Anda di halaman 1dari 18

MANAJEMEN ZAKAT DALAM ISLAM

I. PENDAHULUAN

Permasalahan perekonomian menempati pokok pembahasan yang pelik


dibanding permasalahan lainnya; karena bagaimanapun, manusia akan saling
bersaing dalam mendapatkan makanan dan sumber kehidupan lainnya. Karena itu,
ekonomi merupakan salah satu faktor terpenting terhadap jatuh bangunnya suatu
pemerintahan; juga menunjukkan akan kadar kesuksesan dan kegagalan
perpolitikan yang berperan di dalamnya, serta merupakan salah satu akibat
muncul dan padamnya suatu revolusi. Bisa dilihat bahwasanya perbedaan
ideology yang ada di seluruh negara dan benua dunia sekarang ini, pada awalnya
dipicu atas sistem perekonomian yang ada.
Islam bukanlah agama yang membiarkan segala permasalahan ini hadir
tanpa batasan. Namun, Islam pun tumbuh dengan banyak kepedulian positif
terhadap realitas suatu permasalahan, seperti fenomena perekonomian. Zakat yang
merupakan rukun Iman ketiga dianggap mempunyai peran yang signifikan dalam
mengatasi berbagai permasalahan ekonomi.
Namun sebelumnya, penulis mencoba untuk memaparkan sebagian
permasalahan yang berhubungan dengan zakat untuk dapat mengidentifikasikan
pemecahannya. Permasalahan-permasalahan tersebut yaitu :
1. Pengangguran
2. Kemiskinan
3. Beban krisis dan hutang piutang
4. Perekonomian yang buruk
5. Harta karun dan penimbunan harta

1
II. MASALAH KEMISKINAN
Masalah kemiskinan merupakan salah satu penyebab munculnya
permasalahan perekonomian masyarakat; karena definisi kemiskinan adalah
lemahnya sumber penghasilan yang mampu diciptakan individu masyarakat yang
juga mengimplkasikan akan lemahnya sumber penghasilan yang ada dalam
masyarakat itu sendiri, dalam memenuhi segala kebutuhan perekonomian dan
kehidupannya. Karena itu para ahli ekonomi senantiasa berusaha untuk mencari
solusi dan pemecahan terhadap permasalahan kemiskinan yang makin merebak
dan juga merumuskan teori ekonomi, serta penerapannya yang mampu
mengentaskan kemiskinan.
Kemiskinan pun merupakan sdalah satu masalah yang ada dalam
masyarakat, karena kemiskinan menimpa sebagian dari anggota masyarakat yang
ada serta membuat mereka lemah dalam menjalankan peran dan partisipasi dalam
membangun masyarakat. Dari hal ini, timbullah iri dan dengki dalam diri mereka,
dan juga kebencian yang mendalam kepada orang-orang yang mempunyai
penghasilan yang lebih di antara mereka. Bahkan mereka pun menebarkan
kebenciannya kepada seluruh masyarakat yang ada hingga membuatnya mampu
bertindak sewenang-wenang kepada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, serta
membuatnya tidak mampu membedakan suatu yang baik ataupun yang buruk,
sesuatu terpuji ataupun tercela. Keadaan ini membuat para ahli kemasyarakatan
mencari pemecahannya dengan segala daya upaya yang mereka miliki, baik
kemiskinan yang berdampak hanya kepada individu msyarakat itu sendiri atau
terhadap keutuhan keluarga, maupun yang berdampak luas kepada tatanan
masyarakat; seperti kemiskinan yang disebabkan oleh paceklik, perang, bencana
alam ataupun penyebab lainnya yang menimpa masyarakat umum; termasuk
kemiskinan yang disebabkan oleh sumber alam atau devisa suatu negara.
Masalah kemiskinan pun termasuk salah satu permasalahan politik.
Karena, faktor penting yang menjadi konsentrasi dunia perpolitikan adalah
masalah perekonomian. Dimana perekonomian adalah salah satu dari tiga
permasalahan (kemiskinan, kebodohan dan juga penyakit), yang ditanggulangi
oleh pemerintah terhadap penyelesaian krisis dalam masyarakat.

2
Namun demikian, kemiskinan tetap menjadi bagian dari masalah
kemanusiaan, karena merupakan salah satu masalah manusia bila ditinjau dari sisi
kemanusiaannya. Manusia merupakan makhluk yang Allah jadikan khalifah di
muka bumi ini, dan Allah pun telah menyediakan baginya semua yang ada di
langit dan juga yang ada di bumi. Allah pun melengkapi semua ini dengan nikmat-
nikmat-Nya, baik secara lahiriyah maupun batiniyah. Namun pada kenyataannya
belum mampu memuaskan segala kebutuhan dan mencukupi keinginan manusia;
padahal langit tak pernah pelit untuk selalu memberikan air hujannya, bumi tak
pernah kikir dalam menumbuhkan banyak tumbuhan di permukaannya, bahkan
mataharipun tak pernah bosan untuk memberikan sinarnya!.
Karena itu, maka wajar apabila Islam kemudian mencoba memahami
permasalahan ini dan juga mencoba membebaskan manusia dari belenggu hawa
nafsunya. Dalam hal ini ada dua basis pandangan; pandangan Islam terhadap
manusia itu sendiri dan pandangan Islam terhadap kemiskinan.

A. Pandangan Islam Terhadap Manusia


Pandangan Islam akan manusia adalah pandangan yang tiada
tandingannya dari pandangan-pandangan yang ada terhadap manusia itu sendiri.
Islam telah mengangkat harkat dan martabat manusia dan juga
meninggikan posisinya, sebagaimana firman-Nya :

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut


mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra : 70).

Allah pun telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini
dan menciptakan baginya seluruh makhluk, yang kesemuanya itu bertujuan untuk

3
dapat membantu tugas dan kepentingannya serta merealisasikan misinya,
sebagaimana firman-Nya :

Tidaklah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundakan untuk


(kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan
menyemprunakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. (QS. Luqman:20).

Apabila kesempurnaannya ini telah menunjukkan atas kemuliaan dan


kedudukan manusia dalam Islam, maka tidak berlebihan apabila kemudian syariat
Allah dibuat untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Dan, menjaga seluruh
kepentingan yang berhubungan dengannya serta mewujudkan segala tuntutan
biologinya. Hingga manusia dapat hidup dan membangun bumi serta mengemban
amanat sebagai khalifah, dan mampu beribadah hanya kepada-Nya. Demikian
pula, Allah telah menjadikan unsure dalam diri manusia yang terdiri atas badan,
akal dan ruh; yang kesemuanya mempunyai kebutuhan dan keinginan masing-
masing. Tubuh mempunyai kepentingan biologisnya, akal mempunyai keinginan
untuk menelaah dan ruh mempunyai kerinduan dan keinginan untuk
penjernihannya. Seorang manusia tidak akan mampu mempunyai
eksistensialisnya sebagai manusia apabila ia belum mampu memenuhi
kesemuanya itu.
Al-Quran dan hadits telah banyak menjelaskan, bahwasannya
memberikan sesuatu kepada seseorang yang fakir berarti memberikan sesuatu
tersebut kepada Allah. Maka barang siapa yang membantu seseorang untuk
membutuhkan suatu bantuan, maka ia seolah telah meminjam sesuatu kepada
Allah. Bagi siapa yang bersedekah kepada orang-orang miskin, maka
sesungguhnya sedekahnya itu akan sampai kepada Allah sebelum sedekah itu
sendiri sampai kepada fakir miskin.

4
B. Pandangan Islam Terhadap Kemiskinan
Islam memandang kemiskinan merupakan satu hal yang mampu
membahayakan akidah, akhlak, kelogisan berfikir, keluarga dan juga masyarakat.
Islam pun menganggapnya sebagai musibah dan bencana yang harus segera
ditanggulangi. Dimana seorang muslim harus segera memohon perlindungan
kepada Allah atas kejahatan yang tersembunyi di dalamnya. Terlebih, jika
kemiskinan ini makin meraja, maka ia akan menjadi kemiskinan yang mansiyyan
(mampu membuatnya lupa akan Allah dan juga kemanusiannya); ia adalah
bagaikan seorang kaya yang apabila terlalu meraja, maka ia akan menjadi
kekayaan yang mathgiyyan (mampu membuat seseorang zalim; baik kepada Allah
maupun kepada manusia lainnya). Banyak sahabat Rasulullah SAW yang
meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW sendiri pernah ber-taawwudz (memohon
lindungan Allah) dari kemiskinan. Apabila memang kemiskinan tidak berbahaya,
maka tentunya Rasulullah tidak perlu ber-taawwudz atasnya.
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasa Rasulullah Saw ber-taawwudz :
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari fitnah api neraka,
dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kekayaan dan juga berlindung
pada-Mu atas fitnah kemiskinan. (HR. Bukhari).

Tampak dari hadits ini sesungguhnya Rasulullah Saw berlindung kepada


Allah dari semua hal yang melemahkan baik secara materi ataupun secara
manawi; baik kelemahan itu karena tidak mempunyai uang (kemiskinan), atau
tidak mempunyai harga diri dan juga karena hawa nafsu (kehinaan).
Point penting dari semua ini adalah adanya keterkaitan taawwudz dengan
kekafiran. Sesungguhnya kekafiran inilah yang menjadi landasan dasar dari
adanya taawwudz itu sendiri, yang kesemuanya ini akhirnya menjadi bukti akan
bahaya kemiskinan itu sendiri.
Imam manawy dalam kitabnya Faidhul Qadir menyebutkan bahwa ada
keterkaitan kuat antara kekafiran dan kefakiran, karena kefakiran merupakan satu
langkah menuju kekafiran. Seorang yang fakir miskin, pada umumnya akan
menyimpan kedengkian kepada orang yang mampu dan kaya. Sedang iri dengki

5
mampu melenyapkan semua kebaikan. Mereka pun mulai menumbuhkan
kehinaan di dalam hati mereka, di saat mereka mulai melancarkan segala daya
upayanya demi mencapai tujuan kedengkian mereka tersebut. Kesemuanya ini
mampu menodai agamanya dan juga menimbulkan adanya ketidak ridhaan atas
takdir yang telah ditetapkan yang akhirnya tanpa sadar akan membuatnya mencela
rezeki yang telah dating padanya. Walaupun ini semua belum termasuk ke dalam
kekafiran, namun sudah merupakan langkah untuk mencapai kekafiran itu sendiri.
Sufyan Al-Tsauri berkata : Apabila diberikan padaku empat puluh dinar
hingga aku mati dengannya, maka sesungguhnya hal ini lebih aku sukai daripada
kefakiranku di suatu hari, dan daripada aku harus merendahkan diriku dengan
mengemis kepada orang lain. Lalu ia berkata: Demi Allah, aku tidak tahu apa
yang akan terjadi padaku apabila aku ditimpa bencana kemiskinan ataupun
ditimpa suatu penyakit. Mungkin pada saat itu aku akan kafir ataupun tidak
merasakan apapun.

Maksud dan Tujuan Islam dalam Pengentasan Kemiskinan


Dari fenomena di atas, maka Islam mulai mengkonsentrasikan pada
pengentasan kemiskinan dengan mencari pemecahannya di berbagai aspek.
Melepaskan manusia dari cangkraman kemiskinan dengan mempersiapkan
kehidupan yang sesuai dengan keadaan dan cocok dengan kehormatan dirinya.
Sehingga, bisa beribadah kepada Allah dan juga mampu mengemban beban
kehidupan, serta menjaganya dari segala cengkraman sesuatu yang diharamkan,
termasuk segala tipu daya.
Islam menginginkan agar setiap manusia mempersiapkan kehidupan
terbaiknya. Dimana dengan hal itu bisa menikmati kehidupannya yang dipenuhi
dengan keberkahan langit dan bumi, serta mampu mendayagunakan segala apa
yang ada di dalamnya dengan sebaik mungkin. Hingga akhirnya, manusia akan
merasakan kebahagiaan di berbagai aspek kehidupan dan juga keamanan yang
meliputi hati. Serta rasa syukur terhadap semua nikmat yang diterimanya di semua
kisi-kisi dadanya. Dengan demikian, manusia pun akan mampu beribadah kepada
Allah dengan penuh ke-khusyuan dan juga dengan persiapan yang sangat baik,

6
dimana ia tidak akan juga mendesak. Ia pun akan lebih mampu
mengkonsentrasikan diri untuk lebih mengenal Allah kehidupan lain, kehidupan
akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.
Dengan tujuan di atas inilah, maka Allah mewajibkan zakat dan
menjadikannya sebagai pondasi terhadap keberlangsungan Islam di muka bumi
dengan cara mengambil zakat tersebut dari orang-orang yang mampu dan kaya
serta memberikannya kepada fakir miskin, demi membantunya dalam menutupi
kebutuhan materi; dan juga kebutuhan biologis (menikah), dimana para ulama
menetapkan bahwa pernikahan merupakan salah satu cara untuk mendapat
melengkapi dan memenuhi kebutuhan, serta meningkatkan kemampuan berfikir.
Dengan zakat inilah, memungkinkan para fakir miskin untuk dapat turut
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan juga menjalankan
kewajibannya dalam beribadah kepada Allah, serta turut membangun tatanan
masyarakat. Selain itu, mereka pun merasa menjadi bagian dari masyarakat dan
bukan menjadi komunitas yang tersingkirkan atau sampah masyarakat. Dimana
satu sama lain saling menjaga dan saling menaungi. Mereka pun berhak
mendapatkan bantuan yang terhormat dan pemerintah, tanpa disertai dengan
celaan dan juga rasa sinis. Bantuan inilah yang lebih bisa diterima oleh jiwa dan
juga lebih terhormat, bahkan penuh dengan kemuliaan. Karena, mereka
mendapatkan bagian dari haknya yang telah terukur dan juga dari bagian yang
telah ditetapkan.
Hingga, apabila terdapat permasalahan dalam masyarakat muslim,
petugas zakat (orang yang untuk menangani pengumpulan dan pendistribusian
zakat) diperingati dan di wanti-wanti untuk tidak melecehkan dan juga melukai
perasaan fakir miskin yang menerima zakat tersebut. Ataupun meremehkannya
dengan melukai atau merendahkan kehormatannya sebagai seorang muslim,
sebagaimana dengan firman Allah SWT :

7
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena
riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di
atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Baqarah : 264).

C. Peran Zakat dan Mengentaskan Kemiskinan


Peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan adalah peran yang tidak
bisa dipungkiri keberadaannya, baik dalam kehidupan muslim ataupun dalam
kehidupan lainnya. Khalayak umum hanya mengetahui bahwasannya tujuan dari
zakat adalah mengentaskan kemiskinan dan juga membantu para fakir miskin,
tanpa mengetahui gambarannya secara gambling.
Kenyataannya, zakat dalam pandangan Islam bukanlah satu-satunya cara
untuk mengentaskan kemiskinan. Masih banyak cara lain yang masih bisa
diupayakan secara individu ataupun pemimpin masyarakat untuk dapat memenuhi
dan menutupi kebutuhan seorang fakir dan juga keluarganya, hingga ia tidak perlu
lagi bergantung kepada orang lain.
Ada nafkah yang dikeluarkan pada kerabat yang mampu untuk membantu
kerabat lainnya, dan juga ada kas di banyak negara Islam yang dikeluarkan untuk
hak atas harta yang dimiliki setelah dikeluarkan zakatnya. Selain itu, juga ada
sadaqah yang di sunnahkan dan banyak lagi yang lainnya. Kesemuanya itu selain
adanya kewajiban zakat bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan juga
melepaskan cengkeramannya.
Namun perlu digarisbawahi, bahwa peranan zakat tidak hanya terbatas
kepada pengentasan kemiskinan. Akan tetapi bertujuan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan kemasyarakatan lainnya. Dapat diketahui, bahwa
salah satu peranan zakat adalah membantu negara muslim lainnya dalam

8
menyatukan hati para warganya untuk dapat loyal kepada Islam dan juga
membantu segala permasalahan yang ada di dalamnya. Termasuk permasalahan
yang ada dalam tubuh orang Islam itu sendiri; sebagaimana membantu negara
muslim lainnya dalam menegakkan kalimatullah, dan memotivasi orang yang
berhutang untuk dapat membuat baik serta membuatnya istiqamah dalam
kebaikan.
Dari sini, dapat dikatakan bahwa target utama dari aplikasi zakat adalah,
mengentaskan kemiskinan secara keseluruhan. Dimana hal ini tidak dibatasi oleh
waktu dan juga tidak terpukau oleh permukaan yang tampak. Rasulullah sering
menyebutkan tugas pertama ini dalam banyak haditsnya, sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Muadz di asat ia diutus untuk pergi ke Yaman dan mendapat
perintah untuk mengajarkan kalimat bagi orang masuk Islam. Di antara kalimat
tersebut berbunyi :
Sesungguhnya Allah mewajibkan atas mereka sadaqah (zakat) dari harta
mereka, yang diambil dari orang yang mampu di antara mereka dan
diberikan kepada orang fakir di antara mereka. (HR. Jamaah dari Ibnu
Abas).

Mengentaskan Kemiskinan dengan Mengentaskan Penyebabnya


Sudah semestinya agar seseorang dapat menunaikan zakatnya untuk
mengentaskan kemiskinan, diketahui penyebab kemiskinan terhadap individu atau
kemiskinan yang terjadi pada satu kelompok masyarakat maupun yang menimpa
pada suatu daerah. Sesungguhnya setiap penyakit mempunyai obat yang berbeda-
beda sesuai dengan penyebab yang menyertainya. Suatu obat tidak akan manjur
apabila tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Dan tidak mungkin
membuat spesifikasi suatu obat, apabila tidak diketahui penyebab datangnya
penyakit tersebut, sehingga membuat obat itu tidak berfungsi terhadap
penyembuhan penyakit yang ada. Karena itu, dalam mengentaskan kemiskinan
yang disebabkan oleh penganguran, rasa malas, dan kurangnya upaya dalam
mencari pekerjaan, tentunya oleh adanya kelemahan dalam bekerja ataupun

9
kemiskinan yang disebabkan banyaknya anggota keluarga yang ditanggung,
sehingga minimnya pemasukan bulanan. Dari sini dapat dibuat point :
1. Kemiskinan yang disebabkan oleh adanya pengangguran telah dijelaskan di
pembhasan sebelumnya; baik pengangguran karena karena keterpaksaan
ataupun karena suatu pilihan.
2. Kemiskinan yang disebabkan karena ketidakmampuan dalam menutupi dan
memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dimana ketidakmampuan tersebut
disebabkan oleh salah satu dari dua sebab sebagai berikut :
Pertama; kemiskinan yang disebabkan oleh kelemahan fisik yang
menjadi penghalang dirinya dalam mendapatkan penghasilan yang besar.
Termasuk dalam cakupan lemahnya fisik adalah, karena umur yang masih kecil
sedang ia tidak mempunyai keluarga seperti yang dialami oleh para anak yatim.
Ataupun umur yang terlalu tua sebagaimana yang dialami oleh para kakek tua
yang sudah lemah. Selain itu, bisa jadi karena ia kehilangan salah satu anggota
tubuhnya atau panca inderanya. Ataupun, karena ia menderita suatu penyakit yang
membuatnya tidak bisa berbuat banyak selayaknya orang normal, dan penyebab-
penyebab fisik lainnya yang diderita dan ia tidak bisa mengatasi hal tersebut.
Kedua; kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakmampuan mencari
pekerjaan, karena ditutupnya pintu-pintu pekerjaan yang halal sesuai dengan
keadaan para fakir miskin tersebut. Walaupun mereka telah mengupayakannya
dengan sekuat tenaga dan mencarinya dengan gigih serta giatnya usdaha para
pemimpin masyarakat dalam memberikan kesempatan pada mereka dalam
membuka lowongan pekerjaan. Mereka tidak diragukan lagi berada dalam posisi
yang sangat lemah secara hokum, namun tidak secara kekuatan. Karena kekuatan
tubuh tidak memberikan makanan dan juga tidak menghilangkan kelaparan
selama tidak didapati suatu penghasilan.
Ketiga; kemiskinan yang ketiga ini bukan disebabkan karena
pengangguran atau karena ia tidak menemukan pekerjaan yang sesuai, tetapi pada
kenyataannya ia bekerja dan mendapatkan penghasilan tetap. Namun sayangnya
penghasilan dan pemasukan tidak seimbang dengan pengeluaran. Pendapatannya
tidak mampu memenuhi semua kebutuhannya dan tidak mampu mewujudkan

10
kecukupan, sebagaimana yang banyak dialami oleh para buruh, petani dan juga
pekerja rendahan ataupun wiraswasta kecil. Atau seseorang yang sedikit uangnya
tetapi mempunyai keluarga yang banyak dimana ia harus menanggung semua
penghidupan kelukarganya tersebut.
Jawaban atas semua permasalahan kemiskinan ini adalah sesuatu yang
positif dan membangun. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menjelaskan
penggolongan di atas dengan jelas dan membuat sesuatu yang menarik perhatian
para sahabatnya di saat Rasulullah menggambarkan akan definisi miskin yang
sesungguhnya. Dimana masyarakat tidak mempedulikannya, di saat mereka
membutuhkan pertolongan dan bantuan. Rasulullah SAW bersabda :
Tidaklah dianggap seorang itu miskin, apabila ia diberi satu butir atau
dua butir kurma, ataupun apabila ia diberi selembar atau dua lembar roti.
Sesungguhnya orang miskin adalah orang yang menjatuhkan diri dari
hal-hal yang tidak halal.

Dan, Allah SWT berfirman :

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan


Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kayak arena memelihara diri dari minta-minta.
Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta
kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
(QS. AL-Baqarah : 273).

Dimaksud dengan tidak meminta secara mendesak adalah tidak mendesak


akan suatu hal, serta tidak membebani orang lain akan apa yang mereka
tidak butuhkan. Maka bagi siapa yang telah meminta sesuatu hal namun ia
sendiri belum membutuhkannya, maka sesungguhnya ia tel,ah mendesak

11
dan membebani orang. Inilah pensifatan yang digambarkan dan dilekatkan
pada para fakir miskin dari kaum Muhajirin yang lebih
mengkonsentrasikan diri untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya padahal
mereka tidak mempunyai uang ataupun pekerjaan yang memenuhi
kebutuhan mereka.

Kadar zakat yang dikeluarkan untuk fakir miskin.


Para ulama berbeda pendapat terhadap kadar zakat yang harus
dikeluarkan untuk golongan fakir miskin, tergantung kondisi yang dialami. Setiap
pendapat tersebut dilandasi dengan dalilnya masing-masing.
Imam Abu Hamid Ghazali membahas permasalahan ini dalam karyanya
Ihya Ulumuddin pada bagian adab dalam mengambil zakat dan sadaqah. Juga
adab yang harus dikuasai oleh para panitia zakat, dengan ungkapannya: Muzhab-
muzhab ulama berbeda pendapat dalam menentukan kadar yang diberikan kepada
penerima zakat ataupun sadaqah. Sebagian dari mereka ada yang mengambil
minimalnya yaitu dengan memberikan makanan yang cukup untuk sehari dan
semalam; sedang sebagian lainnya memberikannya hingga batasan kayanya
seseorang. Batasan tersebut dilihat dari nishab harta. Karena sesungguhnya Allah
tidak mewajibkan zakat kecuali bagi orang-orang yang kaya. Dikatakan :
Diberikan bagian zakat yang cukup bagi dirinya dan juga keluaganya sesuai
nishab zakat. Sedang sebagian lainnya mengatakan : Batasan kaya adalah lima
puluh dirham atau emas yang sesuai dengan nilai tersebut.
Sedang sebagian ulama lainnya menentukan kadar yang sangat maksimal.
Dikatakan : Diberikan bagian zakatnya sesuai dengan harga barang yang
dibutuhkan, hingga ia mampu untuk mandiri selama sisa hidupnya, atau
disediakan baginya barang-barang dagangan untuk diperjualbelikan. Dengan
keuntungannya ia menafkahi kehidupan selama sisa hidup; karena inilah yang
disebut dengan kaya. Umar bin Khattab berkata : Bila kau ingin memberikan
sesuatu, maka berikanlah hingga ia tidak membutuhkannya lagi dari orang lain.
Hingga suatu kaum berpendapat : Bagi siapa yang jatuh miskin, maka ia boleh
mengambil zakat yang memungkinkannya untuk dapat kembali kepada kehidupan

12
semula, walaupun hal ini membutuhkan sepuluh ribu dirham, kecuali apabila
dirasa hal itu keluar dari batas-batas normal.
Hal inilah yang banyak diriwayatkan. Sedangkan pembagian yang
minimal hanya berupa makanan yang cukup untuk sehari semalam saja. Hal ini
diungkapkan untuk menegaskan bahwa kegiatan meminta-minta dengan
berpindah dari satu pintu ke pintu lain sangat dimuka dan diinkari keberadaannya,
dan hal ini mempunyai hukum tersendiri.
Namun pembolehan untuk memberikan zakat kepada seseorang hingga ia
mampu untuk membeli barang yang dibutuhkan dan dengannya memungkinkan
untuk bisa mandiri, mempunyai hokum tersendiri. Karena hal ini seolah condong
kepada pemborosan. Sebab, sesuatu yang dianggap normal adalah dengan
memberikan kebutuhan fakir miskin yang cukup untuk setahun kehidupannya.
Pemborosan dalam pendistribusian zakat akan berdampak bahaya. Sedangkan
terlalu kikir dalam pendistribusiannya merupakan penyempitan yang
mengakibatkan kesulitan bagi fakir miskin dalam memenuhi kebutuhannya.

III. MEMANAJEMEN ZAKAT


Salah satu hasil dari perjuangan dan upaya yang mereka lakukan adalah
menyerukan penyatuan kekuatan dunia Islam di berbagai tempat dengan
mewajibkan kepada semua kaum Muslimin untuk kembali kepada syariah Islam
dan menjadikannya sebagai landasan atau dasar hukum yang tetap dan kuat.
Untuk mewujudkan hal ini khususnya dalam perekonomian Islam, maka
cara yang perlu ditempuh adalah dengan membersihkan perekonomian yang ada
dari pengaruh hukum kapitaslime dan mengarahkannya kepada hukum sistem
perekonomian syariahy, yang dapat diwujudkan dalam dua hal, yaitu :
1. Mendirikan perbankan syariah, serta menghilangkan sistem riba yang banyak
berkembang. Karena sistem riba adalah suatu praktek yang sangat dilaknat,
baik yang memakan hasilnya, yang mewakili maupun yang menjadi saksi
atasnya.
2. Mendirikan Baitul Zakat atau tempat pengumpulan zakat untuk mendirikan
takaful (badan yang bertugas untuk membantu masyarakat yang kesulitan) dan

13
juga saham guna mewujudkan keadilan masyarakat, serta memecahkan
permasalahan krisis ekonomi dalam kemasyarakatan.
Selain itu, banyak permasalahan yang tidak bisa ditanggulangi melalui
zakat. Termasuk eksistensinya terhadap problematika masyarakat dan menjalin
ukhuwah islamiyah. Permasalahan ini dampak dari keraguan sebagian ulama
kontemporer terhadap keberhasilan manajemen zakat dalam merealisasikan tujuan
kemasyarakatan, kemanusiaan dan juga keislaman pada masa ini. Keraguan itu
muncul disebabkan oleh beberapa faktor :
a. Berhentinya ijtihad yang biasa dilakukan dalam menghukum suatu harta yang
berkembang yang belum ada dan dikenal pada masa mujahidin sebelumnya.
Seyogyanya sebagian dari harta tersebut wajib dibayarkan zakatnya.
b. Tingginya fanatisme mazhab dan juga taqlid buta terhadap para ulama yang
memilih untuk menghukumi suatu permasalahan zakat berdasar atas mazhab
tertentu dan bkan atas pendapat yang paling rajih diantara banyak pendapat
mazhab.
c. Lemahnya kesadaran beragama dan juga kesadaran akan nilai-nilai keislaman
pada individu Muslim pada saat ini. Apabila permasalahan zakat diletakkan
pada setiap individu Muslim, ditakutkan munculnya masalah yang lebih
komplek. Sehingga menimbulkan sifat yang terlalu berlebih-lebihan dalam
menyikiapi permasalahan, yang biasa menyertai dan terjadi dalam banyak
lembaga pemerintahan negara Muslim. Sebagaimana yang banyak terjadi,
apabila pemerintah memegang tanggung jawab penuh dalam mengurusi
masalah zakat dan juga distribusinya. Banyak pengalaman menunjukkan
bahwa di banyak negara, dimana pemerintah memegang tanggung jawab
terhadap zakat dan pendistribusiannya, namun belum mampu untuk
mewujudkan maksud dan tujuan dari zakat itu sendiri.

IV. PENGELOLAAN ZAKAT DARI HARTA TETAP DAN TIDAK TETAP


Apabila syarat pertama telah terpenuhi, maka syarat kedua pun harus bisa
dipenuhi, hingga hasil yang diperoleh dari zakat cukup untuk menutupi kebutuhan
yang ada. Sehingga, dapat merealisasikan tujuan besar zakat yang sangat

14
diharapkan tercapainya kemaslahatan. Dan juga ditemukannya solusi dari
komplisitas permasalahan yang ada sekarang ini.
Pada mukhlisiin (orang-orang yang ikhlas dalam menegakkan agama
Islam) sangat khawatir dengan adanya pembentukan lembaga zakat. Dimana
banyak orang yang menggantungkan harapan pada lembaga zakat. Namun
kenyataan yang terjadi, pengumpulan zakat tidaklah sebanyak yang dibayangkan,
dan tidak mampu menutupi kebutuhan yang ada. Terlebih, apabila kita mendapati
pendapat yang masyhur yang menjadikan zakat atas harta yang tidak tetap
diwakilkan atas perorangan dan bukan diberikan kepada lembaga zakat yang
bertanggung jawab penuh atas pendistribusiannya.
Dari sini, sudah seyogyanya bagi kita untuk menelaah lebih dalam akan
permasalahan ini. Para ahli fiqh telah membagi harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya ke dalam dua bagian; harta tetap (current assets) dan tidak tetap (fixed
assets).
Harta tetap adalah harta yang terlibat dimana setiap orang mampu
menggambarkannya dan menghitungnya; mencakap di dalamnya biji-bijian dan
buah-buahan yang termasuk hasil perkebunan, hewan ternak seperti unta, sapi dan
kambing. Sedangkan harta tidak tetap adalah uang atau yang sama dengannya
seperti barang dagangan. Para ulama berbeda pendapat dalam kedudukan zakat
fitrah. Sebagian dari mereka menganggapnya sebagai harta tetap, sedang sebagian
lainnya menganggapnya sebagai harta tidak tetap.
Pertama; para ulama telah sepakat bahwa yang berhak mengumpulkan
zakat pada harta tetap dan mendisribusikannya adalah pemimpin yang ada pada
suatu daerah kaum Muslimin. Hal ini tidak boleh ditangani secara perorangan,
termasuk pendistribusiannya. Sebagaimana dalil yang terdapat dalam hadits
mutawatir dari banyak riwayat, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan utusan
dan Rasulullah sendiri pulalah yang memaksa kaum Muslimin agar mereka
menunaikan zakatnya untuk kepentingan negara, dan memerangi orang yang
menolak untuk menunaikannya.
Kedua; para ulama telah bersepakat bahwa pengumpulan dan
pendistribusian zakat pada harta bergerak, baik berupa uang maupun barang

15
dagangan, dilakukan oleh pemimpin. Namun apakah hal itu menjadi kewajiban
bagi seorang pemimpin? Apakah ia diharuskan untuk memaksa manusia untuk
menunaikannya kepadanya dan juga kepada pekerjanya? Atau bolehkan ia
memerangi mereka apabila mereka menolak menunaikannya, sebagaimana yang
dilakukan oleh Abu Bakar? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Inilah landasan dasar dari kewajiban zakat, sebagaimana dijelaskan di
bawah ini :
1. Iman Ar-Razy dalam menafsirkan surat Taubah ayat 60 berbunyi :

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-


orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah
dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. Taubah : 60).

Ayat ini menjelaskan, bahwa zakat berada di bawah pengelolaan pemimpin


atau pemerintah. Dalil ini juga menunjukkan bahwasanya Allah menjadikan
setiap panitia zakat bagian dari zakat itu sendiri, yang kesemuanya ini
menunjukkan atas kewajiban dalam menunaikan tugas yang telah dibebankan.
Panitia atau petugas zakat adalah orang yang ditunjuk oleh seorang pemimpin
untuk bertanggung jawab atas penarikan zakat.

2. Seorang peneliti dari Mazhab Hanafi yang terkenal, Kamaluddin bin Hamam
mengatakan, bahwa sesuatu yang tetap dalam firman Allah SWT :

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.. (QS. Taubah : 103).

16
Menunjukkan adanya kewajiban seorang pemimpin dalam mengumpulkan
zakat (baik zakat yang diambil dari harta tetap maupun dari harta tidak tetap).
Karena hal inilah, maka Rasulullah SAW dan dua khalifah sesudahnya,
termasuk pada masa kepemimpinan Utsman, mulai tampak perubahan dalam
kehidupan manusia pada saat itu. Dimana orang sudah mulai tidak menyiksa
apabila ada orang lain yang berusaha mencari tahu akan harta mereka yang
tidak tetap, lalu mereka pun mulai membayarkannya langsung kepada
khalifah. Dan, para sahabat tidak berbeda pendapat akan hal ini. Oleh karena
itu, apabila warga tidak menunaikan zakatnya, maka ia boleh diminta untuk
menunaikannya..

V. MEMBANGUN KEPERCAYAAN ANTARA PEMBERI DAN


PENERIMA ZAKAT
Yang dimaksudkan di sini adalah dengan tidak memberikan zakat ini
kepada setiap orang yang memintanya atau setiap orang yang berpenampilan
layaknya seorang fakir miskin. Ataupun setiap orang yang mengaku ia adalah
gharim (yang berhutang demi kebaikan), ibnu sabil ataupun orang yang sedang
berjuang di jalan Allah. Zakat baru bisa diberikan setelah adanya keyakinan dan
juga kepercayaan bahwa si penerima adalah orang yang berhak dengan cara
mengetahui atau menanyakan hal tersebut kepada orang-orang adil yang tinggal di
lingkungannya, ataupun yang mengetahui keadaannya yang sebenarnya. Yang
membuat kami menetapkan hal ini adalah pentingnya pendistribusian zakat di
setiap daerah kepada orang yang berhak menerimanya; dan tidak diragukan lagi
bahwa masyarakat desa ataupun kota mengetahui orang-orang yang membutuhkan
zakat tersebut yang tinggal di antara mereka dan juga mengetahui sejauhmana
kefakiran seseorang, termasuk kebohongan dan tipu dayanya kepada orang lain.
Salah satu hadits Rasulullah SAW yang dapat mengamati orang-orang
yang akan menerima zakat adalah hadits Qubaishah bin Markhariq yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dalam kitab Shahihnya. Di dalamnya
terdapat pernyataan bahwa seseorang tidak berhak menerima zakat kecuali ia
mengalami satu dari tiga hal, yaitu :

17
a. Seseorang yang mempunyai tanggungan, maka ia boleh menerima zakat
hingga ia bisa mandiri dan juga berhenti dari meminta-minta akan bantuan
orang lain.
b. Seseorang yang ditimpa bencana besar yang menghabiskan harta bendanya,
maka ia boleh menerima zakat hingga ia bisa mandiri dalam hidupnya.
c. Seseorang yang miskin dan hal ini dipertegas oleh pernyataan tiga orang dari
kaumnya; orang ini memang miskin. Dengan ini maka ia diperbolehkan
menerima zakat hingga ia bisa mandiri dalam hidupnya.

Hal yang mempertegas terhadap persyaratan adanya saksi bagi seorang


yang mengaku fakir dan meminta zakat, didasari pada banyak orang yang bodoh
dan suka melebih-lebihkan masalah yang terjadi dan juga membolak-balikkan
fakta yang ada dalam menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Banyak orang yang
mengira bahwa orang yang menahan dirinya untuk tidak meminta bantuan orang
lain adalah orang-orang kaya, sedang orang yang meminta-minta adalah orang
yang miskin. Namun kenyataannya tidak begitu adanya. Al-Quran telah
menyifati kaum fakir miskin di Madinah, yaitu orang-orang yang lebih
mendapatkan prioritas dalam menerima zakat dan juga sadaqah lainnya, dengan
firman Allah :

(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan


Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi, orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.
Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta
kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
(QS. AL-baqarah : 273).

18

Anda mungkin juga menyukai