Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“QAWAID FIQHIYYAH FIL ISTISHAD”

DI SUSUN OLEH
Kelompok 5 :
1.Nurfadillah 2220203861206074
2.Helmi oktaviani 2220203861206067
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu pertama tama kami panjatkan puja &


puji syukur atas rahmat dan ridho allah SWT. Karena tanpa rahmat dan ridhonya . kita
tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu .

Tak lupa ucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Andi Bahri S,M.E. selaku dosen
pengampu Qawaid Fiqhiyyah Fil istishad yang membimbing kami dalam pengerjaan
tugas makalah ini .

Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang pengertian dharurat,dasar hukum dharurat,
kaidah tentang dharurat dan kedudukan dhururiyah beserta kaidah cabang dharurat
mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui
kami mengharapkan kritik atau saran dari teman teman .

1
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR...................................................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................2
BAB 1............................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.........................................................................................................................................3
1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................................................3
1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................................................................4
1.3 TUJUAN..............................................................................................................................................4
BAB II............................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN............................................................................................................................................5
A.Pengertian dharurat................................................................................................................................5
B.Dasar Hukum Kaidah Tentang Dharurat................................................................................................6
C.Makna Kaidah Tentang Dharurat...........................................................................................................8
D. Kedudukan Dharuriyah.......................................................................................................................10
E. Kaidah kaidah Cabang Dharurat.........................................................................................................10
F. Teks Kaidah tentang Dharurat.............................................................................................................10
BAB III........................................................................................................................................................12
PENUTUP....................................................................................................................................................16
A.Kesimpulan..........................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................17

2
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pemahaman terhadap ayat-ayat al Qur’an, melalui penafsiran-penafsirannya,


mempunyai peranan yang besar bagi maju mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-
penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka. Dalil-
dalil al Qur’an mencakup berbagai masalah bahkan sampai kepada persoalan yang
sekecil-kecilnya dan mengandung pelbagai rahasia. Semua ini, tidak mungkin ditangkap
secara sama oleh semua orang. Maka, muncul keperluan untuk menafsirkannya
Kemunculan hukum-hukum Islam itu, hakikatnya adalah dimaksudkan untuk
menjaga kemuliaan manusia dan memelihara kepentingannya, baik yang bersifat khusus
maupun umum. Syariat-syariat langit menentukan ada lima kebutuhan yang berisikan:
menjaga kehidupan manusia dengan mengharamkan membunuhnya, menjaga
kehormatannya, menjaga akalnya, menjaga hartanya, dan menjaga agamanya. Hal ini,
seperti dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn ‘Abd al Salam, bahwa tujuan syariah itu adalah
untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan

3
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.Pengertian Dharurat?

2 Dasar Hukum Kaidah Tentang Dharurat?

3. Makna Kaidah Tentang dharurat dan Teks Kaidah Tentang Dharurat?

4. Kedudukan Dhururiyah?

5. Kaidah kaidah Cabang Dharurat?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui Pengertian Dharurat

2. Untuk mengetahui Dasar Hukum Kaidah Tentang Dharurat


3. Untuk mengetahui Makna Kaidah Tentang dharurat dan Teks Kaidah Tentang
Dharurat
4. Untuk mengetahui Kedudukan Dhururiyah
5. Untuk mengetahui Kaidah kaidah Cabang Dharurat

BAB II

4
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN DHARURAT
Dharurat berasal dari bahasa arab yang merupakan pecahan dari kata ‫ الَّضَر ُر‬yang
berarti al-syiddat/ ‫ الِّشَّدة‬dan al-masyaqqat/ ‫ َاْلَم َش َّقة‬, yaitu kondisi sulit yang mengharuskan
seseorang untuk melakukan sesuatu yang semestinya tidak boleh dilakukan pada kondisi
normal

Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya
adalah:
1. Darurat ialah posisi seseorang pada suatu batas jika tidak ingin melanggar sesuatu yang
dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Posisi seperti ini memperbolehkan ia
melanggarkan sesuatu yang diharamkan.
2. Abu Bakar al Jasas, "Makna darurat disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya
yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan.
3. Menurut al Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat.
4. Imam al Jurjani mendefinisikannya dengan: ‫النازل مما ال مدفع له‬
(bencana/musibah yang tidak bisa ditahan dan tolak).
5. Menurut sebagian ulama dari Mazhab Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan diri
dari dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
6. Menurut al Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas jika ia tidak
mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
7. Darurat adalah menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat darurat sekali,
maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.

Dengan demikian, darurat adalah kondisi terpaksa untuk melakukan perbuatan


yang dilarang atau meninggalkan tuntutan/kewajiban. Jika tidak melakukan yang
dilarang, maka akan celaka/binasa, atau badannya, atau hartanya, atau kehormatannya
akan terkena mudarat.

B. DASAR HUKUM KAIDAH TENTANG DHARURAT

Syariat menjadikan kondisi darurat sebagai pengecualian untuk


mengangkat/menghapus hukum asal taklifi yang berkaitan dengan tuntutan dan larangan.
Dalil dari al kitab dan al sunnah yang menunjukkan disyariatkannya beramal dengan
hukum-hukum pengecualian ketika dalam keadaan darurat dan dikuatkan hal tersebut
dengan dengan dua prinsip yaitu, kemudahan dan menghilangkan kesusahan dan
kesulitan, yang keduanya merupakan dua asas dalam agama Islam dan syariatnya

5
Pertama, dalil-dalil yang bersumber dari al Qur’an. Darurat dijelaskan dalam al
Qur’an pada lima tempat, yaitu dalam:
1. QS al Baqarah/2: 173:

Terjemahnya:
Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi,
dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa terpaksa menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang

2. QS al An’am/6: 145:

Terjemahnya:
Katakanlah, tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena semua itu kotor
atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa
terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka
sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.

3. QS al ‘An’am/6: 119:

Terjemahnya:
Dan mengapa kamu tidak mau memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika
disembelih) disebut nama Allah, padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa
yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa. Dan

6
sungguh, banyak yang menyesatkan orang dengan keinginannya tanpa dasar
pengetahuan. Tuhanmu lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.

4. QS al Maidah/5: 3:

Terjemahnya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging)
hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu
suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir tela putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu untukmu, dan
telah aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku rida Islam sebagai
agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat
dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

5. QS al Nahl/16: 115:

Terjemahnya:

7
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging
babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi
barangsiapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.

C. MAKNA KAIDAH TENTANG DHARURAT DAN TEKS KIADAH TENTANG


DHARURAT

Maksud umum dari hukum syara’ adalah tercapainya kemaslahatan manusia,


dengan membawa manfaat bagi manusia dan menghilangkan mudarat bagi manusia.
Kemaslahatan manusia berbolak balik di antara
‫( ضرورية‬primer), ‫( حاجية‬sekunder), ‫( تحسينية‬luks). Dibangun atas kaidah ini, prinsip-prinsip
syariat secara khusus pada dua urusan:
1. ‫( دفع الضرر‬menolak kerusakan)
2. ‫( رفع الحرج‬menghilangkan kesulitan)

Pertama, ‫ دفع الضرر‬. Kaidah dari prinsip menolak mudarat pada hakikatnya adalah
dari hadis Nabi saw. yang sahih yaitu, ‫ال ضرر وال ضرار‬
(tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan membahayakan
orang lain). Dan yang termasuk kaidah furu’ dari kaidah tersebut adalah:
a. ‫ان‬gg‫در اْلمك‬gg‫دفع بق‬gg‫رر ي‬gg‫( الض‬mudarat itu ditolak sebelum terjadi dengan segala cara yang
memungkinkan).
b. ‫( الضرر ال يزال بمثله‬mudarat tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan kerusakan
yang sama).
c. ‫ف‬g‫رر اْلخ‬gg‫زال بالض‬g‫د ي‬gg‫رر اْلش‬gg‫( الض‬mudarat yang berat dihilangkan dengan mendatangkan
kerusakan yang lebih ringan).
d. ‫ام‬gg‫رر ع‬gg‫دفع ض‬gg‫اص ل‬gg‫رر الخ‬gg‫ل الض‬gg‫( يتحم‬kemudaratan yang khusus dibawa untuk menolak
kemudaratan yang umum).
e. ‫( درء المفاسد أولى من جلب المنافع‬menolak mudarat itu lebih utama daripada mendatangkan
kemanfaatan).
f. ‫ورات‬gg‫بيح المحظ‬gg‫رورات ت‬gg‫( الض‬dalam keadaan gawat darurat, diperbolehkan melakukan
perkara diharamkan).
g. ‫( الضرورات تقدر بقدرها‬keadaan darurat itu ditentukan dengan kadarnya).
h. ‫( اْلضُطرار ال يبُطل حق الغير‬keterpaksaan itu tidak boleh membatalkan hak orang lain).
Kedua, sedangkan yang termasuk qa’idah furu’ ‫رفع الحرج‬
(menghilangkan kesulitan) adalah:
a. ‫( المَش قة تجلب التيسر‬kesulitan membawa pada keringanan).
b. ‫( الحرج مرفوع شرعا‬kesulitan itu dihilangkan secara syariat).
c. ‫ة‬g‫انت أو خاص‬gg‫ة ك‬gg‫( الحاجة تنزل منزل الضرورة عام‬hajat itu dapat menduduki tempat mudarat
baik keadaannya umum atau khusus).

8
D. KEDUDUKAN DHARURYAH
Yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang terkandung dalam syariat untuk menjaga
lima tujuan dasar; yaitu, menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.73
Kemaslahatan ini dapat terlihat baik dalam teks nash maupun melalui penalaran.
Allah swt berfirman;

Artinya :
Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan
kepadamu, jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada
ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang
member rizki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan
yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu
membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.
Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. * Dan janganlah
kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,
sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut
kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia
kerabat (mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan
kepadamu agar kamu ingat. * dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus maka
ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan jalan (yang lain) yang akan mencerai beraikan
kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu
bertakwa. (al-An’am: 151-153)

Ayat ini memuat lima hal yang menjadi perhatian mendasar bagi syari’at Islam.
Kata ‫ َأاَّل ُتْش ِرُك وا ِبِه َشْیًئا‬menyatakan larangan untuk mensekutukan Allah yang berarti syariat
Islam menjaga nilai keagamaan seorang muslim, karena kesyirikan mengeluarkan
seorang muslim dari agamanya. Adapun kata ‫ َو اَل َتْقُتُل وا َأْو اَل َد ُك ْم ِم ْن ِإْم اَل ٍق‬sebagai landasan

9
bahwa selain agama syari’at islam juga memberikan perhatian untuk menjaga
keselamatan jiwa seseorang. Setelah itu kata ‫ َو اَل َتْقَر ُبوا اْلَفَو اِحَش َم ا َظَهَر ِم ْنَها َو َم ا َب َط ن‬adalah
bentuk gambaran kepedulian syari’at Islam dalam menjaga manusia agar tidak terjerumus
kepada perzinahan yang dapat menyebabkan rusaknya keturunan seseorang, dan kata ‫َو اَل‬
‫ َتْقَر ُب وا َم اَل اْلَیِتیِم ِإاَّل ِب اَّلِتي ِهَي َأْح َس ُن َح َّتى َیْبُل َغ َأُش َّد ه‬membuktikan bahwa islam juga menjaga
keamanan harta seseorang dari segala bentuk gangguan. Adapun dalam menjaga akal
terdapat kata ‫ َلَع َّلُك ْم َتْع ِقُلو ن‬yang berarti bahwa syari’at-syari’at islam menjaga kejernihan
aka manusia.
Selain ayat di atas masih terdapat banyak ayat dan hadis yang menyatakan
larangan membunuh, berzina, syirik dan lain-lain yang mendukung keberadaan maslahat
dharuriyat ini :
1) Memelihara agama
Tujauan dari pemeliharaan agama sebagai wujud penyerahan diri ke dalam
agama Allah dan syari’at yang terdapat dalam agama tersebut berdasarkan
wahyu yang diturunkan melalui Rasul-Nya SAW yang mengandung nilai
keimanan, etauhidan dan seluruh aspek syari’at lainnya
Keberadaan syari’at untuk memelihara kemaslahatan agama ini
terlihat dalam banyak ayat, firman Allah swt;

Artinya :
Dan barang siapa mencari agama selain Islam, maka dia tidak akan
diterima, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Q. S. Ali
Imran:85)
2) Memelihara jiwa
Memelihara jiwa yang dimaksud adalah memelihara semua hak jiwa untuk
hidup, selamat, sehat, terhormat dan hak-hak lain yang berkaitan dengan
diri, Allah SWT berfirman;

Artinya :
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami
angkut mereka di darat dan di laut, dan kami beri mereka rezeki dari yang

10
baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (al-Isra’: 70)
3) Memelihara akal
Memelihara akal merupakan salah satu tujuan dari syari’at islam,
sehingga keberadaannya menjadi syarat taklif dalam menjalankan agama
ini Upaya pemeliharan akal ini terlihat dari kewajiban untuk menuntut ilmu
yang merupakan modal paling utama dalam memelihara kesehatan akal,
selain itu,islam juga melarang untuk meminum khamar yang berpotensi
merusak akal
4) Memelihara keturunan
Memelihara keturunan merupakan bagian dari tujuan dasar syari’at
islam, dengan menjaga garis keturunan (reproduksi) yang sesuai dengan
garis syariat islam, yaitu dengan adanya aturan pernikahan yang menata
ubungan suami istri yang sah secara syar’iy.
5) Memelihara harta
Memelihara harta yang dimaksud adalah terperliharanya hak-hak
seseorang dalam hartanya dari berbagai bentuk penzaliman, Allah
berfirman;

Artinya :
Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan
jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada
para hakim, dengan maksud agar kamu memakan sebagian harta orang lain
itu dengan jalan dosa, pada kamu mengetahui. (al-Baqarah: 188).

E. KAIDAH KAIDAH CABANG DHARURAT


Mengkategorikan dharurat dalam satu perkara tidak dapat dilakukan berdasarkan
perasaan manusia, kategori tersebut harus berdasarkan beberapa syarat ketentuan sebagai
berikut :
a) Ancaman pada batas maksimal
Dharurat adalah kondisi buruk yang mengancam keselamatan agama, diri, jiwa,
harta, keturunan dan akal manusia, dan kondisi buruk yang dikategorikan sebagai
dharurat dalah kondisi maksimal, adapun hanya sebatas kebutuhan atau untuk
memperindah tidak dikategorikan dengan dharurat.
Maka dalam mengukur dharurat para ulama berpendapat bahwa batasannya
adalah ketika seseorang harus melakukan sesuatu yang diharamkan atau dilarang
sebagai solusi kondisi dharurat yang dihadapinya

11
b) Bersifat nyata bukan spekulatif apalagi imajinatif.
Maksud benar-benar terjadi dalam kondisi dharurat di sini, bahwa
kekawatiran akan terjadinya bahaya pada agama, diri, harta, keturunan dan akal
benar-benar diyakini akan terjadi, atau paling tidak besar sangkaan dan
bukansekedar sangkaan saja. Seseorang yang dalam keadaan dharurat karena
lapar, maka tidak boleh makan sesuatu yang diharamkan kecuali lapar tersebut
benarbenar terjadi, adapun hanya sekedar kekawatiran yang belum terjadi maka
tidak diketegorikan sebagai dharura,
Kepastian akan adanya kondisi dharurat merupakan syarat yang paling
asasi untuk untuk lahirnya rukhshat (keringanan), karena tingkatan kebutuhan
manusia terhadap sesuatu tidak selamanya dikategorikan sebagai dharuriyat
c) Kondisi dharurat terjadi bukan karena keinginan
Kondisi dharurat adalah terjadi diluar keinginan, dalam artian bahwa tidak
ada kesengajaan yang menyebabkan lahirnya dharurat tersebut dan kemudian
menjadikannya alasan untuk melakukan sesuatu yang dilarang, sama halnya
apabila seseorang pergi untuk melakukan kemaksiatan, kemudian hal buruk
menimpanya dijalan sehingga ia berada dalam kondisi dharurat,
Orang yang menempuh sebuah perjalanan jauh hingga sampai batas
dibolehkan untuk mengqashar shalat, namun perjalanan tersebut adalah perjalanan
untuk melakukan masksiat, maka ia tidak mendapatkan keringanan, meskipun
kondisi dharurat menimpanya.
Keringanan untuk melakukan sesuatu yang dilarang merupakan bantuan
dan kemudahan dari Allah untuk hambanya, sedangkan hamba yang durhaka dan
berbuat maksiat tidak berhak untuk mendapatkan kemudahan. Seandainya ia ingin
mendapatkan keringanan tersebut maka ia harus terlebih dahulu bertaubat, karena
syarat untuk melakukan hal yang dilarang itu adalah ‫ ّغ ْیَر َباٍغ َو َال َعاٍد‬yang berarti
bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas. Terjebak dalam
kondisi dharurat karena berbuat maksiat adalah kesengajaan, sedangkan makna
dari batas yang tidak boleh dilampaui adalah batas kebolehan.

12
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan
Hakikat darurat: adalah kondisi terpaksa untuk melakukan perbuatan yang dilarang
atau meninggalkan tuntutan/kewajiban, jika tidak melakukan yang dilarang ia akan
celaka/binasa, atau badannya, hartanya atau kehormatannya akan terkena mudarat.
Batasan darurat: menurut imam al Suyuti dan sebagaimana disebutkan dalam
catatan pinggir kitab al Muqni', sesungguhnya darurat itu hanya yang berkait dengan
kekhawatiran terhadap kematian saja. Sedang menurut Wahbah al Zuhaili: a) Hendaknya
darurat itu ada/nyata bukan seuatu yang dinanti, spekulatif, dan imajinatif; b) Tidak ada
cara lain (yang dibolehkan secara syar’i) untuk menolak bahaya kecuali menggunakan
sesuatu yang diharamkan; c) terpenuhi ‘uzur yang membolehkan melakukan sesuatu yang
diharamkan; d) Tdk menyalahi prinsip-prinsip Islam. Maka tidak dibolehkan berzina,
membunuh, kafir, dan mengambil secara paksa (kehormatan atau harta) apapun
situasinya; e) Keringanan melakukan sesuatu yang diharamkan hanya sampai kepada
kemampuan untuk bertahan; f) Bertanya kepada ahli yang adil, dipercaya agama, dan
ilmunya jika terpaksa harus melakukan pengobatan yang tidak ditemukan obat yang halal
kecuali yang diharamkan dalam agama.

13
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an al Karim. Departemen Agama RI
Kementerian Agama RI, Op. Cit., hlm. 394.
Kementerian Agama RI, Op. Cit., hlm. 199-200.
Ahmad Kafi, al-hajat al-Syar’iyyat, Hududuha Wa Qawa’iduha, (Beirut: Dar al-Kutb
al-‘Ilmiyyat, 2004 M/ 1424 H), hlm: 36-44.
A. Djazuli, Fiqh Siyasah. Cet. II; Jakarta: Prenada Media, 2003 M.
Al Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah. Nail al Autar,
Muhaqqiq ‘Isamuddin al Sababiti. Misr: Dar al Hadis\, 1993 M.
zz al-Din Abd al-Salam, al-Qawa’di al-Kubra, Tahqiq: Nuzaih Kamal Hamad,
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1421 H/ 2000 M), jld. II, hlm. 8.
Mahmud Muhammad Abd al-Aziz al-Zainy, Op. Cit., hlm. 101
Al-Zarqaniy, Mukhtashar Khalil, (Mesir: al-Bahiyyat, 1317 H), jld. 3, hlm. 59.
Mahmud Muhammad Abd al-Aziz al-Zainy, Op. Cit., hlm. 101.
Usamah Muhammad Muhammad al-Shallabiy, Op. Cit., hlm. 127
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011), cet. 6,
hlm: 222.
Mujamma’ al-Lughat al-Arabiyyat, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabat al-Syuruq
al-Dawliyyat, 2004 M/ 1425 H), Cet. 4, Hlm: 538. Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Cairo:
Dar al-Ma’arif), hlm. 2574.
Yusuf Hamid al-Alim, al-Maqashid al-‘Ammat Li al-Syari’at al-Islamiyyat, (Riyad: al-
Dar al-‘Alamiyyat Li al-Kitab al-Islamiy, 1415 H/ 1994 M), cet. Ke 2, hlm. 205. 78
Kementerian Agama RI, Op. Cit., hlm. 76.
Al-Syairaziy, al-Qamus al-Muhith, (Mesir: al-Hai’at al-Mishriyyat al-‘Ammat Li al-
Kitab, 1400 H/ 1980 M), jld. 4, hlm. 221.

14

Anda mungkin juga menyukai