3. Krisis keuangan
Melonjaknya harga energi dan pangan nyatanya telah memicu krisis keuangan di
berbagai negara dunia. Salah satunya adalah Sri Lanka, yang harus 'bangkrut' karena tak
memiliki devisa yang cukup untuk mengekspor dua komoditas penting ini.
Di dalam situasi yang tergenang tumpukan utang setelah pandemi Covid-19, Kolombo hanya
memiliki cadangan devisa senilai US$ 1,94 miliar (Rp 28 triliun) sementara kebutuhan impor
negara itu mencapai US$ 4 miliar.
Ini kemudian memicu inflasi yang tinggi di Negeri Ceylon. Data pada akhir April lalu
menunjukkan harga-harga barang di ibu kota Kolombo naik hingga 30%. Pada Juli, pemerintah
menyebut inflasi telah menembus angka 54,6%.
Tak hanya di Sri Lanka, Eropa juga mengalami inflasi yang mengganas akibat krisis pangan dan
energi. Di Inggris, inflasi menyentuh hingga 11% pada Oktober lalu.
4. Krisis Cip
Dunia juga terancam krisis chip. Pasalnya Moskow memutuskan untuk membatasi
ekspor gas mulia yang merupakan bahan yang cukup penting dalam pembuatan chip.
"Rusia membatasi ekspor gas mulia seperti neon, bahan utama untuk membuat cip, hingga akhir
2022 untuk memperkuat posisi pasarnya," kata kementerian perdagangannya.
Wacana pembatasan ekspor ini sendiri sebelumnya telah digulirkan pada akhir Mei lalu. Saat
ini, Moskow menyumbang 30% dari pasokan global gas mulia. Salah satu tujuan ekspor Rusia
untuk bahan itu adalah Jepang.
Hal tersebut menyebabkan hancurnya harga pasar bahan pokok, gas dan lain
sebagainya serta terbatasnya sumber daya yang dibutuhkan untuk di ekspor ke berbagai negara.
Hal tersebut berdampak pada pertumbuhan ekonomi dari negara yang terkena dampak
kesulitan sumber daya dan bahan pokok yang sudah dijelaskan.
Seperti yang dilansir pada CNBC yang dimuat pada 14 April 2022, yang menyebutkan dampak-
dampak peperangan Rusia-Ukraina tidak hanya sampai ke bahan ekspor pokok, tetapi juga
memekan korban milyaran jiwa.
Belum lagi beberapa belahan bumi juga masih bergulat dengan krisis ekonomi akibat
pandemi Covid-19. Ditambah perubahan iklim dan sejumlah tatanan lain.
"Krisis tersebut telah menyebabkan badai sempurna ... berdampak negatif terhadap kehidupan
miliaran orang di seluruh dunia," kata PBB dalam laporan terbarunya seperti dikutip CNBC
International, Kamis (14/4/2022).
Ini tak lain karena Rusia dan Ukraina merupakan pengekspor komoditas utama dunia.
Keduanya misalnya, menghasilkan 30% gandum dan jelai serta mendistribusikannya ke 36
negara.
"Daftarnya bahkan mencakup beberapa negara miskin," tulis laporan lagi.
Rusia juga merupakan pengekspor gas alam terbesar di dunia dan pengekspor minyak kedua
terbanyak di dunia. Namun sanksi membuat hal tersebut tak bisa dilakukan Rusia lagi ke
sejumlah negara.
Belum lagi pupuk. Kremlin, bersama sekutunya Belarusia, juga diketahui sebagai
pengekspor seperlima pupuk dunia.
"Sebagai akibat dari perang, harga pangan berada pada level tertinggi yang pernah
dicatat oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, naik 34% dari waktu ini tahun lalu," kata
laporan lagi.
"Sementara itu, harga minyak mentah naik 60% dari tahun ke tahun, dan harga pupuk
naik lebih dari dua kali lipat."
Hal sama juga ditegaskan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. Dalam briefing
laporan, ia menyebut perang telah berdampak global dan sistemik.
"Sebanyak 1,7 miliar orang sangat terpapar pada efek berjenjang dari perang Rusia
terhadap sistem pangan, energi, dan keuangan global," tambahnya.
Dari 1,7 miliar itu 553 juta sudah miskin. Sementara 215 juta sudah kekurangan gizi.
Menurutnya krisis berlapis-lapis ini bisa menempatkan dunia di ambang krisis utang
global. Mengutip laporan, ia menuturkan perang akan menurunkan ekonomi dunia sebesar 1%
penuh dari pertumbuhan PDB.
"Inflasi meningkat, daya beli terkikis, prospek kotor menyusut dan pembangunan
terhenti dan dalam beberapa kasus keuntungan surut," ujarnya.
"Banyak negara berkembang tenggelam dalam utang dengan kesepakatan obligasi yang sudah
meningkat sejak September lalu. Sekarang mengarah ke peningkatan premi dan tekanan nilai
tukar."
"Dan ini menggerakkan lingkaran setan potensial inflasi dan stagnasi, yang disebut
stagflasi," tambahnya.
Berdasarkan data yang dilansir dari Jurnal Caraka Prabu Vol. 06 No.01 Juni 2022
disebutkan bahwa dampak yang diakibatkan okeh perang perang yang terjadi antara Rusia dan
Ukraina tentunya berdampak pada sektor ekonomi dan tentunya konflik tersebut berujung pada
restrukturisasi perdagangan internasional dan negara-negara yang memiliki hubungan dengan
Rusia dan Ukraina akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kepentingan nasional
negaranya. Asia Tenggara merasakan efek langsung dari perang seperti gangguan rantai
pasokan global dan kenaikan harga energi dan pangan. Selain itu, kenaikan harga BBM di
beberapa negara. Hal ini membuat dampak perang antara Rusia dan Ukraina mendapat
pengaruh yang besar dari berbagai sektor sehingga menyebabkan terjadinya restrukturisasi
ekonomi global.