Anda di halaman 1dari 21

PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM DALAM BIDANG KESEHATAN

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Kesehatan
Dosen pengampu: DR. Maryati Sutarno, Spd, SST, MARS

Disusun Oleh:
Kelompok 14 Kelas C2

Putri Dhea Octavianie 220607093


Rifa Putri Rusiyana 220607096
Siti Nurlaela Jamilah 220607102
Wulan Sri Lestari 220607109

PRODI S1 KEBIDANAN
STIKES ABDI NUSANTARA JAKARTA
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah dari mata kuliah Hukum
Kesehatan yang berjudul ”PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM DALAM
BIDANG KESEHATAN”.

Kami juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya selaku


dosen mata kuliah yang sudah memberikan kepercayaan kepada kami untuk
menyelesaikan tugas ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka


menambah pengetahuan juga wawasan menyangkut “PERTANGGUNG
JAWABAN HUKUM DALAM BIDANG KESEHATAN”

Kami pun menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan
adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dipahami oleh semua


orang khususnya bagi para pembaca. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya
jika terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Jakarta, November 2023

Penyusun

i
ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................

A. LATAR BELAKANG......................................................................................................

B. RUMUSAN MASALAH..................................................................................................

C. TUJUAN...........................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................

A. PENGERTIAN TANGGUNG JAWAB...........................................................................

B. MACAM-MACAM TANGGUNG JAWAB DALAM PELAYANAN


KESEHATAN...................................................................................................................

C. TEORI PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM DALAM PELAYANAN


KESEHATAN...................................................................................................................

1. PERTANGGUNGJAWABAB SECARA HUKUM PERDATA...............................

2. PERTANGGUNGJAWABAB SECARA HUKUM PIDANA................................

3. PERTANGGUNGJAWABAB SECARA HUKUM ADMINISTRASI...................

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................

A. KESIMPULAN...............................................................................................................

B. SARAN...........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai
segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Upaya peningkatan kualitas hidup manusia
dibidang kesehatan merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh. Upaya
tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Di
dalam sistim kesehatan nasional disebutkan bahwa kesehatan menyangkut semua segi
kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kom-pleks (Johar,
2005).
Kesehatan menjadi bagian yang sangat penting dan salah satu unsur utama yang
harus diwujudkan oleh pemerintah dikarenakan amanah dari, konstitusi dan cita-cita
bangsa negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila. Dengan
demikian, dengan terselenggaranya pelayanan kesehatan yang baik, masyarakat
mendapatkan haknya dalam kesehatan dengan tidak membedakan masyarakat dari
berbagai golongan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama sebagai wujud
perlindungan hukum kesehatan kepada masyarakat Indonesia. Hukum kesehatan yaitu
suatu ketentuan hukum yang secara langsung memiliki hubungan tentang pelayanan
kesehatan dan penerapannya. Dengan arti kata, hukum kesehatan memiliki aturan secara
tertulis berkaitan dengan pemberi pelayanan kesehatan dan konsumen kesehatan. Hukum
kesehatan, mengatur juga tentang hak dan kewajiban baik pemberi pelayanan kesehatan
dan masyarakat.
Hukum kesehatan dapat dibagi menjadi 2 bagian diantaranya hukum kesehatan
publik dan hukum kedokteran. Hukum kesehatan publik berfokus pada pelayanan
kesehatan pada masyarakat yang meliputi dari pelayanan kesehatan di rumah sakit,
sedangkan dari segi hukum kedokteran, berfokus pada pengaturan pelayanan kesehatan
secara individual tentang pelayanan kesehatan. Sebagaimana Van der Mijn menyatakan
dalam pidatonya bahwa “health law as the body of rules that relates directly to the care of
health as well as the applications of general civil, criminal, and administrative law”( Mijn,
1984).
Di Indonesia, aturan tentang kesehatan dibuat dalam kodifikasi peraturan
perundang-undangan guna memberikan perlindungan kepada konsumen kesehatan atau
masyarakat. Diantara peraturan - peraturan tersebut yaitu :

1
2

1. Undang - Undang Dasar 1945.


2. Undang - Undang tentang Kesehatan No.36 Tahun 2009.
3. Undang - Undang tentang Kesehatan No.36 Tahun 2014
4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan
5. Undang – Undang tentang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2009.
6. Undang – Undang tentang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009.
7. Peraturan Pemerintah.
8. Keputusan Presiden.
9. Keputusan Menteri Kesehatan.

Setiap daerah memiliki kewenangan untuk membuat peraturan sebagai turunan


dari sentralisasi yaitu pemerintah pusat. Kesehatan merupakan salah satu yang mutlak
dibutuhkan manusia. Namun ironisnya, dunia medis masih dianggap sebagai salah satu
dunia yang sedikit sekali diketahui orang awam. Kelompok profesional medis dan
keahliannya seakan menjadi pengetahuan yang eksklusif bagi mereka saja. Kondisi ini
terjadi, bahkan saat pasien sebagai konsumen berhadapan dengan keadaan yang
menyangkut keselamatan dirinya. Padahal sesungguhnya pasien berhak mengetahui
segala sesuatu yang berkaitan dengan perlakuan medis maupun obat yang dikonsumsinya

Disadari maupun tidak, petugas kesehatan terikat oleh norma-norma baik yang
berasal dari etika profesi maupun norrna hukum yang berlaku dan mengikat setiap warga
negara. Kedua aspek tersebut, baik etika profesi maupun nonna hukum hampir tidak
mungkin dihindari berlakunya dalam pelaksanaan tugas-tugas profesi apa pun di negara
kita ini. Sebagai konsekuensi logis dari mengikatnya etika profesi dan hukum terhadap
setiap pelaku tugas-tugas profesional, maka setiap subjek pelaku tugas profesional selalu
dapat diminta pertanggungjawaban, baik secara hukum maupun berdasarkan etika profesi.
Dalam sudut hukum, profesi tenaga kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban
berdasarkan hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum administrasi.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis bermaksud untuk membuat makalah


tentang “Pertanggung Jawaban Hukum Dalam Bidang Kesehatan” unuk lebih
memperjelas salah satu system indera yang ada pada tubuh manusia.
3

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pertanggungjawaban Hukum dalam Bidang Kesehatan?
2. Apa saja Macam-macam Pertanggungjawaban Hukum dalam Bidang Kesehatan?
3. Bagaimana Teori Tentang Pertanggungjawaban Hukum dalam Bidang Kesehatan?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Tentang Pertanggungjawaban Hukum Dalam Bidang
Kesehatan
2. Untuk Mengetahuai Macam-Macam Pertanggungjawaban Hukum Dalam Bidang
Kesehatan
3. Untuk Mengetahui Teori Tentang Pertanggungjawaban Hukum dalam Bidang
Kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pertanggungjawaban Hukum Dalam Bidang Kesehatan


1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggung jawab adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).
2. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk
melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.
3. Menurut hukum, tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan
seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam
melakukan suatu perbuatan.
4. Menurut Abu dan Munawar (2007) tanggung jawab merupakan perbedaan antara
benar dan yang salah, yang boleh dan yang di larang, yang dianjurkan dan yang di
cegah, yang baik dan yang buruk, dan sadar bahwa harus menjauhi segala yang
bersifat negatif dan mencoba membina diri untuk selalu menggunakan hal-hal yang
positif.
5. Menurut Schiller & Bryan (2002) tanggung jawab adalah perilaku yang menentukan
bagaimana bereaksi terhadap situasi setiap hari, yang memerlukan beberapa jenis
keputusan yang bersifat moral.
6. Mudjiono (2012) menyatakan bahwa tanggung jawab adalah sujap yang berkaitan
dengan janji atau tuntutan terhadap hak, tugas, kewajiban sesuai dengan aturan, nilai,
norma, adat-istiadat yang dianut warga masyarakat.
7. Burhanudin (2000) menjelaskan bahwa tanggung jawab adalah kesanggupan untuk
menetapkan sikap terhadap suatu perbuatan yang diemban dan kesanggupan untuk
memikul resiko dari sesuatu perbuatan yang dilakukan.

Tenaga medik dapat dipertanggungjawabkan baik secara pidana maupun


perdata sesuai dengan bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan.
Pertanggungjawaban pidana (criminal liability) diadakan manakala yang
bersangkutan telah terbukti melakukan perbuatan yang bersifat melanggar ketentuan
hukum pidana (criminal wrongdoing), dan pertanggungjawaban perdata (civil
liability) diadakan dalam hal yang bersangkutan melakukan perbuatan yang bersifat

4
5

melanggar ketentuan hukum perdata (civil wrongdoing). Secara umum


pertanggungjawaban pidana merujuk pada ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), dan pertanggungjawaban perdata (tanggung gugat)
merujuk pada ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer).
Perbuatan yang salah dalam arti pidana secara teknis disebut dengan istilah
tindak pidana (delik). KUHP memuat berbagai macam delik yang memiliki kaitan
secara langsung maupun tidak langsung dengan profesi kedokteran. Bentuk
keterkaitan yang dimaksud di sini adalah bahwa tenaga medik berpeluang besar
menjadi pelaku/subjek dari delik-delik tersebut. Dengan lain perkataan tenaga medik
merupakan pelaku potensial dari delik-delik dimaksud (potential offender). Untuk
memudahkan identifikasi, delik-delik semacam ini boleh dinamakan delik medik atau
tindak pidana medik. Contoh-contoh tindak pidana medik yang diatur dalam KUHP
antara lain adalah pengguguran kandungan (Pasal 348 KUHP), mengakhiri hidup
pasien atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 344 KUHP), dan membuka rahasia
pasien pada pihak ketiga (Pasal 322 KUHP).
Perbuatan yang salah dalam arti perdata pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu
perbuatan ingkar janji (wan prestasi) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad). Tanggung gugat perdata berdasarkan wan prestasi diatur dalam Pasal 1239
KUHPer, sedangkan tanggung gugat yang disebabkan oleh adanya perbuatan
melawan hukum (onrecthmatige daad) diatur dalam Pasal 1365, 1366, dan 1367
KUHPer. Pasal 1365 KUHPer mengatur tentang tanggung gugat berdasarkan
perbuatan melawan hukum secara umum. Pasal 1366 KUHPer menjelaskan bahwa
tanggung gugat dapat dilakukan terhadap perbuatan melawan hukum yang disengaja
atau yang terjadi karena kelalaian (kealpaan). Adapun Pasal 1367 KUHPer mengatur
tentang tanggung gugat berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
orang lain. Ketentuan Pasal 1367 KUHPer menjadi dasar berlakunya tanggung gugat
pengganti (vicarious liability). Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPer
dimungkinkan bagi pasien yang mengalami kerugian sebagai akibat
kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medik (dokter) untuk mengajukan
tuntutan ganti kerugian.

B. Macam-Macam Tanggung Jawab Dalam Pelayanan Kesehatan


Tanggung jawab hukum tenaga kesehatan, meliput :
6

a. Bidang hukum pidana, Pasal 120 sampai 200 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
dan pasal-pasal dalam KUHP seperti pasal 48-51, 224, 267, 268, 322, 344, 361, 531,
dan pasal 535.
b. Bidang hukum perdata, khususnya mengenai ketentuan-ketentuan pada buku II KUHP
perdat tentang perikatan dan pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
1. Tanggung Jawab Etis
a. Kewajiban umum Contoh :
 Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Pasal 1: “Setiap
dokter harus menjungjung tinggi, mengamalan, dan menghayati sumpah
dokter.”
b. Kewajiban terhadap pasien
Contoh :
 MKEK Pasal 12 : “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia.”
 Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) : “Tanggung jawab
utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan
keperawatan.”
c. Kewajiban terhadap Profesi
Contoh :
 MKEK Pasal 15 : “Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman
sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.”
 Menurut PPNI : “Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan
pengembangan profesi keperawatan.” b. Kewajiban terhadap diri sendiri
d. Kewajiban terhadap diri sendiri
Contoh:
 MKEK Pasal 16 : “Setiap dokter harus memelihara kesehatannya , supaya
dapat bekerja dengan baik.”

Tanggung jawab berdasarkan etika profesi kita kenal dengan tuntutan


pertanggungjawaban dari Majelis Kode Etik Profesi. Maraknya kasus dugaan
malpraktik belakangan ini, klrususnya di bidang perawatan ibu dan anak, menjadi
peringatan dan sekaligus sebagai dorongan untuk lebih memperbaiki kualitas
7

pelayanan. Melaksanakan tugas dengan berpegang pada janji profesi dan tekad untuk
selalu meningkatkan kualitas diri perlu dieratkan dengan kejelasan dalam wewenang
dan fungsinya. Oleh karena tanpa mengindahkan hal-hal yang disebutkan tadi, maka
konsekuensi hukum akan muncul tatkala terjadi penyimpangan kewenangan atau
karena kelalaian. Sebagai contoh umpamanya, terlambat memberi pertolongan
terhadap pasien yang seharusnya segera mendapat pertolongan, merupakan salah satu
bentuk kelalaian yang tidak boleh terjadi.
Mengenai hal itu jelas dapat diketahui dari pasal 54 ayat (l) Undang-undang
Nomor 23 Tahun l992 tentang Kesehatan, yaitu: “Tenaga kesehatan yang melakukan
kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan
disiplin.” Selanjutnya dari penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa tindakan
disiplin berupa tindakan administratif misalnya pencabutan izin untuk jangka waktu
tertentu atau hukuman lain sesuai dengan kesalahan atau kelalaian yang dilakukan.
Khusus berkenaan dengan wewenang bidan diatur di dalam peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 363/Men.Kes/Per/IX/1980 tentang Wewenang Bidan.

2. Tanggung Jawab Profesi


Dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 279. Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan bertanggung jawab secara moral untuk:
a. Mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki;
b. Bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi;
c. Mengutamakan kepentingan pasien dan masyarakat di atas kepentingan pribadi
atau kelompok; dan
d. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Dalam UU Tentang Tenaga Kesehatan Nomor 36 Tahun 2014 Pasal 60. Tenaga
Kesehatan bertanggung jawab untuk:
a. Mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki;
b. Meningkatkan kompetensi;
c. Bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi;
d. Mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau
kelompok; dan
8

e. Melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam menyelenggarakan


upaya kesehatan.

3. Tanggung Jawab Hukum


Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan melanggar
hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :
a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan
sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan
sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang
dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.
b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena
kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept
of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur
(interminglend).
c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan
kesalahan (strict liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja
maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggung
jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.

C. Teori Pertanggungjawaban Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan


1. Pertanggungjawaban Secara Hukum Perdata
Hukum perdata yang dimaksud dalam suatu pertanggungjawaban tindakan
medis adalah adanya unsur ganti-rugi jika dalam suatu tindakan medis terdapat suatu
kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga medis.
Undang-undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 pasal 29 yang
menyebutkan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi.” Dimana yang dimaksud dalam mediasi ini adalah suatu rangkaian proses
yang harus dilewati oleh setiap perkara sebelum masuk ke pengadilan.
Dalam hukum perdata terdapat beberapa jenis tindakan yang dianggap
melanggar hukum tersebut, yaitu Wanprestasi, dimana terjadi kegagalan dalam suatu
tindakan medis yang memang telah dilakukan informed concent kepada pasien atau
keluarga pasien, dimana diatur dalam pasal 1243-1289 Kitab Undang- undang Hukum
9

Perdata. Kemudian kelalaian dalam tindakan medis, diatur dalam pasal 1365-1366
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jika tindakan medis tersebut hingga
menimbulkan suatu kematian, maka diatur dalam pasal 1370 Kitab 5 Undang-undang
Hukum Perdata dan jika terjadi kecacatan diatur dalam pasal 1371 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata.
Tanggung jawab dari segi hukum perdata didasarkan pada ketentuan pasal
1365 BW (Burgerlijk Wetboek), atau Kitab Undang-undang Hukum perdata. Apabila
tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya melakukan tindakan yang
mengakibatkan kerugian pada pasien, maka tenaga kesehatan tersebut dapat digugat
oleh pasien atau keluarganya yang merasa diiugikan itu berdasarkan ketentuan pasal
l365 BW, yang bunyinya sebagai berikut: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hati.”
Dalam suatu praktek tenaga kesehatan, tanggung jawab secara pidana timbul
jika terbukti adanya suatu tindakan dalam pelayanan kesehatan yang memiliki unsur
tindak pidana sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan undang-
undang lainnya. Contoh dalam tindakan pidana dalam praktek kesehatan seperti
melakukan aborsi tanpa adanya indikasi medis, yang diatur dalam Pasal 194 Undang-
undang RI No. 36 tahun 2009 tentang keshatan, dimana disebutkan bahwa “Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
Jika ditinjau dari pengaturan KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan
melawan hukum lainya, sebagaimana juga dengan KUHPerdata di negara sistem
Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana
diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas sebgaimana
yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.
Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab
seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum
10

memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana.
Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi jika perbuatan tersebut bertentangan
dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang
tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum
bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar
hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang
karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Untuk dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum harus memenuhi
4 (empat) syarat:
a. Salah satu pihak (pasien) harus mengalami kerugian;
b. Ada kesalahan atau kelalaian (perorangan atau badan hukum, rumah sakit, balai
pengobatan dan sebagainya);
c. Ada hubungan sebab-akibat (causalitet) antara kerugian dan kesalahan;
d. Perbuatan itu melawan hukum.
Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:
a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)
sebagaimanapun terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: “tiap-tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.
b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana
terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata yaitu: “setiap orang bertanggungjawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.
c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam pasal 1367
KUHPerdata yaitu:
1) seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugain yang disebabkan
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan
oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya;
11

2) orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh
anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa
mereka melakukan kekuasaan orang tua dan wali;
3) majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk
mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian
yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahanbawahan mereka di dalam
melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya;
4) guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang
kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama
waktu orang-orang ini berada dibawah pengawasan mereka; (5) tanggung
jawab yang disebutkan diatas berkahir, jika orangtua, wali, guru sekolah dan
kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah
perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab.

2. Pertanggungjawaban Secara Hukum Pidana


Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang
ada pada perbuatan pidana dan serta subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat
dipidana karena perbuatannya itu. Dasar dapat dipidananya perbuatan adalah asas
kesalahan. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme
yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhdapa pelanggaran atas
“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
Dalam suatu praktek tenaga kesehatan, tanggung jawab secara pidana timbul
jika terbukti adanya suatu tindakan dalam pelayanan kesehatan yang memiliki unsur
tindak pidana sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan undang-
undang lainnya.
Pada Pasal 77 UU Tenaga Kesehatan Nomor 36 Tahun 2014. Setiap Penerima
Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga
Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-
undangan. Pada Pasal 78 Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima
pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
12

Menurut UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 192. (1) Rumah Sakit
tidak bertanggung jawab secara hukum apabila Pasien dan/ atau keluarganya menolak
atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian Pasien setelah adanya
penjelasan medis yang komprehensif. (2) Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam
melalsanakan tugas dalam menyelamatkan nyawa manusia.
Pasal 193 Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang ditakukan oleh Sumber Daya Manusia
Kesehatan Rumah Sakit.
Dari segi hukum pidana juga seorang tenaga kesehatan dapat dikenai ancaman
Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHP). Ancaman pidana tersebut
dikenakan kepada seseorang (termasuk tenaga kesehatan) yang karena kelalaian atau
kurang hati-hati menyebabkan orang lain (pasien) cacat atau bahkan meninggal dunia.
Pertanggungjawaban pidana terhadap tenaga kesehatan yang melakukan
Malpraktik Medis (medical practice) di tinjau dari perspektif Undang-Undang No. 36
tahun 2009 tentang kesehatan. mengatur kualifikasi tindak pidana malpraktik medis
yang dilakukan tenaga kesehatan sesuai dengan Pasal 190 dengan unsur sengaja,
maka perlakuan medis masuk dalam kategori malpraktek pidana.
Kemudian pemberlakuan sanksi bagi tenaga kesehatan yang melakukan
Malpraktik Medis (medical practice).
a. Pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun Apabila mengakibatkan terjadinya
kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
b. Pidana Denda Denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
denda paling banyak satu miliar rupiah.
Pertanggungjawaban pidana terhadap tenaga kesehatan yang melakukan
Malpraktik Medis (medical practice) di tinjau dari perspektif Undang-Undang No. 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Dengan unsur kelalaian negligence dan diatur
secara explisit di dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86 Undang - Undang Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Pemberlakuan jenis sanksi pidana dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yaitu pidana pokok
berupa penjara dan denda dapat di kualifikasikan sebagai berikut :
a. Pasal 84 Ayat (1) Jenis sanksi pidana hanya pidana pokok antara lain pidana
penjara dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. dan Pasal 84 Ayat (2). Apabila
13

kelalaian tersebut mengakibatkan kematian, maka sanksi pidananya yaitu pidana


penjara paling lama 5 (lima) tahun.
b. Pasal 85 Ayat (1) jenis pidananya denda yaitu pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dan Pasal 85 Ayat (2) pidana denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
c. Pasal 86 Ayat (1) jenis pidana pokoknya denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Dan Pasal 86 Ayat (2) dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Mekanisme pembuktian perkara Malpraktik medis (Medical malpractice) yang


dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan menggunakan metode sebagai berikut :
a. Cara langsung
Membuktikan telah adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4D, yaitu
Duty of Care (kewajiban), Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban),
Direct Causation (penyebab langsung), Damage (kerugian).
b. Cara tidak langsung.
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien,
yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien,
yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
kesehatan (doktrin res ipsa loquitur) Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan
apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria.
Fakta tidak mungkin ada atau terjadi apabila tenaga kesehatan tidak lalai:
1) Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga kesehatan.
2) Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain ada
contributory negligence.
Meski untuk mengetahui ada tidaknya unsur kelalaian atau kekurang hati-
hatian dalam tindakan seseorang tersebut perlu dibuktikan menurut prosedur hukum
pidana. Ancaman pidana untuk tindakan semacam itu adalah penjara paling lama lima
tahun. Tentu saja semua ancaman, baik ganti rugi perdata maupun pidana penjara,
harus terlebih dahulu dibuktikan berdasarkan pemeriksaan di depan pengadilan. OIeh
karena yang berwenang memutuskan seseorang itu bersalah atau tidak adalah hakim
dalam sidang pengadilan.
14

3. Pertanggungjawanban Secara Hukum Administrasi


Yang dimaksud dalam pelanggaran hukum administrasi adalah pelanggaran
terhadap hukum yang mengatur hubungan hukum antara jabatan-jabatan dalam
negara. Dalam lingkungan kesehatan, hukum administrasi terkait erat dengan adanya
Surat Izin Praktek (SIP) yang dimiliki oleh tenaga kesehatan baik dokter dan perawat.
Dasar dari adanya hukum administrasi ini, yaitu Undang-undang RI No 36 Tahun
2014 tentang Tenga Kesehatan, yaitu Pasal 47, Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (1),
Pasal 58 ayat (I), Pasal 59 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 68 ayat
(1), Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 73 ayat (1).
Bagi tenaga dokter, diatur dalam Permenkes RI 512/2007 Pasal 2 Ayat (1)
yang menyebutkan bahwa “Setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan
praktik kedokteran wajib memiliki SIP.”
Bagi tenaga keperawatan, diatur dalam Permenkes No.
HK.02.02/MENKES/148/I/2010 Pasal 3 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Setiap
perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP.”
Tanggung jawab dokter berdasarkan hukum administrasi negara yang
dimaksud adalah bahwa dokter sebagai warga negara yang menjalankan profesinya
harus berpedoman pada hukum administrasi negara khususnya yang berhubungan dan
berlaku bagi profesi kedokteran, misalnya terkait dengan perizinan sebelum dokter
atau dokter gigi dapat melakukan praktik kedikterannya, prosedur tempat praktik dan
sebagainya.
Dikatakan dokter melanggar hukum administrasi negara (administrative
malpractice) yaitu tercermin dari tindakan dokter jika menjalankan praktik kedokteran
tanpa izin, melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan izin yang dimiliki,
melakukan praktik dengan menggunakan izin yang sudah kadaluwarsa dan tidak
membuat rekam medik.
Contohnya yaitu melakukan praktek kesehatan tanpa memiliki SIP, di mana
diatur dalam Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
pasal 76 menyebutkan bahwa “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
15

Tanggung jawab dari segi hukum administratif, tenaga kesehatan dapat dikenai
sanksi berupa pencabutan surat izin praktik apabila melakukan tindakan medik tanpa
adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya.
Tindakan administratif juga dapat dikenakan apabila seorang tenaga kesehatan:
a. Pertama, melalaikan kewajiban.
b. Kedua, melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh
seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat
sumpalr sebagai tenaga kesehatan.
c. Ketiga, mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d. Keempat, melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang.
Selain oleh aturan hukum, profesi kesehatan juga diatur oleh kode etik profesi
(etika profesi). Namun demikian, menurut Dr. Siswanto Pabidang, masalah etika dan
hukum kadang kala masih dicampur baurkan, sehingga pengertiannya menjadi kabur.
Seseorang yang melanggar etika dapat saja melanggar hukum dan tentu saja
seseorang yang melanggar hukum akan melanggar pula etika. Selain itu, sanksi dalam
pelanggaran hukum administrasi dapat berupa teguran (lisan atau tertulis), mutasi,
penundaan kenaikan pangkat, penurunan jabatan, skorsing bahkan pemecatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Penerapan Konsep perlindungan hukum terhadap tenaga medis yang diduga
melakukan malpraktek dalam hukum kesehatan disini lebih mengacu pada apakah
tenaga medis sudah melaksanakan tugasnya sesuai aturan yang berlaku, apakah sesuai
standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP) serta dikarenakan adanya dua
dasar peniadaan kesalahan tenaga medis, yaitu alasan pembenar dan pemaaf yang
ditetapkan dalam KUHP.
2. Pertanggungjawaban hukum secara pidana di dalam KUHP terhadap dokter yang
melakukan malpraktek dapat dipertanggungjawabkan dengan Pasal 360 KUHP pada
ayat (1) dan (2) sehingga terdapat dokter yang melakukan tindakan medis yang
berakibat menimbulkan luka berat atau kematian karena kelalaiannya. Dan jika
merujuk pada Pasal 359 dan 360 KUHP maka dokter atau tenaga Kesehatan yang
melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan pasien meninggal maupun luka berat
dapat dipidana dan menuntut kerugian.

B. Saran
1. Dalam melaksakan suatu tindakan medis perlunya suatu kehati-hatian dan perhatian
khusus jangan sampai terjadinya kealfaan ataupun kelalaian yang bisa menyebabkan
suatu tindakan malpraktek yang merugikan pasien dan berujungkan suatu
pertanggungjawaban pidana yang harus dihadapi bagi dokter maupun tenaga medis
lainya.
2. Masyarakat sebagai objek suatu tindakan medis harus sadar hukum dan peka
terhadapat permasalahan hukum yang terjadi disekitar ataupun yang dialaminya
terkhusus disini terhadap permasalahan malpraktek medis yang harus
dipertanggungjawabkan oleh dokter maupun tenaga medis lainnya apabila terdapat
suatu kerugian yang disebabkan oleh dokter ataupun tenaga medis tersebut.

16
DAFTAR PUSTAKA

Atikah Ika. (2020). Etika Profesi Dan Hukum Kesehatan. Bandung. Widina Bhakti Persada.
Suma Juwita. (2009). Tanggung Jawab Hukum Dan Etika Kesehatan. Jurnal Legalitas. 2(3):
84-86.
Susila, E. M. (2021). Malpraktik Medik dan Pertanggungjawaban Hukumnya: Analisis dan
Evaluasi Konseptual. Jurnal Law And Justice. 6(1): 46-61.
Boeve, M. N. (Marlon). (2017). Kajian teori tentan tanggung jawab hukum dan malpraktek
dalam lingkup hukum kesehatan. Tijdschrift Voor Omgevingsrecht, 17(2), 35–36.
https://doi.org/10.5553/to/156850122017017002001
Departemen Kesehatan RI. (2017). Etika profesi dan hukum kesehatan (Edisi 1).
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/Etika-Profesi
dan-HukesSC.pdf
Indonesia, I. D. (2012). Kode etik kedokteran Indonesia.
http://www.idai.or.id/professionalresources/ethic/kode-etik-kedokteran-indonesia
Latif, Z. (2016). Halaman pengesahan dosen pembimbing tanggung jawab hukum bagi
pelaku
usaha terhadap konsumen dalam menjual barang tiruan. Tesis : Untag Surabaya.
http://repository.untag-sby.ac.id/id/eprint/1582
Pramesti, A. A. I. (2012). Tanggung jawab hukum dalam hubungan dokter perawat. Jurnal
Medika Udayana, 1–11. https://ocs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4262/3232
Rokhim Abdul, dkk. (2023). Regulasi Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tenaga
Kesehatan Yang Melakukan Malpraktik Medis (Medical Practice) Ditinjau Dari
Perspektif Uu No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dan Uu No. 36 Tahun 2014
Tentang Tenaga Kesehatan. Jurnal Universitas Sultan Agung, 12-13.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Undang-umdang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023

17

Anda mungkin juga menyukai