Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PENGELOLAAN


HARTA WAKAF

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia

Dosen Pengampu: Najichah, M. H.

Disusun Oleh:

Auliya Nurjannah 2202016037

Elsaniar Shinta Indraswari 2202016068

M. Irfan Maulana Afifi 2202016069

PRODI HUKUM KELUAGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. atas rahmat serta hidayah-Nya yang
telah memberikan kita kesehatan dan kenikmatan pada saat ini. Tak lupa shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita yaitu Nabi
Muhammad SAW. yang telah menuntun manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang
terang benderang, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi Dalam Pengelolaan Harta Wakaf”. Adapun
makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu Najichah, M.H. yang
telah membantu penulis baik secara moral maupun materi. Sehingga, penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita semua. Penulis juga
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis berharap adanya kritik dan saran pembaca demi perbaikan makalah yang telah
penulis buat agar menjadi lebih baik lagi kedepannya.

Semarang, 20 November 2023


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya pemerintah dalam membenahi aturan tentang wakaf, terlihat dengan
fenomena aset wakaf yang belum terdata secara akurat dan menyeluruh, belum dari
nadzir yang tidak professional, dan pengelola aset wakaf serta melaporkan mengenai
pengelolaan harta wakaf ke BWI (Badan Wakaf Indonesia). Atas dasar itulah
pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan
PP Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya, lahirnya Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah ini merupakan bentuk langkah maju dalam pengelolaan harta
wakaf untuk kedepannya. Adapun terkait ketentuan pidana dan sanksi administratif
atas pelanggaran ketentuan pengelolaan harta benda wakaf, Pemerintah telah
menetapkan atau menegaskannya dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf yang terdiri dari 71 Pasal, yang terdapat pada Pasal 67 Bab IX, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. Untuk pembahasan lebih lanjut
mengenai ketentuan pidana dan sanksi administrasi dalam pengelolaan wakaf maka
akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui mengenai pengelolaan harta benda wakaf,
2. Mengetahui ketentuan pidana dalam pengelolaan harta wakaf,
3. Mengetahui sanksi administrasi dalam pengelolaan harta wakaf.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengelolaan Harta Benda Wakaf


Terdapat beberapa ketentuan dalam kewenangan pengelolaan harta benda wakaf
terkait dengan pemahaman kepemilikan wakaf yang dikemukan oleh empat tokoh madzab
fikih. Pertama, Ulama Hanafiyah memandang bahwa benda wakaf adalah milik wakif
sehingga pengelolaannya bererada di bawah kekuasaan atas wakif. Di mana wakif
memiliki wewenang penuh untuk mengelola benda wakaf bahkan boleh mengambil
kembali kapan saja, dan apabila wakif meninggal dunia maka benda wakaf di wariskan
kepada ahli waris. Kedua, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa benda wakaf dimiliki
wakif dan manfaatnya diberikan kepada nadzir. Pemahaman tersebut tidak memberi
keluasan kepada nadzir untuk mengelola wakaf karena status kepemilikan wakaf masih
milik wakif dan mengigat kaidah fikih yang mengharuskan adanya izin dari pemilik suatu
benda ketika seseorang akan mengelola harta wakaf milik orang lain.
Ketiga, Ulama Syafi’iyah memandang bahwa benda wakaf merupakan milik Allah,
bukan milik wakif dan bukan milik mauquf’alaih. Adapun hasilnya (manfaatnya) milik si
penerima wakaf (mauquf’alaih). Keempat, Ulama hanabilah memandang bahwa
kepemilikan wakaf dibagi menjadi dua yaitu wakaf yang diperuntukan untuk umum seperti
masjid, pondok pesentren, madrasah, fuqara dan angkata perang maka wakaf menjadi milik
Allah. Sedangkan jika wakaf ditunjukkan kepada orang tertentu maka benda wakaf
menjadi milik mauquf’alaih (penerima wakaf). Adapun dalam Undang-undang wakaf
Nomor 41 tahun 2004 dan PP Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksaan wakaf memberikan
kewenangan pengelolaan penuh harta benda wakaf kepada nadzir sebagaimana yang telah
disebutkan dalam Undang-Undang bahwa "Nadzir wajib mengelola dan mengembangkan
harta benda wakaf sesuai tujuan, fungsi, dan peruntukannya". Selanjutnya dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 ditegaskan bahwa "Harta benda wakaf harus
didaftarkan atas nama nadzir untuk kepentingan pihak yang dimaksud dalam Akta Ikrar
Wakaf (AIW) sesuai dengan peruntukannya". 1

1
M. Athoillah. Hukum Wakaf. (Bandung : Yrama Widya). 2014. Hlm 205.
Ketentuan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, antara lain: (a)
Mengelola serta mengembangkan harta benda wakaf yang dilakukan nadzir berdasarkan
prinsip syariah; (b) Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf agar menjadi
produktif; (c) Dalam mengembangkan dan mengelola harta benda wakaf sangat diperlukan
penjamin dari lembaga syariah; dan (d) Dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf,
nadzir dilarang merubah peruntukan harta wakaf, tanpa persetujuan tertulis dari Badan
Wakaf Indonesia. Dalam konteks pemanfaatan harta benda wakaf, mayoritas ulama
sepakat bahwa orang yang mempunyai hak untuk memanfaatkan harta wakaf itu untuk
dirinya sendiri adalah hak orang yang menerima wakaf. Namun dia tidak memiliki hak
untuk mengalihkan manfaat itu kepada orang lain dan apabila dia mengalihkan manfaat itu
kepada orang lain dengan jalan meminjamkan atau menyewakan serta sebagian hal lainnya,
maka akadnya dipandang tidak sah, kecuali pihak wakif tadi membolehkan hal itu.
Sedangkan kalau secara adat, orang lain diperbolehkan memanfaatkan harta wakaf itu
sebagai kepentingan masyakat, orang yang selain yang menerimanya juga boleh
memanfaatkannya meskipun dari pihak wakif tadi tidak membolehkannya.
Adapun kemanfaatan benda wakaf menjadi landasan yang sangat relevan dengan
keberadaan benda wakaf itu sendiri. 2 Sedangkan golongan Hanafiah mensyaratkan bahwa
harta yang diwakafkan itu 'ain (zat) nya harus kekal yang memungkinkan dapat
dimanfaatkan secara terus-menerus. Dalam hal salinan akta ikrar wakaf, surat-surat lain
atau bukti-bukti kepemilikan serta dokumen lainnya yang ada kaitannya dengan wakaf.
Bukti pendaftaran harta benda wakaf telah disampaikan oleh PPAIW kepada nadzir. Jika
harta wakaf dapat ditukar atau digantikan namanya, maka nadzir akan melaporkan hal
tersebut kepada instansi yang berwenang dan komisi wakaf Indonesia melalui PPAIW
tentang harta wakaf yang ditukar namanya sesuai dengan aturan yang berlaku selama
proses pendaftran terhadap harta wakaf. Menteri Badan Wakaf Indonesia
mengadminstrasikan pendaftaran harta benda wakaf dan mengumumkan kepada
masyarakat mengenai harta benda wakaf yang telah didaftarkan. Terkait ketentuan pidana
dan sanksi administratif terkait pelanggaran ketentuan pengelolaan harta benda wakaf,

2
Haroen, Nasrun. Fiqih Muamalah. (Jakarta : Gaya Media Pratama). 2007. Hlm 26-27.
Pemerintah telah menetapkan atau menegaskannya dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.

B. Ketentuan Pidana Dalam Pengelolaan Harta Wakaf


Dalam perspektif metodologis, ketentuan sanksi pidana dimaksudkan agar tidak ada
pihak mana pun atau siapa pun yang mendapat amanat untuk mengurus dan mengelola
benda wakaf, baik benda bergerak atau benda tidak bergerak, tetapi mampu menjaga
amanat dengan baik, serta menjaga diri jangan sampai tergoda memanfaatkan harta yang
bukan haknya. Karena hanya akan merubah jalan rezeki yang semula halal menjadi sulit.
Apalagi di tengah upaya dan gerakan Pemberantasan Korupsi di negara Indonesia. Oleh
karena itu, dalam mengelola harta benda wakaf, hendaknya semua pihak berpikiran bersih
dalam mencari rezeki yang halal, supaya kehidupannya diliputi keberkahan dunia dan
akhirat.
Adapun bentuk ikhtiar untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
di dalam pengelolaan benda wakaf, maka dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf
diatur tentang ketentuan pidana. Dalam Pasal 67 ditegaskan :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan,
mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah
diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta
benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00- (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp400.000.000,00- (empat ratus juta
rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00- (tiga ratus juta
rupiah).3

C. Sanksi Administrasi Dalam Pengelolaan Harta Wakaf


Selain ketentuan pidana tersebut, UU tentang Wakaf juga mengatur tentang sanksi
administratif. Ini dimaksudkan agar para pengelola di dalam menjalankan amanatnya,
semaksimal mungkin melaksanakan tertib hukum, tertib administrasi, tertib pengelolaan,
dan tertib pertanggungjawaban dan pelaporan.
Adapun ketentuan mengenai sanksi administratif diatur dalam UU Nomor 41
Tahun 2004 Pasal 68 yang berbunyi:
1. Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya
harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syari’ah dan PPAIW sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 32;
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Peringatan tertulis
b. Penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi
lembaga keuangan syariah
c. Penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan atau penghentian
dari jabatan PPAIW
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah 4
Dalam PP Nomor 42 tahun 2006 soal sanksi administratif ini lebih spesifik terkait
dengan soal wakaf uang, diatur dalam Pasal 57 sebagai berikut:
1. Menteri dapat memberikan peringatan tertulis kepada LKS-PWU yang tidak
menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 25;
2. Peringatan tertulis paling banyak diberikan 3 (tiga) kali kejadian yang berbeda

3
Badan Wakaf Indonesia. "Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf".
4
Achmad Arief Budiman, Hukum Wakaf Administrasi, Pengelolaan dan Pengembangan, (Semarang: Karya Abadi
Jaya, 2015), hlm. 182.
3. Penghentian sementara atau pencabutan izin sebagai LKS-PWU dapat dilakukan
setelah LKS-PWU dimaksud telah menerima 3 (tiga) kali surat peringatan tertulis;
4. Penghentian sementara atau pencabutan izin sebagai LKS-PWU dapat dilakukan
setelah mendengar pembelaan dari LKS-PWU dimaksud atau rekomendasi dari
instansi terkait.5

5
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 460.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Beberapa ketentuan dalam kewenangan pengelolaan harta benda wakaf terkait dengan
pemahaman kepemilikan wakaf yang dikemukan oleh empat tokoh madzab fikih. Pertama,
Ulama Hanafiyah memandang bahwa benda wakaf adalah milik wakif sehingga
pengelolaannya bererada di bawah kekuasaan atas wakif. Di mana wakif memiliki
wewenang penuh untuk mengelola benda wakaf bahkan boleh mengambil kembali kapan
saja, dan apabila wakif meninggal dunia maka benda wakaf di wariskan kepada ahli waris.
Kedua, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa benda wakaf dimiliki wakif dan manfaatnya
diberikan kepada nadzir. Pemahaman tersebut tidak memberi keluasan kepada nadzir untuk
mengelola wakaf karena status kepemilikan wakaf masih milik wakif dan mengigat kaidah
fikih yang mengharuskan adanya izin dari pemilik suatu benda ketika seseorang akan
mengelola harta wakaf milik orang lain.
Dalam perspektif metodologis, ketentuan sanksi pidana dimaksudkan agar tidak ada
pihak mana pun atau siapa pun yang mendapat amanat untuk mengurus dan mengelola
benda wakaf, baik benda bergerak atau benda tidak bergerak, tetapi mampu menjaga
amanat dengan baik, serta menjaga diri jangan sampai tergoda memanfaatkan harta yang
bukan haknya. Karena hanya akan merubah jalan rezeki yang semula halal menjadi sulit.
Apalagi di tengah upaya dan gerakan Pemberantasan Korupsi di negara Indonesia. Oleh
karena itu, dalam mengelola harta benda wakaf, hendaknya semua pihak berpikiran bersih
dalam mencari rezeki yang halal, supaya kehidupannya diliputi keberkahan dunia dan
akhirat.
Selain ketentuan pidana tersebut, UU tentang Wakaf juga mengatur tentang sanksi
administratif. Ini dimaksudkan agar para pengelola di dalam menjalankan amanatnya,
semaksimal mungkin melaksanakan tertib hukum, tertib administrasi, tertib pengelolaan,
dan tertib pertanggungjawaban dan pelaporan.
DAFTAR PUSTAKA

Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. (Depok : Rajawali Pers). 2021.
Mujahidin, Ahmad. Hukum Wakaf Di Indonesia. (Jakarta : Kencana). 2021.
M. Athoillah. Hukum Wakaf. (Bandung : Yrama Widya). 2014.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2013)
Budiman, Achmad Arief, Hukum Wakaf Administrasi, Pengelolaan dan Pengembangan,
(Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015)

Anda mungkin juga menyukai