Anda di halaman 1dari 310

DIDIK NUR DIANSYAH

Cahaya Senja
Merah

‘’Senja menyadarkanku, bahwa terang tak selalu menemani. Hadirnya bagai


pemisah gelap terang. Hanya terjadi sesaat setiap menjelang maghrib.
Cahayanyapun memar merah berjingga menyaput sudut kebiruan.’’

*Cahaya Senja Merah*

1
DIDIK NUR DIANSYAH

CAHAYA SENJA
MERAH

‘’Senja menyadarkanku, bahwa terang tak selalu menemani. Hadirnya bagai


pemisah gelap terang. Hanya terjadi sesaat setiap menjelang maghrib petang.
Cahayanyapun memar merah berjingga menyaput sudut kebiruan.’’

*Cahaya Senja Merah*

2
Cahaya Senja Merah
Penulis : Didik Nur Diansyah

Hak Cipta © Dilindungi Tuhan Yang Maha Esa

Cetakan I, 2018, 310 halaman

Novel ini hanyalah cerita fiktif. Apabila ada persamaan nama


tokoh, tempat, atau tanggal kejadian yang serupa, maka hal
itu tak luput dari imajinasi penulis.

*Terinspirasi Dari Kisah Nyata*

Untuk kritikan dan saran silahkan menghubungi:

FB : Ketajaman Hati Tajuljamil

atau

E-mail : dikpot69@gmail.com

Jln. Cut Nyak Dien Rt 24 Rw o3 Kanigoro Pagelaran Kab. Malang.

3
Untuk Ayah yang telah berpulang ke negri yang abadi. Juga untuk
sahabat seperguruanku dari Jakarta,

*Waode Raeseka Rully*

4
‘’Maka Aku bersumpah demi cahaya merah pada waktu senja’’

(QS.84 Al-Insyiqoq:16)

Ada sebuah cerita... Tentang Sahabat dan Cinta,

Haru-Biru kisah, semua ada disini...

Dalam lembaran buku.

5
ISI BUKU Hal

Bagian 1 : Api Kecil Baru Menyala.........................................7

Bagian 2 : Gadis Kecil Bermata Biru.......................................18

Bagian 3 : Mahabbah, Disihir Cinta........................................42

Bagian 4 : Timing Back To Shcool..........................................64

Bagian 5 : Hujan Punya Setetes Cerita.....................................92

Bagian 6 : Fitnah itu Merebak Dirinya....................................109

Bagian 7 : Ulang Tahun yang Terlupakan...............................167

Bagian 8 : Awal Dari Sebuah Akhir........................................196

Bagian 9 : Debu Cinta di Sudut Hati.......................................222

Bagian 10 : Separuh Napas Aku Pergi.....................................240

Bagian 11 : Seperti Sedang Melihat Cermin.............................254

Bagian 12 : Hal Yang Menyesakkan Dada...............................265

Bagian 13 : Ketika Langit Gelap Berkelabu..............................282

Bagian 14 : Cahaya Merah Pada Waktu Senja.........................306

6
1

Api Kecil Baru Menyala

Langit hitam mencekam, kilatan petir menyambar, suara


gemuruh langit bertabuh riuh menggelegar. Gemintang-bintang di
langit yang tadi nampak berkelap-kelip bertabur di angkasa luas
kini bersembunyi malu dibalik awan. Rembulan yang biasanya
tampak bersinar menampakkan senyumpun juga demikian.
Sepertinya langit kurang begitu bersahabat dengan bumi hari ini.
Kilatan halilintar terus menggugah kalbu untuk terus menyebut
Asma-Nya seiring dengan rintik-rintik hujan dan semilir angin yang
menghiasi malam itu.

Di malam penuh penantian itu...

Citra mondar-mandir tak menentu sambil berharap cemas.


Sesekali telinganya menguping dari balik pintu. Mencoba mencuri
dengar. Mata kecilnya sayu-sayu melihat ke ganggang kunci pintu
bagaimana kondisi ibunya. Tapi lubang itu sepertinya terlalu kecil
untuknya dapat melihat dengan jelas. Hal yang pasti dia tahu saat ini
adalah, ibunya saat ini pasti sedang berjuang mati-matian demi
melahirkan kehidupan sang generasi anyar.

7
Suara jerit demi jerit ibu Citra terdengar melengking dari
luar, membuat gadis itu sedikit merinding, mengingat tabiat dirinya
sebagai seorang perempuan yang kelak juga akan melahirkan anak
suatu saat.

Sementara itu, dengan tetesan keringat yang pilu, Bu Ijah


terus melenguh kesakitan. Tiada henti air matanya terus mengalir
melalui sela-sela pipinya. Rasa sakit yang sangat pilu membuatnya
seolah tak menyadari kalau ada banyak orang disekitar. Yang
terlintas dalam benak, hati dan pikirannya saat ini hanyalah; Dia
semata. Tuhan Yang Maha Haq untuk disembah dan dimintai
pertolongan.

Bu Dokter yang menangani proses persalinan itu tampak


gurat-gurat keseriusan terpaut di wajahnya. Gerak-gerik tangannya
begitu antusias menyiapkan peralatan yang dibutuhkan penuh
cekatan. Bulir-bulir keringat di jidatnya sedikit mengganggu, tapi
suster yang bertugas sebagai assistent langsung bersegera
mengerlapi keringat itu kemudian.

Meski tak merasakan apa yang ibu Ijah rasakan, dokter itu
cukup mengerti kalau ibu Ijah pasti sudah sangat kecapekan, melihat
kondisi bayi dalam kandungannya yang tak kunjung lahir jua. Bayi
dalam perut wanita itu seakan tertahan malu dan tak mau keluar.
Disaat yang kritis itu kondisi ibu Ijah semakin memprihatinkan.

8
Teriakannya semakin melemah, sedang ratapan matanya dilangit-
langit pun kian memudar.

‘’Ini gawat!!!’’ Seru dokter memberi peringatan darurat.

Suasana lebih mencekam. Memang aneh jika di ingat lebih


lama Bu Ijah terus mengalami pendarahan sejak awal dibawa
kerumah sakit ini tadi. Khawatir terjadi apa-apa, suster yang
bertugas sebagai assistent tadi menyarankan agar persalinan ini
dilakukan dengan operasi. Dokterpun kemudian menyanggupinya.

Saat ini, yang terlintas dalam benak Ijah hanyalah..., Kealpaan...

***

Sejauh mata memandang hanya ada warna putih, satu titik


warna hitam dan Ijah pun berusaha menuju kesana dengan langkah
yang tertatih. Tanpa sadar ia telah masuk kedalam alam bawah
sadarnya sendiri. Hening tak bersuara. Hanya seretan langkahnya
yang terdengar. Dalam keheningan itu tiba-tiba ia mendengar jerit
tangis bayi, dipercepatlah kemudian langkahnya sampai ia tiba di
sumber suara itu. Langkahnya terhenti begitu ia melihat dirinya
sendiri di pantulan cermin. Dalam pantulan cermin itu, Ia melihat
dirinya sendiri sedang menggendong bayi.

Heran...?

9
Padahal ia tidak sedang menggendong apa-apa. Dalam
pantulan cermin itu terlihat jelas sekali suatu kebohongan. Merasa
aneh, sekali lagi ia memperhatikan dirinya sendiri sambil terkadang
membolak-balikkan telapak tangan. Ia bandingkan dirinya yang asli
dengan yang ada pada pantulan cermin itu.

Sama sekali tak sama...?!!

Dalam bayangan cermin itu bahkan wajah Ijah tampak lebih


putih bersinar, padahal wajah aslinya agak kumuh. Kemeja putih
abu-abu yang dikenakannyapun juga sedikit kumal. Bagaimana bisa
yang terdapat dalam bayangan cermin itu sedemikian berbeda?
Mungkinkah? Apa ini yang dinamakan halusinasi? atau sekedar
ilusi? Ada dimana dia saat-saat genting seperti ini? Seperti itulah
yang terdapat dalam pikirannya.

Sekarang, Ijah tatap lekat-lekat bayi dalam bayangan itu. Ia


perhatikan dengan seksama.

Terlihat,, sangat lucu...

***

Detik jarum jam terus bergulir, saat operasi akan


dilaksanakan, sebuah keajaiban terjadi. Ijah tersadar dari mimpi itu.
Sesaat kemudian ia kembali melenguh kesakitan. Dengan mata yang
sedikit terbuka, tangan dan kaki Ijah kembali mengejang. Berpacu
dengan kata-kata dukungan dari orang-orang sekitar, ia kembali
10
berteriak penuh sakit. Dirinya seolah mendapatkan kekuatan
spiritual dari arah yang tak terduga. Entah dari mana itu. Nafasnya
terdengar begitu memburu. Iapun kemudian menarik nafas dalam-
dalam. Setelah mengumpulkan banyak tenaga yang dirasa cukup,
Ijah kembali berjihad. Jihad seorang ibu yang tengah berjuang
melahirkan anaknya. Melihat hal itu, Dokterpun memberi isyarat
gelengan kepala ringan. Tanda operasi dibatalkan.

Dengan sisa tenaga dan daya yang ada, Ijah kerahkan


seluruh jiwa dan raganya untuk menetaskan telur generasi penerus
yang selama ini dia harapkan. Tangannya mencekram sprei kuat.
Rasa sembilu pilu beribu ngilu yang tak terbendung perihnya,
membuatnya merasakan rasa sakit yang tak terperih. Matanya
terpejam rapat. Kepalanya terdongak kedepan memaksa buah
hatinya cepat keluar. Dan dengan satu hentakan mengejan kuat
yang bertaruhkan nyawa sambil diselingi lenguh teriak panjang…

Tiba-tiba...

Suara jerit tangis manusia mungil kemerah-merahan


menyapa dunia dengan hirupan dan hembusan nafas pertamanya.
Pipinya tembam, rambutnya hitam lurus mirip ayahnya, warna
kulitnya cerah kuning langsat. Bayi itu lahir dengan selamat, sehat
tanpa cacat sama seperti bayi pada umumnya. Masih bercampur
cairan bening bercampur bercak darah. Tangisnyapun menggema
pecah ke sudut-sudut ruangan, terdengar meninju langit. Disaat

11
yang bersamaan itu, terdengarlah suara lantunan gema adzan yang
berkumandang dimasjid sekitar.

Dengan nafas yang masih terengah-engah, perlahan mata


Ijah mulai terbuka. Menatap syahdu atap langit-langit lantas
tersenyum haru mendengar jerit tangis bayi itu disekitarnya. Entah
berada dimana si buah hati penawar rasa nyeri sehabis melahirkan
itu. Terdengar sangat dekat namun tak terlihat. Tatapan Ijah beralih
kesana kemari mencari tahu dimana dan bagaimana kondisi buah
hatinya itu. Entah apakah si mungil itu imut, tampan, cantik atau
entah bagaimana.

Ijah benar-benar merasa lega, suara jerit tangis itu benar


terdengar nyata. Tak lagi mimpi. Selagi sempat ia melirik, sungguh
tak sabar ia ingin mendekap bayi itu ke dalam pelukannya. Meski
masih dalam keadaan terbaring dan begitu lemah. Setidaknya bisa
mendengar suara jerit tangis galak bayi itu saja sudah cukup. Semua
beban sakit yang dirasanya seakan telah terobati.

***

‘’Selamat nggeh bu, anak ibu ganteng mirip bapaknya,’’ kata


ibu Dokter setelah selesai memandikan dan membungkus bayi itu
menggunakan selendang kecil berbatik sembari memberikan
gendongannya pada pangkuan Ijah. Sekarang antar anak dan ibu itu,
kedua insan kandung yang kemudian saling bertepuk peluk. Tulus
kasih sayang sang bunda memberi kehangatan manis pada setiap
12
gelegat bayi kecil yang saat ini tengah berada diatas peluknya.
Suasana tampak begitu mengalir, siapapun akan tersenyum haru
melihat keduanya tersenyum bahagia, hingga sekali lagi Ijah
menumpahkan air matanya seraya berucap ‘’Alhamdulillah.’’

Ijah ingat, ini bukanlah pertama kalinya ia melahirkan, tapi


persalinan kali ini sungguh terasa lebih sakit dari pada persalinan
sebelumnya. Dengan kelahiran bayi itu, sebentar lagi Citra akan
mempunyai saudara. Beberapa tahun yang lalu, saat Citra masih
kanak-kanak, putri sulungnya itu mendambakan seorang adik.
Kerap kali ketidakmengertiannya tentang adik itu selalu
menuntutnya untuk ‘membeli’ adik. Citra mengira kalau adik itu
bisa dibeli katanya. Maklum, waktu itu usianya masih tergolong usia
balita. Jadi belum mengerti apa- apa. Terkadang Ijahpun juga harus
terkekeh menahan tawa saat putrinya itu bertanya dengan
pertanyaan-pertanyaannya yang polos. Sekarang agaknya Citra
sudah dapat berpikir, ia telah memasuki usia bangku kelas 5 SD
tahun ini. Pasti ia tak sabar juga ingin segera memeluk sang adik.

‘’Oh iya… mau diberi nama siapa putra ibu?,’’ tanya ibu
Dokter membuyarkan lamunan Ijah yang tengah asik memangku si
pelita kecilnya itu. Sambil bertolak kaca, Bu Dokter itu terlihat sibuk
mengurusi surat tanda kelahiran.

Sejenak Ijah menatap bayi itu, memikirkan nama yang


sekiranya pas untuknya. Bayi itu tak lagi menangis, ia tenang dalam

13
dekapan hangat ibunya. Ia seakan terbuai dengan belaian sang
bunda. Sedang Ijah yang tengah asik melihat wajahnya yang begitu
menggemaskan itu jadi teringat dengan mantan suaminya, ada
sedikit kemiripan yang tergurat diwajah manusia mungil ini. Andai
saja perceraian waktu itu tak pernah terjadi, pastinya ijah bisa
sedikit berdiskusi untuk sekedar menentukan nama. Begitu penting
arti sebuah nama itu baginya.

Mata Ijah beralih menatap jendela, ia lihat di luar


tampaknya hujan sudah mulai reda. Awanpun cepat sekali berlalu,
memberi kesempatan untuk rembulan menyinari gelap gulita
malam. Membuka cakrawala baru dengan nuansa magis dilengkapi
dengan pernak-pernik taburan bintang cemerlang yang ikut
menyambut kelahiran si mungil lucu itu dengan sinar mereka.

‘’Anak ini akan saya beri nama... umm?.’’

Ijah kembali berpikir. Ia mengusap lembut pipi si mungil itu.

‘’Nara...’’ ucapnya tiba-tiba.

‘’Iya, Nara Thoriqun Najah... Nara berasal dari bahasa arab


yang berarti ‘Bara Api’. Sedang Thoriqun Najah artinya ‘Jalan
Menuju Sukses. ’Semangat bara api menuju sukses’, Begitulah.’’ kata
ijah penuh semangat.

14
‘’Dengan nama ini saya berharap agar kelak anak saya
menjadi anak yang sukses. Tak hanya sukses di dunia, tapi di
akhiratnya juga. Tentu dengan semangat bara apinya. Tak hanya itu,
saya juga berharap semoga anak ini dapat menjadi anak yang
bermanfaat bagi sesama.’’ Tambahnya merangkai harap..

***

Citra tetap menunggu di depan ruang persalinan. Tangannya


grusak-grusuk tak bisa tenang. Duduknyapun dirasa tak nyaman,
seperti ada yang mengganjal pikirannya. Ia menggigit ujung jari
dengan bibir. Dari dalam tadi sesaat ia mendengar suara jerit tangis
bayi. Entahlah, ia tak tahu pasti, tapi suara teriakan ibunya sudah tak
terdengar lagi. Ia yakin adiknya pasti sudah lahir.

Pintu ruang persalinan sedikit berderit terbuka. Saat Citra


dapati seorang dokter keluar, ia segera berdiri dan menghampirinya,
menanyakan keadaan ibu dan si adik kecil.

‘’Bagaimana keadaan ibu saya Dok? Apa adik saya lahir


dengan selamat? Apa mereka baik-baik saja? Ibu saya mengalami
banyak pendarahan ya Dok?.’’ tanya Citra kecil polos.

‘’Selamat yah cantik, adik kamu laki-laki ^_^!!’’

Citra tersenyum lantas membuang napas lega.

15
‘’Untuk saat ini adik kamu baik-baik saja, tapi untuk ibu
kamu, kami masih ingin mengadakan pemeriksaan lebih lanjut
terkait gejala aneh yang timbul sesaat setelah ia melahirkan barusan.
Adik gak usah hawatir, banyak-banyak berdo’a saja,’’ kata Dokter itu
tiba-tiba serius, wajahnya mendadak serius.

Citra kembali menunduk lesu, membuang nafas seperlunya,


berita hangat sekilas ia dapati, tapi berita buruk ikut campur
menyeling-nyelinginya.

‘’Semoga saja demikian,, Boleh saya tahu nama adik saya


Dok?,’’ tanya dia sebelum dokter itu pergi.

‘’Ibumu memberinya nama Nara Thoriqun Najah,’’

‘’Nara? (bara api?),’’ pikir gadis bergigi gingsul itu.

‘’Dokter, bagaimana dengan ibu saya? memangnya ibu saya


terkena gejala apa?,’’ Citra kembali bertanya. Ia merasa belum puas
kalau ia belum dikasih tahu.

‘’Entahlah, saya tak berani memastikan. Yang jelas ibu kamu


pasti baik-baik saja. Insya Allah, beliau hanya mengalami gejala
ringan,’’ Jawab ibu dokter itu ramah.

‘’Terima kasih Dok,’’ balas Citra. Mimik wajahnya tampak


lesu, dalam hati ia berharap semoga saja yang dikatakan dokter itu
benar.

16
Citra menunggu untuk beberapa saat lamanya, begitu
diijinkan masuk, Dari dalam ruang persalinan itu ibunya tampak
sedang memangku sang adik. Citra kemudian menghampiri.

‘’Ibu...!!’’ Panggilnya.

‘’Hidiihh,, adekku lucunya...,’’ kata Citra gemas. Tangan


kanannya kemudian mencubiti pipi si mungil itu.

‘’Kamu sudah tahu namanya nduk?,’’ Tanya ibunda Ijah.

Citra mengangguk, sekilas ia melihat wajah ibunya yang


sedang tersenyum pucat itu, tangan Citra kemudian kembali
mencubiti pipi tembam si kecilnya gemas, sambil sesekali mencium
hidung adiknya yang mungil menggemaskan itu perhatian. Sungguh
Imut dan lucu. Sekarang ia hanya tinggal menunggu Man Anip dan
Nek Gini untuk melunasi biaya administrasinya.

***

17
2

Gadis Kecil Bermata Biru

6 Tahun kemudian…

Nara tumbuh menjadi anak yang hiperaktif. Tangannya


yang suka celindakan seringkali membuat orang-orang disekitarnya
menjadi khawatir akan tingkahnya yang usil. Berulangkali Citra
dibuat repot olehnya, apa-apa akan menjadi berantakan kalau ada
dia disana. Tapi, Nara mempunyai kepribadian yang sulit ditebak,
kadang rajin kadang juga agak malas-malasan. Kadang nakal
kadang pula suka melamun. Hal yang mungkin bisa ditebak dari
dirinya adalah, dia akan menjadi anak yang sangat pendiam kalau
lagi kangen sama ibunya. Sifat cueknyapun menghiasi.

6 tahun yang lalu, ibunya mengalami masa-masa kritis.


Seminggu setelah ia dilahirkan, tepatnya pada tanggal 08 juli 1999
ibunya didiagnosa penyakit yang ganasnya bukan main. Dan iya,
penyakit itu mengharuskan ibunya untuk operasi.

Sebuah penyakit tumor janin...

18
Siapa yang tak takut dengan penyakit semacam itu, semua
wanita bisa mandul hanya gara-gara janinnya terinfeksi virus.
Terlebih operasi itu menyita banyak harta. Sehingga Bashir ayah
Nara harus mengulurkan tangan guna membantu melunasi biaya
perawatan itu.

Bashir tak wajib melakukan itu, sebab ia bukan lagi suami


dari Ijah. Tapi karna ia merasa iba pada Nara yang saat itu masih
bayi–belum bisa berjalan nan fasih bicaranya, masih sebatas
‘’Papipup-papipup’’ kurang jelas.–Sebagai ayah kandung ia pun
bersudi hati untuk menyalurkan pangkuan tangannya. Bashir tahu
anak pertamanya itu masih membutuhkan peluk dan kasih sayang
dari sang bunda. Begitulah.

Tetapi si Bunda tahu diri, ia sadar Bashir bukan lagi siapa-


siapanya, iapun berinisiatif untuk mengembalikan uang yang
pernah diberikan mantan suaminya itu secara diam-diam, sekalipun
lelaki kaya raya itu tidak pernah memintanya. Ia benar-benar malu,
terlebih saat mendengar kalau Bashir itu sudah mempunyai istri
belia yang kabarnya saat ini tengah hamil muda.

Ijah rela berkorban pergi jauh, merantau pergi ke luar negri


hanya untuk mencari pekerjaan. Nanti sisa dari uang hasil kerjanya
itu akan ia gunakan untuk bedah rumah yang saat itu masih terbuat
dari bambu.

***
19
Mentari melambung setinggi pangkal tombak. Kabut tebal
kian menipis. Semerbak wangi sekuntum bunga mawar merah
menyambut dhuha dengan anggukannya yang diterpa angin, tetes
sejuk air embun berjatuhan dari ujung kelopaknya, tangkai di
bawahnya tak membiarkan embun itu menggantung terlalu lama,
sebentar kemudian angin mendorong tetes embun itu bergulir pelan
dan akhirnya jatuh ketanah. Dibalik daun pohon jambu kecil dekat
setangkai bunga itu, nampak sebuah kepompong yang sebentar lagi
akan berganti dimensi kehidupan. Semilir angin mendayung pelan
barisan rerumput berapat rapi. Reranting pohon yang lebat
dedaunannya bergoyang-goyang mengikuti arah terpaan angin
yang sedari subuh tadi membuat kota Malang ini serasa dibelai
hawa dingin.

Sehabis mandi, hanya berbalut celana seragam cokelat dan


kaos putih tipis, Nara langsung menuju kekamar Citra kakaknya.
‘’Mbak Cie… Ayo bangun… Waktunya sekolah,’’ ajak Nara
menggoyang-goyang bahu kakaknya pelan. Suaranya terdengar
masih cadel.

Tak sulit membangunkan kakaknya itu, sebentar kemudian


Citra sudah bangun dan duduk sambil ngucek-ngucek mata.
Rambutnya yang lurus sedikit tergurai berantakan. Namun, dengan
sedikit sibakan saja, keep rambut bermotif hello kitty biru muda ia
gelungkan ke belakang rambutnya membentuk ikal besar dengan
kepangan sedikit keujung-ujung bagian atas kepalanya. Kulit
20
lehernya yang jenjang putih mulus bersinar kian berseri terkena
pantulan sinar matahari yang menembus masuk melalui celah
jendela kamar, dalam sekejap Citra sudah kembali terlihat cantik.
Sayang Nara masih terlalu kecil untuk menerjemah kecantikan
kakaknya itu.

Citra menoleh ke jam dinding, sudah pukul 06.50. ia tetap


terlihat woles, santai tanpa beban lagaknya orang tak punya dosa,
bahkan ia hendak kembali tidur kembali tanpa memedulikan
adiknya. Tapi sedetik kemudian ia baru sadar.

‘’Hah…? Jam 7 kurang 10 menit…? Gawat aku juga harus


nganterin Nara daftar sekolah… ahhh… bisa telaatt!!,’’ keluhnya
dengan nada sedikit berteriak. Buru-buru ia lempar selimutnya
kesembarang arah. Bergegas ke kamar mandi tanpa memperdulikan
kondisi kamar yang masih berantakan. Selang beberapa menit
kemudian terdengarlah suara jebyar-jebyur gemericik air
memandian. Sementara Nara yang masih tetap berada dibilik kamar
Citra nampaknya sedang menemukan sesuatu.

‘’Hmm?? buku apa ini?,’’ gumamnya. Buku itu


ditemukannya didekat bantal kakaknya. Sepertinya Kak Citra lupa
menaruh buku itu ditempat yang semestinya.

Dibalik sampul buku itu tertulis ‘’Diary Citra’’ yang dihiasi


dengan bingkai berbentuk love cantik. Nara membolak-balik sampul
buku itu, dibelakangnya ada tulisan ‘’I Love You, Sulaiman.’’ Hanya
21
saja Nara tak paham apa maksud dari tulisan itu. Ia masih terlalu
kecil untuk memahami bahasa asing.

Dengan sedikit senyum tak mengapa, mungkin kakaknya


tadi teledor atau mungkin lupa menaruhnya ditempat penyimpanan.
Nara kemudian mengembalikan buku itu ke laci tempat kak Citra
biasa merapikan buku-buku bacaan.

Nara baru ingat, ia masih belum berganti seragam, buru-


buru ia bergegas keruang beranda untuk memakai atribut seragam
lengkap sekaligus untuk menyiapkan peralatan sekolah sekalian,
biar nanti ketika kak Citra selesai mandi, ia tak harus berbelit-belit
menunggu terlalu lama.

***

Citra sudah tampil rapi, dengan jilbab modis trendi segi


empat ala paris, tubuhnya yang langsing berbalut sweater berlind
bermotif hitam putih zebra, dilengkapi dengan celana B-geit yang
panjang roknya setinggi lutut. Citra menyiapkan sepeda Unitednya
untuk mengantarkan Nara daftar sekolah. Sementara Nara sendiri
masih sibuk mencari penghapusnya yang hilang dikamar. Agak
lama Citra menunggu, begitu Nara keluar....

Jeng… Jeng…

Dengan sibakan rambut yang rapi, sedikit bedak tipis


memenuhi rahi. Dasi yang terpampang begitu pendeknya. Pipi
22
tembam yang kelihatan begitu unyuk-unyuk. Juga tatapan sorot
matanya yang terlihat sangat lugu. Sepatu homyped dan kaos kaki
krem setinggi lutut. membuat Citra tertawa sejadi-jadinya, tak
pernah ia melihat adiknya berpenampilan begitu imut, atau… begitu
culunnya. Terpingkal-pingkal ia menahan gejolak tawa, tangan
gadis itu kemudian berusaha membungkam mulut agar tawanya
bisa mereda, tapi yang ada malah tambah sakit diperut.

Bedak Nara yang tak rata terlihat begitu lucu. Padahal dia
adalah laki-laki. Maklum, namanya juga anak kecil. Citra menutup
mata konyol. Sementara Nara hanya diam melengos dan terlihat sok
acuh, sekecil itu Nara sudah bersikap sok cool. Citra tetap dalam
tawanya. Nara mulai merasa geregetan, ia lalu maju selangkah
untuk sekedar menyadarkan kakaknya.

‘’Plaakkk…!!!,’’ sebuah tamparan kecil mendarat.

‘’Ayo mbak!! kita belangkatt!!’’ ajak Nara dengan lagak ketus


dan bertolak pinggang. Suaranya masih cadel, tapi tatapannya
begitu serius. Citra menghela napas pelan. Ia tak bisa marah pada
anak seimut dia.

Siapa yang tahu si kecil Nara ini suatu hari akan menjadi
anak yang benar-benar sok cool??

***

23
Dengan asyik Citra mendayung sepedanya menelusuri
jalanan besar yang cukup sepi. Disamping kanan kiri jalan
menghimpit pemandangan sawah yang menghampar hijau
menyejukkan. Jalanan yang mereka lalui seperti jalan di pematang
sawah, hanya saja jalanan ini sangat lebar. Beraspal, mirip jalan
raya.

Udara dingin berembus sejuk bersapu dengan hangat


mentari yang semakin meninggi. Disekitar mereka, ilalang tampak
bertebaran riang, terlihat seperti kapas putih yang menari di udara
mengiringi perjalanan mereka.

Tak sampai setengah jam mereka sudah tiba disekolah. Citra


kemudian melirik jam tangan, Jarum jam menunjuk pukul 07.20.
berarti Citra masih mempunyai waktu sekitar 10 menit-an untuk
mendaftarkan adiknya ke sekolah itu sebelum kantor sekretariat
pendaftaran benar-benar ditutup. Ditahun ajaran baru ini banyak
wali murid yang hendak mendaftarkan putra-putri mereka dari
berbagai pelosok desa.

Gedung sekolah MI Miftahul Ulum itu masih terlihat begitu


sederhana, dengan penataan gedung yang terbilang kurang begitu
memadai, maka, dari pihak kepala sekolah membatasi jumlah
penerimaan siswa sampai 30 anak. Citra yakin kalau Nara masih
termasuk dalam nominal itu. Ia yakin kalau Nara adalah anak cerdas
yang mempunyai bakat dan keahlian yang masih tersembunyi.

24
Lembaga formal itu sendiri terdiri dari beberapa yayasan,
TK-MI-MTs-MA yang masing-masing saling digait oleh yayasan
lembaga Ma’arif NU. Tata letak sekolah-sekolah itu sangat strategis
berdekatan, bahkan saat jam istirahat para siswanya banyak yang
berseliweran membaur menjadi satu.

Setelah memarkirkan sepedanya, Citra langsung bergegas


menuju kantor untuk mengambil formulir pendaftaran adiknya.

‘’Adek… kamu tunggu disini dulu yah, kakak mau ngisi


formulir dulu, agak lama. Sebagai alumni, ada banyak yang ingin
kakak bicarakan sama calon bapak-ibu guru kamu… jangan
kemana-mana loh yah…,’’ pesannya mengingatkan. Nara
mengangguk paham. Citra kemudian merogoh saku.

‘’Kamu mainan hp ini aja dulu, kalau mau jajan nanti


bareng sama mbak’’ kata kakaknya itu sekali lagi. Nara menyambut
hp itu dengan sesungging senyumnya yang manis.

‘’Boleh kubawa ketaman itu?,’’ tanya Nara sambil menunjuk


ke sebuah taman yang kebetulan berada tak jauh dari situ. Citra
hanya berlalu meninggalkan bekas senyum, Nara pun
menganggapnya sebagai jawaban ‘iya’.

Nara kemudian segera berlari menuju taman dekat jalan


raya itu. Tampak sederhana, hanya ada beberapa tanaman bunga
dan sejumlah ayunan jungkat-jungkit mini disana. Sirah Nara

25
celingak-celinguk, pandangannya menyebar kesegala arah mencari
tempat yang sekiranya cocok untuk bersantai. Disana ia memilih
tempat yang dirasa teduh untuk memainkan game di hp cross full
game hijau milik kakaknya.

Saat tiba dipersimpangan jalan, seorang anak kecil


menabrak. ‘brruuukk….’

‘’Aduuuhh…,’’

Gadis itu hampir terjatuh, ice cream yang dipegangnya


entah loncat kemana. Matanya terpejam menahan sakit, sedang
tangannya menggosok-gosok bagian ubun-ubun yang terbentur
dagu Nara. Hening sekejap, tangan gadis itu tiba-tiba mengepal
galak.

‘’Heh…!! kalau jalan liat-liat yah!!’’ ketusnya dengan ala


kadarnya anak perempuan. ‘’lihat ice creamku, mana aku baru beli
lagi,’’ tangan gadis kecil menunjuk kearah ice cream itu. Agak fasih
bicaranya. Gadis kecil itu tidak cadel seperti Nara.

Nara memperhatikan bagaimana Ice cream cornetto itu kian


meleleh, menyatu dan meresap ke dalam tanah. Sejenak Nara angkat
pandangan, begitu tatapan mereka bertemu Nara sedikit terkejut
melihat pupil matanya yang biru. Itu cuma lensa mata biasa, tapi
Nara cukup terpengaruh oleh tatapannya yang tajam. Ia masih
terpaku melihat mata yang menurutnya unik itu.

26
‘’Apa liat-liat aku seperti itu, emang aku cantik apa?,’’ kata
gadis kecil itu galak. Sifatnya jutek memang.

Nara menghembus napas pelan sambil membuang muka, ia


bingung harus menjawab bagaimana. Selama ini kak Citra selalu
menasehati dia agar tidak bertengkar dengan perempuan. Tapi
perempuan kecil yang satu ini tampak cerewet dan sensitif sekali.
Jika dilihat dari penampilan seragamnya, sepertinya dia masih TK.
Bentar-bentar Nara bergeming, gadis itu ngedumel lagi.

‘’Ihh… minta maappun tidak,’’ kata gadis itu jalang

‘’Lalu kalau aku minta maap, apa yang akan kamu belikan,’’.

‘’Belikan? Emang siapa yang mau membelikan’’ gadis itu


salah tangkap. Ia tak tahu kalau Nara itu pelat alias cadel.

‘’Maksudku Berriiikann…,’’ Nara menekan huruf ‘R’nya


kesulitan. Gadis itu tetap tak mengerti. ‘’Sudahlah lupakan…,’’ Nara
akhirnya menyerah. Tampaknya ia juga mulai letih.

‘’Yah ganti rugi kek,’’ pinta gadis itu memelas, wajah anak
balita bermata biru itu tampak imut dengan ekspresi demikian.

‘’Kalau aku tidak mau?,’’ Nara memancing, gadis kecil itu


mengernyitkan dahi.

27
‘’Atau… hmm…’’ gadis itu tak kekurangan akal, pikirannya
yang tajam sejenak mencari cara untuk mengelabuhi lelaki
dihadapannya. Ia lalu melihat Nara sedang memegang hp qweerty
cross yang sepertinya sangat berharga. Ia melirik ketaman
tersenyum penuh arti, penuh rencana tipu muslihat. Dalam sekejap
hp itu sudah direbut dari tangan Nara lalu ia sembunyikan dibalik
punggungnya.

‘’Hey…? itu milik mbakku!!’’ Nara mencoba merebut


kembali hpnya, tapi gerakan gadis itu sangat cepat sehingga Nara
kesulitan meraih lengan tangannya. Bentar-bentar hp itu sudah
diatas ambang tempat sampah. Si Gadis mengancam akan
menjatuhkan hp itu kalau Nara tidak mau ganti rugi atas ice
creamnya yang jatuh barusan. Nara tetap merasa tak bersalah.

‘’Ganti ice creamku atau hp ini akan aku buang’’ ancam dia.
Nara tak berkutik, wajahnya pucat pasi. Tak bisa membayangkan
bagaimana kak Citra akan mengamuk bagai monster ganas kalau
sampai hal itu benar-benar terjadi. Nara hanya menjerit lirih
‘’Jangan lakukan itu adek… Nala mohon…,’’ kata Nara berharap
dalam hati. Mata Nara sedikit berkaca-kaca, sementara gadis kecil
itu merasa tersanjung melihat Nara yang tak lagi berdaya dibuatnya.
Dengan berbangga diri gadis itu merasa menang, ia seakan ratu
yang telah menaklukkan lawan bicaranya.

28
Gadis itu terlalu sering nonton film drama barbie diusianya
yang masih TK. Terbukti dari pupil matanya yang terlapisi lensa eyes
shadow blue yang entah dipasangkan oleh siapa.

***

‘’Feby…!!!’’ teriak kakak gadis kecil itu memanggil.

‘’Iya mbak,’’

Perempuan seusia kak Citra datang mendekat. Ia tahu kalau


adiknya sedang ada cekcok dengan salah satu temannya. Sepertinya
ia memperhatikan adiknya sejak awal.

‘’Jangan nakal-nakal ya nduk… kamu ini cewek, gak boleh


berantem sama laki-laki,’’ kata kakaknya memperingatkan.

‘’Tapi mbak Del… dia dulu yang mulai,’’ kata sie gadis kecil
mengadu. Rupanya nama kakak dari gadis itu adalah kak Dela.
Wajah mereka lumayan mirip, berbeda dengan Nara dan Citra yang
wajahnya tak mempunyai kemiripan sama sekali sekalipun mereka
adalah kakak-adik.

‘’Lihat deh… ice creamku jatuh gara-gara dia,’’

‘’Mana ada, dia dulu yang menablakku,’’ kata Nara berusaha


mengelak.

‘’Kamu dulu yang menablakku,’’

29
‘’Kamu,’’

Mereka berdebat, saling menuduh. Gadis itu masih belum


merelakan ice creamnya yang sudah bercampur lumur dengan
tanah. Dela sedikit melirik kearah ice cream itu, tak bisa ditolong
lagi…

‘’Yah… nantikan bisa beli lagi, udah kembalikan hp dia,’’

‘’Kakak yang belikan yah… Janji??,’’

‘’He,em…,’’ kata kak Dela mengiyakan.

‘’Yaudah, nihh…,’’ gadis itu mengembalikan hp Nara sewot.

Dela tersenyum. Si Bocah Nara itu tak kalah imut dengan


adiknya. Sejenak Dela mencoba mengingat sesuatu pada diri Nara.

‘’Bukannya kamu adik mbak Citra?,’’ tebak Dela


memastikan.

‘’Iya mbak, pean kok kenal?,’’

‘’Dia kan, lulusan terbaik tahun kemaren, aku adik kelasnya,


saat dia lulus aku baru kelas 5 SD, sekarang kita satu atap sekolah di
MTs Miftahul Ulum,’’ terang kak Dela.

Nara mengangguk paham sambil mengelap hp kakaknya


yang agak basah karna keringat.

30
‘’Kamu murid baru disini? Kakak kamu mana?,’’ tanya kak
Dela

‘’Masih daftalin Nala sekolah,’’ Jawab Nara polos.

‘’Kalau begitu sampaikan salamku pada kak Citra nanti ya,’’

‘’Iya kak, Insya Allah,’’ Nara tersenyum mengangguk pelan.


Dela kemudian mencubit pipi Nara gemas.

‘’Siapa sih dia itu kak, kok metesek sekali, ngomongnya aja
masih pelat,’’ cibir gadis itu menyindir. Dela tak menjawab, ia hanya
mengusap lembut rambut Nara sebelum akhirnya berlalu pergi.
Gadis kecil itupun mengikutinya. Nara ingin meminta maaf, hanya
saja karna raut muka gadis itu tampak kurang begitu bersahabat.
Nara jadi gengsi.

Masih belum jauh dari tempatnya berdiri, gadis itu menoleh


angkuh, Nara kemudian menjulurkan lidah berniat mengejek
‘’Weeekk…,’’

Kening gadis itu mengerut ‘’Hihh dasar,’’

Nara menjulurkan lidahnya sekali lagi, si gadispun


membalas dengan juluran lidah juga, ia memasang wajah yang
sejelek-jeleknya untuk membalas ejekan Nara. Kemudian ia kembali
berlari menyusul kakaknya. Ia tak lagi memperdulikan Nara. Dela
tersenyum sambil menutup mulut untuk menahan gelegak tawa

31
dengan telapak tangan kirinya, mereka terlihat begitu manyun saat
saling ejek-ejekan tadi.

***

Ketika matahari senja menggantung diperaduannya. Awan-


awan bersaput mega merah bersinar dan terpantul dikecil mata
Nara. Dari balik jendela mobil yang terbuka, hitam dipelupuk
matanya terus mengamati bagaimana awan-awan itu bergerak dan
berganti warna. Semilir angin berembus kencang menerpa wajah
mungil itu, rambutnya sedikit berurai terbawa desau angin yang
menerpa kencang. Dari sudut kebiruan langit, mentari kian bersinar
memerah seumpama mawar yang merekah di musim semi. Sinar
oranye kemerahannya kemudian semakin memar tenggelam kritis.

Rembulan mendekati purnama telah naik dan bersinar


membentuk separuh bulan tsabit. Kumandang adzan magribpun
seakan memanggil jiwa mereka.

Sore itu Nara dan keluarganya akan menjemput sang ibu di


bandara juanda Surabaya. Mobil sedan hitam menembus jalanan
dengan derum mesin yang nyaris tak terdengar. Pak Kartoyo yang
menyetir mobil itu terus memacu mobilnya melinstasi jalanan yang
tidak terlalu ramai.

Mereka telah tiba di masjid Baitur Rahman. Pak Kartoyo


langsung memakirkan mobil itu di tempat parkiran. Merekapun

32
satu persatu mulai turun dari mobil untuk berwudlu’ dan
menunaikan ibadah shalat berjama’ah.

‘’Mari shalat dulu,’’ ajak Pak Kartoyo ramah. Mereka


kemudian mengangguk sambil beranjak memasuki masjid setelah
mengambil wudlu’.

‘’Loh, Citra ndak sholat toh,’’ tanya Pak Kartoyo saat


mengetahui Citra hanya duduk-duduk diteras depan masjid sambil
memangku Nara.

‘’Saya lagi halangan Pak,’’ kata Citra.

‘’Oalahh…,’’ Pak Kartoyopun mengangguk mengerti.

***

Jalanan mulai ramai memasuki jantung Malang kota.


Gedumg-gedung bertingkat mengapit disisi kiri kanan jalan.
Lentera-lentera bias lampu jalanan menghiasi gelap malam.
Dilangit bintang-bintang bertaburan membentuk berbagai rasi.

Banyak rambu-rambu dan bangunan menjulang tinggi


dikota ini. Sebuah laju mobil sport biru menyalip. Udaranya
berembus kencang. Menyadari kalau jendelanya belum ditutup, Pak
Kartoyo segera menutupnya dengan tombol otomatis dibagian setir.
Nara melihat bagaimana kaca jendela mobil itu menutup dengan
sendirinya.

33
Simpang siur kendaraan membuat jalanan mulai sedikit
macet. Kedap-kedip mata Nara terasa berat karna kantuk. Diliriknya
nek Gini dan man Anip yang sudah terlelap. Citra masih sibuk
dengan hpnya, terkadang ia tersenyum-senyum sendiri saat
membaca sms dari seseorang.

‘’Ooaaahhmm… mbak Citra, aku ngantuk,’’ kata Nara


menguap. Agak lama kemudian Citra menoleh tersenyum.

‘’Tidur sini,’’ suruh Citra.

Tanpa disuruh dua kali, Nara kecil hanya menurut, ia


bersandar dipangkuan kakaknya yang empuk itu, terasa begitu
hangat dan terasa nyaman bagi dia.

‘’Kita sebenalnya mau kemana sih, mbak?’’ tanya Nara


belum mengerti.

‘’Loh kan kakak udah bilang kalau kita akan menyusul ibu,’’

‘’Masih jauh?’’

Citra menghela napas, ‘’Masih,’’ jawabnya singkat.


Tatapannya beralih menembus jendela, di luar jalanan sangat ramai.

Citra merasa kasihan, sebab sejak lahir Nara belum sempat


melihat ibunya. Waktu Nara baru lahir, sebuah penyakit tumor yang
diderita ibunya mengharuskan ia untuk berpisah. Nara masih terlalu

34
kecil untuk dapat mengingat wajah ibunya saat itu. Anak itu hanya
mendengar kisah riwayat sang bunda dari kak Citra yang selama ini
selalu menceritakannya menjelang tidur. Hal itu dilakukan Citra
agar Nara tak bersedih hati, biar ia tahu ibunya masih hidup.
Perpisahan yang dimaksudkan disini adalah sebab masa kemotrapi
yang cukup lama. Setelah sembuh pun, ia ditinggal pergi kerja ke
luar negri.

‘’Tidur aja dulu ya sayang, nanti tak bangunin kalau sudah


sampai,’’ kata Citra. Kecupan penuh kasih dari bibir tipisnya
kemudian mendarat, mata Nara sekitit terkatup. Pandangan mata
anak itu perlahan mulai menggelap.

‘’Mimpi indah, adek.’’ kata Citra membelai lembut rambut


Nara penuh perhatian.

***

Suara bisingan pesawat memecah kesunyian langit, Nara


kemudian terbangun dari mimpi indahnya. Setelah tiga jam tertidur
diperjalanan, sipit-sipit matanya mulai terbuka.

‘’Ohh, sudah bangun ternyata,’’ ujar nenek melihat Nara


yang mulai ngucek-ngucek bola mata.

‘’Mbak Citra dan man Anip mana?,’’ tanya Nara, ia segera


bangkit memeriksa di jok bagian depan. Hanya ada pak Kartoyo
yang tidurnya rada ngorok kecapekan dengan posisi miring.
35
‘’Mereka masih beli makanan,’’ jawab nenek.

Pintu mobil sengaja dibuka, kini mereka tengah berada di


parkiran sebelah kiri bandara. Dari jauh nampak sebuah pesawat
yang mendarat. Kelap-kelip lampu dibagian kedak belakang pesawat
itu membuat Nara sedikit tertarik. ‘’Nek, nek… coba lihat itu!!’’ Nara
menarik lengan baju neneknya sambil menunjuk persis kearah
pesawat itu.

‘’Mana se?,’’ tanya nenek pura-pura tak tahu. Si nenek


hanya melihatnya sekilas tadi.

‘’Mana, gak ada?,’’ tanya nenek sekali lagi, nada bicaranya


itu terdengar menggoda, sekedar mengajak Nara bercanda.

‘’Tadi tulun disitu,’’ Kata Nara dengan khas lidahnya yang


masih cadel. Tak lama kemudian Citra dan man Anip datang
membawa bingkisan makanan.

‘’Tara…!! lihat apa yang kami bawa,’’ kata Citra memberi


kejutan.

‘’Wah… hamburger,’’ Nara melonjak kegirangan, perut


kecilnya memang sedikit lapar, sejak berangkat tadi ia hanya
memakan dua roti tawar, cacing dalam perutnya seakan tak bisa lagi
diajak kompromi.

36
‘’Kami juga membeli bubur buat nenek,’’ kata man Anip.
Sungguh terasa indah suasana malam itu, apalagi jika ditemani
dengan berbagai macam jajanan yang dimakan bersama bareng-
bareng keluarga seperti ini. Rasanya semakin mengena.

***

Terasa lama mereka menuggu, waktu sudah berkisar sekitaran jam


22.30 mendekati tengah malam. Dari atas, rembulan semakin
bersinar menapaki tengah kegelapan ubun-ubun malam.

Sementara Ijah belum juga datang. Mereka akhirnya


memutuskan untuk menunggu di ruang tunggu bandara, dari pada
menunggu di dalam mobil terus nanti bisa ketiduran, pikir mereka.

Citra menggendong Nara. Sedikit terasa berat, kini adiknya


itu bukan lagi bayi kecil yang masih suka menangis dengan tiba-
tiba.

Nara sudah tertidur, melihat tidur adiknya yang begitu


nyenyak itu, Citra tak tega tuk membangunkannya. Sebentar saja
saat mereka tiba diruang tunggu utama, perlahan mata Nara
terbuka. Sayu-sayu mata Nara melihat banyak orang yang berlalu-
lalang berseliweran dengan masing-masing ego dan kesibukan
mereka. Semakin terbuka kelopak matanya semakin jelas terang
lampu-lampu Neon menyilaukan pandangannya. Bocah kecil itu

37
mengucek mata. Lirak-lirik kanan kiri hanya bola matanya yang
bergerak.

‘’Lehh… kok bangun se?,’’ tanya Citra begitu menyadari


kalau adiknya menggerak-gerakkan telapak tangan.

‘’Kita dimana, mbak?’’

‘’Dibandara,’’ jawab Citra singkat. Nara lalu menolah-noleh


mengamati orang-orang disekitarnya, banyak orang turis dari
berbagai manca negara yang berlalu lalang disekitar sini. Tampak
nek Gini dan Man Anip yang sedang mengikuti dari belakang, Citra
berjalan entah hendak menuju kemana. Tak ada sepuluh menit
berjalan, Sepertinya tangan Citra sedikit terasa keram.

‘’Adek turun dulu yah, mbak capek.’’ Keluh Citra sedikit


merasa pegal-pegal linu. Iapun langsung menurunkan adiknya dari
gendongan. Mereka lalu terus mencari sang ibunda. Seharusnya ibu
mereka itu sudah tiba dan turun dari pesawat sedari tadi.

Citra kemudian menoleh kesana kemari, tak ada tanda-


tanda bahwa ibunya sudah datang. Tapi tak lama kemudian, agak
jauh, disana Citra melihat seseorang yang tengah menyeret koper
merah yang sepertinya ia kenali. Orang itu terlihat sedang
menunggu seseorang. Sekali lagi Citra memastikan dengan
menajamkan pandangan.

38
‘’Itu dia, tak salah lagi,’’ kata dia yakin. Iapun menarik pelan
tangan Nara tak sabar ingin segera menemui orang itu. Nek Gini
dan man Anip saling pandang. Mereka lalu tersenyum bersama
begitu mengetahui kalau Ijah ternyata sudah datang.

***

Tanpa sadar, Nara yang belum menyadari kehadiran ibunya


itu tampak biasa-biasa saja, ia hanya merasa heran melihat
kakaknya yang senyum-senyum sendiri kearah sesuatu. Sejurus
kemudian tiba-tiba tangan halus nan lembut mendekap dan
menggendongnya dari belakang, Nara kaget bukan main.

‘’Wahaahh… kak Citra... tolong…!!!’’ teriaknya tak


mengerti, ia memberontak sekuat tenaga, mencoba untuk lari. Citra
terkekeh melihat adiknya yang ketakutan seperti itu. Bahkan dilihat
dari nada teriakannya, Nara seperti mau menangis. ‘Ia pikir ia
sedang diculik apa’ pikir Citra.

‘’Itu ibu kamu Nara, Ibu kita!!,’’ kata Citra sedikit tersenyum
memberi tahu. Nara tersentak, ia menoleh kebelakang melihat siapa
orang yang saat ini tengah berusaha menggendongnya. Sekilas
wajah orang itu terlihat mirip orang Cina. Kulitnya putih bersih dan
matanya agak kesipit-sipitan. Nara berpikir, ‘’Jadi… diakah orang
yang selama ini senantiasa kak Citra dongengkan kepada dirinya
setiap kali menjelang tidur?’’

39
‘’Ibu kakak bilang…?!!’’ sebutnya hampir tak percaya.

Mata Ijah sedikit berkaca, ia berpikir bagaimana Nara bisa


ingat dan mengenali wajahnya sementara ia sendiri meninggalkan
dia sebelum dia bisa berjalan. Kendati demikian, perasaan rindu,
sayang, perasaan bersalah dan semua pilu menumpuk jadi satu
seakan mengupas seluruh isi hatinya. Perasaan itu menitik beratkan
pada bendungan air mata yang tak tertahan lagi.

Nara hanya diam seribu bahasa saat sang ibu menciumi


kedua pipinya. Ijah lalu menyeka air matanya sendiri. Menurunkan
Nara dari gendongannya kemudian iapun sedikit berjongkok
setinggi bahu Nara.

‘’Nara udah makan?’’ tanya wanita mirip orang Cina itu


perhatian. Nara tak menjawab. Ia masih merasa asing dengan orang
sedang memegangi pundaknya itu. Belum kenal betul.

‘’Apa aku boleh memanggilmu, ibu.’’ Pinta Nara memelas,


pandangannya menunduk malu karna belum terbiasa.

‘’Tentu saja boleh-lah nak, ibu kan ibunda kamu,’’ kata ijah
mengiyakan.

‘’Selama ini yang Nara anggap sebagai ibu adalah mbak


Citra, ia yang selalu menjaga dan senantiasa merawat Nara setiap
harinya. Saat Nara sakit, mbak Citra juga yang mengantarkan

40
periksa, Mata Nara ini sering kelilipan, bunda. Selalu mbak Cita
yang membantu meniupkan,’’ panjang lebar Nara bercerita. Ia juga
menceritakan bagaimana ia bertengkar dengan gadis kecil yang
menabraknya di sekolah tadi, menurutnya gadis itu lumayan
cerewet, tapi ada kesan lain saat ia melihat pupil mata gadis itu yang
berwarna biru. ‘’Dia satu-satunya temanku yang bermata biru,’’ kata
dia, tetap dalam gaya bahasa cadel.

Ijah menatap Citra, Anip lalu nek Gini bergantian. Air mata
mereka sedikit berlinang bahagia tak jauh berbeda dengannya. Nara
pasti mengalami masa-masa sulit saat ditinggal pergi, putra
bungsunya itu pasti juga sering ditinggal ke sawah untuk bercocok
tanam oleh man Anip dan Nek Gini. Citra sendiri biasanya sibuk
sekolah, sejak kecil Nara benar-benar harus bisa hidup mandiri di
tengah-tengah ekonomi yang serba pas-pasan.

Setelah saling melepas rindu, Ijah menuntun Nara untuk


pulang. Tas koper merah besar yang berisi barang-barang dan
berbagai pakaian Anip bawakan menuju bagasi mobil. Di parkiran
sana pak Kartoyo masih tertidur lelap. Citra melirik jam tangannya,
pukul 11.50 mendekati pucuk malam. Perjalanan dari kota Malang
ke Surabaya tadi menghabiskan waktu sekitar tiga jam, berarti
mereka akan tiba di rumah nanti sekitar jam 3 dini hari. ‘’Huuft...
Perjalanan yang benar-benar melelahkan’’ batin Citra.

***

41
3

Mahabbah, Disihir Cinta

Desir angin berembus sejuk dari hujung timur ke hujung


hilir. Deru ombak air laut mengikis bebatuan karang, buih-buih
cipratannya sebagian tertinggal di pinggiran. Awan pekat mengepul
tinggi di langit seakan kapas putih yang bersinar keperakan
menghiasi birunya cinta. Dipesisir pantai itu, sepasang insan
berlainan jenis tampak begitu asik bercanda dan bersuka ria

‘’Sulaiman, kejar aku!!!’’ teriak Citra berlari disela-sela deru


ombak dan semilir angin yang berembus kencang.

‘’Awas yah, aku pasti akan menangkapmu,’’ janji Sulaiman


sambil mengambil langkah tuk mengejar.

Mereka saling berlarian, jejak kaki mereka yang tertinggal


kemudian tersapu ombak perlahan. Citra berbalik menyiprati
Sulaiman dengan air, senyumnya yang manis tampak kelihatan
begitu cantik di sela-sela bulir air yang mengarah tepat ke wajah
Sulaiman. Pemuda itu menepisnya, sesaat kemudian belum sempat
Citra kembali berlari, hanya beberapa langkah dari posisinya berdiri,
pria itu sudah berhasil menerkamnya.
42
‘’Kena kau,’’ kata Sulaiman menyeringai nakal.

‘’Ciihh... sial banget sih,’’ keluh Citra sambil berusaha


melepaskan dekapan tangannya. Pria itu tetap mendekap erat Citra
dari belakang, malahan semakin erat dekapannya membuat Citra
sedikit sesak di dadanya menahan perut yang tertekan oleh
pergelangan tangan pria itu.

Tawa mereka terdengar menggelegak, canda tawa keduanya


seakan memecah kesunyian fauna pantai. Sulaiman melepaskan
dekapan tangannya begitu Citra menyerah.

‘’Hahaha... apa boleh buat, aku menyerah’’ kata gadis itu.


Sulaiman tersenyum melihat mangsanya mudah sekali takluk.
Sejenak mereka saling pandang, mata mereka seakan terkunci dalam
satu tatapan. Suatu tatapan yang seketika amat serius. Sebuah
tatapan yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, seakan rasa
mengajak mereka untuk bicara dengan gaya bahasa hati masing-
masing.

Degup jantung dalam diri Citra kian berpacu seiring dengan


sentuhan mesra tangan Sulaiman yang membelai lembut wajahnya.
Seiring dengan hiilir angin yang berembus kencang menerpa wajah
mereka, baju merekapun berkibaran laksana bendera merah putih
yang baru saja merdeka. Wajah mereka kemudian saling
berdekatan, pria berkulit bersih itu lalu berbisik mesra di dekat

43
kening Citra. ‘’Aku mencintaimu, maukah kamu menjadi ibu dari
anak-anakku, aku benar-benar apa adanya.’’

Citra terdiam, darahnya berdesir risau tak menentu, pipinya


bersemu merah merona tersipu malu oleh penuturannya yang
terdengar begitu frontal dan sangat terbuka. Seingatnya, baru
kemarin mereka saling mengenal, kecakapan diantara keduanyapun
cepat terjalin, dan mereka mudah sekali akrab. Ketampanan dan
keramahan wajah lelaki dihadapannya itu membuat Citra sedikit
salah tingkah.

Kini Sulaiman berniat mengambil langkah serius, entah


mimpi kesamber apa pria itu semalam. Citra tak mengira kalau dia
benar-benar tulus.

‘’Gimana Citra, apa kamu mau?.’’ Sulaiman kembali


bertanya, gadis itu nampak masih bingung.

‘’Eh?? Ee... a, a, aku??.’’ ucapan gadis itu amat tergugu, ia


bingung harus menjawab apa.

Sulaiman membuang pandangannya kelaut. Dari atas,


sengatan mentari kian menusuk ubun-ubun. Sulaiman tahu, diusia
Citra yang masih berumur 15 tahun ini tidak akan siap menjawab
pertanyaannya sekarang. Menyadari hal sebodoh itu, Sulaiman
tersenyum kecut pada suasana.

44
‘’Aku mengerti, kamu masih ingin fokus belajar, bukan?,’’
tanya sulaiman sok menebak. Gadis itu membalasnya dengan sedikit
mengangguk.

‘’Mungkin, kamu tak harus menjawabnya sekarang, tapi


satu hal yang mesti harus kamu tahu, aku sangat mencintaimu dan
aku bersedia menunggumu sampai kapanpun. Jadi, berusahalah
menjadi gadis yang bijaksana,’’ kata Sulaiman sambil beranjak pergi.

Citra berusaha tuk mengejarnya, namun langkahnya


terhenti saat kakinya tersandung ombak kuat setinggi lutut dari
belakang. Dengan cepat, ombak itu menyeretnya ketengah. Ia
berusaha berteriak minta tolong, namun tak satupun ada yang
mendengarnya. Sulaiman cepat sekali berlalu menghilang ke semak-
semak jauh.

Sekali lagi Citra berusaha minta tolong, suaranya terdengar


putus-putus tersedak air garam. Semakin terpontang panting tubuh
sintalnya terseret air laut dan akhirnya tenggelam seutuhnya.

Dikedalaman laut yang serba biru pekat itu, sayu-sayu mata


Citra melihat banyak ikan berkepala babi dalam gelap
mencekamnya air laut, entah ia salah lihat atau bagaimana, ikan-
ikan itu mengerubunginya ganas. Dari hidung Citra keluar
gelembung-gelembung pernafasannya yang semburat naik keatas.
Hanya beberapa senti dari permukaan, Citra berusaha menendang-
nendang mencoba tuk berenang, tapi pergelangan kakinya terasa
45
perih sehingga ia kesulitan untuk bergerak keatas, bercak darah
kemudian menyebar, sepertinya kaki dia sedang terluka. Terasa air
laut semakin menambah perih yang dirasa.

‘’Ukhukk... Ukhukk...!!’’ ia mulai terbatuk kehabisan nafas,


mulutnya yang sedikit menganga, membuat air garam mengalir
deras melalui sela-sela bibirnya. Ia berusaha sekuat mungkin
menahan nafas,

‘’Aku tak boleh berakhir disini, ini pasti mimpi, aku harus
bangun dari tidurku,’’ batinnya menolak cerita.

Ikan-ikan berkepala babi itu kian mendekat, dari


segerombolan ikan itu, ikan yang paling besar tampak menyeringai
ingin ambil bagian mengkoyak daging Citra lebih dulu. Di
kedalaman air laut itu, Citra nampak berusaha berteriak sekuat
tenaga begitu ikan-ikan tadi menggigitnya.

‘’Aaaaaaaarghhhhh...!!!’’

***

‘’Tiiiidaaaaaaakk...!!’’ Teriak Citra melonjak kaget, ia bangun


dengan napas yang memburu. Bulir-bulir keringat sebesar biji sawi
mengalir deras melalui sela-sela keningnya. Nafasnya tersenggal-
senggal seakan habis dikejar setan.

46
Menyadari yang terjadi barusan hanyalah mimpi, Citra
mengusap bulir keringatnya dengan ujung jari sambil menghela
nafas merileks-kan salbut pikirannya. Disebelahnya, ibu dan
adiknya nampak masih tertidur lelap. Citra menyingkap selimut lalu
beranjak membuka jendela. Diluar kabut tipis masih menyelimuti
panorama fajar. Udara dingin kemudian berembus sejuk kedalam
pori-pori. Gadis itupun bergegas kekamar mandi hendak bercuci
muka.

Tetesan air terdengar bergeming dari kran wastafel dapur


yang sekidit lecet nan seret. Gema suara adzan subuh kemudian
terngiang menyapa kota Malang. Mendengar itu, Citra segera
mengambil air wudhu’. Sesekali sambil mengaca, hati kecil gadis
itupun berbicara.

‘’Ya Allah, mimpi apa aku barusan? Rasanya, seperti


kenyataan,’’ batinnya mengira.

Belum juga selesai wudhu’, suara iqomah berlangsung


menyusul cepat, buru-buru Citra menyelesaikan wudhu’nya. Dalam
hati ia masih diselimuti rasa heran akan mimpi itu.

‘’Sejak kapan aku jatuh cinta pada Sulaiman. Seingatku,


seminggu lalu tembakan darinya aku tolak,’’ pikirnya.

‘’Sudahlah Citra, lupakan saja, lagi pula itu hanya mimpi.


Sekarang kamu mesti membangunkan ibu dan adek untuk shalat

47
subuh,’’ kata nuraninya berbicara. Suara bisikan hati itu seakan
berkomunikasi dengan dirinya sendiri dalam kalutnya.

Sejurus kemudian ia segera menuju kamar berganti mukena.


Tak lupa pula ia membangunkan Nara dan ibunda tercinta yang
beberapa hari yang lalu baru saja pulang dari luar negri itu untuk
diajak shalat berjama’ah. Dalam keheningan subuh itu, Citra
berbisik khusyu’ dikening sajadah.

‘’Ya Allah, lindungilah hamba-Mu yang lemah ini dari dera goda
dan tipu daya. Jadikanlah setiap anugerah kecantikan yang Kau
berikan padaku ini sebagai sumber keberkahan yang kelak kan
menuntun hamba menemukan cinta sejati yang Kau Ridhoi
nantinya. Bukan cinta yang justru menjauhkan diriku dari cahaya
Cinta-Mu. Ya Allah, Hamba juga berharap, semoga mimpi tadi
hanyalah sebatas bunga tidur nan tak berarti.’’

Pagi nanti ada acara wisuda di sekolah, Citra harus


mempersiapkan diri. Hati kecilnya nampak berbunga bertabur sedih
mengingat acara itu akan menjadi moment terindah sekaligus
moment tersuram baginya. Ia harus berpisah dengan teman-teman
semasa perjuangan. ‘Dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan’
demikian orang bijak berkata. Sekarang Ia bingung hendak
melanjutkan kemana.

48
Sehabis shalat , ibu Citra beranjak ke dapur. Sementara Nara
kembali tidur diatas tikar disebelah kakak perempuannya itu. Citra
membuka mushaf Al-Qur’an lantas membacanya.

‘’Bismillaahir Rahmaanir Raahiim.’’ Suaranya terdengar


melantun merdu memecah kesunyian. Lambat laun matahari dari
timur bergerak cepat menyongsong kaki langit dengan
panoramanya yang merah kekuningan. Semakin naik matahari itu
semakin kuning menyala cahayanya, bak kuningan telur diatas
langit yang semakin bersinar kian cerah silaunya.

Suara tumisan kangkung terdengar ngiang dari kompor


dapur tempat ibunya memasak, sesaat bau sedapnya menyeruak
masuk ke hidung Citra, membuat cacing dalam perut gadis itu
seakan memberontak kelaparan. Citra menyudahi bacaannya, ia
mengusap mushaf itu pada wajahnya.

‘’Shodaqallahul Adziem...’’

***

Suara gemuruh tepuk tangan terdengar riuh bersorak-sorai


menyambut prestasi setiap wisudawan yang disebutkan. Citra segera
menaiki panggung kehormatan sebagai peringkat pertama
seangkatannya. Dengan mengenakan pakaian toga, penampilannya
begitu mirip dengan para mahasiswa yang seolah telah meluluskan
jenjang pendidikan dibangku kuliah.

49
Berbalut dengan make up tipis, dihiasi dengan bulu mata
pasangan yang lentik, ia terlihat seperti ratu bidadari kecil yang
tengah berdiri memakai mahkota toga.

‘’Mbak Citra...!!!’’ teriak Nara kecil sambil melambaikan


tangan ditengah-tengah keramaian banyak orang, adiknya itu
tampak berdiri diatas kursi tepat disebelah ibunya. Citra tersenyum
ringan pada semua orang, termasuk adiknya yang terlihat dari atas
panggung.

‘’Fadhil, kamu tahu, itu kakakku loh…,’’ ujar Nara berbicara


pada bayi kecil disebelahnya. Ibu bayi itu hanya tersenyum lucu
melihat Nara yang mengajak bicara anaknya.

‘’Nara kelas berapa bu?’’ tanya ibunya Fadhil pada Ijah.


Belum sempat Ijah menjawab, Nara langsung menyahut,

‘’Kelas 2 SD budhe,’’ jawab Nara, suaranya terdengar renyah


khas anak-anak.

‘’Wah, uda kelas 2 ternyata’’ kata ibu itu. Nara membalasnya


dengan mengangguk.

Bu Ijah mendekap bangka anaknya…

‘’Kecil-kecil gini nakalnya minta ampun buk, sie Fadhil


sendiri sudah umur berapa,’’ tanya ibu Nara.

50
‘’Masih baru berumur 6 bulanan,’’ jawabnya.

***

Sepasang mata tampak mengawasi Citra dari jauh, agak tak


jelas mulut pemuda yang menyeringai jahat itu seakan membaca
sesuatu. Sekilas Citra melihat pemuda itu berpindah posisi menuju
sudut panggung. Ia tahu persis siapa pemuda itu, seorang yang
dalam mimpinya semalam sempat menyatakan cinta padanya.
Pemuda itu sempat tersenyum penuh maksud sebelum akhirnya
pergi berlalu.

Tiba-tiba...

Suara teriakan histeris membuat gaduh suasana, dari atas


panggung sana pak Kholili nampak sedang membopong tubuh Citra
yang jatuh pingsan. Entah kenapa gadis itu tiba-tiba roboh tanpa
sebab yang pasti.

Semua orang terlihat begitu panik, pak Kholilipun segera


membawa Citra keruang peristirahatan. Tiga staf dewan guru
tampak mengikuti kedua orang tersebut dari belakang.

‘’Tolong ambilkan segelas air,’’ perintah pak Kholili entah


kesiapa saja yang berkenan.

Pak kholili membaringkan tubuh Citra diatas kursi, tubuh


gadis itu tergolek lemas nan tak berdaya. Suhu dikeningnya sangat

51
panas. Sejenak pak kholili membenahi tata letak kopyahnya. Sambil
menunggu segelas air datang, kepala sekolah sekaligus guru yang
mengajar bahasa arab itu wara-wiri mengkhawatir kondisi murid
kesayangannya.

Wajah guru itu terpaut senang saat melihat gerak jemari di


tangan Citra mulai berkedut-kedut sadar. Tak lama kemudian Bu
Badriah datang membawa segelas air hangat.

‘’Ini airnya pak,’’ kata guru Seni Budaya itu sambil


meletakkan segelas air diatas meja.

‘’Terima kasih bu,’’ balas pak Kholili.

Citra mencoba duduk, kepalanya terasa pening. Pak kholili


kemudian membantu menyanggah pundaknya sambil
menyuguhkan air minum.

‘’Ini minum dulu,’’ kata beliau.

Citra tak berucap, bibirnya begitu cepat meneguk air hingga


melewati tenggorokannya yang kering. Kepalanya masih terasa
pening, ia mencoba memijit jidatnya yang tak lagi memakai mahkota
toga tapi tetap berjilbab .

‘’Gimana Citra sudah mendingan?’’ tanya pak Kholili yang


mulai duduk disebelahnya, tangan guru itu tak menyanggah bahu
Citra lagi.

52
‘’Nggeh pak, Alhamdulillah, terima kasih,’’ jawab dia sopan.

Ibu Citra kemudian datang sambil menggendong adik


kecilnya. Singkat cerita Bu Ijah membawanya pulang dan segera
menyuruh putri sulungnya itu untuk istirahat. Kejadian itu cepat
sekali berlalu, mungkin Citra sedang kecapek’an, ia tertidur pulas
dikamarnya dalam waktu yang lama.

***

Matahari Senja bergerak lambat seakan laju keong emas


yang merambat kepenghujung langit. Merah memar cahayanya
bagai lampu pijar. Dalam sekejap sinarnya itu merubah biru langit
menjadi nuansa mega merah berjingga. Terlihat awan-awan diatas
langit itu menambah tentram suasana, seperti sapuan kanvas dengan
lukisan panorama terindah dari Tuhan yang patut setiap insan
syukuri.

Citra masih tidur, tapi sayu-sayu matanya melihat Nara


bermain, gadis itu tak peduli, kepalanya masih terasa pusing.
Sepulang dari wisuda tadi Citra hanya istirahat tidur dikamarnya
seharian.

Nara berusaha membuka jendela kamar kakaknya, tiga


bantal ia susun agar ia bisa berjinjit dan melihat keluar, kakinya
mulai naik, berusaha ia melihat anak ayam yang terdengar dibalik

53
jendela kamar itu, tepat di bawahnya. Fantasi anak kecil itu suka
sekali pada anak-anak hewan ternak.

Sengatan matahari senja sedikit menerpa wajah Nara, di


samping rumahnya, ia melihat segerombolan ayam kecil lengkap
dengan induknya sedang mematuk-matuk mencari makanan.

‘’Kir.. kir.. kir.. hush, hush.. sini cik, sini!’’

Nara berusaha memanggil anak-anak ayam itu dengan


sebutan ‘Cik’. Induk dari anak ayam itu kemudian mendongak
seakan mendengarnya. Buru-buru Nara bersembunyi dibalik tirai
jendela mengajak induk ayam itu bergurau.

Nara mencoba turun dari tumpukan bantal yang ia buat,


anak itu kemudian terjatuh begitu kakinya tersandung pengait
bantal yang belum terikat.

‘’Aduuhh...!’’ keluhnya sakit.

Diatas dipan di dekat Nara terjatuh itu, mata Citra mulai


terbuka. Ia melirik lemah kearah adiknya yang masih tersungkur
diatas lantai. Kepalanya masih terasa pusing, sambil memegangi
kepalanya, kakaknya itu berujar pelan.

‘’Kenapa Nara?’’ tanya Citra pelan dengan suara yang nyaris


tak terdengar.

54
Nara mencoba bangkit, ia lalu tersenyum senang begitu
melihat kakaknya sudah bangun.

‘’Ayam-ayam disitu sangat lucu kak,’’ kata Nara.

Citra tersenyum pura-pura ikut senang mendengarnya. Tak


lama kemudian ibu mereka datang membawakan dua gelas teh
hangat.

‘’Citra, Nara... ini ibu buatin teh hangat.’’ kata ibu mereka.

Mereka berdua langsung menyeruput teh hangat itu.


Diselingi tiupan-tiupan ringan, Nara merasa teh itu terlalu panas
untuknya. Bibirnya yang manyun terlihat monyong meniupi.

Seteguk setelah Citra menghabiskan segelas teh itu, ia


menghela napas mencoba tuk bercerita.

‘’Ibu, sebelum aku pingsan tadi aku melihat ikan berkepala


babi hendak menggigitku, sebelumnya aku juga melihat Sulaiman
entah membaca apa, tapi begitu lelaki itu pergi kepalaku langsung
pusing dan akhirnya aku jatuh pingsan.’’ kata Citra.

‘’Yaudah, sekarang kamu mandi dulu abis gitu shalat, kamu


belum shalat ashar kan? Nanti malam ibu akan membawamu ke
kediaman gus Ahmad, siapa tahu beliau bisa membantu,’’ tutur Ijah.

55
Belakangan ini Citra memang sering mengalami hal-hal
yang aneh, mulai dari mimpi hingga kejadian tadi siang. Ia merasa
pusing tiap kali melihat tatapan mata Sulaiman. Ada hasrat ingin
memeluk yang tiba-tiba menjalari nalurinya sebagai perempuan.
Entah gadis itu benar-benar tulus mencintainya atau bagaimana.

***

Setibanya dirumah Gus Ahmad, Citra langsung terduduk


lesu, mimik wajahnya terlihat lelah. Pucat dibibirnya menandakan
kalau ia kurang enak badan. Ijah menjelaskan panjang lebar perihal
ihwal yang selama ini menimpa putrinya itu. begitu selesai bercerita
Gus Ahmad langsung mengajak Ijah dan Citra ketempat peshalatan.
Tempat yang lebih khusus.

Citra duduk diatas dipan berhadapan dengan Gus Ahmad,


sementara Ijah duduk bersampingan dengan beliau. Mereka
mengamati anak remaja didepannya. Pandangan gadis kembang
desa ini seakan terlihat kosong akan selembar tikar yang
didudukinya.

‘’Aku melihat aurah hijau berpijar di dahinya,’’ kata Gus


Ahmad berbisik pada Ijah.

‘’Apa artinya itu Gus?,’’ tanya Bu Ijah kemudian

‘’Apa putrimu pernah mengamalkan amalan sesuatu,’’

56
Ijah menggeleng tidak tahu.

‘’Selama ini, Citra adalah anak yang lugu, mana mungkin


dia paham akan amalan-amalan aneh seperti itu,’’ kata Ijah
memberi tahu. Nada suara mereka tetap berbisik.

‘’Aku melihat ratu Nyi Loro Kidul bersemayam dalam diri


Citra,’’ ujar Gus Ahmad terang-terangan. Citra sedikit terkejut
mendengar hal itu. Kalau memang benar demikian adanya berarti
nyawa gadis itu dalam bahaya, boleh jadi ia akan dijadikan tumbal,
atau paling tidak ia akan dijadikan anak buah oleh sang ratu pantai
selatan itu.

‘’Coba kamu jelaskan tentang temanmu yang bernama


Sulaiman itu, Citra.’’ perintah ibu Ijah. Citra baru teringat dengan
pria kelas 2 SMA itu. Sambil menghela napas berat, iapun mulai
bercerita dari awal. Tampaknya Gus Ahmad mengerti akan maksud
dari cerita itu. Begitu Citra selesai bicara, Gus Ahmad langsung
beranjak menuju kamarnya, disana ada istri beliau yang tengah asik
membaca Al-Qur’an.

Beliau mengoleskan minyak misik pada telapak tangannya,


sambil membaca do’a tertentu dengan mata yang terpejam, beliau
menulis lafadz Allah pada telapak tangan sebelah kanan. Sambil
menghadap kiblat, beliau lalu memanggil Citra.

57
Agak jauh dari tempat pesholatan, Citra bergegas
menghampiri beliau begitu mendengar namanya dipanggil. Sesaat
sebelum memasuki kamar, degup jantung Citra kian berdentum
kencang, namun dengan sekali hela napas, ia menyibak tirai gorden
selambu kamar itu penuh percaya diri.

Dengan sopan Citra mengambil posisi duduk diatas


selembar tikar tua yang dilapisi sajadah kecil yang terdapat disitu.

‘’Sini nduk...!’’ kata beliau menyuruh Citra sedikit mendekat.


Gadis itu hanya menurut. Jempol dingin beliau menekan kening
Citra, empat jari lainnya beliau lekatkan diatas kepala gadis yang
dibalut jilbab bermotif bunga. Mata Gus Ahmad kembali terpejam,
dari mulutnya terdengar berbagai macam bacaan shalawat.

Citra melirik keatas, jempol beliau terasa mengurut, diselingi


dengan bacaan do’a, beliau kemudian meniup ubun-ubunnya pelan.
Guru dari ibunya itu entah bermaksud apa, tapi dalam pikiran
bawah sadar Gus Ahmad, beliau bermaksud mengusir ilmu jahat
yang bersemayam dalam diri Citra dengan cara yang halus, kalau
tidak bisa ia akan menggunakan cara kasar atau paksa. Tapi sebelum
itu beliau ingin tahu, siapa yang mengirim ilmu hitam itu dengan
menerawang kening Citra.

Citra sedikit bengong, Gus Ahmad kemudian menceritakan


siapa dalang di balik semua kejadian ini, lelaki bernama Sulaiman
yang dulu pernah mengisi kekosongan hatinya, adalah anak dari
58
seorang dukun yang bekerja sama dengan ratu pantai selatan untuk
memperoleh pesugihan. Tak terperi bagaimana rasanya mendengar
hal ini, ia benci kenapa ia juga diikut sertakan dalam rencana
jahatnya. Citra lantas keluar dalam keadaan menangis.

***

Malamnya, menjelang jam 21.30.

‘’Abah, itu tadi yang bersama Bi’ Ijah siapa?,’’ tanya Arif
pada abahnya.

‘’Itu Nara, umurnya masih 6 tahun,’’ jawab abah Ahmad


sekenanya.

‘’Bukan yang kecil itu abah, maksudku gadis yang keluar


dari kamar abah tadi?,’’

‘’Oalah... gadis itu, namanya Citra, masa kamu sudah lupa?,’’

‘’Masa’ abah? perasaan kemaren masih kelas 5 SD’’, kata


Arif tak percaya.

‘’Kamu sih lee, di kalimantan kelamaan mondoknya,’’

‘’Habisnya saya masih mau menyelesaikan S1 juga disana,


abah.’’ kata Arif nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. Gus Ahmad hanya berdecak heran. Putranya itu
beberapa tahun lalu telah lulus SMA disana.

59
‘’Tak seperti waktu kecil, Citra terlihat lebih cantik
sekarang,’’ kata Arif memuji kecantikan putri Bu Ijah itu tanpa
sadar.

Ada sesungging senyum penuh wibawa dibibir abahnya


begitu mendengar Arif berkomentar tentang kecantikan gadis itu.

‘’Kenapa lee... kamu suka sama dia?’’ tanya beliau blak-


blakan.

Pertanyaan abahnya itu membuat Arif sedikit kelabakan.


Bagaimanapun tebakan abahnya itu tepat sekali mengena kedalam
hatinya. Arif tak langsung menjawab, tenggorokannya terasa seret
untuk sekedar menelan ludah. Dengan nada yang tergugup putra
Gus Ahmad yang kini telah berusia 20 tahun itu mencoba mengelak.

‘’Mana mungkin abah, umur kami selisih 4 tahun, dia masih


terlalu kecil untuk aku sukai,’’ kata Arif berdalih memalingkan isi
hatinya.

‘’Abah dan Amy kamu ini malah selisih 12 tahun lee. Toh
akhirnya jodoh juga, rahasia Allah siapa yang tahu?’’ Kata beliau.

Kata-kata abahnya itu ada benarnya juga. Wajah Arif sedikit


tertunduk. Ia tahu kalau batas usia tidaklah menjadi acuan dalam
menegakkan hukum cinta dan sunnah kanjeng Nabi-Nya. Ia jadi
teringat dengan kisah Neng Siti Aisyah yang dinikahi baginda SAW.

60
ketika Neng belia itu masih berumur sekitar 9 tahun. Sejarah
mencatat cerita insan suri tauladan itu sebagai ajaran bagi kita,
betapa pentingnya bahwa cinta itu tak mengenal batas usia.

Arif mengusap mukanya sekedar kebiasaan. Dalam hati


terlintas kembali wajah Citra, entah dari mana perasaan itu tumbuh.
Yang jelas, ia hanya ingin meniru kanjeng Nabi dan Neng Siti Aisyah
yang gandrung terbuai kasmaran. Tak mengenal batas usia dalam
mencintai, selama masih dalam koridor dan kodrat-Nya yang maha
Kuasa, Terkadang keromantisan mereka terlihat saat sang baginda
memanggil dia dengan sebutan, ‘’Yaa Humaira... Wahai gadis yang
berpipi kemerah-merahan.’’

Arif membayangkan wajah si putri Aba Bakr itu pasti


tampak merah merona penuh tersipu. Neng Siti Aisyah kemudian
membalasnya dengan ‘’Labbaika Ya Rasulallah... Iya duhai Utusan
Allah?!!’’ jawabnya mesra, seakan bertanya tentang ada apakah
gerangan. Kedua insan hamba pilihan terbaik Allah itu tampak
bersuka ria nan penuh ceria di kesehariannya. Hamparan bumi
terasa begitu sejuk diberkahi beribu serpihan cinta dari mereka.
Hingga kini, kesegaran cinta mereka masih terasa.

***

Pagi itu langit menangis, pepohonan rindang di belantara


belakang rumah menjadi saksi akan perahu kertas yang saat ini
tengah meluncur terdayung arus sungai. Ikan-ikan di dalamnya
61
turut menyertai laju perahu itu menuju ke sebuah tempat di
seberang desa. Seseorang kemudian mengambilnya saat perahu
kertas itu menyangkut ditepian. Ada tulisan di dalamnya;

Diary Citra, Sunday 17 February 2005

Aku tak mengira, orang yang slama ini aku kagumi, tega
menggunakan ilmunya padaku. Apa salahku padanya Diary?
Padahal seminggu lalu aku menolak cintanya bukan karna aku
benci, melainkan aku hanya ingin fokus belajar. Aku sangat
mencintainya, tapi apakah ada cara lain yang sekiranya bersih
baginya untuk mendapatkan hatiku?

Hari ini aku benar-benar kecewa, Diary. insiden memalukan


yang terjadi siang tadi cukup membuatku malu didepan khalayak
ramai. Terlebih saat kutahu dari guru ibuku kalau aku bisa saja
dijadikan tumbal seandainya ia tak kuat akan ilmunya, aku jadi
benci dia wahai Diary, benar-benar sangat benci...!!

Mulai hari ini atau mungkin selamanya, ia tak akan mendapat


simpati dariku, aku sungguh muak melihat wajah munafiknya.
Sudah cukup hatiku dibuatnya terluka, semoga ia puas akan
perbuatannya selama ini.

Diary...Aku tak ingin kejadian ini terulang kembali. Hatiku


benar-benar sakit Diary!!!, sungguh aku tak tahan membendung air
mata...!

Malang, 21.15 WIB.

To: Sulaiman.

62
Orang itu merobek-robek kertas yang sehabis dibacanya
tadi begitu menyadari kalau penulisnya adalah Citra, dan yang
paling mengejutkan adalah kalimat dalam tulisan ini secara tidak
kebetulan memang ditujukan kepada dirinya.

‘’Siaaaalll...!!!’’ lenguh pria itu pada kegagalan. ‘’Dari mana


Citra bisa tahu kalau aku menggunakan ilmu peletku pada dia,’’ pria
itu mengeram dan mengacak-acak rambutnya berantakan. Ia tak
mengira kalau Citra juga memiliki guru spiritual. Benar-benar tanpa
dugaan yang terencana.

Alasan mengapa Citra menolak cinta pria berkedok putra


dukun itu adalah, sebab Citra ingin fokus belajar. Pihak keluarga
juga banyak mengawasi, jangan sampai bidadari bernama Citra ini
jatuh ke dalam jurang penuh maksiat, karna untuk seukuran gadis
seusia Citra, bisa dibilang kalau dialah yang paling cantik.

Sejak saat itu Citra tak bisa dihubungi. Gadis itu sengaja
mengganti nomor hpnya untuk menutup semua komunikasi
dengannya. Rasa cinta yang sempat membara di hati gadis itu kini
telah padam dan menghalu berbanding terbalik 180 derajat dari
perasaan cinta menuju benci. Sejak saat itu pula mereka tak pernah
bertemu, membuat hidup Sulaiman menjadi semakin liar bak semak
belukar rerumputan berduri yang menjalar tak tentu arah lagi
berantakan. Ia tetap bergerak tanpa pegangan hidup.

***
63
4

Timing Back To School

7 Tahun kemudian...

Senja...

Kilau merahmu sebentar lagi padam

Adakah sisamu tuk malamku nanti

Bukankah malam nanti gelap?

Dan dengan itu mata kecilku tak dapat melihat?

Aku takut meringkuk kesepian tanpamu, Senja.

Senja...

Melihatmu aku jadi teringat ibu

Kau tau dia sedang apa, Senja?

Dibelahan dunia sana... aku yakin,

Dia pasti sedang memikirkanku

Atau mungkin, dia serba sibuk, Senja?

Hingga tak ada waktu luang baginya tuk mengabariku.

64
Senja...

Bolehkah aku memeluk hangatmu

Kenapa mega merahmu kian redup?

Apa kau marah? Kenapa kau pergi?

Dunia mulai menggelap, Senja.

Mengertilah aku tinggal sendirian disini

Tanpa hangatmu, terasa dingin...

Tanpa senyummu, aku menggigil...

Sinarilah aku lebih lama lagi, Senja.

Aku ingin kau jadi temanku...

25 Juni 2012

Tinta Hitam Pangeran Berdarah Cinta@Nara Sebungkus

65
‘’Waw...!!’’ Feby berdecak kagum saat membaca puisi di
secarik kertas yang ia temukan di dekat tong sampah itu. Di sudut
kertas tertulis, ‘’Tinta Hitam Pangeran Berdarah Cinta@Nara
Sebungkus’’. Feby sangat geli membaca julukan itu. Selayang
pandang ia menoleh clingak-clinguk mencari si pemilik kertas, siapa
tahu orangnya masih disekitar sini. Sebab Tanggal pembuatannya
adalah tepat pada hari ini.

Tak jauh dari situ, ia melihat kakak kelasnya yang tengah


menyapu halaman depan kantor sekolah, ‘’Mungkin puisi ini
karangan dia,’’, duganya sambil menghampiri lelaki berseragam
OSIS itu.

‘’Permisi, apa puisi ini milik kakak?’’ tanya dia.

Nara menoleh, gadis itu tampak asik membaca ulang tulisan


pada selembar kertas itu sekali lagi. Ia tak memperhatikan sama
sekali dengan siapa ia berbicara.

Feby tertawa renyah saat membaca ulang julukan itu ‘Nara


Sebungkus,’’ katanya melafalkan.

Nara kemudian sedikit terkejut mendengar julukan


konyolnya disebutkan, ‘’Kamu dapet kertas puisi itu dari mana?’’
tanya Nara sambil mendekati gadis berseragam pramuka itu.

66
‘’Dari situ...’’ tunjuk Feby memberi isyarat lirikan mata
kearah yang tak jauh di belakangnya. Saat gadis itu mengangkat
pandangan, tatapan mereka saling bertemu, saling bertabrak satu
sama lain. Sejenak mereka tampak saling mengingat sesuatu.

‘’Sepertinya kita pernah berjumpa disuatu tempat, tapi


dimana yah?’’ pikir mereka masing-masing.

Mereka saling menunjuk batang hidung lawan bicara


masing-masing begitu menyadari kalau siapa yang berada di
hadapan mereka adalah adik dari orang yang mereka kenal.
Merekapun mulai ingat akan kejadian waktu itu.

‘’Oohh... kamu?’’ kata mereka berbarengan.

Feby geleng-geleng tak percaya, rupanya mereka kembali


dipertemukan setelah sekian lama tak berjumpa. Sejak terakhir kali
Nara menabraknya, wajah Nara yang dulu dipenuhi bedak tebal
yang tak rata itu kini kelihatan begitulah berbeda. Nara juga merasa
demikian. Lagi-lagi Feby menggelengkan kepala begitu menyadari
kalau mereka akan berkumpul dalam satu atap di sekolah MTs
Miftahul Ulum ini. Tapi dalam hati gadis itu ada sedikit rasa kagum
juga padanya, seorang yang dulu pernah menabraknya saat ia masih
TK itu, pandai membuat puisi juga ternyata.

67
Feby menyodorkan kertas itu pada Nara, memberikan apa
yang seharusnya bukan menjadi miliknya. Tapi Nara kemudian
menolak.

‘’Buang saja kertas itu,’’ perintah dia merasa tak butuh.

‘’Kenapa mesti dibuang? Puisimu lumayan bagus.’’

Nara berhenti menyapu, masih ada banyak sampah yang


berceceran di sekitarnya. Sejenak ia menghirup udara segar,
bersamaan dengan tatapan matanya yang mengarah tepat keatas
langit, ia kemudian menghela napasnya pelan.

‘’Seringkali aku terjebak dalam perasaanku sendiri. Terjebak


dalam ruang penuh hampa, merasa sendiri dan terus merenungi
nasib hidupku yang kurang begitu bermakna. Aku suka membuat
puisi seperti itu, namun hanya sekedar untuk ditulis, lalu setelah itu
aku akan membuang hasil puisiku itu begitu saja,’’ tuturnya.

Kata-kata itu terdengar puitis, Feby kembali melirik ke


secarik kertas itu, ia menduga kalau Nara sedang merindukan
seseorang.

‘’Jadi, kau merindukan ibumu?’’ Tanya Feby menyelidik.


Nara tersenyum pertanda iya. Tapi dari senyumnya itu Feby
menemukan sedikit kekecewaan.

‘’Memang ibumu kemana?’’ tanya dia.

68
‘’Ibuku tak kemana-mana, hanya saja aku merindukan
ibuku yang dulu, semenjak ia menikah dengan ayah tiriku, sifatnya
jadi berubah. Ia seakan ibu jahat yang setiap hari selalu ingin
membentak dan memarahiku,’’ kata Nara curhat.

Feby mendengarnya dengan seksama, ia sungkan untuk


bertanya lebih jauh. Tampaknya isi hati lelaki di hadapannya itu
sedang menyimpan rasa duka.

‘’Ngomong-ngomong, sifatmu jadi berubah. Semenjak


terakhir kali kita bertemu, pupil matamu juga tak lagi biru seperti
dulu lagi’’ ujar Nara kemudian.

Feby tertawa renyah, membuat Nara tambah bingung.

‘’Aku tak memakai lensa, makanya mataku tak lagi biru. Apa
menurutmu aku begitu galak waktu itu?’’ Feby berbalik tanya.

‘’Sangaatt...’’ Jawab Nara singkat. Terdengar menyebalkan.

Feby menghela napas, gadis itu kemudian duduk di kaki


tangga yang kebetulan tak jauh dari situ. Sambil membenahi ujung
jilbabnya, gadis itu berujar

‘’Maklum, masih anak-anak. Aku juga tak mengerti kenapa


waktu itu aku bersikap begitu,’’ jawabnya. Ia bukanlah gadis yang
suka ngedumel cerewet seperti dulu lagi. Gadis itu telah menjelma
menjadi bidadari dengan bawaan yang begitu tenang.

69
Nara memperhatikan. Tak lama kemudian suara dering bel
terdengar nyaring, menandakan jam pelajaran pertama akan segera
dimulai. Buru-buru ia menyelesaikan piketnya. Feby kemudian
menghampiri.

‘’Yang bersih yah kak,’’ pesan gadis itu singkat.

Mata Nara kemudian terjebak dalam senyumnya yang


manis. Gadis itu seakan telah mengunci Nara dengan tatapannya
yang begitu bening, sebening air sungai yang mengalir. Gadis itu
menepuk pundak Nara pelan sebelum akhirnya pergi.

Gadis itu sudah tak kelihatan, tapi senyumnya masih


membekas ketinggalan. Nara kembali menyapu. Dalam butiran debu
yang beterbangan itu, senyum si gadis kembali melintas. Sulit Nara
tepiskan. Senyum itu seakan tetap diam dalam memory yang terus
berputar, tak bisa diusir pergi.

Hidung gadis itu kembali nongol dari balik pintu kelas 7A.

‘’Nama pean kak Nara kan?’’

Nara mengangguk cepat.

‘’Ada sebutir nasi di dekat hidungmu,’’ kata gadis memberi


tahu sambil kembali berlalu.

***

70
Jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Nara
menyiapkan pulpen dan selembar kertas untuk sekedar mencatat
uang tabungannya. Suasana kelas sangat ramai. Ia duduk di bangku
barisan kedua paling belakang, menyendiri. Dari balik pintu kelas
yang sedikit terbuka, nampak guru BK sedang berbincang hangat
dengan pak kepala sekolah. Entah apa yang sedang dibicarakan
mereka. Guru BK itu langsung masuk begitu pembicaraannya
dengan pak kepala sekolah selesai.

Suara berisik anak kelas 8a, hening seketika.

‘’Assalamu’alaikum Wr. Wb.’’ Guru BK itu menguluk salam

‘’Wa’alaikum Salam Wr. Wb.’’ Jawab semua siswa kompak.

‘’Maaf sedikit mengganggu, berikut nama-nama yang saya


panggil habis ini harap berkumpul dikantor madrasah, mengerti?,’’

‘’Mengerti Bu guruuu...’’ jawab semuanya serentak.

‘’Nara, Egha’, Mahfud, Tommy, Rafly, Kamsiah, Nurul, dan


yang terakhir Zaidah,’’

‘’Untuk Nara dan Zaidah kumpulnya diperpustakaan


bersama kepsek Pak Kholili.’’ Tambahnya.

71
Guru BK itu kemudian mengucap salam penutup. Dengan
langkah santai, ia beranjak pergi meninggalkan kelas. Dalam sekejap
suasana kelas kembali ramai.

‘’Hey? ada apa emangnya, kenapa aku ikut dipanggil?’’


gumam Nara bertanya pada diri sendiri sambil memainkan sebatang
pena dengan ujung jarinya. Ia menoleh kearah teman-temannya,
memperhatikan bagaimana mereka juga saling bertanya, bahkan
diantara teman-temannya ada juga yang terlihat plonga-plongo.

‘’Kira-kira ada apa yah, tumben kita kena panggil juga,’’


tanya Kamsiah pada Nurul, mereka duduk bersebelahan di bangku
paling depan barisan putri. Nara tak segera berangkat, ia masih
berpikir sambil menunggu teman-teman pergi kesana.

‘’Selamat berjuang Nara,’’ kata seseorang membuyarkan


lamunannya. Ternyata Egha’. Anak itu kemudian duduk di sebelah
Nara.

‘’Kemarin yang bilang ke Pak Kholili kalau kamu pandai


bahasa Arab itu adalah kami,’’

‘’Loh? Jadi namaku tadi??’’

‘’Pidato bahasa Arab!!’’ Mahfud berseru tiba-tiba dan


memotong pembicaraan. Ia mengambil tempat duduk di depan Nara.
Berhadapan.

72
‘’Hu’um,’’ Egha mengangguk.

Mahfud membenarkan tata letak meja di hadapannya biar lebih


tertata rapi. Pembicaraan pun biar terasa lebih nyaman.

‘’Menurutku, kamu cocok dengan lomba ini,’’ lanjutnya.

‘’Yaelah, lomba apaan?’’

‘’Pidato bahasa Arab lah,’’ jawab Mahfud dan Egha kompak.

‘’Duh, yang benar saja rek.’’ Keluh Nara.

‘’Emang kenapa Ra,’’ tanya Egha. Kepalanya tertekuk dan


tangannya bersandar diatas meja menyanggah pipi.

‘’Aku tak pandai pidato,’’

‘’Kemarin kami lihat kamu pinter banget ngajarin Kahfi,’’

‘’He’e...’’ kata Mahfud menimpali.

‘’Itu sih soal materi yah, kalau pidato mah aku mana bisa??’’

Egha tersenyum memungkiri, tetap terlihat optimis.

‘’Percaya diri lah... aku yakin kamu pasti bisa, sering-sering


latihan aja pokoknya,’’

Mereka bergeming sejenak...

73
‘’Kok malah pada bengong sih rek, ayo kesana, ntar
ketinggalan info lagi,’’ kata Egha’ membuyarkan lamunan mereka. Ia
kemudian menarik lengan keduanya dan mengajak mereka
berkumpul memenuhi panggilan tadi. Sejenak Nara mengajak
Zaidah. Egha dan mahfud lebih dulu berlalu. Nara lantas tersenyum
kecut. Sebuah senyum yang dipaksakan.

***

Nara merasa canggung, seumur hidup baru kali ini ia ikut


lomba. Di dalam bilik perpustakaan itu hanya ada dirinya, Feby, dan
Zaidah. Lebih gelisah lagi saat menyadari hanya dirinya yang laki-
laki di ruangan itu. Penjaga perpustakaan sendiri pergi entah
kemana.

Nara merasa kesulitan menelan ludah. tenggorokannya


terasa seret begitu gadis-gadis di hadapannya menatapnya lekat,
wajah kik-kuknya seketika menghiasi.

‘’Umm, Pak Kholili mana yah??’’ tanya Nara mengalihkan


suasana. Tangannya mengusap kening yang tak berkeringat.

‘’Tau tuh!! mungkin bentar lagi juga kesini,’’ keluh Zaidah.

Tak sampai setengah menit, yang ditunggupun akhirnya datang


juga.

‘’Sudah tahu apa maksud saya memanggil kalian kemari?’’

74
‘’Tahu pak.’’ jawab Nara mewakili.

Zaidah dan Feby mengangguk pura-pura mengerti.

‘’Baiklah, langsung saja,’’ kata Pak Kholili memulai acara inti


sembari memberikan lembaran-lembaran teks pidato pada mereka.

Nara meneliti lembaran-lembaran itu dengan tatapan


cermat, bola matanya berayun dari kanan ke kiri mengikuti lahjah
susunan bahasa Arab itu. Bahasa orang timur tengah.

‘’Busett...!!! mati aku...!!! gak ada harokatnya...!!!’’ batin Nara


merasa mampus.

‘’Kenapa Nara?’’ tanya pak Kholili saat melihat Nara


bertingkah aneh dan menepuk jidatnya pelan.

‘’Tidak ada apa-apa kok Pak, kirain ada nyamuk. Abisnya


tiba-tiba gatal sih,’’ jawab Nara beralasan. Kepalanya benar-benar
terasa pening akan huruf-huruf hampa harokat itu. Tulisan teks
pidato ‘bahasa Arab gundul’ istilah jawanya.

‘’Kita mulai dulu latihannya. Dimulai dari Feby, silahkan


maju!’’

Tanpa banyak tanda tanya, gadis itu maju. Rileks.

Feby membacanya. Sangat lancar. Suaranya terdengar mirip


gadis dari Amerika sungguhan, benar-benar fasih. Sejenak Nara

75
memperhatikan gerak-gerik tangannya, beraturan sesuai teks yang
dibaca. Seakan-akan ia mengerti akan maksud dan maknanya.
Mental gadis itu penuh percaya diri seakan membuat nyali Nara
menciut seketika. Wajah Nara kemudian menunduk, tatapannya
nanar melihat lembar teks yang dipegangnya. Dalam kalutnya ia
bingung harus bagaimana. Ia tak bisa sedikitpun membaca teks itu
tanpa bantuan harakat. Bisa sedikit. Cuma di mukaddimahnya saja.
Ini situasi sulit, ia benar-benar tak bisa lari. Tangannya gemetaran.
Grogi.

***

Seminggu kemudian, tibalah saatnya Nara dan kawan-


kawan berangkat lomba. Dengan persiapan yang cukup matang, kali
ini Nara lebih siap dibanding saat pertama kali latihan. Kak Arif
tunangan kakaknya, mengajarkan bagaimana cara berpidato yang
sip. Hati Nara berbunga bisa menguasai teks pidato yang telah
diharakati. Tentu dibantu oleh pak Khalili juga. Sejak saat itu,
sebagai seorang murid, Nara jadi sangat akrab dengan guru yang
namanya Pak Khalili itu. Tak sadar kalau Nara sendiri adalah adik
dari murid kesayangan beliau. Citra.

Di sepanjang perjalanan, tiada henti suara hati Nara


melantunkan sholawat, bibirnya meniru cerminan hati. Tak dia rasa
bibir itu sampai basah karnanya. Sambil menengok keluar,
pandangannya menembus jendela mobil ke jalanan. Tiba di

76
perempatan jalan barat stadion Kanjuruhan, mobil Kijang gold
melambat memelan seiring dengan haluannya yang berbelok ke
kanan, Pak Partho berbelok kearah sebaliknya. Dari sini jalanan
sangat lenggang. Memberikan peluang mobil yang di kendarai Pak
Partho melesat cepat hingga ketujuan dengan leluasa santai.

Mobil itu akhirnya berhenti di dekat tempat parkir.

‘’Ngebut kayak valentino rossy aja pak,’’ komentar Bu Lutfi


mengkiaskan ucapannya.

‘’Biar perwakilan dari Madrasah kita gak telat Bu, takut


malu-maluin,’’ jawab guru Matematika itu nyengir. Tangannya
sambil membuka pintu mobil hampir bersamaan dengan Bu Lutfi.

‘’Wah, gede banget sekolahnya, sekolah kita mungkin kalah


jauh,’’ kata Nurul begitu keluar dari pintu mobil.

‘’Hu’um, anaknya juga gede-gede ya, kayak sudah sokolah


‘Aliyah aja,’’ komentar Kamsiah menimpali.

‘’Opo ae rek, masih gedean belantara belakang rumahku.’’


kata Rafly sekenanya. Anak itu memang sudah terbiasa dengan
banyolannya yang terkesan casciscus.

Mereka saling berhamburan meninggalkan tempat parkiran.


Para peserta lain terlihat berlalu lalang banyak. Tangan Nara
kemudian mengepal penuh emosi saat ia mendengar ejekan,

77
‘’Miftahul Ulum anaknya kecil-kecil yah,’’ kata salah satu diantara
segerombolan peserta yang tak jauh dari mereka. Sesaat Nara ingin
menghampiri, memberi mereka sedikit pelajaran. Tapi niatnya
seketika runtuh begitu Feby memegangi pundaknya. Gadis itu
menggelengkan kepala ringan, bermaksud mencegah. Kepalan
tangan Nara merenggang lemas kemudian.

***

Nara dan Zaidah berjalan beriringan memasuki ruang


perlombaan. Di dalam ruangan itu sudah ada banyak peserta.
Agaknya mereka sedikit terburu-buru. Lomba sudah dimulai 15
menit yang lalu, hanya terlambat 15 menit. Tak masalah. Kluyur-
kluyur mereka berjalan cepat kebangku yang terlihat kosong belum
di tempati. Tatapan mata panitia mengikuti langkah keduanya,
sekedar melirik kearah mereka yang baru saja datang. Panitia tak
sampai mendiskualifikasi ataupun merolling mereka keurutan
paling akhir.

Nara menghela napas lega, ia duduk bersebelahan dengan


Zaidah. Tak ada yang mereka kenali di ruangan ini, persis saat
memasuki Miftahul Ulum pertama kali. Nara hanya menggosok-
gosok kukunya dengan ujung hasduk waktu itu, sekedar iseng-iseng
membersihkan kukunya itu dari butiran debu, biar lebih mengkilap.
Sekarang ia kembali melakukannya. Sedang Zaidah hanya

78
menunggu giliran maju sambil mendengarkan peserta lain
berceramah.

‘’Kamu siap, Dah?’’ tanya Nara basa-basi. Pandangannya


masih berpusat pada jari-jemarinya.

‘’Insya Allah, siap. Kalau kamu?’’ Zaidah berbalik nanya.


Sejenak gerakan tangan Nara terhenti, hitam di pupil matanya
kemudian beralih ke sudut atap langit.

‘’Eumm…? beri tahu gak yah…?’’

‘’Hee… dasar,’’ balas Zaidah merasa dipermainkan.

Nara tertawa renyah, ia kembali menggosok-gosok kuku dengan


ujung hasduk.

‘’Tsumma numratus tsalis, musytariq min Madrasatis


Tsanawiyah Miftahul Ulum Kanigoro, Fa’alaihi fal yatafaddhol,’’
kata panitia menggunakan bahasa arab yang artinya ‘’Selanjutnya,
nomor urut ketiga, peserta dari MTs Miftahul Ulum Kanigoro,
kepada yang bersangkutan dipersilahkan.’’

Tak ada yang maju, semua peserta terlihat diam, Mereka


hanya saling pandang heran. Panitia sampai mengulang ucapannya
lebih dari dua kali, tapi yang dimaksud sepertinya belum hadir.
Hampir didiskualifikasi, Zaidah langsung menarik bahu Nara agar ia

79
dapat melihat nomor urutnya. Terlihat begitu jelas angka ‘03’ yang
terpampang di bagian saku temannya itu.

‘’Kamu yang dimaksud numratus tsalisah itu Nara!!!’’ bisik


Zaidah geram dengan nada suara yang sedikit ditekan.

‘’Eh? Iyakah?’’ tanya Nara memastikan. Anak itu terlalu


fokus dengan kukunya, sehingga ia tak seakanpun mendengar suara
panitia yang bermaksud memanggilnya. Ia menunduk melihat
nomor urut di dadanya, terlihat angka ‘03’ yang terbalik. Sehingga
terlihat seperti angka paling akhir ‘30’…

‘’Masya Allah… aku masangnya kebalik, kukira nomorku


30,’’ kata dia sambil membenarkan kartu nomor pesertanya itu.

Nara kemudian berdiri hendak maju, tas abu-abunya ia


biarkan tetap diatas meja, sedang lembar teks pidatonya ia titipkan
pada Zaidah. Agak grogi. Ia mulai berjalan membungkuk sopan
lewat di depan staf dewan juri. Kakinya kemudian menjajaki podium
dengan langkah yang pasti. Grogi yang ditutup-tutupi.

***

Singkatnya lomba dalam ruangan itu telah usai. Hanya ada


32 peserta. Setiap pesertanya di beri waktu 7 sampai 10 menit-an,
jadi tak terlalu memakan waktu terlalu lama, hanya berkisar antara
3 sampai 4 jam-an. Habis itu, Nara dan peserta lainnya beranjak
bubar meninggalkan kelas. Entah setelah itu Zaidah pergi kemana.
80
Gadis itu mungkin berkumpul bersama teman-teman sesama
perempuannya di dekat parkiran mobil.

Nara termerenung sendirian diantara bongkahan batu kecil,


ia diam termerenung menatap sesuatu ditangan kanannya. Foto dia
sendiri. Sayap-sayap angin melambaikan dedaunan. Di bawah
naungan rindang pohon cherry, Nara tersenyum sendiri menatap
foto itu, foto semasa kecilnya. Terkesan begitu imut dan unyuk-
unyuk pipi tembamnya di foto itu. Sekarang tak lagi sama, Nara
beranggapan kalau dirinya bukan tipikal cowok yang ganteng.
Padahal, ada banyak cewek yang tertarik dengan dia. Tentu, karna
sikap, penampilan, dan wajahnya yang lumayan mendukung. Hanya
saja dia tidak menyadari.

Pikiran Nara seakan terhipnotis akan foto itu. Angannya


melayang entah kemana. Jauh melayang pergi keujung masa lalu.
Saat itu umurnya masih sekitar 1 tahun, baru bisa berjalan dan
berbicara. Ia melihat selengkangan ibunya bersimbah banyak darah.
Pamannya, Anip, membopong ibunya masuk ke dalam mobil
ambulance. Citra menggendong Nara kecil, membawanya ikut
masuk dengan langkah yang sedikit berlari.

‘’Ngiung… ngiung…ngiung…!!!’’ bunyi sirene ambulance


menerobos jalanan yang sedikit lenggang. Dua mobil taksi
menyamping, memberikan kesempatan si pengendara ambulance itu
menyalip.

81
Waktu itu Nara kecil memegang erat kerah baju kakaknya,
badannya berbalik melihat ujung belakang semampunya. Terlihat
wajah sang ibu itu sangat pucat. Dengan kondisi perut yang semakin
hari semakin membesar, perut ibunya itu mirip perut ibu orang
hamil 2 bulanan. Sungguh tak terperikan…

Penyakit tumor janin menyebalkan itu kembali lagi…

***

Nara membuang pandangan, menepis bayangan


mengerikan yang pernah menimpa masa lalu ibunya itu jauh. Hal
yang pernah membuat masa kecilnya begitu suram, ditinggal pergi
ibu untuk bekerja keluar negeri dalam waktu yang cukup lama,
demi melunasi biaya operasi. Padahal ia masih dalam masa
menyusui kala itu.

Tak jauh dari situ, Zainal tampak menghampiri…

‘’Woy,, ngapain bro? galau melulu,’’ sapa dia.

Nara tersenyum kearah temannya itu. Foto tadi ia masukkan


kedalam saku celana.

‘’Biasa, disini aku Cuma sekedar menghirup udara segar.’’


Jawab bocah berambut mirip Ariel-Peterpan itu.

Gema lantunan suara adzan kemudian terngiang melalui


corong spiker masjid. Memasuki jam shalat, para peserta kemudian
82
berhamburan memasuki ‘Rumah Allah’, tempat ibadah sekalian
umat muslim itu.

‘’Shalat dulu yuk,’’ ajak Zainal pada Nara.

Nara tak menjawab, ia langsung berdiri. Sebentar Zainal


mengelapi kaca matanya dengan ujung lengan baju dan
memakainya kembali. Nara dan Zainal kemudian berjalan santai
menuju masjid. Masjid di sekolah ini terletak paling ujung timur.

***

Didepan masjid kecil yang megah itu, mata mereka


kemudian menangkap sesosok gadis yang tak asing lagi bagi mereka,
sepertinya gadis itu sedang termerenung sendirian dipondok bambu
yang berjarak tak jauh dari pelataran masjid.

Disekitar pondok bambu itu terdapat kolam ikan. Mengucur


air mancur tepat di tengah-tengahnya.

‘’Feby…?’’ Ucap mereka bersamaan.

‘’Ngapain dia sendirian disitu?’’ tanya Zainal.

Nara menggeleng tak tahu.

Suara iqomah terdengar melantun cepat, pandangan mereka


sama-sama beralih melihat orang-orang yang mulai merapat rapi
bershaf-shaf hendak menunaikan ibadah fardhu. Shalat telah

83
dimulai dan mereka hendak ikut berjama’ah disana. Tapi setan
kemudian membisiki. ‘’Udah ahh… Shalatnya nanti aja, sekarang
ayo samperin Feby!!!’’ bujuk rayu setan dalam hati masing-masing.

‘’Mana boleh gitu, shalat berjama’ah itu lebih penting tauk!!


pahalanya berlipat 27 derajat loh…’’ sergah malaikat menasehati.

‘’Alah… gak usah terlalu dipikirkan, shalat berjamaah di


pondok bambu itu kan bisa, bareng Feby. Siapa tahu kamu bisa jadi
imam shalat bagi dia, trus si Feby itu klepek-klepek deh sama
kamu,’’ kata setan. Di mana-mana, bisikan setanlah yang paling
mulus, halus, tapi penuh tipu muslihat. Penuh duri yang kasat mata.

‘’Bener juga tuh,’’ pikir mereka mulai terpengaruh.

Malaikat tak lagi berkutik, ia seakan kehabisan akal oleh


rencana ‘bulus’ si setan. Dasar anak buah iblis!!

Benar apa kata imam Ghozali, bahwasanya setan itu sifatnya


senantiasa menghalangi manusia dari perbuatan baik. Begitu ia
gagal, ia takkan tinggal diam, ia akan terus berupaya mengalihkan
kebaikan orang tadi kepada perbuatan lain yang sekiranya sifat dan
pahala yang akan dikerjakan si korbannya jadi lebih sedikit.

‘’Nal, coba kamu lihat burung kenari disana,’’ kata Nara


sambil menunjuk kearah deretan pepohonan.

84
‘’Mana?’’ tanya Zainal terkecoh. Saat ia menoleh, Nara
sudah tak ada di tempat. Secepat hembusan angin, disana Nara
sudah berdiri tepat di belakang si gadis ayu itu nan jelita.

‘’Who… dasar Nara sialan!!’’ celetuk anak berkaca mata


yang mirip dengan Afgan itu kecolongan. Hanya sebagai kalimat
saja. Muka anak itu memang mirip dengan Afgan, tapi warna
kulitnya agak kehitaman sedikit.

***

Feby bernyanyi riang, hampir tak terdengar apa yang


dinyanyikannya. Hanya sebatas dengungan intonasi lagu. Sementara
semata kakinya mengayun di dalam air, mengajak ikan-ikan dalam
kolam itu berdansa bersama. Hawa sejuk dingin air merambat cepat
melalui sela-sela jemari dikakinya hingga sejuklah yang
dirasakannya. Sekilas ia melihat bayangan seseorang dalam air itu,
tak lama kemudian…

‘’Waaaaa!!!’’ getak Nara dengan mendorong bahu Feby


mengagetkan. si Jelita itu hampir jatuh. Tapi tangan Nara yang
memang sengaja tetap memegangi menariknya kemudian. Sekedar
mengagetkan saja. Tapi si Jelita itu hampir copot jantungnya.
Mungkin.

85
‘’Ihh… kak, ngagetin aja?’’ katanya sambil mencubit lengan
Nara geregetan. Nara nyengir menahan sakit. Si Jelita itu kemudian
berbalik kearah kolam sambil memasang tampang muka cemberut.

‘’Tak lagi cantik, Feby kalau marah jelek banget,’’ ejek Nara
sekedar mengkiaskan hal yang sebenarnya bersifat memuji. Makna
di balik kata-katanya seakan berbunyi, ‘’Feby kalau senyum, pasti
terlihat lebih cantik.’’ Kurang lebih begitu.

‘’Cihh… apaan sih,’’ kata si Jelita sewot.

Nara duduk tepat di sebelah gadis itu, tangannya


menyanggah kebelakang. Kakinya ikut berayun dalam air tiru-tiru.
Sejenak mereka terdiam, hening. Hanya ada suara gemericik air.
Pandangan mereka hanyut bersama ikan-ikan yang menari di
bawahnya.

Dua ikan koi terlihat berenang saling mengekori,


membentuk formasi bulatan yin dan yang dalam jernihnya air.
Kedua ikan itu kabur begitu ada bayangan seseorang diatasnya. Feby
dan Nara saling pandang, rupanya si Zainal telah berdiri tepat
dibelakang mereka.

***

‘’Hey rek, gak shalat a? pacaran melulu.’’ celetuk Zainal.


Sepertinya ia merasa terasingkan.

86
‘’Kamu ngapain disini Feb, uda shalat?’’ tanya Zainal sok
alim. Ia kemudian nimbrung bersama mereka.

Feby menggeleng ringan, ‘’Belum,’’ jawabnya singkat.

‘’Kalau begitu ayo kita shalat dulu,’’ ajak Zainal.

‘’Ayo, yuk kita shalat dulu, Kak.’’ Feby mengajak Nara juga.

‘’Bentar, aku tak ambil wudlu dulu,’’ kata si Jelita itu


beranjak dari tempat duduknya.

Nara juga belum wudlu, akhirnya beriringan mereka


menuju kamar mandi. Nara ketempat wudlu putra Feby ketempat
wudlu putri. Zainal melirik bosan.

‘’Tuh anak ada aja idenya, palingan Nara sudah punya


wudlu, selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk
selalu berdua dengan gadis itu.’’ Duganya su’udzon.

Zainal menunggu mereka sambil membeber sajadah yang


memang telah disediakan di pondok bambu itu. Tak lama kemudian
Nara dan Feby kembali. Bulir-bulir bekas air wudlu’ berjatuhan di
sela-sela pipi mereka. Feby kemudian membuka tas, di dalamnya
terdapat jaket tipis dan mukena yang dibungkusi kantong plastik. Ia
selalu membawa itu kemana-mana. Entah mungkin karna suatu
kebiasaan. Jilbab seragam cokelatnya sedikit basah, tadi sehabis

87
wudlu ia langsung mengenakan jilbab itu sebelum auratnya dilihat
salah satu temannya. Gadis itu kenal syar’i.

Zainal hendak takbir mengimami, buru-buru setelah


mengenakan mukenanya, Feby menepuk pundak anak berkacamata
itu dari belakang.

‘’Zainal, ada yang lebih dewasa disini, biar kak Nara saja
yang jadi imam,’’ tengkasnya memberi saran. Zainal tak dapat
mengelak, ia mudah takluk kalau Feby yang berbicara. Terlebih,
dalam hatinya terdapat seribu bunga yang bermekaran begitu Feby
mengawali komunikasi dengannya. Hati itu telah tertusuk panah
asmara yang membius nan membutakan si empu yang grandung
dan senantiasa berharap ingin mendapatkannya. Zainal kemudian
mundur selangkah. Membiarkan Nara sebagai kakak kelasnya maju
jadi imam.

***

Cahaya mentari dhuhur kian menyengat. Di pondok bambu


yang dihiasi berbagai macam bebunga itu mereka larut dalam
khusyu’nya shalat. Suara gemericik air pancur di kolam turut
menghiasi. Mereka sedang asik menghadap Sang Maha Raja, Sang
Maha Penguasa alam raya beserta segala dan seluruh isinya. Takbir
demi takbir mereka lalui. Gerakan demi gerakan shalat Nara yang
kemudian selalu di ikuti kedua teman dibelakangnya itu membuat
Nara sedikit grogi. Ia masih kaku dan kurang terbiasa. Bulir air
88
wudhu berganti menjadi bulir keringat yang menetes kesajadah
tempat sujudnya seiring dengan cuaca yang sangat menggerahkan.

‘’Tuhan, baru kali ini aku tahu rasanya jadi imam, biasanya
aku selalu bermakmum pada orang atau sekedar shalat sendirian.
Feby,, Zainal,, terima kasih. Kalian adalah makmum pertama dalam
hidupku. Entah kenapa dengan begini saja, membuatku… mudah
menangis!!!’’ bisik Nara pada Tuhannya.

***

Seusai salam, Nara mengusap air matanya. Feby sempat


melihat air mata itu, Zainal juga. Narapun kemudian mengajak
mereka kembali ke Aula Madrasah. Disana, tepatnya di depan aula
madrasah tempat mereka lomba itu, sebagian teman mereka terlihat
sedang berkumpul membaca majalah dinding yang terpajang disitu.
Nara dan Zainal kemudian penasaran ingin baca juga, sedang Feby
lebih memilih berkumpul dengan Zaidah dan teman-teman sesama
perempuan yang lain.

Didekat pohon cemara tempat Nara merenung tadi, Feby


menemukan sesuatu.

‘’Foto siapa ini? Kayak pernah tahu,’’ batin dia.

Gadis itupun kemudiaan mengambil tempat duduk disekitar


situ. Ada banyak teman-temannya ramai, staf dewan guru
pendamping pun juga ada disana.
89
Nara tersenyum memperhatikan gadis itu, pandangannya
kemudian beralih menatap majalah dinding dihadapannya. Asik
membaca. Reflek gerak tangannya ia masukkan kedalam saku
celana. Ia terkejut, ada sesuatu yang hilang dari sana. Ia kembali
menoleh ke Feby, mungkin kertas lembar foto yang di temukannya
itu milik dia? Saat hendak disamperin, suara gemerisik spiker
mengheningkan suasana. Lupa akan niat awal, ia lebih penasaran
pengumuman lomba yang sebentar lagi akan diumumkan.

‘’Pengumuman pemenang juara 3, lomba pidato bahasa


Arab, tingkat Kabupaten Malang, diraih oleeehhh…’’ suara
pengumuman itu terjeda. Bikin penasaran. Nara menunduk penuh
harap. Jantungnya berdegup kencang. Semoga ia yang mendapatkan
kemenangan itu.

‘’Santi Shofia Maimunah…!!!’’ kata suara spiker itu


terdengar sedikit berteriak. Suara gemuruh tepuk tangan kemudian
menyambut gadis pemenang itu riuh.

‘’Selanjutnya, juara kedua. Lomba pidato bahasa Arab


tingkat Kabupaten Malang, diraih oleh…’’ lagi-lagi suara
pengumuman itu terhenti. Bikin rada kesal dan membuat semuanya
jadi serba penasaran. Nara benar-benar tak sabar.

‘’Fajar Aminullaaahh…!!!’’

90
Suara gemuruh tepuk tangan kembali riuh. Tinggal satu
pemenang lagi. Nara sedikit tak peduli, mana mungkin dirinya dapat
juara satu, dapat juara tiga saja untung-untungan. Merasa mustahil,
iapun berlalu meninggalkan gerombolan teman-temannya, ia
berjalan dengan langkah yang sedikit diseret-seret patah semangat,
dan ia hendak menuju mobil pak Partho di tempat parkir tadi.

‘’Nara Thoriqun Najaahhh…!!!’’ suara speaker pengumunan


itu semakin keras saja.

Tak percaya, langkahnya terhenti seketika, Nara mengorek-


orek telinganya takut salah dengar. Begitu ia berbalik, dekapan erat
dari teman-temannya ia dapati sampai membuatnya sedikit
kesulitan bernapas. Mereka mengacak-acak rambut Nara
berantakan. Semuanya berteriak penuh gembira kepadanya. Bangga.
Suara gemuruh tepuk tangan terdengar lebih riuh dari sebelumnya
memenuhi bumi sekolah MTsN Kepanjen ini.

Semua peserta lain pada melirik. Pemuda bernama Nara itu,


lumayan keren juga ternyata. Penampilannya kalem dengan bawaan
yang tak terlalu menonjol. Rambutnya yang sekeren Ariel. Ah, entah
apa mau dikata. Beberapa gadis melayangkan senyum, Nara masih
sibuk dihajar berbagai pertanyaan oleh teman-temannya, seketika ia
melayangkan pandangan pada gadis yang mendapat juara 3 tadi,
seketika gadis itu berlalu.

***
91
5

Hujan Punya Setetes Cerita

‘’Wah, banyak banget mainan kak Nara,’’ kata si Bidadari


kecil, Telapak tangan, hidung, dan dahinya menempel erat di kaca.
Dalam almari ia melihat banyak mainan yang berjajar-jajar disana.

‘’Kamu mau nduk?’’ kata Ijah menawari. Si Bidadari kecil itu


kemudian mengangguk.

‘’Boleh Karim minta yang itu? Karim suka warna ungu,’’


pintanya. Nama si bidadari kecil itu, Karim ternyata.

‘’Boleh,’’ Ijah menjawab singkat.

‘’Kak Nara cowok kok ngoleksi boneka juga?’’

‘’Yang boneka itu milik mbak Citra, kalau yang mainan


Super Hero sama robot-robotan itu baru milik kak Nara. Waktu
kecil mereka paling suka mainan-mainan seperti itu,’’ tutur Ijah.

‘’Ohh… gitu,’’ ujar Karim. Paman dari Bidadari kecil itu


kemudian menghampiri.

‘’Maaf sedikit merepotkan,’’

92
‘’Hehehe… tak apa-apa, namanya juga anak-anak,’’ balas
Ijah dengan nyengir.

‘’Ngomong-ngomong Nara kapan pulang?’’

‘’Kurang tahu, dia pamit ikut lomba tadi,’’

‘’Lomba? lomba apa?’’

‘’Pidato bahasa Arab. Mungkin, nanti sore baru balik.’’

Ijah memberikan boneka beruang ungu itu pada Karim.


Gadis itupun menerimanya senang. Si Bidadari kecil itu kemudian
memeluknya erat.

‘’Belakangan ini, Karim sering sakit-sakitan. Mendengar


kalau ia punya saudara di Malang, ia begitu ngotot pengen kesini,
makanya saya antarkan.’’ kata pamannya itu menjelaskan.

Ijah melirik anak itu, mendengar ia berceloteh sendiri pada


sebuah boneka. Terlihat sangat lucu.

‘’Wah… rupanya Karim punya kakak yang pandai pidato


bahasa Arab juga yah ternyata,’’ kata pria itu nya sambil memegangi
pundaknya.

‘’Iyakah?’’ tanya Karim memastikan, mata bulatnya melebar


gembira. Senyumnya menghiasi.

93
‘’Iya, kamu gak denger ta? kata ibu tadi,’’ ulang si paman.
Karim lalu mengangguk paham. Perasaan gadis kecil itu kian
berbunga kala mengetahuinya. Sejenak semua terdiam. Gadis kecil
itu kemudian menunduk menatap boneka barunya.

‘’Paman, boleh Karim menginap disini? Soalnya gak seru


kalau ketemu kakak cuma sehari,’’ pintanya memasang muka melas.

Pria berkumis tipis itu bingung mau menjawab bagaimana,


kedatangan mereka dari Madura hanya sebatas tamu disini. Iapun
menoleh ke Ijah, begitu sesungging senyum dan anggukan ringan ia
dapati.

‘’Boleh, tapi Cuma 2 hari ini aja yah,’’ kata pamannya


memberi syarat.

‘’Horeeee…!!!’’ Karim melonjak senang, tangannya bertepuk


sekian kali sambil meloncat-loncat kegirangan.

‘’Karim ini sudah kelas berapa toh, Pak?’’ tanya Ijah.

‘’Baru kelas 3 SD, Bunda.’’ jawab Karim menyahut. Nada


suara gadis kecil itu sedikit mirip dengan Nara. Dari wajah, sikap,
perilaku ataupun gaya bicaranya, seperti melihat pantulan cermin,
Karim adalah bayangan Nara sewaktu Nara masih kecil. Tentu karna
mereka adalah saudara. Ijah jadi tak keberatan jika Karim tinggal
dan menetap disini lebih lama.

94
***

‘’Selamat yah kak,’’ ujar Feby menghampiri. Nara tersenyum


senang sambil membenarkan ikat tali di sepatunya. Begitu Nara
berdiri, tangan gadis si Jelita itu mengajaknya berjabatan tangan.

‘’Sekali lagi selamat yah ^_^!!’’ ujarnya mengulangi.

Nara meraih tangan itu, saat tangannya bersentuhan dengan tangan


si gadis, darah Nara seakan berdesir. Terasa hangat dan empuk.
Berbeda dengan tangan siapapun yang pernah ia jumpai.

Tak lama kemudian Zainal datang.

‘’Ekhem-ekhem…’’ decaknya berdehem. Mereka saling


melepas jabatan tangan masing-masing. Salah tingkah.

‘’Ups, maaf mengganggu. Lanjutkan.’’ Kata Zainal


menyindir.

Feby lantas memukul lengan Zainal dengan tas merah


jingganya pelan.

‘’Apaan sih nal,’’ kata Feby.

‘’Kamu dari mana saja, Nal.’’ tanya Nara mencairkan


suasana. ‘’Habis ke kamar mandi barusan.’’ Jawab pria berkacamata
itu.

95
Tak lama kemudian perut Nara sedikit keroncongan, cacing
dalam perutnyapun berkoar-koar mendemo, sedari pagi tadi ia
belum makan.

‘’Kakak laper? Kalau gitu ayo kita kekantin, aku juga belum
makan.’’ ajak Feby.

‘’Ide yang bagus.’’ Zainal setuju.

‘’Tapi sebelum itu anterin aku kekamar mandi dulu ya, aku
kebelet pipis,’’ kata gadis itu seperti sedang menahan sesuatu.

Nara menaikkan separuh alis kanannya, sedang keningnya


sedikit mengerut. Heran. ‘’Memang kenapa kalau semisalnya
berangkat sendiri Feb?’’

‘’Aku takut.’’

‘’Takut kenapa?’’ tanya Nara.

‘’Takut diculik.’’ Balas gadis si Jelita itu.

‘’Heh? Diculik??’’ kata Nara dan Zainal bersamaan. Mereka


saling pandang. Aneh.

Gadis itu mengangguk malu.

‘’Di tempat seperti ini? Mana ada??’’

‘’Kalian gak lihat yang di tv-tv itu a?’’ kata Feby.

96
Nara dan Zainal lagi-lagi saling pandang. Merekapun mulai
berpikir yang tidak-tidak.

‘’Oke, akan kuantarkan. Tapi syaratnya aku boleh masuk


juga yah,’’ kata Zainal rada mesum. Nara tertawa, ia tahu kalau ini
hanya sebatas canda gurau saja.

‘’Ngawur aja,’’

Feby menunduk cemberut, dalam hati ia hanya ingin


beralasan mencari simpati dari orang-orang sekitar, tapi yang
terjadi malah demikian.

***

Feby berjalan ditengah, mata lentiknya dikit-dikit mencuri


pandang kearah Nara, lumayan tampan penampilan lelaki di sebelah
kirinya kata batin dia. Sedang Nara hanya bersikap acuh, tak
sedikitpun ia menoleh. Tiba di gang sudut sekolah mereka langsung
berbelok kesitu.

Nara dan Feby membiarkan Zainal berjalan lebih dulu,


membiarkan ia mencari tempat yang sekiranya pas untuk sekedar
bersantai. Ada begitu banyak bilik kantin disini, begitu tiba diujung
sudut paling kiri, mereka langsung berbelok dan duduk disitu. Nara
langsung memesan es oyen tiga, belum juga es itu selesai dibuatkan,
sebentar ia berlalu pergi meninggalkan kedua temannya. Entah

97
kemana, anak itu hanya berpamit menyuruh kedua temannya untuk
tetap menunggu disini. Tak lama, mungkin cuma lima menit.

***

Di kursi yang berdempetan dengan tembok pembatas


sekolah itu, Feby menyandarkan bahunya gelisah. Mukanya sedikit
berminyak. Jam tangan merk Paris di tangannya menunjuk pukul
13.00 siang. Sudah lima belas menit Nara belum juga kembali. Feby
hanya mengaduk es oyen yang telah tersajikan diatas meja. Tak lama
kemudian Nara datang membawa 3 ice cream cornetto mini.

‘’Untukmu, sebagai ganti ice cream yang pernah kujatuhkan


dulu, waktu kita masih kecil. Kau ingat?’’ tanya Nara seraya
memberikan salah satu ice cream itu pada Feby. Satunya untuk
Zainal dan satunya lagi untuk dirinya sendiri.

‘’Loh... kok ukurannya yang mini sih? Yang pernah kakak


jatuhinkan ukurannya agak besar dari yang ini?’’ kata Feby kurang
berkenan. Nara tersenyum kaku, ia berjanji akan membelikannya
lain waktu, sekarang uang dikantongnya sangat menipis, ia ingin
beli sepatu baru, sepatu yang dikenakannya sedikit koyak, jadi ia
harus pandai-pandai menabung.

***

Awan hitam bergerak cepat memenuhi penjuru langit, terpa


desau angin membelai dedaunan rindang. Hujan deras tiba-tiba

98
mengguyur lebat, dentuman beribu tetes air menyerbu atap
bebangunan, siraman rahmat dan kasih sayang berupa hujan dari
langit Tuhan tumpahkan. Mendung abu-abu langit seakan bersuka-
cita sebab merindui-Nya.

Langkah Nara sedikit tertatih, tak seperti kedua temannya, ia


paling tidak suka bermain air hujan. Feby dan Zainal saling
menyiprati, tangan mereka saling melempar lumpur layaknya anak
kecil. Hujan semakin lebat, Nara berjalan pelan mengikuti kemana
mereka berlari, seretan langkahnya agak dipaksa, sedang tubuhnya
sedikit menggigil kedinginan. Sampai terbatuk, ia menutup hidung
dan mulut dengan telapak tangan. Begitu ia buka, simbah darah
kental mengalir dari hidungnya. Hawa dingin benar-benar menusuk
tulang kala itu.

Feby terus menari riang di tengah guyuran air hujan


bersama Zainal, canda tawa mereka terdengar menggema, tak sadar
kalau ada teman mereka yang tertinggal agak jauh di belakang.

Nara berusaha berteriak memanggil kedua temannya,


namun suaranya terdengar parau. Guntur gemuruh langit membuat
mereka seakan tak mendengar seruan ataupun panggilannya sama
sekali.

Nara berhenti, ia kembali terbatuk. Tak kuat lagi berjalan,


tangannya menyanggah pada lutut yang rada gemetaran. Tetes
darah mimisan berjatuhan mengalir bersama derasnya air hujan.
99
Nafasnya memburu, sedang tatapan matanya berbinar, ada sesuatu
yang terasa sesak hendak keluar dari sana. Pandangannya mulai
kabur disebabkan gumpal-gumpal cairan bening yang menyeruak
dan memaksa keluar. Bendungan air mata itu mulai merembes satu-
persatu bersamaan dengan rintik-rintik hujan yang turun amat
lebat. Sambil menahan pening, Nara mencoba bangkit dan kembali
melangkah, namun tubuhnya tiba-tiba roboh saat kakinya
tersandung batu aspal.

***

Dua mobil toyota rush saling melaju beriringan, satu biru


dongker satunya lagi berwarna hitam abu-abu gelap. Saat kedua
mobil itu melewati genangan air disisi kiri jalan, cipratan
lumpurnya mengenai badan Zainal. Zainal kaget lantas mengumpat,
tapi bagai nyerocos pada angin, mobil itu terus melaju tanpa
sedikitpun menghiraukan. Sedang Feby tertawa cekakaan, ia merasa
lucu melihat temannya marah-marah tidak jelas. Jalanan terlihat
sedikit lenggang, iringan mobil itu terhenti begitu lampu merah di
perempatan jalan menyala. Berbelok kekiri adalah jalan menuju
pedesaan.

Feby baru teringat sesuatu, sedari tadi ia tak mendengar


Nara berbicara, mungkin lagi males pikirnya, tapi gadis itu merasa
ada firasat buruk yang terjadi. Begitu ia menoleh, ia dapati Nara
sudah telungkup diatas tanah, tergeletak lemah dan tak sadarkan

100
diri. Darah mimisan terlihat masih mengalir dari hidung temannya
itu, mata dia sedikit terbuka, sedang ratapan matanya sayu entah
melihat kemana.

Feby segera berlari menghampiri, gadis itu kemudian


membantu Nara untuk berdiri dengan menyanggah lengan Nara
dibahunya. Terlalu berat, gadis itu hampir terjatuh, sebentar
kemudian Zainal ikut membantu.

Mereka membawa Nara ke pos kamling terdekat, memasuki


gang menuju pedesaan tadi, suasana sangat sepi, yang ramai hanya
deru air dari langit. Mereka membaringkan Nara di pos kamling itu.

Nara sempat minta maaf pada kedua temannya sebab telah


banyak merepotkan, rupanya ia sedikit memaksa kesadarannya. Tak
apa, mereka sama sekali tak merasa keberatan. Nara akhirnya
berterima kasih pada mereka sebelum akhirnya ia merebahkan diri
dan istirahat.

Pos kamling itu terlihat lebih mirip seperti gubuk kecil


dengan 4 bambu petung yang menyanggah di setiap sisinya. Nara
terbaring lemah, wajahnya sedikit pucat. Tubuh lemahnya menahan
terpaan angin dan hujan yang mengguyur kian teras. Air matanya
berlinang menahan sakit, Feby menyeka air mata itu kemudian
mengelap darah yang belepotan di hidung temannya itu dengan tisu.

101
Lagi-lagi Nara kembali terbatuk, aliran pernapasannya
seakan tersumbat, tiada henti darah dari hidungnya terus mengalir.
Feby menarik kepala Nara kepangkuannya, ia benar-benar merasa
khawatir, sementara Zainal berlari mencari bantuan. Mereka sama-
sama bingung, hampir tak ada kendaraan yang lewat, ada
tidaknyapun tetap tak dapat berbuat banyak. Guyur hujan yang
ramai mengeroyok bumi membuat suara teriakan mereka tak
terdengar siapa-siapa.

Zainal berlalu pergi meninggalkan mereka, mencoba


mencari bantuan pada staf dewan guru pendamping yang masih
berada di tempat perlombaan tadi. Feby hanya bisa menunggu, ia
berharap Zainal cepat kembali membawa pertolongan. Sungguh tak
bisa berbuat apa-apa melihat kakak kelas dipangkuannya itu
menggigil kedinginan, ia jadi ikut terbawa hendak menangis.

‘’Harusnya kakak gak usah ikut kami tadi,’’ kata gadis itu
menyesal.

Darah di hidung Nara akhirnya sudah berhenti, gigi


putihnya sedikit bergemelatuk akibat tubuhnya yang terus-terusan
menggigil.

‘’Dingin...’’ ucapnya lirih. Feby sedikit tak kerungu, suara


Nara terdengar begitu pelan.

102
‘’Dingin...’’ ucapnya sekali lagi. Feby mendekatkan
telinganya, begitu tahu kalau Nara sedang kedinginan buru-buru ia
mengambil jaket di dalam tasnya. Tidak basah, untung ia masih
sempat membungkus jaket itu dengan kantong plastik sewaktu mau
shalat di pondok bambu tadi.

‘’Feb, boleh kutidur disini, di pangkuanmu?’’ kata Nara


meminta, Feby mengangguk pelan, membiarkan Nara terlelap
dipangkuannya. Tak jauh berbeda, tangan Feby juga rada gemetar
kedinginan. Gadis jelita itu kemudian menyelimutkan jaket miliknya
pada Nara.

***

‘’Kak, bangun... kita sudah sampai, ayo pulang,’’ ajak Feby


membangunkan. Mata Nara perlahan mulai terbuka, ia melirik
kanan kiri melihat keluar cendela mobil. Mereka telah tiba di depan
gerbang Miftahul Ulum, hujan tampaknya sudah reda dari tadi.

Feby kemudian membuka pintu dan membiarkan Nara


turun lebih dulu, kemudian ia menyusulnya dibelakangnya.

Nara memegangi keningnya, masih terasa pusing. Ia


berjalan dengan langkah yang sedikit dipaksakan, Feby hendak
membantu, tapi Nara merasa bisa berjalan sendiri.

‘’Kami pulang dulu pak,’’ kata Zainal pamit.

103
‘’Oh iya, hati-hati ya,’’ pesan pak Partho.

Zainal mengangguk sopan, lantas tersenyum sambil berlalu


menyusul Nara dan Feby. Anak berkaca mata mirip Afgan itu
akhirnya lebih memilih jalan pintas untung pulang dan memilih
jalan memisah dengan mereka dari pada harus jauh-jauh mutar
balik.

‘’Rumah kamu bukannya searah dengan dia Feb?’’ tanya


Nara, tumben saja gadis itu pulang bareng searah dengannya.

‘’Emang sih... aku Cuma takut kakak kenapa-kenapa aja,


kayak tadi tuh bikin khawatir banget, makanya aku lewat sini.
Kebetulan aku juga mau ganti baju di rumah sepupuku, bajuku agak
basah, kakak lihat!’’ kata gadis itu sambil menunduk melihat
seragam pramukanya yang terlihat masih sedikit basah.

‘’Ngomong-ngomong kakak punya penyakit apa sih? Kok


kalau mimisan sampai segitunya?’’ tanya Feby.

‘’Gak tahu, tiap kali aku menggigil kedinginan mesti keluar


mimisan. Ini pasti penyakit ringan aja.’’

‘’Mungkin alergi hawa dingin kali,’’ Feby menebak

‘’Mungkin,’’ balas Nara.

104
Setelah itu mereka bergeming tanpa sepatah kata, di
perjalanan Nara sering melirik mencuri pandang kearah gadis itu.
Baju dan ujung jilbab yang dikenakan si Jelita itu ada sedikit bekas
darahnya. Nara yakin kalau darah itu pasti adalah darah
mimisannya sewaktu di pos kamling tadi.

‘’Maafkan aku, aku banyak merepotkan kamu belakangan


ini,’’ kata Nara memecah keheningan.

‘’Tak masalah,’’ balas Feby merasa tak mengapa.

Jaket tipis yang dikenakan Nara sudah dilipat dan ia


masukkan kedalam tasnya sewaktu dalam mobil tadi. Nara
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, anak itu merasa
bingung bagaimana caranya untuk berterima kasih.

***

Tiba di jembatan layang, matahari masih bersinar terik


mengintip dari balik celah awan. Feby melihat jam tangan, pukul 4
sore. Langit masih sedikit berabu-abu gelap, jalanan masih sembab.
Nara menghirup udara segar sambil menikmati pemandangan
gunung Semeru. Kabut tipis masih menyaput daerah ini. Perlahan
tapi pasti, matahari menampakkan meganya kian sempurna. Feby
langsung menarik lengan Nara tiba-tiba, mengajak temannya itu
untuk melihat ke sudut jembatan lain. Tangan gadis itu menunjuk
105
pada sang mentari, sedang tangan satunya berpegangan pada tali
pembatas jembatan. Kakinya setengah berjinjit.

Sebuah pijaran yang biasa terjadi setelah hujan, para


bidadari dari kayangan biasanya turun ke ujung pelana sana untuk
bermandi, sekedar cerita dongeng, tapi cukup membius setiap orang
untuk pergi mencari mereka di ujung sana. Nuansa magis yang
dihiasi warna-warni kilau langit.

Bias Pelangi....

Beradu dengan cahaya kekuningan mendekati senja, di


tambah dengan panorama alam yang sungguh mempesona dengan
air berarus jeru jeram yang mengalir deras penuh bebatuan di
bawah jembatan, membuat Nara dan Feby berdecak kagum
mengakui keindahan alam yang saat ini tersuguh mempesona
dihadapannya. Dengan bias rona merekah senja yang menghiasi
ufuk langit. Baru kali ini mereka menemukan pemandangan yang
benar-benar terlihat memukau seperti ini. Sebuah pemandangan
yang sangat indah dan mungkin jarang sekali terjadi.

‘’Indah bukan?’’ tanya Feby dengan nada suaranya yang


terdengar asik. Gadis itu menyandarkan pipinya diatas telapak
tangan yang kebetulan sedang berpegangan pada batang besi
pembatas jembatan, kepalanya sedikit tertekuk sambil melirik
kearah Nara.

106
‘’Sungguh memukau’’ bisik Nara didekat telinga gadis itu.
Feby jadi salah tingkah. Ada getaran aneh yang menjalari hatinya
begitu Nara tersenyum.

‘’Eh, iya,, ini foto kamu, bukan?’’ tanya Feby baru teringat,
rupanya ia pandai juga mengalihkan suasana pada saat dan di
waktu yang sangat tepat.

‘’Aku menemukan foto ini di dekat pohon cemara saat


istirahat lomba tadi, maaf sedikit basah, habisnya gara-gara main
hujan-hujanan tadi sih,’’ lanjutnya sembari memberikan foto yang
sedikit buram karna basah itu.

Nara teringat, ia memang merasa kehilangan foto itu


menjelang pengumuman lomba tadi siang.

‘’Terima kasih banyak yah. Aku tak sadar kalau foto ini
terjatuh tadi. Tahu-tahu sudah nggak ada.’’ kata Nara sambil
memasukkan foto itu ke dalam sakunya.

‘’Makanya hati-hati.’’ Ujar Feby menceramahi.

Diatas sana. Matahari bergerak cepat seiring dengan hari


yang semakin sore menuju maghrib. Cahaya kuning telur mentari
itu perlahan kian memar berubah memerah. Sebentar lagi hari
mulai gelap, Feby lantas mengajak pulang, namun Nara tidak mau,

107
anak itu ingin tetap disini, menikmati matahari senja sampai benar-
benar tenggelam ke peraduan langit.

Apa boleh buat, Feby berkenan menemani, ia hanya perlu


menunggu sampai hati kecil temannya itu benar-benar puas.

‘’Senja itu indah yah. Merah kala ia senang, suram kala ia


terbenam, tapi langit... tetap mau menerima ia apa adanya.’’ kata
Feby puitis, terdengar seperti setetes untaian mutiara bijak.

Nara menoleh ke arah gadis itu. Tak disangkanya, gadis itu


pandai juga melantunkan kata-kata mutiara, apalagi suasana sedang
asyik kayak gini, membuat Nara jadi lebih bersemangat saja untuk
terus berteman dengan si dia. Lain kesempatan ia akan mencoba
lebih akrab lagi.

***

108
6

Fitnah Itu Merebak Dirinya

Seusai mandi, Nara bersandar santai di kursi panjang di


ruang tamu, kakinya berselonjor santai diatas meja. Kepulan asap
melambung tinggi memenuhi ruangan begitu sebatang rokok L.A. ia
nyalakan, rokok itu ia pegang menggunakan dua jari. Ingatan pada
memory otaknya terus berputar lurus pada menit-menit sebelum ia
tiba di rumah. Menit-menit saat ia lomba bersama Zainal dan Feby,
tentu dengan kawan-kawan yang lain juga. Anak itu lantas
tersenyum sendiri mengingat tiap moment dalam perlombaan itu,
lomba yang benar-benar mengajarkan dia banyak pengalaman.
Salah satunya adalah bunga perasaan yang baru saja tumbuh
bermekaran wangi dalam hatinya semerbak indah. Namanya saja
anak muda, apalagi kalau bukan tentang ‘asmara’.

Nara kemudian masuk ke dalam kamar setelah batang


rokoknya tinggal separuh, mencari hp ayah tirinya yang ia pinjam
tanpa permisi. Semua bantal, selimut, tikar ia bongkar.

Tidak ada?

109
Dengan tergesa ia membuka laci lemari, tapi tetap juga tidak
ada. Ia lupa menaruhnya dimana. Sesaat ia teringat, hp itu ia taruh
ke dalam tasnya tadi malam. Merasa bodoh, ia membentur-
benturkan kepala ke pintu lemari begitu menyadari kalau tasnya
tertinggal di ruang kelas saat lomba.

Senja telah lama berganti malam, benar-benar sudah


terlambat, mungkin tas itu sudah diambil orang, atau… ahh, entah.
Dia benar-benar merasa pusing. Sudah terlanjur malam untuk
kesana, apalagi jikalau sendiri. Masa bodoh dengan semuanya, anak
itu membanting tubuhnya diatas kasur. Besok adalah hari minggu,
hari libur internasional. Mungkin ia bisa memeriksa kesana besok,
sekaligus ngajak Zainal sahabat karibnya. Sekarang pastinya ia
butuh istirahat. Mencoba memejamkan mata rapat, anak itu
perlahan memasuki buaian alam mimpi dan tenggelam di dalamnya
perlahan.

***

Esoknya Nara langsung ngajak Zainal kesana, ia sangat


bingung, khawatir kalau-kalau dugaannya benar, takut tas dan hp
itu hilang. Bagaimanapun juga hp itu adalah milik ayah tirinya,
seorang ayah yang menurutnya paling jahat di dunia ini. Zainal
memacu honda astrea milik bapaknya cepat, sedikit ngebut karna
jalanan cukup lenggang. Tiba di perempatan jalan, lampu merah

110
menyala. Mendadak berhenti, jidat Nara jadi terbentur ringan helm
kyt yang sedang dikenakan Zainal.

Nara memukul bahu Zainal kesal, Zainal menghibur dengan


sedikit mencandai dia dengan banyolan kuno. Sama sekali tak lucu,
sesaat menunggu, begitu lampu hijau menyala, Zainal langsung
tancap gas, membuat Nara sedikit terhuyung ke belakang, kaget.

Tiba di depan halaman sekolah, Nara bergegas menuju pintu


gerbang yang masih tertutup, sedang Zainal memarkirkan
sepedanya lantas melepas helm. Bulir keringat dingin mengalir dari
dahi mereka, Nara mencoba membuka pintu gerbang. Sial, terkunci?
Gerbang itu benar-benar terkunci. Nara tolah-toleh kesana kemari,
rambutnya sedikit berantakan. Ia melihat kedalam halaman, benar-
benar tidak ada orang disana, sepertinya masih terlalu pagi. Zainal
lalu mengajaknya memanjat naik keatas, mumpung suasana pada
lagi sepi begini. Ide bagus.

***

Sehabis loncat dari pagar. Tangan Nara sedikit terluka,


telapak tangannya mengenai serpihan kerikil tajam saat mendarat.
Tapi tak apa, tak sampai berdarah. Mereka segera berlari menuju
ruang tempat Nara dan Zaidah lomba kemarin.

Nara meraih ganggang kunci pintu, mencoba membukanya,


namun sialnya pintu itu terkunci dan tak bisa dibuka. Merasa sial,

111
benar-benar sial, Nara menendang pintu itu keras. Tadi gerbang
yang terkunci, sekarang pintu kelas. Sial betul nasib mereka. Sesaat
anak itu berlagak penuh emosi, tapi lama-lama ia mengeluh
kesakitan juga. Dasar Nara…

Zainal mengintip lewat jendela, mencari tas Nara yang


tertinggal di dalam. ‘’Ketemu,’’ kata dia cepat. Buru-buru Nara
menghampiri, ikut menengok juga. Syukurlah tas itu masih ada,
semoga hpnya juga demikian. Tapi bagaimana caranya masuk? Nara
berpikir kritis, tapi akal Zaianl mendahului pola pikirnya.

‘’Aku punya ide,’’ kata Zainal punya usul. beralih kedepan


pintu, sejenak ia mengamati ganggang kunci di pintu itu, ternyata
hanya digembok menggunakan gembok caruso yang ukurannya
tidak terlalu besar.

‘’Bagiku ini mah, terlalu mudah untuk di bobol,’’ remeh dia


sambil mengambil korek di saku celananya. Nara memperhatikan
gerak-geriknya.

‘’Semoga saja begitu,’’ harap Nara.

Zainal membakar lubang gembok itu agak lama, batangan


besi di korek itu hingga memanas.

‘’Apa yang kau lakukan?,’’ tanya Nara kepo.

‘’Diam dan perhatiakan, nanti kau juga bakal tahu.’’

112
Api di korek itu sengaja Zainal padamkan beberapa saat
lamanya, ia tak langsung menyumatnya sekali lagi. Menunggu
mesin di korek api itu rada hangat. Sebentar kemudian ia nyalakan
lagi.

Begitu ia lakukan terus berulang-ulang sampai lebih tiga


kali. Begitu keempat kalinya agak lebih lama dari sebelumnya. Nara
sampai ngantuk. Mereka akhirnya setengah berjongkok karna lelah.
Sejurus kemudian… ‘’Ceklek…,’’ bunyi gembok terbuka. Mereka
meloncat kegirangan. Zainal segera membuka pintunya cepat, takut
keburu ada satpam yang lewat. Nara langsung mengambil tas itu
dan membawanya keluar, langkahnya sempat terhenti sebab melihat
podium tempat ia berpidato kemarin. Ia ingat, kemarin ia berdiri
gagah disana, namun Zainal langsung menarik lengannya mengajak
keluar. Begitu hendak menuruni tangga, seorang satpam berseragam
lengkap telah berdiri dengan pandangan menyeringai ke arah
mereka. Badan pak security itu agak gemuk, ekspresi raut mukanya
lumayan sangar. Nara dan Zainal saling pandang.

‘’Mampus kita,’’ keluh mereka bersamaan.

***

Semilir terpaan angin menggugurkan dedaunan, kabut tebal


kian menipis. Matahari di pagi hari semakin meninggi dan bersinar
terang. Mentari yang terlihat seperti bola voli kuning menyala dari
luar angkasa itu seakan bertengger jauh diatas awan sana.
113
Bulir keringat berjatuhan, Nara berwajah masam nan penuh
kecapekan, seharian ini ia dan Zainal dihukum membersihkan
halaman yang luasnya bisa mematahkan sendi tulang punggung
mereka.

Seharian mereka menyapu, terkadang mereka bercanda


menaiki gerobak sampah dan menggeretnya bergantian, hingga tak
terasa mentari semakin bersinar terik dan semakin meninggi.
Mereka beristirahat sejenak, Nara membuka tas, mengecek hp yang
seingatnya ia masukkan ke dalam situ.

‘’Kok tidak ada?’’ tanya ia dalam hati.

Ia kembali mencarinya teliti, semua slerekan tas ia buka,


tetap tidak ada, atau mungkin jangan-jangan…?

***

Nara dan Zainal kembali menyapu, satpam yang


menghukum mereka tadi kemudian menghampiri.

‘’Sudah cukup, kalian boleh pulang sekarang. Lain kali kalau


memang ada yang ketinggalan bilang dulu pada saya, biar saya
bukakan. Jangan main bobol-bobol kayak tadi, nih hpnya.’’ Kata pak
security seraya memberikan sebuah hp pada Nara.

‘’Wah, ini yang saya cari. Terima kasih ya pak. Untung tidak
hilang, kalau hilang bisa jadi gawat urusannya nanti,’’ kata Nara.

114
Mereka kemudian pulang membawa perasaan senang, tas
yang mereka cari sudah mereka dapat, begitu juga dengan hpnya.
Zainal mengantar Nara sampai rumah, ia tak mampir, masih ada
urusan mendadak katanya.

Nara mengetuk pintu, agak lama kemudian pintu baru


terbuka, begitu hendak masuk, tangannya langsung dicengkram dan
digeret oleh ayah tirinya.

‘’Dari mana saja kau hah?’’ bentak sang ayah tiri. Orang itu
tak memberi kesempatan untuk Nara menjawab. Ia langsung
menyeret tangan Nara paksa. Anak itu hanya bisa menurut. Ia tahu
kesalahan apa yang telah di perbuatnya hingga membuat ayah
tirinya itu begitu marah seperti saat ini. Begitu tiba di kamar.

‘’Kamu yang mencuri uang dan hp disini??’’ tanya sang ayah


tiri, masih dengan nada membentak.

Nara menaikkan alis dan pandangan, keningnya kemudian


sedikit mengerut. Heran??

‘’Perasaan yang kuambil hanya hpnya saja?’’ pikirnya. Ia


berusaha menjawab seadanya, sejujur mungkin.

‘’Aku tidak tahu, ayah. Yang saya ambil hanya hpnya saja,’’

‘’Alah, bohong…!!! Sekarang mana hpnya??’’

115
Nara tak segera memberikan hp di saku celananya itu, ia tahu betul
sifat dan watak ayah tirinya.

‘’Kubilang mana?’’ tagih sang ayah tiri. Membentak kasar.

Anak itu menunduk, kakinya mulai gemetaran, sedang


tangannya merogoh saku lantas menyodorkan hp itu pada sang ayah
tiri.

‘’Dompetku ku taruh tepat di sebelah hp ini. Uang, ATM,


KTP, semuanya hilang beserta dompetnya, aku yakin pasti kamu
yang mengambil,’’ tuduh ayah tirinya itu sembarangan. Tangannya
kemudian menyahut kasar hp di tangan Nara.

‘’Perasaan tak ada dompet saat aku mengambil hp itu,’’ kata


Nara dalam hati. Aneh…

‘’Ayo jawab?’’

‘’Aku benar-benar tidak tahu, ayah.’’

‘’Mana ada pencuri yang mau mengaku, dasar kodok


nyolongan,’’ hina sang ayah tiri itu, matanya melotot seakan hendak
menelan hidup-hidup. Mendengar caci itu tangan Nara mengepal
tak terima, ia paling tidak suka tak suka jika disamakan dengan
binatang, sorot matanya tajam menatap kaki di hadapannya penuh
kebencian. Tiba-tiba tamparan keras mendarat.

116
‘’Plaaakk…,’’

Pipi Nara sampai memar cap tangan. Ia memejamkan mata


menahan sakit, terngiang bunyi ‘ngiing’ panjang di telinganya.

Masuk kuping kanan keluar kuping kiri, sama sekali Nara


tak menghiraukan cerocos mulut ayah tirinya. Bara dendam
kesumat sudah terlanjur menjajaki dan mengambil alih diri. Nara
kemudian berlari menuju kamar kakaknya secepat yang ia bisa.
Langkahnya sempat terhenti ketika ia melihat ibunya sedang duduk
merenung dengan tatapan kosong di beranda rumah. Ada anak kecil
yang duduk disebelahnya. Si adik beda ibu. Karim.

Dibelakang mereka ada nek Gini yang sedang terbaring


sakit, sudah seminggu ini ia mengidap penyakit lumpuh dan
terbaring merumput diatas kasur. Tak bisa bergerak dan susah
berbicara.

Nara hendak kembali berlalu. Menuju kedalam kamarnya.


Tapi langkahnya terhenti begitu si adik kecil tadi menghampiri dan
memeluk.

‘’Kakak kenapa? Pipi kakak kok memar?’’ tanya Karim.

Nara baru sadar, tamparan keras tadi membuat pipinya


sedikit terluka, ia ingat ketika ditampar tadi, ayah tirinya tengah

117
mengenakan cincin batu akik, mungkin tergores batangan besi pada
cincinnya itu.

Karim melepas pelukannya. Melihat kearah Budhe Ijah.


Tatapan Ijah tetap kosong, tak lama kemudian ia berujar pelan

‘’Sebaiknya kau kembalikan uang itu atau lebih baik pergi


dari rumah ini,’’

Nara tersentak kaget

‘’Apa maksud ibu?’’

‘’Ibu tak ingin punya anak yang suka mencuri sepertimu,’’


kata sang bunda. Terdengar kejam.

‘’Jumlah uang di ATM yang hilang itu lebih dari 1 juta, kau
harus mengembalikan dompet itu atau lebih angkat kaki dari rumah
ini,’’ lanjutnya. Ijah sudah terbutakan oleh emosi. Uang sebanyak itu
sangat berharga untuk keluarga sederhana seperti mereka ini.

‘’Aku sama sekali tidak mengerti kenapa semuanya


menuduhku? Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Kenapa ibu
percaya kepada orang seperti ayah dari pada diriku? Apa ibu lebih
sayang si tua bangka itu dari pada anak sendiri??’’

Ijah menghampiri, bukan untuk apa, tapi untuk memberi


sedikit pelajaran pada putra bungsunya yang sedikit kurang ajar itu.

118
‘’Plaaakkk…,’’ lagi-lagi pipi Nara kena tampar.

‘’Jaga ucapanmu, Nara!! Dialah yang selama ini menafkahi


keluarga kita, kau harus tahu itu. Kalau kau berkata seperti itu sekali
lagi, ibu tak akan segan-segan mengusirmu,’’ ancamnya.

‘’Mengusirku? Kenapa tidak dari dulu saja buk?’’

Kata-kata Nara membuat Ijah terdiam.

Tangan kiri Nara mengepal, menggenggam erat seakan


hendak memukul, sedang tangan yang satunya memegangi pipi
yang terasa perih. Ada bendungan air mata yang sengaja ia tahan di
pelupuk matanya.

‘’Aku akan pergi, akan kutunjukkan pada ibu kalau aku


bukan anak kecil lagi!!’’ tantangnya.

Nara mengusap air mata yang mengalir jatuh ke bibirnya


tiba-tiba. Sang bunda tetap bersihkukuh pada pendiriannya, ia
terlalu meremehkan kata-kata anaknya, ia menganggap bocah
sekecil dia mana berani minggat dari rumah ini.

‘’Kalau ibu tahu si imut kecil Nara akan menjadi seorang


pencuri saat sudah besarnya, ibu pasti akan mencekiknya waktu itu
dia baru lahir. Biar mampus saja sekalian, biar gak terlalu
merepotkan banyak orang. Buat apa membesarkan seorang anak
yang suka mencuri.’’ Kata sang bunda. Terdengar seperti lelucon

119
kejam yang melucuti harga diri anaknya sendiri. Dunia seakan
berhenti berputar. Hati Nara benar-benar tercabik.

‘’Bedebah, bodo amatt, minggir…!!!’’ Nara mendorong bahu


Karim, menyingkirkan adiknya itu dari hadapannya. Gadis itu
hampir terjatuh, Nara tak peduli lagi, ia berlari kencang menuju
kamar, linangan air matanya terurai oleh hentakan kakinya. Berniat
mengunci diri di kamar, ia sangat kecewa akan sikap ego dari semua
orang diantara keluarganya itu. Tak ada yang mempercayainya,
bahkan pula ibunya sendiri. Fitnah itu terlalu sulit untuk ia lewati.

Sebelumnya, Ijah dan suami barunya sudah mencari dompet


itu kemana-mana, memang tidak ada, tapi bukan Nara yang
mengambilnya. Nara benar-benar merasa pusing, baru kemarin ia
bahagia mendapat juara 1, bahkan baru kemarin ia menemukan
cinta pertamanya. Sekarang malah terdera finah, terlebih sang ibu
tak mengucapkan kata selamat sedikitpun untuk sekedar
menyambut prestasi yang berhasil didapatkannya. Tidak. Sama
sekali tidak, ibunya itu malah beranggapan sama dengan ayah
tirinya, sama-sama menuduh dirinyalah yang telah mencuri dompet
tak jelas itu.

Nara meringkuk dan bersandar di balik pintu, sejenak Karim


mencoba untuk masuk menghiburnya, tapi pintunya sengaja Nara
kunci. Tak mau diganggu siapapun, Nara benar-benar ingin
menyendiri.

120
***

Masih di dekat pintu kamar, Nara tidur meringkuk diatas


lantai. Seekor semut kecil merayap di sela-sela jarinya, terasa geli.
Mata anak itu sedikit terbuka, setengah tidur. Jemari dikakinya ia
gesek-gesekkan kebagian tumit, membuat semut kecil itu terjatuh
dan memanjat kakinya lagi dan lagi. Nara jadi tak bisa tidur, mata
anak itu akhirnya terbuka. Sengatan mentari sore menerobos masuk
melalui sela-sela selambu jendela kamar yang sedikit terbuka. Mau
tidak mau ia harus bangun dan pindah tempat biar tak tersengat
silaunya.

Perut Nara berbunyi keroncongan, terasa lapar. Seharian ini


ia belum makan, tadi pagi ia terburu-buru ke Kepanjen untuk
mengambil tasnya yang ketinggalan tanpa sarapan sedikitpun. Demi
hp milik ayah tiri yang menurutnya paling kejam di seluruh pelosok
dunia itu. Tadi malam juga ia tak sempat makan, membuatnya
benar-benar merasakan lapar yang sangat.

Nara berpindah tempat keatas kasur , sejenak ia mengambil


celana pramuka di sebelahnya, mengambil foto yang kemarin ia
taruh kedalam situ dan memindahkannya ke dalam tas. Ia jadi
tersenyum lantas menangis saat mengingat hari-hari yang pernah
dilaluinya bersama Feby dan Zainal kemarin.

Sekarang ia dalam masalah besar. Terjebak dalam keadaan


yang begitu rumit dan tak bisa keluar. Fitnah itu membuat hatinya
121
begitu sakit. Hati dan jiwanya seakan tertimbun reruntuhan
bebangunan berat yang kacau berserakan. Sungguh berantakan.

Nara tak bisa berpikir jernih, pikirannya salbut, kalutnya


dalam bingkai derita. Kalau ia keluar dari kamar ayah tirinya itu
pasti akan kembali menggonggong marah-marah lagi. Buru-buru ia
merobek kertas yang ia ambil dari dalam tas dan menulisinya
dengan tinta pulpen Faster. Semoga keputusan yang akan
diambilnya kali ini berujung pada keberuntungan.

Sudah tak lagi betah tinggal di rumah, atau mungkin karna


merasa tertekan beban berat, anak itu akhirnya memutuskan untuk
pergi. Benar-benar nekat untuk minggat.

***

Citra baru pulang dari kuliah, seminggu kemarin sebuah


lamaran dari Arif datang untuknya. Ibu berkenan merestui, Arif
adalah pemuda yang baik dan pandai berbagai disiplin ilmu agama.
Wajahnya juga lumayan tampan, terlebih si Arif ini adalah putra
dari guru ibunya. Iapun juga tak dapat menolak, tinimbang
Sulaiman, si Arif ini orangnya lebih menjanjikan, ia adalah ustad
termuda yang mengajar di salah satu pesantren di Gondanglegi. Tak
kurang suatu apa, pangeran seperti dialah yang selalu diidamkan
tuan putri cantik seperti dirinya.

122
Ketika hendak menuju kamar, tak sengaja Citra menginjak
secarik kertas di dekat pintu. Ia mengambil kertas itu lantas
membacanya;

Dari tetes air yang jatuh membasahi pipi

Bersama berjuta luka pilu yang mengalir

Menghujam deras menusuk-nusuk sakit dihati

Akupun terhempas kedalam luka penuh derita

Lambat dirasa waktu mengalir

Memainkan lara dengan sandiwara fitnah

Seperti sembilu pilu yang saat ini mendera jiwa

Sukmaku, benar-benar tercabik tuduhan semena-mena

Seorang jagoan kecil sang kebanggaan keluarga

Yang dulu sempat bertepuk peluk dengan mereka

Kini t’lah lepas dari halus benang sang sutra

Dan terlempar bak bulu domba yang tak berguna

123
Kini daku memutus pergi bersama benam senja

Bersama mega jingga menembus rentetan waktu

Mencari sederet jati diri yang sempat terlucuti

Di Madura sana, ku akan mencari ayah kandungku

Maafkan daku semuanya

Tapi ibu telah mengusirku

Aku tak dapat berbuat apa-apa

Aku pergi, jangan pernah mencariku

Aku bukan anak kecil lagi…

‘’Assalamu’alaikum…’’

05-July-2015

Tinta Hitam Pangeran Berdarah Cinta@Nara_Sebungkus

***

‘’Ibu… ibu…!!!’’ teriak Citra memanggil. Pundaknya naik


turun sesenggukan. Bulir air mata mulai berjatuhan seiring dengan
kabar duka yang menyapa. Tak disangkanya, sang adik tercinta
124
nekat pergi minggat dari rumah. Hanya meninggalkan sepucuk
surat yang ditulis menggunakan gaya bahasa puisi, surat itu
ditinggalkannya di dekat luar pintu kamar Citra.

Ijah membaca surat itu dengan sangat teliti, sambil duduk


diatas kasur, hampir tiada satu hurufpun yang terlewat. Nara
sengaja menulis bait terakhir puisi itu dengan gaya bahasa
sederhana agar ibunya dapat mengerti akan kesan yang
disampaikan. Tak terlalu banyak kiasan, kata-katanya cukup to the
point.

Ijah menaikkan pandangan, sejenak menatap cermin yang


ada di hadapannya. Derai tetesan air mata mengalir tanpa ia sadari.
Terlihat flashback mimpinya saat melahirkan si putra bungsu itu
dalam bayangan cermin. Ijah terlanjur terbawa ego dan emosi,
sampai tak terasa kalau bibirnya waktu itu mengutur kunci untuk
mengusir. Ijah lalu mengaku salah.

Citra berganti pakaian, mengambil kunci sepeda motor


diatas meja lalu mengenakan jaket terburu-buru. Ijah berusaha
membujuknya agar tidak pergi, tapi Citra malah membantah, ‘’Ibu
yang telah mengusir dan menuduhnya semena-mena. Sekarang ibu
meminta maaf dan melarangku mencarinya? Sebelum terlambat,
aku yakin Nara pasti belum jauh dari sini!!’’

125
‘’Lagi pula kenapa ibu mengusir dia,’’ lanjutnya, kali ini
nada bicaranya mulai membentak, membuat nek Gini terbangun
dan terus menguping pembicaraan mereka.

Ijah terdiam, lama ia bergeming. Begitu Citra hendak berlalu.

‘’Dompet dan uang ayah tiri kamu hilang,’’ kata Ijah.

‘’Lalu? Hanya karna itu ibu mengusirnya?,’’ tanya Citra


penuh kecewa.

‘’Bagaimana lagi,’’

‘’Apa ibu yakin Nara yang mengambilnya? Seingatku, Nara


adalah anak yang baik. Seumur hidup tak pernah kutahu Nara
mencuri. Bisa saja ini hanya akal-akalan ayah saja. Ibu tahukan?
Ayah paling tidak suka dengan Nara,’’

‘’Tapi dompet itu benar-benar hilang, Citra.’’

‘’Semua ini pasti fitnah, Bunda... suatu hari nanti ibu pasti
tahu, siapa yang mencuri dompet itu sebenarnya. Palingan juga
disembunyikan disuatu tempat, berlagak hilang, lalu menuduh Nara
sembarangan,’’ kata Citra melengos.

‘’Jangan su’udzon dulu, Citra.’’

126
‘’Ibu yang su’udzon, menuduh adek tanpa bukti. Suatu hari
nanti ibu pasti tahu kebenarannya. Becik ketitik olo ketoro.’’ kata
Citra mengutip kata-kata dari film ‘Dalam Mihrab Cinta’.

Ijah kembali terdiam. Hening sesaat...

‘’Pokoknya aku tak akan pulang sebelum Nara ketemu.


Titik!!!.’’ Tambahnya dengan nada suara yang ditekan. Geram.

Dengan sedikit langkah berlari Citra hendak menuju garasi


sepeda motor. Tapi langkahnya terhenti begitu nek Gini
memanggilnya.

‘’Citra... apa yang terjadi dengan Nara nduk?’’ suara nek


Gini terdengar sulit terucap. Faktor lumpuh, separuh tubuhnya tak
bisa digunakan bergerak. Citra mendekat, terlihat sang nenek itu
tengah menangis.

‘’Sabar nek, Citra janji akan membawa Nara pulang,’’ kata


Citra sambil menyeka air mata neneknya. Nek Gini lantas mencaci
maki menantunya, suami baru Ijah adalah biang kerok dari semua
ini. Dari dulu hingga sekarang nek Gini tak pernah merestui
hubungan mereka. Hanya karna takut Ijah dibawa kawin lari seperti
yang pernah dilakukan ayah Nara dulu, akhirnya sang nenek pun
terpaksa merestui hubungan mereka. Nara dan Citrapun sebenarnya
kurang setuju dengan kehadiran ayah tiri itu, tapi ibu mereka tetap
ngotot menerimanya sebab sudah terlanjur.

127
***

Sore meringkuk dalam pangkuan gulana, matahari senja


merias ufuk dengan jingganya yang kian memerah. Sang angin
membelai lembut suasana, hingga suara gesek dedaunan terdengar
seperti membisik. Mata Nara sedikit sembab, bekas gores luka
tamparan di pipinya masih terasa perih. Tak terbayang betapa sesak
di dadanya kala menerima tamparan itu.

Pelipis senja seakan tak mau tenggelam, ia seakan menatap


Nara syahdu, enggan untuk beranjak pergi. Tak ingin menangis,
Nara berusaha membendung air matanya pilu, sampai terasa sesak
di bola matanya karna air mata yang hendak tumpah. Ia merasa
perasaan yang sangat kalut dalam hati yang berderai pecah kian
berantakan. Linangan air matanya bak mutiara tersimpan di lautan
jiwa yang mahal tuk dikeluarkan. Bagai rintik gerimis hujan, bulir
air mata di pelupuk matanya itu mengalir tanpa rasa yang
diinginkan. Menyumber deras bak sungai Etan yang mengalir tanpa
dikehendaki.

Hanya bertemankan kelam, bersama secercah cahaya rona


senja yang menurutnya kian suram. Nara berjalan tak tentu arah,
sedang perutnya terasa lapar, seharian ini ia belum makan.

Nara akhirnya tiba di jembatan layang. Tempat dimana ia


pernah pulang bareng sama Feby. Seorang gadis cantik yang
sanggup membuatnya merindui hujan yang semula semu menjadi
128
lebih berarti. Entah kenapa ia jadi pengen main hujan-hujanan
seperti waktu itu, ingin sekali ia sakit-sakitan dan tidur di pangkuan
gadis itu. Entah bagaimana caranya.

Jalan di pematang sawah, Nara menuruni tangga jembatan,


menuju jalan pintas yang akan mengantarkannya kerumah Zani,
sahabat karibnya juga seperti Zainal. Ia lebih memilih jalan tikus
dari pada jalan raksasa. Lebih memilih jalan yang sekiranya sepi dari
keramaian manusia untuk menutupi luka gores dipipinya biar gak
ditanya banyak orang.

Semak ilalang bergoyang tertiup angin berembus sejuk.


Serbuk sari pati bunga tebu beranai-anai terbang bersama sang
kumbang dan kunang-kunang. Nara terus berjalan menelusuri jalan
di pinggir pematang sawah itu. Tiba-tiba langkahnya terhenti begitu
ia melihat sebuah kepompong menggelantung di balik gamis daun
jambu. Bukan, bukan itu yang dia lihat, melainkan buah jambu
merah yang telah masak tepat di sebelahnya.

Nara tolah-toleh, tak ada yang melihat, hanya ada beberapa


petani yang tampak mencangkul di ujung pandangan sana. Nara
mengambil buah itu lalu memakannya. Tak terlalu tinggi, ia hanya
berjinjit dan meraih tangkainya. Dengan lahap anak itu
menghabiskannya untuk sekedar mereda lapar di perutnya. Bibirnya
sampai belepotan. Sejenak ia meneguk minum air yang bersumber
dibawahnya. Terasa segar di tenggorokan. Menuntut ia untuk tetap

129
bersyukur bagaimanapun keadaannya. Mesti dalam keadaan hati
yang bergemuruh mendidih, uap emosi meletup dan menguap bagai
lumpur panas lapindo yang melepuhkan kulit hatinya, Nara
mencoba tuk tetap bersabar. Ia ingat pesan ibu kala ia masih kecil,
‘’Seorang laki-laki nggak boleh nangis...,’’

‘’Aaaaaarrgghhhh...,’’ tiba-tiba Nara berteriak menjerit pada


langit. Senja hampir tenggelam sepenuhnya. Perlahan langit kian
redup menggelap, mega merah pekatnya seakan menyeret ingatan
Nara pada rangkaian masa lalu. Tak terperi rasa sakit di hatinya.
Seorang ibu yang dulu sangat tulus mencintainya, tulus merawat
dan membesarkannya dengan kasih sayang, tulus disetiap gelegat
bayi saat pertama kali ia ngompol. Bahkan bau kotorannyapun
dirasa harum tertutupi kasih pada beta. Sekarang mendadak
berubah menjadi ibu jahat yang menggorok harga dirinya penuh
benci.

Sekarang Nara tak punya apa-apa. Tinggal sebatang kara.


Hanya berteman dengan tas alto abu-abu yang berisi barang-barang
sederhana. Ia hanya membawa seragam dan beberapa pakaian yang
sebagian belum dicuci. Bahkan ia lupa tak membawa uang
sepeserpun. Hanya berteman dengan alam, seperti untaian puisi
yang pernah ia dengar dari guru bahasa indonesianya. ‘’Langit
sebagai atap rumahku, dan bumi sebagai lantainya.’’ Berselimut
angin kalbu, teriakan hati Nara menjerit lirih tanpa suara.

130
‘’Aku takut mati hari ini, Tuhan... ibu murka padaku, bahkan
sampai mengusir. Padahal, Kau Tahukan, Tuhan? Aku tak mencuri
apa-apa dari ayah tiriku, aku hanya mengambil hpnya saja, itupun
sudah kukembalikan. Sekarang aku sudah terlanjur pergi, aku
bingung bagaimana caraku menyambung hidup. Hmmm..., andai
dapat kupeluk Engkau sejenak dengan tangan mungilku ini,
Tuhan… mungkin aku bisa sedikit lebih tenang. Kini aku hanya bisa
pasrah pada-Mu, Tuhan Sang Penciptaku. Beri aku sedikit kekuatan
dengan secercah cahaya petunjuk-Mu untuk menghadapi semua
ini,’’ rintihnya dalam sebuah do’a.

***

Zani asik nonton TV, seharian ini ia habis bertengkar


dengan kakaknya. Agaknya keadaan sudah membaik, kakak yang
menurutnya ingin menang sendiri itu sekarang sudah pergi bersama
teman-temannya. Zani akhirnya bisa kembali bersantai.

Tiga bantal ia susun untuk sandaran, secangkir teh hangat


turut menemani. Zani menggonta-ganti channel, mencari film yang
menurutnya menarik. Sebuah thriller film horor tiba-tiba hadir. Film
yang berjudul Tali Pocong Perawan akan segera tayang 3 hari lagi.
Ini yang Zani tunggu-tunggu, film horor adalah genre kesukaannya.

Zani menyeruput teh sejenak, terasa nikmat. Tak lama


kemudian terdengar seseorang mengetuk pintu.

131
‘’Tok... tok... tok..., Assalamu’alaikum,’’

‘’Wa’alaikumsalam,’’ Zani menyahut dari dalam lalu


bergegas membukakan pintu. Saat pintu terbuka.

‘’Ohh,, ternyata kamu, tumben kesini magrib-magrib, bawa


tas lagi. Mari silahkan masuk,’’ Zani menyilahkan.

Nara kemudian masuk sambil melepas tas di punggungnya.


Anak itu tak langsung duduk di kursi, melainkan lesehan diatas
lantai. Zainal memerhatikan Nara yang sedang mengeluarkan
peralatan; cutter, kuas kecil, cat pewarna, lem, gunting, dan
beberapa lembar kardus yang sudah terpotong rapi beserta 100
batang stick ice kream yang diikat menggunakan gelang karet.

‘’Bisa membantuku? Aku mau buat kerajinan,’’ kata Nara

‘’Ohh... nggarap tugas dari bu Badriah a?,’’

Nara tersenyum di sepucuk bibir sambil mengangguk ringan.

‘’Tentu, kita kan satu kelompok. Bentar yah,’’ Zani berlalu


meninggalkan Nara. Mematikan TV yang masih menyala kemudian
mengambil hasil karya kerajinan yang belum jadi.

‘’Nggarap diluar aja, disini takut dimarahi nenek,’’ ajak Zani.


Ia mengaku neneknya adalah orang yang paling cerewet kalau
masalah kebersihan.

132
‘’Kutebak kamu pasti belum shalat,’’ kata Zani sambil duduk
bersebelahan dengannya.

Nara duduk bersila. Ia terdiam sejenak, ada sesuatu yang


mengganjal hatinya. Tak lama kemudian ia nyengir.

‘’Hehe... kok tahu aja sih,’’

‘’Kau datang jam 17.50, sedang maghrib berkisar antara jam


17.30 s/d 17.45. Perjalanan dari rumahmu kesini membutuhkan
waktu setengah jam, itu kalau jalan kaki. Dapat di pastikan tadi kau
berangkat kesini jam 17.20 dari rumahmu, itu artinya kau pasti
belum shalat.’’ Tutur Zani.

‘’Dari mana kau tahu? Bisa saja aku shalat di perjalanan,


mampir ke masjid gitu,’’ tanya Nara. Ia tak mengira kalau dugaan
Zani begitu tepat.

‘’Kau lewat sawah kan?,’’

Lagi-lagi dugaannya tepat sasaran. Nara menggeleng tak percaya.


Seluk beluk kemana ia lewat Zani bisa tahu.

‘’Ujung celanamu sedikit kotor, kalau lewat jalan raya tidak


akan sekotor itu. Itu bekas lumpur yang sudah mengering saat kau
melewati semak belukar di pematang sawah untuk menuju kesini.
Dan, mana mungkin kau shalat di sawah sedang hari yang mulai
menggelap kala itu,’’ jelas si Zani panjang lebar.

133
Ia sangat cerdik, hampir di bawah level seorang detektif.
Nara mengakui ketajaman pola pikirnya yang sangat cerdas.

‘’Yaudah, aku numpang kamar mandinya ya, sekalian mau


shalat dulu,’’ kata Nara. Zanipun menyilahkan.

Kak Hasan pulang lewat pintu belakang. Nara sempat


berpapasan dengan dia, Nara terus berjalan sambil menunduk
sopan. Dalam hati Hasan berujar pelan, ‘’Sopan sekali anak itu, tak
seperti teman Zani pada umumnya.’’

***

‘’Feb, kamu gak makan?,’’ tanya Dela sambil menghampiri


adiknya dalam kamar.

‘’Bentar kak,’’ balas Feby. Tangannya terampil membuat


origami burung-burung kecil. Targetnya membuat 101 burung.

‘’Sudah beberapa hari ini kau jarang makan,’’ Dela


memegangi pundak adiknya.

‘’Beberapa minggu lalu aku ketemu sama adeknya kak


Citra,’’

‘’Oh iya? Si Nara itukah?,’’

Feby mengangguk ringan, senyum tipis menghiasi.

134
‘’Anaknya sekarang guanteng bangett gitu kak, gak kayak
dulu saat pertama kali kita bertemu,’’ curhat Feby sambil
melanjutkan kerajinan tangannya.

Dela tersenyum, ia tahu sesuatu sedang terjadi dengan adiknya.

‘’Ya sudah sekarang kamu makan dulu, kalau gak makan


kamu bakalan kurus. Kalau kurus, cowok itu ogahlah yang mau
ngedeketin kamu,’’ Dela sedikit menggoda genit.

‘’Ih apaan sih kak, mancing gairah makanku pake’ istilah


cowok segala,’’ kening Feby mengerut. Usia gadis itu masih terlalu
labil untuk mengerti arti cowok yang sesungguhnya.

Feby berlagak cuek, ia segera beranjak kedapur, dela


mengekor dibelakangnya. Namun saat Feby mempercepat
langkahnya, tangannya tak sengaja menyenggol piring didekat
wastafel, membuat piring itu jatuh pecah berserakan.

‘’Aduh… gimana sih Feb, tuh kan piringnya pecah,’’ kata


Dela dengan muka sedikit merengut

‘’Aku gak sengaja kak,’’ kata Feby seraya membersihkan


serpihan beling itu. Tiba-tiba tangannya tergores serpihan pucuk
beling yang tajam.

‘’Auww…,’’ keluhnya.

135
Tetes darah merah mulai berjatuhan, Feby memegangi ujung
jari yang koyak itu dengan sebelah tangannya. Ia mengeluh sakit.
Melihat hal itu Dela segera bergegas mengambil kain dan tisu,
dengan sigap ia memerban luka adiknya dengan sobekan kain tadi,
sedang darah yang menetes jatuh kelantai ia usap menggunakan
tisu.

‘’Lain kali hati-hati talah Feb,’’ kata kak Dela berwajah


masam, sebuah tanda kasih sayang seorang kakak yang begitu
perhatian terhadap adiknya.

Selayang pandang Dela melihat adiknya melamun, tak ia


hiraukan, Dela terus memerban jari adiknya itu sampai selesai, tapi
Feby tetap saja melamun.

‘’Hey kok malah melamun,’’ Dela sedikit menyentak,


membuyarkan lamunan adiknya yang entah memikirkan apa itu.

Feby mengalihkan pandangan, melihat ceceran beling yang


masih berserakan disekitarnya.

‘’Firasatku tidak enak kak,’’ kata Feby sambil memandang


wajah kakaknya, sorot matanya terlihat penuh emosi tersembunyi.
Penuh rahasia-rahasia yang tak dapat Dela mengerti. Dengan sedikit
terkejut.

136
‘’Kenapa tiba-tiba aku melihat Nara dalam bayangan
adikku?.’’ kata Dela membatin. Ia kemudian menyentuh kening
adiknya menggunakan punggung telapak tangannya. Terasa panas.

‘’Kamu demam…?’’

***

‘’Kamu salah Nara… sebelum di lem harusnya diwarnai


dulu, sini biar kubetulkan,’’ kata Zani.

Nara tak terlalu pandai mewarnai dengan cat pewarna,


rencananya ia hendak membuat rumah-rumahan kecil dari stick ice
cream, namun sepertinya ia kurang begitu berpengalaman dalam
hal mewarnai. Tak lama kemudian Rahmadi datang.

‘’Gimana regk, udah jadi?,’’ pria berambut cepak itu


menghampiri usai memakirkan sepeda motornya.

‘’Dah, tinggal ngecat sama nge-lem doang,’’ balas Zani

‘’Wah, kalau gitu aku agak telat ya,’’

‘’Bukan agak telat, tapi udah telat bangett,’’ celeluk Nara


mencibur. Rahmadi memninta maaf sambil cengar-cengir.

‘’Sindi sama Mia gak diajak kesini?,’’ tanya dia sambil duduk
menyamping disebelah Nara.

137
‘’Enggak, mereka tuh cewek, gak bakalan boleh keluar
malam-malam. Kakakku saja biasanya juga gitu,’’ jawab Nara.

‘’Yah… mungkin takut di culik om-om jahat kali,’’ canda


Zani. Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak.

***

Remang rembulan menyinari, derum sepeda motor


membelah kesunyian. Percik air mata terbawa terpaan angin. Citra
terus memacu sepeda motor beatnya menelusuri jalanan yang sangat
sepi. Tanaman padi dan jagung menghimpit di kanan kiri jalan.
Hanya ada suara kesibukan fauna malam, kumbang dan kunang-
kunang berlalu lalang sepanak-pinak merias suasana yang tampak
sangat indah namun menyimpan rona penuh angker.

Suara serigala malam melonglong dan terdengar begitu


membahana. Dipedesaan seperti ini mana ada serigala. Benar-benar
bikin merinding. SEREEM...

Hendak menuju gondanglegi, Citra tak peduli seangker


apapun jalan yang di laluinya. Rasa sayangnya pada Nara telah
mengalahkan segalanya, hingga udara dingin yang terasa menusuk
tulang tak ia hiraukan. Ia tetap ngebut dan tak memperdulikan
keadaan.

Tiba ditanjakan tajam, Citra menarik gasnya pelan.


Spedometer di setir dikendalinya menunjuk angka 80 km/h. Ketika
138
dapat separuh tanjakan yang menjulang tinngi miring keatas itu ban
sepeda motornya terasa seperti ditarik. Citra sempat kaget, bulu
kuduknya merinding takut. Bau anyir tiba-tiba tercium menyengat
dihidung. Ia mulai sadar, saat ini ia pasti sedang digoda makhluk
halus, penuh astral…

Citra memegang kendali setir kuat, sejenak ia hampir


terjatuh. Tiada henti bibirnya berkomat-kamit membaca do’a yang
pernah diajarkan guru ibu kepadanya, lalu dengan sekali bisikan
basmalah ia menancap gas penuh…

‘’Bismillahirrahmanirrahim,’’

Agak lama kemudian akhirnya ia bisa lepas dari tanjakan


curam itu, degup jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin
mengucur deras sedang nafasnya terdengar memburu. Sedikit lega,
tapi tetap tak berani menoleh kebelakang. Bau anyir yang sempat
menyeruak lubang hidungnya tadi sempat berbau harum melati
sesaat.

Memasuki jalan raya, hilir mudik kendaraan berlalu lalang


beramai memenuhi jalanan. Hujan rintik-rintik tiba-tiba turun
berjatuhan. Citra berbelok dan memakirkan sepeda motornya
didekat warung kopi tempat Nara dan teman-temannya biasa
nongkrong. Gadis itu langsung masuk kedalam untuk sekedar
menanyakan adiknya.

139
‘’Maaf mbak, dari tadi tidak ada anak remaja yang datang
kesini,’’ kata petugas warung kopi itu memberi tahu.

Citra mengangguk serambi berterima kasih, ia hendak


keluar, tapi tanpa sadar belasan mata memburu gerak-geriknya
seperti hendak menelan hidup-hidup. Ia baru sadar kalau saat ini ia
tengah memasuki kandang pejantan tangguh, tempat dadu domino
dan remi yang berputar dibalik bayangan bandar judi. Salah satu
dari pejantan itu mendekati sang betina.

‘’Mau kemana cantik…,’’ goda pria bertato itu sambil


membelai dagu Citra lembut.

‘’Lepaskan,’’ tepis Citra seraya menyingkirkan tangan berbau


asap rokok itu dari wajahnya.

Salah satu dari pejantan itu kemudian ikut menghampiri.


Pelampilan wajahnya lumayan sangar dengan tindik yang terpasang
dilidah sekaligus dipojok daun telinganya. Rambutnya terkesan
urak-urakan sedang tubuhnya relatif gagah.

‘’Bagaimana kalau kita bersenang-senang sedikit malam ini


centil,’’ mereka tertawa menggelak sehabis mengatai Citra dengan
sebutan yang menurutnya jorok itu.

140
Sejenak Citra mengamati gambar tato dikulit lengan mereka,
sebuah lambang ular cobra merah menambah gawat penampilan
keduanya.

Suara tepuk tangan tiba-tiba terdengar dari balik pintu


dapur. Seseorang kemudian muncul secara tak terduga.
‘’Hahaha…,’’ tawanya. ‘’ Jangan ganggu dia, dia adalah kekasihku
dan aku mau bicara empat mata dengannya.’’

Citra kenal betul dengan siapa dia. Dua orang bertato


kembar tadi mundur empat langkah memberi kesempatan pada
bosnya untuk mendekati si betina elok itu.

‘’Sulaiman?!!,’’ desis Citra sedikit terkejut.

‘’Ada apa datang kesini sayang? Sedang merinduiku?,’’ kata


Sulaiman gede rasa. Sungguh menyebalkan bertemu dengan orang
seperti dia ditempat penuh preman seperti ini. Senyum Sulaiman
mendadak beku menjadi tatapan penuh emosional. Ia menarik
lengan Citra paksa dan menyeretnya keluar.

‘’Apa maksud dari semua ini, Sulaiman!!,’’ tanya Citra sambil


melepas cengkraman erat ditangannya.

‘’Citra… aku bisa jelasin semua ini, kejadian saat wisuda


beberapa tahun lalu,’’

141
‘’Tak ada yang perlu dijelasin,’’ sergah Citra. Ia masih
memendam besit kecewa pada orang yang pernah mengguna-
gunainya itu.

Mereka saling menatap lekat…

Sulaiman kembali memegangi tangan Citra, tatapannya


tajam mencoba tuk merasuki alam bawah sadar dia, namun jiwa
gadis itu memberikan sedikit reaksi penolakan tanpa sigadis sadari,
gus Ahmad telah menanam segel jimat anti pelet pada sabuk yang
saat ini dikenakan Citra. Sulaiman merasakan kehadiran para ahli
langit pada sabut itu, ia jadi tak berani berbuat lebih.

‘’Kubilang lepaskan!!! Aku tidak ada urusan lagi denganmu,


lagi pula aku sudah punya tunangan, tak perlu ada lagi problem
diantara kita.’’ Kata Citra sedikit geram.

‘’Tunangan?!!,’’ desis pria itu tak percaya.

‘’Iya,, sebentar lagi aku akan menikah, jangan ganggu aku


lagi.’’

Kali ini Sulaiman tak dapat berkata apa-apa. Ada rasa sesak
yang mengoyak dadanya kala mendengar penuturan singkat itu.
Citra yang saat ini tengah mengenakan jilbab biru muda anggun itu
berlari meninggalkan dia yang terdiam memaku. Tatapan Sulaiman
kosong berbinar penuh kecewa. Serasa seperti hendak ditelan bumi.

142
Citra tak peduli, ia tetap berlalu pergi ditengah-tengah
rintikan hujan yang mengguyur gerimis, iapun mulai
menghidupkan mesin sepeda motornya dan langsung tancap gas
begitu jalanan sedikit sepi.

‘’Citra!! Citra!!,,’’ teriak Sulaiman memanggil, namun Citra


tak mau mendengarkannya dan semakin jauh pergi.

‘’Ahh… sial tuh cewek,’’ Sulaiman benar-benar kesal. Sekian


lama tak pernah bertemu, sekarang malah sikap acuh tidak acuh
yang didapat. Salah satu dari anak buahnya tadi kemudian
menghampiri dan berbisik.

‘’Bos,, gimana kalau…,’’ suara bisikan itu hampir tak


terdengar orang lain. Sulaiman kemudian menyeringai nakal. Sorot
matanya tajam penuh ambisi. ‘’Kalau aku tak dapat memiliki dia,
maka orang lainpun juga demikian.’’

***

Rembulan setengah purnama memancarkan keindahannya,


bentangan cahayanya memeluk Nara hangat. Gemintang bintang
dilangit bertaburan diangkasa terpantul dibening bola matanya.
Nara menyandarkan diri pada tiang depan rumah, pandangannya
menengadah keatas. Sebuah bulir air mata meliuk turun kepipi,
haru tangis lelah menahan derita perkepanjangan, ia cenderung
menyendiri dari kedua temannya.

143
Canda tawa Mamad dan Zani terdengar menggelegak,
biarlah mereka asik bercanda gurau sedang ia berkalut hati sendiri.
Melihat hal itu Zani kemudian menghampiri.

‘’Hey,, ada apa Nara? Kenapa kamu menangis,’’

‘’Enggak, mataku hanya kelilipan,’’ balas Nara berbohong.


Tangannya sibuk pura-pura ngucek mata. Mamad kemudian ikut
menghampiri.

‘’Pipimu kenapa? Seingatku kemaren kayaknya gak ada luka


beret kayak gitu.’’ Mamad dan Zani baru menyadarinya.

‘’Dicakar kucing,’’ lagi-lagi Nara berbohong.

Salah satu dari mereka kemudian memerhatikan bekas luka


itu seksama, otak Zani kemudian bergerak cepat menyimpulkan
dugaan apa yang terjadi dengan pipi Nara itu.

‘’Tidak,, dicakar kucing tidak sampai gitu, itu seperti bekas


luka tamparan. Kamu pasti habis dihajar lagi sama ayah tiri kamu.
Iya kan?,’’ tebak Zani yang memang sudah mengetahui ayah tiri
Nara yang jahat. ‘’Dapat dipastikan ayah tiri kamu saat itu tengah
mengenakan semacam cincin atau apa saat mendaratkan
tamparan,’’ tambahnya.

‘’Kalau begitu cobalah ceritakan pada kami,’’ desak Mamad.

144
‘’Aku bingung rek, tempatku kembali sudah tiada,’’ jawab
Nara bersedih hati.

‘’Apa maksudnya?,’’ rupanya Mamad belum mengerti.

Nara menghembuskan napasnya pelan, setenang bintang


dilangit ia berusaha menceritakannya dengan sabar. ‘’Aku diusir
oleh ayah dan ibuku, sekarang aku tak tahu malam ini harus tidur
dimana,’’ Nara akhirnya mulai bercerita dengan air mata yang
kembali menetes. Seda-sedu penuh lara hatinya sangat kacau.

‘’Bagaimana bisa??,’’ tanya Mamad dan Zani bersamaan. Ini


pasti mimpi, mereka benar-benar tak percaya.

‘’Aku dituduh mencuri oleh ayah tiriku, lalu ibuku


memercayainya begitu saja. Ibu lantas mengusirku sebab aku tak
mau mengembalikan barang curiannya. Apa yang harus
kukembalikan kalau aku tidak mencuri?.’’ Nara mulai sesenggukan.

‘’Selama ini aku selalu mendapat perlakuan kasar darinya.


Sedikit salah, hukuman yang dijatuhkan kepadaku tidak nanggung-
nanggung. Pernah aku diikat pada tiang kandang sapi dibelakang
rumah. Kadang pernah juga aku diseret dan dikunci dalam kamar
selama beberapa hari. Dan yang paling menyakitkan,, aku pernah
disiram kopi panas hingga kepalaku rasanya mau melepuh,’’ Tutur
Nara panjang lebar. Anak itu berusaha menutupi kesedihannya

145
dengan menyeka air mata yang hendak jatuh kepipi, berusaha
menjadi anak yang tidak cengeng dihadapan kedua temannya.

***

Beda tempat beda cuaca. Hujan rintik tiba-tiba mengguyur


deras. Dalam sekejap badan Citra sudah basah kuyup, ia lupa
membawa mantel. Jaket yang dikenakannya saat inipun tak cukup
untuk melindunginya dari deru deras air hujan dan terpa desau
angin yang berembus liar.

Dekat Indomaret sebelah timur swalan ratu, Citra


menepikan sepeda motornya. Gadis itu kemudian berlari
kepelataran Indomaret untuk sekedar berteduh. Hujan semakin
lebat. Citra menoleh kanan kiri. Bau nasi goreng menyapa
hidungnya. Sebuah aroma yang memberi intruksi lapar pada sang
perut yang mulai kriuk kriuk keroncongan. Sedari pulang kuliah
tadi Citra belum makan, ia langsung berangkat mencari Nara begitu
dapat kabar kalau adiknya diusir dari rumah. Mengelilingi
Gondanglegi ia berusaha mencari, namun hasilnya nihil, satu-
satunya adik yang ia sayangi itu belum juga ketemu sampai saat ini.

Sambil menunggu hujan reda, Citra memesan nasi goreng, ia


kemudian duduk dibangku dekat wajan penggorengan untuk
sekedar menghangatkan diri. Sesekali pandangannya melihat
kejalanan, siapa tahu adiknya itu lewat jalan sini secara kebetulan.

146
Agak lama, semenit kemudian nasi goreng pesanannya sudah
terhidang. Mantap...

Citra langsung menyantapnya lahap, tetes bekas air hujan


masih berjatuhan dari ujung rok tipisnya yang sedikit kusut, butir-
butir air itu kemudian merembes keatas permukaan tanah.

Diseberang jalan sana tampak seorang nenek-nenek


pengemis yang tengah membeber selembar tikar tua bersama
anaknya. Citra berhenti makan sebab kasihan kepada orang itu. Ia
sedikit terkejut, sendok dan garpu yang saat ini dipegangnya tiba-
tiba jatuh.

Ia pasti salah lihat...

Bayangan Nara terlintas dibelakang pengemis itu, ikut


meringkuk dan menangis kedinginan. Citra melirik kebawah, nasi
goreng dipiringnya tinggal separuh. Ia baru ingat, bagaimana bisa ia
makan selahap ini, sedang adiknya mungkin sedang kelaparan
dijalanan.

‘’Kemana lagi aku harus mencarimu, Nara.’’ Desah dia.

***

‘’Kalau begitu tinggalah dirumahku,’’ ajak Mamad


menawani. Nara menggeleng tidak mau. Zani kemudian berlalu

147
masuk kedalam kamar untuk menceritakan perihal ini kepada
nenek. Sang nenek kemudian menyuruh Nara masuk.

‘’Silahkan masuk lee,, jangan sungkan-sungkan,’’ kata nenek


itu menyilahkan.

‘’Permisi njeh,’’ Nara mulai masuk dan duduk menyamping


diatas dipan kasur yang empuk. Zani melanjutkan pembuatan
kerajinan tangannya yang hampir jadi bersama Mamad. Biar sang
nenek berbicara leluasa dengan leluasa didalam kamarnya.

‘’Bagaimana ceritanya kamu bisa seperti ini nak,’’ tanya


nenek. Nara kemudian menceritakannya dari awal, seberseberusaha
mungkin ia menahan gejolak tangis, nenek itu mendengarkan dan
mengelus pundaknya iba. Seorang nenek yang kebetulan tengah
menelpon putrinya yang saat ini sedang bekerja di Saudi Arabia itu
mengalihkan pembicaraannya kepada Nara, sepertinya ibu Zani
mau berbicara.

‘’Yang sabar ya nak, ini cobaan dari Allah, sampean itu


hendak dijadiken orang yang hebat,, Cuma ya diuji dulu, sanggung
apa enggak gitu kamu ngejalaninnya. Ketika sudah sukses nanti biar
ndak kaget lagi kalau menghadapi hal-hal yang rumit. Nama kamu
siapa se?,’’ tanya ibunya Zani yang saat itu memang belum
mengenal Nara.

‘’Nara tante,’’ balas Nara singkat.

148
‘’Ya sudah,, jangan mudah putus asa njeh, Nara. Gak boleh
menyerah, harus tetap semangat jalani hari-harinya. Teruslah
berjuang menggapai cita-cita dan jangan sampai berhenti sekolah
sampai kejenjang yang lebih tinggi. Insya Allah ibu akan membantu
biaya pendidikan kamu dari sini. Do’akan rezeki ibu lancar.’’

‘’Terima kasih, tante. Terima kasih,, Nara benar-benar


bersyukur ada orang yang berkenan membiayai sekolah Nara. Nara
tak tahu bagaimana caranya membalas semua kebaikan ini.
Jazakumullah ‘Alaikum Ahsanul Jaza’, semoga Allah membalas
semua kebaikan tante dengan sebaik-baik balasan.’’ Suara Nara
sedikit tersedu-sedu.

‘’Tak apa, anggap saja tante ini adalah ibu kamu sendiri dan
Zani sebagai saudara. Kalau mau makan tak perlu disuruh, ajak saja
dia, gak usah sungkan-sungkan pokoknya. Mulai sekarang rumah
Zani adalah rumah kamu juga, kamu bebas tinggal disitu,’’ suara
diseberang sedikit terjeda.

‘’Kalau mau nonton tv, remotnya biasa emak simpan dilaci.


Handuk ibu tidak dipakai, pakai saja kalau mau mandi. Gak usah
bingung-bingung kalau masalah masa depan, pokok kamu harus
tetep sekolah, gak boleh berhenti. Tante yakin ibu kamu pasti akan
segera mencarimu kemari, sebab tiada ibu yang tidak sayang pada
anaknya. Terlebih kamu adalah anak yang pinter, baik, dan berbudi
pakerti. Tante tahu itu dari nenek. Mungkin ibu kamu keceplosan

149
waktu itu, husnudzon aja. Allah akan membenarkan prasangka baik
dari hamba-Nya. Perbanyaklah berdo’a yang positif dan jangan
sampai mendo’akan keburukan bagi siapapun yang telah
mendzolimi kamu. Dibalik semua ini pasti ada hikmahnya.’’ Nasihat
ibunya Zani itu terdengar sejuk dihati Nara. Sesaat serasa seperti
dipeluk Allah, ubun-ubun Nara berdenyut pertanda penuh
ketenangan.

Zani kemudian nongol dari balik celah pintu, ‘’Ssttt,, Nara...


sini!!,’’ panggil Zani berdesis. Nara melirik, ‘’Ada apa Zan?,’’

‘’Boleh minta tolong sebentar,’’

Nara menoleh kearah nenek, memohon pamit dengan


isyarat tatapan mata. Nenek Zani itu kemudian mengangguk
menyilahkan. Iapun kembali berbincang-bincang dengan putri
semata wayangnya diseberang telepon sana.

‘’Tadi ibuku bilang gimana?,’’

‘’Sebuah nasihat panjang yang intinya aku tak boleh


menyerah.’’ Jawab Nara. Sejenak mereka terdiam...

‘’Ibu kamu seorang ustadzah kah?,’’ tanya Nara kemudian.

‘’Bisa jadi,, kenapa? Kamu habis diceramahi?,’’

Nara mengangguk.citra

150
‘’Hehehe,, biasa, ibuku gitu,’’ Zani sedikit angkuh tapi
sebatas bercanda.

‘’Ehh,, tolong belikan solasi sama cat pewarna ya, cat


pewarnanya hampir habis.’’ Pinta Zani sambil menyodorkan uang
20 ribuan pada Nara.

‘’Lah mamad mana?,’’

‘’Masih kekamar mandi,’’

Nara kemudian langsung berangkat ketoko dekat jalan raya. Dalam


hati ia berbisik, ‘’Zani beruntung punya ibu seperti dia,’’ gumamnya.

***

Hujan perlahan mulai reda, Citra meminta nasi goreng yang


belum habis tadi untuk dibungkus dan dibawa pulang. Bolak-balik
ia melirik jam tangan, jam pukul 10 lewat 20 menit. Ia tak berani
pulang sebab jalanan yang mulai menggelap dan sepi. Lampu-
lampu dipelataran rumah warga banyak yang sudah redup, hanya
sebagian yang masih menerangi. Citra tetap tak berani pulang,
kebat-kebit hatinya merasa takut melewati jalanan bertanjakan
curam menuju desa tadi.

Hp Citra berdering sesaat, pertanda ada SMS masuk.


Sepertinya dari Arif. ‘’Kamu sekarang ada dimana Citra?, ibu kamu
mencarimu kesini tadi,’’

151
‘’Aku ada didekat swalayan Ratu Gondanglegi mas, gak
berani pulang sendiri, adikku belum juga ketemu ,’’ balas Citra
memasang emoticon sedih.

‘’Oke, akan aku jemput. Tunggu disitu,’’

Citra mengelapi hpnya yang sedikit basah, untung saat


hujan deras tadi ia segera berteduh. Kalau tidak urusan bisa jadi
gawat dan iapun tak akan bisa pulang malam ini. Ia kemudian
menghampiri dua orang pengemis tadi, memberi sebungkus sisa
nasi goreng pada mereka. Pengemis itu tampak begitu kumuh, si
nenek tua lebih mengalah dan mendahulukan anaknya. Tak
masalah, ia bisa menahan lapar, yang penting anaknya bisa kenyang
dan tidur nyenyak malam ini. Si nenek tua itu kemudian berterima
kasih, Citrapun merasa iba melihatnya. Akhirnya iapun membelikan
sebungkus nasi goreng lagi untuk mereka.

15 menit menunggu didepan Indomaret dekat swalayan


Ratu, tak lama kemudian Arif datang.

‘’Mas, adikku-,’’ ucapan Citra terpotong

‘’Iya, aku tahu. Ibu kamu bercerita panjang lebar lepas


magrib tadi,’’ kata Arif.

‘’Lalu bagaimana? Apa perlu kita telpon polisi?,’’

152
‘’Kurasa ndak perlu, lebih baik ikut kerumahku sebentar,
siapa tahu abahku bisa membantu,’’ ajak Arif memberi saran.

***

Setibanya dirumah, Gus Ahmad langsung membukakan


pintu. Citra kemudian mencium punggung calon mertuanya itu
sambil beruluk salam takdzim.

‘’Abah,, adik Citra ka,,-‘’

‘’Apa adik kamu meninggalkan sesuatu,’’ sahut Gus Ahmad.


Rupanya beliau sudah tahu maksud Arif membawanya kemari.

Gadis itu baru ingat, ia segera mengambil surat dari Nara


yang sempat ia bawa disaku dalam. Arif segera mengalihkan
pandangan, ia takut melihat lekuk tubuh Citra yang sedikit terlihat
sebab baju yang belum kering. Citrapun menyadari tingkah pria itu,
tak salah jika ia memilih Arif sebagai calon suami yang kelak kan
imam dalam hidupnya dunia akhirat.

Sang pangeran dambaan hati...

Citra kemudian menyerahkan surat itu kepada Gus Ahmad


sambil membenahi lerekan dijaketnya. Sejenak Gus Ahmad
membacanya, tampak gurat-gurat memamah wajah beliau yang
kian menua itu serius membacanya hingga selesai. Beliau lalu
memejamkan mata lantas tersenyum.

153
‘’Adik kamu tidak ke Madura, dia masih tidak jauh dari desa
ini,’’ kata beliau.

‘’Ya ampun, Nara...,’’ Citra mulai terisak.

Arif berusaha melipur lara dia.

‘’Sudah Citra,, jangan bersedih. Lebih baik kamu tak anterin


pulang dulu, urusan adik kamu biar aku yang mencari. Sekarang
sudah terlalu malam, besok kamu juga harus kuliah,’’ nasihat Arif.

Citra sedikit ngeyel, tapi arif berhasil meyakinkannya.

‘’Aku janji, adik kamu pasti ketemu,’’ kata dia.

Gadis itu akhirnya mengangguk paham, iapun langsung memohon


pamit pada Gus Ahmad tanpa sejenakpun lenggah duduk.

Gus Ahmad mengerti...

‘’Hati-hati dijalan, jaga jarak dan pandangan sebab kalian


masih belum resmi jadi suami istri. Dan Arif, abah mohon jaga Citra
baik-baik,’’ pesan beliau.

Arif mengangguk, mereka berduapun akhirnya sama-sama


menghidupkan stater. Sejurus kemudian mereka meluncur ketengah
sunyian malam dijalanan yang benar-benar sepi. Gus Ahmad
mengiringi perjalanan mereka dengan segenap untaian do’a,

154
‘’Semoga Allah mempertemukan kalian dengan Nara,’’ harap beliau
cemas.

***

Mendekati jam 11 malam, Nara menatap bintang-bintang


bertaburan dilangit melalui cendela atas ruang tamu. Iringan dua
pengendara sepeda motor melaju cepat membelah kesunyian. Nara
sempat melihat kedua pengendara itu, sekilas tampak seorang laki-
laki dan perempuan dewasa yang sama-sama ngebut. Jantung dan
hati anak itu bergetar tiba-tiba.

Zani mengangetkan dari belakang, membuat anak itu sedikit


terkejut.

‘’Belum tidur,?’’ tanya Zani.

‘’Eh?!! Kamu ternyata, Zan?. Aku belum ngantuk,’’

Mereka bergeming sejenak sambil melihat langit penuh pernak-


pernik bintang diangkasa. Tadi di desa ini sempat turun hujan
gerimis sesaat, tampaknya sekarang langit sudah tak berkabut
mendung lagi.

‘’Kenapa tiba-tiba aku jadi teringat kakakku ya?,’’ kata Nara


curhat.

‘’Mungkin kamu sedang merindukan dia kali?,’’

155
Nara terdiam sesaat, Zani kemudian menyuruhnya agar tidur di
kamar, biar Zani tidur dikamarnya nenek, mereka sudah biasa tidur
bersama. Tapi Nara lebih memilih tidur disini. Ia tahu diri, dirumah
ini ia hanya sebatas ngampung.

Nara mulai merebahkan diri, pikirannya yang kusut mulai


melayang-layang kemana-mana. Zani kemudian berlalu mematikan
lampu. Narapun perlahan mulai memejamkan mata. Dalam
hitungan menit ia sudah terbuai dalam mimpi.

***

Tiba dipertigaan gang kecil menuju rumah Citra, Arif


langsung berbelok pulang, ia hanya bisa mengantarkan Citra sampai
sini. Beberapa meter ke utara Citra sudah sampai di depan rumah,
ketika ia hendak mengetuk pintu, secepat angin lalu, sebuah tangan
kekar membius dan membawanya pergi. Citra sempat berteriak, tapi
reaksi obat bius di sapu tangan orang itu begitu cepat merasuk dan
melumpuhkan seluruh panca indranya, sampai ia tak sadarkan diri.
Disisi lain, sejenak Arif mendengar teriakan gadis minta tolong,
segera berbalik kembali karna takut terjadi apa-apa dengan Citra.

Citra terkulai lemah diatas bongkahan batu besar tanpa


sadarkan diri. Seseorang berkedok topeng hitam jambret yang telah
membiusnya tadi, membawa Citra kebelantara belakang rumah.
Disana, tampak kedua temannya sedang menunggu. Hanya
mengandalkan remang rembulan purnama, mereka bermaksud
156
menyelami lautan samudera penuh mutiara bermahkotakan
kehormatan si gadis untuk sekedar mencicipi kenikmatan yang
tersaji didalamnya. Akan mereka bawa si gadis menuju langit
ketujuh untuk sekedar bersenang-senang.

Salah satu dari mereka kemudian membuka beberapa


kancing baju bagian atas, orang itu kemudian menindih kasar dan
menggerayangi tubuh sintal Citra penuh gejolak goda. Ketiga
kancing baju bagian atas telah dibuka, mereka menatap buas
pemandangan yang tersaji indah dihadapan keji kebiadaban mereka
itu penuh nafsu. Ketika hendak mencumbu, sebuah tendangan keras
mendarat tepat di ulu hatinya, membuat pria rada edan itu
terjungkir balik mengerang kesakitan, ia pasti kesulitan bernapas.
Kedua temannya yang lain sedikit mengambil jarak, mereka
mengambil kuda-kuda untuk menyerang. Arif tersenyum remeh
melihat gerak-gerik mereka, sepertinya mereka hanya petarung
jalanan biasa.

Sayu-sayu mata Citra mulai terbuka, ia terkejut menyadari


kalau 3 kancing baju bagian atasnya terbuka. Segera ia benakan
kembali kancing-kancing bajunya itu. Disebelahnya seseorang tak
dikenali mengerang sakit.

Citra berdiri untuk mencari jaketnya yang entah hilang


kemana, tak jauh dari situ ia melihat tiga orang tengah bergulat
sengit bergelut peluh.

157
‘’Jangan bergerak, atau pisau ini akan menggorok tajam urat
leher gadis ini,’’ ancam pria tadi berteriak kearah Arif. Dengan sigap
ia mencekam leher si gadis itu dari belakang dengan menodongkan
pisau tepat dilehernya.

Citra hanya terdiam mematung, kembang kempis dadanya


naik turun ketakutan. Keringat dingin mengucur deras bercampur
dengan debu yang menempel kotor diwajahnya.

Suasana benar-benar gawat...

Arif berpikir cepat, lirak-lirik sorot matanya mengamati


keadaan. Tak bisa lari, ia juga sedang dalam masalah. Meras
terpojokkan iapun memejamkan mata, mencoba berbicara melalui
telepati.

‘’Citra, kuharap kau mendengar kata batinku. Gigit lengan


orang itu dan sikut ulu hatinya keras. Teriakkan ‘Allahu Akbar’ dan
segera lari kesini.’’ Kata Arif dalam hati.

Citra seakan mendapat firasat, iapun menggigit lengan


orang itu dan menyikut dadanya sesuai intruksi yang ia dapat dalam
hati. Orang itupun kembali mengerang kesakitan, kali ini benar-
benar terpukul telak, orang itu takkan bisa bangkit dengan kondisi
ulu hati dan dada yang tersikut. Lengan orang itu juga sedikit
terluka karna gigitan gigi gingsul Citra yang agak lancip.

158
Gadis itu segera berlari kearah Arif.

‘’Kerja bagus,, tetaplah berada didekatku,’’ perintah kak Arif.


Dalam sekejap Arif berhasil membereskan mereka dengan berbagai
jurus pencak silat andalannya. Begitu mereka merasa kapok,
merekapun lari terbirit-birit ketakutan.

‘’Kau tidak apa-apa,?’’ tanya Arif.

‘’Mas sendiri,?’’ Citra berbalik tanya.

Pangeran sang dambaan hati itu menggeleng ringan. Citra akhirnya


bisa bernapas lega. Keadaan kembali membaik.

***

Kuncup bunga tulip bermerkaran. Hembusan angin


mendayung sejuk rimbun padang rerumputan menghampar hijau.
Nara kecil berjalan mengendap. Seekor kupu-kupu cantik menari
diatas panorama puspita bunga, bentangan sayapnya lebar biru
gelap berkipar terbang pelan. Si Nara kecil terus berjalan
mengendap mengikuti kemana arah ulat yang menjelma kupu-kupu
itu pergi. Seakan mainan tentara-tentaraan, Nara menunduk tiarap
dibalik semak-semak. Saat kupu-kupu mungil itu hendak
bersinggah disetangkai bunga, Nara langsung menerkamnya dari
belakang.

Happ... Kena!!

159
***

Dibawah naungan pohon rindang, Citra asik mendengarkan


lagu Agnes Monica di MP3, terbayang semua masa lalunya penuh
cerita bersama seseorang.

Selama aku mencari

Selama aku menanti

Bayang-bayangmu di batas senja

Matahari membakar rinduku

Ku melayang terbang tinggi

Bersama mega mega

Menembus dinding waktu

Ku terbaring dan pejamkan mata

Dalam hati kupangil namamu

Semoga saja kau dengar dan merasakan...

Getaran dihatiku

Yang lama haus akan belaianmu

Seperti saat dulu

160
Saat saat pertama kau dekap dan kau kecup bibir ini

Dan kau bisikkan kata-kata

aku cinta kepadamu...

Peluhku berjatuhan

Menikmati sentuhan

Perasaan yang teramat dalam

Telah kau bawa segala yang ku punya

Segala yang kupunya

Ouoooooo hooo

Getaran dihatiku

Yang lama haus akan belaianmu

Seperti saat dulu

Saat saat pertama kau dekap dan kau kecup bibir ini

Dan kau bisikan kata-kata

Aku cinta kepadamu ooho

Kepadamu hohooo

161
Nara datang dengan tersenyum simpul, kedua tangannya ia
sembunyikan dibalik badannya. Citra kemudian melepas headset
telinga melihat adiknya membawa sesuatu.

‘’Abis dari mana, adek.?’’ Tanya Citra, ia lebih suka


memanggil Nara ‘adek’ saat Nara masih kecil.

‘’Tara!!,, coba lihat apa yang Nara bawa,’’ Nara memberi


kejutan. Kupu-kupu dengan sayap putih-hitam-biru.

‘’Waahh,, Cantiknya... ini untuk kakak?’’

Nara menangguk.

‘’Tapi kok sayapnya hampir rusak,’’ tanya kak Citra

‘’Aku hampir terjatuh tadi kak, yaudah,, jadinya gini deh.’’

Tak tahu apa yang terjadi, lambat laun suasana mimpi


beralih kemasa saat ia masih menyusui. Bagai melihat tayangan
masa lalu, Nara melihat dirinya sendiri diribaan timang sang bunda.
Ibundanya itu kemudian merapalkan syair gubahan tembang jawa
penuh kasih sayang dan penuh lemah lembut. Agar si bayi bisa
tertidur pulas. Ketenangan yang menyejukkan masing-masing
kalbu. Bernada shalawat badar.

162
#-Ibadallah rijalallah * Agitsuna li’ajlillah

Wakunu ‘aunana lillah * ‘Asa nahdho bi fadhlillah

Poro sederek kulo sedoyo

Jaler estri enom lan tuo

Mumpung urip ono alam dunyo

Saben waktu podo ilingo

Ilingono yen teko timbalan

Yen wes budal ora keno wakilan

Timbalane Kang Moho Kuoso

Gelem ora bakale lungo

Disalini penganggu putih

Yen wes budal ora keno mole

Tumpakane kereto jowo

Rudo papat rupo menungso

Jujukane omah guo

163
Tanpo bantal tanpo keloso

Yen omahe ganok lawange

Turu dewe ganok rewange

Ditutupi ambyang-ambyang

Diuruki lan disiram kembang

Tonggo-tonggo podo sambang

Anak bojo nangis koyok wong nembang

Saat itu rumah Ijah masih terbuat dari anyaman bambu.


Hujan deras yang mengguyur lebat setetes demi tetes tak tertopang
alias bocor dari celah genteng yang sedikit berlubang. Si kecil Nara
jadi menangis. Citra jadi tak enak tidur mendengar jerit tangis
adiknya itu kencang.

Ijah kemudian menggendongnya sambil menyanyikan lagu


tembang jawa tadi untuk melipur

‘’Cup... Cup... Cup..., Uuuutt tilah, sini tiiikk,, gentengnya


bocor ya? Iya?,, duhh kasian ee si kecilku,,’’ Sebuah kalimat yang
menjadi kebiasaan orang jawa saat ada anak kecil yang menangis.

164
Sehalus dekapan sutra, nada-nada penuh makna religi
mengiringi ayunan dekapannya sambil menyusui. Selembut
selendang batik nyanyian tembang jawa itu melebur hangat di hati
si bayi. Damar lentera cempluk menyinari sebagian ruangan. Saat
itu adalah zaman dimana desa Kanigoro ini sepi listrik.

***

Mata Nara sedikit terbuka, perasaan hatinya mulai sensitif,


sementara pikirannya masih terjebak dalam buaian sang mimpi,
membayang semua masa lalu yang terbawa dalam mimpi itu, mimpi
penuh kasih sayang. Sekarang ia tak ubahnya anak buangan yang
tak dibutuhkan keluarganya lagi. Mimpi itu merajut harapan padam
dan berkeruh dalam hati yang terasa perih. Tanpa disadari anair
matanya meliuk turun kedaun telinga, buncah-buncah kerinduan
menyeruak masuk kedalam sendi-sendi nurani.

Dalam mimpi itu, seekor merpati cantik hinggap di


pundaknya. Nara mengelus-ngelus merpati itu, mencoba berteman
baik dengannya. Si Burung merpati putih kemudian menatap Nara
dengan sebelah matanya, seolah ia sedang mengajaknya bicara.

Merpati itu selalu ikut kemanapun Nara pergi, bahkan


ketika Nara hendak kekamar mandi untuk sekedar mengambil air
wudlu. Ia mencoba mengurung burung cantik itu di ruang tamu
saat ia bergegas hendak menunaikan ibadah shalat dhuhur di
kamar, tapi tanpa diduga merpati itu tahu-tahu sudah ada diatas
165
sajadah. Nara membawanya keluar dan menerbangkannya
keangkasa bebas, sekali lagi, saat Nara pergi kekamar, merpati itu
sudah berada diatas sajadah. Aneh. Mungkin ia hendak ikut shalat
juga.

Narapun akhirnya membiarkan sang merpati bertengger di


pundaknya saat shalat. Namun, ketika ruku’, kotoran merpati itu
terasa mengenai pakaiannya. ‘’Sial sekali nih burung.’’ Umpatnya
pada burung merpati dalam mimpi aneh itu.

***

Nara mulet-mulet, begitu terbangun kak Hasan yang semula


mengawasinya segera pergi. Nara mengerjap-ngerjapkan bola mata,
sambil menguap lebar mulutnya yang ia tutupi dengan punggung
tangan sebelah kiri, ia segera beranjak kekamar mandi. Diruang
tengah, Zani masih tertidur pulas di sebelah neneknya. Jam di
dinding menunjuk jam 3.35 WIB, masih sempat shalat tahajjud. Di
beranda rumah tempat Zani dan neneknya tidur itu lampu
dibiarkan tetap menyala, memudahkan langkah Nara mengambil air
wudlu’ dikamar mandi tanpa harus repot-repot menghidupkan
saklar.

***

166
7

Ulang Tahun Yang Terlupakan

Disudut malam kelam, Nara duduk bersimpuh sedu diatas


sajadah tua. Nada kembang kempis dadanya bernapas haru meniti
semu hari berpeluh duka. Selembar harapan dihati kecilnya menjerit
lapuk, tumpahan air mata menetes deras dikening sajadah begitu ia
bersujud dan merendahkan diri pada Sang Ilahi.

Jerit tangis dihatinya merengek melas terpaut dimulutnya


yang mewek sedih pada Sang Rabby, memohon beribu ampun atas
segala dosa yang telah lalu berembun sekian banyak sehingga tak
dapat dihitung rumus Matematika. Hari-hari ia lalui dengan kelam,
sedikit makan membuatnya terlihat semakin kurus. Sampai hari
ketiga Nara menginap dirumahnya Zani, anak itupun bersiap
berangkat ke sekolah pagi itu.

‘’Pakai saja sepatuku,’’ kata Zani begitu menyadari kalau


Nara lupa membawa sepatu.

Nara menoleh bimbang, tapi temannya itu kemudian mengatakan,


‘’Aku punya dua kok, yang itu pakai aja,’’

167
‘’Aku akan membagi uang jajanku denganmu tapi dengan
satu syarat,’’ kata Zani.

Nara bertanya ‘’Apa?.’’

‘’Kau harus berhenti merokok, terlalu banyak merokok


mungkin membuatmu sedikit liar dan nakal seperti ini,’’ ujar dia
memberi syarat.

Merasa terharu dalam bingkai bunga rasa, Nara memeluk


sahabatnya itu erat. Ia menyadari kalau asap rokok telah
membutakan hati beningnya jadi rawa yang berkeruh. Berawal dari
coba-coba iseng, lambat laun iapun mulai ketagihan, mungkin
ibunya sering memarahi dia sebab kebiasaan buruk ini. Sikap di
dirinyapun jadi berubah. Kejadian waktu itu awalnya hanya karna
keisengan saja untuk mengotak-atik hp ayah tirinya, tapi hal itu
sepertinya berimbas pada bencana yang menimpa dirinya sampai
kini. Sampai kapan atau mungkin selamanya ia tetap tingggal
dirumah Zani dalam keadaan terpuruk seperti ini. Kisah yang
menyebalkan.

***

‘’Pagi, Miftahul Ulum...,’’ sapa Mamad. Zani dan Nara


bertemu dengannya tepat didepan gerbang. Puluhan mata menatap
lekat sebagian kearah mereka. Bukan, bukan mereka, tapi rumah-

168
rumahan yang dibawa Zani yang bentuknya kecil unik tapi
desainnya cukup ‘’Waahhh,,’’ membuat semuanya terkesima.

Zani dan Mamad memasuki ruang kelas terlebih dahulu,


disisi lain Nara sempat berpapasan dengan Feby, tapi tak sekikitpun
mereka menyapa. Wajah gadis itu terlihat sedikit pucat, ‘’Mungkin
sedang tak enak badan atau sedang apalah.’’ Nara berpositif hati.
Saat keduanya hendak memasuki kelas masing-masing, langkah
mereka tiba-tiba terhenti. Kebetulan kelas mereka bersebelahan.

-Feby melirik...

-Nara melirik...

Mereka dalam posisi bertolak kaca saling memunggungi. Terpa


hembus angin memecah kesunyian, sekedar menyapa dan berlalu
pergi meninggalkan jejak jilbab dan rok seragam Feby berkipar
pelan. Hening sesaat...

‘’Aku tahu kabar pahitmu dari teman-teman, apa benar kau


diusir?,’’ tanya Feby dengan parasnya yang pucat. Sambil berkata
‘iya’, Nara mengangguk ragu. Ia takut Feby berburuk sangka atau
gimana.

Feby menutup mata sebentar kemudian langsung berlalu


pergi, ia masuk keruang kelas tanpa meninggalkan sepatah katapun.
Sejatinya ia berbuat seperti itu hanya untuk menyembunyikan air

169
mata yang sedikit membasahi jilbab didagunya. Gadis itu
memendam hiruk pikuk kesedihan atas musibah yang menimpa diri
Nara dalam perasaan yang teramat dalam, yang tak siapapun
mengetahuinya kecuali Allah, malaikat, dan dirinya sendiri yang
pasti.

Bilik-bilik hati Nara merasa tak enak akan sikap gadis itu,
tapi entahlah, mungkin benar dia sedang tidak enak badan. Didalam
kelas, tampak Bu Badriah tengah mengamati hasil kerajinan kawan-
kawan untuk dinilai. Guru seni budaya itu lekas memandang kearah
Nara begitu Nara hendak masuk.

Kluyur-kluyur Nara mengambil tempat duduk didekat Sindy


dan Mia, pandangannya celingak-celinguk melihat keadaan sekitar,
dimasing-masing meja kelompok temannya terdapat hasil karya
kerajinan tangan mereka. Termasuk dimeja kelompok Nara sendiri.

Setiap kelompok diwajibkan membuat dua karya seni 3


dimensi, dikelompok RJ (Singkatan kelompok rumput jepang Nara
dan kawan-kawan) mereka membuat rumah-rumahan dari stick ice
cream dan pesawat terbang yang menjadi pelengkap dihalamannya,
sungguh unik karya seni mereka. Tapi karya teman-teman lain tak
kalah unik, ada yang membuat perahu dari kayu randu, ada yang
membuat pigura foto dari eceng gondok, dan bahkan ada yang
membuat mobil-mobilan dengan bahan kayu yang sudah diplitur.
Keren-keren pokoknya...

170
***

Terik matahari bersinar menyengat, sedari pagi tadi Ijah


mencari Nara kemana-mana, mulai dari sawah tempat Nara
bermain waktu kecil hingga kepenghujung desa. Mendengar kalau
putra bungsunya itu masih berada disekitar desa ini, Ijahpun terus
berjalan mencarinya tanpa memedulikan keadaan diri yang sudah
dua hari ini belum makan.

Menuju Miftahul Ulum....

Bersama gadis berusia 12 tahunan, Ijah kesana dengan


berjalan kaki, ia hanya ingin memastikan apakah Nara masuk
sekolah apa tidak.

Bunyi bel sekolah terdengar nyaring, Miftahul Ulum adalah


lembaga sekolah yang mewah, alias mepet sawah. Dalam sekejap
para siswa-siswi berhamburan keluar dari gerbang sekolah, ketika
melihat Mia dan Sindy, Ijah langsung menghampiri mereka berdua
yang hendak melampah pulang.

‘’Maaf, dek. Apakah kalian tadi melihat Nara masuk


sekolah?,’’ tanya Bu Ijah. ‘’Iya, Bu. Kan dia sekelas sama kami,’’ jawab
salah satu dari mereka.

Ijah tersenyum lega, setidaknya apa yang dikatakan Gus


Ahmad itu adalah benar, Ijah sempat menceritakan perihal yang

171
terjadi pada putranya itu pada Mia dan Sindy, mereka kemudian
saling pandang tak percaya.

‘’Perasaan barusan itu dia kayak kelihatan ceria banget, tak


tahunya masa’ iya sih dibalik semua keceriaan canda tawanya tadi ia
menyembunyikan rapat sebuah pancungan derita berat. Jika
memang demikian adanya, berarti Nara adalah termasuk orang yang
hebat bisa mengatasi semua kesulitan itu dengan sesungging
senyum.’’ Kata Mia dan Sindy.

Ijah sedikit tersinggung atas ucapan salah satu dari mereka


itu, Mia kemudian berkenan mengantarkan, tapi tak perlu kata Ijah.
Tahu kalau Nara masih masuk sekolah saja sudah cukup. Setidaknya
Nara tidak menjadi gembelan yang terlantar dipinggir-pinggir jalan.

Ibu Nara itu segera pamit berlalu, ia berpesan aib dalam


keluarganya ini tidak disebar luaskan pada siapa-siapa. Mia dan
Sindy saling pandang. Tak jadi pulang... mereka berlari kembali
keruang kelas untuk menanyakan hal ini kepada sumbernya secara
langsung. Apakah benar yang diceritakan ibu itu, sekedar
memastikan.

***

Sepulang sekolah tubuh Zani langsung ambruk, Nara


melepas tali sepatunya sambil menghela napas ringan. Iapun

172
langsung bergegas ke kamar mandi untuk mencuci baju kotornya
yang lumayan menumpuk.

Selama ini, tanpa Nara sadari, Kak Hasan terus mengawasi


gerak-geriknya tiap saat, dari cara makannya, belajarnya,
ibadahnya, atau bahkan pola gerak pada tidurnya. ‘’Kasihan teman
Zani ini,’’ ucapnya iba suatu ketika.

Foto masa kecil Nara terjatuh dari saku baju yang hendak di
cucinya, iapun lekas mengambil foto itu, sebuah foto yang sudah
lapuk kian kusam itu kemarin sempat di pengang Feby hujan-
hujanan, kondisinya hampir rusak berlipat tak lagi rapi. Entah
kenapa, seorang ‘Feby’ yang ia anggap sebagai sahabatnya sendiri itu
tadi pagi bersikap cuek kepada dirinya.

Nara kembali menatap foto masa kecilnya itu lekat. Hari


dimana Penuh kasih sayang…

Kubuka album biru

Penuh debu dan kusam

Kupandangi semua gambar diri

Kecil bersih belum ternoda

Pikirkupun melayang

Dahulu penuh kasih

173
Teringat semua cerita orang

Tentang riwayatku…

Kata mereka diriku

Selalu dimanja

Kata mereka diriku

Selalu ditimang

Nada-nada yang indah

Selalu terurai darinya

Tangisan nakal dari bibirku

Tak kan jadi derita

Tangan halus dan suci

T’lah menangkap tubuh ini

Jiwa raga dan seluruh hidup

Rela dia berikan…

Kata mereka diriku

Selalu dimanja

Kata mereka diriku

Selalu ditimang…

Oh bunda…

174
Ada dan tiada dirimu

Kan selalu ada di…

Dalam hatiku….

Nara menitikkan air mata, sampai kapan ia akan terus


seperti ini, mengampung dirumah orang dan mengurangi jatah
makan tuan rumah. Merepotkan orang lain, Nenek Zani dan Kak
Hasan serta yang lain. Bahkan bisa jadi tetangga juga demikian
terganggu oleh kehadirannya. Tapi apalah daya, ia hanyalah anak
kemarin sore yang cita-citanya baru lahir. Didunia yang serba
modern ini sangat sulit sekali mencari pekerjaan, terlebih ia masih
terlalu kanak-kanak untuk mengambil pekerjaan berat, bisa-bisa
moralnya runtuh sebagai anak remaja.

Nara kemudian merobek-robek lembar foto kecil itu dan


membuangnya keselokan. Busa-busa bekas air rendaman cucian
ikut mengantarkan kemana pergi potongan-potongan kertas itu
bersama sayatan luka pedih kenangan yang tersimpan didalam
dadanya. Kini tak akan ada lagi kesedihan yang mengusik jiwanya
saat melihat dan mengenang betapa indah masa kecilnya itu penuh
warna. Tak akan pernah kembali apa yang telah hilang dari jati
dirinya, tersisihkan dari keluarga yang seharusnya menjadikan dia
bahagia.

175
Mungkin sang ayah bisa menolong, tapi mana mungkin
mereka bisa saling mengenali, bertemu sekali saja belum, sudah
terlanjur berpisah sejak Nara masih bayi. Kabarnya istri muda beliau
sudah melahirkan sejak lama. Berarti Nara sekarang punya saudara
beda ibu. Entah umur berapa sekarang adiknya itu, wajah mereka
tentu lumayan mirip.

Seusai cuci-cuci, Zani mengajaknya makan, kendati merasa


sungkan, Nara hanya mengambil sepiring nasi dikit, ia takut
mengurasi jatah makan teman disampingnya dan tentu sebab
merasa sungkan dan tak enak juga. Nara tetap tak mau imbuh
sekalipun Zani memaksanya.

‘’Abis ini sebaiknya kita tidur, kita nonton film horor nanti
malam,’’ ajaknya sembari memberi tahu.

Nara menaikkan bulu mata bertanya ‘’Iya?’’

Zani mengangguk sambil melahap sesendok makan sekali lagi.

‘’Kalau begitu baiklah, aku paling suka nonton film horor,


apalagi kalau dibarengi sama temen. Makin rame makin seru,’’ balas
Nara bersemangat.

***

Dalam nyenyak tidurnya, sayup-sayup Nara mulai


mendengar riuh canda ramai disebelah rumah, bangun tidur ia

176
langsung membuka selambu cendela, wajahnya silau terjilat cahaya
matahari yang semakin merangkak keperaduannya.

Feby berusaha menangkap bola voli yang baru saja Sindy


berikan pada Mia, dengan sigap Mia langsung melemparkannya ke
arah Zani, begitu seterusnya dan seterusnya hingga capai, mereka
tetap tak membiarkan Feby menyentuh bola itu sedikitpun. Sampai
kesal dibuatnya lelah, Feby lalu menghentakkan kakinya kesal
sambil memasang muka cemberut. Monyong bibirnya terlihat
manyun kayak bebek dengan gundukan jemblem di pipinya.
Permainan yang benar-benar kurang mengasyikkan.

Mata Feby kemudian lirak-lirik penuh strategi, memang


dialah yang paling muda, tapi entah kenapa gerakannya lebih
lambat dari yang lainnya, mungkin karna ia belum terbiasa, baru
beberapa hari ini ia baru kenal dengan Zani dan Mamad, itupun
dari Sindy dan Mia. Dan juga si Feby ini lebih suka Matematika dari
pada olahraga. Yang benar saja, otak gadis itu lebih dominan
terhadap ilmu ilmiah dan rumus-rumus rumit, terkadang kecepatan
gerak fisiknya tak sanggup menyeimbangi gerak diotaknya. Gesit.

Sedetik kemudian bola yang sedang diincarnya bergerak


cepat kearah Mamad yang berdiri tidak jauh dibelakangnya, Feby
lantas memacu gerak pola pikirnya secepat mesin pembangkit listrik.
‘’Jika kak Mamad berjarak 2 meter dibelakangku, dan bola yang
sedang mengarah kepadanya itu melambung dengan kecepatan

177
sekian meter per detiknya, maka aku harus mundur sekitar 4
langkah agar aku bisa merebutnya saat melompat mendahului kak
Mamad.’’ Feby bergerak cepat menjalankan intruksi di otaknya.
(Dalam situasi slow motion) tangan gadis itu melompat dan
berusaha meraih bola itu dengan ujung jemarinya.

Meleset...

Tangan yang satunya kemudian menyusul, menampel dengan gaya


smashing bola voli. Dan....

‘’Buuuukk,,’’

Bola itu terlempar jauh dan menyangkut diatas tangkai pohon dekat
rumah tetangga. ‘’Yeesss,!!! Ini baru permainan seru, bolanya
nyangkut, dan... permainan selesai.’’ Soraknya gembira.

Bersamaan dengan itu Nara kemudian keluar dari dalam


kamar dan menemui mereka. Semua pandangan jadi tertuju
kearahnya. Nara tersenyum kaku, mukanya rada kikuk.

Zani melirik kearah Mamad, Mia, lalu Sindy bergantian.


Sesungging senyum kemudian ia layangkan pada Feby. ‘’Sempurna,,
Kak Nara sudah bangun, sebentar lagi rencanaku akan segera
dimulai.’’ Kata batin Feby penuh siasat. Entah tipu muslihat apa yang
sedang mereka rencanakan.

178
Gadis itu kemudian berjalan mendekat kearah Nara sambil
terkadang menggigit ujung bibir, bola matanya melirik teman-
temannya penuh maksud. Senyum rona merekah diwajahnya yang
asik itu membuat Nara terjebak didalamnya dan terdiam membisu.

‘’Tu... tuu,, tumben ceria, tadi disekolah kayak cuek banget,’’


Nara tergugu saat hendak mencairkan suasana. Sedang Feby tak
menjawab, ia hanya meminta Nara untuk menutup mata
menggunakan hasduk, iapun lalu mengajak Nara kesuatu tempat.

Sebuah tempat yang Nara tak tahu ia ada dimana...

‘’Kenapa aku harus menutup mata?,’’

‘’Karna ini spesial bangett,’’ balas Feby.

Lama...

‘’Sudah belum?,’’ Nara penasaran

‘’Belum,’’

‘’Sampai kapan,’’ Nara mendengus lelah

‘’Yang sabar,’’ Feby mengulum senyum.

‘’Bersiaapp... satu,, dua,, tiga!!.’’ Teriak gadis itu sambil


menarik tali kupu-kupu yang terpasang dihasduk yang menutupi
kedua matanya.

179
Nara terbelalak melihat terang dunia....

‘’Plyuuuukk,,’’ bunyi sebuah telur yang mendarat tepat


diatas alis matanya. Pecah, cairan kental kuning kemudian meluber
turun memenuhi wajahnya..

Secepat kilat Mia dan Sindy melempar beberapa bungkus


tepung, diikuti Mamad dan Zani yang menyiram seember air dari
belakang, beberapa butir telur kembali melayang-layang.

‘’Cuuuuuiiiiiiiii..... buuoommm,,,’’

Seperti main perang-perangan, Nara menunduk tiarap


sambil melindungi kepalanya dari bom telur dan bom tepung itu
menggunakan telapak tangannya. Debu tepung bertebaran dimana-
mana. Suasana sangat kacau, Nara benar-benar terkepung dan tak
bisa lari, ia hanya menunggu pasrah sampai senjata mereka habis.
Kemudian ia akan melarikan diri.

‘’Kriieeeeekkk,,’’ derit pintu dapur terbuka, nenek Zani


terlihat melongo melihat kehebohan yang terjadi, suasana mendadak
hening. Semuanya terdiam membeku. Hanya ada ringkikan jangkrik.
‘’Kriik-kriik kriik-kriik,,’’

‘’Dasar anak-anak muda,’’ Beliau geleng-geleng heran.

‘’Lanjutkan...!!!.’’ perintahnya.

180
Suasana kembali riuh, Feby berlari kecil mengelilingi Nara
sambil menghambur-hamburkan beribu potongan kertas kecil
berwarna-warni kesegenap udara.

‘’SELAMAT ULANG TAHUN....!!!.’’ Ucap mereka semua


kompak, penuh semangat.

8 Juli 2012... Nara bahkan tak ingat kalau hari ini adalah hari ulang
tahunnya. Iapun lekas berdiri, masih terbelalak kearah bumi
dibawahnya tak percaya. Hamburan kertas-kertas berwarna
melayang-layang jatuh seperti daun yang gugur di musim semi.
Lama Nara menatap gadis bernama Feby itu. Dunia terasa seperti
berhenti berputar...

***

Aku ada,

Sebagai angin

Meniup kobaran api

Menghembus bara merah

Bukan,

Bukan untuk memadamkannya

Bukan untuk meredupkannya

Tapi aku ada,


181
Sebagai angin...

Denganku ia bernapas

Dengan hembusku ia menggelora

Menuju sang mentari

Dengan ‘jilatan bara api’ semangatnya

Bak ubaknya Naruto dan Sasuke

Kami adalah teman dekat

Hanya saja aku ada...

Sebagai perempuan disisinya

Aku tak lebih hebat dari Cat Woman

Tak lebih cerdik dari detektif Conan

Juga, tak lebih mahir dari Kak Harry Potter penyihir paling keren

Dan salah jika aku membiarkan ia membakar asa seorang diri

Tapi, aku akan selalu ada

Sebagai angin...

Tak kan kubiarkan dia redup

182
Tak kan kubiarkan dia melena

Dengan menyelaraskan napasku

Dia akan menari bersamaku suatu saat.

***

‘’Happy Birdthay Kak,’’ ucap Feby menghampiri.

‘’Dari mana kau tahu kalau hari ini aku ulang tahun?,’’

‘’Dari Zainal,’’

‘’Loh? Kok Zainal gak ikut kesini?,’’

‘’Dia sedang pergi ke luar kota,’’

‘’Ohh... pantesan batang hidungnya kagak pernah kelihatan


disekolah tadi,’’

Feby tertawa renyah, sebuah kebahagiaan tersurat dari


lembut paras gadis itu. ‘’Ohh, iya Kak,, aku punya sesuatu yang
spesial loh... hasil buatan tangan sendiri. Semoga kakak suka.’’ Ujar
dia seraya memberikan kotak kardus kecil berpita merah.

‘’Boleh kubuka sekarang,’’ kata Nara meminta pendapat.

‘’Boleh,’’ balas Feby singkat.

183
Nara langsung membuka bungkusan kado itu tanpa banyak
tanda tanya lagi. Sejurus kemudian, ‘’Wah,, banyak sekali,’’ kesan
Nara. Kotak kado itu berisi puluhan burung origami mini yang
sengaja Feby buat menggunakan kertas berwarna ala sentuhan
wanita kreatif. Bentuknya mungil-mungil...

Lucu...

‘’Jumlahnya 101, tadi malam aku sampek adem panas yang


membuatnya. Paginya, tak paksain sekolah, eh... tahunya sembuh-
sembuh sendiri.’’ Kata Feby sedikit bercerita.

Dari jauh mereka tampak sangat akrab. Feby kemudian


bergabung dengan teman-teman lainnya, ia suka main lompat tali.
Sikap periang dari gadis itu membuat Nara tertawa renyah,
manjanya membuat Nara ingin memiliki adik seperti dia. Sindy
memerhatikan bagaimana Nara terlihat sangat bahagia.

‘’Kau adalah pemuda yang hebat, Nara. Disaat-saat seperti


ini kau masih bisa tersenyum dan tertawa? Tak pernahkah terbesit
dalam hatimu untuk kembali pulang. Ibumu pasti sedang merindui
dan mencarimu kemana-mana. Entah kapan Bu Ijah itu akan datang
kemari, akulah yang memberitahukan keberadaanmu padanya, ibu
kamu tampak sangat bahagia. Lubuk hatinya pasti mengerut sekecil
debu sebab terpatri rasa kesedihan yang amat dalam dari semua hal
yang menimpamu. Air matanya sampai berlinang waktu itu,’’ kata
hati Sindy mendengung.
184
***

Bulan pucat terlihat kedinginan diselimuti awan berabu-abu


gelap. Lintangan sinarnya remang menyinari permukaan bumi.
Hembusan angin melambai daun nyiur kegirangan, menari mereka
diudara membawa selembar daun kering yang kemudian
membentur pelan cendela rumah dengan gesekannya yang
dipengaruhi partikel-partikel udara bersuhu dingin. Didalam rumah
itu, Nara dan Zani asik nonton TV. Sore tadi mereka asik merayakan
ulang tahun Nara. Sindy memberikan hadiah gelang bintang dengan
bandol bertulis huruf ‘’A’’ besar ditengahnya. Tak hanya Nara yang
dia beri, tapi kawan-kawan lain juga. Tangan mereka tadi sempat
beradu tinju dari enam mata penjuru, sayang Zainal tak ada. Mereka
membentuk simbol bintang persahabatan dengan jari peace masing-
masing.

S-A-H-A-B-A-T... begitu jika diuraikan dengan urut, dengan warna


urut pelangi dimasing-masing bandol yang menghiasi ditangan
mereka.

S Merah, Nara

A Jingga, Zani

H Kuning. Sindy

185
A Hijau, Zainal (Tidak hadir)

B Biru, Feby

A Nila, Mia

T Ungu, Mamad.

Sayang Zainal tak hadir, andai kata dia ada disini, pelangi itu
pasti kian sempurna. Gelang miliknya Nara yang menyimpan, besok
rencananya mau ia berikan.

***

Film tali pocong perawan sebentar lagi tayang, Zani


mengambil bantal dan selimut sekaligus teh hangat sebagai
pelengkap aksesoris kenyamanan saat menonton film ini dibioskop
kecil kesayangannya. Bioskop kecil kesayangan katanya?.

Zani segera mematikan lampu begitu filmnya mulai, jam


malam menunjuk pukul 09.00 pas. Lampu diruang tamu dibiarkan
tetap menyala, jam segini masih terlalu sore untuk dimatikan
menurut adat jawa.

Film yang dinanti-nanti mereka itu berlangsung seru, Nara


menggigit ujung jari jempolnya geregetan, Zani hanya melirik heran
melihat teman akrabnya bersikap aneh seperti itu.

‘’Tok tok tok...,’’ Suara seseorang mengetuk pintu.

186
Nara dan Zani saling pandang, degup jantung mereka seolah
terhenti.

‘’Tok tok tok...,’’ bunyi ketukan pintu itu sekali lagi.

‘’Siapa?,’’ Sahut Zani dari dalam.

Tak ada suara yang menjawab.

‘’Malam-malam gini Pak Pocong dan Bu’ Kunti ada-ada aja


yang mau mampir,’’ ujar Nara menakut-nakuti.

‘’Ehh,, yang beneran lu, Ra...,’’ Zani mulai merinding takut.

Setelah bunyi itu diiringi kalimat salam. ‘’Tok tok tok...,


Assalamu’alaikum.’’ Iapun mendengus kesal, ‘’Yah... ternyata hanya
tamu,’’ desahnya. Untung jantung mudanya tak sampai copot di
tempat.

‘’Elu sih,, uda sering nonton film horor masih saja penakut,’’
ejek Nara.

‘’Diem ah,, cepet sana bukain pintu,’’ perintah Zani kesal.

Tanpa disuruh dua kali, Nara langsung bergegas


membukakan pintu, langkahnya sedikit dipercepat. Begitu pintu
terbuka sempurna.

SEMPURNALAH deritanya...

187
Seseorang yang tengah berdiri dihadapannya itu membuat
dendam kesumat dihatinya bergejolak bangkit tiba-tiba.

‘’PERGI!!! Pergi ibu dari siniii,,’’ bentak Nara mengusir.


Orang itu ibu dia ternyata. Sorot mata Nara memandang penuh
kebencian. Seorang gadis kecil terlihat bersembunyi takut dibalik
pinggul wanita paro baya itu.

‘’Ibu mohon kembalilah pulang, Nak... Sudah tiga hari ini


nenek tidak mau makan, ia terus menerus memanggil namamu
sampai kering air matanya,’’

‘’Pulang?!! Ibu yang telah mengusriku lalu ibu sendiri yang


memintaku pulang??,’’ kata Nara melengos membuang pandangan.

‘’PUAS IBU HANCURKAN HIDUPKU??’’ bentaknya tiba-tiba.

‘’Selama ini aku hidup menderita, sejak pengusiran itu


teman-temanku selalu menjauhiku, mereka jijik berteman denganku
dan terus mengataiku seorang pencuri dan pendurhaka. Tapi apa
yang terjadi dengan Zani dan Mia serta sahabat-sahabatku yang
lain? Mereka tetap setia disisiku dan bahkan mereka sempat
merayakan ulang tahunku tadi sore. Hari dimana ibu tak pernah
MERAYAKANNYA...!!!’’

Dada anak itu terguncang hebat, kata-kata pedas itu


meluncur begitu saja dari bengal mulutnya. Badai kepedihan

188
menghancurkan hatinya berantai seperti kaca yang berderai pecah
diterpa sang angin topan dan melebur tak dapat disatukan lagi.

‘’Coba kalau tidak ada mereka, mungkin aku sudah


almarhum bunuh diri hari ini,’’ tambahnya penuh kebencian.

Sesenggukan ia menahan tangis, sambil menundukkan


pandangan, ia memejamkan mata serapat mungkin, mencoba tuk
menahan air mata agar tidak mengalir keluar sekuat yang ia bisa.
Tapi bulir air mata itu tetap menyeruak dan menetes secara
perlahan.

‘’RASA SAKIT saat aku pergi meninggalkan rumah, RASA


SAKIT saat aku kehilangan harkat martabat dan semuanya, RASA
SAKIT saat aku merasa tak punya apa-apa lagi. SEBUAH RASA SAKIT
yang membuat anak muda sok cool sepertiku ini, jadi...

MUDAH MENANGIS,,’’

‘’Pokoknya aku tidak akan memafkan ibu sebelum ibu


bertekuk lutut dihadapanku,’’ tegasnya.

Suara guntur langit menyertai ucapan anak itu, Ijah sudi


memenuhinya, ia rela melakukan apa saja agar anak bungsunya itu

189
mau kembali. Sementara Zani dan neneknya hanya bisa menonton.
Ketika Ijah hendak membungkukkan badan dan memeluk kaki anak
itu, Nara langsung memeluknya.

Sandiwara yang dramastis...

***

Citra melamun, merenungi semuanya, waktu itu ia pasti


salah lihat. Gambar tato pada lengan orang yang hendak
memerkosanya tadi malam sangat jelas terlihat, sebuah tato
bergambar ular cobra yang pernah dijumpainya di suatu tempat.
Sesaat setelah menggigit orang itu ia segera berlalri kearah Arif.
Betapa gawat kalau seandainya leher Citra tergorok tudungan pisau
yang mengacung tajam tepat disebelah urat lehernya. Untung saja
Arif segera mengatasi mereka sekalipun dengan tangan kosong,
kalau seandainya tidak, mungkin mereka berdua tak jadi menikah.
Mungkin...

Citra menatap sendu sang nenek yang sedang tidur pulas


dipembaringan, gurat-gurat keriput tampak tua memamah di
wajahnya, rambut beliau sudah beruban putih hampir tak ada
hitamnya, sedang tubuhnya kurus kering jarang makan.

‘’Kak Citra,’’ sapa Karim baru pulang.

‘’Loh?!! Sudah pulang??’’

190
‘’Hu’um,’’ angguknya.

‘’Mana ibu?’’

Belum sempat Karim menjawab, kedatangan Nara membuat


Citra sedikit terperanjat. Iapun segera menyusul sang adik yang
masuk dan menaruh tas dalam kamar, ketika anak itu menoleh,
Citra menampar pipi Nara keras.

Kepala Nara sampai terpanting ke kiri, dalam sekejap Citra


langsung memeluknya erat. Sebuah pelukan yang tak pernah lagi ia
rasakan semenjak ia kelas 2 SD.

Terasa seperti dipeluk ibu,,

Terasa hangat dan nyaman....

Sebuah pelukan yang sangat erat, benar-benar erat hingga


Nara kesulitan bernapas. Citra kemudian mencium kening adiknya
lama, sebutir air matanya kemudian menggelinding jatuh dan
mendarat tepat dipipi anak itu. Nara mengusapinya, sebuah air
mutiara jernih yang mengantar rindu kakaknya kedalam hati dan
membaur menjadi satu dalam sejuta dekapan penuh kasih sayang.
Hati mereka seolah kembali menyatu setelah sekian lama berpisah
sebagai saudara.

‘’Adik bodoh!! Hanya karna difitnah seperti ini saja langsung


kabur melarikan diri, kamu itu laki-laki, jangan jadi pengecut. Ciut

191
sekali hatimu. Harusnya kamu tuh mikir, kalau memang bukan
kamu yang mengambil, kenapa harus takut dituduh mencuri?’’
cecarnya habis-habisan.

Semua orang terdiam dalam tangis melihat Citra sebagai


kakak memarahinya perhatian.

‘’Emang siapa yang kabur? Aku hanya merasa diusir,’’

‘’Huh,, coba bilang seperti itu lagi,’’ ketus Citra siap


menampar lagi.

Nara merengut, Citrapun juga demikian. Kalau seperti ini


wajah mereka tampak sama. Sama-sama sok imutnya.

Lama mereka saling menatap bosan, Citra kemudian


menyentil kening adiknya itu pelan.

‘’Auuww,,’’ keluhnya gatal.

‘’Gitu aja sakit,’’ celetuk kakaknya.

‘’Gatal tauk,’’ ujar Nara sambil menggosok-gosok jidatnya.

‘’Hedeh,, alesan,’’ lengos Citra.

Umur mereka selisih 10 tahun, tapi tinggi badan mereka


hampir sama, sepertinya Nara tumbuh lebih cepat dari pada

192
kakaknya. Namanya juga saudara perempuan, tinggi badannya
hanya segitu-gitu aja.

Citra kembali memeluk adiknya, buncah-buncah kerinduan


dalam hatinya masih ada yang dirasanya belum tuntas. Ia lemparkan
tubuh padat berisinya itu kearah Nara, sejenak Nara hampir
terjatuh, tapi tangannya berhasil menopang bahu kakaknya, ia
menanggapi hangat pelukan rindu itu dengan segenap tulusnya. Ada
rasa tersendiri yang membuatnya merasa nyaman dalam pelukan
itu. Sebuah perasaan dilaut antartika yang amat dalam...

Sesaat seperti dipeluk ibu, Kak Citra adalah ibu sebelum menjadi ibu.

***

Nara tertidur dipangkuan kakaknya. Citra membelai rambut


adiknya itu lembut, disebelahnya Karim juga sudah tertidur pulas,
mungkin tanpa gadis kecil itu sadari, Nara memegang tangannya
erat.

Citra gencar menceritakan masa lalunya bersama sang adik


saat ditinggal keluar negri oleh ibu, semua yang mendengar cerita
itu melelehkan air mata. Nenek yang semula tersenyum haru
perlahan ikut menangis, hembusan napasnya perlahan memudar,
katup sipit matanya semakin tertutup.

Ijah yang menyadari Nek Gini yang lagi bernapas itu segera
menghampiri untuk memastikan denyut urat nadinya.
193
Terhenti...

Napasnya kosong??

‘’Innalillahi wa inna lillahi roji’un,’’ ucap Ijah dengan


tatapan kosong tak percaya. Ini pasti mimpi.

‘’Neneekkk...’’ pekik Citra.

Nara jadi terbangun, ia segera meringkus sang nenek,


mendadak suasana jadi ramai. Dalam sekejap para tetangga saling
berdatangan.

Nek Gini meninggal karna obesitas yang terjadi dalam


perutnya. Sudah 3 hari tidak makan dengan kondisi yang amat kritis
seperti itu menyebabkan ia berpulang ke negri yang abadi untuk
selama-lamanya.

‘’Nek,, jangan pergi, Nek,, Nara masih belum sempat minta


maaf sama nenek. Kenapa kemarin-kemarin nenek tidak mau
makan?? Semua ini gara-gara Nara, maafin Nara nekk,’’
bagaimanapun ia berbicara, semuanya sudah terlambat, ini semua
salah dia. Salah ayah tirinya juga.

Pemakaman dilaksanakan malam ini juga, tepat pukut 12


malam, sang nenek telah berpindah ke alam lain. Nara sangat
menyesali perbuatannya, memang ia merasa begitu egois. Seorang
nenek yang selalu berjuang mencari uang sebagai seorang petani

194
demi mencukupi kebutuhan sekolahnya selama ibu masih keluar
negri, tak sedikitpun sanggup ia membalas pengorbanan itu.

Sang nenek tenang dalam tidur lama, dipelukan sang waktu...

***

195
8

Awal Dari Sebuah Akhir

Lebakharjo, February 2016

Disaat kukenang oh tentang kisahmu

Dari dulu hingga sekarang

Kuterharu lantas tersenyum hanya untukmu

Oh indahnya Lebakharjo

Hutan bukit sawah luas menghampar hijau

Menambah indah panoramamu

Burung-burungpun berkicau bernyanyi riang

Oh indahnya Lebakharjo

PW Aspac serta Comdeca menunjukkan

Betapa lama pembangunannmu

196
Kami pramuka selalu menyertaimu

Oh indahnya Lebakharjo

Hembusan angin malam membelai sejuk bumi perkemahan


Lebakharjo. Lentera-lentera tenda menyala remang dalam redup
gulita malam. Bebunyi serangga seakan terompet konvoi yang
mengintonasi aktifitas persami pramuka digelap gulita dunia.
Diujung dunia sana, bintang-bintang kecil menaburi angkasa
dengan bintik-bintik putih berkelap-kelip meriasi penjuru
cakrawala. Betapa asik mereka diatas awan malam sana.

Nara menatap langit itu penuh ingatan. 3 tahun telah


berlalu sejak ia kembali dari masa-masa pengusiran, rasanya ingin
dia petik satu bintang kejora untuk ia berikan pada seseorang. Tapi
seseorang yang ia maksud itu sepertinya sudah mempunyai lelaki
idamannya semenjak memasuki bangku SMA. Dunia seakan
berputar terbalik saat melihat keduanya pernah bergandeng tangan
dan bercanda ria.

Banyak hal telah terjadi, dunia mulai terjungkir balik


semenjak kak Citra menikah. Tak ada canda gurau lagi seperti dulu,
kak Citra cenderung sibuk merawat si kecil yang baru lahir.
Beberapa tahun lalu kakaknya itu masih fokus menyelesaikan skripsi

197
S2nya di fakultas perkuliahannya. Sekarang begitu dapat momongan
kesibukannya teralih pada si buah hati.

***

Sebentar lagi penyalahan api unggun akan segera dimulai.


Setiap regu mulai berkumpul membentuk lingkaran besar
mengelilingi tumbukan kayu yang telah disusun rapi membentuk
segitiga lancip setinggi 1,5 meter. Kakak pembina kemudian
menyiramkan minyak gas pada tumbukan-tumbukan kayu itu
merata, setelah itu ia mundur beberapa langkah untuk mengambil
jarak. Sebagian panitia lain kemudian meminta masyarakat untuk
mematikan lampu yang berpendar disekitar arena lapangan.
Upacara penyalahan api unggun dilaksanakan sesingkat mungkin.
Sang kakak pembinapun kemudian melempar obor kearah kayu-
kayu itu. Dalam sekejap...

‘’Bweeeeeeeerbrbrbrbrbr,,...’’ api mulai berkobar menjilat tinggi


udara hingga hawa dingin beralih menghempus nuansa hangat.
Terasa nyaman membelai pori-pori. Semua orang saling bergandeng
tangan dan mengitari pijaran api unggun itu ceria.

‘’Api unggun sudah menyala

Api unggun sudah menyala

Api api api api api

198
Api unggun sudah menyala.’’ Semuanya bernyanyi riang.

‘’Potong bebek angsaaa!!!,’’ teriak Mamad tidak jelas.

‘’Huuuu... dasar,’’ teman-temannya menyoraki.

Feby menarik tangan Mia dan Sindy, mengajak mereka


bermain perang yel-yel bersama dengan regu putra.

‘’Maju mundur maju mundur, Cantik cantik...

Kedip mata biar kau tertarik

Mundur lagi mundur lagi mundur, Manis...

Yang cowok pada belum mandi...’’

‘’Seng ngarep koyok tekos, seng mburi koyok wedhus, tengah-


tengah gak tau adus,’’ Teriak Sindy sambil memainkan rap khas
jawa.

Nara tak terima, iapun membalas lebay.

‘’Dam bidam bidam bi eey 2x’’

Ey Sudah-sudahlah, lebih baik mole lah

‘’Get up, ow oh oww..., 3x’’

199
Sudah cemen lu ahh,,...

Semuanya tertawa.

Kakak pembina kemudian menengahi.

‘’Aku adalah respector. *Aku adalah respector (Bersama)

2 jariku respeck untukmu. *2 jariku respeck untukmu

Aku adalah respector. *Aku adalah respector

Lost and the speck senjataku. *Lost and the speck senjataku.

‘’Kuberikan rasa cinta untukmu yang disana

Kujanjikan kita akan juara, kita pulang bahagia’’

***

Semuanya berlangsung seru, perlahan api unggun kian


meredup dalam arang kayu yang sedikit menyala merah panas. Nara
mendekati bekas kobaran api itu, suasana elemen yang sesuai
dengan nama yang diberikan ibunya.

Nara, Bara api...

Hembus angin malam meniup suasana tenang, teman-teman lain


sudah pada bubar dan sibuk dengan persiapan tidur masing-masing,
tahu-tahu Feby sudah berdiri tepat disebelahnya. Gadis itupun
akhirnya berujar pelan. ‘’Waktu pertama kali mengenalmu, aku
200
merasa aneh, nama kakak bermakna api. Mungkin ibu kakak punya
maksud lain, selama ini juga aku belum mengenal nama lengkap
kakak,’’ kata dia. ‘’Maaf sih, kalau semusalnya lancang,’’ tambahnya.

Nara melirik tersenyum, gaya rambutnya terlihat lebih keren


jika dilihat dari sisi kanan. ‘’Nama lengkapku Nara Thoriqun Najah,
artinya bara api menuju sukses,’’ jelasnya.

‘’Bara api menuju sukses?!!’’

Nara menangguk ringan, pandangannya beralih ketumbukan abu-


abu arang.

‘’Kalau begitu ibu kakak juga pandai bahasa arab dong?’’


tanya Feby

‘’Bukannya pandai, hanya sebatas pinter milih nama bayi


aja, kayak namaku ini misalnya.’’ Balas Nara kembali menjelaskan
dengan akurat. Batu kerikil iseng-iseng ia lemparkan pada
tumbukan bekas arang yang kebetulan tak jauh dihadapannya, hawa
hangat masih terasa.

Feby menghirup napas, ‘’Hmmm,, nama yang lumayan keren


juga,’’ pujinya.

Nara hampir terlena akan pujian itu, kepalanya serasa membesar.


Iapun berbalik tanya. ‘’Kalau nama kamu?’’ Nara tanya arti.

201
‘’Ibuku memberiku nama Feby karna aku lahir bulan
Februari, kalau aku lahir bulan juli mungkin namaku juga july,’’
tuturnya bercanda.

Diam sejenak...

Bintang terlihat terang

Saat dirimu datang

Cinta yang dulu hilang

Kini kembali pulang

Lihatlah dia mulai bernyanyi

Coba merangkai mimpi

Cinta yang dulu pergi

Kini datang kembali.

Nara bernyanyi pelan sambil menatap bintang-bintang


dihamparan angkasa luas, tanpa sadar Feby memperhatikan
bagaimana dia berlantun suara merdu, gadis itu terhanyut oleh
serambi lagu Kangen Band yang dibawakannya. Seruntun nada-

202
nada yang melebur dari bibir lelaki disebelahnya itu tiba-tiba
terhenti.

‘’Kok tiba-tiba berhenti sih?’’ protes Feby.

‘’Kalau kulanjutkan, aku takut,,’’

‘’Takut kenapa?’’

‘’Takut kamu jatuh cinta,, eaaaa... hahaha.’’ Candanya.

‘’Yee, kepedean,’’ gadis itu menyikut bahu Nara pelan. Sewot


seperti biasa. Hanya hanya terkekeh melihat rona wajah gadis itu
bersemu merah. Salah tingkah atau apa, namanya saja anak
perempuan.

***

‘’Wuuuuunggg,,,’’ deru mobil melaju cepat membelah


tekanan udara. Dela sedikit ngebut, barusan ia mendapat kabar
kalau ayahnya mengalami kecelakaan. Ia begitu terburu-buru,
memburu waktu dan berpacu cepat melesati jalanan yang tak terlalu
ramai.

Memasuki jalan raya, beberapa meter kearah utara ia telah


sampai dirumah sakit Healty Hospital. Buru-buru setalah
memakirkan mobilnya, iapun segera berlari menuju loket
administrasi untuk menanyakan dimana ayahnya diwarat, begitu

203
tahu kalau ayahnya dirawat di kamar melati B II, Dela yang baru
memasuki usia dewasa itu langsung menuju kesana.

Rumah sakit ini lumayan besar, ruangannya berliuk-liuk


penuh belokan. Seakan ruang labirin, Dela hampir tersesat, bahkan
hampir salah masuk kedalam kamar mayat. Untung saja ada petugas
yang berkenan memberi tahu. Delapun segera menuju ruang yang
dimaksud. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat ia mendengar isak
tangis yang terdengar mendayu, sayup-sayup tangis itu terdengar
sampai sini. Didalam ruang tempat ayahnya dirawat itu.

Dela segera membuka pintu, beberapa pasang mata


melayang kearahnya, sedang yang lain hanya acuh meratapi
guncang hayat seseorang diatas pembaringan.

‘’Ayaaahh,,’’ pekik Dela histeris.

Disebelah pembaringan satunya seorang ibu paro baya


terbaring tanpa sadarkan diri.

‘’Bagaimana ini bisa terjadi??,’’ tanya Dela menyalahkan


keadaan.

Semua orang terdiam bingung mau menjawab, Dela


menangis tersedu. Sambil bertumpah air mata, ia meringkuh pundak
ibunya dan bersedih. Darah merah kental mengalir dari kening dan
kaki sang Ayahandanya.

204
Seorang dokter muda kemudian datang membawa stetoskop
untuk memeriksa detak jantung pasien. Sepertinya pasien
mengalami kecelakaan yang amat parah. Tidak bisa tidak, si pasien
ini harus segera dioperasi, ada sedikit retakan dibagian kepala
setelah diperiksa lebih lanjut. Mungkin sedikit kesalahan fatal akan
menyebabkan nyawa seorang yang kehilangan banyak darah ini
melayang kenegri yang jauh sana. Tanpa bertele-tele, pihak keluarga
langsung menyetujuinya, berharap yang terbaik bagi sang
pemangku tulang punggung keluarga. Dela membenamkan wajah
dipelukan sang Bunda. Berharap setelah ini tak kan ada lagi
kesedihan yang menimpa kisah.

***

Hampir mendekati tengah malam, masih didekat bekas api


unggun yang masih terasa hangat. Nara merebahkan diri dan
menatap hamparan angkasa luas, langit terasa begitu indah nan
cerah kebiru-biruan, dihiasi bintik-bintik jerawat bintang yang
bertabur kelip-kelip.

Tangan dan kaki Nara membentang ke empat mata penjuru,


meresapi keindahan malam ini penuh renungan, mencoba tuk
menyatu dengan alam mimpi dikediaman hati yang paling dalam.
Dengan seutas rasa, ia memahat ukiran indah nama seseorang
didalamnya.

Tak bisa tidur...


205
Ia terlalu berhanyut dalam bingkai perasaan yang tak
menentu dan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Apa dan
bagaimana senyum gadis cantik yang pernah memberinya kado 101
burung origami itu selalu hadir dan mengusik perasaannya tanpa
sanggup ia ceritakan pada siapa-siapa. Ia benar-benar terbenam
dalam perasaan itu, sebuah perasaan dimana setiap orang pasti akan
mengalaminya.

Nara tersenyum sendiri mengingat hari-harinya bersama


gadis itu, perlahan sayup-sayup mata kirinya mulai terbuka,
bayangan itu seakan menjadi nyata. Beberapa helai rambut terasa
menggelitik ujung hidung dan sebagian ditelinga.

‘’Uwaaaaaa...,’’ Sekonyong-konyong Nara melonjak kaget,


mengira kalau rambut yang menjuntai lurus kewajahnya tadi adalah
rambut si ‘Bu Hantu’.

‘’Heh,, gak tidur apa??’’ Feby berlagak ketus, tapi tak


sejalang waktu kecil, ia lebih pantas dengan bawaan image kalem.

‘’Yaelah, kamu ternyata,, ku kira Bu Kunti,, tadi kayaknya


kamu sudah tidur see?’’ tanya Nara.

‘’Enak aja bilang aku ‘Bu Kunti’. Kakak ngapain juga malem-
malem begini tidur disini? Ngungsi? Gak pake’ alas atau selimut
pun?’’

206
Nara membersihkan rambutnya yang sedikit kotor, begitu
pandangannya terangkat pada wajah gadis itu, selaput matanya tak
sedikitpun berkedip.

‘’Subhanallah,,’’ gumamnya terpana.

Baru kali ini ia melihat Feby tak memakai jilbab, rambutnya


yang tergurai lurus sebahu sedikit lebih panjang terlihat berkilau
karna pantulan sinar rembulan yang padang. Bulu matanya lentik
dengan rona berseri bening terpancar dari indah wajahnya.

‘’Kok malah ngeliat aku kayak gitu sih?’’ gadis itu merasa
aneh.

‘’Kok bisa ya? Aku bertemu dengan bidadari secantik ini,


ditempat yang lumayan gelap pula?’’ ujar Nara.

Kata-kata itu tanpa sadar terucap begitu saja dari mulutnya.

‘’Kakak barusan bilang apa?’’ tanya Feby. Untung saja ia tak


mendengarnya.

Nara segera mengalihkan dengan menunjuk langit. ‘’Eh?


Ada bintang jatuh,’’ katanya berbohong. Nada suaranya tergugup
seperti salah tingkah dan selalu ingin mengalihkan perhatian.

Kening Feby mengerut heran melihat Nara bertingkah aneh


seperti itu, iapun kemudian mendongakkan pandangan kelangit

207
mengikuti jari telunjuk Nara, Yang ia lihat hanyalah rembulan.
Bintang banyakpun hanya diam tanpa bergerak.

‘’Entah kenapa aku seperti melihat terang bintang dalam


wajahmu tadi,’’ Nara memberanikan diri untuk memuji kecantikan
gadis itu.

Ia merebahkan diri, hanya sebentar, kemudian ia kembali


duduk bersila untuk menanyakan, ‘’Kamu enggak tidur? Tumben
nggak make’ jilbab?’’ tanya Nara baru ingat.

‘’Aku tak bisa tidur Kak,,, dibalam tenda gelap, aku lupa
bawa senter, saat tahu ada yang belum tidur didekat bekas api
unggun ini, akupun segera kesini. Kukira kakak pembina, eh?
Taunya Kak Najah,’’ Feby memanggil Nara dengan nama belakang
‘Najah’.

‘’Hah?!! Najah?? Siapa tuh??’’ tanya Nara tak sadar.

‘’Nama akhiran kakak lah,,’’ balas Feby.

‘’Aku punya panggilan baru ya? Itu semacam panggilan


kesayangan bukan?’’

Gadis itu mengangguk malu sambil menggigit ujung bibir,


bulu alis dikedua bola matanya sedikit terangkat. Imut sekali kalau
dia berekspresi seperti itu.

208
‘’Iya,, itu semacam panggilan saat kita mulai akrab juga,’’
jawab dia.

‘’Tapi... bukankah dari dulu kita sudah akrab?’’ Nara belum


mengerti sepenuhnya.

‘’Iya sih, tapi lebih dari ini,, dari dulu tuh aku pengen punya
kakak laki-laki, yang perhatian dan yang siap ngejagain aku
kapanpun dan dimanapun.’’

Feby diam sejenak, membiarkan Nara mencerna maksud dari kata-


katanya.

‘’Bagaimana dengan Kak Dela? Dia baik, pinter, perhatian


dan insya Allah akan ngejagain kamu sebagai adik, sekalipun ia
kakak perempuan,’’ balas Nara. Ia masih terlalu polos untuk
mengerti bahasa isyarat perempuan.

‘’Semenjak kuliah, kak Dela serba sibuk,’’ kata Feby


memasang muka melas. Tatapannya kosong menatap dedaunan
yang berserakan disekitarnya.

Agak lama akhirnya Nara mengerti, sebab ia juga punya kak


Citra yang juga serba sibuk, apalagi kalau sudah ikut membantu
suaminya ngajar ngaji anak-anak kecil didesa, sambil memomong si
kecil, terkadang mereka merasa kepayahan.

‘’Entahlah Feb, sepertinya nasib kita sama.’’ Balas Nara.

209
Hening sejenak...

Nara merasa tak enak sendiri berdua dengan bidadari


tengah malam seperti ini. Sambil merogoh sakunya ia berujar.

‘’Ngomong-ngomong aku punya senter, pakai aja gak papa


kalau mau nyari jilbab. Gak baik loh Feb, malem-malem begini
keluyuran sambil ngumbar aurat. Kan helai rambut perempuan tuh
ibarat mahkota, jadi jangan diumbar murah. Juga kamu tuh harus
tidur. Nanti bisa jadi fitnah lagi kalau kamu tetep disini. Udah tidur
sana!!,’’ suruh Nara dengan sedikit menceramahi.

‘’Jadi?!! Kakak berniat ngusir nih??’’ duga Feby.

‘’Bukannya ngusir ya, tapi nanti kalau ketemu kakak


pembina gimana? Pasti ujung-ujungnya aku juga yang kena.’’ Jawab
Nara beralasan. Iapun memberikan senter Mickey Mouse kecil pada
dia.

‘’Ihh,, Mickey Mouse? Inikan mainan anak perempuan, kok


kakak bawa sih?’’ tanya Feby sedikit berkomentar.

Dikatai seperti itu, Nara jadi menggaruk-garuk kepalanya


yang tak gatal. Sambil mesam-mesem ia berusaha menjelaskan.
‘’Hehehe,, itu milik adik perempuanku, memang bentuknya lucu,
tapi cahaya senternya lumayang terang kok. Uda cepet bawa sana,’’
perintahnya menyebalkan.

210
‘’Emang kakak punya adik?’’ tanya Feby.

‘’Punya, adik sepupu tapi... Namanya Siti Karimatul Jannah,


sekarang ia sudah kelas 6 SD kalau tidak salah.’’ Jawab Nara.

Feby mendengarkan sambil menyalakan senter pemberian


dari Nara itu. Warnanya; merah, hijau, biru, berkelap-kelip.

‘’Ini sih bukan senter, ini benar-benar mainan Kak!!’’ Kata


dia merasa dibodohi.

Belum lagi Nara menjawab, ia sudah memencetnya


berulang-ulang. Seketika warna berubah menjadi putih kebiru-
biruan terang. Iapun mulai beranjak meninggalkan Nara yang
masih duduk kelesotan didekat bekas api unggun tadi.

Agak jauh kemudian...

‘’Feb,, ada yang ketinggalan!!,’’ serunya sedikit berteriak.

Feby menoleh. Nara melambai. Gadis itupun kemudian kembali.

‘’Boleh aku minta satu permintaan?’’

Feby mengangguk boleh.

‘’Kalau bisa jangan memanggilku kak ya. Umur kita kan


tidak terlalu jauh. Beda tipis. Umurku hanya selisih 7 bulan dari
tahun kelahiran kamu,’’ pinta Nara setelah menghitung jarak bulan

211
Juli 1999 dengan bulan February tahun 2000. Hasilnya selisih 7
bulan.

‘’Mana boleh begitu? Kan pean kakak kelas? Aku harus tetap
hormat sedikit mah. Yah,, minimal punya sopan santun kek,,’’ jawab
dia.

Nara menunduk. Hening sejenak...

‘’Dari dulu tuh aku udah nganggep samean kayak kakak


sendiri. Apa-apa akan aku siap membantu kakak kalau kakak lagi
kesusahan.’’

Lagi-lagi hening sejenak, Nara tetap dalam pandangannya yang


menunduk kearah kaki gadis itu.

‘’Terima kasih untuk semuanya,, sebagai teman kau sudah


banyak membantuku. Terlebih saat aku diusir, saat kau merayakan
ulang tahunku, aku jadi sadar kalau aku tidak lagi sendiri.’’

‘’Maukah kau berjanji untuk menjadi sahabat setiaku?’’


tawar Nara. Bibirnya sedikit gemetar saat mengucapkan kalimat itu.
Dahi Feby jadi mengernyit.

‘’Bukankah kita sudah bersahabat sejak lama?’’ kata Feby.


Rupanya ia belum paham.

212
‘’Iya,, Cuma aku tuh ingin kamu berjanji untuk selalu setia
menjadi sahabatku.. S-e-l-a-m-a-n-y-a !!’’ ujar Nara sambil
mengangkat jari kelingkingnya setinggi bahu.

Feby kemudian menyelaraskan napasnya untuk menerima


tawaran itu sambil tersenyum.

Jari kelingking mereka kemudian beradu.

‘’Aku janji...’’

***

Bersama kabut yang menyaput tipis suasana pagi buta, Nara


menggemeretakkan tulang dijemarinya. Beberapa putaran
mengelilingi lapangan perkemahan penuh tenda telah ia lalui.
Wajahnya dipenuhi embun keringat pelu. Tiba-tiba ia mendengar
isak tangis disalah satu tenda.

‘’Astaghfirullahal Adziemm..., kok bisa sih mbak?’’

Nara mengendap menuju sumber suara...

‘’Iya iya,, aku akan segera kesana. Kalau ada apa-apa telpon
lagi ya,’’ kata seorang gadis itu dari dalam tenda. Bayangannya
terlihat tengah bergegas keluar.

‘’Kak Nara?!!’’ ucap gadis itu.

‘’Ada apa, Feb?’’


213
‘’Kak, anterin aku kerumah sakit bisa kan?’’ pintanya.
Didengar dari nada suaranya, sepertinya sangat mendesak.

‘’Memang kenapa? Kamu sakit?’’ tanya Nara.

‘’Ayahku mengalami kecelakaan berat. Ah,, ceritanya


panjang. Nanti akan kuceritakan diperjalan. Sekarang ayo kita izin
dulu ke kakak pembina.’’ Ajak gadis itu setengah memaksa.

***

Avisyah menyisir rambutnya cantik, hari ini ia siap


menjalani hari-harinya penuh semangat. Seminggu yang lalu,
rumahnya baru selesai dibangun tepat bersebelahan dari rumah
Nara, sang sepupu. Jadi, mulai hari ini juga ia harus pindah sekolah.
Sebelumnya, ia bertempat tinggal di surabaya bersama sang ayah.
Kendati ibunya yang baru beberapa bulan lalu meninggal dunia,
juga masalah perekonomian tambang ikan air tawar yang melonjak
turun alias gagal panen. Sang ayah.-Hanip- Mengajaknya pindah
kesini. Rencananya ia mau disekolahkan di Miftahul Ulum bersama
sepupunya itu. Tapi sepertinya dia tidak mau. Lebih enak di SMA 05
katanya.

Gadis itu biasa hidup sederhana, bahkan rumah baru yang


saat ini sedang mereka tempati adalah hasil dari sisa jual rumahnya
dulu. Untuk menembel kekurangan dana yang kurang itu, ia

214
terpaksa menghutang pada Pak Camat dan sebagian lagi pada
kakaknya sendiri. Neng Ijah.

Sebenarnya, Avisyah adalah gadis yang baik. Tapi semenjak


gadis itu mengalami kecelakaan, ia jadi mudah emosi. Kecelakaan
yang menyebabkan sang ibu meninggal dunia itu, membuatnya
ingatannya hilang sebagian. Sikapnya berbanding terbalik menjadi
gadis yang judes dan terkesan galak. Terlebih sikap Nara yang suka
iseng-iseng menjahilinya. Menjadikan gadis berparas cantik itu
seperti monster. Nara sangat suka menggodanya, melihat tampang
gaya adik sepupunya yang terkesan jalang itu adalah kesenangan
tersendiri. Seperti sarapan pagi yang mengenyangkan lapar hobinya.

Siap berangkatt,, Let’s go...!!

Tersenyum melihat bayangannya sendiri dipantulan cermin.


Iapun memasang model jilbab segi empat. Tak seperti teman-teman
SMA pada umumnya, ia lebih suka menutup aurat dan menjaga
jarak dari setiap laki-laki. Di ‘Senior High School SMA 05’ itu,
banyak teman-temannya yang non-islam. Sehingga ia harus
berhati-hati dan menjaga diri dari maraknya pergaulan bebas yang
semakin berkembang biak diantara mereka. Iman sebagai benteng
hijabnya.

Gadis itu hendak minta antar Kak Citra, biasanya ia


diantarkan Nara kalau kakak sepuppunya itu tidak bisa. Diusianya
yang hampir beranjak dewasa itu ia masih belum bisa mengendarai
215
sepeda motor sendiri, tak ada yang mengajarinya. Memang dia tidak
meminta. Takut jatuh katanya. Katanya?

‘’Dari pada ngojek, enak minta antar lah,, hemat uang


jajan.’’ Pikirnya. Ketika pandangannya beralih kepintu lemari untuk
melihat jadwal. Sesuatu baru ia sadari.

‘’Bodoh!! Sekarangkan hari minggu?!@#$%’’

Gadis itu terlalu bersemangat.

Nara berlari dan menabraknya tak sengaja, gadis itu muter


hampir terjatuh. Tanpa sedetik dua detik ia langsung ngomel-
ngomel. Menyembur dengan berbagai umpatan. Nyerocos tak
karuan. Tapi bagaimanapun betah mulutnya mengoceh, Nara
sekalipun tak menghiraukannya, anak itu kasak-kusuk sibuk
mencari sesuatu. Buru-buru ia menyambar tasnya diatas meja.
Diluar Feby tampak risau menunggu.

‘’Sampaikan salam pada ibu kalau aku sudah balik, aku mau
nganterin temanku ke rumah sakit. Tadi malam ayahnya mengalami
kecelakaan. Aku buru-buru.’’ Teriak Nara berpamit.

‘’Apa?? Temen kakak mengalami kecelakaan?’’ ujar Avisyah


salah tangkap.

216
Sejenak Nara yang tergesa. Melihat sepupunya mengenakan
atribut seragam lengkap, langkahnya jadi terhenti. ‘’Masya Allah... lu
kenape pake’ seragam? Lagi mati lampu ya?’’ ejeknya nyelonoh.

‘’Hehehe... maklum ya,, namanya aja lupa. Orang puasa aja


makan gak batal kalo lagi lupa.’’

Nara kembali bersikap acuh tak acuh. Ini bukan saatnya


berbelit-belit dengannya. Saat ia keluar dari rumah, Feby melirik.
Nara mengenakan kaos biru dengan hem yang kancingnya tetap
dibiarkan terbuka. Rambut yang biasa ia sibak kekanan, sekarang
kekiri, separuh bulu matanya tertutup bulu rambut. Terlihat lebih
tampan dari biasanya.

‘’Widihh,, mboise regk...’’ Feby memuji lalu kemudian


bertanya, ‘’Kok cepet banget? Uda mandikan?’’

‘’Belum ^_^ !!’’ jawab Nara malu-malu. Iapun mulai


menghidupkan mesin sepeda motornya.

‘’Yeekk... Ganteng-ganteng masa bauk?’’ ledek Feby


bergurau.

‘’Kamu juga, cantik-cantik bau,, palingan juga belum


mandi,’’

‘’Yee,, udah kali ya,, gak kayak kakak kalii,’’ sewotnya.

217
Sesaat sebelum berangkat, wajah Avisyah nongol dibalik
pintu. Pandangan mereka sempat bertemu sesaat. Sekedar basa-basi
Feby kemudian tersenyum menyapa.

‘’Itu adik kamu?’’ tanya gadis itu berbisik.

Nara mengangguk pertanda iya. Sambil menyetir sepeda


motor, iapun bertanya. ‘’Kalau yang itu adik sepupuku. Kenapa?
Cantik bukan?’’ tanya Nara dengan nada yang sedikit dikeraskan.
Terpaan desau angin beraduk awut seiring dengan roda sepeda
motornya yang semakin melesat cepat, membuat suaranya agak
kurang jelas. Feby kemudian menanggapi, ‘’Hmm,, Lumayan.’’

Diam sejenak...

‘’Kakak punya pacar?’’

‘’Punya,’’ balas Nara singkat.

‘’Siapa? Pasti orangnya cantik?’’

‘’Ya iyalah... namanya Firdha.’’

‘’Firdha ya? Murid baru itu rupanya? Bukankah dia adik


kelas kita?’’

‘’Iya’’ lagi-lagi Nara membalas singkat. Sibuk nyetir.

***

218
Feby berlari menuju kamar melati B2. Disana ia langsung
masuk dan membuka tirai gorden tempat ayahnya dirawat.

‘’Tidak ada?’’ desahnya bertanya-tanya.

Ayahnya sudah dipindah keruang Instalasi gawat darurat.


Begitu ia hendak kembali keluar, ponselnya tiba-tiba berdering.
Telepon dari Kak Dela kayaknya.

‘’Kamu ada dimana, Feb?’’ tanya Kak Dela diseberang. Tak


sadar kalau ruangan mereka bersebelahan.

‘’Aku sudah ada di ruang Melati B2, kak.’’

‘’Bentar, aku akan kesitu.’’ Kata kakaknya.

Bersama dengan harapan yang timbul cemas dalam hati.


Feby kemudian menutup ponselnya seraya mendo’akan, ‘’Semoga
baik-baik saja.’’

Nara ikut berharap...

Tak sampai satu menit, Kak Dela sudah datang.

‘’Kamu kesini bareng siapa?’’ tanya dia.

‘’Ini, bareng Kak Nara.’’ Jawab Feby sambil memberi isyarat


kedipan mata pada Nara. Anak itu jadi tersenyum kaku. Belum
terbiasa akrab sama kak Dela.

219
Mereka sama-sama tersenyum...

Dela kemudian berdehem melihat adiknya bisa akur dengan


adik Kak Citra. ‘’Dulu kayaknya mereka kurang begitu akur. Hanya
gara-gara ice cream adiknya dijatuhkan. Sekarang malah bersahabat
banget.’’ Pikirnya dalam hati.

Memang, setahun lalu Feby sempat menceritakan tentang


Nara padanya. Iapun juga sedikit lupa. Terlalu banyak beban pikiran
dan tugas kuliah yang lumayan menumpuk berat, membuatnya tak
terlalu menghiraukannya. Tapi ia tahu. Ada sesuatu dibalik ‘’Kenapa
adiknya menceritakan dan memuji ketampanan pria itu’.

Mereka bertiga bergegas menuju ruang IGD. Melewati


beberapa ruang kamar A. Terus jalan lurus. Pertigaan kekanan
adalah jalan menuju musholla, sedang jauh dibelakang mereka sana
adalah kamar jenazah. Tadi malam, Dela sempat tersesat kesitu.

Mereka menunggu diluar, menunggu hasil pemeriksaan.


Nara memperhatikan setiap tulisan poster yang terpajang di dinding.
Ia begitu hoby membaca, minatnya tinggi. Berselera asik
menurutnya selalu bikin penasaran tulisan-tulisan itu. Beberapa pot
bunga menghiasi dibawahnya. Tak jauh didekatnya, ibundanya Feby
juga ikut melihat poster-poster kesehatan itu.

‘’Adiknya datang sama siapa, Nduk?’’ tanya sang bunda saat


Dela terlihat mendekati.

220
‘’Sama pacarnya, Bu,’’ ceplos Dela bercanda.

‘’Apaan juga kakak ini, Cuma sahabatan doang juga.’’ Feby


menyahut tak terima. Mimik wajahnya seakan menahan malu.

‘’Eheeemmmmbtt.... sahabat apa sahabat??’’ ledeknya


memergoki.

‘’Tahu ahh... bodo amatt.’’

***

221
9

Debu Cinta di Sudut Hati

Feby termerenung di sudut kelas, foto gambar Presiden


Susilo Bambang Yudoyono diatas papan tulis seakan menatapnya
dengan senyum empati. Ditembok sebelahnya, semut hitam berjalan
merayap berapat rapi. Serombongan kekawan yang ramai, ketika
saling bertemu, semut-semut itu saling bersalaman rukun. Seakan
cipika-cipiki.

Feby naik diatas bangku. Melihat dengan jenuh keluar


cendela. Dikejauhan sana ia melihat seseorang sedang bercanda
mesra. Iapun menyipitkan mata berusaha menajamkan fokus
pandangan untuk memastikan.

Indra dan Firdha berjalan bergandeng tangan....

Takut salah lihat, Feby mengucek mata berulang-ulang.


Begitu jelas mereka bercanda mesra sambil menuju kantin. Gadis itu
kemudian membanting tasnya kecewa. Dengan letup emosi yang
menggebu-gebu, merah kecewa diwajahnya menandakan kesumat
penuh emosi. Setengah berlari gadis itu mengejar mereka berdua
penuh kecemburuan.
222
‘’Apa-apaan ini?’’ Feby mendorong bahu Firdha.

‘’Santai aja dong,’’ tangkas Firdha.

Indra kemudian melarui.

‘’Tenang, Feb! Ini semua tak seperti yang kau lihat. Aku bisa
jelasin semua ini.’’ Katanya beralasan.

‘’Tak ada yang perlu dijelasin!’’ bentak gadis itu sedih.

Mata Feby sedikit berbinar. Embun kristal di bola matanya


hampir menetes jatuh. Apa-apa yang dikatakan keduanya sungguh
benar-benar tak dia tak peduli. Baginya sudah jelas, tak ada lagi
yang perlu dijelasin. Semuanya sudah ia lihat dengan mata
kepalanya sendiri, dengan tatapan yang lebar. Masa-masa cinta SMA
memang serat dipenuhi konflik. Masa-masa putih abu-abu yang
berdebu semu.

Indra membuang pandangan, sebentar kemudian sorot


matanya tajam menatap mata Feby dalam. Dengan bertampang
serius ia menyatakan. ‘’Aku mohon,, percayayalah padaku!’’

Feby tak sedikitpun mau mendengarkan. Gadis itu berlari


meninggalkan mereka berdua dengan kecewa. Merasa muak atas
segala sandiwara cinta yang ada.

Indra hendak mengejar, tapi Firdha menghalangi.

223
‘’Kau masih belum bisa move-on dari dia?’’ Firdha tak tahu
kalau mereka masih menjalin hubungan mesra. Benar-benar telah
dibodohi. Pria itu tak menghiraukan, ia tetap bersih keras mengejar.

***

‘’Cap cip cup kembang kuncup. Pilih mana yang mau


dicup?’’ Nara bingung mau milih buku yang mana, semuanya
terlihat bagus. Menarik. Perpustakaan Miftahul Ulum ini dilengkapi
berbagai buku bacaan. Mulai dari buku dengan hasil karya ilmiah,
hingga yang berbasis dongeng dan ceritapun juga ada. Khusus novel
sengaja petugasnya sendirikan dilemari dan dikunci.

Nara beralih ke bagian rak buku-buku sains. Sebuah teori


yang ia sukai dari buku-buku alam itu adalah astronomi. Begitu
demen dia dengan yang namanya luar angkasa. Kepincut. Yah,
sekedar menambah wawasannya tentang planet dan galaxy luar.

Jumlah keseluruhan rak buku diperpustakaan ini terdiri dari


sekitar 8 rak dengan disusun berjajar agar memudahkan siswa
dalam mencari buku. Ruangannya sengaja didesain membentuk
persegi panjang, lengkap dengan catnya yang sekuning mentega.
Disebelah barat terdapat ruangan aula pertemuan sekaligus sebagai
penunjang kegiatan sarana dan prasarana.

Nara kembali duduk bersama Sindy dan Mia. Kebetulan


diperpustakaan ini disediakan ruang mode baca khusus. Ketika jam

224
istirahat berlangsung, banyak anak yang berkunjung kesini. Lebih-
lebih kalau istirahat.

Sindy dan Mia asik ngemil, Nara mulai membuka sampul


buku dihalaman pertamanya, gambar astronot tengah menancapkan
bendera kenegaraannya dihamparan bulan yang berlatar garis gelap
angkasa seakaan menyambut. Anak itu membaca lembar demi
lembar buku itu seru. Tangannya iseng-iseng ingin ngambil cemilan
kedua temannya juga. mia yang menyadari hal itu, menampel
tangannya jahat.

Nara meniup sambil mengelus-ngelus punggung tangannya


yang sedikit cekit-cekit sakit. Dan dengan nada bercanda Miapun
menawari. ‘’Iniloh,, jangan nangis a... gitu tok aja nangis.’’ Kata dia
menggoda. Seperti anak kecil.

‘’Eh?!! Coba lihat kesana!!’’ seru Sindy menunjuk kesuatu


arah.

Nara dan Mia menoleh bersamaan....

Didekat pintu perpus sana, Feby terlihat sedang bertengkar.


Berulang kali Indra berusaha memegang tangannya, tapi Feby selalu
menepis dan mengusir pria itu menggunakan isyarat tangan,
seakan-akan bilang ‘Get Out’ kalau didengar dari jauh.

225
Tak lama mereka berbicara sengit. Indra mengalah. Iapun
mundur dan pergi menghilang, seraut mukanya kurang ikhlas, ia
hanya bisa pasrah dan terus pergi meninggalkan gadis itu.

Sindy dan Mia kembali menunduk pura-pura baca buku


begitu Feby terlihat mendekat.

‘’Rese’ banget tuh orang,’’

‘’Kenapa emang, Feb?’’ tanya Mia. Mengangkat pandangan


kearah gadis itu.

‘’Masa’ ya rek, tadi kulihat Indra gandengan tangan sama


Firdha.’’ Kata Feby geram. Gadis itu kemudian membenahi tata letak
jilbabnya.

Nara menutup buku. Merogoh saku hendak memberikan


secarik kertas berisi lagu. Ia menutupi rasa terkejutnya dengan
tersenyum saat gadis itu menyebut nama Firdha.

Mia dan Sindy antusias menanggapi curahan hati Feby


penuh saran-saran. Nara kemudian duduk disebelah gadis itu.

‘’Nih, Feb... dari pada galau terus, mending nyanyiin lagu


ini.’’ Kata Nara mengulurkan secarik kertas tadi.

Feby serius membacanya sejenak, ekspresi wajahnya seakan


mencair. Sebuah lagu romantisme yang pernah dikoleksinya. Sayang

226
penulisan bahasa inggrisnya banyak yang salah. Nara dengan asal-
asalan menulis itu karna ia tak terlalu pandai bahasa inggris.

Feby mengambil pena. Memperbaiki...

Setelah itupun ia menggeser kertas ditangannya kearah


Nara. ‘’Coba kakak yang nyanyi!’’

Dengan PD nya Nara langsung ambil tangga suara.

Disini kau dan aku

Terbiasa bersama

Menjalani kasih sayang

Bahagia ku denganmu

Feby kemudian mengambil alih. Berkolaborasi dengan serasi.

Pernahkah kau menguntai

Hari paling indah

Ku ukir nama kita berdua

Bila kita mencintai yang lain

227
Mungkinkah hati ini akan tenang

Sebisa mungkin, tak akan pernah

Sayangku akan hilang...

Bersama-sama, Nara agak kaku.

If you love somebody Could we be this strong

I will fight to win Our love will conquer all

Wouldn't risk my love Even just one night

Our love will stay in my heart

My heart....

Melihat mereka yang cukup romantis itu, Sindy berdehem


menyindir. Tapi mereka tetap sibuk tak menghiraukan.

‘’Ekhem,, Aduh maaf ya, aku mau shalat dhuhur dulu.


Makan siang abis gitu pulang nggarap PR yang lumayan
menumpuk. Sory banget ya, aku cabut dulu.’’ Ujar Sindy beralasan.

‘’Iya, aku juga ada janji. Kalau gak buru-buru bisa kena
marah nanti. Uda dulu ya, Assalamu’alaikum.’’ Mia ikut-ikutan.

‘’Wa’alaikum salam.’’ Desah Nara dan Feby bersamaan.

228
Mereka terlihat aneh hari ini, alasan mereka seperti dibuat-buat.
Nara dan Feby kemudian kembali menyanyikan lagu itu dari awal.

***

Lewat jam 13.00 siang, bel pulang terdengar mendering.


Kedua sahabat itu tetap diam diperpustakaan. Hari ini para staf
dewan guru sedang sibuk rapat. Sejak istirahat tadi tidak ada jam
pelajaran, para pelajarnyapun terpaksa dipulangkan lebih awal. Kak
Irfan, selaku alumni-penjaga perpus- terlihat begitu sibuk mendata
buku diperpustakaan yang hilang.

Feby berdiri menghirup udara segar, melalui cendela perpus


yang sedikit terbuka itu, ia melihat sejuk halaman sekolahnya.
Senyumnya yang mengembang tiba-tiba menciut begitu melihat
Indra dan Firdha duduk berduaan ditaman yang tak jauh dari situ.

‘’Benar-benar sudah kelewatan.’’ Dengus Feby kesal.

Gadis yang semula berdiri menatap luar cendela itu


mengajak Nara keluar dengan tergesa tiba-tiba.

‘’Ada apa sih, Feb?’’ tanya Nara.

‘’Coba kakak lihat gadis yang bersama Indra itu,’’ tunjuk


gadis itu.

Wajah Nara terlihat biasa-biasa saja.

229
‘’Bukankah dia pacar kakak? Kakak ndak marah melihat
mereka berdua bermesraan seperti itu?’’

‘’Untuk cemburupun aku tak berhak,’’ kata Nara.

‘’Kenapa begitu?’’

‘’Sebenarnya, aku sudah putus sama dia,’’

Feby benar-benar tak percaya. Secepat itukah?

‘’Memang sejak kapan?’’

‘’Sejak seminggu lalu. Ia tidak suka kalau aku deket-deket


sama kamu.’’ Jawab Nara sambil menggaruk kepalanya yang tak
gatal.

‘’Kenapa bisa? Perasaan dia baik sama aku?’’

‘’Itu sih sama kamu, sama aku beda lagi.’’

‘’Hmm,, pantesan.’’ Dengusnya.

***

Dari ketinggian lantai dua, Indra dan Firdha terlihat sedang


melirik kearah mereka. Seperti disengaja, mereka kemudian saling
berpegangan tangan. Hati Feby panas. Lekas memegang tangan Nara
membalas. ‘’Aku mohon, sekali ini saja. Kakak jangan bikin aku
kecewa.’’ Desaknya dengan tatapan serius. ‘’Bantu aku manas-

230
manasin Indra.’’ Lanjutnya merayu. Gadis itupun mulai merapatkan
diri, bau parfumnya tercium menggoda. Nara tetap mengambil jarak
mundur. Lelaki lain pasti berdesir kaku diperlakukan seperti itu.

Tatapan bening gadis itu membelai takjub mata Nara seakan


jurang tak bertepi. Terjebak didalamnya adalah sebuah kecelakaan
hati. Begitu terjerat, sulit keluar. Atau mungkin sampai tak berdedip,
apalagi lari. Untung Nara berhasil lolos dari tatapan itu. Bisa saja dia
menggenggam tangan gadis itu tanpa diminta, tapi sepotong hatinya
menyuruh mundur..

‘’Pada Firdha saja aku tak berani memegang tangannya,


apalagi dengan yang bukan siapa-siapaku. Maaf, aku tak bisa.
Kenapa tidak minta laki-laki lain?’’

‘’Aku mohon kak! Kakak adalah satu-satunya teman yang


bisa bikin mereka cemburu. Juga kakak-lah yang selama paling
dekat denganku. Aku benar pingin putus sama dia!!’’ desaknya
memelas.

‘’Kalau begitu kenapa gak sekalian kamu putusin aja?’’ nada


Nara sedikit terbawa ego diri.

Mulut gadis itu terbungkam...

231
‘’Selama ini kau masih saja naif. Sudah tahu kalau Indra tuh
orangnya kayak gitu, kenapa kamu masih saja mau dibodohin sama
dia??’’

‘’Dunia ini luas, kau harus paham. Lelaki tak hanya satu
didunia ini.’’ Tambahnya. Tersulut emosi yang sedari tadi ia pendam.
Cemburu.

Lagi-lagi Feby hanya bisa merengek dan memohon tak tenang.


Rupanya keberuntungan tak memihak pada siapapun. Dimasa lalu
kedua-duanya sama-sama salah telah mengambil prinsip kalau
dalam pacaran itu bisa membangkitkan nafsu belajar. Sekilas
tampak iya, tapi ujung-ujungnya pasti akan menyesal.

Melihat Nara yang entah ngeluyur pergi begitu saja, gadis


itu jadi risih, ‘’Kata-katanya manis seperti biasa, tapi bagitu itu
teramat pahit. Huh... kenapa juga sih dia seperti itu. Egois banget.’’

Nara tetap berlalu. Membalasnya dengan gerakan hati.


‘’Maafin aku, Feb. Mungkin saja aku ada rasa kagum sama
kamu, tapi Allah dan Rosul-Nya lebih dulu aku cintai. Mana
mungkin aku berbuat hal senonoh semacem permintaanmu tadi itu?
Apalagi kau adalah gadis yang selama ini sangat kuhormati.’’
Batinnya membisiki kebenaran.

‘’Ceritaku bersama Firdha adalah simbol kesalahan, aku


menyesal kenapa aku mengambil keputusan berpacaran

232
dengannya? pada akhirnya kami hanya meninggalkan bekas
kekecewaan di masing-masing hati.’’ Tambahnya dalam hati.

Feby masih terdiam pada tempatnya. Ujung jilbab dan rok


panjangnya berkibar diterpa angin. Ada perasaan haru-biru dalam
dadanya.

Nara tetap pergi berlalu...

***

Feby berlari sambil berlelehkan air mata, seluruh hatinya


seakan menabrak bebatuan terjal. Air matanya yang tumpah macam
tetesan embun di tengah gurun pasir yang amat tandus. Segersang
pemikiran hati kata ‘’Rossa dalam senandung Ayat-ayat Cinta.’’

Menelusuri jalan di pematang sawah, terlintas semua


kenangan masa-masa remajanya saat pulang dari Miftahul Ulum.
Nara memegang tangannya saat ia terjatuh dan terjebak di dalam
lumpur. Ia menggendongnya, mengantarnya sampai rumah. Luka di
kakinya? Masih membekas. Ah, kenangan terindah yang pernah ia
dapat dari pria itu. Ia dapat menyandarkan pipinya, mengeratkan
pegangannya agar tidak meringsut kebawah. Meski dalam keadaan
kaki yang terluka dan tak terbendung perih, kapan lagi bisa seperti
itu??

Kenangan yang indah...

233
Berubah menjadi semu...

Gadis itu terus berlari sampai tiba di jembatan layang,


tempat dimana mereka pernah pulang bersama selepas lomba dan
menikmati nuansa magis pelangi. Jembatan itu gelap berbayang
terkena bias dhuhur sang mentari. Sinar pukau yang menyengat.
Terlihat remang karna mata gadis itu disesaki sumber mata air yang
mengalir penuh kecewa dari hati yang berkeruh.

Tak tahu harus mengadu apa pada Allah, gadis itu hanya
mampu menjerit dalam hati menghadapi semua kenyataan pahit
yang mendera. Ada 1001 masalah yang mengusik ketenangan
batinnya. Tentang bagaimana ia menjalani keputusan yang telah
diambil keluarga demi masa depan dirinya. Tentang ayah yang
beberapa hari lalu dirawat di rumah sakit. Tentang sekolah, kuliah
dan kerja. Tentang seseorang yang saat ini mungkin sedang marah
pada dirinya. Akan berlabuhlah bahtera hati menuju tempat yang
indah nan jauh disana. Bandung.

Antara teman dan sahabat.

Mana yang harus dia pilih?

Berat ia meninggalkan CINTA.

***

234
Lupa bagaimana caranya tersenyum pada teman, Feby hanya
mampu menangis meratapi semuanya disudut kelas. Beban berat
pikirannya menumbuk pening bak tungku timah yang telah lama
memanas. Gadis itu tak dapat lagi berpikir jernih, kusut dengan
dipenuhi berbagai pertanyaan seputar ‘masa depan’. Semenit seusai
menuliskan sesuatu pada secarik kertas, Mia mendobrak pintu.

‘’Feb!! Darurat!!!’’ Mia terlihat gusar.

‘’Ada apa, Mia?’’ kata Feby sambil mengusap air mata di


pipinya. Buru-buru gadis itu menyelipkan secarik kertas tadi
kedalam saku.

Tanpa menjawab, Mia langsung menarik lengan gadis itu.


Mengajaknya keluar. Begitu pintu kelas dibuka, terlihat seseorang
tengah berkelahi, bergelut dan saling tumpang tindih. Riuh teman-
teman disekitarnya, tak ada satupun yang terlihat mendamaikan.

‘’Hentikan!!!’’ teriak Feby segera melerai pertikaian yang


terjadi itu. Suasana hening sesaat. Semua mata tertuju kearahnya.
Saat Indra hendak memukul kembali seseorang yang sedang
ditumpanginya, Feby menangkis dan mencengkram pukulan itu
hanya menggunakan satu tangan, segera ia pelintir 180 derajat dan
mendorong tangan Indra telak, membuat Indra terdorong mundur
dan mengerang kesakitan.

235
Sengaja tak membalas, Indra tahu yang dihadapinya adalah
anak perempuan, mantan kekasihnya sendiri pula. Seminggu baru
putus, gadis itu tak segan-segan lagi membalas perlakuan kasar dari
dirinya. Sedikit jago bela diri, gadis bernama Feby itu sempat belajar
Karate semasa kecilnya dulu, hanya beberapa bulan saja, tapi
pengalaman yang sedikit itu sudah cukup kalau hanya untuk
menangkis serangan remeh dari Indra.

Nara bangkit berdiri sambil membersihkan bajunya. Feby


kemudian menyaduk lengannya sewot. ‘’Kau seperti anak kecil,
berkelahi dengan gulung-gulung seperti tadi itu. Gak akan selesai-
selesai.’’ Kata dia mentang-mentang.

Indra mencari-cari alasan, memanipulasi ucapannya agar


terdengar Naralah yang bersalah. Padahal yang mencari gara-gara
adalah dia sendiri. Sama seperti Firdha, dirinya juga tidak suka kalau
Feby dengan Nara bersahabatan. Memang apa mau mereka?

Feby menarik tangan Nara, mengajak dengan paksa si pria


yang sedikit babak belur itu meninggalkan arena bergumulan. Tak
sedikitpun Feby menoleh. Mamad dan Zani yang berusaha
memanggil sedikitpun tidak dihiraukannya. Perlahan suasana
beringsut bubar dan sepi, seolah tak terjadi apa-apa.

Gadis itu mencekram tangan Nara kuat. Tangannya yang


seputih tulang–dengan gelang berbandol bintang biru yang
gemerincing itu– menyeret langkah Nara masuk kedalam kelas,
236
***

‘’Ya Allah, Feb. Aku tak bermaksud membuatmu menangis.’’


Ujar Nara merasa bersalah. Disudut ruang kelas XA itu, Feby tetap
tidak mau membuka mukanya sedih. Sejenak Nara mencoba
mengelus bahunya, tangan gadis itu langsung menepis.

Nara mulai duduk menyamping. ‘’Bicaralah, Feb!’’ desaknya.


Gadis itu tetap bergeming, malah membenamkan mukanya di kedua
lengannya yang meringsut diatas meja. Seperti siput dengan punuk
rambut diatas kepalanya yang dibaluti jilbab putih seragam.

‘’Loh?!! Kok tambah purik sih? Aku kan gak punya balon
kotak?’’ canda Nara menghibur. Feby menahan tawa dalam
tangisnya, perutnya sedikit sakit. Sejak kecil ia biasa dihibur dengan
ungkapan-ungkapan seperti itu. Seperti istilah ‘balon kotak’. Tapi
balon yang seperti itu mana ada? Itulah yang membuatnya merasa
lucu.

Nara yang menyadari itu malah menyindir. ‘’Hmm,, pake


acara nahan tawa lagi. Bilang aja kalo mau beli, dirumah ada 10
kok. Adek Feby mau beli?? Iya?’’ masih dalam keadaan ngelawak,
sesekali sambil menggelitik. Nara mirip Kak Dela kalau ngomong
dengan nada menawari seperti itu.

‘’DIAM…!!!’’ bentak gadis itu semakin emosi kala Nara


menggelitik pinggangnya. Merasa kesal, iapun bergegas pergi. Ada

237
secarik kertas yang sengaja ia tinggalkan diatas meja. Nara lekas
membaca:

Dear Nara.

CINTA... Maaf atas segala pertimbangannya saya harus


menuliskan 5 huruf itu. Saya butuh sedikit perasaan, tentu dengan
sebuah maksud. Bukan tentang pacaran atau cinta hitam
sejenisnya. Melainkan agar engkau berkenan mengambil langkas
serius.

AKU memang begini adanya. Tak sesempurna yang kau


dambakan. Tapi aku ingin kau mengerti. Jujur saja,, selama ini ada
setitik debu Cinta yang terpendam dalam bilik hatiku. Bukan
maksudku menodai kebun persahabatan kita, tapi semenjak Indra
memulai hubungan mesra dengan Firdha, aku jadi sering
menangis. Lalu kau hadir dalam mimpiku. Tak pernah terbesit
dalam akal sehatku kalau aku akan sefrontal ini menyamampaikan
maksud isi hati

Seminggu lalu, Ibu menyuruhku bekerja di Bandung.


Kebetulan kakakku bekerja sebagai Foto Model dan Desainer Tata
Rias Busana Muslimah disana. Berharap semoga aku bisa bekerja
dengan baik. ^_^

TANPA hadir membawa harapan palsu, Temui aku di batas


senja, terminal arjosari apabila sampai jam 4 sore Reuni Akbar
besok aku tidak juga datang. Aku punya 1 kenangan terakhir
untukmu. Dan juga ada hal yang musti kita bicarakan. PENTING...!!

From Feby.

Sorry agak alay ^_^


238
‘’FEBY??’’ Tangan Nara gemetar hebat. Selama 5 tahun
bersahabat, baru kali ini ia tahu kalau gadis itu manaruh rasa suka
pada dirinya. Perasaannya saling berbalas tanpa dirinya ketahui.

‘’FEBY??’’ ucapnya sekali lagi. Seakan tak pernah percaya. Matanya


melotot menatap dengan angan penuh kekosongan.

***

239
10

Separuh Napas Aku Pergi

Nara berlari mencari sosok yang dikenalinya, lirik matanya


bergerak kanan kiri gencar. Dalam reuni akbar ini, Kak Citra juga
hadir dengan diantarkan suaminya. Banyak dari teman-teman
kakaknya itu yang sudah punya suami, sepertinya Kak Citra sajalah
yang baru menggendong anak. Begitulah perempuan lebih cepat
dinikahkan sebagaimana mestinya.

‘’Kak Dela!!!’’ teriak Nara memanggil. Barangkali Feby


sedang bersamanya.

Suara suluk melaung indah, disela-sela kerumunan banyak


orang itu terdengar suara merdu dan menggema dari bass sound
system yang menggetarkan kaca-kaca. Dentuman jidor bass diiringi
dengan tabuhan rebana kemudian terdengar nyaring dan mengge-
tarkan relung hati terdalam.

Dari jauh Kak Dela menunjuk sesuatu. Kearah panggung


ternyata. Dengan penasaran Nara menoleh, terlihat Feby tengah
menjadi ‘Fokal Banjari’.

240
‘’Suara itu?’’ desis Nara baru menyadari.

***

Nara menatap hampir tak berkedip, diatas pangung sana


Feby bagai merpati biru tengah mengiparkan selendang gaunnya
yang semampai. Bak ratu permaisuri dengan tata rias busana yang
sungguh sangat memukau, seperti hendak menikah saja make up-
nya. Nara buta dari butiran debu yang sejatinya membuat matanya
perih.

Semarai tepuk tangan bergemuruh riuh antusias, sekilas


debu-debu yang bertebaran lekas kembali terlihat saat bidadari
dunia itu kembali turun setelah mengucapkan kata ‘terima kasih’,
iapun langsung bergegas pergi entah kemana.

Nara hendak mengejar gadis itu, tapi sebelum ia mengambil


langkah berlari Kak Dela terlebih dulu mewanti agar Nara tak
sampai menyakitinya. ‘’Kalian bukan anak kecil lagi, aku tak harus
mengajarimu bagaimana caranya menaklukkan hati perempuan,
bukan? Jangan sakiti perasaannya.’’ Pesannya.

Nara tersenyum penuh percaya diri, ‘’Aku tak janji. Tapi,,


serahkan semuanya padaku.’’ Janji Nara menggebu-gebu. Dengan
memohon dukungan pada Kak Dela, Nara bergegas menyusul gadis
itu. Tapi,, Hilang? sepertinya ia kehilangan jejak.

241
‘’Nara!!!’’ panggil seseorang dari belakang, suaranya
terdengar pelan ditengah-tengah kerumunan banyak orang yang
begitu padat dan ramai. Banyak alumni dari angkatan 2005 hingga
angkatan tahun ini yang hadir.

‘’Kenama saja kau? Feby sudah menunggumu dari tadi.’’


Ujar Sindy dengan napas yang masih tersenggal satu-satu.

‘’Kau tahu apa yang terjadi diantara kami?’’ tanya Nara.

‘’Jelas aku tahu! Bukankah kita bersahabat sejak lama?’’

Nara terdiam memikirkan sesuatu. Sindy yang masih


memburu napas berusaha menceritakan semua yang ia ketahui
dengan tenang.

‘’Selama ini, dia telah banyak berbohong pada kita. Ia pura-


pura mengambil bajunya dirumah sepupunya hanya untuk
berlama-lama dan pulang bersama kamu, secerdas mungkin dia
mencari alasan..., Kamu inget waktu dia minta antar pipis kala dia
lomba mewakili Miftahul Ulum dulu? Itu adalah cara dia mencuri
hati seseorang yang sangat dikaguminya. Tapi yang diharapkannya
tak sesuai rencana.’’

‘’Dari mana kau tahu?’’

Sindy berpikir sejenak. Mencoba mengingat.

242
‘’Api unggun!!! Iya,, api unggun. Ia menceritakan semuanya
menjelang tidur. Tapi tidurnya tak bisa nyenyak karna terus
memikirkanmu..., ia sengaja tak memakai jilbab longgarnya agar kau
tahu kalau dia itu cantik. Lebih cantik dari pada yang pernah kamu
lihat sebelumnya. Begitu kau mengakui dirinya sebagai ‘Bidadari
yang jatuh dari langit’. Dia benar-benar merasa menjadi orang yang
paling bahagia sedunia.

‘’Pun perencanaan hari ulang tahun kamu dirumahnya Zani


semasa MTs, semua dia yang paling andil dalam perencaan yang
begitu matang. Terkadang kulihat bola matanya seperti anak kecil
yang bergembira saat menyebut namamu.’’

‘’Tidakkah secuil saja kau ingin membalas segala


kebaikannya? Minimal kau harus menemuinya sebelum dia benar-
benar pergi.’’ Desak Sindy memaksa.

‘’Aku pasti akan menemuinya! Kau lihat kemana dia setelah


turun dari panggung tadi?’’ tanya Nara berkebat-kebit gundah.
Tergesa dan terburu-buru.

‘’Tadi kulihat dia sedang menuju perpus,’’ jawab Sindy.

***

Nara menaiki lantai dua dengan napas yang memburu.


Memburu waktu dan takut kehilangan. Kembang kempis dadanya
seakan tak rela sedetik saja terlambat. Seputar arah jarum jam
243
plirak-plirik mata dikepalanya sibuk mencari, didekat ruang
perpustakaan sana Feby tampak sedang menunggu sesuatu.
Menunggu dirinya kayaknya. Disebelah gadis itu ada Zainal dan
Mia, sama-sama terlihat sedang menunggu. Nara pun bergegas
menghampiri mereka.

Menyadari kalau Nara datang menemuinya, Feby berlari


hendak memeluk, tapi tak jadi. Ia tahu kalau dirinya bukan mahram.
Gadis itu hanya menatap Nara dalam-dalam, pandangan matanya
lekat mengerat dan mengakar kuat dipangkal hati, karna dia sadari
cowok bernama Nara itu bukanlah ‘Mahram’.

Ada getah bening di bola matanya yang lebar, seperti ada


genangan rawa yang tercipta dari kedua bola matanya. Parasnya
tetap terlihat cantik meski dengan raut wajah yang berduka melas
seperti itu.

‘’Kenapa harus pergi?’’ Nara bertanya dengan tinggi nada


yang rada ditekan. Apa kata perasaannya tadi, seperti tak pernah
rela ‘kehilangan’.

Zainal dan Mia ikut merapat. Sahabat lainpun juga


demikian. Mereka saling mengadu rindu. Saling dirundung pilu atas
satu anggota sahabat mereka yang sebentar lagi akan pergi jauh dan
mungkin tak pernah bertemu lagi. Warna pelangi diantara
persahabatan mereka akan melebur dan bergabung menjadi satu
dalam birunya langit berabu-abu awan.
244
Pernah mereka lalui bersama.

Jerit tangis canda tawa.

Menjalani semua kesibukan.

Makan dan selalu berkumpul bersama.

Bahkan lapar satu lapar semua.

Mereka punya solidaritas tinggi. Kompak terhadap alunan waktu.

Dan terurai benang janji untuk saling setia, menerima setiap


perbedaan dan saling percaya satu sama lain sekalipun jarak
memisahkan mereka sejauh planet Merkurius dan Bumi. Mereka
akan tetap menganggap kesetiaan ini sebagai.....

‘SAHABAT..., SELAMANYA!!!’’

Tak ada kata mantan, alumnus apalagi alumni dalam pertemanan ini
Selamanya tetap berlaku.

***

Jerit tangis bayi yang terdengar gagah membuat sebagian


orang memandang ke arah Citra. Pipi Citra jadi merah padam karna
menahan malu. Iapun berusaha melipur. ‘’Cup cup cup...’’ ucapnya
sambil mengayunkan gendongannya ke kiri dan ke kanan. Semoga
saja bayi itu lekas tidur.

245
Dela yang mengetahui hal itu pun mendekati. ‘’Ada apa,
mbak?’’ tanya dia.

‘’Mungkin saja haus. Tadi lupa bawa susu dot,’’

‘’Lah suami mbak kemana?’’

‘’Gak tahu, pergi bawa sepeda motor tadi.’’ Jawab Citra.

Alumni adik kelas Citra itu berusaha melipur lirih. Berlagak


seperti ibu muda.

‘’Pok ami-ami belalang kupu-kupu, siang makan nasi kalau


malam mimik....,’’ suaranya terjeda lama.

‘’Cucu...!!!’’ godanya sembari menggelitik.

Bayi dalam timangan Citra itu tertawa seketika, matanya


yang sekecil kelereng mini sipit-sipit terbuka ceria. Tangisnyapun
reda total. Dela kembali melipur untuk memastikan anak itu agar
tidak kembali menangis. ‘’Ciluuuukk,,,’’ ucapnya sambil
bersembunyi dibalik punggung Citra. Si bayi mendongak-dongak
sibuk mencari..., imut. ^_^

‘’Baaaaa!!!’’ getaknya pelan. Si kecil jadi tertawa lepas.

Citra tersenyum tipis-tipis. Sejurus kemudian dia teringat


sesuatu, ‘’Del, lihat Nara nggak?’’ tanya dia.

246
‘’Lagi bersama adikku kayaknya, mbak. Mereka sedang
berbicara serius, tak boleh diganggu.’’

‘’Adik kamu? Bersama Feby ya? Tak boleh diganggu gimana


maksudnya??’’ tanya Citra berkecamuk.

‘’Sstttt,, ada kisah unik diantara adik kita berdua’’ balas Dela
setengah berbisik.

‘’Maksudnya?’’ Citra bertanya sekali lagi.

‘’Adik kita sama-sama saling jatuh CINTA...!!!’’

***

‘’Aku bagai anak panah di tangan Allah, yang siap melesat


kearah yang telah ditetapkan-Nya. Insya Allah, kalau memang Allah
menghendaki, maka terjadilah apa yang dikehendaki-Nya. Jodoh tak
mungkin keliru.’’ Kata Feby penuh percaya diri, dalam hatinya ada
rasa yang tak menentu yang ia selimuti dengan rasa pasrah dan
tawakkal. Pada Allah ia menitipkan sepotong hati.

Mata Nara berbinar kala mendengarnya, cuping telinganya


seakan tertusuk tombak kata-kata bijak tasawuf tingkat mahabbah.
Gadis bernama Feby itu amat berarti dalam hidupnya, tak kan
mungkin tergantikan, pikirnya.

‘’Saat aku pergi, jaga diri kalian baik-baik, khusus buat Kak
Nara dilarang kangen. Bahaya...!!’’ cibirnya sambil mengulum
247
senyum, getir yang disembunyikan. Tetap dalam rasa sedihnya,
semua senyumnya adalah palsu.

‘’Mia, Zainal, Sindy... titip Kak Nara ya! Kalau ngomer tonjok
aja perutnya biar kapok, aku ikhlas kok.’’ Guraunya.

Nara sedikit cemberut, yang lain tersenyum haru.

Melihat Nara yang bersikap kaku, Mia langsung menyaduk


dadanya. Mempraktekkan apa yang baru saja dipesankan
sahabatnya yang bernama Feby itu. Iapun mengancam dengan sadis.
‘’Sekali lagi kau memasang muka-muka seperti itu, akan kubuat
mukamu serata batu aspal!’’ Ancamnya.

Nara menelan ludah, baru kali ini ia melihat Mia begitu


galaknya. Entah apa yang membuat dia seperti itu.

‘’Gelang pemberian dari kalian ini tak akan selalu ku


simpan, semoga kalian masih ingat wajahku ketika sudah waktunya
aku kembali nanti. Semoga kita panjang umur.’’

‘’Amiiinnn...,’’ balas semuanya mendo’akan.

Dari kejauhan gerbang sekolah sana, Kak Dela berteriak


memanggil.

‘’FEB...!!! Ayo cepett,, mobilnya sudah datang,’’

248
‘’Bentar kak!’’ balasnya berteriak juga. Suaranya terdengar
begitu khas di telinga.

Gadis itu kembali menatap wajah Nara. Telah tersingkap


sudah bingkisan kalbu yang selama ini dia sembunyikan. Tak ada
lagi rahasia dalam hati mereka, ke dua-duanya sama-sama saling
mencintai. Tapi sepertinya semua sudah terlambat. Bandung sudah
lama menanti.

‘’Maafkan aku, Kak. Aku tak punya banyak waktu. Kenangan


terakhir yang ku maksud adalah...,’’ kata Feby menunduk malu.

‘’Hatiku..., ku harap kau menjaganya dengan baik, jangan


pernah kau dustai. Berjanjilah!.’’ ucap gadis itu pelan. Pipinya
bersemu merah. Begitu teduh tatapannya melihat Nara untuk
terakhir kali.

Sebuah janji setia kemudian mereka rangkai untuk


membuka lembaran baru di masa yang akan datang. Semuanya
berawal dari sebuah mimpi, akankah kisah cinta mereka tetap
berlanjut?

Semilir angin mendayung pepohonan nyiur dengan


daunnya yang melambai-lambai. Nara memaksa matanya tak
berkedip. Menyaksikan gadis itu berlalu pergi. Dunia seakan
berputar lambat. Dunia ini serasa hanya milik berdua.

***
249
Semburat senja sibakkan tirai biru langit, dalam beberapa
kurung waktu menit dunia mulai berubah menjadi jingga bermerah
merekah. Nara asik menulis puisi, menggambar isi hatinya ke dalam
sebuah sajak-sajak yang indah.

Tertutur getir untaian cerita

Mengalir terselir menjadi kisah

Bersemu merah langitku karna senja

Tergurat wajahmu diawan

Guratan senyum tatapan berbinar

Renyah tawamu menggema indah

Perih pupus senjaku kala ia terbenam

Tanpamu langitku jadi hitam

Bersamamu, indah kurasa

Membelah kesunyianku bersama mega-mega

Jauh, dekat... Dimanapun kau berada

Ingatlah, ku sahabatmu... ku cintamu... Selamanya.

Sebuah Persahabatan yang melapuk digerus waktu dan


berubah menjadi lembaran buku yang kian usang.

250
Seorang gadis menghampirinya tiba-tiba. ‘’Aku mencarimu,
dan ternyata kamu ada disini, menunggu matahari menggelincirkan
dirinya? Hmm?? Aneh!.’’ Kata Avisyah. Gadis itu duduk meringkuh
lutut sama persis dengan yang dilakukan sepupunya. Sedang Nara
tetap menatap langit senja dengan tatapan kosong.

‘’Diamlah! Aku sedang menunggu sahabatku, menunggu


Feby kembali,’’ katanya. Sorot matanya tajam menatap cahaya sang
metahari merah. Memaksa tetap melihat dengan lekat cahaya silau
matahari itu tak memperdulikan sakit berperih di matanya. ‘’Biarlah
mataku buta dari yang lain.’’ Katanya. Rindu pada belahan hatinya
membuat dia mengatakan hal yang sebenarnya tak harus diucapkan.

Dalam matahari yang bersinar kemerah-merahan itu, terbayang


wajah Feby....

‘’Apa yang kau lakukan?’’ kata Avisyah sambil menampar


ringan pipi kakak sepupunya itu.

‘’Kau bisa rabun kalau terus menatap matahari selekat itu,’’


lanjutnya menasehati.

Dalam sekejap mata Nara jadi sedikit ngeblur, hitam di bola


matanya seakan kuningan telur yang kopyor. ‘’Kenapa aku tak dapat
melihat dengan jelas.’’ Katanya sambil mengucek-ucek mata. Terlalu
lama menatap matahari membuat pandangannya kabur, hanya
warna-warna tak jelas yang terlihat.

251
Avisyah mendekatkan wajahnya khawatir, tangannya yang
lembut memegang pipi Nara perhatian. Takut kalau sepupunya itu
benar-benar buta.

Beberapa detik telah berlalu, Nara akhirnya bisa melihat


dengan normal. Perlahan matanya menangkap wajah gadis di dekat
wajahnya. Mata Avisyah sibuk mengamati. Begitu dekat, sangat
dekat hingga terasa napasnya membentur-bentur. Tangan gadis itu
sibuk membelalakkan mata kiri Nara dan mencermati perubahan
yang terjadi di pupil mata sepupunya.

Nara tersentak kaget saat tangan itu mencolok matanya tak


sengaja. Iapun mengerang sakit.

‘’Auuuuww,, apuhh,, sakit tauk, Vis.’’

‘’Astaghfirullahal Adziem,,!! gak sengaja, Kak.’’

Nara mengerjap-ngerjapkan bola matanya sejenak,


pandangannya masih terlihat buram-buram sedikit. Ia kembali
terperangah saat menemukan Feby dalam wajah sepupunya. Air
matanya jadi ingin mengalir.

‘’Leh?? Udah gede kok masih aja cengeng sih, kan lelaki tuh
harusnya pantang menangis,’’ cibirnya bermaksud menghibur.

252
Nara tak sedikitpun menjawab, ia hanya bergumam heran
dalam hati. ‘’Kenapa tiba-tiba aku melihat Feby kedua dalam diri
Avisyah??’’ batinnya.

Sebuah perasaan terurai lembut dari benang hati saat Nara


kembali menatap wajah manis sepupunya itu. Semua perasaannya
tertumpu dan mengerut menjadi debu. Kotor hatinya ingin
berpaling, tapi ingatannya pada Feby sungguh sangat menyiksa, ia
bagai tembok besar di Cina yang menghalanginya pada setiap gadis.
Sepotong hatinya telah ia hibahkan pada gadis bernama Feby itu,
terbelenggu kuat hatinya pada sang ‘Sahabat’. Dan... entah apa mau
dikata. Singkatnya Nara benar-benar merindukan gadis itu.

Seorang ibu paro baya datang membawa kabar duka nan


lara, sambil membawa handphone nokia lantas mengalihkan
pembicaraan pada Nara. Ibu paro baya itu, Ijah, ibu kandung Nara
sendiri.

***

253
11

Seperti Sedang Melihat Cermin

Dimalam gelap tiada berbintang. Udara berkabut tipis. Nara


dan Avisyah berjalan beriringan menuju alamat yang mereka tuju.
Senja tadi mereka mendapat kabar kalau ayah kandung Nara tengah
jatuh sakit. Segera mereka berangkat ke pulau Madura ini guna
menjenguknya.

Mereka terperangah saat tiba dan menatap rumah besar


yang begitu mewah nan megah. Catnya berwarna kuning mentega,
meski hanya tingkat dua, rumah itu kelihatan begitu tinggi, di
depannya ada sepetak taman bunga kecil. Nara tak menyangka, tak
mengira kalau ayahnya adalah seorang pengusaha kaya raya.
Bagaimana bisa ibunya menikah dengan orang yang termasuk orang
berada ini?

Avisyah kembali mengecek alamat yang tersimpan di memo


hpnya. Ia bandingkan dan ia tunjukkan pada sepupu. ‘’Tak salah
lagi, ini pasti rumah ayahku!’’ Nara berkata pasti.

254
‘’Aku berharap semoga ibu tirimu tidak galak. Bagaimana
kalau semisalnya kamu diusir?’’ kata Avisyah menakut-nakuti, tapi
kebanyakan orang kaya memang terkesan galak dan judes orangnya.

‘’Yang benar saja kau?’’ Nara menatap wajah sepupunya


serius. Khawatir akan sebuah duga di hati.

Setelah tersemat kata-kata itu, Nara jadi bimbang. Sejenak ia


meluruskan pikirannya. Memejamkan mata sambil menghembus
napas pelan. Kembali menatap bangunan megah bertingkat dua itu.
Jauh-jauh mereka datang kesini hanya untuk bertemu dengan sang
ayah. Berharap bisa menyambung tali kekerabatan yang sempat
terputus.

‘’Aku yakin ia pasti akan menerimaku,’’ ujar Nara berapi-


api.

Sejenak Nara merasa sedikit ragu, tapi kakinya memaksa


untuk tetap melangkah. Menuju pintu masuk, beberapa pijar lampu
taman turut mengiringi dengan biasnya yang remang-remang. Dari
dalam rumah itu, sayup-sayup terdengar deru tangis. Sedang
Avisyah mengikuti langkah sepupunya itu ragu.

Ketika hendak mengetuk, pintu mendadak terbuka, tampak


seorang wanita separuh baya berjilbab biru tua menyambut
kedatangan mereka antusias. Membuat Nara dan Avisyah saling
pandang sejenak. Sama sekali mereka tak mengenali wanita itu.

255
‘’Tante ini siapa?’’ tanya Avisyah.

‘’Justru aku yang bertanya seperti itu,’’ balas si wanita.

Cepat-cepat Nara menyambar hp yang sedang dipegang


sepupunya. Mencoba menjelaskan, ‘’Sore tadi kami mendapat kabar
dari Umi Laila, bahwasanya Pak Bashir tengah jatuh sakit, apa benar
ini rumah beliau?’’

Wanita itu tak menjawab, ia tampak sedang berpikir dengan


tatapannya yang kosong. Suasana hening sejenak, tiba-tiba ia
memeluk kedua anak remaja SMA itu secara mengejutkan. ‘’Akulah
Umi Laila yang kalian maksud.’’

Rupanya yang ditanya adalah yang mereka cari.

***

Kelayung tangis terdengar mendayu-dayu. Lantunan surah


Yasin memenuhi ruangan. Nara termerenung meratapi akhir hayat
seseorang dihadapannya. Tatapannya kosong dan pikirannya entah
melayang kemana. Ada air mata yang menyumber dari kedua bola
matanya yang memerah.

Memang tak terperikan, seumur hidup tak pernah bertemu,


ketika sudah waktunya sang ayah justru meninggal dunia. Tak ada
yang diwasiatkan darinya kecuali hanya beberapa permohonan
maaf. Nara benar-benar sedih.

256
Seorang gadis berjilbab merah muda datang meng-hampiri
seraya memeluknya dari belakang. Nara sedikit terkejut, menoleh
dengan sedikit melirik. Kulit gadis itu putih bersih dengan raut
wajah yang masih polos.

‘’Umi mengajak kita untuk makan. Tidak baik juga menangis


tersedu terus-terusan seperti itu.’’ Ajaknya menasehati.

Nara mengangguk menurut. Iapun lekas erdiri dan berjalan


mengikuti gadis itu sambil memperhatikan gurat-gurat di wajahnya
dari sebelah. Gadis itu menoleh. Tatapan mereka bertemu. Wajah
keduanya terlihat benar-benar mirip.

Sesampainya di dapur, beberapa orang melayangkan


pandangan kearah mereka. Salah seorang dari ibu-ibu berujar,
‘’Masya Allah... putra-putrinya abah ini sangat mirip yah.’’

Dalam sekejap suasana kembali ramai. Nara kembali


menatap wajah gadis di sebelahnya itu. Tak terasa bibirnya sedikit
bergetar. ‘’Kau?!! Adikku??’’ ujarnya pelan.

Gadis itu kemudian mengangguk, ‘’Iya, aku Karim. Lama ya


tak bertemu,’’ katanya sambil tersenyum.

Sekali lagi Nara ingin menitikkan air mata. Betapa haru


perjumpaan ini. Lekas-lekas ia memegangi kedua pipi adiknya itu

257
seraya mencium keningnya. Seakan tak pernah percaya bahwa
kenyataan telah berkata banyak pada mereka.

Karim sudah tumbuh besar dan tinggi badannya hampir


sama dengan kakaknya. Wajar jika wajah mereka sangat mirip.

***

Kapan terakhir kali kita bertemu?’’ tanya Nara sambil


memuluk nasi.

‘’Entah? Waktu kakak diusir itu aku masih kelas 3 SD


kayaknya,’’

‘’Sekarang kamu kelas berapa?’’

‘’Kelas 1 SMP lah, kakak sendiri?’’

‘’2 SMA,’’ jawab Nara singkat.

Lanjut makan. Gadis itu kemudian senyum-senyum sendiri.

‘’Kenapa ketawa?’’ tanya Nara merasa aneh.

‘’Gak papa, seneng aja punya kakak yang ganteng,’’ jawab


Karim blak-blakan. Nara jadi sedikit malu.

Gadis itu kemudian melepas jilbab dan meletakkannya di


cantolan gudang sehabis makan.

Banyak orang berlalu lalang di dapur yang cukup besar ini.


Semuanya serba sibuk menyiapkan berbagai masakan untuk acara

258
tahlil nanti. Tiap kali ada yang melihat Nara, mereka selalu
mengatakan, ‘’Loh,, putrannah abah pon rajeh gih. Ganteng kiyah
engak alik’eng.’’ Kata ibu-ibu itu berbahasa Madura.

Nara sama sekali tak mengerti. Sang adik yang baru saja
datang kemudian menyanggah. ‘’Enjek yeh, lok padeh, kuleh raddin
benih ganteng.’’ Sergah Karim bernada sewot.

Nara sama sekali tak mengerti. Mereka berbicara dengan


cepat. Sang adik kemudian menerjemah, ‘’Loh,, putranya abah sudah
besar ya, ganteng seperti adiknya... yah aku gak terima lah kak,
akukan cantik bukan ganteng.’’ Katanya.

Nara tertawa renyah.

Para ibu-ibu itu membicarakannya ramai. Dari sini ia baru


tahu, semua orang-orang disini ternyata baik, tak seperti yang
ibunya ceritakan. Bahkan Umi Laila menganggapnya seperti anak
kandung sendiri. Perhatian sama seperti yang lainnya.

***

Jam malam berdentang. Menunjuk pukul 12 malam tepat.


Karim mengajaknya tidur di kamar. Jenazah ayah mereka tidak
dimakamkan sekarang, terlalu malam untuk ukuran adat istiadat
orang Madura setempat.

259
Selang beberapa menit kemudian Avisyah baru datang.
Sepertinya ia habis dari suatu tempat. Pantesan batang hidungnya
tak kelihatan sedari tadi.

‘’Bentar ya kak,’’ kata Karim beranjak pergi.

Setengah berlari gadis itu menuju gudang. Dengan tergesa ia


mengambil sebuah kardus dari dalam lemari. Banyak sarang laba-
laba yang bersarang di dalamnya. Sepertinya kardus itu jarang
dibersihkan.

Karim mengobrak-abrik isi kardus itu, mencari sesuatu yang


sepertinya sangat berharga. Begitu ketemu, ‘’Nah ini dia!’’ katanya
pelan. Buru-buru ia kembali ke kamar.

‘’Huh,, untung aku menyimpannya dengan baik,’’ desahnya


merasa lega.

‘’Apa itu, Rim?’’ tanya Nara penasaran.

Gadis itu kemudian menunjukkan album foto ayahnya


semasa kecil. Terlihat begitu lucu.

‘’Hal yang membuatku sangat menyayangi kakak adalah,,


wajah kakak benar-benar mirip sama ayah.’’ Katanya teringat sang
ayahanda tercinta.

260
Nara melihat foto itu dengan seksama. Perlembar ia buka.
Seperti tak ada bedanya dengan dirinya, semua serba mirip. Sejenak
ia mengangkat pandangan. Menatap wajah adiknya. Seakan melihat
pantulan cermin. Melihat Karim seakan seperti melihat masa lalu.

***

Perut Nara tiba-tiba terasa melilit. Meringkuk tubuhnya


menahan perih yang sangat. Karim bersegera lari ke dapur untuk
memanggil ibunya. Dengan sigap, Umi Laila membuatkan tepung
kanji kedalam semangkuk air. Sepertinya Nara terserang penyakit
maag akibat telat makan.

Nara langsung meneguk air tepung kanji itu hingga tegukan


terakhir. Kembali merebahkan diri, micing mukanya seperti mau
menangis.

Suhu tubuhnya tiba-tiba panas. Entah apa yang


membuatnya tiba-tiba jatuh sakit. ‘’Pasti habis makan pedas
barusan,’’ Duga Karim. Umi Laila kemudian menoleh kearah putri
semata wayangnya. Kalau seandainya tahu Nara punya penyakit
maag, pasti ia akan melarang-nya makan makanan yang pedas.

Tetapi semuanya sudah terlanjur, sekarang bagaimana


caranya agar kondisi anak remaja SMA itu dapat berangsur
membaik.

261
Karim mengusap rambut kakaknya kasihan, ‘’Kakak pasti
sangat sedih, tak sempat berbicara sedikitpun sama abah.’’ Kesahnya
turut prihatin. Iapun merebahkan tubuhnya sembari memeluk sang
kakak perhatian.

‘’Betapa akurnya mereka,’’ demikian gumam Avisyah.

Sejenak ia memerhatikan seisi ruangan. Di dalam kamar


yang serba hijau ini, Karim pasti sudah terbiasa tidur sendirian.

Tak sengaja tangan Avisyah menyenggol boneka berwarna


ungu. ‘’Bukannya ini milik mbak Citra?’’ katanya. Ia langsung
mengambil boneka itu.

‘’Iya, aku dikasih Bi Ijah sewaktu aku kesana bersama


pamanku dulu,’’ katanya memberi tahu.

Karim kemudian menempelkan hidungnya di pipi Nara.


Seandainya Karim adalah laki-laki, tentunya ia pasti akan jadi
saudara kembar dari kakak sepupunya. Wajah kakak beradik itu
cenderung lebih mirip ayah dari pada ibu.

***

Pagi-pagi sekali, sehabis adzan subuh. Mentari fajar masih


meringkuk di pangkuan gulana. Nara terbangun dari sebuah mimpi.
Sebuah mimpi yang begitu indah. Ia melihat Feby berjualan pakaian
busana muslim di sebuah Ruko bersama kakaknya dan ibunya.

262
Betapa indah pertemuan itu meski sekedar mimpi.

Nara mengucek mata, tak jauh dari ranjang tempat ia


terbaring, Karim yang baru selesai shalat langsung menyapa.

‘’Pagi kak... Gimana? Perutnya udah enakan?’’ tanya dia.

‘’Alhamdulillah sudah mendingan. Kapan jenazah abah akan


di kuburkan?’’

‘’Habis ini,’’ jawab Karim singkat.

Nara segera beranjak ke kamar mandi. Usai shalat subuh, ia


turut mengiringi jenazah ayahnya ketempat penguburan. Bersedih
hati ia menitikkan air mata di sepanjang perjalanan. Semua orang
terlihat saling bergotong royong dan ikut andil membantu proses
pemakaman hingga selesai.

Sebuah kedukaan yang antusias.

Semuanya tampak bersedih.

Nara sering melamun. Sulit diajak bicara. Seluruh kepalanya


terasa pusing. Iapun mencium batu nisan ayahnya setelah orang-
orang beringkut bubar. Sambil menumpahkan tangis, ia berdo’a,
‘’Semoga bahagia di alam sana, ayah.’’

Disisi lain, Avisyah tampak sibuk membantu ibu-ibu di


dapur, sedikit-sedikit ia bisa berbahasa Madura, dalam sekejap gadis

263
itu sudah akrab dengan mereka semua. Meski agak canggung-
canggung sedikit.

Begitu Nara kembali dari pemakaman itu, ia langsung pamit


pulang. Sebuah perpisahan yang tidak bisa dipungkiri. Nara
memeluk adiknya erat. Kapan-kapan ia akan main kesini lagi kalau
ada waktu.

Karim ingin menangis, Nara mengecup kening adiknya itu


penuh kasih sayang, ‘’Jangan sedih, Rim.’’ Pesannya. Tak lama
kemudian ia berlalu pergi.

Agak jauh. Nara dan Avisyah menoleh.

‘’Hati-hati di jalan Kak!!!’’ teriak Karim melambaikan


tangan. Di belakangnya ada sang Umi yang merengkuh pundak
gadis itu.

Mereka semuanya berlalu meninggalkan bekas senyuman.

***

264
12

Hal Yang Menyesakkan Dada

Memasuki bangku perkuliahan

DUG DUG DUG...!!!

Avisyah menggedor pintu, tapi si ‘Beruang Kutub’ tak juga


kunjung bangun. Sepertinya saja ia sedang hibernasi, tidur lama di
musim semi dan mungkin? Kenapa gak tidur saja selamanya
sekalian?? Dari pada harus repot-repot membangunkan. Benar-
benar menjengkelkan.

Gadis itu kembali menggedor pintu, kali ini dengan teriakan


kencang. ‘’Kak!!! Bangun!!! Udah keburu siang ini!!! Ahh, dasar
tukang ngorok nih orang.’’ Bentaknya. Mungkin para tetangga pada
dengar.

Ketika ia hendak mendobrak pintu, sang sepupu yang


dipanggilnya ‘beruang kutub’ itu membuka pintu secara tiba-tiba.
Sonta saja Avisyah langsung menabraknya. Sejurus kemudian
mereka sama-sama terjatuh dan secara tidak sengaja posisi Avisyah
tengah berada diatas tubuh Nara. Menindih sebab kecelakaan.

265
Agak lama mereka saling menatap dengan memasang muka
penuh ketidak mengertian. Gadis itu kemudian segera bangkit.

‘’Aaaaahhh... sono-sono pergi!!! Menjauh dariku, ihh jijik


banget. Musti mandi mugalladoh nih,’’ ketusnya beringsut bangkit.

‘’Enak aja najis mugolladoh, dikira gue apaan? Lagian kamu


tuh ngapain sih? Pagi-pagi gini sudah nyari gara-gara, berisik
tauk,’’ keluhnya kesal.

‘’Kakak sih, kalau tidur kayak beruang kutub. Susah


dibangunin.’’

‘’Meskipun begitu santai aja kenapa?’’ ujarnya marah.

‘’Biasa aja kale, gak usah kayak gitu juga.’’ Sewot Avisyah

Mereka kemudian sama-sama berdiri.

‘’Anterin aku ke kampus ya...’’ ajaknya memelas.

‘’Ogah,,, enak aja,’’

‘’Ayolah Kak, ini serius. Nanti aku keburu telat,’’

Nara melirik bosan ke arah adik sepupu yang menurutnya


cerewet itu. ‘’Ya sudah, tapi baliknya naik ojek aja ya?’’ tawarnya, ia
paling malas kalau disuruh jemput.

‘’Oke...’’ ucap gadis itu riang.

266
***

Malamnya, sepulang kuliah, seorang gadis bening bermata


cokelat kehitam-hitaman berjalan dengan lenggok tubuhnya yang
menggiurkan. Rambutnya yang tergurai lurus sedikit kelihatan di
balik jilbab panjang tipis yang saat ini sedang ia kenakan. Pipinya
tembam dengan bekas minyak berkeruh di wajahnya, sekilas tampak
seperti kilap mobil. Semua dari dirinya dapat saja membangkitkan
syahwat setiap lelaki sekalipun ia mengenakan busana yang
tertutup. Tapi berjalan di tempat yang lumayan gelap seperti ini,
sangat berbahaya dan beresiko besar bagi keselamatan hidupnya.

Gadis bening itu adalah Avisyah...

Malam ini ia terpaksa pulang sendirian menyelusuri jalanan


yang cukup petang, membuatnya sedikit merinding, sebenarnya ia
bukan tipe cewek yang penakut, apalagi suasana masih jam segini.
Jam 8 malam. Tapi udara yang berembus dengan nuansa horor
seperti sekarang ini? Entah kenapa ia harus menyisipkan rasa takut
pada keberaniannya.

Saat tiba di jembatan layang, bayangan seseorang terlihat


berseliweran seperti sedang mengikuti. Gadis itu menoleh dengan
cepat.

Tidak ada siapa-siapa??

267
Gadis itu kembali melangkah dengan ragu sambil melirak-
lirik kebelakang mengamati bagaimana bayangan-bayangan hitam
itu kembali bergerak. Jumlahnya sekitar 2 orang. Tidak!! Analisanya
mengatakan 3, yang satunya sedang bergerak kearah lain.

Avisyah kembali menoleh, kali ini badannya ikut berbalik.


Rasa penasarannya menggelembung. Hanya ada angin yang
menderu dan berlalu, benar-benar tiada siapa pun disana. Saat
badannya berbalik menuju arah pulang, tangan kekar tiba-tiba
menerkam dan membius mulutnya dengan sapu tangan.

Gadis itu sempat meronta dan melawan, tapi sejurus


kemudian ia benar-benar terkulai lemah saat ada yang mengkarate
tangan tengkuk dan urat-urat di lehernya. Dalam sekejap pun
tubuhnya ambruk dan lunglai lemah tak sadarkan diri. Ia hanya bisa
mengutuk perbuatan keji itu. Mengutuk segala kejahatan mereka.
Bagaimanapun ia adalah seorang wanita. Tiada yang bisa dia
andalkan dari fisik lemahnya untuk melawan kebengisan-
kebengisan itu.

Ku biarkan mereka merenggut mahkota suci yang


terpendam dalam diriku, sebuah kesucian yang selalu kujaga dan
kusimpan rapi. Mereka merobek-robek keperawananku begitu saja,
membuang jilbab dan kaus kakiku ke sembarang arah,
menanggalkan pakaianku tanpa sedikitpun tersisa melilit di
tubuhku. Dan aku biarkan mereka melakukan hal itu sesukanya,
sebiadap-biadapnya tanpa aku sadari.

268
Andai kata aku sadar waktu itu, pastilah aku melawan
sambil menangis. Sekarang semuanya sudah terlambat, mereka
kemudian melemparku ke sungai yang terdapat di bawah jembatan
ini, bermaksud menghilangkan jejak dengan membunuhku!!!
mereka takut kalau ada yang melaporkan hal ini kepada polisi.

Dalam kondisi normal mungkin aku sudah mati. Memang


seharusnya aku mati saja waktu itu. Bagaimana tidak? Tubuhku
terseret arus curam waktu itu, terbentur-bentur bebatuan terjal
dan aku kalang kabut di dalam air. Tak ada lagi yang tersisa,
semua yang ku miliki telah mereka renggut tanpa sedikitpun
kesucian yang mereka sisakan. Bedebah-bedebah itu
memperlakukanku seperti sepatu, pasang-copot pasang copot
‘dipakai sebelum dibeli’ seenaknya, mereka kira aku ini produk
murahan?

Benih kotor mereka telah tertanam dalam rahimku. Fitnah


saat perutku mulai membesar akan segera hadir. Aku harus segera
mencari calon ayah untuk anak ini.

***

Avisyah tak sadarkan diri untuk beberapa saat lamanya,


hingga saat ia terjaga, napasnya begitu memburu. Dengus cuping
hidungnya kembang kempis dan ngos-ngosan seperti habis di kejar
setan. Sepertinya kejadian pemerkosaan itu Cuma mimpi. Iapun
mencoba bangkit.

Tak bisa!! Tadi itu bukanlah mimpi. Semuanya terasa begitu nyata.

Dalam sekejap sekujur tubuhnya terasa sakit, pening di


kepalanya terasa ngilu, perutnya sakit, dan wajahnya terasa perih
269
penuh sayatan luka. Ada rasa sakit tersendiri di sekitar
selengkangannya. Sakit yang berlebih.

Gadis itu baru sadar. Sejenak ia melambai-lambaikan lengan


bajunya yang kebesaran, entah punya siapa pakaian yang tengah
dipakaikan pada dirinya ini. Rok sewek kelabu batik terselilit
menyelimuti tubuh bagian bawahnya. Pandangan gadis itu
menyebar ke berbagai arah, semua ruangan terbuat dari bahan
kayu. Sekilas terlihat seperti gubuk kecil.

‘’Rupanya kau sudah bangun, anak muda,’’ kata seorang pria


tua yang tiba-tiba muncul. Orang itu membawa obat-obatan herbal.

‘’Sekarang aku ada dimana, Kek’’ tanya Avisyah hendak


bangkit.

Urung. Tak bisa, badannya terasa sakit untuk bergerak


bebas.

‘’Kau harus beristirahat dulu, jangan banyak bergerak. Tidak


usah khawatir, saat ini kau sedang berada di rumahku.’’ Kata pria
tua itu sembari memupuk luka Avisyah dengan dedaunan herbal.
Sedikit terasa perih. Orang itu menyuruhnya bersabar.

‘’Seseorang melemparmu ke sungai, aku menemukanmu


sudah tergeletak tak sadarkan diri di bawah kolong jembatan.

270
Sepertinya kegadisanmu sudah robek. Aku lalu membawamu
kemari.’’

‘’Apa?!!’’

Avisyah benar-benar tak percaya, ia memaksa punggungnya


tegak duduk. Tubuh penuh lebamnya seakan tak mengijinkan.

‘’Bagaimana bisa?? Sudah berapa lama aku tinggal disini?’’


tanya Avisyah.

‘’Dua hari,’’ jawab pria itu.

‘’Hah??’’ mata Avisyah terbelalak tak percaya.

Gadis itu beringsut menangis tak tenang. Tetap tak mengira


kejadian dzalim ini begitu saja merenggut semua yang dia miliki.
Pria tua yang masih di dekatnya itu mengusap air mata Avisyah,
memperlakukannya seperti anak sendiri. Gadis itu masih belum bisa
tenang, perasaannya tak kunjung membaik dan semua harga dirinya
hancur tanpa sisa. Terlucuti habis dan tak teredam petuah-petuah
bijak dari lelaki tua itu.

Avisyah begitu trauma, ia meraih pundak lelaki tua itu lalu


memeluknya erat, seperti sedang dilanda rasa takut yang teramat
dahsyat. Bibirnya gemetaran dan wajahnya pucat pasi. Air matanya
bagai embun yang berjatuhan. Baru beberapa tahun lalu ayahnya
meninggal dunia, sekarang ia harus menghadapi kenyataan bahwa

271
dirinya tak lagi perawan. Ia harus merelakan mahkota kesuciannya
itu direnggut dan dirampas paksa oleh tangan-tangan bedebah sang
pengkeji tanpa sedikitpun dia menyadarinya. Benar-benar
perbuatan yang teramat biadab.

‘’Kak Nara,’’ pekik gadis itu menyebut nama kakak


sepupunya. Merasa ternoda, ternista, terhina dan terlecehkan akan
kejadian yang mengalaminya. Apa yang akan dia hadiahkan pada
sang suami kalau sudah waktunya menikah kelak?

‘’Kak Nara,’’ sebutnya sekali lagi. Masih dalam pelukan pria


tua itu. Sesenggukan Avisyah menyebut nama sepupunya, entah
kenapa ia jadi merindu. Ingat akan pertengkaran waktu sebelum
berangkat kuliah. Ia menyesal kenapa ia pulang sendiri, turun dari
mobil angkot dan berjalan menuju rumahnya sendiri tanpa ada satu
orangp pun yang menemani.

Pria tua itu mengelus rambut Avisyah perhatian. Semuanya


sudah terjadi, ia sadari kenyataan ini amatlah memilukan, tapi nasi
sudah terlanjur menjadi bubur, bagaimanapun tak ada yang bisa
dilakukannya sampai gadis itu benar-benar berhenti menangis. Ada
senyum jahat dibalik semua itu.

***

Malamnya, Nara berkunjung ke rumah Avisyah. Sudah


beberapa hari ini sepupunya itu tak pernah kelihatan, biasanya ia

272
selalu rajin datang kerumahnya untuk minta antar kuliah atau
sekedar ngampung masak. Tak masalah, mereka adalah saudara
sepupu, rumah mereka saja bersebelahan, tapi rumah Avisyah selalu
sepi belakangan ini. Kemana dia?

Entah kenapa pertengkaran kecil pagi itu membuatnya


merasakan firasat yang tidak enak, seharusnya ia sudah pulang saat
ini. Atau entah mungkin ngekost atau sedang menginap di rumah
temannya, ia memastikan langsung menuju rumahnya.

Hanya berjarak sekitar 10 langkah ia sudah tiba, tak ada


satupun ruang yang menyala di rumah sepupunya itu, semuanya
serba gelap kecuali di bagian kamarnya. ‘’Pasti sedang tidur’’
pikirnya.

Khawatir akan sebuah duga-duga tak menentu, Nara


hendak mengetuk pintu, tapi ketika akan melakukannya, bel pagar
tiba-tiba berbunyi.

Nara menoleh, memicingkan fokus retina matanya. Seorang


gadis terlihat tengah menunggu di depan gerbang pintu, buru-buru
Nara hendak membukakan engsel pintu gerbangnya, saat ia mulai
mendekati, tampaklah wajah gadis itu.... Avisyah?

Nara amat tersentak melihat muka adik sepupunya yang


dipenuhi coretan luka yang telah mengering. Duga-duga dihatinya
dipenuhi tanda tanya dan beraduk menjadi satu.

273
‘’Habis dari mana kau?’’ tanya Nara. Gadis itu tak segera
menjawab, ia malah memeluk kakak sepupunya dan memecahkan
tangis dengan berpelukan penuh buncah rasa sakit itu. Ketika Nara
hendak bertanya ulang, seketika tubuhnya lemas dan tak sadarkan
diri. Nara segera merengkuh bahu dan kakinya untuk kemudian
dibopong dan membawanya ke dalam kamar.

Nara dengan tergesa meraih knop pintu.

Konyol -_-??

Pintu rumah Avisyah itu ternyata tidak dikunci, dari tadi


kenapa juga ia mengetuk dan menunggu terlalu lama. Kenapa harus
sampai lelah menunggu seseorang membukakan pintu kalau dirinya
sendiri bisa membukanya? Pria keturunan Madura-Malang itu
memang suka lupa begitu orangnya. Entah mungkin karna
kebiasaan.

Nara merebahkan tubuh Avisyah diatas kasur kamarnya,


menutupi badannya dengan selimut agar aurat di kakinya tidak
kelihatan sebab rok sewek yang sedikit tersingkap. Banyak sobekan
di lengan bajunya. Entah baju siapa yang tengah dikenakan
sepupunya itu, yang jelas ukurannya sangat kebesaran. Wajah gadis
itu juga banyak bekas luka. Aneh bercampur heran. Kejanggalan
ini?? Apa yang sebenarnya terjadi?

274
Mata Avisyah sedikit terbuka, Nara kemudian merengkuh
pundaknya untuk membantu sepupunya duduk. Gadis itu berusaha
mengangkat nada bicara.

‘’Tolong aku, Kak!!’’ rintihnya pelan.

Nara mendekatkan telinganya, suara itu terdengar kurang


begitu jelas. Sejenak setelah Nara memberinya minum, berurai air
mata ia mulai terisak.

‘’Hidupku hancur kak... benar-benar hancur!’’ rengeknya.

‘’Apa maksudmu? Luka diwajah dan di seluruh tubuhmu


ini? Kau habis di_?? Ucapan Nara yang menduga hal itu adalah
sebagai akibat pemerkosaan tragis jadi terpotong seketika. Dan gadis
itupun mengangguk. Seakan tak pernah rela.

‘’Ya Allah,, Bagaimana bisa, Vis?’’

‘’Ini semua salahmu!! Coba saja kamu mau menjemputku,


pasti tidak akan sampai terjadi seperti ini.’’ Kata Avisyah
menyalahkan. Nara hanya bisa mendengarkan tanpa sepatah
katapun untuk membela dirinya sendiri.

‘’Ku biarkan mereka merenggut mahkota suci yang


terpendam dalam diriku, sebuah kesucian yang selalu kujaga dan
kusimpan rapi. Mereka merobek-robek keperawananku begitu saja,
membuang jilbab dan kaus kakiku ke sembarang arah,

275
menanggalkan pakaianku tanpa sedikitpun tersisa melilit di
tubuhku. Dan aku membiarkan mereka melakukan hal itu
sesukanya, sebiadap-biadapnya, tanpa aku sadari.’’

‘’Andai kata aku sadar waktu itu, pastilah aku melawan


sambil menangis. Sekarang semuanya sudah terlambat, mereka
kemudian melemparku ke sungai yang terdapat di bawah jembatan
ini, bermaksud menghilangkan jejak dengan membunuhku!!!
mereka takut kalau ada yang melaporkan hal ini kepada polisi.’’ Kata
Avisyah sambil membuang muka, entah apa yang saat ini sedang dia
pikirkan. Tatapannya amat memilukan.

‘’Dalam kondisi normal mungkin aku sudah mati. Memang


seharusnya aku mati saja waktu itu. Bagaimana tidak? Tubuhku
terseret arus curam, terbentur-bentur bebatuan terjal dan aku
kalang kabut di dalam air. Tak ada lagi yang tersisa, semua yang ku
miliki telah mereka renggut tanpa sedikitpun kesucian yang tersisa.
Bedebah-bedebah itu memperlakukanku seperti sepatu, pasang-
copot pasang copot ‘dipakai sebelum dibeli’ seenaknya, mereka kira
aku ini produk murahan?’’

‘’Beruntung ada seseorang yang mau menolongku,


BERUNTUNG!!! Kau dengar itu?? Ia merawat dan menjagaku seperti
ayah yang t’lah lama kehilangan anaknya. Sepenuh hati ia mencoba
melipur laraku, dan aku bisa sedikit tenang karnanya. Aku selalu

276
menilainya sebagai orang yang paling baik di dunia ini. Iya, orang
yang paling baik.’’ Gadis itu tertawa getir di sela-sela isak tangisnya.

‘’MUNAFIKK!!! Pria itu ikut memperkosaku!!!’’ meledak


sudah emosi dan tangisannya, berkelayung dan terdengar begitu
miris. Duhai Avisyah, betapa tercengang wajah Nara saat itu, ia
begitu tercengang mendengar ceritamu yang terkesan tragis. Seakan
merasa apa yang saat ini engkau rasakan.

‘’Semua terjadi begitu saja, telah aku ucapkan rasa terima


kasihku padanya, tapi ‘nanti dulu’ katanya, ia ingin merawatku
sampai kondisiku benar-benar pulih. Tapi sesaat setelah aku tertidur
nyenyak, diam-diam pria itu mengikat kaki dan tanganku dengan
tali besar. Tahu-tahu ia sudah menaiki tubuhku dan merayu
memanja penuh kebiadaban. Brengsek bukan??’’ umpatnya seakan
sedang berbicara langsung dengan orangnya.

Nara mulai menitikkan air mata.

‘’Pria tua itu mengimin-iminiku dengan banyak harta, ia


tahu kalau aku sangat membutuhkan uang untuk melunasi hutang-
hutang ayah. Aku benar-benar tak punya pilihan. Iapun melepasku
setelah aku berjanji tak akan lari. Tapi semua itu hanyalah
kedustaan belaka, dia menyentuhku dan menikung dari belakang.
Sejak saat itu aku dijadikan budak nafsunya. Diriku yang sekarang
ini menjijikkan. Kotor dan tak suci lagi!’’

277
‘’Hingga akhirnya aku berhasil kabur dari kebengisan pria
tua bangka itu, sebuah usaha menantang maut telah berhasil aku
lalui. Semuanya menuntunku untuk kembali ke rumah ini sebelum
orang itu menyadari ku telah lepas dari jeratan sanderanya.’’

Avisyah mulai duduk diatas lantai setelah tangisannya


sedikit reda, tetap basah dipipinya sebab ia sengaja tak mengusapi
air matanya itu. Ia memeluk lututnya sendiri layaknya memeluk
boneka. Nara mendekati gadis itu dan membelai pundaknya kasihan.

‘’Benih kotor mereka telah tertanam dalam rahimku. Masa


subur. Tak terpungkiri lagi, aku telah berbadan dua. Fitnah saat
perutku mulai membesar akan segera hadir. Aku harus segera
mencari calon ayah untuk anak ini.’’ Katanya berharap

Hati Nara begitu terenyuh, nurani religinya mencair.


Hatinya kian leleh dalam larutan masam kata-katanya. Kalau sampai
hal itu benar-benar terjadi, ini akan menjadi aib buruk bagi dirinya
dan segenap keluarga. Sebab selama ini dialah yang membantu
membiayai adik sepupunya itu kuliah. Fitnah yang gadis itu ucapkan
barusan, bisa saja dia juga yang kena imbasnya. ‘’Maafkan aku, aku
memang salah. Biar aku saja yang akan menjadi ayah dari anak ini,
biar aku yang menjagamu mulai hari ini dan selamanya.’’ Janjinya.

Nara berdiri, memberikan uluran tangannya pada gadis itu,


membatunya bangkit dari keterpurukan. Sesaat wajah gadis itu
menengadah menatap wajah tulusnya. Mana mungkin dia bisa
278
menolak. Gadis itupun meraih tangannya dan berusaha bangkit
berdiri, sesaat mereka saling bertatapan, Nara menyeka air matanya
yang sedikit bercampur dengan kotor debu yang hinggap di pipi
sepupunya itu. Sejurus kemudian merekapun saling berpelukan.
Haus akan rindu dan akan arti dicinta yang telah lama pergi.
Mereka akhirnya saling berjanji untuk saling menjaga dan
melindungi. Bersama-sama merangkai masa depan yang indah dan
cerah. Waktunya membuka lembaran baru.

***

Beberapa bulan telah berlalu, Nara menikah, menikahi gadis


itu. Pesta diadakan seadanya, dengan jamuan seadanya pula nan
memenuhi ruang tamu. Sengaja tak dibuat semeriah pada
umumnya, bahkan sahabat-sahabat semasa remajanya tiada yang
mengetahui.

Balon-balon berpita pelangi menghiasi atap-atap. Janur


kuning dipasang tepat di depan gerbang rumah. Sekilas semuanya
tampak seperti bukan acara pernikahan. Hiasan-hiasan itu lebih
mirip dengan kembangan pesta ulang tahun, hanya saja ada benner
besar berbunyi ‘’Mohon do’a restu’’ yang terpajang diatas pintu
dengan hiasan kelap-kelip lampu kecil untuk menambah kesan
yang terlihat.

Avisyah terlihat begitu cantik dengan gaun pengantin putih


layaknya cinderella dengan tatapan mata bening cokelatnya yang
279
khas. Disebelahnya, berdiri gagah Nara mengenakan jas pengantin
dilengkapi dengan dasi dan kopyah berwarna hitam pekat. Serasi
mereka penuh romantisme setelah ijab kabul.

***

Selepas acara persepsi pernikahan itu, Avisyah sering mual-


mual. Belakangan ini mintanya aneh-aneh, kalau tidak dituruti bisa
sampai mogok bicara. Nara terpaksa harus mengalihkan
kesibukannya pada gadis itu dengan segenap kasih sayang dan
penuh kelembutan. Sampai disimpulkan untuk di bawa ke bidan
terdekat. Ternyata, Avisyah dinyatakan positif hamil.

22 tahun umur Nara, masih relatif muda untuknya menikah,


tapi mau bagaimana lagi, kalau ia tidak menikahi gadis itu, masalah
akan semakin menjadi, juga untuk melupakan gadis bernama Feby
yang sampai saat ini tak kunjung pulang. Iapun mulai berpikir kalau
gadis itu tak akan kembali. Mungkin gadis itu sudah punya suami di
Bandung sana.

Sampai 7 bulan umur kandungan bayi dalam perut Avisyah,


Nara masih belum bisa melupakan gadis itu. Gadis yang pernah
memberikan 101 burung origami, terus terbayang tanpa henti.
Merajalela dan menguasai gerak dalam ingatannya setiap saat.

Pagi itu, Avisyah tengah asik nonton film di VCD kamarnya.


Nara yang kebetulan baru pulang dari kerja mencoba menyambung

280
hati dengan memeluk perut buncitnya mesra, ia merasakan geliat
bayi dalam perut besar itu. Kaki sang jabang bayi terasa menendang,
membuat Avisyah sedikit tersentak kaget. Mereka terkejut sekaligus
senang, gadis yang tengah hamil itu kemudian membimbing tangan
suaminya untuk menjajaki perutnya lebih ke tengah, sang jabang
bayi kembali menendang-nendang, sepertinya mereka akan punya
anak yang jago main sepak bola. Tapi dilain pihak, Nara ingin punya
anak yang pandai memasak alias cantik. Betapa bahagianya mereka
kala itu, cepatlah keluar ke dunia sang jabang bayi!!

***

281
13

Ketika Langit Gelap Berkelabu

Suara klakson lokomotif kereta api mengerang panjang


bagai singa. Kepulan asap abu-abu keluar lebat dari cerubung asap
bagian terdepan kereta.

‘’Tuutt... Tuuuutt... Jug gijak gijuk gijak gijuk...’’

Kereta api jurusan Bandung-Malang itu melaju cepat


menelusuri rel kereta. Di dalam gerbong kereta itu Feby
menyandarkan bahunya dan melihat pemandangan luar jendela,
hutan bukit sesawah mengampar hijau, begitu indah suasana pagi
hari ini. Telinga gadis itu asik mendengarkan MP3. Gurat-gurat di
keningnya, sedang galau mungkin.

Lagu...

Buncah hatinya dipenuhi rasa rindu, sebuah rasa yang


sebentar lagi akan ia ledakkan pada seseorang. Kenangan manis
tergurai lembut dari garis-garis awan yang terbias spektrum cahaya
terang surya. Awan-awan itu seakan bergerak mengikuti kemana
arah kereta api membawanya pergi. Melalui pemandangan sejuk itu,

282
ia menyampaikan salam rindu. ‘’Semoga dia mendengar jerit
hatiku,’’ katanya. Berharap ada seekor siput yang mau
menyampaikan maksud dan isi hatinya di relung terdalam.

Tiba di stasiun Malang Kota Lama, langit mendung bergerak


cepat menutupi angkasa, dalam sekejap awan-awan gelap itu
menggelegar galak. Feby menuruni tangga kereta dan membawa
barang bawaannya berat. Di punggungnya ia juga membawa tas
yang berisi banyak buku.

Seseorang kemudian datang menawarkan bantuan. Yang


benar saja? Tukang ojek?? Feby menghela napas. Berpikir sejenak.
‘’Apa boleh buat..., -_-?!!’’ pikirnya.

***

‘’Hallo, Asssalamu’alaikum... Mia, apa kabar? Bisa jemput


aku?’’ tanya Feby dalam komunikasi telepon, sambil tolah-toleh
mencari lokasi pemberhentian yang pas. Saat tiba di dekat bingkai
gerbang masjid Agung Baitur Rahman, ‘’Pak, pak! Turun disini saja,
saya ada janji sama temen.’’ Katanya.

Begitu tukang ojek itu berhenti, Feby pun langsung turun.


‘’Terima kasih ya pak,’’ ujarnya sambil menyodorkan uang lima
ribuan. Agak lama ia mendengar jawaban dari telepon seberang itu.
Begitu ia dapati Mia tak bisa menyusulnya, gadis itu beralih
menelepon Sindy.

283
‘’Assalamu’alaikum, Sindy... bisa jemput aku nggak?’’

‘’Subhanallah Feby?? Kapan pulang? Kok gak pernah ngasih


kabar sih?’’ suara Sindy terdengar sedikit keras. Kaget kalau sahabat
karibnya sudah kembali.

Feby menjauhkan hp nya agak menjauh dari telinga, bisa


jebol telinganya itu akibat mendengar suara Sindy yang agak di
keras-keraskan.

‘’Aku benar-benar serba sibuk, Sin... uda E-mailku rusak,


eror, loadingnya lama lagi!... Oh iya, kamu bisa jemput aku nggak?
Naik ojek males, mahal. Hehehehe...’’ Feby tertawa renyah, ibarat
kripik suaranya pasti terdengar gurih-gurih krispi.

Alasan mengapa ia minta jemput adalah karna ia tak punya


uang recehan, bukan berarti kantong atau dompetnya sedang
mengering. Setelah memberitahukan posisi, Sindy membalas.
‘’Yaudah, tunggu situ ya, aku mau mandi dulu, usahakan tetap diam
di tempat!,’’ perintahnya menyarankan.

Feby sengaja tak menghubungi Nara, ada banyak kejutan


yang ingin dia berikan lelaki itu. Kejutan rahasia penuh teka-teki.
Iapun kemudian bergegas mengambil wudlu’ di barisan kran yang
memang telah disediakan di sebelah selatan masjid menuju kamar
mandi. Sambil mengaca dan memasang lensa mata ia juga
membasahi rambut secukupnya. Hendak menghadap Allah,

284
bukankah hari ini harus terlihat cantik? Pupil matanya tampak biru
lensa.

Mesti terlihat keren, bukan? Akan dia buat Nara tak


berkedip.

***

Nara menempelkan telinganya ke perut Avisyah, mengajak


isi perut besar itu berbicara untuk merekatkan keharmonisan
dengan ibu yang sedang mengandung bayi itu. Ia membenamkan
mukanya pada perut itu dan menggelitik, meskipun pada
kenyataannya jabang bayi dalam perut itu bukanlah anak
kandungnya sendiri, ia berusaha menutupi kerisauannya itu. Sekali
lagi ia menggelitik. Gadis itu menggeliat geli.

‘’Ning... Nong... Assalamu’alaikum...,’’ bel penanda tamu


terdengar berdering singkat mengutur salam. Nara hendak
membukakan pintu, tapi gadis itu mencegahnya, biar dia sendiri
yang membukakan katanya. Nara menuruti.

Gadis yang tengah hamil 7 bulanan itu segera memutar


knop pintu, membuka dan menarik gaun pintunya segera. Sejurus
kemudian ia terperangah melihat siapa yang datang. Lebih
terperangah lagi melihat pupil mata biru tamunya itu. Tapi coba
tebak dulu siapa yang datang?

285
‘’Mbak Feby!!!’’ sebut Avisyah kegirangan. Tamu yang tak
lain adalah Feby itu jadi sedikit belingsatan menerima pelukan
sepupu Nara yang begitu erat. Perut besar Avisyah sempat
bergesekan dengan perut langsingnya.

‘’Perutmu? Sudah berapa bulan?’’ Tanya Feby saat


menyadarinya.

‘’7 bulan, mbak.’’ Jawabnya senang. Ah, senyumnya jadi


lebar sekali. Selebar kebahagiaan yang tersirat di dalam hatinya.

Tenggorokan Feby terasa seret, sulit menelan ludah. Begitu


cepat Avisyah mendahului jiwa keibu-ibuannya. Lama ia menatapi
perut adik sahabatnya itu. Semenit kemudian ia berbisik. ‘’Apa
rasanya sakit?’’ tanya dia, lirik kanan kiri pupil mata birunya takut
ada yang mendengar.

‘’Mbak gak usah khawatir, beratnya kayak bawa bantal


kok,’’ Avisyah berusaha untuk tidak menakut-nakuti. Masih dalam
nada berbisik. ‘’Memang siapa ayah dari anak dalam kandunganmu
ini? Dulu seingatku kamu masih kecil? Yang waktu aku sama Kak
Nara hendak ke rumah sakit itu. Kamu kan nongol dari balik pintu,’’
kata Feby teringat dengan masa lalunya.

‘’Ohh, iya ya. Aku baru ingat... Sayang!!! Coba lihat siapa
yang datang!!!’’ teriak Avisyah memanggil, suaranya sedikit lemah.
Sebab beban kehamilan mungkin.

286
***

Di cuaca langit yang kurang begitu bersahabat, hujan


gerimis mulai turun, seling-selingan gelegar awan hitam menabuh
langit dengan gelegar awan gelap pekat.

Kilat petir menyambar terang.

DEG???

Jantung Feby seakan berhenti berdetak. Terhenyak melihat


seseorang yang memenuhi panggilan ‘sayang’ itu adalah sahabatnya
sendiri.

‘’...?!!’’ Sahabatnya?? Panggilan tadi? Perut Avisyah? Apa


artinya semua ini??

Pemandangan ini sungguh memukul hati. Semuanya sudah


jelas sudah, seterang kilat petir yang menyambar-nyambar silau. Tak
ada yang perlu dijelaskan lagi setelah beberapa detik lamanya
Avisyah memeluk orang yang sangat dicintainya itu. Seketika
tubuhnya jadi kaku, barang bawaannya jatuh berserakan diatas
lantai di tangan yang sedikit gemetar.

Nara tercengang melihat sosok gadis cantik bermata biru itu,


berdiri kaku setegak alif dengan tatapan mata yang tak berkedip.
Nyata juga keinginan gadis itu membuat matanya tak berkedip,

287
Cuma dalam bingkai perasaan yang berbeda. Dalam hati yang
hancur lebur dan luluh lantak tiada tersisa ketenangan.

Merasa sakit hati, gadis bermata biru itu berlari di tengah


guyuran hujan yang semakin lebat. Hatinya benar-benar hancur,
terasa sesak di dada, berurai air matanya dan tumpah berjatuhan
bersama air yang menghujani. Lelaki bernama Nara itu begitu tega
menghianati janji manisnya.

Feby terus berlari dan menangis sesenggukan. Hatinya


digandang hujan tak terperikan, memang tak berdarah, tapi rasanya
begitu sakit, sesak di dadanya mencoba mengatur napas di sela-sela
hujan yang begitu gencar mendebum-debum wajahnya. Waktu
terasa berputar lambat, kadang berputar cepat dalam satu rotasi dan
konotasi yang relatif berbeda. Akibat di tinggal memadu kasih
dengan wanita lain, gadis itu terus berlari sekuat yang dia bisa,
badannya basah kuyup, sekuyup hatinya yang terasa begitu ngilu
berperih. Pening berat terasa sakit kepalanya melawan ingatan di
masa lalu, masa-masa sekolah, masa-masa penuh kenangan saat
cintanya masih sebatas realita remaja. Usia yang terlalu ranum
untuk saling mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Kini saat ia
mulai beranjak dewasa dan mengerti, cinta itu malah runtuh bagai
bangunan kuno yang tak lagi berguna. Allah menjadi saksi atas
semua kejadian yang membuat hatinya terluka.

Langit seakan menjerit dengan kilat petirnya....

288
Kurang lebih 6 tahun sukses menjaga hati, berpaling dari
setiap lelaki yang datang hendak meminangnya, bahkan ada dari
mereka yang berasal dari kaum-kaum petinggi negara sebab
kecantikannya yang benar-benar elok nan rupawan, dia rela
menolak setiap tawaran itu demi satu orang yang begitu ia cintai,
betapa sakit ketika orang itu dengan tega menghianati dirinya. Getir
sekali perasaan gadis itu.

Hanya janji busuk yang ia dapati...

Gadis itu berhenti tepat di tengah jembatan layang, badai


hujan seakan hendak merobohkan badannya yang sedikit
sempoyongan. Dengan langkah gontai ia melewati batas jembatan
yang tak terlalu tinggi itu.

Daun-daun kelapa melambai nyiur diterpa badai angin dan


hujan. Goyang-gaying batangnya seakan hendak roboh dan
tumbang. Gemuruh petir di langit seakan menjawab semua rentetan
kesedihan yang melanda. Rasa sakit yang bersemayam nyeri dalam
bungkusan hati yang menderai pecah.

Cleret halilintar dalam sekejap mengubah dunia menjadi


putih, membuat semuanya buta warna. Desa ini benar-benar
digandang hujan tak terperikan.

Nara berlari mendekat saat Feby hendak loncat bunuh diri.


Merasa putus asa setelah sekian lama menunggu saat-saat yang

289
tepat. Saat tiba saatnya itu terjadi, ia harus rela menerima pahitnya
putus cinta. Kejutan tak berhingga yang akan dia berikan berderai
gagal bersama deru angin yang membawanya pergi. ‘’Nara
brengsekk...!!’’ Feby kecewa.

Tangan gadis itu masih berpegangan pada batang besi


pembatas jembatan, posisi badannya sedikit membungkuk dan
pandangannya menengok ke bawah melihat arus sungai yang
mengalir begitu jeramnya.

Feby menelan ludah, sedikit takut, Nara kemudian berusaha


memegang tangannya dari belakang dengan hati-hati.

Petir terang menyambar. Gadis itu menoleh. ‘’PERGIII!!!’’


bentaknya mengusir. Badannya menggigil kedinginan, getar di
bibirnya? Ah, kasihan dia. Psikologinya sedikit terganggu, tak bisa
berpikir jernih, hati dan pikirannya benar-benar kacau. Terkekang
rasa cemburu yang berlebih.

Mengapa ku terus memikirkanmu

Mengapa aku menangis untukmu

Mengapa ku s’lalu tersakiti

Mengapa aku berharap padamu

290
Jelas-jelas kau tak memikirkan aku

Jelas-jelas kau tak menginginkan aku

Jelas-jelas kau tak pernah menganggapku ada

Mungkinkah ini sudah jalan takdirku

Oh mungkinkah ini memang yang terbaik untukku

Namun tak kuat saat ku bila terus-terus begini

Aku tak sanggup sungguh aku tak sanggup

Mengapa ku terus memimpikanmu

Mengapa aku menangis untukmu

Mengapa ku s’lalu tersakiti

Mengapa aku berharap padamu

Jelas-jelas kau tak memikirkan aku

Jelas-jelas kau tak memimpikan aku

Jelas-jelas kau tak pernah menganggapku ada

Souqy-Jelas Sakit Ost Cahaya Senja Merah

291
Hujan semakin buncah, gadis itu menengadahkan wajahnya
ke langit, perlahan ia mulai melepas pegangannya dari batang besi
pembatas. Tangannya kemudian membentang lebar.

‘’TUHAN...!!! Aku akan sangat bersyukur kalau semisalnya


ada petir yang mau menyambarku!!!’’ Teriaknya parau. Suaranya
seakan meninju dan menyodok langit.

Kilat terang halilintar kembali menyambar, jedar petir di


langit seakan menjawab semua permohonan darinya.

Feby benar-benar kaget. Memejamkan mata rapat. Ia


menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangan.

Nara berjongkok takut, petir itu terlihat amat dekat.


Dahsyat... Membuat Nara menundukkan pandangan dan
bergemetar. Matanya terpejam rapat sekali.

Feby kembali membuka mata, masih terasa guyuran hujan


yang mengeroyok tubuhnya ini. Nara juga demikian, ia kembali
berdiri, sepertinya gadis yang hendak mencoba bunuh diri itu masih
baik-baik saja.

‘’Istighfar, Feb!!! Masih ada banyak yang mencintaimu!!!’’


teriak Nara mengingatkan. ‘’Kau pernah bilang kalau kau itu bagai
anak panah di Tangan Allah!!! Kau siap melesat kearah yang telah di

292
tetapkan-Nya... Apakah ini yang di maksud ketetapan itu?? Apa
dengan bunuh diri itu kau menuju sang Arjuna??’’

Kata-kata itu membuat Feby sedikit sadar. Bagaimana bisa


dirinya terjerembab ke dalam jurang-jurang pemikiran buntu.
Kemana semua ilmu yang dia pelajari saat kuliah dan mendalami
ilmu agama di Bandung selama ini? Hangus oleh ego kah? Terhapus
hanya karna patah hati kah?

Nara mendekat dengan hati-hati, mencoba sesantai


mungkin agar tindakannya tidak gegabah. ‘’Di bawah sana, banyak
batunya, jatuh dari ketinggian seperti ini bisa membuat kepalamu
pecah dan terbelah menjadi dua, bayangkan!!! Beruntung kalau
langsung mati tanpa rasa sakit, bagaimana kalau masih sekarat dan
terpontang-panting di dalam? Coba berpikirlah.’’ Nasihatnya.

Sebentar kemudian Nara berdiri di sebelah gadis itu, dilihat


dari tarikan napasnya, sepertinya gadis itu mulai merasa takut,
terbukti dari pertanyaannya.

‘’Apa rasanya sakit?’’ terdengar lugu.

‘’Saking sakitnya, aku tak akan membiarkan perempuan


secantik kamu melakukannya! Begitu kau melompat, aku juga akan
ikut. Biar kita mati bersama.’’

293
Gadis itu menoleh, tatapan pria itu serius sekali, tak ada
kebohongan sedikitpun tergurat di wajahnya. Seketika niat Feby
runtuh. Urung... tak jadi bunuh diri.

Nara mengulurkan tangan, memberi simpati pada gadis itu,


ketika tangan itu hendak meraih tangannya, kilatan petir itu kembali
menyambar, dekat sekali, membuat kaki Feby terpeleset seketika.
Gadis itu akhirnya terjatuh tanpa ada unsur kesengajaan, berdebum
tubuhnya mendarat diatas air. Gadis itu tak bisa berenang.

‘’FEBY...!!!’’ teriak Nara segera melompat sebelum nyawa


gadis itu benar-benar pergi.

Nara berenang mengikuti arus, mencari gadis itu kelabakan,


setelah ia mendengar teriakan yang tersedak-sedak, ia segera
berenang sekuat tenaga menghampirinya.

Nara menyambar tubuh gadis itu, berjuang membawanya


berenang ketepian. Kalau saja dia tidak kuat, pastilah mereka sudah
kehabisan napas.

Jerih payahnya membuahkan hasil. Nara segera membopong


tubuh gadis itu dan membaringkannya diatas rumput jerami. Entah
milik siapa rumput-rumput basah itu.

Hujan perlahan mulai reda. Nara memompa perut gadis itu


untuk mengeluarkan air yang tereguk masuk ke dalam mulutnya,

294
tak lama kemudian gadis itu terbatuk, masih tetap tidak sadar,
‘’Sepertinya kehabisan napas’’ pikir Nara. Pria yang masih menggigil
kedinginan itu kemudian beralih ke samping. Ragu... memberi napas
buatan?? Yang benar saja??? Tapi tak ada pilihan lain.

Tanpa disadari Avisyah ikut menyusul, dari ketinggian


jembatan layang itu ia melihat bagaimana suaminya memberi napas
buatan pada gadis itu. Gadis yang pernah mencinatai suaminya
semasa remaja. Meskipun ia tahu kalau hal itu sangat darurat.
Hatinya tetap hancur, benar-benar tak berperi. Iapun menuruni
tangga yang terdapat di sudut jembatan untuk menuju mereka.

Tunggu dulu! Bukankah ini adalah tempat ia pernah


diperkosa? Tempat dimana ia pernha di buang ke sungai? Di tempat
ini pula ia terdampar dan ditolong seorang ria tua? Keadaan ini
terus menambah luka deritanya.

Avisyah menenteng payung, ia terus menuruni tangga itu


dengan cepat, namun saat kakinya menginjak daun licin, tubuhnya
terhuyung kebelakang terpeleset. Akhirnya ia terjatuh dan
terpelosok ke bawah.

Nara berteriak memanggil, kejadian ini begitu bertubi-tubi


menguji ketabahannya. Berlari cepat ia hendak menolong, tiba-tiba
kepalanya terasa pening, ada darah yang mengalir dari hidungnya,
entah penyakit apa yang di deritanya, hidungnya akan mudah
mimisan kalau tubuhnya terlalu lama menggigil kedinginan
295
Tak ia hiraukan, ia terus menyeret langkahnya menuju
Avisyah yang sedang mengerang sakit. Darah kental mengalir
melalui sela-sela kaki perempuan yang tengah hamil itu. Sepertinya
hal hebat akan segera terjadi.

***

Kedua gadis itu akhirnya dilarikan kerumah sakit, untuk


beberapa saat lamanya Nara tak sadarkan diri, ketika terbangun
napasnya begitu memburu.

Avisyah belum juga siuman, Nara bersegera menghampiri


gadis yang tengah kritis itu, tali infus masih melekat di tangannya.
Di sebelah istrinya itu, ada Feby yang napasnya naik turun dibantu
dengan alat pernapasan masker oksigen. Wajah dua-duanya terlihat
sama pucat. Efek terlalu lama kehujanan.

Di pihak lain, jauh di bawah alam sadar, Avisyah menapaki


alam dunia yang begitu indah. Serba hijau taman yang membentang
luas di hadapannya. Panorama bunga bergoyang rimbun ditera
angin. Ia terus berjalan mengamati suasana sekitar, pandangannya
menebar ke seluru arah. Awan-awan lebat merayap cepat di langit.
Dunia apa ini?

Tangkai pohon bergerak menawarkan buah apel, Avisyah


memetik dan mencicipinya, semakin ia mengunyah semakin terasa

296
nikmatnya, seakan rasanya semakin enak ditiap-tiap gigitannya
yang manis.

Gaun putihnya berkibar terterpa angin dan terlihat anggun


bagai angsa berbulu sutra, penampilannya seperti ratu yang
menguasai dunia yang tak dikenalnya ini. Semua bunga-bunga
tertunduk layu memberi salam hormat saat ia melintasinya. ‘’Is
magic.’’ Batinnya terpukau.

‘’Avisyaahhh!!’’ teriak seseorang memanggil. Avisyah


menoleh, terlihatlah wanita cantik yang tengah mengenakan gaun
hijau berbulu merak, di sekitarnya banyak burung-burung kenari.

Avisyah terkejut gembira, ‘’Ibu...!!!’’ teriaknya seakan tak


percaya. Ia segera berlari menghampiri dan meleburkan pelukannya
rindu.

‘’Kenapa ibu bisa ada di sini?’’ tanya dia.

‘’Seharusnya ibu yang tanya seperti itu, kenapa kau selalu


tergesa menyusul kami?’’ wanita berparas bidadari itu justru
berbalik tanya.

‘’Hah? Ibu bilang kami? Jadi ibu tidak sendirian?’’

‘’Maafkan kami, Avisyah putriku sayang.’’ Kata seseorang


yang muncul dari balik semak-semak.

297
‘’Ayah? Kalian berdua? Seruu!!!’’ ucap Avisyah kegirangan.

Mereka berbicara sejenak, Avisyah kemudian memasang


muka cemberut. ‘’Kenapa kalian tega meniggalkan Avisyah di dunia
ini sendiri?’’ katanya melas.

Amat sangat sengsara hidup Avisyah itu, ia menumpahkan


semua keluh kesahnya pada kedua sang kedua orang tua. Banyak
derita yang telah ia lalui, berjam-jam dirinya bercerita panjang
lebar tanpa jeda. Anip dan istrinya asik mendengarkan semua
ucapan putri semata wayangnya perhatian. Mencoba menjadi
pendengar setia.

Betapa bahagianya gadis itu, bersikap manja seperti anak


kecil, betapa betahnya ia tinggal disini. Tapi kenapa mereka justru
menyuruhnya pergi dari taman ini? Avisyah tidak mau....!!

‘’Janganlah begitu, sayang. Kau harus punya sopan santun...


kamu boleh kok tetap tinggal disini, tapi kamu harus pamit dulu,
jangan langsung pergi. Kasihan suami kamu,’’ kata sang ibu
menasehati.

Avisyah berpikir senejak, benar juga apa yang dikatakan


ibunya. Ia punya Nara yang mungkin saja sangat mencintainya, ia
belum memenuhi kewajibannya sebagai istri. Minimal harus pamit
meninggalkan bekas senyuman.

298
‘’Tapi Avisyah boleh tinggal selamanya disini kan, Bunda?’’

Kedua orang tuanya mengangguk setuju, membuat Avisyah


jadi tersenyum tipis. Ia kemudian berlari meninggalkan mereka
dengan berjanji akan segera kembali. Sangat bahagia.

***

Tangan gadis itu berkejut-kejut ringan. Sayup-sayup


matanya mulai terbuka, sipit-sipit ia meliahat Nara ketiduran di
sebelahnya. Gadis itu kemudian memegang tangannya lemah. Terasa
dingin.

Nara terbangun tiba-tiba, pandangannya seakan masih


ngantuk. Ia melihat istrinya itu menitikkan air mata. Sedihkah? Tapi
bibirnya tersenyum tipis.

‘’Boleh aku pulang?’’ Ucapnya lemah seakan tak bertenaga


lagi. ‘’Aku benar-benar ingin kembali ke taman itu,’’ desaknya sekali
lagi. Pelan sekali suaranya. Terdengar mendesis.

Nara tak mengerti, taman apa yang dimaksud gadis itu?

‘’Aku rindu Allah, aku juga rindu ayah dan ibu di surga!!’’

Untuk beberapa saat lamanya Nara terdiam, mencoba


menggait isi pemikiran yang di ucap gadis itu barusan. Sedetik
kemudian ia baru mengerti.

299
‘’Kenapa begitu cepat kau tinggalkanku?’’ Nara memegang
tangan gadis itu erat.

Perlahan senyum gadis itu kian memudar, mengambang di


pucuk kesadaran. Tak lagi terucap kata-kata lemah dari mulutnya.
Yang ada hanya ketidak berdayaan untuk meneguk napas sehirup
sekali.

***

Sudah semalam ini gadis itu di rawat di ruang ICU,


napasnya saja masih di bantu dengan ventilator serta beberapa kabel
yang tersambung pada sebuah layar monitor pendeteksi getar
jantung–menempel di sekitar dadanya. Kandungannya jelas
mengalami keguguran.

Garis hijau di layar menitor yang semula naik turun


bergelombang normal, mendadak lurus seketika.

Gawatt!!!

Dokter yang baru datang bersegera memacu detak


jantungnya dengan menggunakan alat defibrillator, berulang-ulang
dada Avisyah melonjak naik turun, sesekali dokter itu menggosok
paddle defibrillatornya agar fungsionalnya kembali. Ia sudah
berusaha, tapi tak ada reaksi apa-apa pada detak jantung Avisyah.
Sepertinya nyawa gadis itu sudah tak terselamatkan lagi.

300
Nara menggeleng cepat, seakan ingin menolak apa yang
terjadi, genggaman tangannya semakin erat dan tak mau melepas
gadis itu pergi. ‘’Jangan tinggalkan aku, Avisyah...!! kenapa kau
begitu tega meninggalkanku disaat aku sudah mulai terbiasa
bersamamu..!!’’ Nara menangis pilu, hatinya ditubruk seribu luka.
Air matanya menetes jatuh dan tak terperikan.

Malam, pukul 20.30 Avisyah telah pergi untuk selama-


lamanya. Sesaat kemudian semerbak wangi memenuhi ruangan.
Napas terakhirnya telah berembus. Gadis itu sempat melayang
pertanyaan ridho tidaknya sang suami pada dirinya, ia juga
memintanya untuk menikahi gadis yang saat ini masih terbaring
lemah di sebelahnya. Dia tahu betul suaminya itu masih mencintai
gadis itu. Gadis bermata biru lensa itu.

Nara mengiyakan semua permintaan terakhirnya dengan


berat hati, demikian itu ia lakukan agar menenangkan hati
seseorang yang sangat dicintainya.

Kesadaran gadis itu telah melambung tinggi, kakinya telah


menjajaki jalan menuju surga. Sebuah kata-kata yang layak untuk
mengantar kebergiannya. ‘’Avisyah, semoga tuhan mengumpulkan-
mu bersama para bidadari, menjadi ratu para dayang dan di
tempatkan di istana termegah yang pernah ada. Do’a kami untukmu.

Diujung tanduk menuju negri abadi sana, ia kembali dan


berlari menyusul ayah dan ibunya, kedua orang tuanya itu
301
kemudian memeluk dan memperlakukannya manja. Sebuah pelukan
yang tak sempat ia rasakan saat di dunia. Di alam yang indah nan
jauh disana, Avisyah tampak sangat bahagia. Senyumnya
mengalahkan semua bidadari.

***

Seminggu setelah itu, sesuai permintaannya, Nara menikahi


gadis itu, seorang gadis yang pernah menjadi sahabat karibnya
semasa remaja. Hari-hari pun mereka lalui sebagaimana mestinya.
Sama seperti suami istri pada umumnya, cekcokan kadang pula
terjadi, bahkan pula Nara yang terbiasa bersabar tak bisa
menghindari pertengkaran-pertengkaran kecil seputar konflik
dalam berumah tangga.

Beberapa bulan telah berlalu, Feby merasakan sesuatu yang


tidak beres di dalam perutnya. Berat badannya kian bertambah
seiring dengan perutnya yang membuncit seperti gundukan kecil di
bukit Himalaya. Ia berusaha menutupi rasa mual-mualnya dengan
berlagak sok sehat.

Nara memperhatikan hal itu–memperhatikannya penuh


kasih sayang– hingga-hingga di sepertiga malam, saat dengkurnya
bersenandung lirih, tanpa sadar jiwanya terjerembab ke dalam
sebuah hikayat mimpi. Tayangan-tayangan halusinasi di bawah
alam sadarnya terangkai. Sebuah mimpi yang kaya dan serat penuh
makna.
302
Seekor burung merpati terbang turun dan hinggap di
pundaknya. Sebuah mimpi yang seakan pernah terjadi di masa lalu.
Hanya saja yang membuatnya berbeda adalah seekor anak kucing
berbulu hitam putih yang bertengger di pundaknya begitu saja.

Nara sangat intens berteman dengan mereka. Mereka


adalah teman yang teramat berharga. Sejak kecil memang kedua
satwa inilah yang paling ia suka. Bentuk mereka unik, cantik dan
imut. Namanya saja mimpi, bunga tidur, bisa terjadi begitu saja
dan sedikit iapun melenceng dari kenyataan. Demikian logikanya.

Hingga kedua satwa itu terlihat saling bertengkar sebab


memperebutkan posisi, Nara terbangun dengan napas yang
menggebu. Bulir keringat sebiji sawi mengucur deras dari
keningnya. Ia tahu sesuatu sedang terjadi dengan perut istrinya.
Lekas-lekas ia berwudlu’. Membeber sajadah diatas karpet
pesholatan kamarnya.

Semalam suntuk ia berdzikir dan menghabiskan waktu


dengan berkeringat menyenandungkan do’a. Ia tahu betul akan arti
dari mimpi itu, sebuah mimpi yang bernah diramalkan oleh guru
spiritualnya–Gus Ahmad– sebentar lagi ia akan menjadi seorang
ayah.

Bukannya senang malah ngelembur berdo’a, ia tak ingin


anak cucu kandungnya meniru kenakalan semasa kecilnya. Jadi
yang dilakukannya saat ini semacam tirakat agar keturunannya

303
menjadi anak yang shalih shalihah. Ia tak ingin cintanya pada sang
istri melahirkan anak-anak yang nakal. Begitu kurang lebih.

Feby yang kebetulan baru bangun dari tidurnya langsung


datang menghampiri. ‘’Abi tak tidur?’’ tanya dia sembari mengambil
posisi duduk menyamping. Sejak menikah, ia tak memanggil dengan
sebutan ‘Kak’ lagi.

‘’Dititipi Allah untuk menjadi ‘Ayah’ dari bayi dalam


kandungan kamu, Feb. Jadi mana mungkin aku berani tidur malam.
Aku tak ingin memiliki buah hati yang nakal. Aku juga khawatir
terjadi apa-apa dengan kalian.’’

‘’Serahkan saja semuanya pada Allah, maka semua urusan


akan jadi lebih mudah. Lagian Abi tahu dari mana kalau aku hamil?
Kalaupun iya, maka aku akan menjaganya sekuat tenaga. Insya
Allah. Abi jangan terlalu khawatir.’’ Ujarnya meyakinkan. Kata-
katanya itu terdengar sejuk merasuk lembut ke dalam hati. Hati
Nara terenyuh....

Feby kemudian menyandarkan kepalanya di pundak sang


suami. Sejenak Nara memeluk pundaknya mesra. Seruntut detik
kemudian ia hendak menceritakan perihal mimpinya. Tak jadi, ada
yang hendak Feby katakan.

‘’Aku ingin selalu ingin menjadi bunda Maryam yang


melahirkan Isa, atau Maryam yang melahirkan Musa. Jika saja aku

304
dapat, bolehkah aku jadi Ratu Balqis dalam hatimu.’’ Feby pandai
merayu. So sweet kan?

Nara kemudian membalas, ‘’Boleh-boleh saja,’’

Hening sekejap.

‘’Kamu kan pandai bahasa Inggris,, apa artinya I Love You?’’


Nara pura-pura tidak tahu.

‘’Aku cinta kamu,’’ balas Feby terjebak.

‘’Sama kalau gitu.’’

‘’Jiihh,, kirain bener-bener nanya. -_-!!’’

Suasana yang semula mencekam, mendadak mencair berkat


Feby yang pandai mengatur nada bicaranya saat berbicara dengan
suaminya. Hubungan mereka benar-benar harmonis.

***

305
14

Cahaya Merah Pada Waktu Senja

6 Tahun Kemudian...

Debu ombak bertebaran, deru air laut menghempaskannya


pergi. Dibibir pantai itu Abil dan Nabilah berlarian dan bersuka ria,
canda dan tawa mereka terdengar riuh pelan bersama ombak air
laut. Bermain air mereka saling menyiprati, saudara kakak beradik
itu terlihat bahagia dan berlari kesana kemari.

Terlihat tinggi badan mereka hampir sama...

Abil menjahili adik kandungnya itu, mendorongnya dari


belakang. Nabilah terjatuh, ‘’Aduuuh... huh, dasar!!’’ kesah gadis
berusia 5 tahun itu. Iapun berlari hendak membalas, tapi si Abil itu
jauh lebih gesit dan berlari dengan cepat meninggalkannya jauh.

‘’Awas kalau nakal lagi... Aku aduin sama ayah,’’ ecam


Nabilah.

***

306
Feby terlihat begitu cantik dengan disematkan anggrek putih
disela atas daun telinganya. Mempesona! Dan terlihat benar-benar...
Perfeck Girl. Aduhai cantik sekali istri Nara itu.

‘’Aku adalah pelabuhan terakhir saat sajak tentang senja tak


kau temui,’’ ujar Feby puitis.

‘’Tapi... Avisyah adalah rembulan terindah saat sang senja


mulai tenggelam dan pergi dipenghujung February.’’ Balas Nara. Ia
masih belum bisa melupakan mantan istri yang telah lama
meninggal itu.

Feby membuang muka, wajahnya seperti tak suka


mendengar kalimat itu.

‘’Kau cemburu?’’ tanya Nara menganalisa. Hanya sebatas


ngetes reaksi gadis itu saja.

Rona wajah gadis itu merah padam. ‘’Ngapain juga


cemburu, gak pentiinkk,,’’ sewotnya lebay.

Nara lalu menyentil hidung gadis itu gemas.

Dari kejauhan sana...

‘’Ayahh,,!! Kak Abil nakaall,,!!’’ teriak Nabilah mengadu.


Berlari menghampiri lalu akhirnya memeluk. Bibirnya monyong
manja. Abil juga seperti itu pada ibunya. Sejenak saling tatap, Nara

307
lalu membelai lembut rambut panjang gadis kecil itu penuh
perhatian. Ia menatap dalam mata kecil gadis balita itu. Terlihat
seperti Feby waktu kecil.

-‘’Aku seperti melihat bayangan Feby kecil, Nabilah.’’

-/‘’Aku seperti melihat bayangan kak Nara waktu kecil,


Abil.’’ Mereka sama-sama bergumam seperti itu dalam hati. Tanpa
mereka sadari....

Nara dan Feby saling tatap. Tersenyum. Sama sekali mereka


tak menduga. Tak mengira kalau persahabatan mereka akan bersemi
menuju bunga cinta yang bermekaran indah sampai kepelaminan.
Banyak sudah rintangan yang telah mereka hadapi, sampai akhirnya
menikah, Abil dan Nabilah hadir menjalin hubungan harmonis yang
lebih erat. Sebagai buah hati....

Abil si imut tampan

Nabilah si imut cantik

Cocok...! Keduanya benar-benar mirip bapak ibunya.

Nabilah kemudian menoleh kearah sang ibu, tersenyum


melihat anggrek putih yang tersemat ditelinganya. ‘’Widihh,, ibuku
benar-benar cantik...’’ pujinya.

308
Feby tersenyum simpul, merasa tersanjung oleh komentar
bidadari kecilnya. Penuh pesona, Nara terhanyut akan senyuman itu.
Senyuman terindah.

‘’Nabilah lebay,,’’ celetuk Abil mencibir masam.

Gadis kecil itu sangat geram, dalam sekejap mereka kembali


berlarian saling mengejar. Kali ini Nabilah yang mendorong bahu
kakaknya dari belakang, tak sampai membuat Abil terjatuh. Disisi
lain, Nara dan Feby tersenyum simpul melihat tingkah laku kocak
kedua anak kecil itu. Maklum, masih anak-anak. Bermain dan
berlari adalah fantasy hobi mereka.

Nara merengkuh pundah Feby, gadis bermata biru lensa itu


menyandarkan kepalanya dibahu Nara.

‘’Inilah tabir mimpiku,, aku pernah bermimpi berteman baik


dengan seekor burung merpati,, Merpati itu adalah... Dirimu.’’
Ungkap Nara dengan mengecup mesra kening permaisurinya itu.
Terkesan seperti permaisuri saja. Romantisme antusias.

Mereka saling berpagutan mesra, saling memadu kasih.


Senja melirik cemburu, semburat cahayanya memar merah dan
mulai berarak ditepian sana. Meninggalkan rona pekat nan iri.
Sepertinya ia mulai ngantuk. Sepelan keong siput ia merangkak
hendak menenggelamkan diri. Air laut seakan tertutup bayangan
serba hitam. Sang surya merah jingga itupun hendak tidur

309
diperaduannya dibatas langit sana. Pemandangan ini? Sungguh
memukau, bukan?

***

-SELESAI-

310

Anda mungkin juga menyukai