2. Apakah sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN merupakan objek dari
sengketa tata usaha negara?
Indroharto dalam bukunya “Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara
(Edisi Revisi)” menjelaskan yang dapat digugat ke peradilan TUN hanyalah keputusan
TUN, yakni suatu penetapan tertulis (beschikking) yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang/badan hukum perdata. Dalam hal ini, yang dimaksud
dengan badan/pejabat TUN yaitu badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika dikaitkan
dengan persoalan pertanahan, pada dasarnya sertifikat tanah atau dokumen bukti hak atas
tanah yang dalam hal ini diterbitkan oleh badan atau pejabat dapat dikategorikan sebagai
keputusan TUN.
Sertifikat hak milik atas tanah merupakan bentuk dari Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) dimana keterangan tersebut terdapat pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang selanjutnya disebut undang-undang
PTUN. Jadi, yang berhak mengeluarkan Sertifikat Hak atas Tanah adalah Badan
Pertanahan Nasional (BPN), BPN merupakan Jabatan Tata Usaha Negara, sehingga jika
ada sengketa terhadap Sertifikat Hak atas Tanah yang berhak memeriksa dan mengadili
adalah PTUN (kompetensi/ kewenangan absolute). Sehingga sertifikat tanah yang
dikeluarkan oleh BPN dapat menjadi objek sengketa TUN.
4. Apakah sebuah putusan yang dibuat oleh hakim PTUN merupakan putusan yang
adil?
Hakim dalam memutus suatu perkara harus didasarkan dengan rasa keadilan serta hati
nuraninya. Untuk dapat memberikan putusan yang benar-benar menciptakan kepastian
hukum dan mencerminkan keadilan, hakim sebagai aparatur negara yang melaksanakan
peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, serta peraturan
hukum yang mengaturnya yang akan diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis. Dalam setiap
putusannya selalu diawali dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” yang harus selalu dipegang teguh oleh seorang hakim. Maka dari itu
setiap putusan yang dihasilkan oleh hakim dianggap telah adil dan tepat, karena di
dalamnya telah berisikan pertimbangan-pertimbangan hukum untuk pada akhirnya
memutus demikian. Sesuai dengan yang tecantum dalam Pasal 122 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang mengatur bahwa
“Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan
banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.” Apabila kemudian terhadap Putusan Tata Usaha Negara di tingkat pertama
yang telah dijatuhkan oleh hakim masih dirasa kurang tepat dan tidak memenuhi rasa
keadilan, maka para pihak yang berkepentingan dapat mengajukan upaya hukum Banding
ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.