“Ikan Patin”
Oleh
Kelompok 3 :
1. Annisa Pratiwi ()
2. Lalu Aan Okta Rinaldi (C1K016051)
3. Maedi Mahdalena ()
4. Marniati (C1K016061)
5. Nurhariati ()
6. Pandu Abdi Perdana (C1K016077)
7. Sari Hidayati (C1K016087)
8. Syarif Hidayatullah (C1K016051)
Fakultas Pertanian
Universitas Mataram
2019
BAB I. PENDAHULUAN
Tubuh ikan patin secara morfologi dapat dibedakan yaitu bagian kepala dan
badan. Rasio panjang standar/panjang kepala 4,12 cm, Kepala relatif panjang,
melebar kearah punggung. Kepala terdiri dari mata berukuran sedang pada sisi
kepala, Lubang hidung relatif membesar, Mulut subterminal relatif kecil dan melebar
ke samping, Gigi tajam dan sungut mencapai belakang mata, dan Jarak antara ujung
moncong dengan tepi mata lebih panjang. Sedangkan untuk bagian badan, rasio
panjang standar/tinggi badan 3.0 cm, tubuh relatif memanjang, warna punggung
kebiru-biruan, pucat pada bagian perut dan sirip transparan, perut lebih lebar
dibandingkan panjang kepala, dan jarak sirip perut ke ujung moncong relatif panjang
(Hadinata, 2009 dalam Yuliartati,2011).
Keterangan:
1. Mulut;
2. Mata;
3. Sirip dada;
4. Patil;
5. Sirip punggung;
6. Sirip perut;
7. Sirip anal;
8. Gurat sisi;
9. Sirip ekor.
Salah satu hal yang sangat penting dalam perencanaan awal kegiatan budidaya
ikan patin adalah pemilihan lokasi, karena dengan pemilihan lokasi yang tepat akan
menentukan keberhasilan usaha ini. Secara umum lokasi yang baik untuk kegiatan
usaha budidaya ikan patin adalah di kolam, sungai, waduk, danau, maupun genangan
air lainnya yang memenuhi persyaratan teknis (Tim Perikanan WWF Indonesia,
2015).
Adapun persayaratan umum pemilihan lokasi menurut Tim Perikanan WWF
Indonesia (2015) yaitu :
1. Tidak terletak di daerah yang tinggi sumber pencemarannya.
2. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat serta
mendapatkan ijin dari instansi terkait (desa maupun Instansi terkait).
3. Tidak berdekatan dengan lahan pertanian (khususnya padi) yang menggunakan
pestisida.
4. Lokasi mudah dijangkau (aksesibilitas mudah).
5. Mudah untuk mendapatkan sarana produksi yang dibutuhkan, termasuk benih dan
pakan.
6. Kondisi keamanan yang baik.
7. Harus disesuaikan dengan carrying capacity yang disesuaikan jumlah beban
pencemar yang boleh diproduksi sesuai dengan peraturan pemerintah setempat
atau mengikuti Peraturan Pemerintah No.81 Tahun 2001 mengenai Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Adapun Persyaratan khusus pemilihan lokasi untuk budidaya di kolam menurut Tim
Perikanan WWF Indonesia (2015) antara lain:
1. Dekat sumber air, baik dari muara maupun sungai.
2. Tidak terletak di daerah rawan banjir.
3. Hindari tanah yang bersifat sulfat masam (kandungan pyrit)
4. Perlu sarana pengolah limbah (air dan lumpur dari kolam) baik berupa kolam atau
parit yang berfungsi untuk mengendapkan bahan organik serta mengembalikan
kondisi air.
5. Sedangkan untuk yang ada air masuk dan ada air keluar (air mengalir), tetap
menggunakan kolam pengolahan limbah tetapi waktu lepasnya air bisa lebih
cepat.
6. Perlu adanya penerapan biosecurity, berupa pagar keliling untuk mencegah hewan
berkeliaran di daerah budidaya, dan pemberian desinfektan didepan pintu masuk
dan jalur kolam untuk menghindar penyebaran penyakit.
Sedangkan persyaratan khusus pemilihan lokasi untuk budidaya di Keramba
menurut Tim Perikanan WWF Indonesia (2015) antara lain:
1. Penempatan lokasi Karamba Jaring Apung (KJA) / Karamba Jaring Tangkap
(KJT) sesuai dengan tata ruang daerah atau maksimal 50 % dari lebar sungai.
2. Penempatan KJA/KJT, sebaiknya ditempatkan di perairan dengan pergerakan air
cukup baik, kecepatan arus berkisar 0,5 m/menit untuk KJT dan berkisar 1
m/menit untuk KJA
3. Desain karamba dan bahan baku yang digunakan harus disesusaikan dengan
ketentuan serta berukuran 10 x 10 x 5 m atau 5 x 12 x 5 m.
4. Penempatan karamba tidak mengganggu kegiatan lainnya (transportasi,
pariwisata, dsb)
5. Ketinggian air pada saat kemarau atau surut minimal 1 m untuk KJT. Sedangkan
untuk KJA, jarak minimal antara dasar sungai/danau/waduk dengan dasar
waring/jaring adalah 1 m.
3.2 Persiapan Sarana dan Prasarana
A. Kolam
1. Konstruksi Kolam
Menyiapkan petakan kolam berdasarkan jenis usaha menurut (Tim Perikanan
WWF Indonesia (2015) terdiri dari:
a. Petak penggelondongan
b. Petak pembesaran akhir
Konstruksi dan dimensi kolam :
a. Kolam pemeliharaan ikan patin berupa kolam tanah liat, hindari tanah dengan
tekstur berpasir karena porous. Usahakan kriteria teksturnya adalah 50 %-60 %
liat dengan maksimal 10 % pasir dan sisanya lempung.
b. Ukuran kolam dibedakan pada fungsinya: Kolam pendederan I, ukuran ideal 25 -
2500 m Kolam penderan II, ukuran ideal 500 -21000 m Kolam pembesaran,
ukuran yang ideal 1000 - 5000 m
c. Ukuran kolam yang menggunakan sistem air mengalir sebaiknya empat persegi
2panjang dengan ukuran 50-100 m
d. Lakukan pemasangan saringan pada saluran pemasukkan air, Setelah didiamkan
maksimal dua hari untuk memberikan pengaruh kapur terhadap permukaan
kolam, kemudian lakukan pengisian air. Setelah air penuh maka diamkan selama
1-2 hari dan lakukan pemusnahan predator dengan pemberian saponin sebesar 20
ppm, Setelah air siap maka benih bisa ditebar (Tim Perikanan WWF Indonesia,
2015).
Keterangan :
A. Panjang kolam
B. Lebar kolam
C. Dasar kolam
D. Caren
E. Penampung lumpur
F. Outlet kolam
G. Outlet kobakan
H. Inlet kolam
2. Kecerahan
Kecerahan air diukur dengan menggunakan Secchi disk. Untuk pemeliharaan
patin di kolam, apabila kecerahan air terlalu pekat, perlu dilakukan pengenceran
dengan cara memasukkan air tawar, atau dengan menggunakan probiotik sesuai dosis
anjuran. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan dalam air. Kecerahan
merupakan ukuran transparasi perairan yang ditentukan secara visual dengan
menggunakan secchi disk. Kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu
pengukuran, kekeruhan dan padatantersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan
pengukuran. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat
mengakibatkan tingkat kecerahan air menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan
nilai produktivitas perairan (Effendi, 2007).
3. Derajat keasaman (pH)
PH air diukur dengan menggunakan pH meter. Untuk pemeliharaan ikan patin di
kolam, apabila pH terlalu rendah maka perlu dilakukan pengapuran hingga mencapai
pH normal.
4. Oksigen terlarut (DO)
DO diukur dengan menggunakan DO meter;. Peningkatan kandungan oksigen
dalam air dapat dilakukan dengan aerasi, filter mekanis dan penambahan air baru.
Adapun nilai kualitas air yang sesuai untuk kehidupan ikan patin menurut Tim
Perikanan WWF Indonesia (2015) yaitu:
No. Parameter Satuan Nilai
0
1 Suhu C 27-32
2 Ph - 6,5-8,5
3 DO mg/l ≥3
4 NH3 mg/l ˂0,01
5 NO2 mg/l ˂1
6 Kecerahan Cm ˃25
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam budidaya ikan patin
baik di kolam maupun di Karamba Jaring Apung, hal-hal yang harus diperhatikan
antara lain pemilihan lokasi, persiapan sarana dan prasarana, pembenihan,
pendederan, pembesaran, manajemen kualitas air, pengendalian hama dan penyakit,
serta panen.
4.2 Saran
Sebaiknya dalam kegiatan budidaya para pembudidaya harus bersungguh-
sungguh dalam melakukan setiap tahapan budidaya dan sesuai dengan prosedur yang
ada agar bisa didapatkan hasil budidaya yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyanto, S., E. Tahapari, dan I. Insan. 2012. Pendederan Ikan Patin Di Kolam
Outdoor untuk Menghasilkan Benih Siap Tebar di Waduk Malahayu, Brebes,
Jawa Tengah. Media Akuakultur. Vol. 7 No. 1.
Effendi, H. 2007. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.
Khairuman, H., dan K. Amri. 2013. Budidaya Patin. Depok: PT Agromedia Pustaka.
Kordik, M.G.H. 2005. Budidaya Ika Patin, Biologi, Pembenihan dan Pembesaran.
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
Susanto, H dan Amri, K. 2002. Budi Daya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.
Tim Perikanan WWF Indonesia. 2015. Budidaya Ikan Patin Siam (Pangasius
hypophthalmus). Jakarta Selatan. WWF-Indonesia.