Anda di halaman 1dari 6

Konflik Geopolitik Meresahkan Semua

Warga Dunia
Terbatasnya kepemilikan sumber daya energi fosil membuat komoditas ini rentan terimbas
berbagai peristiwa geopolitik dunia.
Audio Berita
9 menit
Oleh
Budiawan Sidik A
1 Februari 2023 06:30 WIB·5 menit baca
TEKS

AP PHOTO/LIBKOS

Tentara Ukraina menembakkan mortar derek senapan MO-120-RT-61 120 mm Perancis ke


posisi Rusia di garis depan dekat Bakhmut, wilayah Donetsk, Ukraina, Selasa, 6 Desember
2022. (Foto AP/LIBKOS)

Dalam sejarah peradaban dunia, konflik geopolitik memiliki dampak negatif bagi masyarakat
global. Konflik yang bermula dari perseteruan segelintir negara atau kawasan, nyatanya juga
meresahkan seluruh warga dunia. Berkali-kali konflik terjadi dan memicu lonjakan harga
energi yang mendorong lonjakan inflasi di seantero dunia.

Energi menjadi salah satu komoditas yang sangat rentan terimbas berbagai gejolak sosial dan
politik global. Selain karena tingginya ketergantungan terhadap energi fosil, fenomena ini
juga karena keterbatasan sumber daya energi yang tersedia. Komoditas energi fosil secara
masif hanya terkumpul di sejumlah negara tertentu.
Hal ini mendorong suatu negara menjadi memiliki kekuatan absolut dibandingkan negara lain
yang tidak memiliki sumber daya energi. Kekuatan absolut ini dalam skala makro dapat
menjadi kekuatan geopolitik yang mampu menjadi daya tawar negara bersangkutan dengan
negara lainnya untuk berbagai kepentingan.

Secara umum, geopolitik itu merujuk pada hubungan antara politik dan sejumlah fenomena
yang terjadi di suatu teritorial wilayah, baik skala lokal maupun internasional. Dalam konteks
energi, negara yang memiliki sumber daya energi fosil yang besar sangat potensial
memengaruhi situasi di negara sekitarnya dan bahkan dunia secara luas. Bahkan, konflik
politik yang terjadi di internal negara itu pun dapat berdampak pada negara lainnya.

Ada sejumlah konflik geopolitik yang berimbas pada perekonomian global karena
mendorong tingginya lonjakan harga energi dunia. Berdasarkan data Bp Statistical Review of
World Energy 2022, setidaknya ada tiga peristiwa geopolitik pascatahun 1900 yang
berdampak pada tingginya harga minyak dunia. Pertama, perang Yom Kippur tahun 1973
yang melibatkan Mesir dan Suriah melawan Israel.

Dalam perang itu, negara-negara pengekspor minyak bumi yang tergabung dalam Organisasi
Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memotong produksi minyak dan melakukan
embargo terhadap beberapa negara pendukung Israel. Akibat kebijakan itu, harga minyak
global meroket dari yang sebelumnya kurang dari 5 dollar AS per barel menjadi lebih dari 10
dollar AS per barel.

Negara-negara importir minyak dunia yang tidak terlibat konflik itu turut merasakan dampak
kebijakan geopolitik negara-negara OPEC. Salah satu efek instannya adalah terjadi lonjakan
inflasi yang mengancam pertumbuhan ekonomi seluruh negara di dunia.

Peristiwa geopolitik berikutnya yang berdampak terhadap situasi perekonomian global


adalah revolusi Iran. Gerakan internal di dalam negeri Iran yang berupaya mengubah sistem
monarki menjadi Republik Islam itu memicu sejumlah pergolakan politik dan konflik
horizontal. Konflik geopolitik dalam negeri Iran yang bermula sekitar tahun 1978 itu turut
berimbas pada melonjaknya harga minyak dunia.

Sejumlah negara di kawasan Timur Tengah sebagai produsen minyak bumi terbesar di dunia
turut terbelah dalam revolusi Iran ini. Ada yang mendukung revolusi, tetapi ada juga yang
tetap mempertahankan model konservatif kerajaan. Konflik ini akhirnya mendorong
munculnya organisasi Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yang terdiri dari Oman, Bahrain,
UEA, Qatar, Arab Saudi, dan Kuwait.

Pembentukan GCC pada tahun 1981 ini merupakan upaya untuk membendung meluasnya
pengaruh revolusi Iran. Revolusi Iran dan ketegangan di kawasan Timur Tengah itu turut
berdampak pada melonjaknya harga minyak dunia dari sebelumnya sekitar 15 dollar AS per
barel menjadi sekitar 38 dollar AS per barel.

Baca juga: Energi, Kekuatan Politik Internasional Rusia


Konflik geopolitik lainnya yang juga mendorong lonjakan harga minyak bumi adalah
Revolusi Musim Semi Arab atau Arab Spring. Peristiwa yang dimulai tahun 2011 itu menjadi
semacam transisi, di mana masyarakat negara-negara Arab menuntut perbaikan taraf hidup,
pemberantasan korupsi, dan perubahan struktur politik yang jauh lebih demokratis.

Muncul sejumlah gerakan di beberapa negara di sekitar kawasan Timur Tengah dan Afrika
Utara, seperti Tunisia, Mesir, Aljazair, Jordania, Irak, dan Suriah yang berupaya melakukan
reformasi pada pemerintahan yang memimpin. Kondisi ini menimbulkan sejumlah
pertentangan dan dukungan di kawasan tersebut.

Sama seperti konflik-konflik sebelumnya, kemelut di kawasan penghasil minyak terbesar itu
segera memicu kenaikan harga minyak. Kala itu harga minyak meroket hingga hampir
mencapai 130 dollar AS per barel atau tertinggi sepanjang sejarah dunia. Kenaikan harga ini
membuat sejumlah negara di dunia berada dalam bayang-bayang resesi ekonomi, terutama
bagi negara-negara importir energi skala besar.

Konflik ”dorman”

Ibarat penyakit, konflik geopolitik itu dapat kambuh dan hadir kembali secara tiba-tiba
karena pertentangan kepentingan politik suatu negara. Setelah ”dorman” sekitar satu dekade
pasca-peristiwa Musim Semi Arab, kini konflik geopolitik muncul kembali.

Perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada Februari 2022 telah membawa berbagai efek
negatif bagi warga dunia. Apalagi, konflik itu menyeret keberpihakan NATO atau negara-
negara sekutu kuat Amerika Serikat untuk mendukung Ukraina dalam melawan Rusia.
Berbagai kebijakan dikeluarkan Sekutu untuk meredam kekuatan aksi militer Rusia, mulai
dari embargo ekonomi, pembatasan impor energi, hingga menarik atau menghentikan
sejumlah industri negara-negara Sekutu yang beroperasi di Rusia.

Rusia sebagai salah satu produsen energi terbesar di dunia tak kalah cerdik dengan
memainkan strategi politik energinya hingga memberikan efek yang berat bagi negara-negara
anggota NATO. Apalagi sebagian negara maju di Eropa selama ini mendapatkan suplai gas
alam (LNG) dari Rusia. Belgia, Perancis, Spanyol, Inggris, dan negara Eropa lainnya
mendapat suplai gas alam dari Rusia sekitar 17,4 miliar kubik meter per tahun.
Ketergantungan energi ini dimanfaatkan Rusia sebagai ruang berdiplomasi. Hanya saja, ruang
perundingan masih menemui jalan buntu hingga kini.

Baca juga: Embargo Minyak Rusia Mengancam Ketahanan Energi Eropa


AFP/ATTILA KISBENEDEK

Seorang aktivis jaringan kampanye global independen Greenpeace memegang spanduk


bertuliskan 'Berdiri untuk perdamaian bukan untuk minyak' di depan gedung parlemen di
Budapest, Hongaria pada 30 Mei 2022, untuk menuntut pemerintah Hongaria agar tidak
menentang sanksi Uni Eropa terhadap minyak Rusia . - Dengan para pemimpin UE yang
akan bertemu pada 30 Mei untuk mencoba menyegel paket sanksi Rusia keenam yang
mencakup embargo minyak, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban telah menunjukkan
pembangkangan terbarunya. Paket yang diusulkan awal bulan ini oleh Komisi Eropa, badan
eksekutif blok tersebut, membutuhkan dukungan bulat dari semua 27 negara anggota UE.
Tapi Orban yang agresif, yang terpilih untuk masa jabatan keempat berturut-turut bulan lalu,
menggambarkan embargo sebagai "garis merah" dan "bom atom" yang akan menghancurkan
ekonomi negara Eropa tengah itu. Budapest - yang di bawah Orban mencari hubungan dekat
dengan Moskow sampai invasi ke Ukraina - menegaskan larangan akan memicu resesi,
kelangkaan dan meroketnya harga, dan merusak keamanan energi Hungaria. (Foto oleh
ATTILA KISBENEDEK/AFP)

Meski sejumlah embargo ekonomi dan energi diterapkan secara ketat, tidak menyurutkan
langkah Rusia dalam menginvasi Ukraina. Pasokan energi yang berlimpah yang tidak
terserap pasar Eropa pun dialihkan oleh Rusia dan dijual dengan harga di bawah harga
pasaran dunia. Cara ini untuk mengoptimalkan produksi energi dalam negeri Rusia sekaligus
untuk mendorong stabilisasi pasar energi global.

Akibat terberat dari konflik Rusia-Ukraina adalah lonjakan harga minyak hingga di atas 120
dollar AS per barel pada Maret 2022 lalu. Tingginya harga minyak ini turut mendorong
lonjakan harga pangan global karena biaya pengangkutan menjadi kian mahal.
Negara-negara berkembang kelas ekonomi bawah dan masyarakat berpenghasilan rendah
sangat terdampak kenaikan harga energi ini. Pemerintah di sejumlah negara lalu
mengalokasikan anggaran subsidi energi yang lebih besar untuk menjaga daya beli
masyarakat dan stabilitas ekonomi.

Kini, berbagai upaya untuk menjaga stabilitas pasokan energi dunia terus dilakukan. Salah
satunya meminta negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC untuk
meningkatkan pasokan minyak ke pasar global. Dengan demikian, ketimpangan pasokan
akibat pembatasan suplai dari Rusia ke sejumlah negara Eropa dapat diatasi dari negara
produsen lainnya.

Meski belum terlalu besar, lambat laun harga minyak dunia terus turun. Pada 31 Januari
2023, harga minyak bumi jenis WTI sudah turun menjadi sekitar 77 dollar AS per barel,
sedikit lebih rendah dibandingkan harga tertinggi selama Januari 2023 yang berkisar 81 dollar
AS. Apabila perang Rusia-Ukraina kian terkendali, tidak mustahil harga energi dunia akan
terus turun.

Oleh karena itu, upaya menciptakan perdamaian antara Rusia dan Ukraina harus terus
dilakukan karena konflik itu berdampak negatif dalam jangka waktu lama. Dalam peristiwa
Yom Kippur, Revolusi Iran, dan Arab Spring, harga energi butuh waktu hingga lebih dari
lima tahun untuk kembali mendekati posisi seperti sebelum konflik itu terjadi.

Tanpa terciptanya perdamaian, niscaya perekonomian global akan terus bergejolak. Jadi,
perdamaian adalah solusi terbaik yang harus diwujudkan sesegera mungkin.
(LITBANG KOMPAS)

Anda mungkin juga menyukai