisius. Jakarta.
Kaimuna, K., M.Okazaki., Y. Toyoda., and J.E. Cecil. 2002. New
Frontier of Sago Palm Studies. Proceeding of the International
Symposium on Sago (SAGO 2001). Universal Academy Press,
Inc. Tokyo Japan.
Karafir, Y.P., V.E. Fere., and Y. Toyoda. 2005. (editors). Abstracts of
The International Sago Symposium. The Japan Society for
Promotion of Science.
Kasmudjo. 1981. Dasar Dasar Pengolahan Minyak Kayu Putih.
Yayasan Pembina Fahutan UGM, Yogyakarta.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 199


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2019. Statistik
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2018. Jakarta:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Komaesakh, A. 1983. Pedoman Pelaksanaan Pengujian Rotan
Bulat Indonesia. Dirjen Pengusahaan Hutan, Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Komaesakh, A. 1983. Pengenalan Rotan Indonesia. Dirjen
Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Komaesakh. A. 1983. Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pengujian
Rotan Bulat Indonesia. Dirjen Pengusahaan Hutan,
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Kowalski, S., M. Lukasiewicz, S. Bednarz, & M. Panuś. 2012.
Diastase Number Changes during Thermal and Microwave
Processing of Honey. Czech J. Food Sci. Vol. 30, No. 1: 21–26
Mangundikoro, A. 1980. Pedoman Teknis Penanaman Rotan.
Dirjen Kehutanan. Jakarta.
Manuputy. 1980. Keluarga Agathis di Indonesia. Yayasan Pembina
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.35/Menhut-II/2007 tahun
2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :
P.19/Menhut-II/2009 Tentang Strategi Pengembangan Hasil
Hutan Bukan Kayu Nasional
Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tahun
2016 tentang Perhutanan Sosial.
Peratutan Menteri Kehutanan nomor P.21/Menhut-II/2009 tentang
Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan
Kayu Unggulan
Perum Perhutani. 1991. Pelatihan Penyadapan Pinus Metoda Riil.
Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah. Semarang.

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 200


Prastyaningsih, S.R., Ervayenri dan Azwin. 2015. Potensi Pohon
Penghasil Gaharu Budidaya di Kabupaten Kampar Provinsi
Riau. Wahana Forestra: Jurnal Kehutanan Vol.10, No.2: 88 -
100
Prica, N., M. Živkov-Baloš, S. Jakšić, Ž. Mihaljev, B. Kartalović, J.
Babić, & S. Savić. 2014. Oisture and Acidity as Indicators of
the Quality of Honey Originating from Vojvodina Region. Arhiv
veterinarske medicine, Vol. 7, No. 2: 99 - 109
Putri, A.A.K., Fatriani, & T. Satriadi, 2019. Pemanfaatan Pohon
Sagu (Metroxylon sp) dan Kualitas Pati Sagu dari Desa
Salimuran Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Tanah Bumbu
Kalimantan Selatan. Jurnal Sylva Scienteae Vol. 02 No. 6:
1082-1093
Rostiwati, T., J. F.Shoon., dan M. Natadiwirya. 1999. Penanaman
Sagu (Metroxylonsagu Rottb) berskala besar. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Saputera, 2013. Strategi Dan Kebijakan Inovasi Pengembangan
Agroindustri Rotan di Kalimantan Tengah. Konferensi
Nasional “Inovasi dan Technopreneurship” IPB International
Convention Center, Bogor, 18-19 Februari 2013
Sarwono, B. 2001. Kiat menghadapi Permasalahan Praktis Lebah
Madu. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Silalahi, J. 2010. Prospek pengembangan Jenis Tanaman Gaharu di
Kalimantan Selatan. Galam vol IV No 3: 243 – 251
Simbolon, M dkk. 1989. Pedoman Inventarisai Hutan Sagu. Bagian
Proyek Inventarisasi dan Pengukuhan Hutan, Direktorat
Invetarisasi Hutan dan Tata Guna Lahan, Departemen
Kehutanan.
Subowo, Y.B. 2010. Jamur Pembentuk Gaharu Sebagai Penjaga
Kelangsungan Hidup Tanaman Gaharu (Aquilaria sp). . Tek.
Ling Vol.11 No.2 Hal. 167 – 173

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 201


Supriyadi, E.B. 1999. Perbedaan Kandungan Aci bahan Baku Sagu
Berduri menurut Waktu Perendaman dalam kanal pada PT.
Sagindo Sari Lestari Kecamatan Arandai Kabupaten Mankwari.
Skripsi sarjana kehutanan. Fakultas Pertanian universitas
Cenderawasih (tidakditerbitkan)
Suriawiria,U. 2000. Madu untuk Kesehatan, Kebugaran dan
Kecantikan. Papas Sinar Sinanti. Jakarta.
Wahyudi. 2013. Buku Pegangan HHBK. Yogyakarta: Penerbit Pohon
Cahaya
Yatagai, M 2004. Utilization Of Charconal and Wood Vinegar in
Japan. RDCFPT in Coorporation Whit JCFA, Bogor.
https://dataalam.menlhk.go.id/berita/2019/05/10/klhk-pacu-
pengembangan-hhbk-dan-jasa-lingkungan

Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu 202

Anda mungkin juga menyukai