Anda di halaman 1dari 30

Acc maju Hari / Tanggal : Senin / 7 Maret 2022

Pukul : 07.00 WIB


Penyaji : dr. Sefrina Trisadi
Pembimbing : dr. Anggun Putri Yuniaswan, SpKK

LAPORAN KASUS

PSORIASIS PUSTULOSA GENERALISATA REFRAKTER PADA


ANAK USIA 10 TAHUN

Oleh :

Sefrina Trisadi
NIM : 218071400111001

Pembimbing :

dr. Anggun Putri Yuniaswan, SpKK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


DEPT./SMF ILMU KESEHATAN KULIT dan KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2022
HALAMAN PERSETUJUAN

LAPORAN KASUS

PSORIASIS PUSTULOSA GENERALISATA REFRAKTER PADA


ANAK USIA 10 TAHUN

Oleh :
Sefrina Trisadi

Telah disetujui untuk dibacakan pada


: 7 Maret 2022

Pembimbing :

dr. Anggun Putri Yuniaswan, SpKK

2
PSORIASIS PUSTULOSA GENERALISATA REFRAKTER PADA ANAK USIA 10
TAHUN

Sefrina Trisadi*, Suci Prawitasari*, Anggun Putri Yuniaswan*

*Dept/SMF. Dermatologi dan Venereologi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya


Rumah Sakit Umum Daerah dr. Saiful Anwar, Malang, Indonesia

Abstrak

Psoriasis pustulosa generalisata (PPG) adalah jenis psoriasis yang ditandai dengan
munculnya beberapa pustul steril dengan dasar eritematosa pada distribusi yang luas.
Insidensi PPG dilaporkan sebanyak 0,6%-6,7% dari seluruh kasus psoriasis pada anak-
anak. Seorang anak laki-laki usia 10 tahun dikonsultasikan dengan demam dan bercak
kemerahan disertai bintil-bintil berisi nanah di seluruh tubuh. Riwayat batuk, pilek, nyeri
tenggorokan, diare, sariawan, gigi berlubang, nyeri telinga, nyeri berkemih disangkal.
Status dermatologis didapatkan lesi multipel pustul di atas plak dan patch eritematosa, batas
tegas, bentuk dan ukuran bervariasi, sebagian berkonfluens menjadi lake of pus, beberapa
sudah pecah dan mengering menjadi patch eritematosa multipel, batas tegas, tepi ireguler,
bentuk dan ukuran bervariasi disertai deskuamasi. Pemeriksaan histopatologi mendukung
suatu Generalized Pustular Psoriasis. Keluhan tidak membaik setelah melalui 11 hari
perawatan dengan Siklosporin hingga dosis maksimal sehingga terapi diganti dengan agen
biologis Secukinumab. Selain faktor pencetus yang tidak dapat dikendalikan, keterlibatan
mutasi gen IL36RN dipercaya dapat menjadi penyebab kasus PPG yang refrakter.

Kata kunci : PPG, Refrakter, IL36RN, Siklosporin, Secukinumab

3
REFRACTORY GENERALIZED PUSTULAR PSORIASIS IN 10 YO CHILD

Sefrina Trisadi*, Suci Prawitasari*, Anggun Putri Yuniaswan*

*Dept/SMF. Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine, Brawijaya University,


RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, Indonesia

Abstract

Generalized pustular psoriasis (GPP) is a type of Psoriasis characterized by multiple sterile


pustules with erythematous based on wide distribution. Incidence of GPP was reported 0,6-
6,7% of all pediatric psoriasis. A 10-years old boy was consulted with fever and red rashes
along with bumps containing pus in all over his body. History of cough, flu, sore throat,
diarrhea, oral thrush, teeth cavities, ear pain and urinary pain were denied. Dermatological
status showed multiple pustules on erythematous plaques and patches, well-defined, varied
size and shape, some became confluensed as lake of pus, some had burst and became dry as
multiple erythematous patches, well-defined, irregular border, varied size and shape with
desquamation. Histology examination supported a GPP condition. Complaints did not
improve after 11 days of treatment even with maximum dose of Cyclosporin so therapy was
switched to biologic agent Secukinumab. Other than uncontrolled triggering factors, the
involvement of genetic mutation IL36RN is believed to be the cause of refractory cases of
GPP.

Keywords : GPP, Refractory, Cyclosporine, Secukinumab

4
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................................i
Halaman Persetujuan......................................................................................................ii
Abstrak (Bahasa Indonesia)............................................................................................iii
Abstract...........................................................................................................................iv
Daftar Isi.........................................................................................................................v
Daftar Gambar................................................................................................................vi
BAB I Pendahuluan........................................................................................................7
BAB II Laporan Kasus....................................................................................................8
BAB III Pembahasan......................................................................................................20
BAB IV Kesimpulan.......................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................vii

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Status dermatologis saat dikonsultasikan


Gambar 2.2 Pemeriksaan mikroskopis saat dikonsultasikan
Gambar 2.3 Status dermatologis saat follow up hari ke-4
Gambar 2.4 Status dermatologis saat follow up hari ke-5
Gambar 2.5 Status dermatologis saat follow up hari ke-7 setelah dilakukan rawat luka
tertutup
Gambar 2.6 Status dermatologis saat follow up hari ke-10 setelah dilakukan rawat luka
tertutup kedua
Gambar 2.7 Perbaikan lesi pada lidah
Gambar 2.8 Status dermatologis saat follow up hari ke-12
Gambar 2.9 Grafik perbandingan dosis Siklosporin terhadap total BSA selama perawatan

6
BAB I
PENDAHULUAN

Psoriasis pustulosa merupakan salah satu jenis psoriasis yang ditandai dengan
munculnya beberapa pustul steril dengan dasar eritematosa.1 Psoriasis pustulosa
generalisata (PPG) merupakan jenis psoriasis yang paling jarang ditemukan pada anak-
anak. Insidensi PPG dilaporkan sebanyak 0,6% hingga 6,7% dari seluruh kasus psoriasis
pada anak-anak.2 Selain insidensi yang jarang, PPG juga berdampak besar pada kualitas
hidup pasien, terutama pada kondisi yang refrakter terhadap pengobatan.
Saat ini belum didapatkan data epidemiologi yang cukup mengenai kejadian PPG
yang refrakter, namun beberapa kasus mengenai keberhasilan terapi pada PPG yang tidak
terkontrol mulai banyak dilaporkan. Pengobatan PPG melibatkan penggunaan agen topikal,
agen sistemik, fototerapi, dan/atau terapi imunomodulator bertarget dengan agen biologis.
Beberapa uji klinis telah dilakukan untuk mempelajari kemanjuran dan keamanan agen
biologis dalam mengobati PPG, khususnya pada kasus yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan konvensional.
Etiologi PPG belum diketahui dengan pasti, namun dikaitkan erat dengan
predisposisi genetik. Aktivitas Sel T yang teraktivasi dan neutrofil juga berperan penting
dalam patogenesis penyakit ini.3 Faktor pemicu terjadinya PPG sangat beragam mulai dari
infeksi, penghentian secara mendadak atau penurunan dosis kortikosteroid yang tidak tepat,
operasi, kehamilan, hipokalsemia, obat-obatan, hingga stres mental sedangkan beberapa
faktor pemicu lainnya masih belum dapat dijelaskan.4
Oleh karena adanya etiologi yang belum pasti, aktivitas inflamasi yang sangat kuat,
serta faktor pemicu yang bermacam-macam, beberapa kasus PPG menjadi refrakter dan
terkadang gagal diterapi dengan pengobatan konvensional. Maka dari itu dilaporkan sebuah
kasus PPG refrakter pada anak laki-laki usia 10 tahun yang menunjukkan perbaikan setelah
diterapi dengan agen biologis Secukinumab.

7
BAB II
LAPORAN KASUS

Pasien anak laki-laki berusia 10 tahun dikonsultasikan ke Departemen


Dermatovenereologi dari IGD P2 oleh Departemen Pediatri Rumah Sakit dr. Saiful Anwar
Malang dengan keluhan utama demam dan muncul bercak kemerahan disertai bintil-bintil
berisi nanah di seluruh tubuh. Menurut Ayah pasien, bercak merah disertai dengan bintil
berisi nanah di atasnya muncul sejak 2 hari yang lalu. Awalnya hanya pada bagian perut
namun semakin lama semakin banyak dan menyebar ke leher, punggung, tangan dan kaki.
Pasien tidak merasakan gatal namun nyeri dirasakan pada area bintil di paha kanan dan kiri
dengan VAS 3/10. Pasien juga dikeluhkan mengalami demam tinggi sejak 2 hari terakhir.
Keluhan adanya mual, muntah, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, diare, sariawan, gigi
berlubang, nyeri di telinga, nyeri berkemih dan nyeri sendi disangkal. Pasien masih
memiliki nafsu makan yang baik.
Pasien didiagnosis dengan Pustular Psoriasis Generalisata pertama kali pada
Februari 2019 oleh dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di rumah sakit swasta di Jawa
Tengah. Awalnya muncul bintil nanah dari punggung lalu meluas ke seluruh tubuh. Pasien
sempat dirawat inap dan diberi obat pulang namun Ayah pasien tidak dapat mengingat
nama obatnya namun keluhan dirasakan menetap.
Kemudian pasien berobat ke dokter umum dan diberikan Methylprednisolone sirup.
Setelah diminum sebanyak 2 sendok dalam 1 hari, bercak dirasakan semakin banyak
sehingga Ayah pasien tidak melanjutkan pengobatan. Pada bulan Juni 2019 pasien berobat
ke dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di rumah sakit swasta lain di Jawa Tengah kemudian
diberikan obat minum dan salep namun keluhan tidak kunjung membaik.
Akhirnya pasien dirujuk ke rumah sakit pemerintah di Jawa Tengah dan
mendapatkan obat Methotrexate 7,5mg/minggu, Asam Folat 1x1 tablet, Cetirizine 1x1
tablet, Curcuma 1x1 tablet dan obat salep racikan yang berisi Desoxymethasone, Asam
Fusidat, Asam Salisilat,LCD, dan Soft U Derm yang dioleskan 2x/hari. Keluhan bintil-
bintil dan bercak

8
merah sempat menghilang namun terkadang muncul kembali. Selain itu, Ayah pasien
merasa bahwa pasien terlihat menjadi semakin gemuk.
Pada pertengahan tahun 2020, pasien berhenti kontrol karena takut keluar rumah
selama pandemi Covid-19 sehingga Ayah pasien berinisiatif untuk mencoba pengobatan
alternatif dengan membuat santan dari 1/4 buah kelapa setiap hari yang diminumkan
kepada pasien 1x/hari. Pasien diberikan minuman santan selama hampir satu tahun, bercak
di kulit dirasakan membaik, namun beberapa kali kerap muncul kembali.
Pada bulan Juni 2021, pasien kembali diperiksakan ke rumah sakit pemerintah
sebelumnya dan melanjutkan pengobatan yang sama hingga pasien pindah rumah ke
Pandaan, Jawa Timur sekitar 1 minggu yang lalu (pertengahan bulan Januari 2022). Karena
muncul keluhan demam tinggi dan bintil berisi nanah yang baru, pasien kemudian berobat
ke dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di rumah sakit pemerintah di Bangil dan direncakan
pemberian terapi Methylprednisolone, tetapi Ayah pasien menolak karena adanya riwayat
bercak yang semakin bertambah dengan pemberian Methylprednisolone, sehingga pasien
dirujuk ke Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang.
Untuk riwayat alergi baik makanan dan obat-obatan disangkal oleh Ayah pasien.
Riwayat biduran, bersin-bersin saat terkena debu juga disangkal. Dari riwayat keluarga,
tidak ada yang pernah mengalami keluhan kulit seperti pasien. Sejak didiagnosa dengan
Pustular Psoriasis, pasien mandi 2 kali sehari dengan air hangat dan sabun bayi.
Pada pemeriksaan status generalis, pasien tampak sakit sedang dengan GCS 15.
Nadi 144x/menit, laju pernafasan 22x/menit, suhu 38 0C, dan saturasi oksigen 99% dengan
udara ruangan. Berat badan pasien 27 kg. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran
limfonodi regio submental, axilla dekstra sinistra, dan inguinal dekstra sinistra.
Pada pemeriksaan status dermatologis, pada regio scalp, facialis, trunkus anterior
posterior, abdomen, eksterimitas superoinferior dekstra dan sinitra didapatkan lesi multipel
pustul di atas plak dan patch eritematosa, batas tegas, bentuk dan ukuran bervariasi,
sebagian berkonfluens menjadi lake of pus, beberapa sudah pecah dan mengering menjadi
patch eritematosa multipel, batas tegas, tepi ireguler, bentuk dan ukuran bervariasi disertai
deskuamasi. Pada lidah didapatkan multipel plak berwarna putih, batas tegas dan tepi
ireguler yang melekat di dasar serta ditemukan gambaran geographic tongue.

9
Gambar 2.1 Status dermatologis saat dikonsultasikan.
Regio scalp, facialis, trunkus anteroposterior, abdomen, eksterimitas superoinferior dekstra dan sinitra
didapatkan multipel pustul di atas plak dan patch eritematosa, batas tegas, bentuk dan ukuran
bervariasi, sebagian berkonfluens menjadi lake of pus, beberapa sudah pecah dan mengering menjadi
patch eritematosa multipel, batas tegas, tepi ireguler, bentuk dan ukuran bervariasi disertai deskuamasi.
Regio lingua didapatkan multipel plak berwarna putih, batas tegas dan tepi ireguler yang melekat di
dasar serta ditemukan gambaran geographic tongue.

10
Pemeriksaan mikroskopis Gram pada pustul hanya didapatkan sel PMN tanpa
adanya bakteri. Hal ini menandakan bahwa pustul yang muncul pada pasien merupakan
pustul steril dan bukan suatu infeksi. Pemeriksaan Gram pada lidah didapatkan adanya
pseudohifa dengan budding yeast. Pemeriksaan KOH 10% pada skuama yang diambil dari
regio scalp tidak menunjukkan adanya hifa maupun spora.

Gambar 2.2 Pemeriksaan mikroskopis saat dikonsultasikan.


(a) Pemeriksaan Gram pada pustul tampak sel PMN. Tidak ditemukan adanya bakteri.
(b) Pemeriksaan Gram pada lidah tampak gambaran pseudohifa ( ) dengan budding yeast ( ).
(c) Pemeriksaan KOH 10% pada skuama di regio scalp tidak ditemukan adanya hifa atau spora.

Pada hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil penurunan kadar,


leukositosis 28.300/μL, neutrofilia 80,4%, limositopenia 11,9%, monositosis 7,6%, dan
peningkatan CRP 6,02. Hasil pemeriksaan lain termasuk urinalisis dalam batas normal.
Pemeriksaan radiologis xray thorax dalam batas normal.
Pasien didiagnosa kerja dengan suspek Generalized Pustular Psoriasis dengan
dengan diferensial diagnosis Sneddon Wilkinson Disease dan Kandidiasis Oral. Perhitungan
BSA ditemukan luas lesi total 14% dan perhitungan Severity Criteria for GPP didapatkan
skor total 9 (derajat sedang). Dari departemen Dermatovenereologi, pasien disarankan
untuk dilakukan pemeriksaan ASTO dan LED setelah di ruangan serta punch biopsy pada
jam kerja. Pasien dirawat bersama dan untuk terapi diusulkan pemberian per oral
Siklosporin 2 mg/kgBB/hari dengan total sesuai berat badan 50mg/hari (25mg-0-25mg),
per oral Paracetamol 3 x 250 mg, Nystatin drop 4 x 100.000 IU, Kompres NS dan salep
Asam Fusidat 2% pada area erosi, Klobetasol propionate 0,05% gel pada area scalp, Urea
10% cream pada area kulit yang kering.

11
Dari Departemen Pediatri, pasien didiagnosa dengan Skin and Soft Tissue Infection
(SSTI) et causa Psoriasis Pustulosa dd Impetigo Bulosa. Direncanakan terapi infus C1:1
500cc dalam 24 jam, injeksi Ceftriaxone 2x1gram (setara 100mg/kgBB), injeksi
Gentamicin 1x135 gram (setara 50mg/kgBB), injeksi Paracetamol 2x270 mg k/p, per oral
Cetirizine 1x10 mg tablet. Rencana diet lunak tinggi kalori tinggi protein 3x/hari dan air
putih ad lib. Pasien juga dikonsultasikan kepada Departemen Bedah Plastik dan didiagnosa
dengan Pustular Psoriasis serta direncanakan untuk rawat luka terbuka menggunakan
framycetin tulle.
Pasien mulai diberikan Siklosporin 2mg/kgBB/hari pada perawatan hari pertama
beserta dengan terapi yang lain namun demam tidak membaik dan muncul lesi kulit baru.
Saat perawatan hari kedua, pasien masih demam dan muncul pustul baru dengan
pertambahan BSA menjadi 15%. Dengan kondisi ini, terdapat kecurigaan terhadap suatu
Acute Generalized Exanthematous Pustulosa (AGEP) oleh karena pemberian Ceftriaxone
sehingga pasien diagnosis banding pasien bertambah. Akhirnya, pemberian Ceftriaxone
diberhentikan pada hari kedua dan digantikan dengan Klindamicin per oral 3x300mg
(setara dengan 10mg/kgBB/kali pemberian).
Dosis Siklosporin kemudian dinaikkan menjadi 3mg/kgBB/hari pada perawatan hari
ketiga dikarenakan total BSA terus bertambah menjadi 24%. Pada perawatan hari keempat
perhitungan BSA menjadi 35% dan pasien akhirnya dilakukan rawat luka tertutup di
ruangan khusus karena lesi kulit yang semakin luas.

12
Gambar 2.3 Status dermatologis pada follow up hari ke-4.
Ditemukan pertambahan BSA sebanyak 20% dibandingkan dengan status dermatologis saat
pertama kali dikonsultasikan walaupun pasien sudah diberikan Siklosporin.

Pada follow up hari kelima (satu hari setelah perawatan luka tertutup), pasien masih
demam serta ditemukan lesi baru pada area leher dan sekitar selangkangan. Namun

13
perhitungan BSA tidak dapat dilakukan karena badan pasien yang terbalut dengan kassa
dan perban. Saat perban dibuka pada hari ketujuh, lesi lama terlihat lebih kering dan
menjadi tebal daripada sebelumnya dengan BSA penurunan BSA menjadi 24%. Pasien juga
sudah tidak demam. Pasien dimandikan dengan sabun bayi dan dilakukan rawat luka
tertutup kedua.

Gambar 2.4 Status dermatologis pada follow up hari ke-5.


Ditemukan adanya lesi baru pada leher dan area
selangkangan.

Gambar 2.5 (a) Status dermatologis pada follow up hari ke-7 setelah pasien dilakukan rawat luka
tertutup. Lesi lama tampak mengering dan menebal. (b) Pasien dimandikan dengan sabun bayi
dilanjutkan dengan perawatan luka tertutup kedua menggunakan kassa dan framycetin tulle.

14
Saat perban dibuka pada perawatan hari kesepuluh, lesi lama terlihat kering dan
mengelupas disertai rasa gatal (VAS 3/10). Pasien juga sudah tidak demam dan didapatkan
penurunan BSA sebesar 7%. Lesi pada lidah sudah menunjukkan perbaikan namun
pemeriksaan Gram evaluasi pada lidah masih didapatkan adanya pseudohifa namun tidak
ditemukan adanya budding yeast. Perawatan luka tertutup akhirnya tidak dilanjutkan karena
keluarga pasien menolak sehingga pasien kembali dipindah ke ruang perawatan biasa.
Dosis Siklosporin direncanakan untuk diturunkan menjadi 4mg/kgBB/hari apabila tidak
didapatkan lesi baru pada follow up hari berikutnya.

15
Gambar 2.6 Status dermatologis pada follow up hari ke-10 setelah pasien dilakukan rawat luka tertutup
kedua. Lesi lama tampak mengering, menebal dan sebagian mengelupas.

Gambar 2.7 (a) Perbaikan lesi pada lidah.


(b) Pemeriksaan Gram evaluasi lidah tampak adanya pseudohifa ( )

16
Memasuki perawatan hari kesebelas, pasien kembali demam disertai menggigil serta
didapatkan penambahan lesi baru yang signifikan dengan total BSA menjadi 26% sehingga
tappering off Siklosporin ditunda. Pasien dikonsultasikan kepada Departemen Telinga,
Hidung, dan Tenggorok untuk mencari fokus infeksi namun tidak ditemukan adanya
sumber infeksi pada telinga, hidung maupun tenggorokan. Pasien juga dikonsultasikan
kepada Departemen Gigi dan Mulut dengan hasil terdapat caries media dan direncanakan
untuk tumpat gigi apabila kondisi pasien sudah membaik.
Hasil pemeriksaan histopatologi dari sediaan biopsi dari kulit regio brachii dekstra
menunjukkan potongan jaringan dilapisi epidermis dengan reaksi psoriasiform yang
reguler, tampak parakeratosis, akantosis, dan hipogranulosis. Didapatkan mikroabses
munro yaitu subkorneal pustul berisi infiltrat neutrofil. Pada papillary dermis didapatkan
banyak eritrosit dan pembuluh darah dilatasi serta sel-sel netrofil. Sehingga, kesimpulan
dari gambaran hitopatiologi mendukung suatu Psoriasis pustulosa Generalisata.
Dengan adanya hasil histopatologi, dapat menyingkirkan diagnosis banding
sebelumnya, sehingga diagnosis pasien adalah Psoriasis pustulosa Generalisata. Puncak
dari perburukan lesi terjadi pada perawatan hari kedua belas di mana muncul pustul baru
pada seluruh tubuh dengan total BSA 79%. Pada status dermatologis didapatkan adanya
pustul multipel diatas plak dan patch eritematosa, batas tegas, bentuk dan ukuran
bervariasi, lake of pus (+) serta patch eritematosa multipel, sebagian hipopigmentasi, batas
tegas, tepi ireguler, bentuk dan ukuran bervariasi disertai deskuamasi mininal, tertutup
krusta kecoklatan pada regio scalp, facialis, abdomen, genital, gluteal, trunkus
anteroposterior, extremitas superioinferior dekstra dan sinistra.

17
Gambar 2.8 Status dermatologis pada follow up hari ke-12.
Regio scalp, facialis, abdomen, genital, gluteal, trunkus anteroposterior, extremitas superioinferior
dekstra dan sinistra didapatkan adanya pustul multipel diatas plak dan patch eritematosa, batas tegas,
bentuk dan ukuran bervariasi, lake of pus (+) serta patch eritematosa multipel, sebagian hipopigmentasi,
batas tegas, tepi ireguler, bentuk dan ukuran bervariasi disertai deskuamasi mininal, tertutup krusta
kecoklatan dengan total BSA 79%.

Setelah melalui sebelas hari perawatan dengan pemberian Siklosporin hingga dosis
maksimal (5mg/kgBB/hari), kondisi penyakit masih belum dapat dikontrol yang dapat
dilihat pada grafik di bawah. Puncak dari perburukan lesi terjadi pada hari kedua belas
dengan total

18
BSA menjadi 79%. Berdasarkan kriteria keparahan PPG, didapatkan skor sebesar 11 yang
diklasifikasikan sebagai derajat berat, di mana pada awal dikonsultasikan, skor keparahan
PPG pasien sebesar 9 yang termasuk derajat sedang.

Grafik Perbandingan Dosis Siklosporin terhadap Total BSA


selama Perawatan
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10 H11 H12 H13 H14

Dosis Siklosporin Total BSA

Gambar 2.7 Grafik yang menunjukkan bahwa kondisi penyakit pasien yang tidak dapat terkontrol
dengan pemberian Siklosporin.

Pasien direncanakan untuk pemberian agen biologis Secukinumab. Dosis


Siklosporin mulai diturunkan pada hari kedua belas menjadi 4mg/kg/BB/hari kemudian
dilanjutkan dengan 3mg/kgBB/hari pada hari ketiga belas dan 1,5mg/kgBB/hari pada hari
keempat belas serta dihentikan pada hari kelima belas di mana pasien akan dilakukan
injeksi Secukinumab dosis inisial pertama yaitu 150mg secara subkutan.

19
BAB 3
PEMBAHASAN

Psoriasis pustulosa merupakan salah satu jenis psoriasis yang ditandai dengan
munculnya beberapa pustul steril dengan dasar eritematosa. Berdasarkan luas penyakitnya,
Psoriasis pustulosa dikelompokkan menjadi generalisata dan lokalisata.1 Terdapat dua
subtipe Psoriasis pustulosa generalisata (PPG) yang dibedakan berdasarkan awitannya,
yaitu PPG akut (dikenal sebagai tipe Von Zumbusch) dan PPG subakut (dikenal sebagai
Psoriasis pustulosa annular). Psoriasis pustulosa generalisata (PPG) tipe Von Zumbusch
bersifat berat, mengancam jiwa dan secara khas disertai dengan demam yang berlangsung
selama beberapa hari. Pada tipe ini, pustul tersebar di batang tubuh dan ekstremitas,
termasuk dasar kuku, telapak tangan, dan telapak kaki4.
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis yang mempengaruhi sekitar 2% orang
dewasa dan 0,6-1,4% anak-anak. Onset selama masa kanak-kanak ditemukan pada 20-30%
orang dewasa dengan Psoriasis. Psoriasis pustulosa Generalisata (PPG) adalah varian
psoriasis yang jarang terjadi, namun diketahui PPG dapat menyerang segala usia. Pada
anak- anak PPG terjadi pada 0,6-7% kasus psoriasis dengan onset usia antara 3-6 tahun
dengan didominasi pasien laki-laki1,5.
Kondisi refrakter adalah kondisi di mana suatu penyakit tidak menunjukkan respon
terhadap pengobatan. Kondisi ini sering mengakibatkan bertambahnya hari perawatan
hingga penurunan kualitas hidup pasien. Berbagai macam faktor dapat berkontribusi dalam
berkembangnya kondisi refrakter pada suatu penyakit, mulai dari faktor genetik, kepatuhan
berobat, penurunan regulasi reseptor target karena paparan obat kronis, hingga kurangnya
kepatuhan terhadap.
Hingga saat ini belum terdapat data epidemiologi mengenai kasus PPG yang
mengalami refrakter khususnya pada anak-anak. Namun, sebuah literatur menyatakan
bahwa setelah PPG dicetuskan oleh pemicu apapun, penyakitnya akan cendrung tidak
stabil, dan eksaserbasi pustular sering kambuh baik oleh karena paparan pemicu maupun
oleh alasan yang tidak diketahui. PPG pada usia muda seringnya refrakter yang kronis.5

20
Manifestasi klinis PPG ditandai dengan munculnya lesi kulit berupa pustul yang
luas dan tiba-tiba. Pustul steril berukuran 2-3 mm akan menyebar ke seluruh tubuh7,8.
Pustul akan muncul dari badan hingga ekstremitas termasuk kuku, telapak tangan, dan
telapak kaki. Pustul umumnya berada diatas patch eritematosa yang semakin lama juga ikut
semakin meluas. Pada PPG, beberapa pustul akan berkonfluens dan membentuk lake of
pus. Dalam 2-3 hari, pustul akan mengering dan meninggalkan krusta serta deskuamasi8,9.
Selain manifestasi kulit, PPG pada umumnya didahului dengan adanya gejala demam (suhu
antara 38-410C), malaise, dan nyeri otot. Pada beberapa kasus berat dapat dijumpai adanya
nyeri ulu hati, otitis media, hingga gagal ginjal akut. Pada beberapa kasus, juga dapat
disertai adanya infeksi saluran nafas atas (batuk, pilek, atau tonsilitis) sebelum munculnya
lesi kulit6,8.
Pada kasus, anak laki-laki berusia 10 tahun dibawa oleh Ayahnya dengan keluhan
muncul bercak kemerahan dan bintil berisi nanah pada seluruh bagian tubuh. Sebelum
muncul keluhan kulit, pasien sempat demam tinggi. Pada pemeriksaan status generalis,
didapatkan suhu 380C. Dan pada status dermatologis ditemukan multipel pustul dengan
dasar eritematosa, batas tegas, dengan bentuk dan ukuran bervariasi, serta beberapa pustul
berkonfluens menjadi lake of pus dan beberapa pecah dan mengering meninggalkan
multipel patch eritematosa, batas tegas, tepi ireguler, dengan bentuk dan ukuran bervariasi
dan didapatkan deskuamasi. Dan dari pewarnaan Gram pada pustul didapatkan gambaran
sel polimorfonuklear (PMN) dan tidak didapatkan gambaran bakteri baik basil maupun
coccus, yang menandakan bahwa pada pasien merupakan pustul steril.
Hasil pemeriksaan laboratorium pada kasus PPG umumnya akan didapatkan
peningkatan nilai leukosit (leukositosis), peningkatan nilai CRP, peningkatan fungsi hepar
(SGOT/SGPT), hipoalbuminemia, dan hipokalsemia8,10. Maka dari itu, pemeriksaan
laboratorium dilakukan secara menyeluruh untuk evaluasi pasien dengan kecurigaan PPG.
Pada kasus, didapatkan leukositosis (28.300/L), hipoalbuminemia (2,97 g/dL) dan
peningkatan CRP (6,02).
Diagnosa banding untuk PPG antara lain Sneddon Wilkinson Disease, dan AGEP
(Acute Generalized Exanthematous Pustulosis)12. Sneddon Wilkinson Disease atau
Subcorneal Pustular Dermatosis ditandai dengan erupsi lesi pustul yang berulang dan
bersifat

21
kronis. Pada Sneddon Wilkinson Disease, lesi utamanya berupa pustul yang flaccid atau
vesikel yang dengan cepat berubah menjadi pustul dengan diawali muncul lesi eritematosa.
Pus pada pustul akan berada di setengah bawah dari pustul. Pustul umumnya akan
membentuk serpigenosa dan dalam beberapa hari pustul akan pecah dan mengering dan
meninggalan skuama dan krusta. Area predileksinya adalah aksila, lipat paha, abdomen,
dan area lipatan lainnya. Kondisi ini jarang diikuti oleh rasa gatal atau terbakar13.
Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) merupakan salah satu reaksi
berat akibat obat yang ditandai dengan munculnya pustul steril pada area predileksi
intertriginosa disertai dengan demam (suhu > 380C) dan didapatkan pula leukositosis.
Pemicu AGEP tersering adalah antibiotik. Lesi kulit pada AGEP umumnya muncul 24 - 48
jam setelah inisiasi obat yang dicurigai. Walaupun AGEP memiliki manifestasi klinis yang
berat, namun penyakit ini dapat sembuh sendiri jika obat yang dicurigai dihentikan14,15.
Pada kasus, working diagnosis untuk pasien adalah PPG dengan diagnosa banding
Sneddon Wilkinson Disease. Awalnya pasien tidak didiagnosa banding dengan AGEP,
namun kecurigaan adanya suatu AGEP muncul setelah pasien mendapatkan injeksi
Ceftriaxone di mana pasien mengeluhkan demam yang tidak kunjung turun serta muncul
pustul baru pada rentang waktu 24-48 jam setelah pemberian Ceftriaxone.
Untuk membantu menyingkirkan diagnosis banding dan menegakkan diagnosis
pada pasien dengan PPG, dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pada PPG, gambaran
histopatologi yang khas adanya pustule of Kogoj yang merupakan akumulasi dari neutrofil
dibawah stratum korneum. Selain itu juga ditemukan tanda klasik dari psoriasis seperti
parakeratosis, akantosis, hiperkeratosis, pemanjangan dari rete ridges, dan abses munro 4.
Hasil pemeriksaan histopatologi pasien menunjukkan adanya reaksi psoriasiform dan
gambaran mikroabses munro. Dengan kesimpulan akhir bahwa hasil histopatologi
mendukung suatu Pustular Psoriasis Generalisata.
Terjadinya eksaserbasi pada pasien PPG dapat dipicu oleh beberapa faktor. Faktor
tersering yang menjadi pemicu munculnya PPG secara umum adalah penghentian secara
tiba-tiba terapi steroid. Hal ini didapatkan pada 30-40% pasien dengan PPG. Selain
penghentian steroid, pemicu dapat berupa karena paparan sinar matahari, pengaruh musim,
serta kehamilan (pada wanita). Selain itu, faktor risiko yang juga penting adalah fokal

22
infeksi. Teori fokal infeksi yang muncul pada abad ke-20 menyatakan bahwa penyakit
sistemik dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang berkembang dari fokal infeksi,
misalnya sinus, adenoid, tonsil, gigi, traktus genitourinaria, kandung empedu, dan ginjal.
Fokal infeksi adalah tempat terakumulasinya mikroorganisme dan biasanya tanpa gejala
atau asimptomatik. Respons infeksi mungkin disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme
dari fokal infeksi.10,20
Pada kasus, tidak ditemukan adanya riwayat batuk atau pilek maupun pemberian
steroid sebelum muculnya lesi kulit. Riwayat demam ditemukan satu hari sebelum muncul
lesi kulit namun gejala demam dapat menjadi bagian dari eksaserbasi PPG. Hasil kultur
darah dan kultur pus tidak ditemukan adanya pertumbuhan koloni bakteri. Hasil analisa
urine menunjukkan bakteriuria yang tidak bermakna. Hasil pemeriksaan dari bagian lain
yaitu Telinga, Hidung, Tenggorok juga tidak ditemukan adanya fokus infeksi. Namun, pada
pemeriksaan oleh bagian Gigi dan Mulut didapatkan adanya caries media dengan diagnosa
pulpitis reversibel serta pemeriksaan Gram pada lidah didapatkan adanya pseudohifa dan
budding yeast yang menandakan suatu Oral Kandidiasis.
Beberapa infeksi dapat menjadi pencetus psoriasis. Penelitian Igawa et al (2011)
menyatakan bahwa infeksi gigi dianggap sebagai faktor penting penyebab Psoriasis.
Kandidiasis oral juga disebutkan menjadi salah satu pemicu awitan dan eksaserbasi
Psoriasis. Pada saliva pasien Psoriasis ditemukan jamur Candida sp. (Picciani et al,
2013).16,17,18 Periodontitis juga disebutkan meningkatkan risiko Psoriasis (World Health
Organization, 2016).
Etiologi Psoriasis masih belum jelas, tetapi peran faktor lingkungan, genetik, dan
sistem kekebalan telah disebut berperan dalam perkembangan penyakit. Patogenesis
Psoriasis ditandai dengan proliferasi dan diferensiasi abnormal dari keratinosit dan infiltrasi
sel inflamasi, terutama limfosit T, monosit, dan neutrofil. Walaupun patomekanisme dari
eksaserbasi GPP masih kurang dipahami, namun kemajuan ilmu dalam bidang biologi dan
mekanisme genetik autoinflamasi dan autoimunitas telah menunjukkan adanya karakterisasi
mutasi genetik penting yang terkait dengan kejadian dan patogenesis PPG. Terutama,
mutasi IL36RN telah diidentifikasi dalam kasus PPG sporadis dan familial dari seluruh
dunia.21,22

23
Mutasi yang berupa hilangnya fungsi pada antagonis reseptor interleukin (IL)-36 ini
menghasilkan hiperaktivasi pensinyalan IL-36 karena stimulasi reseptor IL-36 yang tidak
dilawan oleh ligannya: IL-36α, IL36β, dan IL-36γ. 36. Peningkatan produksi IL-36
menginduksi produksi kemokin oleh keratinosit, menyebabkan akumulasi neutrofil pada
epidermal, yang mendorong patogenesis PPG, dan pembentukan karakteristik pustules of
Kogoj. Fungsi proinflamasi dari sitokin IL-36 dapat ditingkatkan lebih lanjut oleh lingkaran
umpan balik positif dengan sumbu IL-17/IL-23. Selain itu, ekspresi IL-36γ telah ditemukan
berkorelasi dengan aktivitas penyakit pada Psoriasis dan ditekan oleh penghambatan
21,22,23
TNFα.
Pasien dengan IL36RN-positif memiliki manifestasi klinis yang lebih parah yang
ditandai dengan onset dini, inflamasi sistemik, dan memerlukan terapi pemeliharaan
sistemik jangka panjang. Sekitar 20% pasien GPP membawa mutasi resesif IL36RN yaitu
gen yang mengkode antagonis reseptor IL-36. Antagonis ini melawan efek pro-inflamasi
IL36 α, β dan γ, anggota kelompok sitokin IL-1, dan mencegah aktivasi pensinyalan NF-
κB.23
Sebuah tinjauan sistematis dari 233 pasien PPG, yang termasuk di dalamnya enam
dari IL36RN-positif menunjukkan bahwa mutasi IL36RN homozigot menentukan fenotipe
yang lebih parah yang ditandai dengan (i) onset dini, (ii) prevalensi Psoriasis Vulgaris yang
rendah, dan (iii) risiko tinggi terjadinya inflamasi sistemik (didefinisikan sebagai demam
>38oC) dan leukositosis >12x109/l). Tinjauan ini juga menemukan bahwa mutasi IL36RN
heterozigot meningkatkan risiko penyakit. Meskipun onset penyakit secara signifikan
tertunda pada pasien heterozigot, prevalensi inflamasi sistemik yang tinggi terlihat pada
kedua kelompok.5
Pada kasus, pasien merupakan anak laki-laki berusia 10 tahun dengan riwayat
terdiagnosa Pustular Psoriasis sejak tahun 2019. Selama sebelas hari perawatan, kondisi
penyakit tidak membaik dengan pemberian Siklosporin bahkan hingga dosis maksimal
yaitu 5mg/kgBB/hari yang akhirnya dapat dinyatakan sebagai refrakter. Perhitungan skor
keparahan PPG pasien meningkat menjadi 11 yang dapat diklasifikasikan sebagai kategori
berat dibandingkan dengan awal masuk yaitu 9 atau kategori sedang. Hal ini tidak menutup
kemungkinan bahwa terdapat peran genetik yang dominan sehingga dapat menjadi
penyebab refrakter serta keparahan penyakitnya. Sayangnya, pada kasus ini, pasien tidak
diperiksakan
24
pemeriksaan genetik untuk mendeteksi adanya gen IL36RN karena keterbatasan sarana dan
prasarana.
Kemajuan dalam pemahaman mengenai genetika dan patogenesis PPG telah
mengungkapkan peluang baru untuk mengembangkan strategi terapi bertarget spesifik.
Sebuah tinjuan pustaka telah menyoroti pengobatan yang tersedia saat ini termasuk pilihan
pengobatan pada kasus eksaserbasi PPG dan manajemen PPG jangka panjang. Pilihan
pengobatan saat ini untuk PPG dapat diklasifikasikan menjadi agen sistemik biologis dan
non-biologis.19 Terapi lini pertama berdasarkan pedoman dari National Psoriasis
Foundation Medical Board adalah Acitretin, Siklosporin, Methotrexate yang dapat
diberikan baik pada dewasa maupun anak-anak.
Acitretin merupakan generasi kedua dari gologan sintetik retinoid atau juga disebut
aromatic retinoid, yang memiliki peran anti inflamasi dan imunomodulator yang berperan
dalam regulasi dari proliferasi dan apoptosis sel. Acitretin merupakan obat yang paling
umum diberikan pada PPG anak6. Dari hasil tinjauan sistematis yang dilakukan oleh Chen
et al, menyebutkan bahwa 84,1% anak dengan PPG diberikan Acitretin sebagai terapi lini
pertama baru diikuti dengan Methotrexate (8%)21. Dosis yang dianjurkan untuk Acitretin
pada PPG adalah 0,3-0,4 mg/kgBB/hari sedangkan dosis Methotrexate yang diketahui
adekuat untuk menjadi terapi PPG anak adalah 0,2-0,4 mg/kgBB/minggu. Perbaikan klinis
pada pasien dengan PPG dapat dilihat setelah 4 minggu pemberian Methotrexate.
Siklosporin juga menjadi salah satu pilihan terapi lini pertama pada kasus PPG pada
anak yang memberikan perbaikan klinis yang cepat pada pasien. Obat ini merupakan
penghambat calcineurin yang dapat menekan produksi IL-2. Untuk pasien anak dengan
PPG dosis yang dianjurkan adalah 1-5 mg/kgBB/hari, namun pada kasus berat dosis awal
dapat langsung diberikan 5 mg/kgBB/ hari. Dosis Siklosporin umumnya dapat mulai
diturunkan 2- 4 minggu setelah lesi kulit terkontrol. Karena perbaikan klinis yang cepat
setelah pemberian Siklosporin, obat ini sering menjadi agen induksi yang kemudian dapat
dilanjutkan dengan terapi maintenance, seperti Acitretin, fototerapi dan agen biologis3.
Penggunaan agen biologis didasarkan pada keterlibatan sitokin yang berperan dalam
patogenesis Psoriasis. Beberapa pilihan agen biologis untuk mengobati Psoriasis antara lain
anti TNFα (Adalimumab, Infliximab, and Certolizumab), anti IL-17A (Secukinumab), anti

25
IL-17 (Brodalumab), anti IL-23 (Guselkumab), anti IL-23/12 inhibitor (Risankizumab), anti
IL-1β (Canakinumab), serta anti IL-1R (Anankira). Dengan memahami peran sentral jalur
IL-36 dalam patogenesis PPG, maka saat ini telah dikembangkan terapi anti-IL-36 untuk
pengobatan pasien PPG.
Pada kasus, pasien diberikan terapi Siklosprorin dengan dosis awal 2 mg/kgBB/hari
yang kemudian dinaikkan bertahap hingga menjadi 5mg/kgBB/hari. Namun, setelah
pemberian Siklosporin selama sebelas hari, kondisi penyakit pasien masih belum dapat
terkontrol sehingga akhirnya diputuskan untuk memberikan agen biologis yaitu
Secukinumab.

26
BAB 4
KESIMPULAN

Psoriasis Pustulosa Generalisata (PPG) merupakan subtipe dari Psoriasis pustulosa


yang merupakan salah satu penyakit inflamasi kronis yang ditandai dengan munculnya
beberapa pustul yang steril dengan dasar eritematosa. Pada anak-anak PPG terjadi pada 0,6-
7% dari seluruh kasus Psoriasis dengan onset usia antara 3-6 tahun yang didominasi pasien
laki-laki.
Gejala PPG berupa munculnya lesi pustul steril yang menyebar secara cepat dan
simetris pada trunkus dan ekstremitas, disertai adanya gejala prodormal seperti demam,
lemas badan, dan nyeri sendi. Lesi pustul pada PPG dapat berkonfluens dan membentuk
lake of pus. Anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium
dapat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan histopatologi
merupakan salah satu standar baku emas untuk menegakkan diagnosis.
Pada beberapa kondisi, PPG dapat menjadi refrakter bila disertai mutasi genetik
yang dominan serta faktor lingkungan/pencetus yang tidak dapat dikendalikan. Terapi PPG
dapat diklasifikasikan menjadi non biologis dan biologis. Pemilihan terapi dengan efek
samping yang paling ringan perlu diperhatikan khususnya pada pasien anak-anak.
Dilaporkan sebuah kasus anak usia 10 tahun dengan PPG yang refrakter dan tidak
memberikan respons terhadap pengobatan Siklosporin. Kondisi refrakter dapat dipicu oleh
berbagai macam faktor pencetus, salah satunya adalah adanya fokus infeksi yang seringnya
asimtomatik serta mutasi genetik yang dominan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J. and Wolff,
K., 2019. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 9e. McGrawHill Medical,
pp.461.

2. Tollefson, M.M., Crowson, C.S., McEvoy, M.T. and Kremers, H.M., 2010.
Incidence of psoriasis in children: a population-based study. Journal of the
American Academy of Dermatology, 62(6), pp.979-987.

3. Hoegler, K.M., John, A.M., Handler, M.Z. and Schwartz, R.A., 2018. Generalized
pustular psoriasis: a review and update on treatment. Journal of the European
Academy of Dermatology and Venereology, 32(10), pp.1645-1651.

4. Pfohler, C., Muller, C.S. and Vogt, T., 2013. Psoriasis vulgaris and psoriasis
pustulosa–epidemiology, quality of life, comorbidities and treatment. Current
rheumatology reviews, 9(1), pp.2-7.

5. Lau, B.W., Lim, D.Z., Capon, F., Barker, J.N. and Choon, S.E., 2017. Juvenile
generalized pustular psoriasis is a chronic recalcitrant disease: an analysis of 27
patients seen in a tertiary hospital in Johor, Malaysia. International journal of
dermatology, 56(4), pp.392-399.

6. Ly, K., Beck, K.M., Smith, M.P., Thibodeaux, Q. and Bhutani, T., 2019. Diagnosis
and screening of patients with generalized pustular psoriasis. Psoriasis: Targets and
Therapy, 9, p.37.

7. Albela, H., Begum, S. and Leong, K.F., 2021. Successful treatment of recalcitrant
generalized pustular psoriasis in a young child with interleukin-36 receptor
antagonist mutation with secukinumab monotherapy. Indian Journal of Paediatric
Dermatology, 22(2), p.160.

8. Wang, Q., Liu, W. and Zhang, L., 2017. Clinical features of von Zumbusch type of
generalized pustular psoriasis in children: a retrospective study of 26 patients in
southwestern China. Anais Brasileiros de Dermatologia, 92, pp.319-322.

9. Pinson, R., Sotoodian, B. and Fiorillo, L., 2016. Psoriasis in children. Psoriasis
(Auckland, NZ), 6, p.121.

10. Astrid, C., Putranti, I.O. and Purwanti, K.D., 2018. Perbedaan Tingkat Keparahan
Psoriasis Pada Pasien Psoriasis Dengan dan Tanpa Fokal Infeksi. Mandala Of
Health, 11(2), pp.80-94.

28
11. Crowley, J.J., Pariser, D.M. and Yamauchi, P.S., 2021. A brief guide to pustular
psoriasis for primary care providers. Postgraduate medicine, 133(3), pp.330-344.

12. Fujita, H., Gooderham, M. and Romiti, R., 2022. Diagnosis of generalized pustular
psoriasis. American Journal of Clinical Dermatology, pp.1-8.

13. Scalvenzi, M., Palmisano, F., Annunziata, M.C., Mezza, E., Cozzolino, I. and
Costa, C., 2013. Subcorneal pustular dermatosis in childhood: a case report and
review of the literature. Case Reports in Dermatological Medicine, 2013.

14. Szatkowski, J. and Schwartz, R.A., 2015. Acute generalized exanthematous


pustulosis (AGEP): a review and update. Journal of the American Academy of
Dermatology, 73(5), pp.843-848.

15. Salman, A., Yucelten, D., Akin Cakici, O. and Kepenekli Kadayifci, E., 2019.
Acute generalized exanthematous pustulosis due to ceftriaxone: report of a pediatric
case with recurrence after positive patch test. Pediatric Dermatology, 36(4), pp.514-
516.

16. ISHIDA‐YAMAMOTO, A., Igawa, S. and Kishibe, M., 2011. Order and disorder in
corneocyte adhesion. The Journal of dermatology, 38(7), pp.645-654.

17. Picciani, B.L.S., Michalski-Santos, B., Carneiro, S., Sampaio, A.L., Avelleira,
J.C.R., Azulay, D.R., Pinto, J.M.N. and Dias, E.P., 2013. Oral candidiasis in
patients with psoriasis: correlation of oral examination and cytopathological
evaluation with psoriasis disease severity and treatment. Journal of the American
Academy of Dermatology, 68(6), pp.986-991.

18. Lesan, S., Toosi, R., Aliakbarzadeh, R., Daneshpazhooh, M., Mahmoudi, L.,
Tavakolpour, S. and Mahmoudi, H., 2018. Oral Candida colonization and plaque
type psoriasis: Is there any relationship?. Journal of Investigative and Clinical
Dentistry, 9(3), p.e12335.

19. Krueger, J., Puig, L. and Thaçi, D., 2022. Treatment options and goals for patients
with generalized pustular psoriasis. American Journal of Clinical Dermatology,
pp.1- 14.

20. Monson, C.A., Silva, V., Porfírio, G., Riera, R. and Tweed, J.A., 2016. Oral health
issues in psoriasis: an overview of the literature. Int J Clin Dermatol Res, 4(4),
pp.94- 103.

21. Raposo, I. and Torres, T., 2016. Palmoplantar psoriasis and palmoplantar
pustulosis: current treatment and future prospects. American journal of clinical
dermatology, 17(4), pp.349-358.

29
22. Sofyan, A. and Hidayat, N., 2019. LAPORAN KASUS: PSORIASIS PUSTULOSA
GENERALISATA DENGAN KEJADIAN BERULANG YANG DIINDUKSI
ALERGEN. Jurnal Medical Profession (Medpro), 1(1), pp.50-54.

23. Wang, W.M. and Jin, H.Z., 2020. Biologics in the treatment of pustular
psoriasis. Expert opinion on drug safety, 19(8), pp.969-980.

30

Anda mungkin juga menyukai