Anda di halaman 1dari 16

Soal

Uraikan perbedaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT)! Sebutkan contoh secara konkrit.

Jawaban

PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu)
adalah dua jenis perjanjian kerja di Indonesia yang mengatur hubungan antara pekerja dan
pengusaha atau perusahaan. Berikut ini adalah perbedaan antara keduanya:

1. Jenis Hubungan Kerja


 PKWT: Dalam PKWT, hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha hanya berlangsung
selama jangka waktu tertentu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Setelah jangka
waktu tersebut berakhir, hubungan kerja akan otomatis berakhir tanpa perlu adanya
pemutusan hubungan kerja.
 PKWTT: Dalam PKWTT, hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha tidak memiliki
batas waktu yang jelas. Hubungan kerja dapat berlanjut tanpa batas waktu tertentu dan
hanya akan berakhir jika ada pemutusan hubungan kerja dari salah satu pihak.

2. Hak dan Kewajiban:


 PKWT: Karyawan dan pengusaha biasanya memiliki hak dan kewajiban yang telah
diatur dalam kontrak, termasuk gaji, tunjangan, dan aturan kerja yang spesifik untuk
jangka waktu tertentu.
 PKWTT: Dalam PKWTT, hak dan kewajiban karyawan biasanya lebih fleksibel dan
dapat mengikuti aturan kerja yang berlaku di perusahaan, tanpa batasan waktu yang kaku.

3. Perlindungan Ketenagakerjaan
 PKWT: Pekerja yang bekerja dengan PKWT umumnya memiliki perlindungan yang
lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang bekerja dengan PKWTT. Ini termasuk
hak-hak seperti upah, cuti, dan manfaat lainnya yang bisa lebih terbatas dalam PKWT.
 PKWTT: Pekerja yang bekerja dengan PKWTT cenderung memiliki perlindungan yang
lebih kuat berdasarkan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, seperti Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Mereka memiliki hak-hak seperti cuti,
pesangon, dan jaminan sosial.

4. Proses Pemutusan Hubungan Kerja


 PKWT: Dalam PKWT, pemutusan hubungan kerja umumnya lebih mudah dilakukan
saat jangka waktu perjanjian berakhir, karena hubungan kerja dianggap berakhir secara
otomatis. Namun, pengusaha harus memastikan bahwa pemutusan dilakukan sesuai
dengan aturan yang berlaku.
 PKWTT: Pemutusan hubungan kerja dalam PKWTT lebih terbatas dan harus memenuhi
ketentuan yang lebih ketat, termasuk alasan-alasan yang sah untuk melakukan
pemutusan.

Contoh Konkrit:

 PKWT: Sebuah perusahaan konstruksi mempekerjakan seorang insinyur sipil dengan


kontrak PKWT selama 18 bulan untuk mengawasi proyek pembangunan jembatan
tertentu. Kontrak ini memiliki tanggal mulai dan berakhir yang jelas.
 PKWTT: Seorang guru di sebuah sekolah negeri memiliki PKWTT tanpa tanggal
berakhir. Guru ini terus bekerja dengan sekolah tersebut selama beberapa tahun tanpa
kontrak yang memiliki tanggal berakhir tetap, dan hubungan kerja mereka akan berlanjut
selama keduanya setuju atau hingga ada alasan yang sah untuk mengakhiri hubungan
kerja, seperti pensiun atau pelanggaran serius.

Sumber:

 Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl434/penjelasan-perbedaan-


pkwt-dan-pkwtt/
 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Soal

Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada tujuan tertinggi dari Negara dan jenis
kewenangan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tujuan tertinggi dari Negara adalah kehidupan
yang baik yang merupakan kepentingan bersama dari masyarakat, sehingga dibedakan antara
konstitusi yang benar dan konstitusi yang salah, tergantung pada apakah konstitusi diarahkan
untuk mewujudkan kepentingan bersama atau tidak dalam Negara.

1. Berdasarkan pernyataan diatas, berikan analisis anda apakah konstitusi di setiap Negara selalu
termaktub dalam undang-undang dasar Negara atau konstitusi derajat tinggi.
2. Kemukakan klasifikasi konstitusi Indonesia berdasarkan bentuk negaranya.

Jawaban

1. Konstitusi di setiap negara tidak selalu termanifestasikan dalam satu dokumen yang disebut
"undang-undang dasar" atau "konstitusi derajat tinggi". Konsep konstitusi dapat memiliki
beberapa bentuk dan tingkat hierarki dalam sistem hukum suatu negara.

Dalam beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Jerman, konstitusi tertulis ada dalam
bentuk dokumen undang-undang dasar yang tinggi derajatnya. Undang-undang dasar ini berisi
prinsip-prinsip fundamental, hak-hak warga negara, serta struktur pemerintahan. Konstitusi
semacam ini menjadi hukum tertinggi yang mengatur segala hal di negara tersebut.

Namun, tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis dalam bentuk undang-undang dasar.
Beberapa negara, seperti Inggris, memiliki konstitusi tak tertulis yang terdiri dari sejumlah
dokumen, kebiasaan, dan keputusan pengadilan yang bersama-sama membentuk kerangka
kerja hukum dasar negara tersebut. Dalam kasus ini, konstitusi tidak ada dalam satu dokumen
tertulis yang sama sekali, tetapi tetap mengatur kewenangan pemerintah dan hak-hak warga
negara.

Selain itu, ada negara-negara yang memiliki konstitusi campuran, yang mencakup elemen
tertulis dan tidak tertulis, serta dokumen undang-undang dasar dan hukum-hukum lainnya
yang bersama-sama membentuk dasar hukum negara tersebut.
Jadi, sementara tujuan tertinggi negara dalam mencapai kepentingan bersama masyarakat
dapat menjadi panduan dalam pembentukan konstitusi, bentuk dan hierarki konstitusi dalam
setiap negara dapat berbeda-beda, tergantung pada tradisi, sejarah, dan perkembangan hukum
negara tersebut. Yang penting adalah bahwa konstitusi, dalam bentuk apa pun, harus
mengakui dan melindungi hak-hak dasar warga negara dan mengatur kewenangan pemerintah
agar mencapai kehidupan yang baik bagi masyarakat.

2. Dilihat dari bentuk negara, konstitusi dapat dibagi menjadi konstitusi kesatuan dan konstitusi
federal. Konstitusi negara kesatuan memiliki ciri-ciri kekuasaan negara diorganisasikan
dibawah otoritas tunggal, yaitu pemerintah pusat, dan hanya ada satu lembaga legislatif
tertinggi di pemerintah pusat.Konstitusi negara federal merupakan upaya penyatuan politik
kekuasaan yang tetap mempertahankan hak negara bagian pembentuknya. Karakter dari
konstitusi negara federal adalah selalu menganut supremasi konstitusi, adanya pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian, serta adanya otoritas
tertinggi untuk memutus perselisihan kekuasaan antara negara bagian dan pemerintah federal.

Konstitusi Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk negaranya, yaitu sebagai


negara kesatuan atau negara federal. Indonesia adalah negara kesatuan, yang berarti bahwa
kekuasaan pemerintahan tidak terbagi secara formal antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah secara seimbang, seperti dalam negara federal.

Dalam negara kesatuan, kekuasaan pemerintahan berpusat di pemerintah pusat, dan


pemerintah daerah atau otonomi daerah mendapatkan wewenang dari pemerintah pusat.
Konstitusi Indonesia menggariskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Konstitusi ini
menetapkan bahwa pemerintah pusat memiliki kekuasaan tertinggi dan pemerintah daerah
atau otonomi daerah beroperasi di bawah otoritas pemerintah pusat.

Dalam konteks konstitusi Indonesia, konsep negara kesatuan juga dijelaskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),
yang mengatur tentang kesatuan, persatuan, dan integritas negara Indonesia.
Perlu diingat bahwa konstitusi Indonesia menciptakan sistem otonomi daerah yang
memberikan wewenang tertentu kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan-urusan
lokal sesuai dengan prinsip desentralisasi. Namun, otoritas dan kekuasaan pemerintah daerah
tetap berasal dari pemerintah pusat dan tidak bersifat independen secara konstitusional, yang
sesuai dengan karakteristik negara kesatuan Indonesia.

Sumber:

 Buku: Politic, Aristoteles yang diterjemahkan oleh Saut Pasaribu, diterbitkan oleh Penerbit
Narasi, Yogyakarta, 2017
 Modul Konstitusi dan Konstitusionalisme, Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Pemahaman
Hak Konstitusional Warga Negara. Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2015.
Soal

Ibu Susan memiliki suatu perusahaan yang berbentuk CV yang bergerak di bidang perdagangan
alat kosmetik kecantikan dengan memperkerjakan 20 orang karyawan. Selain itu, ibu Susan juga
bekerja sama dengan pihak lain di luar CV nya yang merupakan agen penjualan untuk
memasarkan produknya dan meningkatkan penghasilan.

1. Apakah ibu Susan sebagai pengusaha mempunyai kewajiban untuk melakukan pembukuan?
2. Berikan analisis saudara mengenai hubungan hukum antara ibu Susan dengan karyawan dan
agen perusahaannya!
3. Apakah ibu Susan telah menjalankan perusahaan dan pekerjaan?

Jawaban

1. Sebagai pengusaha, Ibu Susan memiliki kewajiban untuk melakukan pembukuan. Pembukuan
merupakan proses pencatatan dan pengorganisasian transaksi keuangan perusahaan. Hal ini
penting untuk menghasilkan laporan keuangan yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Pembukuan yang baik akan memberikan gambaran yang jelas tentang pendapatan,
pengeluaran, aset, dan kewajiban perusahaan. Dengan memiliki pembukuan yang teratur, Ibu
Susan dapat memantau kinerja keuangan perusahaan, mengelola pajak dengan baik, dan
membuat keputusan bisnis yang lebih baik berdasarkan informasi keuangan yang akurat.
Selain itu, pembukuan juga diperlukan untuk memenuhi persyaratan hukum dan perpajakan.
Dalam beberapa negara, pengusaha wajib menyimpan dan melaporkan catatan keuangan
perusahaan kepada otoritas pajak setempat. Dengan melakukan pembukuan yang baik, Ibu
Susan dapat memastikan bahwa perusahaannya mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku.

2. Hubungan hukum antara Ibu Susan, karyawannya, dan agen penjualan dalam perusahaannya
adalah sebagai berikut:
a. Dengan karyawan: Ibu Susan memiliki hubungan hukum dengan karyawan yang bekerja
untuk perusahaannya. Hubungan ini diatur oleh hukum ketenagakerjaan dan terutama oleh
perjanjian kerja, termasuk hal-hal seperti upah, jam kerja, cuti, dan hak serta kewajiban
karyawan. Ibu Susan juga harus memastikan bahwa ia mematuhi semua peraturan yang
berlaku terkait dengan ketenagakerjaan, seperti pembayaran upah sesuai dengan undang-
undang, perlindungan kesejahteraan karyawan, dan perjanjian kerja yang sah.
b. Dengan agen penjualan: Ibu Susan memiliki hubungan kontrak dengan agen penjualan
yang berada di luar perusahaan. Hubungan ini dapat diatur dalam kontrak yang berisi
persyaratan dan kompensasi yang telah disepakati. Agen penjualan biasanya bekerja secara
independen dan mungkin tidak memiliki hak-hak seperti karyawan, karena mereka
biasanya bukan bagian dari perusahaan itu sendiri.

3. Ibu Susan telah menjalankan perusahaannya dan pekerjaan sebagai pemilik perusahaan serta
berperan dalam bekerja sama dengan agen penjualan. Ia bertanggung jawab untuk mengelola
perusahaan kosmetik kecantikan yang mencakup aspek operasional, keuangan, dan
manajemen sumber daya manusia. Selain itu, kerja sama dengan agen penjualan juga
merupakan bagian dari strategi pemasaran dan peningkatan penghasilan perusahaannya.

Sumber

https://pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?subfolder=HKUM4207/&doc=M3.pdf
Soal

Di era sekarang begitu banyak penjualan produk-produk anti nyamuk yang dianggap efektif dan
murah untuk menjauhkan nyamuk dari kita. Tetapi, ternyata murahnya harga tersebut juga
membawa dampak negatif bagi konsumen. Kandungan zat kimia dalam produk yang dapat
membahayakan kesehatan konsumennya, zat ini berakibat buruk bagi manusia, antara lain
keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada
tubuh, kanker hati dan kanker lambung.

1. Menurut pendapat Anda, apakah kasus tersebut di atas bertentangan dengan hukum
Indonesia? Jelaskan!
2. Berdasarkan contoh kasus di atas, jelaskan larangan apa yang tercantum dalam UUPK?
3. Uraikan bentuk tanggung jawab pelaku usaha terhadap contoh kasus di atas? Jelaskan
berdasarkan hukumnya!

Jawaban

1. Kasus di atas jelas bertentangan dengan hukum di Indonesia yaitu bertentangan dengan
undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK) dan melanggar
undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Ada delapan hak yang secara
eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 UUPK, ada satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka.
Hak-hak konsumen itu sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau
jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak informasi yang benar, jelas,dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atau barang dan/atau jasa
d. yang digunakan untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
e. hak mendapatkan advokasi, perlindungan dengan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta diskriminatif;
h. hak untuk mendapat dispensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian jika rang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.

2. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara jelas telah
merinci jenis- jenis perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sebagai upaya perlindungan
konsumen. Hal tersebut terdapat dalam pasal 8 yang berbunyi:
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu pengunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal"
yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pada intinya substansi Pasal 8 UUPK ini tertuju pada dua hal, yaitu larangan memproduksi
barang dan/atau jasa dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud.
Larangan-larangan yang dimaksud ini, hakikatnya menurut Nurmadjito yaitu untuk
mengupayakan agar barang dan/jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang
layak edar, antara lain mengenai asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik
melalui label, etiket, iklan, dan sebagainya. Larangan-larangan yang tertuju pada "produk"
sebagaimana dimaksud di atas adalah untuk memberikan perlindungan terhadap
kesehatan/harta konsumen dari pengguna barang dengan kualitas yang di bawah standar atau
kualitas yang lebih rendah dari pada nilai harga yang dibayar.

3. Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur
secara limitatif mengenai tanggung jawab pelaku usaha dalam hal konsumen merasa
dirugikan dalam memakai menggunakan barang dan jasa.
Pasal 19 UUPK:
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Sumber

 BMP Hukum Perlindungan Konsumen (HKUM4312 modul 1, 2 dan 3)


 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Soal

1. Mengapa Multi National Corporation (MNC) dalam perkembangan Hukum Internasional


dapat digolongkan menjadi subjek dalam hukum internasional?
2. Menurut O. Connel, yurisdiksi adalah "the power of a sovereign to affect the right person,
whether by legislation, by executive decree or by the judgement of the court”.
a. Apakah negara memiliki hak untuk mengatur warga negara lain di luar negeri?
b. Kapan yurisdiksi universal dapat berlaku?

Jawaban

1. Multi National Corporation (MNC) adalah perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu
negara. Dalam perkembangan Hukum Internasional, MNC dapat digolongkan menjadi subjek
dalam Hukum Internasional karena memiliki beberapa karakteristik yang memenuhi syarat
sebagai subjek hukum, yaitu:
 Memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan hukum
MNC memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan hukum, baik di dalam maupun di luar
negeri. MNC dapat melakukan kontrak, mengajukan gugatan, dan melakukan negosiasi
dengan pihak lain.
 Memiliki kemampuan untuk memiliki hak dan kewajiban
MNC memiliki kemampuan untuk memiliki hak dan kewajiban. MNC memiliki hak untuk
melakukan kegiatan usaha, memiliki properti, dan melindungi kepentingannya. MNC juga
memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum yang berlaku di negara-negara tempat mereka
beroperasi.
 Memiliki kemampuan untuk bertindak secara mandiri
MNC memiliki kemampuan untuk bertindak secara mandiri. MNC dapat membuat
keputusan sendiri dan tidak tunduk pada kendali negara tempat mereka beroperasi.

Berdasarkan karakteristik tersebut, MNC dapat digolongkan menjadi subjek dalam Hukum
Internasional. MNC memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan hukum, memiliki hak
dan kewajiban, serta bertindak secara mandiri.

2. Menurut O'Connell, yurisdiksi adalah "kekuasaan suatu negara untuk mempengaruhi hak
individu, baik melalui legislasi, dekret eksekutif, atau putusan pengadilan".
a. Negara memiliki hak untuk mengatur warga negara lain di luar negeri dalam batas-batas
tertentu. Negara memiliki yurisdiksi ekstrateritorial yang memungkinkan mereka untuk
mengambil tindakan hukum terhadap warga negara mereka yang melanggar hukum di luar
negeri, terutama jika tindakan tersebut melibatkan kepentingan nasional atau keamanan
negara. Namun, negara juga harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum internasional,
seperti kedaulatan negara lain dan perlindungan hak asasi manusia, dalam melaksanakan
yurisdiksinya di luar negeri.
b. Yurisdiksi universal dapat berlaku ketika suatu negara memiliki kewenangan untuk
memproses kasus tindak pidana tertentu, terlepas dari kewarganegaraan pelaku atau tempat
kejadian. Yurisdiksi universal sering kali terkait dengan kejahatan internasional serius,
seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. Dalam kasus-
kasus seperti itu, negara-negara memiliki kewajiban untuk memproses pelaku kejahatan
tersebut atau menyerahkan mereka ke pengadilan internasional yang berwenang.

Sumber

 Buku: Pengantar Hukum Internasional oleh Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes,
diterbitkan oleh Penerbit Alumni, Bandung, 2021
 Artikel: Multinational Corporations as Subjects of International Law oleh Thomas W. Merrill
 Artikel: The International Legal Status of Multinational Corporations oleh Thomas Pogge
Soal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan pekerja seks komersil (PSK) yang menjajakan diri
di sepanjang Jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada, Lokasari, dan sejumlah titik di Jakarta,
ditangkap petugas Polsek Metro Taman Sari, Jumat (10/6) dini hari.

Kapolsek tamansari AKBP Nasriadi menjaring 36 orang, yang terdiri dari 29 wanita dan tujuh
pria yang diduga tukang ojek Antar Jemput Lonte (Anjelo). AKBP Nasriadi mengatakan, 36
orang tersebut ditangkap dalam rangka giat Operasi Cipta Kondisi yang dikhususkan terhadap
para pelaku prositusi gelap atau PSK yang mangkal dan menjajakan diri di pinggir jalan.

“Ini dalam rangka menciptakan sikon kamtibmas yang mantap dan kondusif sekaligus menjamin
kekhusukan serta ketenangan umat muslim dalam menjalankan Ibadah Puasa pada bulan suci
Ramadhan ini,” kata Nasradi saat dikonfirmasi Republika.co.id, Jumat.

Apakah para PSK dalam kasus tersebut dapat dipidana? Berikan argumentasi Saudara
berdasarkan asas hukum pidana!

Jawaban

Prostitusi atau yang lazim dikenal dengan pelacuran secara etimologis berasal dari bahasa latin
yaitu “pro-situare” yang berarti suatu tindakan yang membiarkan diri melakukan perbuatan
persundalan, berbuat zina, pencabulan dan pergendakan. Sedangkan di Indonesia dikenal dengan
istilah pelacuran yang didefinisikan sebagai praktek hubungan seksual yang dilakukan sesaat,
yang dapat dilakukan oleh dan kepada siapa saja guna mendapatkan imbalan berupa uang.

Kejelasan terhadap pertanggungjawaban pihak yang terlibat dalam pelanggaran hukum pidana
merupakan salah satu syarat tegaknya hukum, lebih spesifik pada kasus ini adalah kejelasan
teradap pertanggungjawaban Pidana para pihak yang terlibat dalam kasus prostitusi baik online
maupun konvensional. Menyoal tentang peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
menyangkut prostitusi dapat dilihat dalam KUHP pada pasal 296 dan 506 KUHP dimana kedua
pasal tersebut pada dasarnya memberikan ketentuan pidana terhadap tindakan seseorang yang
menyediakan dan mempermudah orang lain dalam melakukan perbuatan cabul dengan cara
menyediakan jasa PSK pada orang-orang tertentu, dan hal tersebut dijadikan sumber pendapatan
daripada seseorang (muncikari).
Hal serupa juga dicantumkan dalam ketentuan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi pada
pasal 4 ayat (1) yang ditujukan kepada mereka yang menyediakan jasa pornografi yang turut
memuat ketentuan pidana. Apabila dilihat dari perspektif tindakan prostitusi sebagai tindak
pidana perdagangan orang (human trafficking) maka UU No. 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) turut memberikan ketentuan
pidana bagi mereka yang menyediakan, memperjual belikan dan mempermudah seseorang dalam
melakukan tindakan yang melanggar nilai-nilai kesusilaan. Apabila ditelaah lebih lanjut, dari
berbagai bunyi dan ketentuan pasal yang disebutkan di atas maka pada hakikatnya pemidanaan
hanya dapat dilakukan kepada muncikari atau germo, sedangkan pemidanaan terhadap PSK
(prostitute) dan pengguna jasa dari PSK tersebut tidak dapat dikenakan pidana. Maka dari itu
ketentuan pemidanaan lebih dititik beratkan pada germo/muncikari sebagai penyedia jasa yang
mempermudah orang lain melakukan tindakan yang melanggar kesusilaan. Terlepas dari
kenyataan bahwa banyak orang yang menjadikan pelacuran sebagai mata pencahariannya.
Kriminalisasi terhadap pekerja seks komersial hanya akan menjadi beban tambahan bagi aparat
penegak hukum, sebab adanya banyak alasan dan pertimbangan dibalik kehidupan seseorang
sebelum akhirnya memutuskan untuk melacurkan dirinya sendiri.

Berdasarkan uraian tentang hukum positif yang berlaku di berbagai negara yang berkaitan
dengan prostitusi diatas, maka legalisasi praktik prostitusi bukanlah jalan keluar yang dapat
diterapkan di Indonesia. Legalisasi prostitusi akan berdampak signifikan pada terjadinya
demoralisasi di masyarakat, dimana hal ini secara langsung berlawanan dengan nilai-nilai
kesusilaan, ketuhanan dan kemuliaan. Selain itu perlu diperhatikan bahwa prinsip
nullumdelictum noela poena lege praevia yakni tiada pidana dapat dijatuhkan tanpa didahului
adanya peraturan yang memuat sanksi pidana terlebih dahulu masih diakui di Indonesia sebagai
salah satu asas utama dalam Hukum Pidana Indonesia. Mengacu pada ketentuan RKUHP pada
pasal 486 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan
atau ditempat umum dengan tujuan melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling
banyak Kategori I”. Ketentuan pasal tersebut memberikan pidana denda Kategori I yang
berjumlah Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) pada pelanggaran terhadap ketentuan pasal 486
RKUHP.
Dapat dilihat bahwa orientasi pemidanaan terhadap PSK di masa mendatang adalah pidana denda
dan bukan pidana penjara. Dapat dipahami bahwa ketentuan ini berdasarkan pada prinsip
rehabilitasi dan pemulihan keadaan seperti semula. Pada akhirnya, perbuatan PSK tidak dapat
dibenarkan namun tidak juga dapat dihakimi secara sepihak. Dalam negara berdaulat yang
menjunjung tinggi supremasi hukum dan melindungi segenap tumpah darah bangsanya, sudah
sepatutnya orientasi pemidanaan terhadap PSK adalah penjatuhan denda dan rehabilitasisosial,
mengingat rehabilitasi sosial adalah segenap upaya yang ditunjukan untuk mengintegerasikan
kembali seseorang kedalam kehidupan masyarakat dengan cara membantunya menyesuaikan diri
dengan tuntunan keluarga, komunitas dan pemerintah.

Sumber

 Ane Mathieson, 2016, Prostitution Policy: Lagalization, Decrimminalization and the Nordic
Model, Seattle Journal for Social Justice, Vol. 14
 Cici Defiansari, 2019, Pertanggungjawaban Pidana Pekerja Seks Komersial (PSK) Dalam
Prostitusi Online, Simposium Hukum Indonesia Vol. 1
 Edi Yuhermansyah, Rita Zahara, 2017, Kedudukan PSK Sebagai Korban Dalam Tindak
Pidana Prostitusi, Legitimasi Journal Vol. VI No. 2
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

Anda mungkin juga menyukai