Anda di halaman 1dari 22

Makalah Teknologi Budidaya Air Tawar

“Ikan Patin”

Oleh

Kelompok 3 :

1. Annisa Pratiwi ()
2. Lalu Aan Okta Rinaldi (C1K016051)
3. Maedi Mahdalena ()
4. Marniati (C1K016061)
5. Nurhariati ()
6. Pandu Abdi Perdana (C1K016077)
7. Sari Hidayati (C1K016087)
8. Syarif Hidayatullah (C1K016051)

Program Studi Budidaya Perairan

Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan

Fakultas Pertanian

Universitas Mataram

2019
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan patin saat ini merupakan komoditas perikanan air tawar yang cukup digemari
oleh masyarakat, bukan hanya di Indonesia namun juga di luar negeri. Restoran di
Indonesia juga sudah banyak yang menyajikan menu makanan utama berupa ikan
patin bakar atau goreng. Harga jual ikan patin pun cukup tinggi sehingga ikan patin
juga merupakan komoditas ekspor yang menjanjikan. Untuk memenuhi kebutuhan
pasokan ikan patin yang tinggi tersebut, tidak cukup hanya melalui kegiatan
penangkapan sehingga perlu adanya kegiatan budidaya terutama secara lebih intensif.
Mengingat juga Ikan patin mempunyai kelebihan, diantaranya adalah paling mudah
beradaptasi, dapat dibudidayakan di lahan marginal, daya tahan tinggi, dan
mempunyai pasar domestik yang luas (Tim Perikanan WWF Indonesia, 2015).
Ikan Patin juga tergolong sebagai ikan yang memiliki kandungan protein yang
cukup tinggi. Rasa daging ikan patin pun tergolong khas dibandingkan dengan jenis
ikan air tawar lainnya. Untuk itulah konsumen ikan patin berasal dari berbagai
negara, seperti negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara Asia, dan
yang membuat ikan patin memiliki prospek pasar yang bagus adalah semua
permintan pasar dari negara-negara tersebut hanya dipenuhi dari pasokan produksi
peternak patin di Vietnam, dan itupun hanya dalam bentuk fillet (Khairuman dan
Amri, 2013).
Berdasarkan penelitian DJPB (2010) produksi ikan patin terus meningkat dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2005 (21.606 ton) sampai 2010 (104.574 ton) produksi
ikan patin di kolam mengalami peningkatan sebesar 82.968 ton (484%). Produksi di
keramba dari tahun 2005 (7.094 ton) sampai 2010 (22.552 ton) meningkat sebesar
15.458 ton (318%), sedangkan produksi ikan patin yang dibudidayakan di sawah
tahun 2005 sampai 2010 meningkat sebesar 143 ton. Produksi ikan patin yang
dibudidayakan di jaring apung dari tahun 2005 (3.875 ton) sampai tahun 2010
(20.219 ton) mengalami peningkatan sebanyak 16.344 ton (522%) (Andriyanto dkk.,
2012).
Tinggi nya permintaan ikan patin ini tidak sejalan dengan kegiatan produksinya.
Kegiatan Produksi ini terhalang oleh banyak nya ikan patin yang mati, dan biasanya
ikan patin mati disebabkan karena adanya parasit baik pada insang, lendir, sirip
maupun mata. Parasit timbul karena kualitas air atau manajemen pakan yang buruk
(Anonim, 2009 dalam Yuliartati, 2011). Oleh karena itu pembuatan makalah tentang
ikan patin ini sangat penting untuk dilakukan agar dapat diketahui cara
membudidayakan ikan patin dengan baik dan benar sehingga diharapkan dapat
meningkatkan produksi budidaya.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah teknologi budidaya air tawar tentang ikan patin ini
adalah untuk mengetahui teknik budidaya ikan patin baik di wadah kolam maupun di
KJA.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah teknologi budidaya air tawar tentang ikan patin ini
adalah agar mahasiswa dapat mengetahui teknik budidaya ikan patin baik di wadah
kolam maupun di KJA.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi dan Morfologi


Menurut Bleeker (1846) dalam Yuliartati (2011) klasifikasi ikan patin sebagai
berikut:
Domain : Eukaryota
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Infraphylum : Gnathostomata
Superclass : Osteichthyes
Class : Osteichthyes
Subclass : Actinopterygii
Order : Siluriformes
Family : Pangasiidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius djambal

Tubuh ikan patin secara morfologi dapat dibedakan yaitu bagian kepala dan
badan. Rasio panjang standar/panjang kepala 4,12 cm, Kepala relatif panjang,
melebar kearah punggung. Kepala terdiri dari mata berukuran sedang pada sisi
kepala, Lubang hidung relatif membesar, Mulut subterminal relatif kecil dan melebar
ke samping, Gigi tajam dan sungut mencapai belakang mata, dan Jarak antara ujung
moncong dengan tepi mata lebih panjang. Sedangkan untuk bagian badan, rasio
panjang standar/tinggi badan 3.0 cm, tubuh relatif memanjang, warna punggung
kebiru-biruan, pucat pada bagian perut dan sirip transparan, perut lebih lebar
dibandingkan panjang kepala, dan jarak sirip perut ke ujung moncong relatif panjang
(Hadinata, 2009 dalam Yuliartati,2011).
Keterangan:
1. Mulut;
2. Mata;
3. Sirip dada;
4. Patil;
5. Sirip punggung;
6. Sirip perut;
7. Sirip anal;
8. Gurat sisi;
9. Sirip ekor.

Gambar 1. Morfologi ikan patin (Yuliartati, 2011)


Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan
punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya bisa mencapai 120 cm, suatu
ukuran yang cukup besar untuk ukuran ikan air tawar domestik. Kepala patin relatif
kecil dengan mulut terletak diujung kepala agak disebelah bawah. Hal ini merupakan
ciri khas golongan catfish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek
yang berfungsi sebagai peraba (Amri, 2007 dalam Yuliartati, 2011).
Sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang
bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sementara itu, jari-jari lunak sirip
punggung terdapat enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak
yang berukuran kecil sekali. Adapun sirip ekornya membentuk cagak dan bentuknya
simetris. Sirip duburnya panjang, terdiri dari 30-33 jari-jari lunak, sedangkan sirip
perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan
sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal sebagai patil (Amri,
2007 dalam Yuliartati, 2011).
2.2 Habitat dan Siklus Hidup
Ikan Patin termasuk ikan yang beraktifitas pada malam hari atau nocturnal. Selain
itu, patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai habitat hidupnya. Ikan
ini termasuk ikan demersal atau ikan dasar. Secara fisik memang dari bentuk mulut
yang lebar persis seperti ikan domersal lain seperti ikan lele dan ikan gabus.
Habitatnya di sungai-sungai besar dan muara-muara sungai yang tersebar di
Indonesia, India, dan Myanmar. Tidak hanya itu ikan patin juga sulit memijah di
kolam atau wadah pemeliharaan dan termasuk pula ikan yang kawin musiman
sehingga pemijahannya dilakukan secara buatan serta hanya memijah sekali setahun
pada musim hujan (November-Maret) (Amri, 2007 dalam Yuliartati, 2011).
Ikan patin dalam menjalani hidupnya mengalami perkembangan atau fase yang
akan dijalaninya selama beberapa waktu sampai akhirnya dapat dikonsumsi ataupun
dijadikan induk untuk menghasilkan benih-benih yang berkualitas. Ikan patin
memiliki fase kehidupan yaitu telur, larva, benih (juvenil), dan induk (dewasa) (Amri,
2007 dalam Yuliartati, 2011).
2.3 Makanan dan Kebiasaan Makan
Ikan patin mempunyai sifat yang termasuk omnivora atau golongan ikan pemakan
segala. Malam hari ia akan keluar dari lubangnya dan mencari makanan renik yang
terdiri atas cacing, serangga, udang sungai, jenis–jenis siput dan biji–bijian. Dari
sifat makannya ikan ini juga tergolong ikan yang sangat rakus karena jumlah
makannya yang besar. Sedangkan untuk larva ikan patin yang dipelihara pada kolam-
kolam maupun akuarium dapat diberikan makanan alami seperti artemia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (Maswira, 2009 dalam Yuliartati, 2011).
BAB III. ISI

3.1 Pemilihan Lokasi

Salah satu hal yang sangat penting dalam perencanaan awal kegiatan budidaya
ikan patin adalah pemilihan lokasi, karena dengan pemilihan lokasi yang tepat akan
menentukan keberhasilan usaha ini. Secara umum lokasi yang baik untuk kegiatan
usaha budidaya ikan patin adalah di kolam, sungai, waduk, danau, maupun genangan
air lainnya yang memenuhi persyaratan teknis (Tim Perikanan WWF Indonesia,
2015).
Adapun persayaratan umum pemilihan lokasi menurut Tim Perikanan WWF
Indonesia (2015) yaitu :
1. Tidak terletak di daerah yang tinggi sumber pencemarannya.
2. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat serta
mendapatkan ijin dari instansi terkait (desa maupun Instansi terkait).
3. Tidak berdekatan dengan lahan pertanian (khususnya padi) yang menggunakan
pestisida.
4. Lokasi mudah dijangkau (aksesibilitas mudah).
5. Mudah untuk mendapatkan sarana produksi yang dibutuhkan, termasuk benih dan
pakan.
6. Kondisi keamanan yang baik.
7. Harus disesuaikan dengan carrying capacity yang disesuaikan jumlah beban
pencemar yang boleh diproduksi sesuai dengan peraturan pemerintah setempat
atau mengikuti Peraturan Pemerintah No.81 Tahun 2001 mengenai Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Adapun Persyaratan khusus pemilihan lokasi untuk budidaya di kolam menurut Tim
Perikanan WWF Indonesia (2015) antara lain:
1. Dekat sumber air, baik dari muara maupun sungai.
2. Tidak terletak di daerah rawan banjir.
3. Hindari tanah yang bersifat sulfat masam (kandungan pyrit)
4. Perlu sarana pengolah limbah (air dan lumpur dari kolam) baik berupa kolam atau
parit yang berfungsi untuk mengendapkan bahan organik serta mengembalikan
kondisi air.
5. Sedangkan untuk yang ada air masuk dan ada air keluar (air mengalir), tetap
menggunakan kolam pengolahan limbah tetapi waktu lepasnya air bisa lebih
cepat.
6. Perlu adanya penerapan biosecurity, berupa pagar keliling untuk mencegah hewan
berkeliaran di daerah budidaya, dan pemberian desinfektan didepan pintu masuk
dan jalur kolam untuk menghindar penyebaran penyakit.
Sedangkan persyaratan khusus pemilihan lokasi untuk budidaya di Keramba
menurut Tim Perikanan WWF Indonesia (2015) antara lain:
1. Penempatan lokasi Karamba Jaring Apung (KJA) / Karamba Jaring Tangkap
(KJT) sesuai dengan tata ruang daerah atau maksimal 50 % dari lebar sungai.
2. Penempatan KJA/KJT, sebaiknya ditempatkan di perairan dengan pergerakan air
cukup baik, kecepatan arus berkisar 0,5 m/menit untuk KJT dan berkisar 1
m/menit untuk KJA
3. Desain karamba dan bahan baku yang digunakan harus disesusaikan dengan
ketentuan serta berukuran 10 x 10 x 5 m atau 5 x 12 x 5 m.
4. Penempatan karamba tidak mengganggu kegiatan lainnya (transportasi,
pariwisata, dsb)
5. Ketinggian air pada saat kemarau atau surut minimal 1 m untuk KJT. Sedangkan
untuk KJA, jarak minimal antara dasar sungai/danau/waduk dengan dasar
waring/jaring adalah 1 m.
3.2 Persiapan Sarana dan Prasarana
A. Kolam
1. Konstruksi Kolam
Menyiapkan petakan kolam berdasarkan jenis usaha menurut (Tim Perikanan
WWF Indonesia (2015) terdiri dari:
a. Petak penggelondongan
b. Petak pembesaran akhir
Konstruksi dan dimensi kolam :
a. Kolam pemeliharaan ikan patin berupa kolam tanah liat, hindari tanah dengan
tekstur berpasir karena porous. Usahakan kriteria teksturnya adalah 50 %-60 %
liat dengan maksimal 10 % pasir dan sisanya lempung.
b. Ukuran kolam dibedakan pada fungsinya: Kolam pendederan I, ukuran ideal 25 -
2500 m Kolam penderan II, ukuran ideal 500 -21000 m Kolam pembesaran,
ukuran yang ideal 1000 - 5000 m
c. Ukuran kolam yang menggunakan sistem air mengalir sebaiknya empat persegi
2panjang dengan ukuran 50-100 m
d. Lakukan pemasangan saringan pada saluran pemasukkan air, Setelah didiamkan
maksimal dua hari untuk memberikan pengaruh kapur terhadap permukaan
kolam, kemudian lakukan pengisian air. Setelah air penuh maka diamkan selama
1-2 hari dan lakukan pemusnahan predator dengan pemberian saponin sebesar 20
ppm, Setelah air siap maka benih bisa ditebar (Tim Perikanan WWF Indonesia,
2015).

Keterangan :
A. Panjang kolam
B. Lebar kolam
C. Dasar kolam
D. Caren
E. Penampung lumpur
F. Outlet kolam
G. Outlet kobakan
H. Inlet kolam

Gambar 1. Penampang kolam dari atas.

Aktifitas persiapan kolam yang dilakukan, yaitu:


1. Periksa bagian pematang dan pintu kolam, jika terdapat kebocoran atau kerusakan
segera lakukan penambalan dan perbaikan.
2. Pada bagian tengah dasar kolam dibuat parit yang memanjang dari arah
pemasukan air kearah pengeluaran air. Ukuran parit adalah lebar 30-50 cm
dengan kedalaman 10-15 cm.
3. Tinggi pematang dari dasar kolam minimal 1-1,5 m dengan tingkat kemiringan
sebesar 0,5 - 1% mengarah ke saluran pembuangan. Hal ini bertujuan untuk
memudahkan pengeringan kolam dan memudahkan kegiatan panen.
4. Pemasangan saringan di pintu pengeluaran untuk mencegah masuknya hewan
predator, serta untuk menghindari ikan lolos keluar dari kolam (Tim Perikanan
WWF Indonesia, 2015).
B. Karamba Jaring Apung (KJA)
KJA yang biasa digunakan oleh pembudidaya ikan patin adalah dari bahan kayu
dan bambu, dengan perincian sebagai berikut; Konstruksi KJA terdiri dari kayu untuk
rangka dan bambu sebagai dinding dan penutup yang diikatkan dengan tali nilon pada
rangka kayu. Bentuk karamba adalah kotak segi empat yang pada bagian bawahnya
terbuka dengan ukuran panjang 4 m, lebar 2 m dan tinggi 1,5 m. Penempatan
karamba adalah 2/3 di dalam air dan 1/3 diatas permukaan air. Pada bagian dalam
karamba dimasukkan jaring yang diikat pada dinding karamba, sebagai wadah
penampung ikan patin yang dipelihara, sedangkan sebagai tempat pemberian pakan
dan memonitor ikan dalam KJA, disediakan lubang terbuka berukuran 0,5 x 0,5 m
pada bagian tengah atas KJA. KJA lebih dari 20 unit, maka penempatannya dapat
dipasang secara berpasangan dan diantara pasangan karamba ditempatkan bambu
bulat yang berfungsi sebagai tempat pengikat, sekaligus sebagai pelampung karamba.
Setiap kelompok KJA, diatas bambu pelampung dibuat pondok ukuran 1,5 x 1,5 x 1,5
m sebagai tempat berteduh bagi petugas yang jaga di malam hari (Tim Perikanan
WWF Indonesia, 2015).
3.3 Teknik Pembenihan
1. Persiapan Induk
Induk merupakan salah satu faktor yang menjadi penentu keberhasilan usaha
ikan patin. Induk patin sebaiknya dipilih dari induk yang telah dipelihara di kolam
atau wadah lainnya seperti jaring. Selama pemeliharaan induk diberi pakan tambahan
yang mengandung protein yang cukup. Dimana diberikan pakan dua kali sehari
dengan dosis 3%. Pakan yang diberikan kepada ikan patin harus mengandung rotein
minimum 35% agar cepat matang gonad, ikan patin diberikan ikan rucah sebanyak
dua kali seminggu dan sebanyak 10% dari bobot induk yang dipelihara (Khairuman
dan Amri, 2013).
2. Seleksi Induk
Ciri-ciri induk yang telah matang gonad dan bisa digunakan sebagai induk untuk
dipijahkan yaitu induk betina memiliki umur kurang lebih 2,5 tahun. Bobot minimum
3 kg/ekor, perut membesar dan terasa halus serta empuk ketika diraba. Kloaka
membengkak dan kelar beberapa butir telur berbentuk bundar dan berukuran
seragam, sedangkan induk jantan yang telah matanggonad yaitu umur diatas 1,5
tahun, bobot minimum 2 kg/ekor, kulit perut lembek dan tipis, alat kelamin
membengkak dan berwarna merah tua dan jika perut diurut akan keluar cairan putih
(Khairuman dan Amri, 2013).
Selain itu, induk yang akan dipijahkan dalam kondisi sehat secara fisik yakni
tidak terinfeksi penyakit dan parasit serta tidak memiliki luka atau benturan, pukulan,
goresan atau sayatan. Selain itu,induk yang baik harus memiliki sifat pertumbuhan
yag relatif cepat serat resisten terhadap penyakit (Khairuman dan Amri, 2013).
3. Pemijahan induk
Pemijahan induk ikan yang sudah matang gonad, selanjutnya di stripping dengan
cara :
1. Sediakan wadah untuk menampung telur berupa baskom, kemudian pegang induk
betina dengan kedua tangan, tangan kiri memegang pangkal ekor dan tangan
kanan memegang perut bagian bawah di ujung kepala induk patin ditopangkan di
pangkal paha.
2. Indukan patin diurut degan menggunakan jari tengah dan jempol secara perlahan
dan telur ditampung kedalam baskom.
3. Induk jantan ditangkap untuk diambil spermanya kemudian diurut dan ditampung
kedalam baskom.
4. Telur dan sperma tersebut kemudian dicampur lalu diaduk menggunakan bulu
ayam, kemudian ditambahkan NaCl untuk meningkatkan fertilisasi.
5. Selanjutnya dicuci telur menggunakan larutan lumpur agar tidak menggumpal,
telur yang terbuahi akan berwarna putih dan mengendap di bawah (Khairuman
dan Amri, 2013).
4. Penetasan telur
Telur yang akan ditetaskan dimasukan ke dalam corong penetasan lalu disebarkan
dengan bulu ayam.telur yang terbuahi selanjutnya akan berkembang dan menetars
menjadi larva. Adapun perkembangan telur ikan patin menurut Arifin(1987) dalam
Khairuman dan Amri (2013) yaitu :

Stadium Perkembangan Jarak Waktu Setelah Pembuahan


pembuahan 0 menit
1 sel 20 menit
2 sel 35 menit
4 sel 50 menit
8 sel 1 jam 05 menit
16 sel 1 jam 25 menit
32 sel 1 jam 40 menit
64 sel 2 jam 30 menit
Morula 3 jam 15 menit
Blastula 4 jam 25 menit
pembentukan yolk flug 9 jam 30 menit
Summit 12 jam 15 menit
embrio berbentuk lengkap 24 jam 20 menit
Menetas 24-28 jam
5. Pemeliharaan larva
Larva-larva hasil penetasan dipeliharadalam bak fiberglass berukuran 500 liter di
dalam ruangan pemeliharaan larva, dengan kepadatan 50 ekor larva per liter. Selama
pemeliharaan diberikan pakan berupa nauplii Artemia sp. sejak hari kedua hingga
hari kelima, selanjutnya hingga hari kesepuluh secara bertahap diganti dengan kutu
air (Moina sp.) beku atau larva cacing darah (Chironomus sp.) beku yang dicincang,
setelah itu secara bertahap diberikan cacing sutera (Tubifex sp.) hingga umur 12 hari,
kemudian mulai diperkenalkan dengan pakan buatan komersial berbentuk halus
dengan kadar protein 40% (Iswanto dan Tahapari, 2011).
6. Seleksi dan pemeliharaan benih
Adapun Kriteria Benih yang baik antara lain:
a. Ukuran seragam dan tidak cacat.
b. Gerakannya lincah, jika air diputar dalam bak, bibit akan bergerak melawan arus.
c. Warna tubuh gelap cerah
d. Responsif terhadap kejutan dan pakan yang diberikan.
e. Semua pendederan bibit ikan patin dilakukan di kolam.
f. Panjang tubuh 2-3 inchi untuk di tebar di kolam; sedangkan untuk pembesaran
dalam KJA ukuran benih minimal berukuran 4 inchi.
g. Diutamakan yang sudah mendapatkan vaksinasi.
h. Gunakan benih yang sudah bisa mengkonsumsi pakan pelet
Setelah benih di dapatkan kemudian dilakukan penebaran benih yang dapat
dilakukan pagi atau sore hari saat cuaca tidak panas. Namun sebelum ditebar, benih
tersebut diaklimatisasi (penyesuaian terhadap lingkungan air baru) dengan cara
kantong yang berisi bibit dimasukkan ke dalam kolam. Setelah suhu dalam kantong
relatif sama dengan suhu di luar kantong(ditandai dengan timbulnya uap air didinding
kantong),kemudian dilakukan dengan memasukkan air kolam kedalam kantong
secara bertahap setelah suhunya sama selanjutnya benih dilepaskan kedalam wadah
budidaya (kolam/KJA/KJT) (Tim Perikanan WWF Indonesia, 2015).
Pakan yang diberikan mulai dari benih ukuran 2 inchi adalah pakan buatan/pelet
pabrikan) dengan frekuensi 2 kali sehari pagi (sekitar jam 9) dan sore hari (jam 5).
Benih hingga berumur 3 bulan (±50 gr) gunakan pakan dengan kadar protein
minimal 28 %. Setelah ikan berumur 3 bulan bisa digunakan pakan dengan kadar
protein skitar 21-24 % (Tim Perikanan WWF Indonesia, 2015).
3.4 Pendederan
1. Pendederan di Kolam
Kolam yang digunakan untuk pendederan ikan patin dapat berupa kolam irigasi
teknis yang airnya dapat mengalir sesuai dengan kebutuhan, bisa juga berasal dari air
hujan atau sumber air lainnya. Jumlah benih yang ditebarkan sebanyak 40 ekor per
meter kubik denga ukuran benoih 1 inci. Sebelum dilakukan penebaran, seaiknya
dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu agar ika patin tidak mengalami stres selama
pemeliharaan ikan patin diberikan makanan berupa pelet dalam bentuk tepung setiap
4 kali sehari dengan dosis 3-5% dari total bobot badan (Khairuman dan Amri, 2013).
2. Pendederan di jaring
Jaring yang digunakan berupa jaring yang berukuran halus, bersih dan tidak ada
yang sobek. Sama halnya seperti pendederan dikolam tembok, penebaran benih juga
dilakukan secara aklimatisasi, patin yang ditebarkan 1 inci dengan jumlah 1.250
ekor/m2 jaring. Ikan patin diberi pakan tambahan berupa pelet dalam bentuk tepung
sebanyak 3-5% 4 kali sehari (Khairuman dan Amri, 2013).
3.5 Teknik Pembesaran
1. Pembesaran di kolam
a. Penebaran benih
Benih yang ditebar harus tidak mengalami stres dan penebaran benih dilakukan
pada pagi atau sore hari saat suhu masih rendah. penebaran benih dilakukan secara
hati-hati dengan cara aklimatisasi suhu. Jumlah benih yang doitebarkan sebanyak 5
ekor/m2 dengan ukuran 2 inci per ekor (Khairuman dan Amri, 2013).
b. Pemeliharaan
Selama pemeliharaan jumlah pakan yang diberikan berkisar antara 3-4% dari
bobot total ikan patin yang dipelihara dengan pemberian dilakukan secara bertahap
yaitu pagi, siang, sore dan malam hari. Selain itu, selama pemeliharaan juga harus
dilakukan pengontrolan terhadap ikan yang dipelihara dari serangan penyakit, saluran
masuk dan keluar air serta kebocoran-kebocoran dipematang kolam (Khairuman dan
Amri, 2013).
2. Pembesaran di KJA
Pembesaran ikan patin di KJA bisa dipelihara bersamaan dengan ikan nila,
namun hal ini bukan dalam konteks polikultir melainkan dalam dua wadah jaring
yang disusun bertingkat, bagian atas sebagai tempat pemeliharaan ikan patin,
sedangkan bagian bawah jaring sebagai tempat pemeliharaan ikan nila. Ikan nila tidak
diberi pakan tambahan secara khusus tetapi memanfaatkan sisa pakan pemeliharaan
ikan patin. Pakan yang diberikan berupa pelet yang harganya murah (Khairuman dan
Amri, 2013).
a. Penebaran benih
Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari saat suhu
rendah, sebelum ditebar, benih ikan patin yang ada didalam kantog plastik dibiarkan
mengapung diatas air selama 5-10 menit. Buka kantong plastik, lalu tambahkan
sedikit demi sedikita air dan biarkan ikan patin didalam kantong plastik keluar
dengan sendirinya (Khairuman dan Amri, 2013).
b. Pemeliharan
Selama pemeliharaan jumlah pakan yang diberikan berkisar antara 3-4% dari
bobot total ikan patin yang dipelihara dengan pemberian dilakukan secara bertahap
yaitu pagi, siang, sore dan malam hari. Selain itu, selama pemeliharaan juga harus
dilakukan pengontrolan jaring, kualitas air, kesehatan ikan dam keamanan
lingkungan(Khairuman dan Amri, 2013).

3.6 Pemberian Pakan


Pakan yang diberikan pada saat ikan patin baru tebar berbeda dengan pakan
apabila patin sudah berumur 2 bulan ke atas. Ini dilakukan karena pada masa awal
penebaran, ikan patin diberikan pelet yang sesuai dengan ukuran bukaan mulutnya
agar ia dapat mengkonsusmsi pakan tersebut. Selain diberikan pelet, ikan patin juga
diberikan pakan tambahan berupa usus ayam dan ayam yang sudah mati. Usus ayam
dan ayam mati diberikan sewaktu-waktu tergantung dari ketersediaan pasokan.Pakan
diberikan 3 kali dalam sehari yaitu pada pagi, siang dan sore hari dengan cara
pemberian adsatiasi (sampai kenyang). Pemberian pakan dilakukan secara sedikit-
sedikit, jika 70% dari jumlah ikan telah meninggalkan tempat pemberian pakan maka
pemeberian pakan segera dihentikan sebab kondisi tersebut menunjukkan ikan telah
merasa kenyang. Jumlah pakan yang diberikan sangat penting karena pakan yang
terlalu sedikit akan mengakibatkan terhambat nya pertumbuhan dan akan terjadi
persaingan makanan yang mengakibatkan bervariasi nya ukuran individu ikan yang
akan di hasilkan sedangkan pakan yang diberikan terlalu banyak makaakan terjadi
polusi lingkungan dan sangat tidak ekonomis. Selama kegiatan, jumlah pakan yang
telah digunakansebagai bahan konsumsi ikan patin sebanyak 85 kg. Dalam pemberian
pakan, efesiensi penggunaan pakan menjadi penting karena sangat mempengaruhi
tingkat keuntungan(Khordik, 2005).

3.7 Manajemen Kualitas Air


Parameter kualitas air yang perlu dipantau meliputi :
1. Suhu
Jika suhu air yang diukur dengan termometer terlalu tinggi, lakukan penambahan air
atau dipasang shelter/naungan bila air sedang kekurangan air. Suhu suatu badan air
dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian permukaan air, waktu dalam hari,
sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman perairan. Peningkatan
suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air,
selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu
perairan sebesar 100C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh
organisme akuatik sekitar 2–3 kali lipat. Peningkatan suhu juga menyebabkan
terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi, 2007)

2. Kecerahan
Kecerahan air diukur dengan menggunakan Secchi disk. Untuk pemeliharaan
patin di kolam, apabila kecerahan air terlalu pekat, perlu dilakukan pengenceran
dengan cara memasukkan air tawar, atau dengan menggunakan probiotik sesuai dosis
anjuran. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan dalam air. Kecerahan
merupakan ukuran transparasi perairan yang ditentukan secara visual dengan
menggunakan secchi disk. Kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu
pengukuran, kekeruhan dan padatantersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan
pengukuran. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat
mengakibatkan tingkat kecerahan air menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan
nilai produktivitas perairan (Effendi, 2007).
3. Derajat keasaman (pH)
PH air diukur dengan menggunakan pH meter. Untuk pemeliharaan ikan patin di
kolam, apabila pH terlalu rendah maka perlu dilakukan pengapuran hingga mencapai
pH normal.
4. Oksigen terlarut (DO)
DO diukur dengan menggunakan DO meter;. Peningkatan kandungan oksigen
dalam air dapat dilakukan dengan aerasi, filter mekanis dan penambahan air baru.
Adapun nilai kualitas air yang sesuai untuk kehidupan ikan patin menurut Tim
Perikanan WWF Indonesia (2015) yaitu:
No. Parameter Satuan Nilai
0
1 Suhu C 27-32
2 Ph - 6,5-8,5
3 DO mg/l ≥3
4 NH3 mg/l ˂0,01
5 NO2 mg/l ˂1
6 Kecerahan Cm ˃25

3.6 Penanggulangan Hama dan Penyakit


1. Hama
Hama pada pembesaran ikan patin di KJA dan KJT antara lain lingsang/berang
berang, labi-labi, biawak, ular air, dan burung. Cara untuk menghindari dari serangan
burung adalah dengan menutupi bagian atas wadah budidaya dengan jaring. Cara lain
untuk mengusir burung adalah memasang pengusir burung (Bird Scare Device/BSD
dari senar atau bahan yang mengeluarkan bunyi bila terkena angin) (Susanto, 2006).
2. Penyakit
Penyakit ikan patin ada yang disebabkan infeksi dan non-infeksi. Penyakit non-
infeksi adalah penyakit yang timbul akibat adanya gangguan faktor yang bukan
patogen. Penyakit non-infeksi ini tidak menular. Sedangkan penyakit akibat infeksi
biasanya timbul karena gangguan organisme patogen (Tim Perikanan WWF
Indonesia, 2015).
a. Penyakit akibat infeksi
Organisme patogen yang menyebabkan infeksi biasanya berupa parasit, jamur dan
bakteri.
1 Penyakit parasit
Penyakit white spot (bintik putih) disebabkan oleh parasit dari bangsa protozoa
dari jenis Ichthyoptirus multifilis foquet. Penangulangannya dengan menggunakan
sistem perendaman dengan garam, dan dosis yang digunakan 500-1500 gr/m selama
3 hari berturut-turut serta lakukan pergantian air setiap hari. Infeksi oleh Tricodina
sp. biasa terjadi pada fase pendederan dengan tanda-tanda warna tubuhnya terlihat
pucat, produksi lendir yang berlebihan dan terlihat kurus. Diagnosis dapat dilakukan
dengan cara melakukan pengerokan (scraping) pada kulit, atau mengambil lembaran
insang dan melakukan pemeriksaan secara mikroskopis. Penanggulangannya dengan
perendaman menggunakan formalin dosis 10-20 ppm selama 30 menit dengan aerasi
setelah itu lakukan pergantian air (Tim Perikanan WWF Indonesia, 2015).
2 Penyakit jamur
Penyakit jamur biasanya terjadi akibat adanya luka pada badan ikan. Penyebab
penyakit jamur adalah Saprolegnia sp. dan Achlya sp.. Pada kondisi air yang jelek,
kemungkinan patin terserang jamur lebih besar. Pencegahan penyakit jamur dapat
dilakukan dengan cara menjaga kualitas air agar kondisinya selalu ideal bagi
kehidupan ikan patin. Ikan yang terlanjur sakit harus segera diobati (Tim Perikanan
WWF Indonesia, 2015).
3 Penyakit bakteri
Bakteri yang sering menyerang adalah Aeromonas sp. dan Pseudomonas sp.. Ikan
yang terserang akan mengalami pendarahan pada bagian tubuh terutama di bagian
dada, perut, dan pangkal sirip. Ikan patin yang terkena penyakit akibat bakteri,
ternyata mudah menular, sehingga ikan yang terserang dan keadaannya cukup parah
harus segera dimusnahkan. Sementara yang terinfeksi, tetapi belum parah dapat
dicoba dengan beberapa cara pengobatan, antara lain dengan merendam ikan dalam
larutan kalium permanganat (PK) 10-20 ppm selama 30-60 menit (Susanto,2006).
b. Penyakit non-infeksi
Penyakit non-infeksi banyak diketemukan adalah keracunan dan kurang gizi.
Keracunan disebabkan oleh banyak faktor seperti pada pemberian pakan yang
berjamur dan berkuman atau karena pencemaran lingkungan perairan. Gejala
keracunan dapat diidentifikasi dari tingkah laku ikan: Ikan akan lemah, berenang
megap-megap dipermukaan air. Pada kasus yang berbahaya, ikan berenang terbalik
dan mati. Pada kasus kurang gizi, ikan tampak kurus dan kepala terlihat lebih besar,
tidak seimbang dengan ukuran tubuh, kurang lincah dan berkembang tidak normal.
Penanganan: Perbaikan kualitas air dan pemberian pakan sesuai diet ikan patin
(kebutuhannya) (Tim Perikanan WWF Indonesia, 2015).
3.7 Panen
Sebelum dipanen, ikan dipuasakan terlebih dulu selama 1 hari untuk menghindari
ikan muntah pada saat pengangkutan untuk panen ikan hidup dan tidak cepat busuk
bila panen ikan mati. Panen patin di kolam dapat dilakukan dengan cara menggiring
ikan dari bagian hilir ke bagian hulu menggunakan krei bambu atau jaring.
Pengambilan ikan dilakukan dengan menggunakan jala sebanyak 2-3 buah dan tenaga
kerja yang diperlukan sebanyak 2-3 orang. Pemanenan ikan di KJA atau KJA
dilakukan dengan mengumpulkan ikan di satu sisi, kemudian ikan ditangkap
menggunakan serok dimasukkan ke wadah yang sudah dipersiapkan. Untuk panen
ikan hidup, ikan ditempatkan dalam wadah penampungan dari yang telah diaerasi,
daqn untuk panen ikan segar, ikan ditempatkan dalam wadah yang telah diisi air dan
es balok untuk menurunkan suhu. Untuk panen ikan hidup, pengangkutan
menggunakan air yang bersuhu rendah sekitar 20 °C; waktu pengangkutan hendaknya
pada pagi hari atau sore hari. Untuk panen ikan segar, sebelum dikemas sebaiknya
ikan dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan lendir yang ada pada tubuh
patin(Tim Perikanan WWF Indonesia, 2015).
BAB IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam budidaya ikan patin
baik di kolam maupun di Karamba Jaring Apung, hal-hal yang harus diperhatikan
antara lain pemilihan lokasi, persiapan sarana dan prasarana, pembenihan,
pendederan, pembesaran, manajemen kualitas air, pengendalian hama dan penyakit,
serta panen.

4.2 Saran
Sebaiknya dalam kegiatan budidaya para pembudidaya harus bersungguh-
sungguh dalam melakukan setiap tahapan budidaya dan sesuai dengan prosedur yang
ada agar bisa didapatkan hasil budidaya yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Andriyanto, S., E. Tahapari, dan I. Insan. 2012. Pendederan Ikan Patin Di Kolam
Outdoor untuk Menghasilkan Benih Siap Tebar di Waduk Malahayu, Brebes,
Jawa Tengah. Media Akuakultur. Vol. 7 No. 1.

Effendi, H. 2007. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.

Khairuman, H., dan K. Amri. 2013. Budidaya Patin. Depok: PT Agromedia Pustaka.

Kordik, M.G.H. 2005. Budidaya Ika Patin, Biologi, Pembenihan dan Pembesaran.
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.

Susanto, H dan Amri, K. 2002. Budi Daya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tim Perikanan WWF Indonesia. 2015. Budidaya Ikan Patin Siam (Pangasius
hypophthalmus). Jakarta Selatan. WWF-Indonesia.

Yuliartati, E. 2011. Tingkat Serangan Ektoparasit pada Ikan Patin


(Pangasius Djambal) pada Beberapa Pembudidaya Ikan di Kota Makassar.
Skripsi Makassar. Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan,
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai