Cahaya Senja
Merah
1
DIDIK NUR DIANSYAH
CAHAYA SENJA
MERAH
2
Cahaya Senja Merah
Penulis : Didik Nur Diansyah
atau
E-mail : dikpot69@gmail.com
3
Untuk Ayah yang telah berpulang ke negri yang abadi. Juga untuk
sahabat seperguruanku dari Jakarta,
4
‘’Maka Aku bersumpah demi cahaya merah pada waktu senja’’
(QS.84 Al-Insyiqoq:16)
5
ISI BUKU Hal
6
1
7
Suara jerit demi jerit ibu Citra terdengar melengking dari
luar, membuat gadis itu sedikit merinding, mengingat tabiat dirinya
sebagai seorang perempuan yang kelak juga akan melahirkan anak
suatu saat.
Meski tak merasakan apa yang ibu Ijah rasakan, dokter itu
cukup mengerti kalau ibu Ijah pasti sudah sangat kecapekan, melihat
kondisi bayi dalam kandungannya yang tak kunjung lahir jua. Bayi
dalam perut wanita itu seakan tertahan malu dan tak mau keluar.
Disaat yang kritis itu kondisi ibu Ijah semakin memprihatinkan.
8
Teriakannya semakin melemah, sedang ratapan matanya dilangit-
langit pun kian memudar.
***
Heran...?
9
Padahal ia tidak sedang menggendong apa-apa. Dalam
pantulan cermin itu terlihat jelas sekali suatu kebohongan. Merasa
aneh, sekali lagi ia memperhatikan dirinya sendiri sambil terkadang
membolak-balikkan telapak tangan. Ia bandingkan dirinya yang asli
dengan yang ada pada pantulan cermin itu.
***
Tiba-tiba...
11
yang bersamaan itu, terdengarlah suara lantunan gema adzan yang
berkumandang dimasjid sekitar.
***
‘’Oh iya… mau diberi nama siapa putra ibu?,’’ tanya ibu
Dokter membuyarkan lamunan Ijah yang tengah asik memangku si
pelita kecilnya itu. Sambil bertolak kaca, Bu Dokter itu terlihat sibuk
mengurusi surat tanda kelahiran.
13
dekapan hangat ibunya. Ia seakan terbuai dengan belaian sang
bunda. Sedang Ijah yang tengah asik melihat wajahnya yang begitu
menggemaskan itu jadi teringat dengan mantan suaminya, ada
sedikit kemiripan yang tergurat diwajah manusia mungil ini. Andai
saja perceraian waktu itu tak pernah terjadi, pastinya ijah bisa
sedikit berdiskusi untuk sekedar menentukan nama. Begitu penting
arti sebuah nama itu baginya.
14
‘’Dengan nama ini saya berharap agar kelak anak saya
menjadi anak yang sukses. Tak hanya sukses di dunia, tapi di
akhiratnya juga. Tentu dengan semangat bara apinya. Tak hanya itu,
saya juga berharap semoga anak ini dapat menjadi anak yang
bermanfaat bagi sesama.’’ Tambahnya merangkai harap..
***
15
‘’Untuk saat ini adik kamu baik-baik saja, tapi untuk ibu
kamu, kami masih ingin mengadakan pemeriksaan lebih lanjut
terkait gejala aneh yang timbul sesaat setelah ia melahirkan barusan.
Adik gak usah hawatir, banyak-banyak berdo’a saja,’’ kata Dokter itu
tiba-tiba serius, wajahnya mendadak serius.
16
Citra menunggu untuk beberapa saat lamanya, begitu
diijinkan masuk, Dari dalam ruang persalinan itu ibunya tampak
sedang memangku sang adik. Citra kemudian menghampiri.
‘’Ibu...!!’’ Panggilnya.
***
17
2
6 Tahun kemudian…
18
Siapa yang tak takut dengan penyakit semacam itu, semua
wanita bisa mandul hanya gara-gara janinnya terinfeksi virus.
Terlebih operasi itu menyita banyak harta. Sehingga Bashir ayah
Nara harus mengulurkan tangan guna membantu melunasi biaya
perawatan itu.
***
19
Mentari melambung setinggi pangkal tombak. Kabut tebal
kian menipis. Semerbak wangi sekuntum bunga mawar merah
menyambut dhuha dengan anggukannya yang diterpa angin, tetes
sejuk air embun berjatuhan dari ujung kelopaknya, tangkai di
bawahnya tak membiarkan embun itu menggantung terlalu lama,
sebentar kemudian angin mendorong tetes embun itu bergulir pelan
dan akhirnya jatuh ketanah. Dibalik daun pohon jambu kecil dekat
setangkai bunga itu, nampak sebuah kepompong yang sebentar lagi
akan berganti dimensi kehidupan. Semilir angin mendayung pelan
barisan rerumput berapat rapi. Reranting pohon yang lebat
dedaunannya bergoyang-goyang mengikuti arah terpaan angin
yang sedari subuh tadi membuat kota Malang ini serasa dibelai
hawa dingin.
***
Jeng… Jeng…
Bedak Nara yang tak rata terlihat begitu lucu. Padahal dia
adalah laki-laki. Maklum, namanya juga anak kecil. Citra menutup
mata konyol. Sementara Nara hanya diam melengos dan terlihat sok
acuh, sekecil itu Nara sudah bersikap sok cool. Citra tetap dalam
tawanya. Nara mulai merasa geregetan, ia lalu maju selangkah
untuk sekedar menyadarkan kakaknya.
Siapa yang tahu si kecil Nara ini suatu hari akan menjadi
anak yang benar-benar sok cool??
***
23
Dengan asyik Citra mendayung sepedanya menelusuri
jalanan besar yang cukup sepi. Disamping kanan kiri jalan
menghimpit pemandangan sawah yang menghampar hijau
menyejukkan. Jalanan yang mereka lalui seperti jalan di pematang
sawah, hanya saja jalanan ini sangat lebar. Beraspal, mirip jalan
raya.
24
Lembaga formal itu sendiri terdiri dari beberapa yayasan,
TK-MI-MTs-MA yang masing-masing saling digait oleh yayasan
lembaga Ma’arif NU. Tata letak sekolah-sekolah itu sangat strategis
berdekatan, bahkan saat jam istirahat para siswanya banyak yang
berseliweran membaur menjadi satu.
25
celingak-celinguk, pandangannya menyebar kesegala arah mencari
tempat yang sekiranya cocok untuk bersantai. Disana ia memilih
tempat yang dirasa teduh untuk memainkan game di hp cross full
game hijau milik kakaknya.
‘’Aduuuhh…,’’
26
‘’Apa liat-liat aku seperti itu, emang aku cantik apa?,’’ kata
gadis kecil itu galak. Sifatnya jutek memang.
‘’Lalu kalau aku minta maap, apa yang akan kamu belikan,’’.
‘’Yah ganti rugi kek,’’ pinta gadis itu memelas, wajah anak
balita bermata biru itu tampak imut dengan ekspresi demikian.
27
‘’Atau… hmm…’’ gadis itu tak kekurangan akal, pikirannya
yang tajam sejenak mencari cara untuk mengelabuhi lelaki
dihadapannya. Ia lalu melihat Nara sedang memegang hp qweerty
cross yang sepertinya sangat berharga. Ia melirik ketaman
tersenyum penuh arti, penuh rencana tipu muslihat. Dalam sekejap
hp itu sudah direbut dari tangan Nara lalu ia sembunyikan dibalik
punggungnya.
‘’Ganti ice creamku atau hp ini akan aku buang’’ ancam dia.
Nara tak berkutik, wajahnya pucat pasi. Tak bisa membayangkan
bagaimana kak Citra akan mengamuk bagai monster ganas kalau
sampai hal itu benar-benar terjadi. Nara hanya menjerit lirih
‘’Jangan lakukan itu adek… Nala mohon…,’’ kata Nara berharap
dalam hati. Mata Nara sedikit berkaca-kaca, sementara gadis kecil
itu merasa tersanjung melihat Nara yang tak lagi berdaya dibuatnya.
Dengan berbangga diri gadis itu merasa menang, ia seakan ratu
yang telah menaklukkan lawan bicaranya.
28
Gadis itu terlalu sering nonton film drama barbie diusianya
yang masih TK. Terbukti dari pupil matanya yang terlapisi lensa eyes
shadow blue yang entah dipasangkan oleh siapa.
***
‘’Iya mbak,’’
‘’Tapi mbak Del… dia dulu yang mulai,’’ kata sie gadis kecil
mengadu. Rupanya nama kakak dari gadis itu adalah kak Dela.
Wajah mereka lumayan mirip, berbeda dengan Nara dan Citra yang
wajahnya tak mempunyai kemiripan sama sekali sekalipun mereka
adalah kakak-adik.
29
‘’Kamu,’’
30
‘’Kamu murid baru disini? Kakak kamu mana?,’’ tanya kak
Dela
‘’Siapa sih dia itu kak, kok metesek sekali, ngomongnya aja
masih pelat,’’ cibir gadis itu menyindir. Dela tak menjawab, ia hanya
mengusap lembut rambut Nara sebelum akhirnya berlalu pergi.
Gadis kecil itupun mengikutinya. Nara ingin meminta maaf, hanya
saja karna raut muka gadis itu tampak kurang begitu bersahabat.
Nara jadi gengsi.
31
dengan telapak tangan kirinya, mereka terlihat begitu manyun saat
saling ejek-ejekan tadi.
***
32
satu persatu mulai turun dari mobil untuk berwudlu’ dan
menunaikan ibadah shalat berjama’ah.
***
33
Simpang siur kendaraan membuat jalanan mulai sedikit
macet. Kedap-kedip mata Nara terasa berat karna kantuk. Diliriknya
nek Gini dan man Anip yang sudah terlelap. Citra masih sibuk
dengan hpnya, terkadang ia tersenyum-senyum sendiri saat
membaca sms dari seseorang.
‘’Loh kan kakak udah bilang kalau kita akan menyusul ibu,’’
‘’Masih jauh?’’
34
kecil untuk dapat mengingat wajah ibunya saat itu. Anak itu hanya
mendengar kisah riwayat sang bunda dari kak Citra yang selama ini
selalu menceritakannya menjelang tidur. Hal itu dilakukan Citra
agar Nara tak bersedih hati, biar ia tahu ibunya masih hidup.
Perpisahan yang dimaksudkan disini adalah sebab masa kemotrapi
yang cukup lama. Setelah sembuh pun, ia ditinggal pergi kerja ke
luar negri.
***
36
‘’Kami juga membeli bubur buat nenek,’’ kata man Anip.
Sungguh terasa indah suasana malam itu, apalagi jika ditemani
dengan berbagai macam jajanan yang dimakan bersama bareng-
bareng keluarga seperti ini. Rasanya semakin mengena.
***
37
mengucek mata. Lirak-lirik kanan kiri hanya bola matanya yang
bergerak.
38
‘’Itu dia, tak salah lagi,’’ kata dia yakin. Iapun menarik pelan
tangan Nara tak sabar ingin segera menemui orang itu. Nek Gini
dan man Anip saling pandang. Mereka lalu tersenyum bersama
begitu mengetahui kalau Ijah ternyata sudah datang.
***
‘’Itu ibu kamu Nara, Ibu kita!!,’’ kata Citra sedikit tersenyum
memberi tahu. Nara tersentak, ia menoleh kebelakang melihat siapa
orang yang saat ini tengah berusaha menggendongnya. Sekilas
wajah orang itu terlihat mirip orang Cina. Kulitnya putih bersih dan
matanya agak kesipit-sipitan. Nara berpikir, ‘’Jadi… diakah orang
yang selama ini senantiasa kak Citra dongengkan kepada dirinya
setiap kali menjelang tidur?’’
39
‘’Ibu kakak bilang…?!!’’ sebutnya hampir tak percaya.
‘’Tentu saja boleh-lah nak, ibu kan ibunda kamu,’’ kata ijah
mengiyakan.
40
periksa, Mata Nara ini sering kelilipan, bunda. Selalu mbak Cita
yang membantu meniupkan,’’ panjang lebar Nara bercerita. Ia juga
menceritakan bagaimana ia bertengkar dengan gadis kecil yang
menabraknya di sekolah tadi, menurutnya gadis itu lumayan
cerewet, tapi ada kesan lain saat ia melihat pupil mata gadis itu yang
berwarna biru. ‘’Dia satu-satunya temanku yang bermata biru,’’ kata
dia, tetap dalam gaya bahasa cadel.
Ijah menatap Citra, Anip lalu nek Gini bergantian. Air mata
mereka sedikit berlinang bahagia tak jauh berbeda dengannya. Nara
pasti mengalami masa-masa sulit saat ditinggal pergi, putra
bungsunya itu pasti juga sering ditinggal ke sawah untuk bercocok
tanam oleh man Anip dan Nek Gini. Citra sendiri biasanya sibuk
sekolah, sejak kecil Nara benar-benar harus bisa hidup mandiri di
tengah-tengah ekonomi yang serba pas-pasan.
***
41
3
43
kening Citra. ‘’Aku mencintaimu, maukah kamu menjadi ibu dari
anak-anakku, aku benar-benar apa adanya.’’
44
‘’Aku mengerti, kamu masih ingin fokus belajar, bukan?,’’
tanya sulaiman sok menebak. Gadis itu membalasnya dengan sedikit
mengangguk.
‘’Aku tak boleh berakhir disini, ini pasti mimpi, aku harus
bangun dari tidurku,’’ batinnya menolak cerita.
‘’Aaaaaaaarghhhhh...!!!’’
***
46
Menyadari yang terjadi barusan hanyalah mimpi, Citra
mengusap bulir keringatnya dengan ujung jari sambil menghela
nafas merileks-kan salbut pikirannya. Disebelahnya, ibu dan
adiknya nampak masih tertidur lelap. Citra menyingkap selimut lalu
beranjak membuka jendela. Diluar kabut tipis masih menyelimuti
panorama fajar. Udara dingin kemudian berembus sejuk kedalam
pori-pori. Gadis itupun bergegas kekamar mandi hendak bercuci
muka.
47
subuh,’’ kata nuraninya berbicara. Suara bisikan hati itu seakan
berkomunikasi dengan dirinya sendiri dalam kalutnya.
‘’Ya Allah, lindungilah hamba-Mu yang lemah ini dari dera goda
dan tipu daya. Jadikanlah setiap anugerah kecantikan yang Kau
berikan padaku ini sebagai sumber keberkahan yang kelak kan
menuntun hamba menemukan cinta sejati yang Kau Ridhoi
nantinya. Bukan cinta yang justru menjauhkan diriku dari cahaya
Cinta-Mu. Ya Allah, Hamba juga berharap, semoga mimpi tadi
hanyalah sebatas bunga tidur nan tak berarti.’’
48
Sehabis shalat , ibu Citra beranjak ke dapur. Sementara Nara
kembali tidur diatas tikar disebelah kakak perempuannya itu. Citra
membuka mushaf Al-Qur’an lantas membacanya.
‘’Shodaqallahul Adziem...’’
***
49
Berbalut dengan make up tipis, dihiasi dengan bulu mata
pasangan yang lentik, ia terlihat seperti ratu bidadari kecil yang
tengah berdiri memakai mahkota toga.
50
‘’Masih baru berumur 6 bulanan,’’ jawabnya.
***
Tiba-tiba...
51
panas. Sejenak pak kholili membenahi tata letak kopyahnya. Sambil
menunggu segelas air datang, kepala sekolah sekaligus guru yang
mengajar bahasa arab itu wara-wiri mengkhawatir kondisi murid
kesayangannya.
52
‘’Nggeh pak, Alhamdulillah, terima kasih,’’ jawab dia sopan.
***
53
jendela kamar itu, tepat di bawahnya. Fantasi anak kecil itu suka
sekali pada anak-anak hewan ternak.
54
Nara mencoba bangkit, ia lalu tersenyum senang begitu
melihat kakaknya sudah bangun.
‘’Citra, Nara... ini ibu buatin teh hangat.’’ kata ibu mereka.
55
Belakangan ini Citra memang sering mengalami hal-hal
yang aneh, mulai dari mimpi hingga kejadian tadi siang. Ia merasa
pusing tiap kali melihat tatapan mata Sulaiman. Ada hasrat ingin
memeluk yang tiba-tiba menjalari nalurinya sebagai perempuan.
Entah gadis itu benar-benar tulus mencintainya atau bagaimana.
***
56
Ijah menggeleng tidak tahu.
57
Agak jauh dari tempat pesholatan, Citra bergegas
menghampiri beliau begitu mendengar namanya dipanggil. Sesaat
sebelum memasuki kamar, degup jantung Citra kian berdentum
kencang, namun dengan sekali hela napas, ia menyibak tirai gorden
selambu kamar itu penuh percaya diri.
***
‘’Abah, itu tadi yang bersama Bi’ Ijah siapa?,’’ tanya Arif
pada abahnya.
59
‘’Tak seperti waktu kecil, Citra terlihat lebih cantik
sekarang,’’ kata Arif memuji kecantikan putri Bu Ijah itu tanpa
sadar.
‘’Abah dan Amy kamu ini malah selisih 12 tahun lee. Toh
akhirnya jodoh juga, rahasia Allah siapa yang tahu?’’ Kata beliau.
60
ketika Neng belia itu masih berumur sekitar 9 tahun. Sejarah
mencatat cerita insan suri tauladan itu sebagai ajaran bagi kita,
betapa pentingnya bahwa cinta itu tak mengenal batas usia.
***
Aku tak mengira, orang yang slama ini aku kagumi, tega
menggunakan ilmunya padaku. Apa salahku padanya Diary?
Padahal seminggu lalu aku menolak cintanya bukan karna aku
benci, melainkan aku hanya ingin fokus belajar. Aku sangat
mencintainya, tapi apakah ada cara lain yang sekiranya bersih
baginya untuk mendapatkan hatiku?
To: Sulaiman.
62
Orang itu merobek-robek kertas yang sehabis dibacanya
tadi begitu menyadari kalau penulisnya adalah Citra, dan yang
paling mengejutkan adalah kalimat dalam tulisan ini secara tidak
kebetulan memang ditujukan kepada dirinya.
Sejak saat itu Citra tak bisa dihubungi. Gadis itu sengaja
mengganti nomor hpnya untuk menutup semua komunikasi
dengannya. Rasa cinta yang sempat membara di hati gadis itu kini
telah padam dan menghalu berbanding terbalik 180 derajat dari
perasaan cinta menuju benci. Sejak saat itu pula mereka tak pernah
bertemu, membuat hidup Sulaiman menjadi semakin liar bak semak
belukar rerumputan berduri yang menjalar tak tentu arah lagi
berantakan. Ia tetap bergerak tanpa pegangan hidup.
***
63
4
7 Tahun kemudian...
Senja...
Senja...
64
Senja...
25 Juni 2012
65
‘’Waw...!!’’ Feby berdecak kagum saat membaca puisi di
secarik kertas yang ia temukan di dekat tong sampah itu. Di sudut
kertas tertulis, ‘’Tinta Hitam Pangeran Berdarah Cinta@Nara
Sebungkus’’. Feby sangat geli membaca julukan itu. Selayang
pandang ia menoleh clingak-clinguk mencari si pemilik kertas, siapa
tahu orangnya masih disekitar sini. Sebab Tanggal pembuatannya
adalah tepat pada hari ini.
66
‘’Dari situ...’’ tunjuk Feby memberi isyarat lirikan mata
kearah yang tak jauh di belakangnya. Saat gadis itu mengangkat
pandangan, tatapan mereka saling bertemu, saling bertabrak satu
sama lain. Sejenak mereka tampak saling mengingat sesuatu.
67
Feby menyodorkan kertas itu pada Nara, memberikan apa
yang seharusnya bukan menjadi miliknya. Tapi Nara kemudian
menolak.
68
‘’Ibuku tak kemana-mana, hanya saja aku merindukan
ibuku yang dulu, semenjak ia menikah dengan ayah tiriku, sifatnya
jadi berubah. Ia seakan ibu jahat yang setiap hari selalu ingin
membentak dan memarahiku,’’ kata Nara curhat.
‘’Aku tak memakai lensa, makanya mataku tak lagi biru. Apa
menurutmu aku begitu galak waktu itu?’’ Feby berbalik tanya.
69
Nara memperhatikan. Tak lama kemudian suara dering bel
terdengar nyaring, menandakan jam pelajaran pertama akan segera
dimulai. Buru-buru ia menyelesaikan piketnya. Feby kemudian
menghampiri.
Hidung gadis itu kembali nongol dari balik pintu kelas 7A.
***
70
Jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Nara
menyiapkan pulpen dan selembar kertas untuk sekedar mencatat
uang tabungannya. Suasana kelas sangat ramai. Ia duduk di bangku
barisan kedua paling belakang, menyendiri. Dari balik pintu kelas
yang sedikit terbuka, nampak guru BK sedang berbincang hangat
dengan pak kepala sekolah. Entah apa yang sedang dibicarakan
mereka. Guru BK itu langsung masuk begitu pembicaraannya
dengan pak kepala sekolah selesai.
71
Guru BK itu kemudian mengucap salam penutup. Dengan
langkah santai, ia beranjak pergi meninggalkan kelas. Dalam sekejap
suasana kelas kembali ramai.
72
‘’Hu’um,’’ Egha mengangguk.
‘’Itu sih soal materi yah, kalau pidato mah aku mana bisa??’’
73
‘’Kok malah pada bengong sih rek, ayo kesana, ntar
ketinggalan info lagi,’’ kata Egha’ membuyarkan lamunan mereka. Ia
kemudian menarik lengan keduanya dan mengajak mereka
berkumpul memenuhi panggilan tadi. Sejenak Nara mengajak
Zaidah. Egha dan mahfud lebih dulu berlalu. Nara lantas tersenyum
kecut. Sebuah senyum yang dipaksakan.
***
74
‘’Tahu pak.’’ jawab Nara mewakili.
75
memperhatikan gerak-gerik tangannya, beraturan sesuai teks yang
dibaca. Seakan-akan ia mengerti akan maksud dan maknanya.
Mental gadis itu penuh percaya diri seakan membuat nyali Nara
menciut seketika. Wajah Nara kemudian menunduk, tatapannya
nanar melihat lembar teks yang dipegangnya. Dalam kalutnya ia
bingung harus bagaimana. Ia tak bisa sedikitpun membaca teks itu
tanpa bantuan harakat. Bisa sedikit. Cuma di mukaddimahnya saja.
Ini situasi sulit, ia benar-benar tak bisa lari. Tangannya gemetaran.
Grogi.
***
76
perempatan jalan barat stadion Kanjuruhan, mobil Kijang gold
melambat memelan seiring dengan haluannya yang berbelok ke
kanan, Pak Partho berbelok kearah sebaliknya. Dari sini jalanan
sangat lenggang. Memberikan peluang mobil yang di kendarai Pak
Partho melesat cepat hingga ketujuan dengan leluasa santai.
77
‘’Miftahul Ulum anaknya kecil-kecil yah,’’ kata salah satu diantara
segerombolan peserta yang tak jauh dari mereka. Sesaat Nara ingin
menghampiri, memberi mereka sedikit pelajaran. Tapi niatnya
seketika runtuh begitu Feby memegangi pundaknya. Gadis itu
menggelengkan kepala ringan, bermaksud mencegah. Kepalan
tangan Nara merenggang lemas kemudian.
***
78
menunggu giliran maju sambil mendengarkan peserta lain
berceramah.
79
dapat melihat nomor urutnya. Terlihat begitu jelas angka ‘03’ yang
terpampang di bagian saku temannya itu.
***
81
Waktu itu Nara kecil memegang erat kerah baju kakaknya,
badannya berbalik melihat ujung belakang semampunya. Terlihat
wajah sang ibu itu sangat pucat. Dengan kondisi perut yang semakin
hari semakin membesar, perut ibunya itu mirip perut ibu orang
hamil 2 bulanan. Sungguh tak terperikan…
***
***
83
dimulai dan mereka hendak ikut berjama’ah disana. Tapi setan
kemudian membisiki. ‘’Udah ahh… Shalatnya nanti aja, sekarang
ayo samperin Feby!!!’’ bujuk rayu setan dalam hati masing-masing.
84
‘’Mana?’’ tanya Zainal terkecoh. Saat ia menoleh, Nara
sudah tak ada di tempat. Secepat hembusan angin, disana Nara
sudah berdiri tepat di belakang si gadis ayu itu nan jelita.
***
85
‘’Ihh… kak, ngagetin aja?’’ katanya sambil mencubit lengan
Nara geregetan. Nara nyengir menahan sakit. Si Jelita itu kemudian
berbalik kearah kolam sambil memasang tampang muka cemberut.
‘’Tak lagi cantik, Feby kalau marah jelek banget,’’ ejek Nara
sekedar mengkiaskan hal yang sebenarnya bersifat memuji. Makna
di balik kata-katanya seakan berbunyi, ‘’Feby kalau senyum, pasti
terlihat lebih cantik.’’ Kurang lebih begitu.
***
86
‘’Kamu ngapain disini Feb, uda shalat?’’ tanya Zainal sok
alim. Ia kemudian nimbrung bersama mereka.
‘’Ayo, yuk kita shalat dulu, Kak.’’ Feby mengajak Nara juga.
87
wudlu ia langsung mengenakan jilbab itu sebelum auratnya dilihat
salah satu temannya. Gadis itu kenal syar’i.
‘’Zainal, ada yang lebih dewasa disini, biar kak Nara saja
yang jadi imam,’’ tengkasnya memberi saran. Zainal tak dapat
mengelak, ia mudah takluk kalau Feby yang berbicara. Terlebih,
dalam hatinya terdapat seribu bunga yang bermekaran begitu Feby
mengawali komunikasi dengannya. Hati itu telah tertusuk panah
asmara yang membius nan membutakan si empu yang grandung
dan senantiasa berharap ingin mendapatkannya. Zainal kemudian
mundur selangkah. Membiarkan Nara sebagai kakak kelasnya maju
jadi imam.
***
‘’Tuhan, baru kali ini aku tahu rasanya jadi imam, biasanya
aku selalu bermakmum pada orang atau sekedar shalat sendirian.
Feby,, Zainal,, terima kasih. Kalian adalah makmum pertama dalam
hidupku. Entah kenapa dengan begini saja, membuatku… mudah
menangis!!!’’ bisik Nara pada Tuhannya.
***
‘’Fajar Aminullaaahh…!!!’’
90
Suara gemuruh tepuk tangan kembali riuh. Tinggal satu
pemenang lagi. Nara sedikit tak peduli, mana mungkin dirinya dapat
juara satu, dapat juara tiga saja untung-untungan. Merasa mustahil,
iapun berlalu meninggalkan gerombolan teman-temannya, ia
berjalan dengan langkah yang sedikit diseret-seret patah semangat,
dan ia hendak menuju mobil pak Partho di tempat parkir tadi.
***
91
5
92
‘’Hehehe… tak apa-apa, namanya juga anak-anak,’’ balas
Ijah dengan nyengir.
93
‘’Iya, kamu gak denger ta? kata ibu tadi,’’ ulang si paman.
Karim lalu mengangguk paham. Perasaan gadis kecil itu kian
berbunga kala mengetahuinya. Sejenak semua terdiam. Gadis kecil
itu kemudian menunduk menatap boneka barunya.
94
***
95
Tak lama kemudian perut Nara sedikit keroncongan, cacing
dalam perutnyapun berkoar-koar mendemo, sedari pagi tadi ia
belum makan.
‘’Kakak laper? Kalau gitu ayo kita kekantin, aku juga belum
makan.’’ ajak Feby.
‘’Tapi sebelum itu anterin aku kekamar mandi dulu ya, aku
kebelet pipis,’’ kata gadis itu seperti sedang menahan sesuatu.
‘’Aku takut.’’
96
Nara dan Zainal lagi-lagi saling pandang. Merekapun mulai
berpikir yang tidak-tidak.
‘’Ngawur aja,’’
***
97
kemana, anak itu hanya berpamit menyuruh kedua temannya untuk
tetap menunggu disini. Tak lama, mungkin cuma lima menit.
***
***
98
mengguyur lebat, dentuman beribu tetes air menyerbu atap
bebangunan, siraman rahmat dan kasih sayang berupa hujan dari
langit Tuhan tumpahkan. Mendung abu-abu langit seakan bersuka-
cita sebab merindui-Nya.
***
100
diri. Darah mimisan terlihat masih mengalir dari hidung temannya
itu, mata dia sedikit terbuka, sedang ratapan matanya sayu entah
melihat kemana.
101
Lagi-lagi Nara kembali terbatuk, aliran pernapasannya
seakan tersumbat, tiada henti darah dari hidungnya terus mengalir.
Feby menarik kepala Nara kepangkuannya, ia benar-benar merasa
khawatir, sementara Zainal berlari mencari bantuan. Mereka sama-
sama bingung, hampir tak ada kendaraan yang lewat, ada
tidaknyapun tetap tak dapat berbuat banyak. Guyur hujan yang
ramai mengeroyok bumi membuat suara teriakan mereka tak
terdengar siapa-siapa.
‘’Harusnya kakak gak usah ikut kami tadi,’’ kata gadis itu
menyesal.
102
‘’Dingin...’’ ucapnya sekali lagi. Feby mendekatkan
telinganya, begitu tahu kalau Nara sedang kedinginan buru-buru ia
mengambil jaket di dalam tasnya. Tidak basah, untung ia masih
sempat membungkus jaket itu dengan kantong plastik sewaktu mau
shalat di pondok bambu tadi.
***
103
‘’Oh iya, hati-hati ya,’’ pesan pak Partho.
104
Setelah itu mereka bergeming tanpa sepatah kata, di
perjalanan Nara sering melirik mencuri pandang kearah gadis itu.
Baju dan ujung jilbab yang dikenakan si Jelita itu ada sedikit bekas
darahnya. Nara yakin kalau darah itu pasti adalah darah
mimisannya sewaktu di pos kamling tadi.
***
Bias Pelangi....
106
‘’Sungguh memukau’’ bisik Nara didekat telinga gadis itu.
Feby jadi salah tingkah. Ada getaran aneh yang menjalari hatinya
begitu Nara tersenyum.
‘’Eh, iya,, ini foto kamu, bukan?’’ tanya Feby baru teringat,
rupanya ia pandai juga mengalihkan suasana pada saat dan di
waktu yang sangat tepat.
‘’Terima kasih banyak yah. Aku tak sadar kalau foto ini
terjatuh tadi. Tahu-tahu sudah nggak ada.’’ kata Nara sambil
memasukkan foto itu ke dalam sakunya.
107
anak itu ingin tetap disini, menikmati matahari senja sampai benar-
benar tenggelam ke peraduan langit.
***
108
6
Tidak ada?
109
Dengan tergesa ia membuka laci lemari, tapi tetap juga tidak
ada. Ia lupa menaruhnya dimana. Sesaat ia teringat, hp itu ia taruh
ke dalam tasnya tadi malam. Merasa bodoh, ia membentur-
benturkan kepala ke pintu lemari begitu menyadari kalau tasnya
tertinggal di ruang kelas saat lomba.
***
110
menyala. Mendadak berhenti, jidat Nara jadi terbentur ringan helm
kyt yang sedang dikenakan Zainal.
***
111
benar-benar sial, Nara menendang pintu itu keras. Tadi gerbang
yang terkunci, sekarang pintu kelas. Sial betul nasib mereka. Sesaat
anak itu berlagak penuh emosi, tapi lama-lama ia mengeluh
kesakitan juga. Dasar Nara…
112
Api di korek itu sengaja Zainal padamkan beberapa saat
lamanya, ia tak langsung menyumatnya sekali lagi. Menunggu
mesin di korek api itu rada hangat. Sebentar kemudian ia nyalakan
lagi.
***
***
‘’Wah, ini yang saya cari. Terima kasih ya pak. Untung tidak
hilang, kalau hilang bisa jadi gawat urusannya nanti,’’ kata Nara.
114
Mereka kemudian pulang membawa perasaan senang, tas
yang mereka cari sudah mereka dapat, begitu juga dengan hpnya.
Zainal mengantar Nara sampai rumah, ia tak mampir, masih ada
urusan mendadak katanya.
‘’Dari mana saja kau hah?’’ bentak sang ayah tiri. Orang itu
tak memberi kesempatan untuk Nara menjawab. Ia langsung
menyeret tangan Nara paksa. Anak itu hanya bisa menurut. Ia tahu
kesalahan apa yang telah di perbuatnya hingga membuat ayah
tirinya itu begitu marah seperti saat ini. Begitu tiba di kamar.
‘’Aku tidak tahu, ayah. Yang saya ambil hanya hpnya saja,’’
115
Nara tak segera memberikan hp di saku celananya itu, ia tahu betul
sifat dan watak ayah tirinya.
‘’Ayo jawab?’’
116
‘’Plaaakk…,’’
117
mengenakan cincin batu akik, mungkin tergores batangan besi pada
cincinnya itu.
‘’Jumlah uang di ATM yang hilang itu lebih dari 1 juta, kau
harus mengembalikan dompet itu atau lebih angkat kaki dari rumah
ini,’’ lanjutnya. Ijah sudah terbutakan oleh emosi. Uang sebanyak itu
sangat berharga untuk keluarga sederhana seperti mereka ini.
118
‘’Plaaakkk…,’’ lagi-lagi pipi Nara kena tampar.
119
kejam yang melucuti harga diri anaknya sendiri. Dunia seakan
berhenti berputar. Hati Nara benar-benar tercabik.
120
***
***
122
Ketika hendak menuju kamar, tak sengaja Citra menginjak
secarik kertas di dekat pintu. Ia mengambil kertas itu lantas
membacanya;
123
Kini daku memutus pergi bersama benam senja
‘’Assalamu’alaikum…’’
05-July-2015
***
125
‘’Lagi pula kenapa ibu mengusir dia,’’ lanjutnya, kali ini
nada bicaranya mulai membentak, membuat nek Gini terbangun
dan terus menguping pembicaraan mereka.
‘’Bagaimana lagi,’’
‘’Semua ini pasti fitnah, Bunda... suatu hari nanti ibu pasti
tahu, siapa yang mencuri dompet itu sebenarnya. Palingan juga
disembunyikan disuatu tempat, berlagak hilang, lalu menuduh Nara
sembarangan,’’ kata Citra melengos.
126
‘’Ibu yang su’udzon, menuduh adek tanpa bukti. Suatu hari
nanti ibu pasti tahu kebenarannya. Becik ketitik olo ketoro.’’ kata
Citra mengutip kata-kata dari film ‘Dalam Mihrab Cinta’.
127
***
129
bersyukur bagaimanapun keadaannya. Mesti dalam keadaan hati
yang bergemuruh mendidih, uap emosi meletup dan menguap bagai
lumpur panas lapindo yang melepuhkan kulit hatinya, Nara
mencoba tuk tetap bersabar. Ia ingat pesan ibu kala ia masih kecil,
‘’Seorang laki-laki nggak boleh nangis...,’’
130
‘’Aku takut mati hari ini, Tuhan... ibu murka padaku, bahkan
sampai mengusir. Padahal, Kau Tahukan, Tuhan? Aku tak mencuri
apa-apa dari ayah tiriku, aku hanya mengambil hpnya saja, itupun
sudah kukembalikan. Sekarang aku sudah terlanjur pergi, aku
bingung bagaimana caraku menyambung hidup. Hmmm..., andai
dapat kupeluk Engkau sejenak dengan tangan mungilku ini,
Tuhan… mungkin aku bisa sedikit lebih tenang. Kini aku hanya bisa
pasrah pada-Mu, Tuhan Sang Penciptaku. Beri aku sedikit kekuatan
dengan secercah cahaya petunjuk-Mu untuk menghadapi semua
ini,’’ rintihnya dalam sebuah do’a.
***
131
‘’Tok... tok... tok..., Assalamu’alaikum,’’
132
‘’Kutebak kamu pasti belum shalat,’’ kata Zani sambil duduk
bersebelahan dengannya.
133
Ia sangat cerdik, hampir di bawah level seorang detektif.
Nara mengakui ketajaman pola pikirnya yang sangat cerdas.
***
134
‘’Anaknya sekarang guanteng bangett gitu kak, gak kayak
dulu saat pertama kali kita bertemu,’’ curhat Feby sambil
melanjutkan kerajinan tangannya.
‘’Auww…,’’ keluhnya.
135
Tetes darah merah mulai berjatuhan, Feby memegangi ujung
jari yang koyak itu dengan sebelah tangannya. Ia mengeluh sakit.
Melihat hal itu Dela segera bergegas mengambil kain dan tisu,
dengan sigap ia memerban luka adiknya dengan sobekan kain tadi,
sedang darah yang menetes jatuh kelantai ia usap menggunakan
tisu.
136
‘’Kenapa tiba-tiba aku melihat Nara dalam bayangan
adikku?.’’ kata Dela membatin. Ia kemudian menyentuh kening
adiknya menggunakan punggung telapak tangannya. Terasa panas.
‘’Kamu demam…?’’
***
‘’Sindi sama Mia gak diajak kesini?,’’ tanya dia sambil duduk
menyamping disebelah Nara.
137
‘’Enggak, mereka tuh cewek, gak bakalan boleh keluar
malam-malam. Kakakku saja biasanya juga gitu,’’ jawab Nara.
***
‘’Bismillahirrahmanirrahim,’’
139
‘’Maaf mbak, dari tadi tidak ada anak remaja yang datang
kesini,’’ kata petugas warung kopi itu memberi tahu.
140
Sejenak Citra mengamati gambar tato dikulit lengan mereka,
sebuah lambang ular cobra merah menambah gawat penampilan
keduanya.
141
‘’Tak ada yang perlu dijelasin,’’ sergah Citra. Ia masih
memendam besit kecewa pada orang yang pernah mengguna-
gunainya itu.
Kali ini Sulaiman tak dapat berkata apa-apa. Ada rasa sesak
yang mengoyak dadanya kala mendengar penuturan singkat itu.
Citra yang saat ini tengah mengenakan jilbab biru muda anggun itu
berlari meninggalkan dia yang terdiam memaku. Tatapan Sulaiman
kosong berbinar penuh kecewa. Serasa seperti hendak ditelan bumi.
142
Citra tak peduli, ia tetap berlalu pergi ditengah-tengah
rintikan hujan yang mengguyur gerimis, iapun mulai
menghidupkan mesin sepeda motornya dan langsung tancap gas
begitu jalanan sedikit sepi.
***
143
Canda tawa Mamad dan Zani terdengar menggelegak,
biarlah mereka asik bercanda gurau sedang ia berkalut hati sendiri.
Melihat hal itu Zani kemudian menghampiri.
144
‘’Aku bingung rek, tempatku kembali sudah tiada,’’ jawab
Nara bersedih hati.
145
dengan menyeka air mata yang hendak jatuh kepipi, berusaha
menjadi anak yang tidak cengeng dihadapan kedua temannya.
***
146
Agak lama, semenit kemudian nasi goreng pesanannya sudah
terhidang. Mantap...
***
147
masuk kedalam kamar untuk menceritakan perihal ini kepada
nenek. Sang nenek kemudian menyuruh Nara masuk.
148
‘’Ya sudah,, jangan mudah putus asa njeh, Nara. Gak boleh
menyerah, harus tetap semangat jalani hari-harinya. Teruslah
berjuang menggapai cita-cita dan jangan sampai berhenti sekolah
sampai kejenjang yang lebih tinggi. Insya Allah ibu akan membantu
biaya pendidikan kamu dari sini. Do’akan rezeki ibu lancar.’’
‘’Tak apa, anggap saja tante ini adalah ibu kamu sendiri dan
Zani sebagai saudara. Kalau mau makan tak perlu disuruh, ajak saja
dia, gak usah sungkan-sungkan pokoknya. Mulai sekarang rumah
Zani adalah rumah kamu juga, kamu bebas tinggal disitu,’’ suara
diseberang sedikit terjeda.
149
waktu itu, husnudzon aja. Allah akan membenarkan prasangka baik
dari hamba-Nya. Perbanyaklah berdo’a yang positif dan jangan
sampai mendo’akan keburukan bagi siapapun yang telah
mendzolimi kamu. Dibalik semua ini pasti ada hikmahnya.’’ Nasihat
ibunya Zani itu terdengar sejuk dihati Nara. Sesaat serasa seperti
dipeluk Allah, ubun-ubun Nara berdenyut pertanda penuh
ketenangan.
Nara mengangguk.citra
150
‘’Hehehe,, biasa, ibuku gitu,’’ Zani sedikit angkuh tapi
sebatas bercanda.
***
151
‘’Aku ada didekat swalayan Ratu Gondanglegi mas, gak
berani pulang sendiri, adikku belum juga ketemu ,’’ balas Citra
memasang emoticon sedih.
152
‘’Kurasa ndak perlu, lebih baik ikut kerumahku sebentar,
siapa tahu abahku bisa membantu,’’ ajak Arif memberi saran.
***
153
‘’Adik kamu tidak ke Madura, dia masih tidak jauh dari desa
ini,’’ kata beliau.
154
‘’Semoga Allah mempertemukan kalian dengan Nara,’’ harap beliau
cemas.
***
155
Nara terdiam sesaat, Zani kemudian menyuruhnya agar tidur di
kamar, biar Zani tidur dikamarnya nenek, mereka sudah biasa tidur
bersama. Tapi Nara lebih memilih tidur disini. Ia tahu diri, dirumah
ini ia hanya sebatas ngampung.
***
157
‘’Jangan bergerak, atau pisau ini akan menggorok tajam urat
leher gadis ini,’’ ancam pria tadi berteriak kearah Arif. Dengan sigap
ia mencekam leher si gadis itu dari belakang dengan menodongkan
pisau tepat dilehernya.
158
Gadis itu segera berlari kearah Arif.
***
Happ... Kena!!
159
***
Getaran dihatiku
160
Saat saat pertama kau dekap dan kau kecup bibir ini
Peluhku berjatuhan
Menikmati sentuhan
Ouoooooo hooo
Getaran dihatiku
Saat saat pertama kau dekap dan kau kecup bibir ini
Kepadamu hohooo
161
Nara datang dengan tersenyum simpul, kedua tangannya ia
sembunyikan dibalik badannya. Citra kemudian melepas headset
telinga melihat adiknya membawa sesuatu.
Nara menangguk.
162
#-Ibadallah rijalallah * Agitsuna li’ajlillah
163
Tanpo bantal tanpo keloso
Ditutupi ambyang-ambyang
164
Sehalus dekapan sutra, nada-nada penuh makna religi
mengiringi ayunan dekapannya sambil menyusui. Selembut
selendang batik nyanyian tembang jawa itu melebur hangat di hati
si bayi. Damar lentera cempluk menyinari sebagian ruangan. Saat
itu adalah zaman dimana desa Kanigoro ini sepi listrik.
***
***
***
166
7
167
‘’Aku akan membagi uang jajanku denganmu tapi dengan
satu syarat,’’ kata Zani.
***
168
rumahan yang dibawa Zani yang bentuknya kecil unik tapi
desainnya cukup ‘’Waahhh,,’’ membuat semuanya terkesima.
-Feby melirik...
-Nara melirik...
169
mata yang sedikit membasahi jilbab didagunya. Gadis itu
memendam hiruk pikuk kesedihan atas musibah yang menimpa diri
Nara dalam perasaan yang teramat dalam, yang tak siapapun
mengetahuinya kecuali Allah, malaikat, dan dirinya sendiri yang
pasti.
Bilik-bilik hati Nara merasa tak enak akan sikap gadis itu,
tapi entahlah, mungkin benar dia sedang tidak enak badan. Didalam
kelas, tampak Bu Badriah tengah mengamati hasil kerajinan kawan-
kawan untuk dinilai. Guru seni budaya itu lekas memandang kearah
Nara begitu Nara hendak masuk.
170
***
171
terjadi pada putranya itu pada Mia dan Sindy, mereka kemudian
saling pandang tak percaya.
***
172
langsung bergegas ke kamar mandi untuk mencuci baju kotornya
yang lumayan menumpuk.
Foto masa kecil Nara terjatuh dari saku baju yang hendak di
cucinya, iapun lekas mengambil foto itu, sebuah foto yang sudah
lapuk kian kusam itu kemarin sempat di pengang Feby hujan-
hujanan, kondisinya hampir rusak berlipat tak lagi rapi. Entah
kenapa, seorang ‘Feby’ yang ia anggap sebagai sahabatnya sendiri itu
tadi pagi bersikap cuek kepada dirinya.
Pikirkupun melayang
173
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku…
Selalu dimanja
Selalu ditimang
Selalu dimanja
Selalu ditimang…
Oh bunda…
174
Ada dan tiada dirimu
Dalam hatiku….
175
Mungkin sang ayah bisa menolong, tapi mana mungkin
mereka bisa saling mengenali, bertemu sekali saja belum, sudah
terlanjur berpisah sejak Nara masih bayi. Kabarnya istri muda beliau
sudah melahirkan sejak lama. Berarti Nara sekarang punya saudara
beda ibu. Entah umur berapa sekarang adiknya itu, wajah mereka
tentu lumayan mirip.
‘’Abis ini sebaiknya kita tidur, kita nonton film horor nanti
malam,’’ ajaknya sembari memberi tahu.
***
176
langsung membuka selambu cendela, wajahnya silau terjilat cahaya
matahari yang semakin merangkak keperaduannya.
177
sekian meter per detiknya, maka aku harus mundur sekitar 4
langkah agar aku bisa merebutnya saat melompat mendahului kak
Mamad.’’ Feby bergerak cepat menjalankan intruksi di otaknya.
(Dalam situasi slow motion) tangan gadis itu melompat dan
berusaha meraih bola itu dengan ujung jemarinya.
Meleset...
‘’Buuuukk,,’’
Bola itu terlempar jauh dan menyangkut diatas tangkai pohon dekat
rumah tetangga. ‘’Yeesss,!!! Ini baru permainan seru, bolanya
nyangkut, dan... permainan selesai.’’ Soraknya gembira.
178
Gadis itu kemudian berjalan mendekat kearah Nara sambil
terkadang menggigit ujung bibir, bola matanya melirik teman-
temannya penuh maksud. Senyum rona merekah diwajahnya yang
asik itu membuat Nara terjebak didalamnya dan terdiam membisu.
Lama...
‘’Belum,’’
179
Nara terbelalak melihat terang dunia....
‘’Cuuuuuiiiiiiiii..... buuoommm,,,’’
‘’Lanjutkan...!!!.’’ perintahnya.
180
Suasana kembali riuh, Feby berlari kecil mengelilingi Nara
sambil menghambur-hamburkan beribu potongan kertas kecil
berwarna-warni kesegenap udara.
8 Juli 2012... Nara bahkan tak ingat kalau hari ini adalah hari ulang
tahunnya. Iapun lekas berdiri, masih terbelalak kearah bumi
dibawahnya tak percaya. Hamburan kertas-kertas berwarna
melayang-layang jatuh seperti daun yang gugur di musim semi.
Lama Nara menatap gadis bernama Feby itu. Dunia terasa seperti
berhenti berputar...
***
Aku ada,
Sebagai angin
Bukan,
Denganku ia bernapas
Juga, tak lebih mahir dari Kak Harry Potter penyihir paling keren
Sebagai angin...
182
Tak kan kubiarkan dia melena
***
‘’Dari mana kau tahu kalau hari ini aku ulang tahun?,’’
‘’Dari Zainal,’’
183
Nara langsung membuka bungkusan kado itu tanpa banyak
tanda tanya lagi. Sejurus kemudian, ‘’Wah,, banyak sekali,’’ kesan
Nara. Kotak kado itu berisi puluhan burung origami mini yang
sengaja Feby buat menggunakan kertas berwarna ala sentuhan
wanita kreatif. Bentuknya mungil-mungil...
Lucu...
S Merah, Nara
A Jingga, Zani
H Kuning. Sindy
185
A Hijau, Zainal (Tidak hadir)
B Biru, Feby
A Nila, Mia
T Ungu, Mamad.
Sayang Zainal tak hadir, andai kata dia ada disini, pelangi itu
pasti kian sempurna. Gelang miliknya Nara yang menyimpan, besok
rencananya mau ia berikan.
***
186
Nara dan Zani saling pandang, degup jantung mereka seolah
terhenti.
‘’Elu sih,, uda sering nonton film horor masih saja penakut,’’
ejek Nara.
SEMPURNALAH deritanya...
187
Seseorang yang tengah berdiri dihadapannya itu membuat
dendam kesumat dihatinya bergejolak bangkit tiba-tiba.
188
menghancurkan hatinya berantai seperti kaca yang berderai pecah
diterpa sang angin topan dan melebur tak dapat disatukan lagi.
MUDAH MENANGIS,,’’
189
mau kembali. Sementara Zani dan neneknya hanya bisa menonton.
Ketika Ijah hendak membungkukkan badan dan memeluk kaki anak
itu, Nara langsung memeluknya.
***
190
‘’Hu’um,’’ angguknya.
‘’Mana ibu?’’
191
sekali hatimu. Harusnya kamu tuh mikir, kalau memang bukan
kamu yang mengambil, kenapa harus takut dituduh mencuri?’’
cecarnya habis-habisan.
192
kakaknya. Namanya juga saudara perempuan, tinggi badannya
hanya segitu-gitu aja.
Sesaat seperti dipeluk ibu, Kak Citra adalah ibu sebelum menjadi ibu.
***
Ijah yang menyadari Nek Gini yang lagi bernapas itu segera
menghampiri untuk memastikan denyut urat nadinya.
193
Terhenti...
Napasnya kosong??
194
demi mencukupi kebutuhan sekolahnya selama ibu masih keluar
negri, tak sedikitpun sanggup ia membalas pengorbanan itu.
***
195
8
Oh indahnya Lebakharjo
Oh indahnya Lebakharjo
196
Kami pramuka selalu menyertaimu
Oh indahnya Lebakharjo
197
S2nya di fakultas perkuliahannya. Sekarang begitu dapat momongan
kesibukannya teralih pada si buah hati.
***
198
Api unggun sudah menyala.’’ Semuanya bernyanyi riang.
199
Sudah cemen lu ahh,,...
Semuanya tertawa.
Lost and the speck senjataku. *Lost and the speck senjataku.
***
201
‘’Ibuku memberiku nama Feby karna aku lahir bulan
Februari, kalau aku lahir bulan juli mungkin namaku juga july,’’
tuturnya bercanda.
Diam sejenak...
202
nada yang melebur dari bibir lelaki disebelahnya itu tiba-tiba
terhenti.
‘’Takut kenapa?’’
***
203
tahu kalau ayahnya dirawat di kamar melati B II, Dela yang baru
memasuki usia dewasa itu langsung menuju kesana.
204
Seorang dokter muda kemudian datang membawa stetoskop
untuk memeriksa detak jantung pasien. Sepertinya pasien
mengalami kecelakaan yang amat parah. Tidak bisa tidak, si pasien
ini harus segera dioperasi, ada sedikit retakan dibagian kepala
setelah diperiksa lebih lanjut. Mungkin sedikit kesalahan fatal akan
menyebabkan nyawa seorang yang kehilangan banyak darah ini
melayang kenegri yang jauh sana. Tanpa bertele-tele, pihak keluarga
langsung menyetujuinya, berharap yang terbaik bagi sang
pemangku tulang punggung keluarga. Dela membenamkan wajah
dipelukan sang Bunda. Berharap setelah ini tak kan ada lagi
kesedihan yang menimpa kisah.
***
‘’Enak aja bilang aku ‘Bu Kunti’. Kakak ngapain juga malem-
malem begini tidur disini? Ngungsi? Gak pake’ alas atau selimut
pun?’’
206
Nara membersihkan rambutnya yang sedikit kotor, begitu
pandangannya terangkat pada wajah gadis itu, selaput matanya tak
sedikitpun berkedip.
‘’Kok malah ngeliat aku kayak gitu sih?’’ gadis itu merasa
aneh.
207
mengikuti jari telunjuk Nara, Yang ia lihat hanyalah rembulan.
Bintang banyakpun hanya diam tanpa bergerak.
‘’Aku tak bisa tidur Kak,,, dibalam tenda gelap, aku lupa
bawa senter, saat tahu ada yang belum tidur didekat bekas api
unggun ini, akupun segera kesini. Kukira kakak pembina, eh?
Taunya Kak Najah,’’ Feby memanggil Nara dengan nama belakang
‘Najah’.
208
‘’Iya,, itu semacam panggilan saat kita mulai akrab juga,’’
jawab dia.
‘’Iya sih, tapi lebih dari ini,, dari dulu tuh aku pengen punya
kakak laki-laki, yang perhatian dan yang siap ngejagain aku
kapanpun dan dimanapun.’’
209
Hening sejenak...
210
‘’Emang kakak punya adik?’’ tanya Feby.
211
Juli 1999 dengan bulan February tahun 2000. Hasilnya selisih 7
bulan.
‘’Mana boleh begitu? Kan pean kakak kelas? Aku harus tetap
hormat sedikit mah. Yah,, minimal punya sopan santun kek,,’’ jawab
dia.
212
‘’Iya,, Cuma aku tuh ingin kamu berjanji untuk selalu setia
menjadi sahabatku.. S-e-l-a-m-a-n-y-a !!’’ ujar Nara sambil
mengangkat jari kelingkingnya setinggi bahu.
‘’Aku janji...’’
***
‘’Iya iya,, aku akan segera kesana. Kalau ada apa-apa telpon
lagi ya,’’ kata seorang gadis itu dari dalam tenda. Bayangannya
terlihat tengah bergegas keluar.
***
214
terpaksa menghutang pada Pak Camat dan sebagian lagi pada
kakaknya sendiri. Neng Ijah.
‘’Sampaikan salam pada ibu kalau aku sudah balik, aku mau
nganterin temanku ke rumah sakit. Tadi malam ayahnya mengalami
kecelakaan. Aku buru-buru.’’ Teriak Nara berpamit.
216
Sejenak Nara yang tergesa. Melihat sepupunya mengenakan
atribut seragam lengkap, langkahnya jadi terhenti. ‘’Masya Allah... lu
kenape pake’ seragam? Lagi mati lampu ya?’’ ejeknya nyelonoh.
217
Sesaat sebelum berangkat, wajah Avisyah nongol dibalik
pintu. Pandangan mereka sempat bertemu sesaat. Sekedar basa-basi
Feby kemudian tersenyum menyapa.
Diam sejenak...
***
218
Feby berlari menuju kamar melati B2. Disana ia langsung
masuk dan membuka tirai gorden tempat ayahnya dirawat.
219
Mereka sama-sama tersenyum...
220
‘’Sama pacarnya, Bu,’’ ceplos Dela bercanda.
***
221
9
‘’Tenang, Feb! Ini semua tak seperti yang kau lihat. Aku bisa
jelasin semua ini.’’ Katanya beralasan.
223
‘’Kau masih belum bisa move-on dari dia?’’ Firdha tak tahu
kalau mereka masih menjalin hubungan mesra. Benar-benar telah
dibodohi. Pria itu tak menghiraukan, ia tetap bersih keras mengejar.
***
224
istirahat berlangsung, banyak anak yang berkunjung kesini. Lebih-
lebih kalau istirahat.
225
Tak lama mereka berbicara sengit. Indra mengalah. Iapun
mundur dan pergi menghilang, seraut mukanya kurang ikhlas, ia
hanya bisa pasrah dan terus pergi meninggalkan gadis itu.
226
penulisan bahasa inggrisnya banyak yang salah. Nara dengan asal-
asalan menulis itu karna ia tak terlalu pandai bahasa inggris.
Terbiasa bersama
Bahagia ku denganmu
227
Mungkinkah hati ini akan tenang
My heart....
‘’Iya, aku juga ada janji. Kalau gak buru-buru bisa kena
marah nanti. Uda dulu ya, Assalamu’alaikum.’’ Mia ikut-ikutan.
228
Mereka terlihat aneh hari ini, alasan mereka seperti dibuat-buat.
Nara dan Feby kemudian kembali menyanyikan lagu itu dari awal.
***
229
‘’Bukankah dia pacar kakak? Kakak ndak marah melihat
mereka berdua bermesraan seperti itu?’’
‘’Kenapa begitu?’’
***
230
manasin Indra.’’ Lanjutnya merayu. Gadis itupun mulai merapatkan
diri, bau parfumnya tercium menggoda. Nara tetap mengambil jarak
mundur. Lelaki lain pasti berdesir kaku diperlakukan seperti itu.
231
‘’Selama ini kau masih saja naif. Sudah tahu kalau Indra tuh
orangnya kayak gitu, kenapa kamu masih saja mau dibodohin sama
dia??’’
‘’Dunia ini luas, kau harus paham. Lelaki tak hanya satu
didunia ini.’’ Tambahnya. Tersulut emosi yang sedari tadi ia pendam.
Cemburu.
232
dengannya? pada akhirnya kami hanya meninggalkan bekas
kekecewaan di masing-masing hati.’’ Tambahnya dalam hati.
***
233
Berubah menjadi semu...
Tak tahu harus mengadu apa pada Allah, gadis itu hanya
mampu menjerit dalam hati menghadapi semua kenyataan pahit
yang mendera. Ada 1001 masalah yang mengusik ketenangan
batinnya. Tentang bagaimana ia menjalani keputusan yang telah
diambil keluarga demi masa depan dirinya. Tentang ayah yang
beberapa hari lalu dirawat di rumah sakit. Tentang sekolah, kuliah
dan kerja. Tentang seseorang yang saat ini mungkin sedang marah
pada dirinya. Akan berlabuhlah bahtera hati menuju tempat yang
indah nan jauh disana. Bandung.
***
234
Lupa bagaimana caranya tersenyum pada teman, Feby hanya
mampu menangis meratapi semuanya disudut kelas. Beban berat
pikirannya menumbuk pening bak tungku timah yang telah lama
memanas. Gadis itu tak dapat lagi berpikir jernih, kusut dengan
dipenuhi berbagai pertanyaan seputar ‘masa depan’. Semenit seusai
menuliskan sesuatu pada secarik kertas, Mia mendobrak pintu.
235
Sengaja tak membalas, Indra tahu yang dihadapinya adalah
anak perempuan, mantan kekasihnya sendiri pula. Seminggu baru
putus, gadis itu tak segan-segan lagi membalas perlakuan kasar dari
dirinya. Sedikit jago bela diri, gadis bernama Feby itu sempat belajar
Karate semasa kecilnya dulu, hanya beberapa bulan saja, tapi
pengalaman yang sedikit itu sudah cukup kalau hanya untuk
menangkis serangan remeh dari Indra.
‘’Loh?!! Kok tambah purik sih? Aku kan gak punya balon
kotak?’’ canda Nara menghibur. Feby menahan tawa dalam
tangisnya, perutnya sedikit sakit. Sejak kecil ia biasa dihibur dengan
ungkapan-ungkapan seperti itu. Seperti istilah ‘balon kotak’. Tapi
balon yang seperti itu mana ada? Itulah yang membuatnya merasa
lucu.
237
secarik kertas yang sengaja ia tinggalkan diatas meja. Nara lekas
membaca:
Dear Nara.
From Feby.
***
239
10
240
‘’Suara itu?’’ desis Nara baru menyadari.
***
241
‘’Nara!!!’’ panggil seseorang dari belakang, suaranya
terdengar pelan ditengah-tengah kerumunan banyak orang yang
begitu padat dan ramai. Banyak alumni dari angkatan 2005 hingga
angkatan tahun ini yang hadir.
242
‘’Api unggun!!! Iya,, api unggun. Ia menceritakan semuanya
menjelang tidur. Tapi tidurnya tak bisa nyenyak karna terus
memikirkanmu..., ia sengaja tak memakai jilbab longgarnya agar kau
tahu kalau dia itu cantik. Lebih cantik dari pada yang pernah kamu
lihat sebelumnya. Begitu kau mengakui dirinya sebagai ‘Bidadari
yang jatuh dari langit’. Dia benar-benar merasa menjadi orang yang
paling bahagia sedunia.
***
‘SAHABAT..., SELAMANYA!!!’’
Tak ada kata mantan, alumnus apalagi alumni dalam pertemanan ini
Selamanya tetap berlaku.
***
245
Dela yang mengetahui hal itu pun mendekati. ‘’Ada apa,
mbak?’’ tanya dia.
246
‘’Lagi bersama adikku kayaknya, mbak. Mereka sedang
berbicara serius, tak boleh diganggu.’’
‘’Sstttt,, ada kisah unik diantara adik kita berdua’’ balas Dela
setengah berbisik.
***
‘’Saat aku pergi, jaga diri kalian baik-baik, khusus buat Kak
Nara dilarang kangen. Bahaya...!!’’ cibirnya sambil mengulum
247
senyum, getir yang disembunyikan. Tetap dalam rasa sedihnya,
semua senyumnya adalah palsu.
‘’Mia, Zainal, Sindy... titip Kak Nara ya! Kalau ngomer tonjok
aja perutnya biar kapok, aku ikhlas kok.’’ Guraunya.
248
‘’Bentar kak!’’ balasnya berteriak juga. Suaranya terdengar
begitu khas di telinga.
***
249
Semburat senja sibakkan tirai biru langit, dalam beberapa
kurung waktu menit dunia mulai berubah menjadi jingga bermerah
merekah. Nara asik menulis puisi, menggambar isi hatinya ke dalam
sebuah sajak-sajak yang indah.
250
Seorang gadis menghampirinya tiba-tiba. ‘’Aku mencarimu,
dan ternyata kamu ada disini, menunggu matahari menggelincirkan
dirinya? Hmm?? Aneh!.’’ Kata Avisyah. Gadis itu duduk meringkuh
lutut sama persis dengan yang dilakukan sepupunya. Sedang Nara
tetap menatap langit senja dengan tatapan kosong.
251
Avisyah mendekatkan wajahnya khawatir, tangannya yang
lembut memegang pipi Nara perhatian. Takut kalau sepupunya itu
benar-benar buta.
‘’Leh?? Udah gede kok masih aja cengeng sih, kan lelaki tuh
harusnya pantang menangis,’’ cibirnya bermaksud menghibur.
252
Nara tak sedikitpun menjawab, ia hanya bergumam heran
dalam hati. ‘’Kenapa tiba-tiba aku melihat Feby kedua dalam diri
Avisyah??’’ batinnya.
***
253
11
254
‘’Aku berharap semoga ibu tirimu tidak galak. Bagaimana
kalau semisalnya kamu diusir?’’ kata Avisyah menakut-nakuti, tapi
kebanyakan orang kaya memang terkesan galak dan judes orangnya.
255
‘’Tante ini siapa?’’ tanya Avisyah.
***
256
Seorang gadis berjilbab merah muda datang meng-hampiri
seraya memeluknya dari belakang. Nara sedikit terkejut, menoleh
dengan sedikit melirik. Kulit gadis itu putih bersih dengan raut
wajah yang masih polos.
257
seraya mencium keningnya. Seakan tak pernah percaya bahwa
kenyataan telah berkata banyak pada mereka.
***
258
tahlil nanti. Tiap kali ada yang melihat Nara, mereka selalu
mengatakan, ‘’Loh,, putrannah abah pon rajeh gih. Ganteng kiyah
engak alik’eng.’’ Kata ibu-ibu itu berbahasa Madura.
Nara sama sekali tak mengerti. Sang adik yang baru saja
datang kemudian menyanggah. ‘’Enjek yeh, lok padeh, kuleh raddin
benih ganteng.’’ Sergah Karim bernada sewot.
***
259
Selang beberapa menit kemudian Avisyah baru datang.
Sepertinya ia habis dari suatu tempat. Pantesan batang hidungnya
tak kelihatan sedari tadi.
260
Nara melihat foto itu dengan seksama. Perlembar ia buka.
Seperti tak ada bedanya dengan dirinya, semua serba mirip. Sejenak
ia mengangkat pandangan. Menatap wajah adiknya. Seakan melihat
pantulan cermin. Melihat Karim seakan seperti melihat masa lalu.
***
261
Karim mengusap rambut kakaknya kasihan, ‘’Kakak pasti
sangat sedih, tak sempat berbicara sedikitpun sama abah.’’ Kesahnya
turut prihatin. Iapun merebahkan tubuhnya sembari memeluk sang
kakak perhatian.
***
262
Betapa indah pertemuan itu meski sekedar mimpi.
263
itu sudah akrab dengan mereka semua. Meski agak canggung-
canggung sedikit.
***
264
12
265
Agak lama mereka saling menatap dengan memasang muka
penuh ketidak mengertian. Gadis itu kemudian segera bangkit.
‘’Biasa aja kale, gak usah kayak gitu juga.’’ Sewot Avisyah
266
***
267
Gadis itu kembali melangkah dengan ragu sambil melirak-
lirik kebelakang mengamati bagaimana bayangan-bayangan hitam
itu kembali bergerak. Jumlahnya sekitar 2 orang. Tidak!! Analisanya
mengatakan 3, yang satunya sedang bergerak kearah lain.
268
Andai kata aku sadar waktu itu, pastilah aku melawan
sambil menangis. Sekarang semuanya sudah terlambat, mereka
kemudian melemparku ke sungai yang terdapat di bawah jembatan
ini, bermaksud menghilangkan jejak dengan membunuhku!!!
mereka takut kalau ada yang melaporkan hal ini kepada polisi.
***
Tak bisa!! Tadi itu bukanlah mimpi. Semuanya terasa begitu nyata.
270
Sepertinya kegadisanmu sudah robek. Aku lalu membawamu
kemari.’’
‘’Apa?!!’’
271
dirinya tak lagi perawan. Ia harus merelakan mahkota kesuciannya
itu direnggut dan dirampas paksa oleh tangan-tangan bedebah sang
pengkeji tanpa sedikitpun dia menyadarinya. Benar-benar
perbuatan yang teramat biadab.
***
272
selalu rajin datang kerumahnya untuk minta antar kuliah atau
sekedar ngampung masak. Tak masalah, mereka adalah saudara
sepupu, rumah mereka saja bersebelahan, tapi rumah Avisyah selalu
sepi belakangan ini. Kemana dia?
273
‘’Habis dari mana kau?’’ tanya Nara. Gadis itu tak segera
menjawab, ia malah memeluk kakak sepupunya dan memecahkan
tangis dengan berpelukan penuh buncah rasa sakit itu. Ketika Nara
hendak bertanya ulang, seketika tubuhnya lemas dan tak sadarkan
diri. Nara segera merengkuh bahu dan kakinya untuk kemudian
dibopong dan membawanya ke dalam kamar.
Konyol -_-??
274
Mata Avisyah sedikit terbuka, Nara kemudian merengkuh
pundaknya untuk membantu sepupunya duduk. Gadis itu berusaha
mengangkat nada bicara.
275
menanggalkan pakaianku tanpa sedikitpun tersisa melilit di
tubuhku. Dan aku membiarkan mereka melakukan hal itu
sesukanya, sebiadap-biadapnya, tanpa aku sadari.’’
276
menilainya sebagai orang yang paling baik di dunia ini. Iya, orang
yang paling baik.’’ Gadis itu tertawa getir di sela-sela isak tangisnya.
277
‘’Hingga akhirnya aku berhasil kabur dari kebengisan pria
tua bangka itu, sebuah usaha menantang maut telah berhasil aku
lalui. Semuanya menuntunku untuk kembali ke rumah ini sebelum
orang itu menyadari ku telah lepas dari jeratan sanderanya.’’
***
***
280
hati dengan memeluk perut buncitnya mesra, ia merasakan geliat
bayi dalam perut besar itu. Kaki sang jabang bayi terasa menendang,
membuat Avisyah sedikit tersentak kaget. Mereka terkejut sekaligus
senang, gadis yang tengah hamil itu kemudian membimbing tangan
suaminya untuk menjajaki perutnya lebih ke tengah, sang jabang
bayi kembali menendang-nendang, sepertinya mereka akan punya
anak yang jago main sepak bola. Tapi dilain pihak, Nara ingin punya
anak yang pandai memasak alias cantik. Betapa bahagianya mereka
kala itu, cepatlah keluar ke dunia sang jabang bayi!!
***
281
13
Lagu...
282
ia menyampaikan salam rindu. ‘’Semoga dia mendengar jerit
hatiku,’’ katanya. Berharap ada seekor siput yang mau
menyampaikan maksud dan isi hatinya di relung terdalam.
***
283
‘’Assalamu’alaikum, Sindy... bisa jemput aku nggak?’’
284
bukankah hari ini harus terlihat cantik? Pupil matanya tampak biru
lensa.
***
285
‘’Mbak Feby!!!’’ sebut Avisyah kegirangan. Tamu yang tak
lain adalah Feby itu jadi sedikit belingsatan menerima pelukan
sepupu Nara yang begitu erat. Perut besar Avisyah sempat
bergesekan dengan perut langsingnya.
‘’Ohh, iya ya. Aku baru ingat... Sayang!!! Coba lihat siapa
yang datang!!!’’ teriak Avisyah memanggil, suaranya sedikit lemah.
Sebab beban kehamilan mungkin.
286
***
DEG???
287
Cuma dalam bingkai perasaan yang berbeda. Dalam hati yang
hancur lebur dan luluh lantak tiada tersisa ketenangan.
288
Kurang lebih 6 tahun sukses menjaga hati, berpaling dari
setiap lelaki yang datang hendak meminangnya, bahkan ada dari
mereka yang berasal dari kaum-kaum petinggi negara sebab
kecantikannya yang benar-benar elok nan rupawan, dia rela
menolak setiap tawaran itu demi satu orang yang begitu ia cintai,
betapa sakit ketika orang itu dengan tega menghianati dirinya. Getir
sekali perasaan gadis itu.
289
tepat. Saat tiba saatnya itu terjadi, ia harus rela menerima pahitnya
putus cinta. Kejutan tak berhingga yang akan dia berikan berderai
gagal bersama deru angin yang membawanya pergi. ‘’Nara
brengsekk...!!’’ Feby kecewa.
290
Jelas-jelas kau tak memikirkan aku
291
Hujan semakin buncah, gadis itu menengadahkan wajahnya
ke langit, perlahan ia mulai melepas pegangannya dari batang besi
pembatas. Tangannya kemudian membentang lebar.
292
tetapkan-Nya... Apakah ini yang di maksud ketetapan itu?? Apa
dengan bunuh diri itu kau menuju sang Arjuna??’’
293
Gadis itu menoleh, tatapan pria itu serius sekali, tak ada
kebohongan sedikitpun tergurat di wajahnya. Seketika niat Feby
runtuh. Urung... tak jadi bunuh diri.
294
tak lama kemudian gadis itu terbatuk, masih tetap tidak sadar,
‘’Sepertinya kehabisan napas’’ pikir Nara. Pria yang masih menggigil
kedinginan itu kemudian beralih ke samping. Ragu... memberi napas
buatan?? Yang benar saja??? Tapi tak ada pilihan lain.
***
296
nikmatnya, seakan rasanya semakin enak ditiap-tiap gigitannya
yang manis.
297
‘’Ayah? Kalian berdua? Seruu!!!’’ ucap Avisyah kegirangan.
298
‘’Tapi Avisyah boleh tinggal selamanya disini kan, Bunda?’’
***
‘’Aku rindu Allah, aku juga rindu ayah dan ibu di surga!!’’
299
‘’Kenapa begitu cepat kau tinggalkanku?’’ Nara memegang
tangan gadis itu erat.
***
Gawatt!!!
300
Nara menggeleng cepat, seakan ingin menolak apa yang
terjadi, genggaman tangannya semakin erat dan tak mau melepas
gadis itu pergi. ‘’Jangan tinggalkan aku, Avisyah...!! kenapa kau
begitu tega meninggalkanku disaat aku sudah mulai terbiasa
bersamamu..!!’’ Nara menangis pilu, hatinya ditubruk seribu luka.
Air matanya menetes jatuh dan tak terperikan.
***
303
menjadi anak yang shalih shalihah. Ia tak ingin cintanya pada sang
istri melahirkan anak-anak yang nakal. Begitu kurang lebih.
304
dapat, bolehkah aku jadi Ratu Balqis dalam hatimu.’’ Feby pandai
merayu. So sweet kan?
Hening sekejap.
***
305
14
6 Tahun Kemudian...
***
306
Feby terlihat begitu cantik dengan disematkan anggrek putih
disela atas daun telinganya. Mempesona! Dan terlihat benar-benar...
Perfeck Girl. Aduhai cantik sekali istri Nara itu.
307
lalu membelai lembut rambut panjang gadis kecil itu penuh
perhatian. Ia menatap dalam mata kecil gadis balita itu. Terlihat
seperti Feby waktu kecil.
308
Feby tersenyum simpul, merasa tersanjung oleh komentar
bidadari kecilnya. Penuh pesona, Nara terhanyut akan senyuman itu.
Senyuman terindah.
309
diperaduannya dibatas langit sana. Pemandangan ini? Sungguh
memukau, bukan?
***
-SELESAI-
310