Anda di halaman 1dari 4

Akankah Imunitas Super Dapat Mengakhiri Pandemi ?

Oleh : Ari Baskoro


Divisi Alergi-Imunologi Klinik

Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam


FK Unair-RSUD Dr.Soetomo-Surabaya

Covid-19 bukanlah penyakit satu-satunya yang menimbulkan pandemi. Flu Spanyol


mungkin yang paling fenomenal. Bersamaan dengan terjadinya perang dunia pertama, pada
tahun 1918, penyakit itu telah menginfeksi 500 juta penduduk dunia. Penyebabnya adalah
virus influenza A H1N1. Diperkirakan nyawa 50 juta penduduk tidak terselamatkan. Pandemi
berakhir “dengan sendirinya”, setelah berlangsung hampir dua tahun.
Jauh sebelum waktu tersebut, dunia juga pernah dilanda wabah cacar. Penyebabnya
adalah virus variola mayor. Sulit memastikan, kapan wabah ini dimulai. Edward Jenner pada
tahun 1796 melakukan eksperimen. Sang Pionir itu menjadikan vaksin sebagai modalitas
penting pencegahan penyakit menular. Organisasi kesehatan dunia (WHO), memulai program
vaksinasi cacar secara global tahun 1967. Akhirnya pada tahun 1980 , dunia dinyatakan bebas
dari penyakit yang mematikan itu.
Saat ini dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19 dengan berbagai macam
variannya. Gelombang varian Omicron tidak selalu disikapi dengan rasa cemas. Setidaknya
ada secercah harapan menuju “berakhirnya” pandemi. Riset dari berbagai negara menuai
pandangan baru terkait sepak terjang Omicron pada sistem imun manusia. Tidak semuanya
berdampak buruk. Rasa pesimistis menghadapi virus Covid-19 dengan mutasi tertinggi ini,
perlahan mulai “pudar”. Munculnya imunitas super, sangat mungkin membawa hikmah bagi
mitigasi pandemi yang sudah berlangsung sekitar dua tahun.
Berkaca pada pola gelombang Covid-19 yang melanda Eropa dan Amerika Serikat, bisa
ditarik banyak pelajaran berharga. Setelah diterpa gelombang Omicron yang sulit dibendung,
negara-negara tersebut kini bisa bernafas lega. Swedia sebagai negara pionir yang dengan
percaya diri menyatakan pandemi telah “berakhir”. Kebijakan pembatasan kegiatan
masyarakat terkait pandemi telah dicabut. Deklarasi yang dinilai “berani” ini disampaikan
pada 9 Februari 2022. Tentu saja banyak pertimbangan yang bisa menjadi pijakannya.
Dampak risiko yang mungkin timbul, juga telah dipertimbangkan dengan cermat. Covid-19
dengan berbagai macam variannya, selanjutnya dikelola sebagai kasus “flu biasa”. Walaupun
demikian, tidak sedikit pakar bidang kesehatan yang mengkritisi kebijakan tersebut. WHO
termasuk yang berseberangan pendapat. Mereka menyatakan, keputusan Swedia tersebut
amat prematur. Sangat mungkin kebijakan yang diambil pemerintah Swedia ini akan diikuti
beberapa negara Eropa lainnya. Norwegia, Inggris, Irlandia, Belanda, Finlandia, Denmark,
Perancis dan Italia juga berancang-ancang mengambil sikap melonggarkan aturan
pembatasan warganya.
Tren terhadap pelonggaran terkait Covid-19, mungkin juga dipertimbangkan dua
negara tetangga kita. Malaysia dan Filipina akan mempersiapkan konsep pelonggaran
kedatangan turis asing ke negara tersebut.
Di negara kita, walaupun pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM)
tetap diperpanjang, namun telah banyak kelonggaran. Orang-orang yang sudah menjalani
vaksinasi dua dosis dan terutama sudah di booster , bisa menjalani aktivitas seperti biasa.
Demikian pula yang tanpa komorbid.
Penurunan kasus terkonfirmasi Covid-19 juga menurun tajam di Amerika Serikat saat
ini. Walaupun angka kematian terbilang meningkat, para ahli bersikap optimis melihat
perkembangan Omicron. Menurunnya kasus di beberapa negara, tidak terlepas dari
terbentuknya imunitas super. Angka vaksinasi global yang terus bergerak naik, sangat
berdampak pada hasil akhir infeksi Omicron. Respons imun yang terbentuk pasca vaksinasi
dan disertai paparan alamiah Omicron , menghasilkan imunitas super. Kolaborasi dua
keadaan ini diprediksi mampu mengendalikan pandemi. Timbulnya herd immunity (kekebalan
komunal), semacam inilah yang digadang-gadang dapat “mengakhiri” pandemi.
Imunitas Super
Konsep imunitas super saat ini menjadi kajian yang menarik bagi para ahli. Seseorang
akan menjadi kebal terhadap paparan mikroba, khususnya virus, setelah terpicunya respons
imunitas tubuh. Infeksi virus, merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limiting
disease). Pasca sembuh dari infeksi tersebut, akan dihasilkan imunitas dalam jangka waktu
tertentu. Vaksinasi juga akan menghasilkan pola yang serupa. Keunggulannya terletak pada
terbentuknya imunitas, tanpa harus menderita sakit terlebih dahulu. Namun demikian,
efektivitas suatu vaksin dalam mencegah infeksi menular, tidak selalu dapat mencapai 100
persen. Oleh karena itulah pasca vaksinasi Covid-19, masih dapat terjadi penularan. Respons
imun, baik yang bersifat seluler ataupun humoral (antibodi sebagai indikatornya), akan
terbentuk sempurna minimal 14 hari pasca vaksinasi yang terakhir. Apabila terjadi penularan
setelah rentang waktu tersebut, dikenal dengan istilah breakthrough infection. Bila terjadi
“infeksi terobosan” semacam ini, mayoritas tidak akan berakibat separah jika individu
tersebut belum divaksinasi.
Omicron diketahui dapat menghindari rintangan antibodi yang terbentuk pasca
vaksinasi. Varian ini juga kebal terhadap pengobatan yang berbasiskan antibodi. Fenomena
“infeksi terobosan” akibat Omicron, menuai banyak perhatian dari para peneliti. Penyintas
akibat varian paling menular ini, ternyata mendapatkan “anugerah” antibodi yang sangat
melimpah. “Hikmahnya”, mereka mampu terhindar dari infeksi Covid-19 varian apa pun juga.
Termasuk varian Delta yang menimbulkan gejala klinis paling berat. Imunitas super yang
dibentuk hasil kolaborasi vaksinasi dan infeksi alamiah, memicu potensiasi respons imun.
“Kekebalan hibrida” yang terbentuk, disebut-sebut para ahli memiliki imunitas yang paling
kuat.
Baru-baru ini telah dipublikasikan hasil riset yang menarik dalam journal Science
Immunology. Para ahli membandingkan imunitas yang berasal dari beberapa keadaan.
“Kekebalan hibrida” juga dapat terbentuk dari kejadian yang sebaliknya. Yaitu pada penyintas
yang belum pernah divaksin, kemudian baru dilakukan vaksinasi setelah sembuh. Para
ilmuwan menyimpulkan, bahwa imunitas super atau “imunitas hibrida”, menghasilkan
kekebalan yang mumpuni. Jauh melampaui kekuatan yang dihasilkan dari proses vaksinasi
saja. Tanpa adanya paparan alamiah virus SARS-CoV-2, antibodi pasca vaksinasi relatif tidak
maksimal. Dalam rentang waktu tiga hingga enam bulan setelahnya, akan menurun secara
bertahap. Omicron bisa bertindak layaknya “booster” alamiah. Namun demikian para ahli
tidak menyarankan untuk secara “sengaja” terpapar dengan virus tersebut.
Pandemi menjelang berakhir ?

Belajar dari sejarah pandemi, bisa memberi inspirasi, bahwa pandemi pasti ada
akhirnya. Bisa melandai dan akhirnya menuju fase endemi. Bisa jadi suatu saat melonjak
meliputi kawasan regional tertentu saja, menjadi epidemi. Berbagai skenario berakhirnya
pandemi mungkin bisa terjadi.
Lancet, sebuah majalah kedokteran terkemuka memprediksi, pandemi akan segera
berakhir. Itu disampaikan dalam publikasi terbarunya akhir Januari 2022. Estimasi itu
berdasarkan model dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME). Diprediksi hingga
akhir Maret 2022, lebih dari 50 persen penduduk dunia akan terinfeksi Omicron. Namun
karena mayoritas kasus tidak bergejala atau hanya ringan saja, maka tidak dilakukan
pelacakan terhadap kontak erat. Dengan demikian testing untuk kepastian diagnosis juga
akan menurun. Angka deteksi secara global diperkirakan akan menurun, dari 20 persen
menjadi hanya lima persen saja. Konsekuensinya, fenomena “gunung es” akan terjadi. Artinya
kasus yang tercatat, hanya merupakan bagian kecil dari jumlah kasus yang sebenarnya.
Sebagai perbandingan, sebanyak 40 persen Covid-19 dari varian-varian sebelumnya tidak
bergejala. Sebaliknya yang terjadi pada Omicron. Tanpa gejala bisa mencapai 80-90 persen.
Bahkan bisa lebih dari angka tersebut.
Ada suatu hal yang “mengejutkan” dari model IHME. Laju transmisi Omicron mampu
mengungguli penggunaan masker dan vaksinasi. Peningkatan 80 persen pemakaian masker,
“hanya” akan menurunkan 10 persen angka infeksi dalam jangka waktu empat bulan.
Peningkatan intensitas vaksinasi juga terlambat. Program itu baru digalakkan pada saat
gelombang Omicron sudah berada pada puncaknya. Diperlukan suatu strategi baru untuk
mengendalikan laju Covid-19.

Masih ada beberapa hasil analisis lainnya. Prediksi “berakhirnya” pandemi menuju
fase endemi, terkait pada imunitas global. Baik yang berasal dari meningkatnya program
vaksinasi global, penyintas ataupun “imunitas hibrida”. Penggunaan obat anti virus seperti
Molnupiravir dan Paxlovid akan menambah harapan tersebut.
Skenario akan berjalan sesuai harapan, bila tidak timbul mutasi baru yang
mengkhawatirkan. Namun prediksi para ahli menyatakan, Omicron adalah puncak mutasi.
Semoga pandemi benar-benar dapat dikendalikan.

-----o-----
Surabaya, 16 Februari 2022

Anda mungkin juga menyukai