Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA PADA MASA


KEMERDEKAAN DAN MASA ORDE LAMA”

MATA KULIAH SEJARAH HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu :

Dr. Malik Ibrahim, M. Ag

DISUSUN OLEH KELOMPOK 8-A:

Amaliyah Pateda (20103050117)

Gatot Ismail (20103050118)

HKI-C

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI`AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2020/2021

PAGE \* MERGEFORMAT 19
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah,
serta kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Sejarah Hukum Islam
ini dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang ada. Shalawat serta salam kami
haturkan kepada suri tauladan kita, Nabi besar Muhammad SAW. Seorang yang
diutus sebagai penyempurna agama yang patut kita teladani dan kita nantikan
syafa’atnya di hari kiamat nanti.

Makalah ini disusun sebagaimana mestinya dengan ketentuan yang telah


ditentukan. Tujuan penulisan resensi ini adalah sebagai tugas mata kuliah Sejarah
Hukum Islam program studi Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
sebagai penilaian untuk Ujian Tengah Semester (UTS). Dimana makalah ini
memberikan penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan literatur dalam studi
Sejarah Hukum Islam kepada pembaca.

Penyusun makalah ini menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan,
agar resensi ini menjadi lebih baik kedepannya.

Yogyakarta, 09 Maret 2021

Tim Penyusun

PAGE \* MERGEFORMAT 19
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………….1

KATA PENGANTAR………………………………………………………………..2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………...4

A. Latar Belakang……………………………………………………………….4
B. Tujuan Pembahasan………………………………………………………….5

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………….…………6

A. Sejarah Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan…………………………….6


B. Sejarah Hukum Islam Pada Masa Orde Lama……………………………….9
C. Kondisi Sosial, Politik dan Keagamaan Pada Masa kemerdekaan dan Orde
Lama…………………………………………………………...……………13
D. Dampak dan Pengaruh Hukum islam Pada Masa Kemerdekaan dan Orde
Lama…………………………………………………………………...……14
E. Karakteristik Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan dan Orde Lama…….15
F. Apakah Hukum Islam Masih Diterapkan Sampai Sekarang………………..15

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………18

A. Kesimpulan………………………………………………………………….18
B. Saran………….……………………………………………………………..18

DFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..…..20

PAGE \* MERGEFORMAT 19
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara religius, sikap religius tersebut telah dimiliki oleh
bangsa ini sejak dahulu. Sebagaimana adanya kepercayaan animisme, kemudian
masuknya ajaran Hindu dan Buddha yang disusul dengaan datangnya ajaran Islam.
Proses datangnya Islam di Indonesia menjadi bagian dalam babak sejarah dunia
Islam. Islamisasi tersebut melalui periode

Indonesia adalah Negara yang penduduknya mayoritas beragama islam. Dalam


tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai
komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial
kenegaraan. Karena itu, perlu adanya pemahaman alur perjalanan sejarah hukum
Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia ini. Di samping itu, kajian
tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu
pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa
depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.
Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang
sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta
tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya
dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu
menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang
dapat selesai seketika.

Tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah
hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa yang dipaparkan di sini dapat
memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam pada masa kemerdekaan dan
orde lama ini. Pada bagian akhir tulisan ini juga terdapat kesimpulan tentang apa
yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk apa yang di sebut

PAGE \* MERGEFORMAT 19
dengan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.

B. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui sejarah hukum islam pada masa kemerdekaan
2. Mengetahui sejarah hukum islam pada masa orde lama
3. Mengetahui hukum islam apakah masih diterapkan di zaman sekarang

BAB II

PAGE \* MERGEFORMAT 19
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Islam di Indonesia Pada masa Kemerdekaan

Meskipun kependudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para


pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya
langkah Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka
lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya.
Mereka mulai memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia.
Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk
memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan
dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945,
komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili
kelompok Islam.1 Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI
“bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun
Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif
mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia”. 2 Perdebatan panjang
tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut
dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama
ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini
menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara
Islam.

Kesadaran berhukum Islam untuk pertama kalinya pada zaman kemerdekaan ialah di
dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dalam dasar Ketuhanan diikuti dengan
1
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
2
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi konstitusi Indonesia dan Peranannya
dalam Pembinaaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta
Mei 2005.

PAGE \* MERGEFORMAT 19
pemyataan "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya". Tetapi dengan pertimbangan untuk Pengadilan Negeri yang
diwujudkan dalam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, akhimya rumusan
tersebut mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945, yang rumusan sila
pertamanya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut penjelasan Muhammad
Hatta, perubahan rumusan tersebut tidak mengubah jiwa semula.

Menurut Hazairin, sejak diproklamirkan-nya kemerdekaan Negara Republik


Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar falsafahnya, teori resepsi runtuh dengan
sendirinya, dan hukum agama yang diyakini para penganutnya memperoleh legalitas
secara konstiiusional yuridik, atas dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
dijabarkan dalam UUD 1945 pasal 29. Menurut Notonagoro. dengan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, tata hukum Indonesia mengenal hukum Tuhan, hukum kodrat dan
hukum susila.3

Dalam perjalanan sejarah kenegaraan kita, Piagam Jakarta muncul lagi dalam
konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang kembali kepada UUD 1945. Menurut
Notonagoro, atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, maka sejak berlakunya
Dekrit, sila Ketuhanan Yang Maha Esa mendapat tambahan "(ber)kesesuaian dengan
hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab". Juanda
berpendapat bahwa piagam Jakarta yang diakui sebagai dokumen historis harus
menjadi dasar juga bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.

Dalam berbagai macam peraturan perundangan-undangan Hukum Islam benar-benar


telah memperoleh tempat yang wajar secara konstitusional yuridik. Misalnya dalam
Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, perwakafan tanah
milik memperoleh perlindungan hukum dan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah dimaksud telah terbit pada tahun 1977, yaitu P.P. No. 28 tahun

3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Di Indonesia dari Masa ke Masa, journal.uii.ac.id

PAGE \* MERGEFORMAT 19
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.Didalam Undang-undang No. 1 tahun 1974,
hukum agama antara lain menentukan sahnya perkawinan.

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang


mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat
Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya
gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada
banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada
Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia
Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan
laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima,
satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu menyangkal hal
tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan
itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama
dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya telah
menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.

Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary
mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai
suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia suatu politik pengepungan
kepada cita-cita umat Islam.

Keragaman kegiatan Islam semakin mengalami perkembangan sejak dekade 1970-an


yang ditandai dengan munculnya bangunan-bangunan baru Islam; mesjidmesjid yang
dibangun dengan rancangan yang lebih megah, madrasah yang lebih layak, dan
pesantren modem yang mengintegrasikan pengetahuan agama dan umum. Pengajian-
pengajian agama yang semakin marak, jamaah mesjid semakin ramai. Selain itu,
intelektual muda Muslim muncul bersama dengan ide-ide aspiratif untuk masa depan
umat (Yatim, 2008: 272-274). Perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya
mengalami grafik menukik ke atas namun terkadang mengalami pergeseran ke

PAGE \* MERGEFORMAT 19
bawah. Hal ini terjadi karena adanya gesekan kepentingan pemerintah yang
kebijakannya terkadang memberikan tekanan pada ruang gerak muslim, khususnya
dalam hal yang terkait dengan politik. Hal lain yang mewarnai perkembangan Islam
di Indonesia adalah terbentuknya beberapa partai Islam yang kemudian mencoba
memasuki dunia politik dengan memperkuat benteng kekuatan masing-masing untuk
ikut serta dalam pertarungan perebutan kekuasaan di Indonesia.

B. Sejarah Hukum Islam Pada Masa Orde Lama

Mencermati perjalanan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran
umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat.
Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan
hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah
sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan
hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum Nasional, bukan semata subtansinya,
tetapi secara legal formal dan poisitif. Fenomena ini pertama kali muncul setidaknya
berbarengan dengan lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila pertama
berbunyi: “Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at agama
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Perjuangan bagi legislasi hukum Islam mulai
meredup setelah pada tanggal 18 Agustus 1945, team sukses dari golongan Islam
tidak mampu mempertahankan tujuh kata terakhir dari hiruk pikuk polarisasi dasar
Negara. Dengan hilangnya tujuh kata tersebut, menjadi sulit untuk melegal-positipkan
hukum Islam dalam bingkai konstitusi Negara.4

Semangat perjuangan mempertahankan keberadaan hukum Islam pada masa pasca


kemerdekaan terus diupayakan dengan memunculkan beberapa teori, paling tidak ada
tiga teori, yaitu: pertama, teori receptie exit yang dikemukakan oleh Hazairin. Teori
ini menyatakan bahwa teori receptie harus exit (keluar) dari teori hukum Indonesia,
karena bertentangan dengan UUD 1945 serta Al-Qur’an dan Hadits. Teori ini oleh

4
Harun, SUHUF, Vol. 21, No. 2, November 2009: 151-171

PAGE \* MERGEFORMAT 19
Hazairin disebut dengan teori iblis. Kedua, teori receptie a Contrario yang
dikemukakan opleh Sayuti Thalib, bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia
adalah hukum agamanya, hukum adat hanya berlaku, jika tidak bertentangan dengan
hukum agama. Ketiga, teori eksistensi, yang dikemukakan oleh Ihtjanto. Teori ini
sebenarnya hanya mepertegas teori receptive a contrario dalam hubungan dengan
hukum nasional. Menurut teori eksistensi ini, hukum Islam mempunyai spesifiksi:

a) telah ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum Nasional
b) telah ada dalam arti dengan kemandirian dan kekuatan kewibawaanya, ia
diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional
c) telah ada dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-
bahan hukum nasional
d) telah ada dalam arti bahan utama dan sumber hukum Nasional.5

Kendati demikian, sebenarnya dapat dikatakan bahwa pada masa Orde Lama posisi
hukum Islam tidaklah lebih baik dari masa penjajahan Belanda. Pandangan Soekarno
terhadap Islam sepertinya sangat sekularistik. Kendati pada awal terbentuk Negara
Indonesia, dalam sidang BPUPKI Soekarno dapat menerima dan setuju dengan
keberadaan Piagam Jakarta. Namun setelah Soe- karno berkuasa keberpihakannya
kepada Islam semakin berkurang.

Sebenarnya gagalnya piagam Jakarta menjadi bagian dari UUD Negara, hukum Islam
berada pada posisiyang tidak menguntungkan. Tidaklah berlebihan, jika diandaikan
Piagam Jakarta menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar, proses transformasi
hukum Islam menjadi hukum Nasional akan berlangsung sangat cepat dan akan
mencapai lebih dari apa yang dapat kita rasakan saat ini. Bagaimanapun Piagam
Jakarta bukanlah satu keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam
dan gagasan ini telah disadari tidak mungkin. Sebenarnya yang mereka inginkan
adalah bagaimana hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan telah mengalami
5
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta. Raja Grafindo,
2000. Hal. 83-84.

PAGE \* MERGEFORMAT 19
kristalisasi dalam masyarakat muslim diakui keberadaanya dalam makna yang
sebenarnya.

Kenyataan Piagam Jakarta hanya menjadi catatan sejarah saja. Dengan demikian,
keinginan untuk mentrasformasikan hukum Islam menjadi hukum nasional terlambat
sekitar 29 tahun (1945-1974). Era ini yang menjadikan hubungan antara Islam dan
Negara menjadi tidak harmonis. Setidaknya pada masa Soekarno hubungan yang
tidak harmonis ini mencapai puncaknya pada tahun 1955 yang dikenal dengan
perdebatan di Konstituante.6 Era ini Soekarno semakin menunjukkan sikapnya yang
tidak begitu simpatik terhadap Islam. Ada sementara orang yang meragukan
keislaman Soekarno semata-mata karena Soekarno adalah musuh agama. Meskipun
demikian, agaknya tidak adil jika tidak menyebut beberapa bentuk perkem- bangan
hukum Islam pada era ini. Setidaknya Departemen Agama yang berdiri pada tanggal
3 Januari 1946 merupakan tonggak sejarah awal dari perjalanan hukum Islam.
Dengan terbentuknya Departemen Agama, kewenangan Peradilan Agama telah
dialihkan dari Menteri Hukum kepada Menteri Agama.

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum
nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk
dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat
Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh
Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera
Barat). Sementara NU yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno
bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong
yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian
menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang
harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.7

Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di
6
Harun, Perkembangan Hukum Islam Dalam Konfigurasi Politik di Indonesia, Surakarta. Hal. 163
7
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam. Hal. 140-141

PAGE \* MERGEFORMAT 19
Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk
memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi lagi ketidakjelasan
batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di
era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak
pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik
mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun
hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh
Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini
menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal
1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi
kembali partai Masyumi.8 Lalu bagaimana dengan hukum Islam?

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak
begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap
terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri
agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang
Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR.
Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan
hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970.
Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang
mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada
Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin hukum
Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.9

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun
1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-
usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan
8
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 111-112
9
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, hal. 149-150 dan 153

PAGE \* MERGEFORMAT 19
upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai
presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya
kepada Menteri Agama.

C. Kondisi Sosial, Politik dan Keagamaan Pada Masa kemerdekaan dan


Orde Lama

Keragaman kegiatan Islam semakin mengalami perkembangan sejak tahun 1970-an


yang ditandai dengan munculnya bangunan-bangunan baru Islam seperti masjid-
masjid yang dibangun dengan rancangan yang lebih megah, madrasah yang lebih
layak, dan pesantren modern yang mengintegrasikan pengetahuan agama dan umum.
Pengajian-pengajian agama yang semakin marak, jamaah mesjid semakin ramai.
Selain itu, intelektual muda Muslim muncul bersama dengan ide-ide aspiratif untuk
masa depan umat.

Hal lain yang mewarnai perkembangan Islam di Indonesia adalah terbentuknya


beberapa partai Islam yang kemudian mencoba memasuki dunia politik dengan
memperkuat benteng masing-masing untuk ikut serta dalam pertarungan perebutan
kekuasaan di Indonesia. Sejak masa itu sampai sekarang, beberapa partai muslim
telah berjuang untuk menyadari bahwa meskipun Indonesia secara mayoritas dalam
adalah sebuah masyarakat muslim, namun partai muslim merupakan sebuah
mirioritas politik.

Perkembangan Islam pada masa orde lama, (masa berlakunya UUD 1945, Konstitusi
RIS 1949 dan UUDS 1950) berada pada tingkat pengaktualisasian ajaran agama
untuk dijadikan sebuah dasar dalam bernegara. Di samping perkembangan pemikiran
keislaman oleh cendikiawan Muslim di Lingkungan Islam seperti di IAIN, pesantren,
organisasi Islam, corak pemikiran di IAIN menjadi salah satu kiblat perkembangan
pemikiran Islam di Indonesia. Itu ditandai dengan maraknya kajian keagamaan yang
menggunakan pendekatan ilmu social. Pada bidang pendidikan Islam, pesantren
merupakan institusi pendidikan keagamaan yang pertama di Indonesia. Pada awalnya

PAGE \* MERGEFORMAT 19
pesantren lebih merupakan lembaga keagamaan daripada lembaga pendidikan agama.
Seiring dengan perkembangan zaman pesantren menjadi lembaga pendidikan agama
yang mengajarkan materi keagamaan dan mulai mengadopsi sistem modern sehingga
pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu keagamaan, tetapi juga pelajaran umum
dengan menggunakan teknologi maju. Pada masa ini pula, perkembangan yang perlu
dicatat adalah munculnya ide reformasi fiqh yang diusulkan oleh ulama Indonesia,
misalnya Hasbi al-Shiddieqy dan Hazairin, Hasbi al-Shiddieqy mengajukan konsep
“Fiqh Indonesia” dan berusaha menekankan pentingnya merevisi fiqh tradisional
yang tidak mempertimbangkan karakteristik komunitas Islam di Indonesia.
Sedangkan Hazairin mengajukan konsep “Fiqh Mazhab Nasional” dengan rujuan agar
lebih relevan dengan adat dan budaya di Indonesia.

D. Dampak dan Pengaruh Hukum islam Pada Masa Kemerdekaan dan


Orde Lama

Pada masa orde lama, dalam kenyataannya hukum Islam tidak mengalami
perkembangan yang berarti dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan
dapat dikatakan pada masa itu hukum Islam berada pada masa yang amat suram.
Dikarenakan tindakan yang dilakukan pemerintah orde lama untuk mendegradasikan
lahirnya ideologi “Nasakom”, tindakan tersebut sangat tidak masuk akal karena Islam
sebagai agama tauhid tidak mungkin bisa disatukan dengan komunis sehingga
tindakan tersebut mendapat reaksi yang keras dari pemimpin-pemimpin Islam

Pada masa kemerdekaan, Prof. DR. Hazairin memunculkan teori Receptie Exit dan
Sayuti Thalib dengan teori Receptie a contrario yaitu teori yang mengatakan bahwa
hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sebagai
kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Receptie a contrario, Ichtiyanto
melahirkan teori eksistensi. Teori ini menerangkan hukum Islam berada dalam hukum
nasional sebagai bagian yang integral. Di masa kemerdekaan ini hukum Islam
mengalami dua periode, yaitu periode persuasive-source dan authoritative-source.

PAGE \* MERGEFORMAT 19
Periode persuasive adalah periode penerimaan hukum Islam sebagai persuasive.
Periode kedua, authoritative-source.

E. Karakteristik Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan dan Orde Lama

Karakteristik Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan dan Orde Lama yaitu masih
samar-samar dalam artian belum ada kepastian dalam posisinya di mata hukum
nasional, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950.
Pada periode tersebut juga posisi hukum Islam juga dapat dikatakan tidaklah lebih
baik dari masa penjajahan Belanda. Hukum Islam tidak mengalami perkembangan
yang berarti Bahkan mengalami masa amat suram. Dan juga dengan proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia dan keberlakuan UUD 1945 pada tanggal 17 dan 18
Agustus 1945, kedudukan Hukum Islam secara umum tidak diubah dan masih
berfungsi sebagai sistem hukum khusus orang Islam di bidang tertentu. Hal ini
dikarenakan bahwa pada era tersebut eranya kaum nasionalis dan komunis, sehingga
hukum islam tidak memiliki otoritas yang kuat.

F. Apakah Hukum Islam masih diterapkan sampai sekarang?

Bila mempelajari sejarah hukum Hindia Belanda mengenai kedudukan hukum Islam,
maka terbagi dalam dua periode yaitu:

1.) Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya (receptio in complexu). Hukum


Islam diperlakukan secara penuh terhadap orang Islam karena mereka telah memeluk
agama Islam. Sejak berdirinya VOC, Belanda tetap mengakui apa yang telah berlaku
sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti hukum kekeluargaan
Islam, hukum perkawinan, dan hukum waris.

2.) Periode penerimaan hulcum Islam oleh hukum adat (theorie receptie). Hukum
Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat, berdasarkan
pendapat Snouck Hurgronje yang dituangkan dalam Undang-undang Dasar Hindia
Belanda. Pendapat ini ditentang keras oleh Hazairin dan menganggap teori tersebut

PAGE \* MERGEFORMAT 19
adalah teori Iblis karena mengajak orang Islam untuk tidak mematuhi dan
melaksanakan perintah Allah dan sunnah Rasulnya.

Menurut Hazairin norma dasar yang tercantum dalam pasal 29 ayat (1) tersebut
tafsirannya adaIah sebagai berikut:10

1. Dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh berlaku atau diberlakukan


hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan norma
kesusilaan bangsa Indonesia.
2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam makna menyediakan
fasilitas yang berasal dari agama yang dipeluk bangsa Indonesia, dapat
terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat
kekuasaan atau penyelenggara negara. Misalnya syariat dari agama Islam,
tidak hanya memuat hukum- hukum sholat, zakat, puasa, tetapi juga
mengandung hukum dunia baik perdata maupun publik yang memerlukan
kekuasaan negara untuk menjalankannya secara sempurna. Maksudnya adalah
pada hukum harta kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji,
peIanggaran-pelanggaran hukum perkawinan dan kewarisan, pelanggaran-
pelanggaran pidana Islam seperti zina, yang memerlukan kekuasaan
kehakiman atau peradilan khusus (peradilan agama) untuk menjalankannya,
yang hanya dapat diadakan oleh negara dalam rangka pelaksanaan
kewajibannya menjalankan syariat yang berasal dari agama Islam untuk
kepentingan ummat Islam yang menjadi warga negara Republik Indonesia.
3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk
melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama
yang bersangkutan menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri
menjalankannya menurut agamanya masing-masmg. Misalnya hukum-hukum
yang berkenaan dengan ibadah.11

10
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta : Tintamas, 1973), hlm. 18
11
Nunung Wirdyaningsih, Hukum Islam Dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Oktober-Desember 2001

PAGE \* MERGEFORMAT 19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum Islam sebagai hukum yang hidup tetap akan ada sebagai kelengkapan dari
hukum nasional. Penerapan dan penegakan hukum Islam di Indonesia dapat
dituangkan ke dalam hukum nasional baik melalui hukum positif Islam maupun
melalui nilai-nilai hukum Islam yang berlaku bagi seluruh warga negara. Keduanya
dipengaruhi oleh political will yang akan membentuk politik hukum perundang-

PAGE \* MERGEFORMAT 19
undangan.

Untuk menuangkan hukum Islam yang terdapat di al-Quran dan Hadits menjadi suatu
bentuk perundang-undangan diperlukan rechtskunst (seni menyusun undang-undang).
Membuat undang-undang adalah perbuatan politik karena itu tidak dapat dilepaskan
dari persoalan politik. Yang menjadi pertanyaan adalah politik yang bagaimana yang
dapat meyakinkan masyarakat, khususnya Badan Pembuat Undang-undang bahwa
norma-norma dalam al-Quran itu apabila dituangkan dalam bentuk undang-undang
atau benruk peraturan perundang-undangan lainnya, dapat memenuhi keadilan setiap
orang.

B. Saran

Apabila kita tinjau masalah pembudayaan hukum Islam dalam kaitannya dengan
pembenrukan hukum di masa akan datang serra ragam politik hukum yang akan
mendasarinya berkaitan dengan "struktur" suatu sistem hukum, maka memahami
teori tentang pertingkatan hukum (stufenbau des rechts hierarchie) menjadi relevan.
Teori peningkatan hukum beranggapan bahwa berlakunya suatu hukum harus dapat
dikembalikan kepada hukum yang lebih tinggi kedudukannya. Hal tersebut dapat kita
uraikan sebagai berikut :

1. Ada cita-cita hukum yang merupakan norma yang abstrak.


2. Ada norma antara yang dipakai sebagai perantara untuk mencapai cita-cita
hukum.
3. Ada norma kongkret yang dinikmati orang sebagai hasil penerapan norma
antara atau penegakkannya di Pengadilan.

PAGE \* MERGEFORMAT 19
DAFTAR PUSTAKA

Halim, Abdul. Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, Raja
Grafindo, Jakarta 2000.

Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Islam Di Indonesia dari Masa ke Masa,


journal.uii.ac.id

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

PAGE \* MERGEFORMAT 19
Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.

Hutabarat, Ramly, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi konstitusi Indonesia


dan Peranannya dalam Pembinaaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, Jakarta Mei 2005.

Harun, Perkembangan Hukum Islam Dalam Konfigurasi Politik di Indonesia,


Surakarta

Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta : Tintamas, 1973

Wirdyaningsih, Nunung. Hukum Islam Dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Oktober-


Desember 2001

PAGE \* MERGEFORMAT 19

Anda mungkin juga menyukai