Anda di halaman 1dari 28

86

BAB VI

ISOLASI PROTOPLAS, FUSI PROTOPLAS DAN REGENERASI HASIL


FUSI ANTARA TANAMAN JERUK SIAM SIMADU
DENGAN MANDARIN SATSUMA

Ringkasan
Penelitian isolasi protoplas, fusi protoplas, dan regenerasi hasil fusi antara
jeruk siam Simadu dengan Mandarin Satsuma untuk mendapatkan hibrida baru antara
jeruk siam Simadu dengan Mandarin Satsuma.Penelitian dilakukan di laboratorium
Biologi sel dan Jaringan BB-Biogen Bogor dari bulan Februari – juni 2008. Dari hail
penelitian diperoleh bahwa jenis enzim, konsentrasi, dan kombinasi enzim yang
digunakan sangat berpengaruh dalam keberhasilan isolasi protoplas. Kombinasi
enzim selulase Onozuka R10-Yakult 1% dengan maserozim R10-Yakult 1% dalam
larutan CPW yang dimurnikan dengan campuran sukrosa 25% dengan manitol 13%
dapat menghasilkan protoplas dengan densitas 15.7x105 protoplas/g kalus dan
13.0x105 protoplas/g daun. Konsentrasi PEG yang digunakan untuk menginduksi fusi
protoplas dari kalus jeruk siam Simadu dengan protoplas mesopil daun in vitro
berpengaruh terhadap jumlah rata-rata protoplas berfusi yang dihasilkan. Rata-rata
jumlah protoplas yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 4% adalah 3.3 fusan
yang hetero fusi, 5 fusan yang homo fusi dan multi fusi. Rata-rata jumlah protoplas
yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 30% adalah 4.7 fusan hetero fusi, 6.7
fusan homo fusi, dan 7.7 fusan multi fusi. Frekuwensi fusi meningkat menjadi 4.3
fusan hetero fusi, 6.7 fusan homofusi, dan 7.7 multi fusi dari induksi PEG 4% serta
menjadi 5.7 fusan hetero fusi, 7.7 fusan homo fusi, dan 6.3 fusan multi fusi dari
induksi fusi dengan PEG 30%. Keberhasilan regenerasi protoplas hasil fusi pada
media kultur yang digunakan dipengaruhi oleh konsentrasi PEG yang digunakan
untuk induksi terjadinya fusi. Protoplas yang yang difusikan dengan PEG 4% dapat
beregenerasi membentuk dinding sel, melakukan pembelahan sel, koloni sel, mikro
kalus, dan embrio somatik pada media, sedangkan protoplas yang difusikan dengan
PEG 30% hanya dapat beregenerasi membentuk didnding sel dan pembelahan sel.
Penambahan ABA 0.5 mg/l pada media MW dapat mendewasakan embrio somatik
dan GA 3 0.5 mg/l dapat menginduksi perkecambahan embrio somatik menjadi
plantlet dengan efisisensi perkecambahan sebesar 76%.

Kata kunci: Isolasi protoplas, fusi protoplas, regenerasi fusan, jeruk siam Simadu, dan
Mandarin Satsuma.
87

PROTOPLAST ISOLATION AND FUSION AND FUSAN REGENERATION


BETWEEN SIMADU TANGERINE WITH SATSUMA MANDARIN

Abstract
Research protoplast isolation, protoplast fusion and regeneration of fusion
between Simadu tangerines with Satsuma Mandarin to get a new hybrid seedless. The
study was conducted in the laboratory of Cell and tissue Biology, BB BIOGEN
Bogor, from February - June 2008. The result showed that protoplasts from
embryogenic callus of Simadu tangerine and in vitro leaf of mandarin Satsuma can be
isolated in large numbers by using a combination of cellulase Onozuka R10, Yakult
Yakult% 1% with R10 Maserozim in CPW solution. Protoplasts are purified with a
mixture of 25% sucrose with 13% mannitol. Protoplast density produced from
embryogenic callus is 15.7x105 protoplasts / g callus and 13x105 protoplasts/ g in
vitro leaf. The concentration of PEG used to induce fusion between mesophyll
protoplasts mandarin Satsuma and siam Simadu callus affect the average number of
protoplasts fusion. Average number of protoplasts were fused by using PEG 4% are
3.3 hetero fusion, 5.0 homo fusion and multi-fusion. Average number of protoplasts
were fused by using PEG 30% are 4.7 hetero fusion, 6.7 homo fusion 6.7 and
7.7multi-fusion. The success of fusan regeneration on regeneration medium is
influenced by PEG concentration used for induction of fusion. Protoplasts were fused
with PEG only 4%, which can regenerate to form cell walls, making cell division,
colony cells, micro-callus and somatic embryo. Protoplasts were fused with PEG
30% can only be regenerated to form the cell wall and cell division. Giving light to
the culture after 2 weeks may accelerate cell division that can form colonies of cells.
Dilutions of cell suspension with the same medium (without 2, 4-D) can accelerate
the growth and development of the protoplasts formed colonies of cells, micro-callus
and somatic embryos. MW medium is best used in the fusion because it can
encourage of somatic embryos directly. Addition of ABA 0.5 mg / l in the media can
produce somatic embryos and GA3 0.5 mg / l can germinate mature somatic embryos
to plantlets with 76% germination efficiency.

Keywords : Protoplast isolation, protoplast fusion, fusan regeneration, siam Simadu,


and Mandarin Satsuma
88

Pendahuluan

Trend kebutuhan pasar dunia secara global akan buah jeruk yang dikonsumsi
segar saat ini dan masa mendatang adalah perlu memenuhi kategori buah yang tidak
berbiji (seedless), mudah dikupas (easy peeling) dan mempunyai tipe mandarin
dengan warna yang menarik (pigmented). Jeruk siam Pontianak dan Simadu adalah
dua dari jenis jeruk batang atas komersial (scion) yang banyak dikenal di Indonesia.
Akan tetapi kedua jenis jeruk tersebut masih mempunyai biji yang relatif banyak (15-
23 biji per buah) dan warna (pigmented) belum begitu menarik sehingga kalah
bersaing dengan jeruk produk negara lain. Untuk menghindari tekanan buah jeruk
impor tersebut maka diperlukan sentuhan inovasi teknologi terhadap jeruk lokal
tersebut untuk meningkatkan kualitas buah sehingga dapat diterima dan bersaing di
pasar global (Husni 2007).
Untuk mendapatkan tanaman jeruk yang mempunyai karakter buah seedless
pada tanaman jeruk sudah dimulai dilakukan beberapa dekade yang lalu melalui
pemuliaan konvensional. Satsuma mandarin (C. Unshiu Marc.) adalah merupakan
jenis jeruk yang secara alami mempunyai sifat seedless (Kunittake et al. 1991;
Spiegel-Roy and Goldschmidt 1996). Sifat seedless tersebut telah terbukti disebabkan
oleh pollennya yang steril (male strility) yang termasuk dalam cytoplasmic male
strility biasa disebut dengan istilah CMS (Yamamoto et al. 1997). Untuk
memindahkan sifat CMS tersebut dari jeruk mandarin Satsuma kepada kultivar jeruk
siam Simadu sangat sulit dilakukan melalui pemuliaan konvensional karena adanya
faktor genetik pembatas (incompatible). Oleh karena itu perlu dicari cara lain untuk
memindahkan sifat seedless dari jeruk mandarin Satsuma ke kultivar jeruk lainnya.
Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah teknik fusi protoplas
(Grosser et al. 1996; Moriguchi et al. 1996; Grosser and Gemitter 2005). Pada
tanaman jeruk, teknik fusi protoplas mulai berkembang setelah Ohgawara et al.
(1985) melaporkan keberhasilannya mendapatkan hibrida somatik antara C. sinensis
dengan Poncirus tripoliata yang secara genetik inkompatibel. Semenjak itu, teknik
tersebut banyak digunakan dalam program pemuliaan tanaman jeruk di dunia seperti
89

di Jepang oleh Kobayashi et al. (1988), Israel oleh Vardi et al. (1987), Amerika
Serikat oleh Grosser dan Gemitter (1990), dan di Prancis oleh Ollitrault dan Luro
(1996). Pada saat ini telah diperoleh lebih dari 40 kombinasi dari 250 jenis tetua
jeruk melalui fusi protoplas (Grosser et al. 2000; Cabasson et al. 2001; Guo et al.
2004).
Beberapa hasil penelitian yang telah menggunakan teknologi fusi protoplas
untuk perbaikan tanaman jeruk antara lain adalah fusi protoplas antara C. unshiu
dengan C. sinensis (Yamamoto dan Kobayashi 1995; Guo et al. 2004; Xu et al. 2006;
Cai et al. 2007) dan C. sinensis dengan Clausena lansium (Fu et al. 2003). De
Carvalho Costa et al. (2003) juga telah menggunakan teknologi fusi protoplas untuk
mendapatkan tanaman jeruk batang bawah yang toleran terhadap citrus blight,
tristeza virus dan phytopthora dan Tusa et al. (2000) untuk ketahanan terhadap
infeksi Phoma tracheiphila. Calixto et al. (2004) mendapatkan hibrida somatik dari
C. sinensis dengan C. grandis yang toleran terhadap virus Citrus tristeza,
Phytophthora, dan berpotensi digunakan sebagai batang bawah. Cai et al. (2007) juga
menggunakan teknologi fusi protoplas untuk mendapatkan tanaman jeruk yang
seedless hasil fusi antara C. unshiu dengan C. grandis dan C. sinensis. Untuk itu
maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan hibrida baru dari jeruk siam
kultivar Simadu dengan jeruk mandarin kultivar Satsuma.

Bahan dan Metode


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Kelompok Peneliti
Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor dari bulan Februari-Juni tahun 2008.
Penelitian terdiri dari tiga tahap penelitian yang saling berhubungan yaitu: 1)isolasi
protoplas, 2)fusi protoplas, dan 3)regenerasi protoplas hasil fusi.
90

A B

Gambar 19. Penampakan kalus embriogenik dan daun in vitro yang digunakan
sebagai sumber protoplas (A= kalus embriogenik dari jeruk siam
Simadu dan B= daun in vitro dari jeruk mandarin Satsuma).

Isolasi protoplas
Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber protoplas pada penelitian ini
adalah kalus embriogenik dari jeruk siam kultivar Simadu dan daun in vitro dari
tanaman jeruk mandarin Satsuma (Gambar 19). Metode isolasi protoplas yang
digunakan adalah metode isolasi yang terbaik dari hasil penelitian sebelumnya
(penelitian 2) menggunakan larutan kombinasi selulase Onozuka RS10-Yakult 1%
dengan macerozim RS10-Yakult 1% dalam larutan CPW (0.7 M manitol, 24.5 mM
CaCl2, 0.92 mM NaH 2 PO 4, dan 6.15 mM MES. Inkubasi dalam larutan enzim
dilakukan selama 16 jam dalam keadaan gelap (tanpa cahaya). Pemurnian protoplas
dilakukan dengan campuran larutan sukrosa 25% dengan manitol 13%.

Fusi protoplas
Induksi fusi dengan PEG dilakukan dengan metode fusi protoplas dari hasil
penelitian sebelumnya (penelitian 3) menggunakan PEG 4% dan 30% dengan cara
menambahkan 25 µl larutan PEG di empat titik di sekeliling suspensi protoplas yang
telah dicampur dengan waktu induksi fusi selama 15 menit. Pengamatan dilakukan
secara mikroskopik (in verted) dengan cara menghitung jumlah, persentase protoplas
yang mengalami fusi, dan tipe fusi yang dihasilkan (hetro fusi, homo fusi, dan multi
fusi) setelah diberi perlakuan PEG.
91

Peningkatan frekuensi fusi


Untuk meningkatkan terjadinya frekuensi fusi juga menggunakan metode
yang terbaik dari hasil penelitian sebelumnya (penelitian 3) dengan cara
menambahkan 200 µl larutan pencuci (0.5 M manitol + 0.5 mM CaCl2 ).

Kultur protoplas hasil fusi


Kultur protoplas dilakukan dengan metoda Sihachakr (1998) dan Husni et al.
(2004). Setelah dilakukan penetapan jumlah protoplas maka protoplas ditaburkan
dalam cawan petri (∅ 50 mm x 15 mm) yang masing-masing berisi 5 ml media cair
dengan densitas 104 protoplas/ml. Kultur diinkubasi dalam keadaan gelap tanpa
cahaya dalam inkubator yang suhunya diatur pada temperatur 25 0 C sampai terjadi
pembentukan dinding sel (1-2 minggu). Setelah terjadi pembelahan sel membentuk
koloni sel, kultur dipindahkan dan diberi cahaya dengan intensitas 1000 lux selama
16 jam sehingga terbentuk koloni sel yang lebih banyak.
Media awal pertumbuhan protoplas yang digunakan adalah empat jenis media
dasar yaitu KM, VKM, MW, dan MT ( Tabel Lampiran 3 dan 4). Sedangkan zat
pengatur tumbuh yang digunakan adalah 0.1 mg/l 2,4_D + 3 mg/l BA + 500 mg/l
EM + 50 g/l sukrosa. Kemasaman media (pH) ditetapkan pada kisaran 5.7-5.8. Media
diseterilkan dengan filter ukuran 0.22 µm. Kultur disimpan dalam inkubator dalam
keadan gelap tanpa cahaya pada suhu 250C sampai terjadi pembentukan dinding sel
dan pembelahan sel selama dua minggu. Setelah terjadi pembentukan dinding dan
pembelahan sel, maka kultur dipindahkan ke ruang kultur yang diberi cahaya dengan
intensitas 1000 lux selama 16 jam sampai terbentuk koloni sel. Pengamatan dilakukan
secara mikroskopis dengan mikroskop inverted (Olymphus) dengan cara menggoyang
kultur terlebih dahulu secara perlahan sehingga protoplas/sel merata keseluruh cawan
petri. Kemudian dilakukan penghitungan protoplas yang dapat membentuk dinding
sel dan sel yang telah melakukan pembelahan setiap bidang pandang pengamatan.
Pengamatan dilakukan terhadap persentasi kemampuan protoplas beregenerasi
membentuk dinding sel dan koloni sel setiap bidang pandang.
92

Pengenceran kultur
Pengenceran media dilakukan dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan
dan perkembangan sel membentuk koloni sel dan mikrokalus. Pengenceran dilakukan
dengan cara membagi 3 suspensi protoplas/sel setiap cawan petri ke cawan petri baru
yang telah berisi media dasar yang sama (KM, VKM, MW dan MT), tetapi komposisi
zat pengatur tumbuh yang ditambahkan hanya 3 mg/l BA (hasil penelitian 1). Kultur
diinkubasi kembali pada ruang inkubasi yang diberikan cahaya dengan intensitas
1000 lux selama 16 jam sampai terbentuk mikrokalus dan kalus. Pengamatan
dilakukan terhadap banyaknya rata-rata jumlah mikrokalus setiap minggu setelah
pengenceran, tipe kalus yang dihasilkan, dan rata-rata jumlah embrio somatik yang
dihasilkan.

Regenerasi tunas
Regenerasi tunas dilakukan dengan cara memindahkan struktur embrio
somatik yang terbentuk secara langsung dalam media pengenceran. Struktur embrio
somatik yang diperoleh dipindahkan pada media baru yang dipadatkan dengan
penambahan 0.5 mg/l ABA pada media MW untuk pendewasaan dan 0.5 mg/l GA 3
untuk perkecambahan. Pendewasaan embrio somatik dilakukan dengan cara
memindahkan struktur globuler yang diperoleh ke media pendewasaan strukruktur
globular menjadi fase hati dan torpedo.
Setiap botol di masukkan 8 embrio somatik fase globular ke dalam setiap
botol kultur dan diulang sebanyak 5 kali sehingga diperoleh 40 botol kultur dari
semua perlakuan. Semua kultur disimpan di ruang kultur dengan penyinaran dengan
intensitas 1000 lux selama 16 jam dengan suhu 23 - 270C. Pengecambahan embrio
somatik dewasa dilakukan dengan cara memindahkan embrio somatik dewasa ke
media perkecambahan. Pengamatan dilakukan terhadap persentase keberhasilan
perkembangan embrio somatik fase globuler menjadi fase hati, torpedo dan
kotiledon serta perkecambahan embrio somatik menjadi individu baru yang lengkap
mempunyai tunas dan akar (plantlet). Untuk mempercepat pertumbuhan dan
perkembangan regeneran (klon), setiap embrio somatik diisolasi dan dipindahkan
93

dalam botol kultur yang berisi media MW tanpa penambahan zat pengatur tumbuh
untuk mendorong pertumuhan dan perkembangannya sehingga lebih sempurna.

Hasil dan Pembahasan


Isolasi protoplas
Jenis sumber protoplas, komposisi larutan enzim, lama inkubasi dalam larutan
enzim dan larutan purifikasi yang digunakan dalam isolasi protoplas merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap jumlah dan viabilitas protoplas yang dihasilkan.
Metode isolasi protoplas yang digunakan pada penelitian ini adalah metode yang
terbaik dari hasil penelitian sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitin sebelumnya,
kombinasi enzim selulase Onozuka R10-Yakult 1% dan maserozim R10-Yakult 1%
dalam larutan CPW terbukti baik digunakan untuk mengisolasi protoplas dari kalus
dan daun tanaman jeruk (hasil penelitian 2). Inkubasi dalam larutan enzim juga
digunakan selama 16 jam dalam keadaan gelap dan dimurnikan dengan campuran
manitol 13% dan sukrosa 25% untuk mengapungkan protoplas (hasil penelitian 3).
Dari hasil isolasi protoplas yang dilakukan menggunakan metodologi dari hasil
penelitian sebelumnya diperoleh bahwa rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan
juga cukup tingi (Tabel 17). Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa densitas
protoplas yang dihasilkan dari kalus embriogenik lebih banyak dari pada protoplas
yang dihasilkan dari daun in vitro. Hal ini disebabkan oleh adanya lignin di jaringan
daun sehingga aktifitas enzim kelompok pektinase seperti meserozim lebih sulit
mendegradasi zat pektin yang berada diantara sel yang satu dengan sel lainnya
sehingga sel yang satu dengan sel lainnya menjadi terpisah (sel tunggal). Rata-rata

Tabel 17. Produksi protoplas dari kalus dan mesofil daun menggunakan kombinasi
enzim Selualse 1%+ Maserozim 1% yang diinkubasi selama 16 jam dan
dimurnikan dengan campuran 25% sukrosa+13% manitol dalam larutan
CPW.

Sumber protoplas Rata-rata jumlah protoplas


(protoplas/g sumber protoplas)
Kalus embriogenik 15.7x105 ± 8.0
Mesofil daun 13.0x105 ± 9.8
94

A B

C D

Gambar 20. Isolasi protoplas mesofil daun mandarin satsuma dan kalus jeruk siam
simadu dengan kombinasi enzim selulase 1%+maserozim 1% yang
dimurnikan dengan larutan sukrosa 25% + manitol 13% (A dan C=
mesofil daun dan protoplas yang dihasilkan, B dan D=kalus
embriogenik dan protoplas yang dihasilkan) perbesaran 20x.

jumlah protoplas yang dihasilkan dari kalus embriogenik adalah sebanyak 15.7x105
protoplas/g kalus dan 13.0x105 protoplas/g daun yang dihasilkan dari mesofil daun.
Protoplas yang dihasilkan dari mesofil daun berwarna kehijauan karena adanya
klorofil sedangkan protoplas yang berasal dari kalus tidak berwarna hijau karena
kalus belum mengandung klorofil (Gambar 20). Viabilitasnya juga sangat baik yang
ditandai dengan bentuk protoplasnya berbentuk bulat sempurna.
Selain itu, dari gambar protoplas tersebut juga terlihat adanya perbedaan
kepadatan isi protoplas yang mencirikan sel tua dan muda. Protoplas yang berasal
dari sel muda mempunyai vakuola yang lebih kecil daripada vakuola sel dewasa.
Besar kecilnya vakuola sel yang dihasilkan juga akan berpengaruh terhadap
terjadinya fusi. Protoplas yang megandung vakuola yang besar akan lebih sulit
berfusi sehingga jumlah protoplas hasil fusi yang dihasilkan juga berbeda.
95

Fusi protoplas
Keberhasilan dalam menginduksi terjadinya fusi protoplas sangat tergantung
dari kadar konsentrasi dan periode inkubasi yang digunakan dalam larutan PEG.
Konsentrasi dan lama inkubasi yang digunakan dalam penelitian ini untuk memacu
terjadinya fusi adalah PEG 4% dan 30% yang diberikan pada 4 titik yang berlawanan
disekitar suspensi protoplas dengan waktu inkubasi dalam larutan PEG selama 15
menit (hasil penelitian 3).
Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa rata-rata jumlah protoplas
berfusi yang dihasilkan lebih banyak dari induksi fusi dengan PEG 30% dari pada
induksi fusi dengan PEG 4% (Gambar 21). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya, dimana rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi
fusi dengn PEG 30% lebih banyak dari rata-rata jumlah protoplas berfusi dari induksi
PEG 4%. Rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan
PEG 4% adalah 3.3 fusan yang hetero fusi, 5 fusan yang homo fusi dan multi fusi.
Sedangkan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan
PEG 30% adalah 4.7 fusan yang hetero fusi, 6.7 fusan yang homo fusi, dan 7.7 fusan.
Penambahan larutan pencuci (0.5 M manitol+0.5 mM CaCl2 ) setelah 15 menit
induksi fusi juga dapat meningkatkan frekuwensi fusi baik dari induksi fusi dengan
PEG 4% maupun induksi fusi dengan PEG 30% kecuali multi fusi dari PEG 30%

7,7
8 6,7
7
Jumlah protoplas

5
6 5 4,7
5
berfusi

3,3
4 Hetero fusi
3
Homo fusi
2
1 Multi fusi
0
4% 30%

Konsentrasi PEG

Gambar 21. Pengaruh konsentrasi PEG (4% dan 30%) terhadap keberhasilan fusi
(hetero, homo, dan multi fusi) protoplas jeruk siam Simadu dengan
mandarin Satsuma, inkubasi 15 menit
96

7,7 7,7
8 6,7

Jumlah protoplas berfusi


7 6,3
5,7
6
5 4,3
4 Hetero fusi
3 Homo fusi
2 Multi fusi
1
0
4% 30%
Konsentrasi PEG

Gambar 22. Peningkatan jumlah protoplas berfusi setelah penambahan larutan


pencuci ke dalam suspensi protoplas yang telah difusi selama 15 menit
dengan PEG 4 dan 30%.

(Gambar 22). Adanya peningkatan frekuwensi fusi tersebut disebabkan oleh adanya
CaCl2 dalam larutan pencuci yang digunakan. Frekuensi fusi protoplas dapat
meningkat apabila pada suspensi protoplas yang difusikan dengan PEG di cuci
dengan larutan pencuci atau hipotonik. Adanya ion Ca2+ tinggi dalam larutan
hipotonik juga dapat meningkatkan frekuensi fusi antar protoplas (Kao dan
Michayluk 1975; Veilleux et al. 2005). Dengan bertambahnya frekuwensi fusi yang
diperoleh akan memberikan peluang lebih tinggi untuk mendapatkan hibrida somatik
yang dihasilkan setelah dikulturkan. Rata-rata jumlah protoplas berfusi yang
dihasilkan setelah penambahan larutan pencuci dari induksi fusi dengan PEG 4%
adalah menjadi 4.3 fusan yang hetero fusi, 6.7 yang homo fusi, dan 7.7 yang multi
fusi. Sedangkan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi
dengan PEG 30% adalah menjadi 5.7 fusan yang hetero fusi, 7.7 fusan yang homo
fusi, dan 6.3 fusan yang multi fusi.
Penampakan protoplas fusi yang hetero fusi, homo fusi dan multi fusi jelas
terlihat karena adanya perbedan warna protoplas yang digunakan (Gambar 23).
Berdasarkan gambar 23 jelas terlihat bahwa protoplas yang berfusi dari dua jenis
protoplas yang berbeda (hetero fusi) terlihat adanya penyatuan dari dua jenis
protoplas yang berwarna hijau dengan yang tidak berwarna yang berasal dari
97

PEG

A B

C D

Gambar 23. Penampakan keadaan suspensi protoplas pada saat penambahan PEG (A)
dan jenis fusi yang dihasilkan dari protoplas yang diinduksi dengan PEG
selama 15 menit (B =hetero fusi, C=homo fusi, D=multi fusi, dan E=
total fusi).

protoplas mesofil daun dan kalus. Demikian juga halnya yang homo fusi
memperlihatkan penggabungan dari dua protoplas yang berwarna hijau yang berasal
dari dua protoplas mesofil daun. Multi fusi ditunjukkan oleh penggabungan tiga
protoplas berwarna hijau yang berasal dari mesofil daun. Dari tipe hasil fusi yang
dihasilkan juga akan menghasilkan regeneran yang mempunyai variasi genetik yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Regenerasi protoplas hasil fusi


Komposisi zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam medium merupakan
faktor sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan protoplas. Protoplas
yang ditanaman di dalam media kultur akan membentuk diding sel sehingga
membentuk sel yang sempurna yang dapat membelah dan memperbanyak diri
98

sehingga terbentuk koloni sel. Tahap pertama kesuksesan di dalam kultur protoplas
adalah keberhasilan protoplas membentuk dinding sel yang baru dan keberhasilan
protoplas atau sel yang baru melakukan pembelahan mitosis. Keberhasilan regenerasi
dinding sel tanaman dari protoplas merupakan tahap yang sangat sulit dan sering
mendapatkan hasil yang berbeda jika diulang pada waktu dan tempat yang berbeda
(Evan dan Bravo 1983). Biosintesis dari dinding sel bervariasi tergantung material
tanaman yang digunakan sebagai sumber protoplas. Sintesis dinding sel protoplas
memerlukan adanya penyediaan sumber karbon yang mudah dimetabolisasikan
seperti sukrosa dan penambahan osmolytikum dalam media kultur (Carlson et al.
1995).
Gautheret (1977) mengatakan bahwa dinding sel protoplas dapat terbentuk
apabila enzim yang melarutkan dinding sel pada saat isolasi protoplas harus
dihilangkan dengan cara mencucinya dengan larutan pencuci sampai hilang. Dalam
media kultur perlu ditambahkan suatu osmotic stabilizer atau zat anti pecah karena
protoplas belum mempunyai dinding sel. Untuk pembentukan dinding sel biasanya
ditambahkan manitol atau sukrosa secukupnya. Pembentukan dinding sel protoplas
juga ditentukan oleh adanya auksin dan sitokinin yang mempengaruhi pembentukan
permukaan dinding.
Protoplas biasanya dikulturkan dalam medium cair pada erlenmeyer atau
cawan petri dalam jumlah sedikit dalam bentuk tetesan (Bawa dan Torrey 1971;
Constabel 1982). Umumnya untuk merangsang pembelahan, protoplas harus ditanam
dalam kerapatan tidak lebih dari 104 protoplas/ml medium (Albersheim 1974). Selain
itu, faktor ada tidaknya cahaya selama kultur juga sangat mempengaruhi keberhasilan
regenerasi dinding sel sehingga kultur protoplas yang telah difusikan disimpan dalam
keadaan gelap dalam kaleng steril yang tertutup.
Hasil kultur protoplas yang dilakukan setelah difusi denga PEG 4 % dan 30%
selama 15 menit memperlihatkan bahwa protoplas dapat melakukan regenerasi
dinding sel pada minggu pertama pengamatan setelah kultur pada semua media kultur
yang digunakan (Tabel 18). Hal ini diduga disebabkan karena jumlah sukroksa yang
99

Tabel 18. Pengaruh media kultur terhadap persentase kemampuan protoplas


membentuk dinding dan pembelahan sel yang diinduksi fusi denga PEG 4
dan 30%, 2 minggu setelah kultur.

Media kultur Protoplas berdinding setiap Protoplas membelah


bidang pandang (%) setiap bidang pandang (%)

PEG 4% PEG 30% PEG 4% PEG 30%


KM 12.2 7.8 6.1 0.0
VKM 11.7 5.3 5.8 0.0
MT 21.8 11.6 15.0 3.0
MW 21.1 16.7 15.0 5.9
Keterangan: KM= Kao dan Michayluk (1975) +0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l Sukrosa,
VKM= Binding dan Nels (1977)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MT=
Murashige and Tucker (1969)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MW=
Morel and Wetmore (1951) )+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa

diberikan pada semua media kultur yang digunakan sebagai sumber karbon yang
mudah dimetabolisasikan adalah sama, yaitu sebanyak 5%. Gautheret (1977)
mengatakan bahwa untuk sintesis dinding sel perlu adanya penyediaan sumber
karbon yang mudah dimetabolisasikan seperti sukrosa. Adanya sukrosa yang tinggi
dalam media juga dapat mencegah penurunan pH pada media kultur sehingga tidak
mengganggu pertumbuhan sel pada awal kultur (Kowalczyk et al. 1983). Proses
regenerasi dinding sel protoplas dimulai dalam beberapa jam sampai beberapa hari
untuk melengkapinya. Proses regenerasi dimulai dari adanya akumulasi bahan
dinding sel secara perlahan-lahan pada permukaan plasmalema dalam beberapa jam
setelah kultur. Selulosa dikumpulkan diantara plasmalema dan antara bahan dinding
multilamelar atau langsung pada plasmalema (media kultur mulai meregenerasikan
dinding (Bawa dan Torrey 1971). Selain itu, kondisi fisik kultur dan zat pengatur
tumbuh yang digunakan juga sama, yaitu media cair yang disimpan dalam keadaan
gelap dengan penambahan 0.1 mg/l 2,-D + 3 mg/l BA dan 500 mg/l EM. Constabel
(1982) menyarankan untuk budidaya protoplas hasil fusi lebih baik menggunakan
media cair dengan kondisi gelap (tanpa cahaya) pada temperatur 25 – 28 0C.
Media MT dan MW merupakan media kultur yang baik digunakan untuk
meregenerasi dinding sel. Persentase keberhasilan regenerasi protoplas membentuk
100

dinding sel per bidang pandang paling baik berasal dari media MT dengan
keberhasilan regenerasi sebanyak 21.8% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan
11.6% dari induksi fusi dengan PEG 30%. Kemudian diikuti oleh media MW
sebanyak 21.1% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 16.7% dari induksi fusi
dengan PEG 30%, KM sebanyak 12.2% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 7.8%
dari induksi fusi dengan PEG 30%, dan VKM sebanyak 11.7% dari induksi fusi
dengan PEG 4% dan 5.3% dengan PEG 30%.
Kemampuan keberhasilan menginduksi pembelahan sel yang terbaik juga
terjadi pada media MT dan MW. Hal ini dapat terlihat dari besarnya persentase
kemampuan sel baru melakukan pembelahan mitosis sebesar 15% pada kedua media
tersebut baik pada kultur hasil induksi fusi dengan PEG 4%. Kemampuan
pembelahan sel pada budidaya protoplas ditentukan oleh komposisi media kultur dan
kondisi eksplan yang digunakan sebagai sumber protoplas. Reiner dalam Gautheret
(1982) melaporkan bahwa sel yang berasal dari protoplas baru dapat membelah
setelah 32 hari. Kegagalan mitosisi tersebut mungkin disebabkan olaeh kurangnya
nutrisi dalam medium. Besaran kemampuan pembelahan sel pada media MT dan MW
pada kultur yang diinduksi dengan PEG 4% adalah sebesar 15% kemudian diikuti
media KM sebesar 6.1% dan VKM sebesar 5.8% pada kultur yang diinduksi dengan
PEG 4%. Pembelahan sel pada kultur yang diinduksi fusi dengan PEG 30% hanya
terjadi pada media MT (3.0%) dan MW (5.9%) saja. Terbentuknya dinding sel
protoplas secara sempurna ditandai dengan bentuk protoplas yang tidak bulat lagi
dan disekeliling sel protoplas terlihat lebih tebal (Gambar 24A). Proses awal
pembelahan mitosis sel ditandai dengan adanya dua bakal sel hasil pembelahan yang
belum sempurna dan terbentuknya dua sel pada akhir pembelahan sehingga terbentuk
sel-sel baru yang sempurna (24B, 24C dan 24D).
Untuk mempertebal dinding dan mempercepat pembelahan sel, tutup kaleng
tempat inkubasi kultur setelah dua minggu di buka sehingga kultur dapat menyerap
cahaya. Sihachakr (1998) mengatakan bahwa pemberian cahaya pada sel protoplas
yang telah membentuk dinding sel setelah dikulturkan dapat mempercepat penebalan
dinding sel dan mampu mempercepat terjadinya pembelahan sel. Hasil pengamatan
101

A B

C D

Gambar 24. Pembentukan dinding sel dan proses pembelahan sel (A=protoplas yang
telah meregenerasi dinding selnya secara sempurna, B= awal
pembelahan sel, C= akhir pembelahan sel dan D= sel baru hasil
pembelahan).

dua minggu setelah pemberian cahaya diperoleh adanya pertumbuhan dan


perkembangan sel (4 minggu setelah kultur) pada semua media yang digunakan
pada kultur hasil fusi dengan PEG 4%, sedangakan kultur hasil fusi dengan PEG
30% hanya pada media MT dan MW saja (Tabel 19). Hal ini jelas terlihat dari
penampakan media kultur yang semakin keruh yang dipenuhi dengan noktah kecil
tersebar dalam media dengan warna putih (Gambar 25A). Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan secara mikroskopik ternyata noktah-noktah tersebut adalah koloni-
koloni sel dari hasil pembelahan sel yang terus-menerus yang ditandai dengan adanya
sel-sel muda baru disekitarnya dengan ukuran lebih kecil (Gambar 25 B, C, dan D).
Koloni sel tersebut ditandai dengan adanya sel-sel baru di sekitar sel protoplas yang
mempunyai plasma yang penuh, inti besar, vacuola kecil dan ukurannya lebih kecil.
Banyaknya rata-rata jumlah koloni sel yang dihasilkan per setiap bidang pandang
pengamatan dari media MT dan MW berbeda dibandingkan media KM dan VMW.
Rata-rata jumlah koloni sel yang dihasilkan dari media MT adalah 11.3% dan 10.3%
102

Tabel 19. Pengaruh media kultur terhadap persentase kemampuan protoplas


melakukan pembelahan dan jumlah koloni sel setelah pemberian cahaya,
2 minggu setelah kultur.
Rata-rata jumlah koloni sel
Media kultur Setiap bidang pandang/8 ml medium

PEG 4% PEG 30%


KM 6.3 ± 1.6 0.0 ± 0.0
VKM 4.7 ± 1.5 0.0 ± 0.0
MT 11.3 ± 1.5 0.1 ± 0.1
MW 10.3 ± 1.6 0.1 ± 0.0
Keterangan: KM= Kao dan Michayluk (1975) +0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l Sukrosa,
VKM= Binding dan Nels (1977) + 0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50
g/l sukrosa, MT= Murashige and Tucker (1969)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l
sukrosa, MW= Morel and Wetmore (1951) )+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l
sukrosa

A B

C D

Gambar 25. Pertumbuhan dan perkembangan protoplas membentuk koloni sel setelah
pemberian cahaya pada umur dua minggu setelah kultur
(A=penampakan kultur secara kasat mata, B, C dan D = koloni sel).

dari media MW, 6.3% dari media KM, dan 4.7% dari media VMW dari kultur hasil
fusi dengan PEG 4%. Sedangkan rata-rata jumlah koloni sel dari kultur hasil fusi
dengan PEG 30% dari media MT dan MW adalah 0.1%.

Pengenceran kultur
Untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan koloni sel ke tahap lebih
lanjut dilakukan pengenceran kultur dengan media baru dengan komposisi yang
103

sama. Pengenceran kultur suspensi koloni sel dilakukan dengan cara setiap kultur dari
cawan petri dipipet dan dimasukkan ke dalam 3 cawan petri baru (± 2 ml) yang telah
berisi 6 ml media. Cara tersebut telah barhasil dilakukan untuk mendorong
pertumbuhan dan perkembangan koloni sel menjadi mikro kalus dan kalus pada
tanaman kentang (Sihachakr 1998; Purwito 1999) dan tanaman terung (Sihachakr et
al. 1999; Husni et al. 2003).
Satu minggu setelah pengenceran koloni sel belum terlihat adanya
mikrokalus yang terbentuk, akan tetapi jumlah koloni sel yang terlihat semakin
banyak. Mikro kalus mulai muncul pada pengamatan minggu ke-2 hanya diperoleh
dari kultur yang difusi dengan PEG 4% saja, sedangkan kultur hasil fusi dengan PEG
30% tidak menghasilkan mikrokalus. Hal ini memeperlihatkan bahwa konsentrasi
PEG yang digunakan untuk induksi fuasi berpengaruh terhadap kemampuan
regenerasi. Mikro kalus yang terbentuk dapat terlihat secara jelas dengan kasat mata
berwarna putih susu (Gambar 26). Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan
koloni sel membentuk mikrokalus dipengaruhi oleh media dasar dan konsentrasi
PEG yang digunakan untuk induksi fusi. Hal ini terbukti dari mikro kalus yang
terbentuk hanya diperoleh dari protoplas hasil fusi dengan PEG 4% pada media MT
dan MW saja pada minggu ke-2, sedangkan pada media KM dan VKW belum ada.
Sampai akhir pengamatan (4 minggu setelah pengenceran) belum diperoleh
adanya mikro kalus pada kultur hasil fusi degan PEG 30%, sedangkan mikrokalus
yang terbentuk dari kultur hasil fusi dengan PEG 4% semakin banyak (Tabel 20).
Dari tabel 20 dapat dilihat bahwa semakin lama umur kultur semakin padat jumlah
mikrokalus yang terbentuk pada kultur hasil fusi dengan PEG 4%, sedangkan kultur
hasil fusi dengan PEG 30% tidak menghasilkan mikrokalus sampai akhir pengamatan.
104

A B

C D

E F

G H

Gambar 26. Penampakan kasat mata dan mikroskopik mikrokalus yang terbentuk
pada media kultur KM, VKM, MT dan MW 4 minggu setelah
pengenceran (A dan C= mikro kalus pada media KM, B dan D=
mikro kalus pada media VKM, E dan G= mikro kalus pada media MT
serta F dan H= mikro kalus pada media MW).

Rata-rata jumlah mikrokalus yang dihasilkan tidak berbeda nyata antara media MT
dan MW, akan tetapi berbeda nyata dengan media KM dan VKM. Mikro kalus yang
terbentuk pada minggu ke-2 hanya terdapat pada media MT dan MW saja dengan
rata-rata 4.3 dan 4.7. Mikrokalus kalus mulai terbentuk pada media KM dan VKM
setelah 3 minggu pengenceran. Rata-rata jumlah mikrokalus yang dihasilkan pada
105

Tabel 20. Pengaruh media kultur terhadap kemampuan koloni sel membentuk
mikrokalus (1, 2, dan 3 minggu setelah pengenceran).

Rata-rata jumlah mikrokalus/8 ml medium


Media kultur

Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4

KM 0 2.3 ± 1.5 5.7± 2.3


VKM 0 1.0 ± 1.0 4.3 ± 0.6
MT 4.3 ± 1.2 15.3 ± 3.1 23.7± 4.0
MW 4.7± 1.5 18.7 ± 1.5 28.3± 2.5
Keterangan: KM= Kao dan Michayluk (1975) +0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l Sukrosa,
VKM= Binding dan Nels (1977)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MT=
Murashige and Tucker (1969)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MW=
Morel and Wetmore (1951) )+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa.

media KM dan VKM adalah 2.3 dan 1 mikrokalus serta 15.3 pada media MT dan
18.7 pada media MW.
Bila dilihat dari tipe mikrokalus yang dihasilkan pada pengamatan minggu ke
4, mikrokalus yang berasal dari media KM dan VKM berwarna coklat kehitaman. Hal
ini mengindikasikan bahwa viabilitas dari mikrokalus tersebut menurun sehingga
kalus yang dihasilkan bersifat tidak embriogenik (4 minggu setelah kultur) jumlah
mikrokalus terus bertambah banyak pada seluruh media yang digunakan (Tabel 21).
Rata-rata embrio somatik yang dihasilkan adalah 5.7 pada media KM, 4.3 pada media
VKM, 23.7 pada media MT dan 28.3 pada media MW. Pada media kultur MW,

Tabe 21. Pengaruh media kultur terhadap kemampuan koloni sel membentuk mikro
kalus dan embrio somatik, 4 minggu setelah pengenceran.

Media Rata-rata mikro Rata-rata embrio /8 ml medium


kultur kalus/8 ml
medium Fase globular Fase torpedo Fase hati
KM 5.7 ± 2.3 0 0 0
VKM 4.3 ± 0.6 0 0 0
MT 23.7 ± 4.0 0 0 0
MW 28.3 ± 2.5 7.0 (42/6) 3.0 (18/6) 3.5 (21/6)
Keterangan: KM= Kao dan Michayluk (1975) +0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l Sukrosa,
VKM= Binding dan Nels (1977)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MT=
Murashige and Tucker (1969)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MW=
Morel and Wetmore (1951) )+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa.
106

A B

C D

F
E

G H

Gambar 27. Proses embriogenesis somatik langsung dari tahap sel tunggal embryoid
hasil fusi antara jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma sampai
menjadi plantlet pada media MW (. A dan B= Sel embrioid yang aktif
membelah, C dan D= Pre-embrio (pem), E= embrio fase globuler,
F=embrio fase torpedo, G dan H = embrio fase hati.

selain mikro kalus juga diperoleh adanya embrio somatik fase globular, torpedo, dan
hati. Adanya embrio somatik pada media MW mengindikasikan bahwa telah terjadi
proses embriogenesis langsung dari sel-sel embrioid (Gambar 27). Rata-rata
jumlah embrio somatik fase globular adalah sebanyak 7 embrio, fase torpedo
sebanyak 3 embrio, dan fase hati hati sebanyak 3.5 embrio.
107

Embriogenesis somatik mempunyai potensi morfogenik yang tinggi


membentuk individu baru dari hasil proses embriogenesis dari sel somatik yang
bersifat embrioid (von Arnold et al. 2002). Terjadinya proses embriogenesis somatik
secara langsung pada penelitian ini antara lain disebabkan oleh salah satu sumber
protoplas yang digunakan adalah kalus embriogenik dan komposisi media yang
digunakan juga sangat mendukung. Embriogenesis somatik secara langsung terjadi
dari sel-sel tunggal yang meristemoid yang bersifat embrioid (Gambar 27A) yang
aktif membelah secara terus-menerus sehingga selnya bertambah banyak (Gambar
27B ), tumbuh dan berkembang membentuk bakal embrio/preembrio (Gambar 27C
dan D), embrio somatik fase globular (Gambar 27 E), embrio somatik fase torpedo
(27F), dan fase hati (Gambar 27G dan H).

Pendewasaan dan Perkecambahan embrio somatik


Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan 42 embrio somatik tahap
globular yang dipindahkan pada media MW baru (padat) dengan penambahan 0.5
mg/l ABA diperoleh bahwa media tersebut dapat mendorong pertumbuhan dan
perkembangan struktur globular menjadi tahap lebih lanjut (fase torpedo dan hati).
Semakin lama umur kultur semakin banyak pula embrio somatik yang tumbuh dan
berkembang ke fase torpedo dan hati (Tabel 22). Setelah dua minggu pemindahan,
jumlah globular yang tumbuh dan berkembang ke fase torpedo dan hati tidak terlalu
menyolok. Jumlah embrio somatik fase torpedo sebanyak 12 dan fase hati dan
kotiledon sebanyak 6 embrio. Akan tetapi, perubahan tersebut sangat menyolok pada

Tabel 22. Pendewasaan embrio somatik fase globular menjadi fase torpedo dan hati
dalam media MW + 1.5 mg/l ABA + 500 mg/l EM umur 2 dan 4 minggu.
Fase embrio Jumlah embrio Keterangan
somatik somatik minggu ke -
2 4
Globular 24 32 Kultur membentuk kalus
Torpedo 12 19 embriogenik dan embrio
Hati dan kotiledon 6 25 somatik sekunder disekitar
kultur dengan persentase sebesar
55.3% (42/76 kultur)
108

A
B

C D

E F

Gambar 28. Proses pendewasaan dalam media MW+0.5 mg/l ABA dan
perkecambahan embrio somatik dalam media MW + 0.5 mg/l GA 3
menjadi plantlet (A= embrio somatik langsung dari hasil fusi, B dan
C= pembentukan embrio somatik sekunder pada media
pendewasaan, D dan E= perkecambahan embrio somatik, dan F=
plantlet dalam media MW).

pengamatan minggu ke empat dalam media pendewasaan. Bahkan, banyak kultur


yang membentuk kalus embriogenik (Gambar 28B) dan menghasilkan embrio
somatik sekunder (Gambar 28C) sehingga jumlahnya bertambah banyak (76 embrio).
Jumlah embrio somatik fase globular menjadi 32, fase torpedo menjadi 19 dan fase
hati dan kotiledon menjadi 25. Dari 25 embrio somatik dewasa yang dikecambahkan
dalam media yang sama dengan mengganti ABA dengan 0.5 mg GA3 diperoleh
bahwa media tersebut dapat menginduksi pertumbuhan dan perkembangannya lebih
lanjut. Kemampuan menginduksi perkecambahan yang diperoleh menghasilkan
plantlet sebanyak 19 kecambah menjadi menjadi benih somatik dengan efisisensi
109

perkecambahan sebesar 76%. Setiap individu fusan yang berkecambah dipindakan ke


media MW tanpa zat pengatur tumbuh sehingga terbentuk plantlet (Gambar 28F).
Proses pendewasaan dan perkecambahan embrio somatik dapat dilihat pada Gambar
28.

Simpulan
1. Kombinasi enzim selulase Onozuka R10-Yakult 1% dengan maserozim R10-
Yakult 1% dalam larutan CPW yang dimurnikan dengan campuran sukrosa
25% dengan manitol 13% dapat menghasilkan protoplas dengan densitas
15.7x105 protoplas/g kalus dan 13x105 protoplas/g daun.
2. Konsentrasi PEG yang digunakan untuk menginduksi fusi protoplas dari
kalus jeruk siam Simadu dengan protoplas mesofil daun in vitro berpengaruh
terhadap jumlah rata-rata protoplas berfusi yang dihasilkan. Rata-rata jumlah
protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 4% adalah 3.3
fusan yang hetero fusi, 5 fusan yang homo fusi dan multi fusi. Sedangkan
rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan
PEG 30% adalah 4.7 fusan yang hetero fusi, 6.7 fusan yang homo fusi, dan
7.7 fusan.
3. Frekuensi fusi meningkat menjadi 4.3 fusan yang hetero fusi, 6.7 yang homo
fusi, dan 7.7 multi fusi yang diinduksi dengan PEG 4% serta menjadi 5.7
fusan yang hetero fusi, 7.7 fusan yang homo fusi, dan 6.3 fusan yang multi
fusi yang diinduksi dengan PEG 30%.
4. Keberhasilan regenerasi protoplas hasil fusi pada media kultur yang
digunakan dipengaruhi oleh konsentrasi PEG yang dipakai untuk menginduksi
terjadinya fusi. Protoplas yang difusikan dengan PEG 4% dapat beregenerasi
membentuk dinding sel, melakukan pembelahan sel, koloni sel, mikro kalus
dan embrio somatik pada media, sedangkan protoplas yang difusikan dengan
PEG 30% hanya dapat beregenerasi membentuk dinding sel dan pembelahan
sel.
110

5. Media kultur yang baik digunakan untuk regenerasi adalah MW (Morel dan
Wetmor) dan MT (Murashige dan skoog). Penambahan ABA 0.5 mg/l dalam
media MW dapat mendewasakan embrio somatik dan GA 3 0.5 mg/l dapat
menginduksi perkecambahan embrio somatik menjadi plantlet dengan
efisiensi sebesar 76%.

Daftar Pustaka
Albersheim P. 1974. Strucktur and growth of cell wall in culture. In: Street HE (eds).
Tissue Culture and Plant Science. Pp379-404. Academic Press. London.

Bawa SB, Torrey JG. 1971. Budding and nuclear division in cultured protoplast of
corn, Convolvulus and union. Botan Gaz 132: 240-245.

Cabasson CM, Luro F, Ollitrault O, Grosser JW. 2001. Non-random inheritance of


mithocondrial genomes in Citrus hybrids froduced by protoplast fusion. Plant
Cell rep 20:604-609.

Cai XD, Fu J, Deng XX, Guo WW. 2007. Production and molecular characterization
of potential seedless cybrid plants between pollen steril Satsuma mandarin and
two seedy Citrus cultivars. Plant Cell Tiss Organ Cult. 90:275-283.

Calixto MC, Filho FAAM, Mendes BMJ, Vieira MLC. 2004. Somatic hybridization
between Citrus sinensis (L.) Osbeck and C. grandis (L.) Osbeck. Pesq.
Agropec. Bras. 39(7):1-6.

Carlson C, Ollitrault P, Cote FX, Michaux-Ferriere N, Dambier D, Teisson C. 1995.


Characteristics of citrus cell cultures during undifferentiated growth on
sucrose and somatic embryogenesis on galactose. Physiologa Plantarum. Vol
93: 464-470.

Constabel, F., H. Koblitz, J.W. Kirkpatrick and S. Rambold. 1980. Fusion of cell sap
vacuoles subsequent to protoplast fusion. Can. J. Bot. 58:1032-1034.

De Carvalho Costa MAP, Mendes BMJ, Filho FAAM. 2003. Somatic hybridization
for improvement of citrus rootstock: production of five new combinations
with potensial for improved disease resistance. Aust. J. Exp. Agr. 43: 1151-
1156.

Evans DA, Bravo JE. 1983. Protoplasts isolation and culture. In Ammirato PV, Evans
DA, Sharp WR, Yamada Y (eds.). Handbook of Plant Cell Culture.
MacMillan Pub Co. New York, London.
111

Fu CH, Guo WW, Liu JH, Deng XX. 2003. Regeneration of Citrus sinensis +
Clausena lansium intergeneric triploid ang tetraploid somatic hybrids and their
molecular identification. In Vitro Cell Dev. Sci.20:251-255.

Gautheret RJ. 1977. La Culture des Tissus et des celluler des vegetaur p 158-165.
Masson : Paris, New York, Barcelona, Milan.

Grosser JW and Gmitter FG Jr. 1990. Protoplast fusion and citrus improvement. Plant
Breeding Reviews. Portland, V.8, p.339-374.

Grosser JW, Gmitter FG, Tusa N, Reforgiato G, Cucinotta. 1996. Further evidence
of a cybridization requirement for plant regeneration from citrus leaf
protoplast following somatic fusion. Plant Cell Rep. 15:672-676.

Grosser JW, Ollitrault P, Olivares-Fuster O. 2000. Somatic hybridization in Citrus:


an effective tool to facilitate variety improvement. In Vitro Cell Dev Biol
Plant 36:434-449.

Grosser JW, Gmitter FG. 2005. Application of somatic hybridization and


cybridization in crop improvement, with citrus as a model. In vitro Cell Dev.
Biol Plant 39:360-364.

Guo WW., Prassad D., Cheng YJ., Serrano P., Deng XX, and grosser.2004. Targeted
cybridization in citrus: transfer of Satsuma cytoplasm to seedy cultivars for
potential seedlessness. Plant Cell rep 22:752-758.

Husni A, Wattimena GA, Mariska I, Purwito A. 2003. Keragaman genetic tanaman


terung hasil regenerasi protoplas. Jurnal bioteknologi Pertanian. 8(2):52-59.

Husni A. 2007. Penerapan teknik fusi protoplas dalam dalam perakitan jeruk lokal
tipe baru. Laporan Akhir Penelitian Riset Insentif Terapan
TA.2007.Kejasama BB-Biogen dengan Menristek. 33h.

Kao KN and Michayluh MR. 1975. Nutrition requirements for growth of Vicia
hajastana cell and protoplast at a very low population density inliquid media.
Planta. 125:105-110.

Kobayashi S, Ohgawara T, Ohgawara E, Oiyima I, Ishii IS.1988. A somatic


hybirid plant obtained by protoplast fusion between navel orange (Citrus
sinensis) and Satsuma mandarin. Plant Cell Tissue and Organ Culture 14:63-
69.

Kowalezyk TP, Mackenzie IA, andCocking C. 1983. Plant regeneration from organ
explants and protoplasts of medicinal plant Solanum khasianum CB clarke
112

var. Chatterjeeanum Sengupta (syn Solanum viarum Dunal). Z


Pflanzenphysiol 111: 55-68.

Kunitake H, Kagami H, Mii M. 1991. Somatic embrtogenesis and plant


regeneration from protoplasts of Stsuma?mandarin (Citrus unshiu Marc.)
Scientia Horticilturae, 47:27-33.

Kuntarsih S. 2007. Pengelolaan rantai pasok dengan bisnis jeruk (kasus jeruk siam
Pontianak Kabupaten Sambas). Prosiding Seminar Nasional jeruk.
Yogyakarta, 13-14 Juni 2007.

Moriguchi T, Hidaka T, Omura M, Motomura T, and Akihama T. 1996. Genotypes


and parental combination influence efficiency of cybrid induction in citrus
by electrofusion. Hort Science 31:275-278.

Ohgawara T, Kobayashi S, Ohgawara E, Uchi miya H, Ishii S. 1985. Somatic hybrids


plants obtained by protoplast fusion between (Citrus sinensis and Poncirus
tripoliata). Theor Appl Genet. 71: 1-4.

Ollitrault P, Dambier D, and Luro F. 1996. Somatic hybridization in Citrus; some


new hybrids and alloplasmic plants. Proc. Int. Soc. Citricult.2:907-912.

Purwito A. 1999. Fusi protoplas intra dan interspesies pada tanaman kentang.
Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Sihachakr D. 1998. Culture Media and Protocols for Isolation and Fusion of
Prtoplasts of Eggplant. Universite Paris sud, France (Tidak dipublikasi).

Spiegel-Roy P, Goldschmidt EE. 1996. Biology Of Citrus. Cambridge University


Press. 221 p.

Tusa N, Patta del Bosco S, Nigro F, and Ippolito A. 2000. Response of cybrids and a
somatic hybrid of lemon to Phoma tracheiphila infections. HortScience
35:125-127.

Vardi A, Breiman A, Galun E. 1987. Citrus cybrids: production by donor-recipient


protoplast fusion and verification by mitochondrial-DNA restriction profiles.
Theor. Appl. Genet., 75:51-58.

Veilleux RE, Compton ME, and Saunders JA. 2005. Use of Protoplasts for Plant
Improvement In R.N. Trigiano and D.J. Gray (Eds) Plant Development and
Biotechnology.187-200pp. CRC Press LLC.

Von Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Kyachok J, Filonova L. (2002).Developmental


pathway of somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue Organ Cult 69:233-249.
113

Xu XY, Liu JH, Deng XX. 2006. Isolations of citoplats from Satsuma mandarin
(Citrus unshiu Mrc.) and production of alloplasmic hybrid calluses via
cytoplast-protoplsat fussion. Plant Cell rep. 25:533-539.

Yamamoto M, Kobayashi S. 1995. A cybrid plant produced by electrofusion


between Citrus unshiu and C. Sinensis. Plant Tiss Cult Lett 12:131-137.

Yamamoto M, Matsumoto R, Okudai N, and Yamada Y. 1997. Aborted anthers of


Citrus result from gene-cytoplasmic male sterility. Sci Hortic 70:9-14.

Anda mungkin juga menyukai