F. Kultur Kalus dan Kultur Suspensi (Callus Cultures and Suspension cultures)
Kalus adalah kumpulan sel yang belum terdiferensiasi. Kalus terbentuk pada bekas luka atau
irisan pada organ tanaman. Secara in vitro kalus akan terbentuk pada bagian irisan/luka dari
organ yang dikulturkan, namun pada beberapa spesies tanaman, kalus dapat terbentuk pada
bagian sebelah dalam (interior).Kalus merupakan bentuk ‘antara’ sebelum terbentuknya embrio
dalam proses indirect embriogenesis somatik maupun sebelum terbentuknya organ pada indirect
organogenesis.
Kalus juga merupakan bahan stock untuk kultur suspensi.Pada kultur suspensi, kalus yang
terbentuk akan diambil dan dikulturkan pada media cair membentuk kultur cair atau kultur
suspensi. Kalus yang remah dengan mudah lepas membentuk kultur sel. Kultur sel dilakukan
dengan agitasi atau shaker (penggoyangan) untuk suplai oksigen. Pada perbanyakan tanaman
melalui kultur in-vitro, kultur sel (melalui kalus) digunakan dalam embriogenesis secara tidak
langsung (indirect embryogenesis), tetapi beberapa riset menunjukkan bahwa anakan yang
dihasilkan melalui kultur sel secara genetik bersifat tidak stabil sehingga metode ini jarang
digunakan. Kultur sel umumnya dibuat untuk produksi senyawa kimia tertentu, untuk riset-riset
yang terkait dengan investigasi jalur biosintesis senyawa tertentu ataupun riset yang terkait
dengan fi siologi sel.
Fossard (1977) membedakan kultur in-vitro pada tumbuhan tingkat tinggi menjadi 3
type kultur yaitu:
1) Kultur yang terorganisasi. Kultur yang terorganisasi adalah kultur dari tanaman yang
hampir mengandung semua bagian tanaman seperti daun, batang, akar. Contoh kultur yang
terorganisasi adalah kultur embrio dan kultur biji. Kultur organ juga termasuk dalam kultur
yang terorganisasi. Kultur yang terorganisasi ini pada dasarnya mirip dengan perbanyakan
vegetative secara in-vivo seperti pebanyakan melalui stek, tunas axiler ataupun kecambah.
Apabila struktur organisasi dari tumbuhan yang dikulturkan tidak mengalami perubahan
secara genetik maka progeni yang dihasilkan akan identic dengan tanaman induk. Apabila
ditinjau dari kestabilan genetiknya maka kultur yang terorganisasi mempunyai kestabilan
yang paling tinggi dibandingkan dengan kultur-kultur yang lain.
2) Kultur tidak terorganisasi, dalam kultur tidak terorganisasi kultur terdiri dari sekumpulan
sel bersifat meristematis dan belum terdeferensiasi, kultur ini dapat berupa kalus, agregat sel
atau sel tunggal (juga disebut suspensi sel). Kultur demikian dapat diperoleh dengan isolasi
sel atau jaringan dari bagian tanaman yang telah terdeferensiasi (terorganisasi) kemudian
melalui tahap deferensiasi kultur tumbuh menjadi sekelompok sel meristem yang tidak
terorganisasi (kalus) .
3) Kultur antara terorganisasi dan tidak terorganisasi. Type kultur ini seringkali disebut
sebagai type kultur intermediet antara type satu dan type dua diatas. Kultur intermediate
tersebut dapat diperoleh dengan cara sel atau jaringan pertama-tama diinduksi untuk
mengalami dediferensiasi untuk membentuk kalus. Dari kalus kemudian dapat berorganisasi
membentuk organ-organ seperti akar, daun ataupun tunas atau kadang- kadang dapat juga
individu-individu baru melalui pembentukan pro-embrio ataupun embrio (embryogenesis).
Organogenesis kalus membentuk struktur organ, embryogenesis atau membentuk struktur
pro-embrio dapat terjadi secara cepat. Dengan demikian struktur terorganisasi seperti tunas
ataupun akar ataupun embrio dapat berkembang dari struktur yang tidak terorganisasi
melalui manipulasi medium tumbuh yang tepat ataupun kedang-kadang dapat terjadi secara
spontan. Tanaman-tanaman yang dihasilkan dalam kultur ini sering tidak identik dengan
tanaman induk.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyani R, Purwantoro A, Indrianto A & Semiarti E. 2012. Konservasi anggrek alam Indonesia
Vanda tricolor Limdl. var. suavis melalui kultur embrio. Bumi Lestari 12 (1) : 93 98
Dwiyani R, Yuswanti H, Darmawati IAP, Suada K & Mayadewi NNA. 2015. In vitro germination
and its subsequent growth of an orchid of Vanda tricolor Lindl. var. suavis from Bali on complex
additives enriched medium. Agrivita 37 (2) : 144-150
Dwiyani R. 2013. Perkecambahan Biji dan Pertumbuhan Protokorm Anggrek dari Buah dengan
umur yang berbeda pada media kultur yang diperkaya dengan dengan ekstrak tomat. Jurnal
Hortikultura Indonesia 4(2): 90-93
Pierik, R.L.M. 1987. In-vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publishers. p. 296 – 300
Farnsworth, H.R., O. Akarele, A. S. Bingel. 1985. Medicinal plants in therapy. Bull. World Organy.
63: 465 – 481.
Farnswort, H. R. dan D.D. Soejarto. 1988. Global Importance of Medicinal Plants. In Conservation
of Medicinal Plants. Akerele, O., Heywood, V., H. Synge (eds). Cambridge University Press.
Cambridge. New York. Port Chestu. Melbourn Sydney. Dalam Symposium Penelitian. Bahan Obat
Alam VII. BALITTRO 24 – 25. November. Bogor.