Anda di halaman 1dari 5

DISUSUN OLEH :

1. DEVI ANDRIYANI

2. ICA NURHAIJAH

3. NIDA HASANATUN NISA

Dampak Perang Rusia-Ukraina

1. Aliansi Rusia dan antisipasi perluasan konflik

Peneliti INDEF Eisha M. Rahcbini mengatakan, Amerika Serikat setidaknya telah memberikan sanksi pada
pemain pasar keuangan dan perusahaan teknologi Rusia. Ia menjelaskan, kendati berdampak pada
ekonomi Rusia, negara ini masih mungkin mendapat bantuan keuangan dan perdagangan dari China.

Peneliti Ahmad Khoirul Umam dari Paramadina Graduate School of Diplomacy menambahkan, negara-
negara di Asia Tenggara harus mengantisipasi perluasan konflik agar tidak berpindah ke kawasan Asia
Tenggara. Ia mengatakan, konsolidasi kekuatan di kawasan Indo-Pasifik sebelumnya dibuat melalui
deklarasi pakta pertahanan Australia, United Kingdom dan United States of America (AUKUS) pada
September 2021.

"Telah menjadi rahasia umum, pakta pertahanan AUKUS ini dihadirkan sebagai upaya perimbangan
kekuatan (balance of power) terhadap China yang semakin mengokohkan pengaruh dan kekuatan
ekonomi-politik serta pertahanannya di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik secara general," kata Khoirul
Umam dalam siaran Twitter Space Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini, ditulis Minggu
(27/2/2022).

"Jangan sampai Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menjadi ajang medan pertempuran dan adu
pelanduk di antara dua kekuatan besar di kawasan. Perlu komitmen semua negara di kawasan harus
terus ditegakkan, untuk menghadirkan kerja-kerja diplomasi dan komunikasi politik yang jujur,
transparan, dan akuntabel," imbuhnya.

2. Kenaikan harga komoditas dunia

Eisha mengatakan, perang dapat berisiko pada kenaikan harga komoditas dari Rusia-Ukraina. Ia
menjelaskan, Russia adalah salah satu produsen dunia minyak bumi, kalium karbonat (potash) bahan
baku pupuk, dan industri pertambangan seperti nikel, alumunium dan palladium. Rusia dan Ukraina juga
merupakan negara pengekspor utama gandum.

Ia menambahkan, perang Rusia-Ukraina dapat berdampak pada kenaikan harga minyak bumi yang
diperkirakan meningkat mencapai lebih dari $100/barrel. Sementara itu, harga bahan bakar minyak
meningkat di AS dan Eropa sebesar 30%.
3. Pemulihan ekonomi pasca COVID-19 terancam lebih rendah

Jika perang berlanjut, kata Eisha, pemulihan ekonomi global juga terancam akan lebih rendah dari
prediksi awal. Ia mengatakan, pemulihan ekonomi dunia post COVID-19 dengan ancaman inflasi
sebelumnya telah terlihat di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat hingga Indonesia.

Ia merinci, prediksi awal pertumbuhan ekonomi global diprediksi 4.4% pada 2022, 3.8% pada 2023, 3.9%
pada negara maju di tahun 2022, dan 2.6% di negara berkembang pada tahun 2023.

Peneliti Mahmud Syaltout dari Paramadina Graduate School of Diplomacy menambahkan, anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) Indonesia juga bisa semakin terbebani karena perang Rusia-
Ukraina. Sebab, sebagai negara pengimpor minyak bumi, harga minyak yang melambung berisiko
menggangu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik pada 2021.

4. Suplai komoditas dan logistik terhambat

Eisha mengatakan, rantai pasokan global sebelumnya sudah mengalami hambatan logistik akibat COVID-
19. Konflik Rusia-Ukraina yang berkepanjangan, sambungnya, berisiko memperburuk supply chain dan
memicu kenaikan harga komoditas.

Ia menjelaskan, jika suplai komoditas dan logistik pengiriman terhambat, lalu infrastruktur utama seperti
pelabuhan di area Laut Hitam rusak akibat perang, maka negara maju dapat

memberikan sanksi banned atas komoditas Rusia. Tetapi,sanksi ini juga dapat memperburuk harga
komoditas karena pasokan komoditas alam dari Rusia untuk global ikut turun.

5. Potensi harga ekspor naik

Mahmud mengatakan, kendati perang membuat kerugian dan krisis perdagangan maupun ekonomi, ada
beberapa negara yang justru diuntungkan. Ia mencontohkan, negara penghasil emas, perak, alumunium,
dan nikel seperti Indonesia mengalami kenaikan harga komoditas saat konflik Rusia-Ukraina
berlangsung.

Ia menambahkan, negara lain penghasil minyak, gas bumi, perak, emas, nikel dan alumunium, hingga
palladium juga mengalami kenaikan ini.
Konflik antara Rusia dan Ukraina Berdampak pada Politik, Pengendalian Senjata, Terorisme, dan
Ekonomi di Dunia.

Konflik di Ukraina beresiko memperburuk hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia. Mengutip dari
mei.edu berikut dampak konflik Ukraina dan Rusia:

1. Krisis Energi

Konflik kedua negara akan berpengaruh pada pasokan gas alam di Eropa. Selain itu harga minyak bisa
meningkat karena konflik ini. Pembeli tidak dapat membeli produk energi dari Rusia.

Gas alam Rusia menyumbang sekitar 40% pasar Uni Eropa. Makanya, konflik ini bisa mempengaruhi
harga gas alam dan minyak dunia.

2. Bidang Pertanian

Ukraina mengekspor gandum sekitar 95% melalui laut hitam. Sekitar 50% ekspor gandung dikirim ke
negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Ukraina juga memasok jagung ke Mesir.

Konflik antara Rusia dan Ukraina dapat berdampak pada pasokan pertanian ke negara Afrika dan Timur
Tengah. Akibatnya terjadi kenaikan harga di bidang pertanian.

3. Krisis Kemanusiaan

Akibat konflik di Ukraina terjadi krisis kemanusiaan. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), memperkirakan
jumlah penerima bantuan di tahun 2022 akan meningkat.

4. Terjadi Inflasi

Amerika termasuk produsen dan pengekspor energi, sehingga ekonomi tidak berdampak pada konflik
Ukraina. Tetapi konflik antara Rusia dan Ukraina berdampak pada inflasi.

5. Kenaikan Suku Bunga

Cara mengatasi inflasi adalah menaikkan suku bunga. Sebagian besar pakar ekonomi memperkirakan
terjadi lonjakan harga karena konflik di Ukraina. Konflik ini berdampak pada inflasi jangka panjang.
Penyebab Konflik Rusia-Ukraina

Menurut sejarah konflik antara Ukraina dan Rusia sudah lama terjadi. Mengutip dari aljazeera.com,
dahulu Ukraina, Rusia, dan negara tetangga Belarusia menjadi negara adidaya di abad pertengahan.
Sebagian besar wilayah mencakup Eropa Timur.

Kedua negara ini mempunyai bahasa, sejarah, dan politik. Presiden Putin dari Rusia mengklaim
negaranya dan Ukraina adalah satu orang. Klaim tersebut menyebut Ukraina termasuk peradaban Rusia.
Namun, Ukraina menolak klaim ini.

Tahun 2005 dan 2014, terjadi revolusi di negara Ukraina. Negara tersebut menolak supremasi Rusia dan
mencari cara untuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO (North Atlantic Treaty Organization).

Mengutip dari dw.com, NATO adalah aliansi militer yang terdiri dari 28 negara di Eropa dan Amerika
Utara.

Advertising

NATO mewajibkan anggota setiap negara mencari solusi damai dan menuntaskan konflik. Posisi NATO
murni sebagai aliansi pertahanan. Jika salah satu negara diserang, maka anggota dari negara NATO
mewajibkan untuk solidaritas.

Mengutip dari Global Conflict Tracker (CFR) menjelaskan latar belakang konflik kedua negara ini. Berikut
penyebab konflik Rusia-Ukraina, mengutip dari cfr.org:

1. Tahun 2013

Awal mula krisis di Ukraina ketika terjadi protes di ibu kota Kyiv, Ukrarina. Pada November 2013,
Presiden Viktor Yanukovych dari Ukraina menolak untuk kesepakatan dan ekonomi dengan UNI Eropa.

2. Tahun 2014

Pasukan militer Rusia mengambil wilayah Krimea, Ukraina. Warga Krimea juga memilih bergabung
dengan Federasi Rusia dalam sebuah Referendum.

Kemudian Presiden Vladimir Putin menjelaskan perlunya perlindungan dan hak-hak warga negara Rusia,
serta penutur bahasa Rusia di Krimea dan Ukraina Tenggara.

Krisis ini membuat perpecahan etnis. Terjadi gerakan separatis yang mendukung Rusia di wilayah
Donetsk dan Luhansk, di Ukraina Timur. Gerakan separatis ini ingin melakukan deklarasi kemerdekaan
dari Ukraina.

3. Tahun 2015
Negara Ukraina menjadi krisis internasional bulan Juli, 2014. Hal ini membuat Amerika Serikat dan Uni
Eropa (UE) berselisih dengan Rusia.

Terjadi kecelakaan pesawat penerbangan Malaysia Airlines yang ditembak jatuh di wilayah udara
Ukraina. Kecelakaan pesawat tersebut menewaskan 298 penumpang.

Bulan Oktober 2015, penyelidik dari Belanda menyimpulkan pesawat tersebut jatuh karena rudal darat
ke udara buatan Rusia.

4. Tahun 2015

Para penyelidik menjelaskan sistem rudal disediakan oleh Rusia bulan September 2016. Sebelumnya
negara Perancis, Jerman, Rusia, dan Ukraina melakukan kesepakatan untuk menghentikan kekerasan di
bulan Februari tahun 2015.

Perjanjian tersebut mencakup gencatan senjata, penarikan senjata, dan kontrol penuh pemerintah
Ukraina, untuk mengurus wilayah konflik. Tetapi penyelesaian diplomasi tidak berhasil.

5. Tahun 2016

NATO mengumumkan aliansi akan mengerahkan 4 batalyon ke Eropa Timur seperti Estonia, Latvia,
Lithuania, dan Polandia. Pasukan ini untuk mencegah agresi Rusia di wilayah Eropa Timur.

Pasukan NATO ini bergabung dengan dua brigade tank Angkatan Darat Amerika Serikat. Pengerahan
pasukan ini terjadi bulan September 2017.

Sejak konflik di tahun 2014, warga Ukraina mendapatkan serangan siber. Tahun 2016, warga Kyiv
terkena pemadaman listrik. Tahun 2017 terjadi serangan siber komputer pemerintah dan bisnis di
Ukraina.

6. Tahun 2018

Ukraina menyetujui untuk bergabung dengan NATO untuk latihan udara skala besar bulan Oktober
2018. Pelatihan tersebut dilakukan di wilayah Ukraina Barat. Latihan tersebut dilakukan 1 bulan setelah
Rusia mengadakan latihan militer tahunan.

Anda mungkin juga menyukai