Anda di halaman 1dari 4

--Materi HS 25 Desember 2021--

Varian Omicron, Krisis Kepemimpinan Sekuler dan Pentingnya Kehadiran


Kepemimpinan Islam

Kekhawatiran dunia, khususnya para ilmuwan dan ahli kesehatan tentang terjadi gelombang baru yang
lebih mengerikan, makin beralasan dengan kemunculan varian baru Omicron yang mulai tersebar ke
seluruh penjuru dunia dan terindikasi jauh lebih menular dan berbahaya daripada varian Delta.

Pada sisi lain, sejumlah gelombang sebelumnya dan yang saat ini berlangsung juga terpicu oleh
kemunculan varian baru, khususnya Delta. Seakan tidak bisa terhenti hingga menjelang tahun ketiga
pandemi, gelombang Covid-19 yang susul-menyusul terus menghempas ke berbagai penjuru dunia.
Dipastikan akan melanda Indonesia untuk kali ketiga dan itu hanyalah soal waktu.Terlepas apakah
gelombang Covid-19 oleh varian Omicron benar-benar terjadi atau tidak, selagi tidak ada tindakan
eradikasi, tetap ada potensi gelombang baru oleh varian baru berbahaya.

Bukan Persoalan Kesehatan Semata

Selain gelombang pertama dan kedua, kemunculan varian baru berbahaya adalah faktor pemicu utama
terjadinya gelombang Covid-19 yang datang susul-menyusul. SARS-CoV-2 adalah virus RNA rantai
tunggal yang rentan terhadap akumulasi mutasi. Kendati demikian, ketersediaan waktu adalah faktor
penting bagi keberlangsungan mutasi, sebab semua virus akan bermutasi seiring berjalan waktu.
Demikian juga mobilitas manusia, ia faktor krusial yang mempercepat mutasi patogen, baik sebagai
(inang) maupun karena sifat siklus penularan SARS-CoV-2 yang langsung antarmanusia. Artinya,
ketersediaan waktu dan mobilitas manusia adalah dua faktor penting penyebab kemunculan berbagai
varian khususnya Delta dan Omicron. Ada pernyataan, “ … makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
membendung penularan virus, makin banyak waktu yang dimiliki varian ini muncul dan menyebar.”
Artinya, kemunculan varian baru bukan lagi fenomena alami virus. Hal yang sama juga tampak dari
keberadaan gelombang Covid-19 yang menghempas ke berbagai penjuru. Hal ini bukan persoalan
teknis kesehatan yang butuh penyelesaian saintifik semata, tetapi terkait erat dengan aspek
nonkesehatan dan cara pandang tentang kehidupan, yakni cacat bawaan kepemimpinan politik sekuler.
Bahkan, aspek ini melebihi persoalan teknis medis dan kesehatan. Tercermin dari pernyataan direktur
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam KTT G20 di Roma akhir Oktober lalu. WHO menegaskan,
“Vaksin akan membantu mengakhiri pandemi, tetapi vaksin utama melawan pandemi dan semua
ancaman kesehatan adalah kepemimpinan. ….” Pada sisi lain, dunia kesehatan bersuara dan berkata, ”
… pembasmian Covid-19 secara global di mana saja sangat diinginkan. Namun, ini menantang karena
membutuhkan kepemimpinan dan koordinasi yang mendunia.”

Bahaya Kepemimpinan Politik Sekuler

Tanda kepemimpinan politik sekuler adalah jiwa visinya adalah akidah sekuler dan misinya bersifat
materialistis. Visi dan misi rendah ini diejawantahkan dengan keberadaannya sebagai pelaksana sistem
kehidupan sekuler, termasuk konsep penanganan pandemi. Negara hadir sebagai regulator pelayan
oligarki yang mengeruk keuntungan di atas penderitaan rakyat. Kasus bisnis PCR yang melibatkan elite
penguasa Indonesia hanyalah puncak fenomena gunung es. Hal tersebut karena pada kepemimpinan
politik sekuler, nilai materi adalah satu-satunya nilai yang diakui dan harus diwujudkan. Sudut pandang
ini berpengaruh kuat pada berbagai konsep penyelesaian masalah, termasuk konsep penanganan
pandemi. Tidak saja steril dari wahyu, tetapi juga berdiri di atas bukti-bukti saintifik yang lemah karena
kuatnya pengakuan terhadap nilai materi. Walhasil, kepentingan bisnis dan ekonomi berada di atas
urusan kesehatan dan keselamatan jiwa umat manusia. Bahkan, pandemi pun terpelihara dan menjadi
objek bisnis. Wabah yang seharusnya bisa segera teratasi, berubah menjadi pandemi yang
berkepanjangan pemicu kemunculan varian baru berbahaya berikut gelombang pandemi Covid-19 yang
tidak berkesudahan. Ratusan juta nyawa pun melayang. Artinya, pandemi berkepanjangan dengan
gelombang Covid-19 yang berulang dan tidak berkesudahan oleh kemunculan varian baru berbahaya
adalah di antara fakta penegas tentang krisis kepemimpinan politik sekuler global, termasuk di
Indonesia. Bahayanya begitu nyata bagi kesehatan dan kehidupan umat manusia karena gelombang
pandemi Covid-19 identik dengan gelombang kesakitan dan kematian mengerikan. Seharusnya, negara
dan penguasa berada di garda terdepan dalam pencegahannya. Akan tetapi, di tangan kepemimpinan
politik sekuler, yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan, dalam spektrum yang lebih luas, yakni sebagai
pihak yang paling bertanggung jawab atas krisis multidimensi hari ini.

Gelombang Pandemi dan Varian Baru, Konsekuensi Logis

Gelombang pandemi yang dipicu oleh kemunculan varian baru berbahaya hanyalah salah satu bukti
berbahayanya kepemimpinan politik sekuler bagi kehidupan manusia. Sedikitnya ada tiga gelombang
pandemi mematikan menghempas ke berbagai penjuru dunia yang dipastikan juga akan melanda
Indonesia. Bahkan, saat ini, amukan gelombang keempat tengah melanda negara-negara Eropa, seperti
Jerman. Negara-negara yang telah melewati gelombang keempat, seperti Hongaria dan Amerika
Serikat juga harus berhadapan dengan gelombang kelima dan seterusnya di tengah potensi kemunculan
varian baru yang jauh lebih berbahaya dari induknya.

Belum ada definisi yang tajam tentang apa itu gelombang Covid-19, sehingga sesuai kaidah definisi
yang baik, haruslah mengembalikan pada fakta gelombang Covid-19. Namun, sebagai menggambarkan
bagaimana gelombang Covid-19 terjadi secara susul-menyusul tanpa peduli batas-batas nasional adalah
dengan perumpamaan bahwa dunia yang sedang terlanda pandemi hari ini bagaikan satu samudra luas.
Gelombang Covid-19 sebagaimana gelombang di lautan yang akan susul-menyusul menghempas ke
seluruh penjuru dunia tanpa mengenal sekat-sekat kekuasaan berupa otonomi daerah dan nasionalisme.
Selain itu, sebagaimana halnya gelombang laut, saat gelombang pandemi mereda yang ditandai
penurunan kasus harian, secara diam-diam terjadi penyebaran yang bisa lebih deras dan akan muncul
pada gelombang berikutnya dengan penanda lonjakan kasus positif baru. Hal ini sebagaimana tampak
dari bermulanya gelombang pertama. Dalam tempo yang relatif singkat, SARS CoV-2 tersebar di
antara manusia; dari pusat pertama wabah di Kota Wuhan, Cina, ke seluruh penjuru dunia. Hal ini
penyelamatan bersifat nasionalisme sebagai ciri kuat kepemimpinan sekuler. Hingga kemudian terjadi
peningkatan kasus baru harian secara terus menerus. Adapun gelombang kedua, pada kebanyakan
negara terjadi karena terpicu oleh penghentian tindakan nonfarmasi pembatasan sosial (lockdown) yang
menyeluruh akibat ketakserasiannya dengan sistem kehidupan sekuler. Ini ditandai dengan gangguan
hebat di seluruh penjuru dunia. Perekonomian remuk dan anak-anak tidak bisa menjalani pendidikan di
sekolah.

Sementara, gelombang ketiga pada kebanyakan negara terutama terpicu oleh kemunculan varian baru
Delta yang difasilitasi oleh penanganan pandemi sekularisme, di samping peningkatan pergerakan
mobilitas sosial dan ketakkonsistenan pelaksanaan langkah-langkah kesehatan masyarakat. Hal ini
sebagaimana penegasan Direktur Jenderal WHO, Tedros, ia menyatakan, “Varian Delta sekarang ada
di 111 negara dan kami duga ia segera menjadi strain dominan yang beredar di seluruh dunia”.
Adapun gelombang keempat, sebagaimana gelombang ketiga, keberadaan varian baru Delta masih
menjadi pemicu utama di samping faktor peningkatan pergerakan sosial dan ketakkonsistenan
pelaksanaan tindakan kesehatan masyarakat. Gelombang-gelombang berikutnya bisa jadi akan terpicu
oleh munculnya varian baru yang lebih ganas.

Eradikasi Harus Menjadi Tujuan Bersama dan Kebutuhan pada Kepemimpinan Global Baru

Banyak negara telah berupaya menerapkan serupa eradikasi (pemberantasan atau pembasmian) di
tingkat nasional berupa strategi zero (nol) Covid-19, seperti Singapura, Korea Utara, Australia, Cina,
dan Selandia Baru. Namun, karena bersifat individual (masing-masing negara) akhirnya strategi ini
gagal total. Strategi atau kebijakan nol Covid-19 adalah kebijakan yang berupaya menghilangkan
penularan virus di masyarakat. Lebih jauh, eradikasi SARS-CoV-2 dengan segera haruslah menjadi
tujuan bersama dunia dalam penanganan pandemi Covid-19. Ini mendasarkan pada fakta penyebab
mutasi dan gelombang Covid-19. Sebab tanpa eradikasi, sekecil apa pun jumlah kasus baru dan waktu
yang tersedia, merupakan potensi bagi kemunculan varian baru berbahaya pemicu gelombang pandemi
mematikan. Tidak saja sebagai tuntutan kemanusiaan dan kesehatan, keharusan eradikasi sebagai
tujuan bersama internasional juga datang dari keniscayaan. terwujudnya tujuan eradikasi dalam realitas.
Ini terbukti dari pengalaman global menjelang terjadi gelombang kedua, yakni ketika sebagian besar
dunia bersatu dalam penguncian di tengah wabah pertama Covid-19. Kegagalan terjadi lebih karena
kerapuhan sistem kepemimpinan sekularisme terhadap tindakan nonfarmasi penguncian dan kegagalan
kepemimpinan di level global, regional, bahkan nasional. Artinya, persoalan bukan pada konsep
eradikasi, tetapi pada kebutuhan akan kehadiran kepemimpinan politik baru di hadapan varian baru
yang berkembang pesat dan gelombang pandemi yang begitu kuat.

Kepemimpinan Politik Islam Satu-Satunya Jawaban

Kepemimpinan politik Islam adalah Khilafah Islam itu sendiri, yakni kepemimpinan umum bagi
seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah ke seluruh
penjuru dunia. Karakter istimewa kepemimpinan politik Islam ada pada jiwa visinya, yakni akidah
Islam, serta misinya sebagai pewujud kesejahteraan bagi seluruh alam. Visi dan misi istimewa ini
terwujud melalui keberadaannya sebagai pelaksana syariat Islam kafah. Dengan demikian, nilai
ruhiyah, insaniah, moral, dan materi akan terwujud serasi di kehidupan masyarakat. Negara hadir
sebagai raa’in/pelayan rakyat dan junnah/perisai pelindung mereka dari berbagai aspek berbahaya.
Sudut pandang ini menjadi jiwa berbagai konsep penyelesaian krisis multidimensi yang melanda dunia
hari ini, termasuk konsep penanganan pandemi. Tidak saja berlimpah cahaya wahyu, tetapi juga
terkelilingi aspek teknis yang berdiri di atas bukti-bukti saintifik yang kuat. Walhasil, penerapannya
hanya akan berbuah kebaikan dan kesejahteraan bagi umat manusia, bahkan seluruh alam. Di antara
yang terpenting dari konsep penanganan pandemi Islam adalah tujuan, yakni eradikasi pandemi. Sebab
pandemi Covid-19 faktanya identik dengan bahaya bagi kehidupan umat manusia, sedangkan Islam
mengharamkan sesuatu yang berbahaya, sebagaimana Rasulullah saw. tegaskan,

‫;َال َضَرَر َو َال ِضَر اَر ِفي اِإل ْس َالِم » أخرجه الطبراني‬

“Tidak boleh memudaratkan diri sendiri dan orang lain di dalam Islam.” (HR Ath-Thabrani).

Karakter sahih kepemimpinan politik Islam tidak saja berkapasitas sebagai pemimpin penanggulangan
pandemi di dalam negeri, tetapi juga menjadi pemimpin tindakan sinkron dan model bagi dunia
internasional. Hal ini meniscayakan untuk mampu mewujudkan komitmen internasional bagi
terealisasinya tujuan bersama eradikasi. Dengan sendirinya, ini akan menyudahi kemunculan varian
baru berbahaya berikut gelombang pandemi yang ditimbulkannya. Tidak hanya pembebas dari bahaya
varian baru, gelombang, dan pandemi Covid-19, kehadiran kepemimpinan politik Islam dengan
karakter istimewanya akan menjadi pembebas negeri ini dan dunia dari kepemimpinan politik sekuler
yang menyengsarakan. Inilah kepemimpinan politik yang harus diperjuangkan umat Islam, yakni
Khilafah.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan din
yang benar agar dimenangkan-Nya atas semua din. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS Al-Fath :
28). Wallahualam.

Anda mungkin juga menyukai