Anda di halaman 1dari 22

YESUS DAN WONG CILIK

I. Isi Ringkasan Buku

Makna Kerajaan Allah

Kerajaan (basilea) dalam Injil merupakan suatu proklamasi untuk menggugat dominasi, eksploitasi, dan
hegemoni “kekaisaran Romawi”, dan Kerajaan Allah tidak sama dengan kerajaan Daud. Kedatangan
Kerajaan Allah tertuju kepada orang-orang miskin, hal ini dapat kita lihat tujuan dari Tahun Yobel yang
menciptakan manusia baru dan bumi baru dimana penderitaan dan kelaparan umat (ocloj). Ungkapan
kedatangan Kerajaan Allah adalah ungkapan untuk menunjukkan kekuasaan Allah,[1] Yesus sering
menyebutnya sebagai kedatangan Basilea. Ciri-ciri dari Basilea yang diberikan Yesus:

- orang kaya sulit masuk Basilea

- yang melayani lebih besar dari yang dilayani

- Basilea berkembang dari kecil menjadi besar (seperti biji sesawi)

- Basilea adalah tempat berteduh bagi yang membutuhkan

- Menyangkal diri adalah syarat untuk masuk dalam Basilea

- Seekor unta lebih mudah masuk dalam Kerajaan Allah daripada manusia

- Basilea ada diantara manusia.[2]

Basilea bukanlah tempatnya untuk menerima jaminan jasmani dan keselamtan jiwa sesudah kematian,
dan Basilea tidak pernah dihubungkan dengan golongan penindas, namun bukan berarti bahwa orang
kaya ditolak dalam Basilea, Basilea terbuka bagi orang kaya dan tokoh-tokoh agama yang mau menerima
kelahiran baru. Kita harus ketahui bahwa kemerdekaan/ nasionalisme tidak identik dengan Basilea,
Basilea berbeda dengan membangun kembali kerajaan Daud. Dalam Basilea tidak ada penindasan,
penjajahan, dan pemerasan, sehingga dalam rangka inilah diakonia sebagai misi Allah untuk
mewujudkan Basilea di bumi merupakan panggilan gereja segala tempat dan waktu.[3]

1.2. Perhatian Pada Yang Tersisih

1.2.1. Praktik Diakonia dalam Perjanjian Lama


Terdapat beberapa praktik diakonia seperti perhatian pada orang miskin (janda, yatim-piatu dan orang
asing) yang terdapat dalam hukum Taurat. Dalam hukum Musa ada beberapa undang-undang yang
memberikan perhatian pada orang miskin dan keadilan social, seperti konsep:

- “tahun Yobel”, tidak hanya menekankan penghapusan hutan (50 tahun sekali) tetapi juga
pelestarian lingkungan hidup

- “tahun Sabat”, tujuannya menolong orang miskin, tanah, dan binatang dari perlakuan yang tidak
adil oleh kebijaksanaan waktu itu yang dilakukan setiap tujuh tahun sekali

- “perpuluhan”, yang menekankan bahwa Tanah Kanaan atau Israel beserta isinya adalah milik
Allah, Israel hanya sekadar juru kunci (bukan pemilik). Selain itu perpuluhan bukanlah hanya untuk Israel
saja, tetapi juga untuk menghidupi orang lain, seperti orang Lewi, yatim-piatu, janda miskin, dan orang
asing. Selain itu perpuluhan dibaliknya mempunyai suatu larangan bagi orang Israel untuk tidak berlaku
kejam pada orang asing yang tinggal di negeri mereka, mengingat bahwa Israel dulunya adalah
pengembara, bangsa yang dianiaya di Mesir, dan pengembara yang tak bertanah dan menjadi buruh

- “larangan mengambil bunga dari yang miskin”, orang miskin perlu diberi kesempatan untuk
memperbaiki nasib mereka dengan membebaskan mereka dari bunga pinjaman bahkan ketika mereka
kena musibah.

- “peraturan panen”, umat Israel diwajibkan menyisihkan hasil panen di ladangnya agar orang
miskin dapat mengumpulkannya.

- “perlakuan terhadap pekerja”, orang Israel dilarang menahan upah seorang pekerja karena akan
menyebabkan penderitaan bagi mereka

- “pembatasan kekayaan raja”, seorang raja dilarang serakah dalam masalah uang, seorang raja
tidak boleh hanya mengumpulkan kekayaanya, namun harus memperhatikan rakyatnya.[4]

1.2.2. Praktik Diankonia dalam Perjanjian Baru

Yesus telah memerintahkan kepada murid-muridnya agar memberikan perhatian kepada orang-orang
miskin. Injil adalah kabar baik bagi dan sukacita bagi semua orang, namun focus Allah adalah
memberitakan kabar baik bagi orang miskin (anawim). Orang yang memberikan perhatian dan
pelayanan kepada orang miskin berarti seseorang itu juga telah memberikan perhatiannya dan
pelayanannya kepada Yesus. Pelayanan itu tidak hanya diberikan kepada kalangan sendiri tetapi juga
untuk semua orang walaupun orang yang tidak berasal dari kalangan sendiri, bahkan bagi orang yang
membenci kita.[5]

1.3. Bentuk Diakonia


1.3.1. Diakonia Karitatif

Diakonia karitatif adalah model diakonia yang paling tua dari gereja dan pekerja sosial, diakonia ini
diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang miskin, menghibur orang sakit,
perbuatan amal kebajikan. Diakonia ini menggambarkan hubungan antara pemberi/ penyalur bantuan
dengan pihak penerima bantuan. Panggilan Kristen adalah penyangkalan diri sendiri dan mengangkat
salib, tidak sekadar mendapatkan roti dan bantuan material, hal ini adalah manifestasi untuk
mewujudkan Basilea, untuk mewujudkan manusia dan dunia baru, dunia baru dimana tidak ada lagi
tangis, kemiskinan, dan penindasan. Diakonia karitatif digambarkan dengan memberikan ikan dan roti
tanpa memberdayakan mereka.[6]

1.3.2. Diakonia Reformatif/ Pembangunan

1. Pembangunan sebuah tinjaun teologis

Melalui pembangunan kemiskinan dan kelaparan di dunia dapat diatas melalui pertumbuhan ekonomi,
ideology ini muncul di tengah perang dingin, ketika terjadi persaingan antara kapitalisme dan
komunisme. Pembangunan selalu menunjukkan kegagalan manusia dalam melaksanakan pembangunan
yang cenderung melawan Allah atas ciptaan-Nya. Pembangunan ini bisa membuat manusia jatuh
kepada penyembahan kepada Mamon dan Molokh.[7]

2. Kerajaan Allah di tengah Pembangunan

Pembangunan infrastruktur teknologi dan ekonomi tanpa disertai pemberdayaan rakyat kecil bukanlah
jawaban terhadap peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bila tidak disertai pemerataan
hasil pembangunan dan partisipasi rakyat, oleh karena itu pembangunan itu harus disertai penegakan
keadilan sosial. Namun gereja sendiri masih memiliki bentuk eksploitasi dan kebencian terhadap sesame
berupa sekat-sekat perbedaan suku dan sosial. Pembangunan yang benar adalah bila berjalan menurut
perspektif Kerajaan Allah yang mewujudkan keadilan dan perdamaian.[8]

3. Diakonia Reformatif di tengah dekade pembangunan

Bentuk ini muncul pada waktu Sidang Raya Dewan Gereja se-Dunia IV di Upsalla Swedia tahun 1967
dengan membentuk komisi yang disebut Commision on Church’s Participation in Development (CCPD),
dengan mendesak agar Negara-negara kaya di Utara memberikan bantuan ekonomi dan teknologi bagi
Negara-negara miskin di Selatan, dan dilanjutkan pada Sidang Raya DGI/ PGI VII di Pematangsiantar
tahun 1971 dan membentuk Darma Cipta/ Development Center. Diakonia ini tidak mampu
menyelesaikan kemiskinan rakyat, ia hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi, bantuan modal, dan
teknik, namun tidak melihat sumber kemiskinan itu.[9]

1.3.3. Diakonia Transformatif


Diatas telah dijelaskan bahwa diakonia karikatif adalah pelayanan memberikan ikan kepada orang yang
lapar, dan diakonia reformatif adalah pelayanan memberikan pancing dan mengajar seseorang
memancing, dan diakonia transformatif adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan
memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri, diakonia ini membebaskan rakyat kecil dari
ketidakadilan yang mengepung mereka. Diakonia transformatif sering berjalan dengan diakonia karikatif
dan pembangunan.[10]

1.4. Diakonia dengan Kecaman Sosial

Setiap praktik diakonia selalu mengahadapi persoalan-persoalan yang muncul lingkungannya dimana ia
hadir, seperti Stefanus yang mati bukan karena memberikan bantuan kepada janda-janda yang bukan
Yahudi, namun ia mati karena kecamannya atas dosa sosial yang dilakukan oleh orang Yahudi. Mereka
menuduh Stefanus melakukan pelanggaran terhadap tempat kudus (Bait Allah) dan hukum Taurat,
mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan agama Yahudi karena memberitakan kebangkitan Yesus
yang disalib. Kecaman sosial ini memudar ketika negara memberikan bantuan kepada gereja di Eropa
dan ketika Kristen diakui sebagai agama negara dan berkurangnya pengaruh agama Romawi kuno,
terlebih lagi karena keuangan negara mempengaruhi kehidupan gereja[11]

1.4.1. Panggilan Semua Orang Melawan Dosa

Baik orang miskin dan orang kaya dipanggil untuk menerima Kerajaan Allah, bagi orang kaya adalah
dengan menjual seluruh harta miliknya dan membagi-bagikannya kepada orang miskin, perintah ini
dilakukan oleh jemaat pertama dalam Kisah Para Rasul. Dosa asal yang berasal dari pelanggaran Adam
hanya dapat ditebus melalui anugerah Allah lewat jalan salib. Panggilan untuk menerima Kerajaan Allah
tidak hanya mempraktikkan upacara ritual suatu agama namun melakukan tindakan solidaritas dan
mengikuti jalan salib, dengan kata lain untuk melawan dosa haruslah menyangkal diri sendiri dan
bersedia mengangkat salib.[12]

1.5. Kritik Terhadap Praktik Pembangunan

Pemerintah menyebutnya dengan “pembangunan masyarakat”, namun organisasi sosial menyebutnya


dengan “pengembangan masyarakat”. Banyak para sosiolog, teolog mengkritik pembangunan sebagai
modernisai yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan memang pembangunan ini telah
mendatangkan kemajuan fisik, seperti pembangunan jalan, waduk, gedung, dan penebangan hutan, dan
dampaknya ialah perusakan lingkungan hidup, pemerasan tenaga buruh, perampasan tanah petani kecil,
dan rakyat kecil harus menanggung beban pembangunan, dan pada akhirnya merekalah yang sedikit
menikmati hasil pembangunan itu. Berbeda dengan “pembangunan sebagai perkembangan” yang
melakukan pembebasan menuju kemanusiaan yang adil dan beradab.[13]

1.5.1. Perlunya Partisipasi Rakyat

Ada beberapa manfaat partisipasi rakyat sebagai pembagian kekuasaan dan empowering the people:

- proyek dapat diterima oleh rakyat

- rakyat melalui sumbangan tenaga dan materialnya akan merasakan manfaat langsung dari proyek

- rakyat terbuka terhadap perubahan dan terlatih dalam mengelola proyek

- rakyat akan turut memelihara dan mengamankan proyek karena ikut memiliki

- pengawasan proyek akan lebih efisien dan efektif

Partisipasi rakyat harus dimulai dari:

- perencanaan

- pelaksanaan, dan

- pengawasan.[14]

Pemerintah dan organisasi sepakat dalam partisipasi rakyat dalam pembangunan, namun prioritas dan
strategi berbeda. Pemerintah menekankan pertumbuhan ekonomi dan perencanaan dari atas,
sedangkan organisasi rakyat (LSM) pembebasan dan pembangunan melalui perencanaan dari bawah.

1.6. Berteologi bersama rakyat

Pemahaman teologi tidak hanya berpusat di altar, namun teologi harus memiliki benang merah dengan
pergumulan rakyat yang menderita karena ketidakadilan, dan khotbah itu tidak hanya di dalam gedung,
tetapi juga di pasar. Ciri-ciri wajah teologi saat ini:

- teologi saat ini adalah warisan teolog abad 19 (teologi colonial), menekankan keselamatan rohani
dan individu. Pekabaran Injil dilihat sebagai panggilan untuk dibaptis dan mendapatkan keselamatan,
tidak dipandang sebagai kabar baik.

- teologi saat ini menekankan pernyataan daripada tindakan

- isi teologi tenggelam dalam dogma daripada refleksi yang kontekstual dan profetik

- perspektifnya lebih memihak pada golongan penguasa daripada kaum akar rumput
- teologi sebagai kebenaran universal yang mengabaikan konteksnya.[15]

1.6.1. Teologi Rumput

Teologi tidak bisa lepas dari praksis rakyat, tanpa praksis iman, teologi bukanlah teologi, Praksis iman
adalah pengakuan kepercayaan yang muncul dari dalam sejarah, seperti peristiwa keluaran menjadi
landasan iman Israel, peristiwa salib menjadi landasan pengikut Yesus. Teologi ini sangat cocok dalam
diakonia transformatif yang disebutkan diatas. Teologi ini dapat dikomunikasikan melalui:

(1) Alam semesta.

(2) sejarah rakyat

(3) budaya dan tradisi

(4) media

(5) teladan hidup

(6) kelompok kecil maupun besar.[16]

Spiritualitas seseorang tidak bisa dibuktikan dalam kehidupan di sekitar altar, namun juga di lingkungan
hidup.

1.7. Kemitraan Yang Membebaskan Dalam Pelayanan

1.7.1. Kemitraan Yang Sesungguhnya

Masalah kemitraan adalah masalah yang sering diperdebatkan dalam pelayanan, terutama dalam
gerakan oikumene, yang sering diperdebatkan ialah masalah pembagian sumber daya (terutama
masalah bantuan uang), masalah ini sering berlangsung dalam suasan pedih dan menyakitkan semua
pihak.[17] Untuk memecahkan masalah itu, Josef P.Widyatmadja mengajukan beberapa usulan, yaitu:

- perlunya penyangkalan diri dari semua pihak, yaitu lebih mementingkan kepentingan
kemanusiaan dan keadilan sosial

- saling percaya dan menolong, badan donor harus menolong mitranya dalam melaksanakan
programnya, dan penerima harus menolong badan donor agar dapat mempertanggungjawabkan dana
yang sudah ada dari mitranya di utara

- transformasi sosial sebagai agenda utama kemitraan, agenda bersama donor dan penerima
adalah mewujudkan manusia dan dunia baru, yaitu mengatasi perbedaan dan ketidakadilan yang ada

- perlunya paradigma dan tolak ukur yang sama


- menyembuhkan luka sejarah dan memperbarui dunia, dimana semua lembaga pelayanan
memiliki ketergantungan pada lembaga donor di Utara karena tata ekonomi dunia dan beban sejarah,
namun konsultasi ecumenical resources sharing yang dibentuk untuk mengurangai hubungan itu, dan
pada akhirnya hubungan itu tidak dapat lepas dari lembaga pelayanan dan gereja di Selatan, yang
menjadi permasalahan adalah bagaimana agar bantuan itu tidak menjadi laknat namun menjadi berkat
bagi banyak orang.[18]

1.8. Panggilan Di Abad ke-21

Proses dunia terbuka, baik dalam informasi, perdagangan, dan budaya adalah kenyataan yang harus
dihadapi terutama gereja. Dalam hal ini gereja perlu berkiprah dan mempersiapkan umatnya agar dapar
bertahan hidup di era-globalisasi, dengan cara berteologi bersama rakyat. Dalam globalisasi ini
kemiskinan masih akan berlanjut dan oleh karena itu Injil Kerajaan Allah perlu diwujudkan di bumi
melalui diakonia transformatif. Begitu juga dalam masalah perusakan lingkungan, gereja harus
memberikan pendidikan dan penyadaran tentang pemanasan global, perubahan iklim, pencemaran air
dan udara, dan demikian juga masalah pelestarian lingkungan, gereja melakukan penanaman pohon,
penghematan air, dan pengurangan pemakaian air minum kemasan plastik perlu ditanamkan sejak dini
dalam kehidupan warga gereja.[19] Bebarapa usaha yang dapat dilakukan gereja di era globalisasi
adalah:

- mengajarkan nilai kemanusiaan sebagai tujuan, orang miskin adalah subjek bukan objek
pembangunan

- harus menerima setiap kebudayaan dan peradaban yang perlu dihormati oleh kebudayaan dan
peradaban lain

- tatanan ekonomi dan sosial yang menghancurkan ciptaan Allah, dianggap sebagai global evil yang
melawan Basilea.[20]

Diakonia transformatif bermaksud menciptakan manusia dan dunia baru yang di dalamnya semua
budaya dan peradaban mendapatkan tempat dalam Kerajaan Allah, tidak boleh ada budaya dan
peradaban yang mendominasi budaya dan peradaban lain, apalagi menghancurkan peradaban bangsa
lain dengan kekuaran ekonomi, politik, teknologi, dan militer.

1.8.1. Makna Diakonia Transformatif

Terdapat beberapa makna diakonia menurut Josef. P. Widyatmadja, yaitu:

- Diakonia sebagai ibadah

- Diakonia sebagai upaya untuk melestarikan lingkungan hidup


- Diakonia sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian dan persaudaraan dengan sesama
manusia

- Diakonia sebagai upaya untuk menciptakan keadilan dan sosial dan perwujudan Kerajaan Allah

- Diakonia sebagai upaya menciptakan kemanusiaan dan kesejahteraan bagi semua.[21]

1.8.2. Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Oleh Gereja

Beberapa hal yang harus dilakukan gereja dalam berdiakonia di abad-21, yaitu:

- Dari krisis ke kairos

Bagi orang beriman, krisis adalah sebuah kairos/ kesempatan untuk mewujudkan iman yang
memberlakukan Kerajaan Allah, orang beriman tak boleh tenggelam dalam krisis, namun perlu
mengubah krisis menjadi kairos, peristiwa penyaliban Yesus adalah krisis bagi anak manusia dan para
murid, namun menjadi kairos untuk menunjukkan ketaatan kepada Bapa

- Kenosis

Kenosis/ pengosongan diri merupakan inkarnasi Anak Allah menjadi manusia, Anak Manusia tak
memedulikan statusnya sebagai Anak Allah. Penyangkalan diri ini adalah syarat untuk melakukan
diakonia transformative

- Berbalik arah (metanoia)

Metanoia/ pertobatan adalah berbalik pada Allah yang hidup. Gereja harus bertobat dan berbalik arah
pada Kerajaan Allah, pertobatan ini adalah pro-kehidupan dan melindungi orang yang lemah yang
terancam kematian. Pertobatan dalam abad ke-21 ini adalah menanggalkan perwujudan iman kita yang
bersifat dogmatis dan retorik dengan dialog lintas budaya dan peradaban.

- Agape dan dikaiosune

Kedua ini tidak dapat dipisahkan, kedua ini adalah inti ajaran Yesus, kasih kepada sesama manusia atau
kemanusiaan

- Koinonia sebagai solidaritas

Persekutuan adalah gerakan dengan cara memperhatikan yang tersisih, saling berbagi, diakonia tanpa
koinonia adalah diakonia tanpa kasih, sebab koinonia adalah solidaritas. Persekutuan yang memelihara
roh keesaan dan ke-am-an mengungkapkan dirinya dalam komitmen kerendahan hati, sikap saling
menghormati, lapang dada, kesabaran, dan cintah kasih. Dalam hal ini gereja terpanggil untuk saling
membangun (1 Tes 5:11) dan saling mengasihi sebagai saudara (Roma 12:10).[22]

- empowering/ pemberdayaan
Diakonia transformative bukan sekedar memberikan uang namun pemberdayaan orang lumpuh,
mencelikkan mata yang buta (penyadaran dan pemberian semangat).

- Pastoralia pada orang kaya

Tujuan pastoral kepada orang yang berkuasa adalah agar mereka bertanggung jawab terhadap kuasa
yang dimilikinya dan digunakan untuk kesejahteraan sosial bagi semua orang.

- Peranan pendidikan teologi

Sekolah teologi selama ini kurang memberikan pembekalan soal diakoni transformatif yang berpusat
pada rakyat. Kerjasama antar gereja dan LSM, dan pendidikan teologi perlu dilakukan agar lulusan
pendidikan teologi bisa menerapkan panggilannya di tengah rakyat.[23]

II. Tanggapan

2.1. Masalah diakonia

2.1.1. Diakonia Karikatif

Josef Widyatmadja dalam bukunya “Yesus & Wong Cilik” menjelaskan diakonia hanya berpatok kepada
masalah materi saja, namun kelompok menganggap bahwa bukan hanya dalam bentuk materi saja
gereja dapat berdiakonia, banyak hal yang harus dilakukan gereja dalam mewujudkan Basilea itu:

- gereja dapat menerapkan gerakan diakonianya dengan cara menghubungkan jemaat-jemaat yang
kurang mampu dengan jamaat-jemaat yang lebih mampu, seperti bunda Theresa membawa sesuatu
yang bermakna di kota Kalkutta terhadap anak-anak terlantar dengan kunci spritualitas yang muncul dari
penghayatan panggilannya. Theresa mengajak orang-orang yang mampu untuk membantu anak-anak
terlantar, orang kusta, papa, miskin dan melarat.[24]

- Gereja juga tidak hanya bisa berperan dalam memberikan bantuan materi saja, gereja juga bisa
bekerja dengan pemberian motivasi bagi jemaat, menerapkan sebuah teologi eskatologi, bahwa mereka
akan bisa melalui masalah kemiskina dan akan mencapai sebuah kebahagian. Inilah peran gereja dari sisi
psikologi dan spiritual masyrakat, agar niat untuk berjuang tumbuh kembali.[25]

2.1.2. Diakonia Reformatif

- diakonia reformatif kurang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan jemaat


sampai ke akar-akarnya, sehingga masalah-masalah kemiskinan akan tetap kembali datang, maka
kelompok kami menyatakan diakonia reformatif harus diawali dengan reformatif penyadaran yang
dilakukan pemimpin gereja, mengapa kemiskinan itu bisa terjadi, kemudia memberikan motivasi bahwa
ada rencana Allah dibalik semua kemiskinan yang terjadi.[26]
- Pemimpin gereja juga harus aktif dalam memberikan solusi-solusi nyata yang bisa dilakukan oleh
masyarakat, seperti dengan pembinaan jemaat untuk mengolah keuangan, pembinaan masyarakat
dalam bertani, berdagang, beternak dan pekerjaan alternaf lainnya. Semua hal itu bisa diawali dengan
pendukungan spritualitas masyarakat untuk tanggap terhadap masalah-masalah.[27]

- Peran gereja harus dapat dikontekstualisasikan dalam setiap keadaan umat manusia dalam sekitar
yang sedang dihadapi. Peran gereja akan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar dan akan
menjadi teladan jika memiliki peran yang sangat aktif.

2.1.3. Diakonia Transformatif

- gereja harus lebih aktif lagi dalam menanggapi masalah-masalah masyarakat harus lebih banyak
berbuat dari pada bertanya. Gereja harus lebih tanggap melihat semua keadaan, gereja diharapkan
untuk langsung terjun ke lapangan, bukan menunggu. Pemimpin gereja juga diharapkan untuk lebih
cepat turun ke lapangan, mencari kerja sama dengan lembaga-lembaga di luar gereja yang ikut serta
menangani masalah kemiskinan. Pelayanan gereja yang transformatif juga mendapat dukungan dari
warga jemaatnya sehingga program diakonia di suatu gereja dapat berjalan dengan baik. Dengan begitu
di dalam persekutuan pekerja-pekerja sosial dapat menolong jemaat yang diakonal, sehingga ia dapat
melakukan pekerjaannya sesuai dari imanya.[28]

- Gereja seharusnya mampu menampung orang-orang miskin sebagai subjek di dalam membangun
kesejahteraan masyarakat dan ikut menerima hasil yang setara. Gereja merupakan sarana perubahan
bagi orang yang tidak mampu menjadi mampu dengan memberikan pembinaan oleh pemimpin jemaat
dalam bentuk apapun yang mendukung masyarakat mendapatkan solusi yang tepat menyelasaikan
masalah kesejahteraan masayarakat. Menurut Barna, para pemimpin atau pelayan gereja yang sangat
efekti menunjukkan perubahan yang tidak putus-putus, dan pemimpin gereja menjadi lokomotif
perubahan.[29]

- gereja tidak dapat melepaskan perwujudan imannya yang bersifat dogmatis dalam berdiakonia di
abad-21, sebab hal ini mencirikan penganut suatu agama dengan penganut agama-agama yang lain, jika
hal ini dilepas maka ajaran- ajaran Kristen akan diabaikan oleh penganutnya.

2.1.4. Diakonia Gereja dalam abad -21

Josef Widyatmadja dalam hal-hal yang harus dilakukan gereja dalam abad-21 hanya menjelaskan sedikit
saja, dalam hal ini kelompok menambahkan beberapa hal diantaranya:

- gereja tidak hanya berdiam diri saja, namun gereja harus, dan gereja harus memperhatikan orang-
orang miskin sehingga mereka dapat bersaing dalam ekonomi pasar bebas. Gereja juga harus
memberikan pembinaan baik juga pelatihan secara menyeluruh bagi jemaat yang memiliki bakat
tertentu untuk mengembangkan bakatnya di dunia pasar bebas. Gereja harus menempatkan diri dalam
untuk berperan dalam persiapan masayarakat atau jemaat menghadapi pasar bebas.

- gereja tidak salah bila mengembangkan kewiraswastaan, dalam hal ini gereja mendukung
masyarakat yang beprofesi pedagang, apalagi pedagang-pedagang kecil. Kewiraswastaan adalah sebuah
alternative pekerjaan yang bisa dikembangkan oleh masyarakat lewat sokongan gereja. Gereja harus
memberikan cara berdagang yang inovatif dan menarik, namun tidak meninggalkan dirinya sebagai
gereja pada hakekatnya.[30]

- Kemajuan teknologi harus disyukuri sebagai berkat Tuhan terhadap manusia, dengan kemajuan
teknologi ini gereja harus memakai kemajuan teknologi sebagai peluang untuk mewujudkan
keselamatan secara maksimal. Gereja juga dapat memberikan pemahaman kepada jemaat bahwa
pemuda Kristen harus mampu menggunakan teknologi dan memaham penggunaan teknologi sebagai
peningkatan hidup dan sebagai bagian dari perwujudan iman.[31]

- Masalah utama dari abad ke-21 adalah kurangnya kepedulian sesama. Banyak orang-orang yang
lebih mampu dalam bidang ekonomi tapi tidak memilki rasa yang diakonal kepada sesamanya yang
kurang mampu. Maka gereja harus memeberikan pembiaan dan menjadi teladan agar jemaatnya bisa
saling menopang untuk mencapai kesejahteraan bersama. Gerakan yang di dalam ruang lingkup gereja
harus saling memperhatikan, dlam segi ekonomi ada beberapa gereja yang masih minim ekonominya.
Dalam hal ini gereja perlu meliha kedepan dan disekitarnya agar jemaat yang masih dalam keadaan yang
masih minim dalam hal ekonomi dapat dibantu dengan baik dan memperoleh kesejatraan hidup antar
gereja dan lingkungan yang beragama. Banayk jemaat juga yang kurang memperhatikan gereja karena
factor ekonomi yang minim sehingga ini dikaitkan dengan mereka yang tidak diberkati. Sebaiknya
jemaat berpikir positif dengan apa yang mereka kerjakan, agar berbuah dalam kehidupan mereka,
dengan demikian sejalanlah ekonomi dengan peranan gereja ditenga-tengah lingkungan sosial.[32]

- Pemimpin gereja sekarang yang kurang perhatian terhadap pelayanan kepada anak-anak sekolah
minggunya. Kepemimpinan dapat digambarkan sebagai kumpulan tugas fungsiomal yang harus
dilakukan. Salah satu figure pemimpin dalam meliputi acuan tugas seorang pemimpin adalah memberi
bimbingan yang efektif dalam komunitas di dalam gereja, sehingga dengan demikian dapat mewujudkan
misi gereja.[33] Karena anak sekolah minggu merupakan masa depan gereja, jika pemimpin tidak
melakukan diakonianya kepada mereka akan ada dampak negatif.

- Manusia pada abad ke-21 ini seperti manusia-manusia yang kehilangan motivasinya, maka sangat
berpengaruh pada niat dalam pengembangan kesejahteraan. Maka oleh karena itu gereja harus beperan
aktif sebagai motivator dalam pengembangan manusia kerja. Peran gereja mampu memberikan sebuah
niat baru bagi jemaat untuk menemukan inovasi baru untuk menemukan lapangan kerja baru buatan
dirinya sendiri untuk pengembangan perekonomian. Dengan peran gereja sebagai motivator akan selalu
menjadi renungan dalam setiap pekerjaan.[34]

- Selain itu juga dituntut sebuah peran gereja pada abad ke-21 ini dimana gereja harus mampu
mengizinkan dirinya menjadi sebuah gereja kaum miskin, gereja menjadi lambangnya kaum miskin, yang
tidak hanya menunjukkan kebenaran mereka dari luar namun juga dalam dirinya sendiri. Dengan
pembinaan bagi kaum-kaum miskin yang dilakukan gereja abad 21 ini bisa membantu masyarakat untuk
menangani masalah kemiskinan (Kaum Wong Cilik). Peran gereja dalam pembinaan ini adalah sebuah
cerminan teladan Yesus yang datang untuk memberikan pembebasan bagi orang-orang tertindas.
Manusia yang sukses adalah manusia yang bermanfaat bagi sekitarnya, demikian juga dengan gereja,
gereja yang benar adalah gereja yang memiliki peran aktif dalam pengembangan kehidupana
masyarakat sekitarnya. Peran gereja harus dapat dinikmati bagi masyarakat dan menjadi strategi misi
penginjilan gereja lewat teladan gereja.[35]

- Gereja juga harus memperhatikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat real saat ini, dimana
dalam abad 21 ini banyak terdapat masalah buruh, masalah kerja yang tidak mungkin diselesaikan oleh
satu pihak saja, masalah buruh dan masalah kerja harus diselesaikan dalam kerja sama menyeluruh
antar-semua pihak yang berkepentingan termasuk gereja. Gotong royong merupakan usaha yang baik
dalam membangun kerjasama antar gereja. Karena banyak didalam gereja itu yang masih berlawanan
dalam artian tidak satu hatinya, oleh karena itu perlunya ditekankan dalam gereja saling memperhatikan
yang berkerja didalam bodang apapun.[36]

- Menurut Gonsalves, bidang cukup gereja tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Gereja
pada abad 21 ini harus dibatasi kegiatan-kegiatannya pada urusan teologi. Pada pihak lain, Soares
berpendapat bahwa kegiatan gereja tidak dapat dipersempit hanya ke urusan-urusan yang abstrak.
Gereja justru harus memperlihatkan keperhatiannya pada persoalan-persoalan sosial yang konkret,
semisal persoalan keadilan, hak asasi manusia. Seperti yang kita ketahui gereja berasal dari organisasi
yang minoritas ditengah-tengah dominasi agama Yahudi.[37] Dapat ditekankan hubungan agama dan
politik itu sangat jaug dan kalau boleh itu tidak bersentuhan, sehingga gereja berpusat pada satu tujuan.

- Gereja perlu melakukan sebuah tindakan lansung bagi penanggulangan kemiskinan. Beberapa
gereja hanya focus didalam lingkungan derja sendiri. Seharusnya gerja itu dapat membawa pengaruh
dari gereja itu sendiri keluar, sehingga gereja dapat menjalankankan fungsinya, seperti yang dikatakan
oleh Martin Luter, gereja harus dapat mempengaruhi dunia ini seperti batu yang dilemparkan ketengah-
tengah kolam, air yang berada dalam kolam tersebut bergelombang hingga kepinggir kolam tersebut.
Begitu jugalah seharusnya fungsi gereja yang kita rasakan sehingga banyak orang yang kembali pada
yang baik dan benar. Orang-orang yang miskin pun dapat dibantu oleh gereja karena telah memberi
pengaruh yang baik. Focus utama harus beralih kepada orng-orang miskin. Gereja harus menerapkan
sebuah teologi praktika pleyanan bagi orang miskin sebagai wujud gereja yang hidup dalam masyarakat.
[38]

- Dalam perspektif kristiani, saya mengajak pembaca memandang kedepan melihat dan menyadari
sosok hamba Tuhan yang akan datang, yang kita butuhkan untuk menghadapi abad ke 21, diantaranya:
seorang hamba harus memiliki kualitas spiritual yang tinggi, seorang hamba juga harus memiliki
intelektualitas yang mampu bersaing, memiliki katahanan dan kualitas moral yang terpuji, dan memiliki
ideology yang teruji.[39]

- Tujuan menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat haruslah jelas, ada beberapa langkah
guna menyelesaikan konflik:
a. Gereja melibatkan diri dan mebiarkan semua pihak yang sedang bertikai tahu bahwa gereja telah
melibatkan diri

b. gereja harus bersikap untuk memisahkan orang-orang yang sedang konflik dengan cara adil

c. gereja harus menjadi pendengar yang baik dari kedua pihak yang berkonflik untuk mendapatkan
solusi yang tepat

d. gereja harus menjelaskan solusi yang diperoleh kepada pihak yang berkonflik

e. gereja dapt berkonsultasi kepada pihak lain jika dipandang perlu

f. gereja harus memantau pelaksanaan dari kesepakatan yang dicapai, jik ternyata perkembangannya
tidak seperti yang diharapakn, janganlah berdiam diri sebelum segala sesuatu menjadi parah

III. Kesimpulan dan Saran

3.1. Kesimpulan

- Kedatangan Kerajaan Allah tertuju kepada orang-orang miskin

- Diakonia karitatif adalah model diakonia yang paling tua dari gereja dan pekerja sosial, diakonia ini
diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang miskin, menghibur orang sakit,
perbuatan amal kebajikan.

- Pembangunan yang benar adalah bila berjalan menurut perspektif Kerajaan Allah yang
mewujudkan keadilan dan perdamaian.

- diakonia transformatif adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki
seseorang untuk kuat berjalan sendiri, diakonia ini membebaskan rakyat kecil dari ketidakadilan yang
mengepung mereka. Diakonia transformatif sering berjalan dengan diakonia karikatif dan pembangunan

- Setiap praktik diakonia selalu mengahadapi persoalan-persoalan yang muncul lingkungannya


dimana ia hadir.

- Panggilan untuk menerima Kerajaan Allah tidak hanya mempraktikkan upacara ritual suatu agama
namun melakukan tindakan solidaritas dan mengikuti jalan salib, dengan kata lain untuk melawan dosa
haruslah menyangkal diri sendiri dan bersedia mengangkat salib.

- perlunya partisipasi rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan ini akan
partisipasi masyarakat akan menjadi sebuah juru kunci keberhasilan penanganan masalaha kemiskinan.

- Pemahaman teologi tidak hanya berpusat di altar, namun teologi harus memiliki benang merah
dengan pergumulan rakyat yang menderita karena ketidakadilan, dan khotbah itu tidak hanya di dalam
gedung, tetapi juga di pasar
- gereja perlu berkiprah dan mempersiapkan umatnya agar dapar bertahan hidup di era-globalisasi,
dengan cara berteologi bersama rakyat.

- dalam masalah perusakan lingkungan, gereja harus memberikan pendidikan dan penyadaran
tentang pemanasan global, perubahan iklim, pencemaran air dan udara, dan demikian juga masalah
pelestarian lingkungan, gereja melakukan penanaman pohon, penghematan air, dan pengurangan
pemakaian air minum kemasan plastik perlu ditanamkan sejak dini dalam kehidupan warga gereja.

- Diakonia transformatif bermaksud menciptakan manusia dan dunia baru yang di dalamnya semua
budaya dan peradaban mendapatkan tempat dalam Kerajaan Allah

- Hal-hal yang harus dilakukan gereja pada abad-21

§ Dari krisis ke kairos

§ Kenosis

§ Berbalik arah (metanoia)

§ Agape dan dikaiosune

§ Koinonia sebagai solidaritas

§ empowering/ pemberdayaan

§ Pastoralia pada orang kaya

§ Peranan pendidikan teologi

1.2 Saran

Setelah membaca penjelasan diatas, kelompok menyarankan beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam melakukan gereja yang berdiakonia:

- materi bukanlah hal yang utama dalam berdiakonia

- gereja harus memandang dirinya sebagai gembala yang memperhatikan domba-dombanya


(jemaat)

- gereja harus mampu bersaing dalam era-globalisasi

- diakonia tidak hanya bagi gereja sendiri namun bagi semua orang

- gereja tetap mepertahankan ajaran-ajarannya serta mengaplikasikannya dalam berdiakonia


dimana pun.
- Gereja harus mampu menjadi motivator dan innovator bagi pemikiran jemaat untuk menemukan
jalan keluar berbagai masalah dalam masyarakat.

[1] Josef P.Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik, Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di
Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, hlm.11-12

[2] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 13

[3] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 15-18

[4] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 20-25

[5] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 25-27

[6] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 31,34,36

[7] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 36,38

[8] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 38-41

[9] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 41-43

[10]Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.. 43,48

[11] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 57,61

[12] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 68-70

[13] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 72-73

[14] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 75

[15] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 99

[16] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 100, 114-115

[17] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 164

[18] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 165-166

[19] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 179,183

[20] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 185-186

[21] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 191-194


[22] Lutheran World Federation, Bermisi di Dalam Konteks: Transformasi Rekonsiliasi Pemberdayaan,
Suatu Sumbangan Lutheran World Federation Untuk Memahami dan Melaksanakan Misi, Pearaja
Tarutung: Kantor Pusar Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), 2008, hlm. 37-38

[23] Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 194-200

[24] Nekson M. Simanjuntak, “Meningkatkan Kebersamaan dsan Memberdayakan Warga Jemaat di Era
Globalisasi” dalam WTP. Simarmata, Pelayan yang Memperlengkapi Jemaat, Buku Pengucapan Syukur
25 Tahun Pelayanan, Medan: PGI Wilayah Sumatera Utara, 2009, hlm.153-154

[25] Andreas A. Yewangoe, Theologi Crucis dan Gereja-gereja Asia, dalam Thomson MP Sinaga,
Mewujudkan Komunitas Damai untukSemua, PGI Wilayah Sumut, Medan,2007, hlm71-78

[26] J.L.Ch. Abineno, Diaken, Diakonia dan Diakonat Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hlm. 86-
87

[27] Lutheran World Federation, Op.Cit; hlm. 71

[28] A. Noordegraaf, Orintasi Diakonia Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 214-216

[29] Budiman Tua Simarmata, Critical Book Review (The Habits of Highly Efective Chuches) dalam Jurnal
Teologi, Vocatio dei (Greja Hadir untuk Bersaksi, Melayani, dan mempimpin dalam segala Aras),
Pematang Siantar: STT-HKBP, 2010, hlm. 130-131

[30] Einar M, Sitompul, Gereja Menyikapi Perubahan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 62,64

[31] Einar M, Sitompul, Op.Cit; hlm. 97-99

[32] Kenneth O. Gangel, Membina Pemimpin Pendidikan Kristen, Surabaya: Gandum Mas, 2001, hlm.
175-177

[33] Sahat Martua Lumbantobing, Model Kepemimpinan Episkopal, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003,
168.

[34] Jahenos Saragih, Manajemen Kepemimpinan Gereja, Jakarta: Suara gereja Kristen Yang Esa Peduli
Bangsa, 2009, hlm. 77-78

[35] Jon Sabrino,S.J. dan Juan Hernandez Pico, S.J., Teologi Solidaritas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2001, hlm. 26

[36] Her Suharyanto & Linda Tnagdialla, Kaum Buruh, Buah Hati Gereja, Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja
dalam Perburuhan, Kanisius, Yogyakarta, 2004: hlm. 98

[37] A.A.Yewangoe, Iman Agama dan Masyarakat dalam Negara Masyarakat, BPK-Gunung Mulia,
Jakarta, 2002: hlm. 47-48.
[38] Emanule Gerrit Singgih, Iman, dalam Politik dalam era Reformasi di Indonesia, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 2004, hlm 48-49

[39] P. Octavianus, Gereja Memasuki Abad Ke 21, Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia,
Malang, 1998: hlm. 3-19.

Judul: Yesus dan Wong Cilik Penulis: Pdt. Yosef P. Widyatmadja Penerbit: BPK Gunung Mulia, 2012 Buku
ini ditulis oleh seorang Pendeta yang bernama Josef P. Widyatmadja. Seorang Pendeta Tionghoa yang
aktif dalam usaha perjuangan dalam melawan berbagai bentuk penindasan sosial, baik dalam bentuk
kekerasan rasial atau kekerasan dalam bentuk penindasan sosial yang bersifat struktural. “Yesus dan
Wong Cilik” ini adalah sebuah buku, yang oleh penulis, disebut sebagai sebuah teologi rakyat. Walau A.
A. Yewangoe, sebagai pemberi kata pengantar dalam buku ini, tidak selalu setuju dengan istilah itu. Tapi
jika sudah membaca keseluruhan isi buku ini, kita akan dibawa pada sebuah pengertian, yang juga
sudah disimpulkan oleh Yewangoe, bahwa yang dimaksud dengan teologi rakyat adalah berteologi
bersama rakyat. Artinya teologi lahir dari pergumulan yang berasal dari rakyat. Rakyat dalam hal ini tidak
hanya menjadi objek dari teologi, tapi menjadi subjek dari teologi itu sendiri. Buku ini lahir bukan dari
balik perpustakaan, tapi buku ini lahir dari pergulatan penulis dalam interaksinya dengan segala
persoalan yang terjadi di lapangan bersama rakyat. Diakonia menjadi tema utama buku ini. Buku ini
memberi defenisi bahwa diakonia bukanlah sekedar memberi uang pada si miskin. Diakonia bukanlah
pencipta status “pemberi” dan “penerima”. Tapi penulis dalam buku ini justru memberi sebuah defenisi
yang “baru” dalam situasi teologi Indonesia bahwa diakonia adalah bicara tentang pemberdayaan.
Pemberdayaan yang dimaksud adalah melepaskan struktur-struktur penindas dalam sistem masyarakat
yang memiskinkan. Inilah inti dari diakonia. Diakonia harus dimulai dari analisis permasalahan sosial
kemudian menjawab permasalahan itu dengan cara yang transformatif. Untuk memahami “cara yang
trasnformatif” ini, memang ada baiknya jika kita mulai melihat tiga arah diakonia yang dipaparkan dalam
buku ini. Pertama, diakonia karitatif. Diakonia karitatif adalah sejenis diakonia yang umum dipahami
dalam konteks gereja-gereja sekarang. Sesuai dengan istilah ‘karitatif’, yaitu memberi, maka diakonia
jenis ini adalah sejenis diakonia yang memberi bantuan tunai langsung pada yang membutuhkan. Bisa
dijelaskan dengan perumpamaan, jika orang lapar, maka dia langsung diberi ikan. Kedua, diakonia
reformatif adalah sejenis diakonia yang membangun sarana dan prasarana yang berguna untuk
membantu masyarakat dalam menyelesaikan persoalan hidupnya. Jenis diakonia ini diberi istilah sebagai
diakonia pembangunan. Jika orang lapar, dia tidak diberi ikan, tapi diberi alat untuk memancing.
Sementara jenis yang ketiga adalah diakonia transformatif. Diakonia ini adalah jenis diakonia yang
mencoba untuk mentransformasi struktur-struktur masyarakat yang menindas dan banyak
menyusahkan orang banyak. Jika orang lapar diberi alat pancing, maka yang jadi soalnya adalah apakah
dia punya kolam untuk memancing ikan itu? Ya, ada, karena diakonia reformatif sudah melakukannya.
Namun pertanyaannya adalah apakah kolam itu bersih sehingga ada ikan yang bisa ditangkap
didalamnya? Struktur masyarakat yang korup dan menindas membuat “ikan” tidak ada yang sehat.
Dengan demikian, untuk membuat ikan itu bisa ada, maka kolam harus dibersihkan, alias harus
ditransformasi. Struktur-struktur dalam sosial masyarakat itulah yang harus ditransformasi karena
sifatnya yang menindas dan memiskinkan orang banyak. Diakonia transformatif inilah yang menjadi
nyawa dari buku ini. Buku ini menyediakan banyak contoh bagaimana diakonia transformatif dijalankan.
Salah satu contoh yang digunakan adalah dengan metode “organisasi rakyat”. Organisasi rakyat adalah
sebuah metode dimana rakyat diatur sedemikian rupa agar mampu menyelesaikan semua
permasalahan yang ada dalam situasi konteks mereka. Dengan memanfaatkan sumber daya yang ada,
rakyat diorganisasi dengan rapi untuk menjawab persoalan itu. Buku ini memberi beberapa contoh
nyata apa dan bagaimana organisasi rakyat itu dipraktekkan sesuai dengan pengalaman langsung
penulis. Buku ini bisa dikategorikan sebagai buku dengan haluan teologi pembebasan dalam konteks
Indonesia. Pemilihan judul buku sangat cocok karena buku ini seolah ingin memberi tindakan praksis
nyata apa yang harus dilakukan gereja dalam meneladani Yesus yang berpihak selalu pada wong cilik.
Seperti layaknya tulisan-tulisan dalam cakupan teologi pembebasan, buku ini jauh dari kesan teoretis.
Buku ini sangat sederhana dan kuat dalam contoh-contoh kongkrit. Walau bobot kajian teologis,
khususnya dibagian awal sebagai acuan atau landasan berpikir, tidak bisa diremehkan begitu saja karena
sapuannya yang menyeluruh terhadap Alkitab, baik PB ataupun PL. Buku ini semakin kuat karena
usahanya dalam melihat konteks globalisasi, kehadiran LSM, dan relasinya dengan spiritualitas
pembebasan untuk membangun visi nilai-nilai kerajaan Allah menjadi begitu relevan dengan pergulatan
kekeristenan sekarang di Indonesia. Buku ini mengajak agar gereja dan kekristenan lebih sadar konteks
dalam usaha mengembangkan sebuah diakonia yang lebih bersifat transformatif dari pada karitatif. Jika
pun ingin melihat kekurangannya, buku ini tidak memberi kita beberapa contoh segar dalam persoalan
yang ada. Padahal cetakan pertama buku ini adalah tahun 2010, seharusnya banyak memberi contoh-
contoh segar sehubungan dalam usaha pembebasan karena struktur-struktur penindas. Mengingat sejak
1998, informasi yang bebas dan reformasi yang kebablasan justru membuat kehidupan masyarakat
semakin berat dan perlu untuk ditolong. Tapi, buku ini tidak meyertakan kisah-kisah yang segar itu. Buku
ini dominan dengan kisah-kisah perjuangan di era Suharto, dimana pembaca-pembaca muda sudah tidak
memahami cerita itu karena konteksnya yang jauh. Secara pribadi, saya melihat buku ini masih
memberi harapan bahwa tidak selamanya orang Kristen itu jelek dan jahat seperti yang saya pikirkan.
Buku ini setidaknya bisa meredakan kesinisan dan pesimistik saya dalam menilai gereja karena sikap
apatis dan apolitisnya. Buku ini memberi saya harapan bahwa masih ada orang Kristen yang masih
peduli dan berpihak pada mereka yang miskin dan tertindas. Buku ini seperti oase bagi saya ditengah
keringnya spiritualitas pembebasan dikalangan gereja dan teolog Indonesia yang masih sibuk
berkecimpung dengan dogma dan persoalan prolegomena barat yang kental dengan semangat skolastik
kering dan membosankan. Singkatnya, buku ini saya rekomendasikan bagi mereka yang ingin melihat
alternative lain dalam berteologi. Dalam situasi buku-buku teologi kita di Indonesia adalah kebanyakan
berbahasa Inggris dan tidak relevan dengan situasi Indonesia, buku ini memberi alternative, ditulis
dengan bahasa Indonesia dan dekat dengan persoalan hidup kita sehari-hari.[] @rintologi

Selengkapnya : http://m.kompasiana.com/bataknarintik/resensi-yesus-dan-wong-
cilik_54f5e0bea33311b5538b48aa
Buku ini ditulis oleh seorang teolog Indonesia untuk isu teologi sosial dengan berusaha
menyeimbangkan aspek teologis dan praktis. Pengalaman konkret penulis yang sangat luas juga sangat
tercermin dalam tulisan ini.

Buku ini merupakan contoh bagaimana teologi merupakan pergumulan iman akan Injil Yesus Kristus
dalam pemihakan terhadap kaum miskin yang menjadi korban ketidakadilan. Di dalamnya berisi
pengalaman penulis selama melakukan pendampingan dan karyanya di tengah-tengah masyarakat yang
menjadi korban ketidakadilan yang mengatasnamakan pembangunan (kasus di Kedungombo, Jawa
Tengah).

Jelaslah dibutuhkan jembatan, yakni tafsir terhadap Injil Yesus Kristus dan tafsir atau analisis terhadap
kenyataan sosial. Tafsir menjadi hidup karena dijalankan berpangkal pada pengalaman pemihakan itu.
Buku ini berguna untuk siapa pun yang peduli terhadap tafsir dan analisis yang relevan dan bermakna
sosial.

Buku Yesus dan Wong Cilik membuktikan bahwa gerakan oikumenis tidak pernah berdiam diri melihat
ketidakadilan terjadi selama Orde Baru. Semangat ini perlu dilanjutkan oleh gereja Indonesia dalam
memasuki era pascareformasi.

Dalam Bab I, penulis membicarakan tentang pembaruan manusia dan dunia. Kerajaan Allah, tepatnya Ã
¢â‚¬Âbasilea” dalam bahasa Yunani, sering dimengerti sebagai pemerintahan Allah. Tanpa
mengacu pada Kerajaan Allah, diakonia sebagai misi gereja akan mengakibatkan pelayanan sosial yang
tidak memiliki dimensi pengharapan eskatologis. Diakonia transformatif yang dilakukan dalam kerangka
Missio Dei dan dalam perspektif Kerajaan Allah bermaksud untuk membangun manusia dan dunia baru.
Tujuan diakonia transformatif sesungguhnya adalah proses untuk membangun manusia dan dunia baru
dalam rangka Kerajaan Allah.

Bab II membahas masalah perhatian pada orang tersisih dalam Alkitab. Injil sebagai kabar sukacita dan
kabar baik adalah untuk semua orang, tetapi dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, Allah
memberikan tempat khusus pada orang miskin dalam Kerajaan Allah. Dalam kerajaan dan pemerintahan
dunia, orang miskin selalu dilupakan dan disingkirkan. Kegiatan membantu orang miskin dalam Alkitab
tidak sekadar bersifat karitatif tetapi berdimensi pembaruan tatanan masyarakat seperti tercemin dalam
semangat tahun Yobel.
Dalam Bab III, bentuk diakonia dipaparkan. Bentuk diakonia terdiri dari diakonia karitatif, reformatif, dan
transformatif. Dalam sejarah, diakonia karitatif paling banyak disukai oleh gereja karena merupakan
diakonia warisan tradisi zending yang ditularkan pada gereja hasil pekabaran Injil di tanah jajahan.
Bentuk kedua adalah diakonia reformatif. Diakonia ini timbul sebagai jawaban gereja di era
pembangunan. Diakonia ini, walaupun jauh lebih baik daripada diakonia karitatif, dalam banyak hal
memiliki kelemahan karena tidak melakukan perubahan sosial yang mendasar. Sementara itu, diakonia
transformatif mengacu pada kegiatan gereja ketika merespons gerakan pembangunan di seluruh dunia
yang menciptakan jurang kaya dan miskin. Untuk menjalankan diakonia transformatif, seseorang
memerlukan keberanian, wawasan, kemampuan analisis sosial dan teknik mengorganisasi masyarakat.
Bentuk diakonia transformatif ini dirintis dan dipraktikkan oleh gerakan urban industrial mission, yang
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pelayanan masyarakat kota dan industri. Kemudian hari,
namanya berubah menjadi urban rural mission (URM).

Dalam Bab IV, pembaca diingatkan bahwa diakonia dalam kitab suci dan sejarah gereja sering disertai
kecaman dosa sosial. Tradisi kecaman dosa sosial dilakukan oleh para nabi, Yesus, Stefanus, dan Bapa
Gereja kuno, seperti Basilius dari Kaesarea. Dosa dalam Alkitab tidak sekadar penolakan manusia
terhadap Allah, tetapi penolakan dan pengingkaran manusia terhadap sesamanya.

Dalam Bab V, masalah konflik dan partisipasi menjadi pembahasan teologis. Diakonia transformatif
dalam praktik berfokus pada partisipasi atau pemberdayaan rakyat dalam pembangunan. Dalam proses
partisipasi tersebut, konflik bisa terjadi antara pihak yang menentukan kebijakan pembangunan (dalam
hal ini pemerintah) dan rakyat yang menerima kebijakan pemerintah. Konflik bukan merupakan tujuan
pemberdayaan rakyat. Konflik merupakan suatu proses yang tak dapat dihindari dalam rangka
memberdayakan rakyat. Namun, konflik harus diatasi dan dihilangkan. Beberapa tantangan teologis dan
politis timbul akibat konflik. Tuduhan melakukan subversi bisa muncul dalam melaksanakan diakonia
transformatif. Untuk itu, masalah subversif perlu diperjelas dalam perspektif Kerajaan Allah.

Bab VI membahas tindakan berteologi bersama rakyat. Teologi rakyat muncul karena pengalaman
berjuang bersama rakyat. Teologi rakyat bukan sekadar rumusan universal yang harus dipaksakan yang
melampaui batas waktu dan tempat. Teologi tidak cukup ditulis di dalam kamar perpustakaan. Teologi
rakyat lahir dari perjuangan bersama rakyat. Teologi rakyat atau teologi pasar ini tidak bermaksud
menggantikan teologi yang universal yang berpusat di altar. Dengan begitu, teologi rakyat sering
menjadi pilihan dari orang-orang yang terlibat dalam perubahan sosial. Teologi rakyat lebih menekankan
compassion daripada confession. Iman bukan sekadar kredo (rumusan kepercayaan) yang disusun pada
masa lalu tetapi merupakan praksis keadilan dalam konteks masa kini.
Dalam Bab VII, makna spiritualitas pembebasan dibahas dalam buku ini. Ketika seorang beriman terjun
dalam diakonia transformatif, mereka membutuhkan spiritualitas bertahan supaya bisa setia sampai
akhir dalam menjalankan misi Allah. Spiritualitas tidak saja menjadi kebutuhan bagi orang yang
melakukan kegiatan rohani tetapi juga menjadi kebutuhan setiap orang yang terlibat aktif dalam
pembaruan manusia dan dunia. Kata ”spiritualitas” tidak dibatasi pada wilayah dan
pengertian rohani tetapi merupakan sikap hidup tentang masa depan dan Kerajaan Allah. Spiritualitas
harus memperhatikan konteks tempat perjuangan dan pelayanan itu dilakukan.

Bab VIII membahas nisbah antara gereja dan lembaga pelayanan. Terdapat perbedaan berteologi antara
orang yang berkecimpung dalam kegiatan altar dan mereka yang bersaksi serta melayani di tengah
pasar. Gereja tidak perlu meng-gereja-kan lembaga pelayanan Kristen (LPK) dan sebaliknya LPK tak perlu
meng-LPK-kan gereja. Keduanya harus mampu memosisikan hakikat dan peranan masing-masing di
tengah dunia.

Bab IX buku ini membahas masalah kemitraan antarlembaga yang melakukan diakonia, terutama dalam
gerakan oikumene di tingkat global. Sepanjang sejarah, kemitraan antarlembaga gereja di Barat dan
mitranya sering terjadi ketegangan. Kritik dan peringatan akan bahaya kemitraan yang tidak sehat yang
berfokus pada bantuan dana dalam hubungan oikumenis dipaparkan dalam bagian ini. Bantuan
keuangan harus diganti dengan kerja sama yang sejati dalam pelayanan. Bantuan dalam kerja sama yang
berfokus pada uang bisa menjadi madu sekaligus racun.

Bab X buku ini membahas panggilan pada abad ke-21. Memasuki abad le-21, globalisasi sudah menjadi
kenyataan di halaman pintu kita masing-masing. Di Asia Tenggara, persetujuan perdagangan bebas (free
trade) mulai diberlakukan pada tahun 2010. Dampak negatif dan positif berjalan seiring dengan
datangnya era pasar bebas. Yang dibutuhkan masyarakat sebenarnya bukan sekadar free trade tetapi
juga fair trade (perdagangan yang adil). Di samping membahas globalisasi dan pasar bebas, Bab X juga
membahas kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup, perang teror, dan benturan peradaban serta
jeritan dan peranan perempuan di abad ke-21.

Buku ini diakhiri dengan penutup yang membahas masalah makna diakonia transformatif dan beberapa
saran aksi.

--------
Melakukan diakonia secara fisik dapat diumpamakan sebagai "membangun sebuah rumah di atas batu
karang yang teguh". Yesus memberikan perumpamaan itu kepada pendengar-Nya untuk menegur
mereka yang hanya mendengar Firman tetapi tidak melakukan dalam hidupnya. Gereja perlu
mewujudnyatakan diakonia di tengah masyarakat. Ini merupakan tugas semua orang beriman, baik yang
memiliki jabatan maupun tidak, serta seharusnya menjadi sikap dan praktik hidup gereja.

Dalam buku ini, Josef P. Widyatmadja mencoba meningkatkan gereja untuk memahami kembali cara
pandang gereja dalam berdiakonia dan berteologi dari perspektif Kerajaan Allah. Ia meyakini bahwa
mewujudkan manusia yang bebas dari kemisikinan dan dunia yang berkeadilan merupakan panggilan
gereja. Studi kasus dari pengalaman lapangan penulis serta berbagai topik menarik tentang masalah
dosa sosial, etika konflik dalam pembangunan, spiritualitas akar rumput,sampai kritik atas kemitraan
pembangunan membuat buku ini patut dibaca dan akan memberikan wawasan yang lebih luas bagi
setiap pembaca.

Anda mungkin juga menyukai