Selulitis Orbita dan Periorbita Pada Anak dengan Komplikasi: Kasus jarang
Novi Adewani Harahap, Fifa Argentina,Inda Astri Aryani
Bagian/KSM Dermatologi, Venereologi, dan Estetika
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Abstrak
Pendahuluan: Selulitis orbita merupakan infeksi pada posterior septum orbita, sedangkan periorbita bagian anterior septum
orbita. Penyebab tersering bakteri Staphylococcus aureus. Selulitis dapat terjadi pada bagian tubuh manapun. Selulitis orbita
menyebabkan komplikasi berat berupa paralisis nervus abdusen (N.VI), kehilangan penglihatan dan mengancam jiwa. Laporan
kasus ini bertujuan untuk menambah keilmuan dalam penegakkan diagnosis dini serta tatalaksana tepat sehingga komplikasi
selulitis orbita dapat dicegah.
Kasus: Anak laki-laki usia 10 tahun dengan keluhan utama bengkak, merah pada kedua kelopak mata disertai demam, sulit
membuka mata, konjuntiva merah, keluar kotoran mata, sulit melirik kearah kanan, penglihatan kabur dan ganda kisaran 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan diawali batuk, flu, bersin-bersin, hidung terasa gatal, bisul disertai bengkak, merah di
hidung cepat meluas kearah kedua kelopak mata. Pemeriksaan dermatologikus regio periorbita bilateral, frontalis, nasalis eritema
hingga violaceus difus non homogen, edema, fluktuasi tidak ada, teraba hangat, regio nasal ulkus, multipel, ukuran 1 cm x 0,5 cm
x 0,3 cm hingga 2 cm x 1 cm x 0,5 cm, daerah sekitar ulkus eritematosa, dasar jaringan nekrotik, dinding tidak menggaung,
indurasi tidak ada, isi pus, nyeri ada, bau tidak ada, ditutupi krusta kuning kecoklatan sulit dilepaskan.
Diskusi: Dilaporkan satu kasus selulitis orbita dan periorbita dengan komplikasi paralisis nervus abdusen (N.VI) pada anak laki-
laki usia 10 tahun didukung hasil pemeriksaan laboratorik leukositosis, high sensitivity C-reactive protein (hsCRP), biakan
ditemukan bakteri Staphylococcus aureus. Hasil CT scan kesan selulitis orbita ec sinusitis paranasal. Pasien diterapi dengan
antibiotik ampicillin sulbactam 1 gram tiap 6 jam (IV) selama 17 hari, sirup metronidazol 250 mg tiap 8 jam (po) selama 14 hari,
serta kompres terbuka Nacl 0,9% tiap 12 jam dan asam fusidat krim 2% tiap 12 jam pada luka ulkus, bengkak dan merah di
hidung dan kedua kelopak mata. Pasien mengalami perbaikan.
Kata kunci: selulitis orbita, selulitis periorbita, komplikasi, terapi, diagnosis
1
PENDAHULUAN
Selulitis adalah penyakit inflamasi kulit akibat infeksi akut pada lapisan dermis dalam dan
subkutan, berupa perluasan infeksi kulit difus superfisial. Bakteri paling sering menyebabkan
selulitis adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus β hemolyticus grup A, seperti
Streptococcus pyogenes. Predileksi tersering pada regio ekstremitas bawah, tetapi dapat
mengenai lengan, wajah, dan kulit kepala. Selulitis orbita merupakan variasi selulitis pada bagian
posterior septum orbita, sedangkan selulitis periorbita menginfeksi bagian anterior septum
orbita.1
Angka kejadian selulitis orbita dan periorbita lebih tinggi pada populasi anak dibanding
dewasa. Pandian dkk, melaporkan prevalensi selulitis periorbita sebesar 70% dan seluliltis orbita
30% dari total kasus periokular. Sebuah penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2019
melaporkan insidensi selulitis orbita pada anak sebesar 9,29 per 100.000 populasi. Studi lain di
Skotlandia melaporkan insidensi pertahun sebesar 1,6 per 100.000 populasi dan 0,1 per 100.000
populasi pada anak dan dewasa.2 Data rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang (RSUPMH), tahun 2016-2023 melaporkan 251 kasus selulitis dengan rerata
usia >usia 20 tahun dan paling banyak ditemukan pada laki -laki dibanding perempuan yaitu laki-
laki (55,5%) dan perempuan (40,5%), serta dilaporkan 1 kasus selulitis orbita pada anak laki-laki usia
10 tahun.*
Selulitis orbita terjadi akibat perluasan langsung dari sinusitis dan manifestasi kelainan kulit
serupa dengan selulitis periorbita. Manifestasi klinis selulitis orbita ditandai dengan adanya
proptosis, edema konjungtiva bulbi, oftalmoplegia, dan penurunan ketajaman penglihatan. 1
Diagnosis selulitis orbita dan periorbita ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penujang. Keterlambatan diagnosis selulitis orbita pada anak dapat menyebabkan
komplikasi serius seperti trombosis sinus kavernosus, kebutaan, meningitis, empiema subdural, dan
abses otak yang dapat mengancam jiwa, sehingga diagnosis dini dan tatalaksan tepat sangat penting. 2
Tatalaksana selulitis orbita tergantung serajat keparahan. Beberapa penelitian menganjurkan
selulitis orbita harus dirawat inap agar bisa dilakukan pemantauan, pemberian antibiotik lini pertama
terutama pada anak-anak diberikan antibiotik intravena spektrum luas golongan penisilin atau
sefalosporin generasi ketiga. Apabila terdapat alergi penisilin pemberian golongan makrolid atau
doksisiklin dapat diberikan sambil menunggu hasil kultur darah.8
2
Laporan kasus ini bertujuan untuk menambah keilmuan mengenai penegakkan diagnosis dan
tatalaksana selulitis orbita untuk mencegah komplikasi mengancam jiwa dapat dicegah sehingga
menurunkan morbiditas dan mortalitas.3
** Data
Data rekam
rekam medis
medis RSUP
RSUP Dr.
Dr. Mohammad
Mohammad Hoesin
Hoesin Palembang
Palembang Januari
Januari 2016
2016 -- Desember
Desember 2023
2023
3
KASUS
I. Identifikasi
Nama : An. IM
Umur : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Jl. Gotong Royong Kota Palembang
Agama : Islam
Suku : Palembang
Pendidikan : Sekolah Dasar
Pekerjaan : Pelajar
No. RM : 0782136
MRS : 9 Juni 2023, pukul 15.00 WIB, rawat bersama KSM Pediatrik 12 juni
2023
II. Anamnesis (Alloanamnesis dengan orang tua pasien, tanggal 12 Juni 2023, pukul
15.00 WIB)
Keluhan utama : Bengkak disertai merah di kedua kelopak mata dan hidung semakin
bertambah berat kisaran 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Keluhan tambahan : Demam, kedua kelopak mata nyeri dan sulit membuka mata
4
Kisaran 1 hari SMRS, bisul merah di batang hidung pecah mengeluarkan nanah dan
darah meninggalkan luka borok, bengkak di kedua kelopak semakin membesar, merah di
hidung dan kedua kelopak mata semakin meluas hingga ke dahi, kedua mata sulit dibuka,
kotoran mata semakin banyak, pandangan kabur dan kedua mata merah masih dirasakan.
Pasien dibawa oleh kedua orang tua berobat ke poliklinik RSUPMH Palembang dan
dirawat inap oleh KSM Pediatrik, kemudian dikonsulkan ke KSM DVE.
Riwayat Higienitas
Pasien jarang mencuci tangan
Pasien mandi 2x sehari menggunakan sabun
Pasien sering berkeringat dan jarang mengganti pakaian
Pasien jarang memotong kuku
Pasien sering menggosok hidung bila gatal
Keadaan spesifik
Kepala : normosefali
Mata : edema palpebra (+/+), palpebra hiperemis (+/+), konjungtiva hiperemis
(+/+), sklera ikterik (-/-), sekret (+)
Hidung : kavum nasi lapang (+/+), deviasi septum (-), sekret (-), konka inferior
eutrofi (+/+)
Mulut : stomatits(-)
Gigi : gigi geligi belum lengkap, karies (+)
55 54 53 52 51 61 62 63 64 65 Keterangan
5 5
:Kari 85 es
4 84 83 82 81 71 72 73 74 75
5 5
7
IV. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorik (Tabel 1)
Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorik hematologi tanggal 9 juni 2024
S Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hemoglobin 12,9 12,0-14,4 g/dL
Eritrosit 4,89 × 103 4,00-4,48 × 103/ mm3
Leukosit 26,79 × 103 4,5-13,5 × 103/ mm3 Meningkat (leukositosis)
Hematokrit 37 37-41%
Trombosit 332 × 103 217-497 × 103/ µL
RDW-SD 13,20
RDW-CV 13,20 11-15%
MCV 79,9 81-95 fL
MCH 26 25-29 pg
MCHC 35 29-31 g/dL
Basofil 0 0-1%
Eosinofil 0 1-6%
Neutrofil 83 50-70% Meningkat (neutrofilia)
Limfosit 5 20-40%
Monosit 12 % 2-8% Meningkat
LED 8 Mm/jam <15
Imunoserologi
hsCRP 92,6 Mg/L <5 Meningkat
8
Gambar 2. Hasil pulasan Gram apusan kulit regio nasali pasien An. IM ( )
V. Resume
An. IM, laki-laki, usia 10 tahun, datang dengan keluhan edema eritematosa di regio
palpebra bilateral dan regio nasalis yang bertambah berat disertai demam, nyeri, dan sulit
membuka kedua mata kisaran 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Kisaran 5 hari SMRS
muncul furunkel di regio nasalis, soliter, dasar eritematosa, nyeri masih dirasakan. Kisaran
3 hari SMRS muncul furunkel baru, eritematosa difus non homogen serta edema semakin
meluas hingga ke regio periorbita bilateral, sekret mata ada, sulit membukan kedua mata,
bola mata nyeri bila ditekan dan teraba hangat. Kisaran 1 hari SMRS furunkel pecah,
sekitar luka edema eritematosa, batas tidsk tegas, membesar semakin meluas hingga regio
frontalis, sekret mata semakin banyak, sulit membuka mata, pandangan kabur dan ganda,
nyeri. Pada Regio periorbita bilateral, frontalis, nasalis ditemukan eritematosa hingga
violaceus difus non homogen, edema, fluktuasi tidak ada, teraba hangat; regio nasalis
ditemukan ulkus, multipel, ukuran 1 cm x 0,5 cm x 0,3 cm hingga 2 cm x 1 cm x 0,5 cm,
daerah sekitar ulkus eritematosa, dasar ulkus jaringan nekrotik, dinding tidak menggaung,
indurasi tidak ada, isi pus, nyeri ada VAS 9, bau tidak ada, ditutupi krusta kuning
kecoklatan, sulit dilepaskan. Pemeriksaan diaskopi positif. Pemeriksaan pulasan Gram dari
apusan pus regio nasalis ditemukan bakteri coccus Gram (+), pada pemeriksaan laboratorik
hematologik ditemukan leukositosis dan peningkatan hsCRP.
9
Konsultasi KSM Mata untuk penilaian gangguan dimata
Konsultasi KSM THT untuk mencari fokal infeksi
Konsultasi Gigi untuk mencari fokal infeksi
IX. Penatalaksanaan
Terapi KSM DVE
Umum: Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE)
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyebab penyakit adalah bakteri
2. Mengajarkan orang tua pasien cara melakukan perawatan kulit dan kompres terbuka pada
luka borok pada anak
3. Menghimbau pasien dan keluarga untuk menjaga kebersihan tubuh
4. Menghimbau kepada pasien dan keluartga untuk menjaga asupan nutrisi seimbang secara
adekuat.
Khusus:
Topikal
- Kompres terbuka NaCl 0.9% tiap 12 jam pada ulkus hidung dan merah kedua kelopak
mata
- Krim asam fusidat 2% tiap 12 jam dioles pada ulkus hidung dan bercak merah di
kedua kelopak mata
Sistemik
- Sirup metronidazol 250 mg tiap 8 jam hari ke-1 (po)
Terapi KSM Pediatrik
- IVFD DS ½ NS 15 tetes tiap menit (makro)
- Injeksi ampisillin sulbaktam 1 gram tiap 6 jam (iv) hari ke-3
- Tablet ibuprofen 200 mg tiap 8 jam (po)
- Tablet zink 20 mg tiap 24 jam (po)
X. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
10
XI. Pengamatan lanjutan
Tanggal 13 Juni 2023 (hari rawat bersama ke-2)
S Luka borok di hidung mengering, bengkak dan merah pada kedua kelopak mata dan hidung
berkurang, penglihatan kabur dan ganda, tidak bisa melirik kearah kanan, mata merah, mata
terasa mengganjal, keluar kotoran mata, nyeri.
O Status generalikus dalam batas normal
Status dermatologikus (Gambar 3)
Lesi baru : tidak ada
Lesi lama : perbaikan
VAS 8
Regio periorbita bilateral, nasalis ( ): eritematosa hingga voliaceus difus non homogen,
fluktuasi tidak ada, disertai edema
Regio nasalis ( ): Ulkus, multipel, ukuran 1 cm x 0,5 cm x 0,3 cm hingga 0,5 cm x 0,3 cm x
0,2 cm, daerah sekitar ulkus eritematosa, dasar jaringan granulasi, dinding tidak menggaung,
indurasi tidak ada, isi pus, nyeri ada, bau tidak ada
12
menggaung, indurasi tidak ada, isi tidak ada, nyeri ada, bau tidak ada, sebagian ditutupi
krusta kecoklatan, sulit dilepaskan
13
Kesan: Penebalan jaringan lunak ekstraconal sisi medial kavum orbita kanan kiri, dorsum
nasi sisi lateral anterior kiri sampai dengan fronto ethmoid sisi superficial.
Jawaban konsultasi ulang KSM Ilmu kesehatan mata (19 juni 2023)
Hasil konsul subdivisi NO
Pemeriksaan Nervus:
- Nervus trigeminal (N.V) : tidak terdapat penurunan sensitivitas V1,V2,V3
- Nervus abdusen (N.VI) : paralisis nervus VI
- Nervus fasialis (N.VII) : tidak tampak pars nervus VII sentral perifer
A. Paralisis N.VI OD ec susp trombosis sinus cavernosus
Selulitis orbita OD (perbaikan klinis)
P KIE
- Tobroson ED 1gtt/4jam ODS
- Cendo lyteers ED 1gtt/4jam ODS
- Pro konsul subdivisi NO
14
Hasil pemeriksaan mikrobiologi tanggal 19 Juni 2023
Jenis Pemeriksaan : Kultur dan resistensi mikroorganisme
Jenis bahan : Swab hidung kiri
Nama bakteri : Staphylococcus aureus
Hasil Mikroskopis : Gram (+) coccus (+)
Lekosit 0-1/Lp
Epitel 0-1/Lp
A Ter
P Terapi KSM DVE
Topikal
15
- Kompres terbuka NaCl 0.9% tiap 12 jam pada ulkus hidung dan merah kedua kelopak
mata
- Krim asam fusidat 2% tiap 12 jam dioles pada ulkus hidung dan bercak merah di
kedua kelopak mata
Sistemik
- Sirup metronidazol 250 mg tiap 8 jam hari ke-10 (po)
Terapi KSM Pediatrik
Terapi lanjutkan
Terapi KSM Mata
Terapi lanjutkan
16
Regio nasalis ( ): patch eritematosa, multipel, iregular, numular-plakat, diskret sebagian
konfleuaens, ditutupi krusta kecoklatan
Tanggal 3 Juli 2023 (Post rawat inap 2 pekan) kontrol poliklinik DVE
S Kontrol post rawat inap, lesi lama perbaikan, lesi baru tidak ada, daerah sekitar hidung
kadang terasa gatal
17
O Status generalikus dalam batas normal
Status dermatologikus (Gambar 8)
Lesi baru : tidak ada
Lesi lama : perbaikan
Status dermatologikus
Regio nasalis: makula-patch eritematosa, multipel, iregular, lentikular-numular, diskret
sebagian konfleuaens, ditutupi krusta kecoklatan
DISKUSI
Selulitis orbita adalah infeksi pada bagian posterior septum orbita, sedangkan selulitis periorbita
infeksi anterior septum orbita. Selulitis orbita paling sering menginfeksi anak dengan gambaran
klinis demam, edema konjungtiva, eritema periorbita, konjungtiva hiperemis, nyeri, penurunan
visus, oftalmoplegia, proptosis, kemosis. Selulitis orbita dapat menimbulkan komplikasi
kehilangan penglihatan permanen atau penyebaran infeksi ke otak.1
Pada kasus ini dilaporkan kasus selulitis orbita dan periorbita pada pasien anak laki-laki
usia 10 tahun, hal ini sesuai dengan epidemiologi selulitis orbita lebih sering terjadi pada populasi
anak dibandingkan dewasa dengan insidensi 0,3-8,9 kasus pada perbulan Rumah Sakit khusus
anak di inggris.2 Faktor predisposisi selulitis periorbita meliputi sinusitis paranasal, infeksi
18
jaringan lunak pada wajah dan orbita, serta konjungtivitis. 4 Pada laporan kasus selulitis periorbital
oleh Nabila dkk, 2020 mengatakan bahwa pada anak usia rerata terinfeksi adalah 6,8 tahun.
Predileksi jenis kelamin tidak mempengaruhi angka kejadian.5
Selulitis orbita disebabkan oleh Streptococcus pyogenes atau Group-A Streptococcus
(GAS), Streptococcus β-hemolytic, dan Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae.1 Invasi
patogen dihalangi oleh beberapa faktor fisik fisiologis, yaitu sawar kulit, vaskularisasi kulit, sel
imun, sitokin proinflamasi, dan mikrobioma kulit sebagai mikroba patogen non-komensal,
meliputi berbagai spesies Staphylococcus, Propionibacterium, Corynebacteria. Sawar kulit
sebagai pelindung fisik dipengaruhi perubahan kolonisasi mikrobiom, pH, kelembapan, sebum
dan asam lemak. Penetrasi patogen ke jaringan kulit terjadi melalui kerusakan sawar kulit
superfisial menembus jaringan dermis profunda, atau tanpa kerusakan sawar kulit melalui
folikulitis, furunkel, dan karbunkel. 7
Selulitis orbita dapat muncul sebagai infeksi akut dan infeksi kronis seperti sinusitis kronis,
perluasan lesi kelopak mata seperti hordeolum internal dan cedera kelopak mata, atau dari infeksi
yang berdekatan seperti abses gigi. Luka ini juga dapat terjadi akibat penyebaran hematogen dari
infeksi endogen di tempat lain di dalam tubuh.6
Patogenesis terjadinya selulitis orbita dapat terjadi melalui 3 kemungkinan antara lain:
Pertama, inokulasi langsung, termasuk gigitan serangga atau trauma yang tidak disengaja. Jenis
infeksi ini biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes. Kedua,
infeksi adneksa okular berdekatan seperti episode akut sinusitis, dakriosistitis, atau hordeolum
masuk kedalam preorbital atau orbital. Ketiga, infeksi dapat menyebar melalui hematogen dari
sumber infeksi yang jauh seperti otitis media atau pneumonia.6
Anatomi daerah orbita memiliki struktur yang tipis yang menyebabkan infeksi mudah
masuk, perluasan infeksi pada septum orbita yang menyebabkan infeksi dari periorbita ke dalam
kavum orbita. Infeksi di orbita juga dapat meluas ke sinus paranasal mengelilingi kavum orbita,
pembuluh darah didaerah orbita berpotensi untuk penyebaran infeksi secara hematogen baik
secara anterograde atau retrograde.6 Gambar 9
19
Gambar 9. Anatomi Orbita 17
Lebih dari 90% kasus selulitis orbita merupakan gejala sisa dari sinusitis paranasal
(khususnya, sinusitis etmoid). Mediator peradangan yang dilepaskan pada mukosa hidung
sebagai respons terhadap infeksi virus menyebabkan hidung tersumbat dan bengkak, selanjutnya
akan mempersempit ostia, mengakibatkan penyumbatan pada drainase sinus yang normal.
Mukosa hidung yang bengkak mengakibatkan lingkungan kondusif bagi mikroorganisme untuk
berkembang biak didalam sinus dan saluran pernafasan. 8 Mikroorganisme ini masuk ke dalam
orbita melalui tulang tipis pada dinding orbita, saluran vena, karena tidak adanya sistem limfatik.
Perlindungan kekebalan tubuh melalui pelepasan sel fagosit secara lokal oleh jaringan retikuler
orbita akan meningkatkan tekanan intraorbita. Permukaan sel kompleks dari organisme Gram
positif serta toksin dan enzim memicu respons inflamasi, menyebabkan nekrosis jaringan dini dan
ekstensif. Bahan nekrotik berkonsolidasi membentuk abses, dan menyebar secara intrakranial
virulensi dan mekanisme pertahanan inang.8 Infeksi polimikroba selulitis orbita, teruta ma pada
orang dewasa, bakteri aerob dan anaerob memiliki efek sinergis. Bakteri aerob menciptakan
hipoksia, membantu bakteri anaerob untuk berkembang biak, anaerob juga menghasilkan beta-
laktamase untuk melindungi aerob terhadap antibiotik beta-lactam. 9
Harris dkk, melaporkan bahwa terdapat korelasi antara usia dan jenis bakteri penyebab
pada anak. Infeksi pada anak usia <9 tahun biasanya terjadi pada satu organisme bakteri aerob,
misalnya, Streptococcus, Staphylococcus aureus, atau Haemophilus influenzae.10 Mukund dkk,
melaporkan bahwa mikroorganisme penyebab selulitis pada anak adalah spesies Staphylococcus,
Streptococcus. Mikroorganisme yang jarang menyebabkan infeksi adalah Propionibacterium,
Bacillus spp, dan berbagai jamur.11
Septum orbita merupakan suatu membran tipis yang memisahkan kelopak mata di
superfisial dengan struktur okular lain di dalam rongga mata. Septum ini membentuk suatu
barrier yang dapat mencegah infeksi dari kelopak mata masuk lebih dalam orbita. Infeksi pada
20
jaringan lunak di depan septum orbita septum dikenal dengan istilah selulitis periorbita, yang
dapat mempengaruhi kelopak mata dan adneksanya, sementara infeksi di posterior septum terbagi
atas selulitis orbita, abses subperiosteal dan komplikasi lanjutannya adalah thrombosis sinus
cavernosus. Orbita dipisahkan dari sinus ethmoid dan maksila oleh lempengan tulang yang tipis
yang disebut lamina papyracea, yang memiliki struktur tipis dan memiliki beberapa defek.
Infeksi dapat menyebar langsung akibat penetrasi langsung melalui tulang tipis tersebut,
melintasi langsung foramina ethmoid anterior dan posterior. 13 Kombinasi dari tulang tipis,
foramen neurovaskular, dan beberapa defek tulang terjadi secara alami memungkinkan mudahnya
penyebaran bahan infeksius yang berasal dari ruang ethmoidal dan ruang subperiosteal medial
sehingga lokasi paling sering terjadinya abses subperiosteal sekunder akibat sinusitis akut adalah
di sepanjang dinding orbita medial.14 (Gambar 10)
Penyebara selulitis orbita dan periorbita anak lebih sering terjadi karena tulang septa dan
dinding sinus lebih tipis, garis sutura masih terbuka dan foramen vaskular yang lebih besar
dibandingkan dewasa. Perluasan infeksi juga dapat berkembang ke rongga intrakranial, menjadi
meningitis, abses epidural dan subdural, dan abses parenkim otak terutama dari lobus frontal.
21
Vena orbita yang memiliki struktur yang tidak berkatup juga memungkinkan berjalannya proses
infeksi, baik dari arah anterograde atau retrograde. Drainase vena dari sepertiga tengah wajah
dan sinus paranasal sebagian besar berjalan melalui vena orbita kemudian berjalan ke inferior
masuk ke pleksus pterygoideus atau ke posterior ke dalam sinus kavernosa.8
Pasien kasus, pasien mengeluhkan demam diikuti lesi bisul di hidung 3 hari setelah demam,
bisul pecah, mengeluarkan pus, menjadi ulkus. Pasien kemudian mengeluhkan timbul bengkak
disertai merah pada hidung cepat meluas ke daerah sekitar kedua kelopak mata dan dahi, sulit
membuka mata, mata terasa mengganjal, mata merah, keluar sekret mata, kemosis,
oftalmopleglia, pandangan kabur, nyeri dan teraba hangat
Proses infeksi terjadi di sinus kavernosus dapat melibatkan struktur terletak di dalamnya,
termasuk saraf kranial okulomotor (N.III), nervus troklearis (N.IV), nervus trigemila (N.V),
nervus abdusen (N.VI) arteri karotis internal dan saraf simpatik orbita. Infeksi juga dapat meluas
ke kelenjar pituitari, meningen dan ruang parameningeal. Sistem vena mata tidak memiliki katup
menyebabkan terjadi hubungan sistem vena dan limfatik secara langsung mengakibatkan aliran
dua arah, sehingga mengakibatkan terjadi tromboflebitis retrograde dan penyebaran infeksi
secara hematogen dari fokal infeksi.16
Proptosis dan kemosis terjadi akibat stasis aliran vena. Oftalmoplegia eksterna terjadi
akibat keterlibatan nervus okulomotor (N.III), nervus troklearis (N.IV) dan nervus abdusen
(N.VI) pada sinus kavernosus. Nervus kranial paling sering terjadi karena letaknya sentral,
melewati sinus kavernosus dan nervus kranial paling terakhir dipengaruhi. Nervus lain yang juga
terlibat adalah nervus trigeminal cabang pertama dan kedua.16
Penegakan diagnosis selulitis orbita dan periorbita, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang seperti, pemeriksaan hematologic, hsCRP, biakan kultur, dan
imaging (CT scan dan MRI). 1
Pada kasus ini, diagnosis banding adalah erisipelas dan necrotizing fasciitis. Pada
erisipelas didapatkan manifestasi berupa eritema berwarna merah cerah, berbatas tegas disertai
tanda inflamasi, sedangkan pada selulitis eritama berwarna merah dengan batas tidak tegas, hal
ini dikarenakan letak lokasi erisipelas lebih superfisial yaitu dibagian dermis atas (papilare
dermis), sedangkan selululitis infeksi dibagian dermis dalam hingga subkutan, sedangkan
necrotizing fasciitis infeksi kulit nekrotik yang mengenai fasia otot dan jaringan subkutan.
Penyebab bakteri erysipelas dan selulitis sama yaitu tersering Staphylococcus aureus,
22
Streptococcus grup A, sedangkan pada necrotizing fasciitis disebabkan bakteri Streptococcus
grup A (GAS) dan Clostridium menyebabkan racun alfa mempercepat degradasi jaringan dan
memiliki bau yang khas menyengat akibat bakteri anaerob“ dishwasher pus”.18 Gambar 11
Gambar 11. Struktur komponen kulit dan jaringan , infeksi superfisial dan infeksi lapisan dalam 19
23
penelitian Febi Vivaldi juga di RS Bethesda Yogjakarta tahun 2019, melaporkan bahwa
terapi yang paling banyak digunakan dalam pengobatan pioderma adalah kombinasi antibiotik
sistem dan topikal. Untuk terapi antibiotik topikal terbanyak adalah asam fusidat.22
Terapi antibiotik sistemik sirup metronidazole 250 mg tiap 8 jam digunakan untuk
membunuh bakteri anaerob yang dicurigai sebagai penyebab selulitis orbita yang diberikan
selama 14 hari.6 Terapi antibiotik injeksi ampicillin sulbaktam 1gram tiap 6 jam diberikan selama
14 hari, ampicilin sulbaktam merupakan antibotik empirik spektrum luas pilihan pertama pada
kasus selulitis berat pada anak.8. Pada kasus, prognosis pasien adalah dubia ad bonam karena
pasien mendapat tatalaksana adekuat saat keluhan muncul, dan terjadi perbaikan klinis selama
proses pengamatan. Berikut adalah algoritma tatalaksan selulitis periorbita 2 Gambar 12
24
Gambar 12. Tatalaksana selulitis periorbital 2
Pada kasus pasien mengalami komplikasi paralisis nervus abdusen (N.VI) ec thrombosis
sinus cavernosa pasien mendapatkan pengobatan adekuat selama perawatan. Pasien
diperbolehkan pulang namun pasien tetap dalam pengawasan dan tetap kontrol ke poliklinik DVE
dan Mata untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut mengatasi komplikasi. Tujuan tatalaksan
selulitis orbita adalah untuk mengatasi gejala dan mencegah terjadinya perburukan serta
komplikasi.
SIMPULAN
Telah dilaporkan kasus sinusitis orbita dan periorbita dengan komplikasi nervus abdusen (N.VI)
pada pasien anak laki-laki usia 10 tahun. Pasien didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis
ditemukannya tanda inflamasi pada kedua bola mata dan hidung. Bengkak disertai merah pada
kedua kelopak mata, berbatas tidak tegas, keluhan muncul diawali batuk pilek dan timbulnya
bisul pada hidung, kemudian bisul pecah membentuk ulkus, pasien juga mengeluhkan pandangan
kabur, sulit membuka mata, sulit melirik kearah kanan, keluar kotoran mata. Pada pemeriksaan
hematologi ditemukan leukositosis, peningkatan hsCRP, biakan kultur swab ditemukan bakteri
Staphylococcus aureus. Pada pemeriksaan CT scan di dapatkan kesan selulitis orbita ec suspek
sinus paranasal (etmoidalis). Pada pasien diberikan obat topikal kompres pada luka dan
pemberian obat topikal asam fusidat dioles tiap 12 jam serta diberikan obat sirup metronidazol,
pilihan metronidazol karena dicurigai adanya infeksi bakteri anaerob, serta pemberikan terapi
KSM Pediatrik dengan kombinasi pemberian antibiotik ampisilin sulbaktam merupakan
antibiotik kombinasi penilisin dan inhibitor beta laktamase. Pasien mengalami perbaikan.
Penegakkan diagnosis dini dan terapi adekuat serta perawatan kulit dapat meningkatkan
prognosis serta menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien selulitis orbita dan periorbita
dengan komplikasi paralisis nervus abdusen (N.VI).
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Pearson DR, Margolis DJ. Cellulitis adn Erysipelas. Dalam: Kang sewon et all,Penyunting Fitzpatricks
Dermatology. Edisi ke-9. New York: Mc Graw Hill:2019. H. 2747–2756.
2. Murphy DC, Meghji S, Alfiky M, Bath AP. Paediatric periorbital cellulitis: A 10-year
retrospective case series review. J Paediatr Child Health [Internet]. 1 Februari 2021 [dikutip 20
Januari 2024];57(2):227–33.
Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32987452/
3. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology: a systemic approach. 7th ed. Elsevier, 2011.
4. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New age international, 2007. p. 377-378,
384-386.
5. Az-Zahra NF, Himayani R, Ismunandar H. Case Report : A 12 years Old Young Girl with
Preseptal Cellulitis. Medical Profession Journal of Lampung [Internet]. 2020 [ dikutip20 Januari
2024]; 9(4):625–30. Tersedia pada: https://www.journalofmedula.
com/index.php/medula/article/view/226
6. Hegde R,Sundar G, Orbital Cellulitis Review. TNOA Journal of Ophthalmic Science and
Research | 2018; 55:211-219
7. Lacey KA, Geoghegan JA, McLoughlin RM. The Role of Staphylococcus aureus Virulence
Factors in Skin Infection and Their P otential as Vaccine Antigens. Pathogens. 2016 Feb 17;5(1).
8. Yadalla dkk, Bacterial orbital cellulitis in review. Indian Journal of Ophthalmology .
2023:71(7);2688-2693
9. Aabideen KK, Munshi V, Kumar VB, Dean F. Orbital cellulitis in children: A review of 17 cases
in the UK. Eur J Pediatr 2007;166:1193-4.
10. Harris GJ. Age as a factor in the bacteriology and response to treatment of subperiosteal abscess
of the orbit. Trans Am Ophthalmol Soc. 1993;91:441-516.
11. Mukund B, Chaudhary S, Bhat V, Vineet V, Adhikari KM. Orbital cellulitis-Incidence,
management, and outcome from coastal hospitals. J Pediatr Crit Care 2019;6:25-30
12. Ambati BK, Ambati J, Azar N, Stratton L, Schmidt EV. Periorbital and orbital cellulitis before
and after the advent of Haemophilus influenzae type B vaccination. Ophthalmology
2001;108:1514-5.
13. Lee S, Yen MT. Management of preseptal and orbita cellulitis. Saudi Journal Ophthalmology.
2011;25(1):21-26
14. Steinkuller P, Jones DB. Microbial preseptal and orbita cellulitis. In: Duane’s Clinical Ophthalmology.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.2005;(4):94-112
15. Brook I. Microbiology and antimicrobial treatment of orbita and intracranial complications
sinusitis. In: Children And Their Management. International Journal
PediatricOtorhinolaryngolog.2009;(73):1183-6
26
16. Liyanti R, Sukmawati G, Vitresia H. Orbital Cellulitis. Jurnal Kesehatan Andalas [Internet]. 13
Januari 2020 [dikutip 20 Januari 2024];8(4). Tersedia pada:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/1117
17. Schwartz. G and White. S. Complications of Acute and Chronic Sinusitis and Their
Management. In Sinusitis-From Microbiology to Management. Taylor & Francis, New York
2006: p. 269-90
18. Huriyati E,Budiman JB,Anwar KH. Rinosinusitis Kronis dengan Komplikasi Abses Periorbita.
Jurnal Kesehatan Andalas [Internet]. 2015 [dikutip 23 februari 2024];4(1).Tersedia pada:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/240
19. Saavedra AP, Roh EK, Mikailov A. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw Hill Companies; 2023.h. 565-68
20. S Helen, Marshall, James Baber,et all. S.aureus colonization in healty Australian adults receiving
an investigational S.aureus 3 antigen vaccine.2019.Journal of Infection.Departement of
clinical pharmacology, university of Adelaide\
21. Hamza M, Aisah S.Dermatoterapi. dalam: Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2010: 342-52
22. Vivaldi, Febi. 2019.Profil Pioderma Pada Anak Usia 0-14 Tahun di Rumah Sakit Bethesda
Periode Januari Sampai Desember 2018.Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta
Wacana.Yogyakarta.Prestiandari Erlita, Hernawati Sri, Rohma Leni.Daya Hambar Ekstrak Buah
Delima Merah (Punica)
27