Anda di halaman 1dari 13

HIJRAH RASULULLAH SAW KE MADINAH

Etimologi, Terminologi dan Epistemologi


Sebuah Analisis Kajian Sirah Nabawiyah
Ditulis oleh : Amien Nurhakim1

Pendahuluan

Hijrah dalam Islam merupakan peristiwa yang sangat penting, mengingat hijrah sebagai
strategi Nabi Muhammad Saw dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Jazirah Arab dan
menyelamatkan pengikutnya yang kala itu belum menjadi golongan mayoritas. Sebab hijrah
ini pula – khususnya hijrah ke Madinah – menjadikan Islam sebagai komunitas yang merdeka
dan kuat serta bangkit dari kelemahan setelah sebelumnya tertindas di Mekkah. 2

Di Mekkah, umat muslim banyak mendapat gangguan, dari mulai cemoohan, siksaan
hingga pembunuhan. Hijrah memiliki proses sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah.
Ke satu tempat kemudian ke tempat lainnya. Dimulai dari Abyssinia hingga ke Madinah.3 Di
Madinah, umat Islam memiliki kedudukan yang strategis dan pertahanan politik yang kokoh
pasca Nabi Muhammad membuat piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di
Madinah agar terjadi persatuan antar golongan.4 Dari sinilah kita memahami fungsi hijrah dan
posisinya dalam penyebaran agama Islam.

John L. Esposito dalam karyanya ”The Islamic Threat: Myth or Reality?” menyebutkan,
“Muhammad's move to Medina signaled a major transformation in history from a pre-Islamic
pagan past to a divinely guided and centered world in which tribal kinship was to be
superseded by membership in a community (ummah) bound together by common religious
belief.”5

Pemaparan Esposito adalah sebuah penegasan bahwa hijrah memiliki pengaruh yang
luar biasa berupa transformasi besar yang terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia, dari

1
Penulis adalah mahasiswa Magister Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1985), Jilid I, h. 92.
3
Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 85
4
Muhammad Jamal al-Din Surur, Qiyam al-Dawlah al-‘Arabiyyah al-Islāmiyyah fi Hayati Muhammad
SAW, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1977), h, 95.
5
John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality?, (New York: Oxford University Press, 1992),
h. 29
masa pagan Pra-Islam kepada kepercayaan yang berpusat pada Tuhan, di mana kekerabatan
suku yang melekat dan menjadi budaya bangsa Arab – yang hingga sekarang masih ada – harus
digantikan oleh persatuan komunitas atau umat yang diikat oleh keyakinan agama yang sama.

Hijrah Nabi Muhammad Saw ke Madinah menjadi titik awal penanggalan tahun hijriah
sebagaimana diuraikan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqallani dalam kitabnya, Fath al-Bārī. Al-Hākim
meriwayatkan dari Sa’īd bin al-Musayyib, “Khalifah Umar pernah mengumpulkan orang-
orang dan bertanya kepada mereka mengenai sesuatu yang dapat dijadikan titik awal dalam
penanggalan tahun hijriah. Ali bin Abi Thālib menjawab, “Awal hari Nabi pergi hijrah ke
Madinah dan meninggalkan tempat tinggal orang musyrik.” Maka Umar pun memerintahkan
untuk menetapkan hari hijrahnya Nabi Muhammad Saw sebagai hari pertama pada tahun
hijriah.6

Selain menjadi peristiwa penting dan berharga yang dicatat oleh sejarah, hijrah juga
menggambarkan akhlak dan budi pekerti Nabi Muhammad Saw yang mulia. Hijrah melukiskan
kesabaran Nabi Saw dalam menanggung beban dan cobaan demi tegaknya kalimatullah.

Peristiwa hijrah, selain dipenuhi nilai keteladanan bagi umat Islam, ia juga menjadi
bahasan yang menarik di kalangan pengkaji dan peneliti di seluruh dunia, baik Barat maupun
Timur.7 Sayang rasanya sebagai sarjana muslim kita luput dari kajian tentang hijrah, baik
secara etimologi, terminologi hingga epistemologi dan perkembangan hingga pengaruhnya
sampai hari ini. Demikianlah pengantar awal dari tulisan tentang hijrah pada makalah ini,
adapun pembahasan-pembahasan mengenai perjalanan hijrah dan semua yang berkaitan
dengannya akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.

6
Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Fath al-Bāri bi Syarh Shahīh al-Bukhārī, (Beirut: Dar el-Fikr, t.t), juz. 7, h.
269
7
Di Timur pembahasan hijrah tentunya diselipkan di berbagai kitab sirah, dari mulai ulama klasik seperti
Ibnu Hisyam dengan karyanya Sīrah al-Nabawiyah atau biasa disebut dengan Tārīkh Ibn Hisyām, hingga
kontemporer seperti Dr. Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buthi dalam karyanya Fiqh al-Sīrah: Dirāsāt Manhajiyah
‘Ilmiyyah li Sīrah al-Mushthafā ‘alaihi al-shalāt wa al-salām. Di Barat kita menemukan Ismaʿīl R. Al Fārūqī
dengan karyanya The Hijrah, dan John L. Esposito dalam karyanya The Islamic Threat: Myth or Reality? Yang
memasukkan pembahasan hijrah di dalamnya.
Hijrah: Etimologi, Terminologi dan Epistemologi

Hijrah adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu tiga huruf Ha Ja dan Ra
(‫)هجر‬. Ibnu Manzūr dalam karyanya Lisān al-‘Arab menyebutkan kata ‫ هجر‬yang artinya
memutus adalah antonim dari kata ‫ وصل‬yang artinya menyambung.8 Dalam sebuah hadis
riwayat Imam Muslim disebutkan:

ِ ‫ال يَحِ ُّل ِل ُم ْسل ٍِم أ َ ْن يَ ْه ُج َر أَخَاهُ فَ ْوقَ ث َ ََل‬


‫ث لَيَا ٍل‬

Artinya: “Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih
dari tiga malam”.

Dalam al-Mu’jam al-Wasīth disebutkan kata ‫ هجر‬bermakna meninggalkan, menjauh


dan berjalan di waktu siang hari di bawah terik panas. Sedangkan pengembangan kata dari ‫هجر‬
salah satunya adalah ‫ هاجر‬yang bermakna meninggalkan negerinya.9 Dalam Al-Quran surat al-
Hasyr ayat 9 disebutkan:

َ‫ُور ِه ْم َحا َجةً ِم َّما أُوت ُوا َويُؤْ ث ُِرون‬


ِ ‫صد‬ َ ‫َوا َّلذِينَ ت َ َب َّو ُءوا الد‬
ِ ْ ‫َّار َو‬
ُ ‫اْلي َمانَ ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم يُحِ بُّونَ َم ْن هَا َج َر ِإلَ ْي ِه ْم َو َال َي ِجدُونَ فِي‬
َ‫صةٌ ۚ َو َم ْن يُوقَ شُ َّح نَ ْف ِس ِه فَأُو ٰلَئِكَ هُ ُم ا ْل ُم ْف ِلحُون‬َ ‫صا‬ َ ‫علَ ٰى أ َ ْنفُ ِس ِه ْم َولَ ْو َكانَ بِ ِه ْم َخ‬
َ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah
kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS
Al-Hasyr: 9).

Kamus Besar Bahasa Indonesia memasukkan kata hijrah di dalamnya, dalam artian kata
ini sudah masuk dalam kata yang diadopsi dari bahasa Arab ke Indonesia. Tertulis di sana:
hijrah yaitu berpindahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke Medinah untuk
menyelamatkan diri dari tekanan kaum Quraisy; berpindah atau menyingkir sementara waktu
dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik. Kata menghijrahkan berarti memindahkan;
mengungsikan.10

Ibnu Manzūr al-Mishrī, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dār Shādir, cetakan pertama, t.t), juz 5, h. 250
8

Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu’jam al-Wasīth, (Alexandria: Dar al-Da’wah), juz 2, h. 973
9
10
Tim Penyusun / Redaksi Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 544
Beberapa kata di atas menyimpulkan bahwa hijrah memiliki padanan makna yang
terkait dengan berpindah, baik dari satu tempat ke tempat lain, atau satu sikap kepada sikap
lainnya11 hingga makna umum dari kata berpindah itu sendiri yang mencakup segala aspek.

Adapun hijrah secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sedikit
mewakili hakikat hijrah. Kendati demikian, banyak definisi-definisi terkait term hijrah yang
berbeda-beda tergantung kaitannya dengan satu disiplin keilmuan. Ada hijrah dalam konsep
ilmu kependudukan dan sosial atau dapat kita sebut imigrasi. Kendati banyak, pada tulisan ini
kami hanya fokus kepada hijrah yang ditinjau dari segi histori-syariah saja.

Al-Sindī menyebutkan dalam Hāsyiah-nya atas kitab Sunan al-Nasā’ī hijrah adalah
meninggalkan tanah air dan berpindah ke Madinah untuk memperkuat posisi Nabi Muhammad
Saw dan orang-orang muslim serta menolong mereka dari permusuhan orang-orang kafir.12 Al-
Jurzānī dalam Mu’jam al-Ta’rīfāt menyebutkan, hijrah adalah meninggalkan daerah tempat
tinggal orang-orang kafir ke daerah tempat tinggal orang-orang Islam.13 Sedangkan dalam satu
artikel Britanica disebutkan: Hijrah, (Arabic: “Migration” or “Emigration”) also spelled
Hejira or Hijra, Latin Hegira, the Prophet Muhammad’s migration (622 CE) from Mecca to
Yathrib (Medina) upon invitation in order to escape persecution. After arriving, Muhammad
negotiated the Constitution of Medina with the local clans, thereby establishing the Muslim
community as a sociopolitical entity for the first time.14

Tiga definisi di atas mengerucut kepada perpindahan Nabi Muhammad Saw dari
Mekkah ke Madinah, untuk menghindari penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir di
Mekkah. Kata kafir yang menjadi kunci dari dua definisi pertama merujuk kepada klasifikasi
definisi ini yang masuk kepada disiplin ilmu syariah, juga kondisi sosial yang terjadi pada masa
itu, yaitu Islam sebagai agama yang masih minoritas dan kepercayaan-kepercayaan selain

11
Dalam sebuah hadis disebutkan makna hijrah adalah mengubah kebiasaan dari berlaku perbuatan buruk
berupa kemaksiatan menjadi perilaku yang baik berupa ketaatan kepada Allah Swt. Hadis tersebut diriwayatkan
oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dari Nabi Muhamad Saw dengan redaksi:
.‫علَي ِه‬
َ ‫ ُمتَّف ٌَق‬.))ُ‫ع ْنه‬
َ ُ‫اج ُر َم ْن ه ََج َر َما نَ َهى هللا‬
ِ ‫ َوال ُم َه‬،ِ‫سانِ ِه َويَ ِده‬ ْ َ‫سل َِم ال ُم ْس ِل ُمون‬
َ ‫مِن ِل‬ َ ‫ال ُم ْس ِل ُم َم ْن‬
Muslim ialah orang yang semua orang Islam selamat dari kejahatan lidah -ucapan -dan kejahatan
tangannya-perbuatannya. Muhajir ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah padanya."
(Muttafaq 'alaih).
12
Jalāluddīn al-Suyūthī dan Muhammad Hayat bin Ibrahim Al-Sindi, Hāsyiyah al-Suyūthi wa al-Sindī
‘ala Sunan al-Nasā`ī, (t.t, t. h), juz 5. H. 465
13
Ali bin Muhammad al-Jurjānī, al-Ta’rīfāt, (Beirut: Dār el-Kitāb al-‘Arabī, cetakan pertama, 1405 H),
h. 319
14
Britannica, The Editors of Encyclopaedia. "Hijrah". Encyclopedia Britannica, 12 May. 2020,
https://www.britannica.com/event/Hijrah-Islam. Diakses pada 1 Oktober 2021.
Islamlah yang kala itu mendominasi. Dalam konteks ini, dapat disimpulkan juga bahwa hijrah
adalah perpindahan dari tempat berbahaya ke tempat aman.

Hijrah ke Madinah
1. Nabi Saw Mengizinkan Para Sahabat Hijrah ke Madinah

Ketika jumlah pengikut Nabi mencapai tujuh puluh orang, Rasulullah Saw merasa
senang. Karena Allah membuatkannya benteng pertahanan dari suatu kaum yang memiliki
keahlian peperangan, persenjataan dan pembelaan. Tetapi permusuhan dan penyiksaan kaum
musyrik terhadap kaum Muslimin semakin gencar dan berat. Mereka menerima cacian dan
siksaan yang tidak mereka alami sebelumnya. Hingga pada akhirnya para sahabat memohon
kepada Nabi untuk berhijrah. Pengaduan dan permintaan izin ini dijawab oleh Rasulullah Saw,
“Sesungguhnya aku pun telah diberitahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Siapa pun yang
ingin keluar, maka hendaklah keluar ke Yatsrib”. Demikianlah yang diceritakan oleh Aisyah
RA.

Kemudian para sahabat berangkat ke Madinah secara diam-diam. Adapun sahabat yang
pertama kali sampai di sana ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, lalu Amir bin Rab’ah bersama
istrinya, Laila binti Abi Hasyamah yang merupakan wanita pertama yang sampai di Madinah.
Setelah itu para sahabat datang bergelombang, mereka mendapat jamuan dan tempat tinggal
serta perlindungan yang disediakan oleh kaum Anshar. Para sahabat tidak ada yang berani
hijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin Khatthab saja. Dituturkan oleh Ali bin Abi
Thalib, ketika Umr hendak hijrah, ia membawa pedang, busur panah dan tongkat di tangannya
menuju Ka’bah. Kemudian sambil disaksikan oleh tokoh-tokoh Quraisy, Umar melakukan
Tawaf tujuh kali dengan tenang. Setelah itu ke maqam untuk melaksanakan salat. Kemudian
berdiri sambil berkata, “Celakalah wajah-wajah ini! Wajah-wajah yang akan dikalahkan Allah!
Siapa pun seorang ibu yang ingin kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau
anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini. Tidak ada
seorang pun berani mengikuti Umar kecuali kaum lemah yang telah diberitahu oleh Umar.
Perjalanan Umar lancar dan aman.15

Dari sini ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, keikhlasan para sahabat
yang dapat kita tiru, karena mereka meninggalkan harta dan tanah airnya demi Islam. kedua,

15
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Robbani Press, 1999), hal. 151
kita dapat meneladani kesabaran mereka menghadapi ujian, siksaan dan cacian dari orang-
orang musyrik. Ketiga, sifat penolong dan murah hati dari orang-orang Madinah yang
melindungi saudara sesama Muslim. Adapun hukum Syariat yang timbul dari peristiwa ini
adalah, 1) Wajib berhijrah dari Darul Harbi ke Darul Islam. 2) Selama masih memungkinkan,
sesama kaum Muslim wajib memberi pertolongan.

2. Hijrah Rasulullah Saw

Pasca kamu Muslimin banyak yang berhijrah ke Madinah, terlintas dalam benak Abu
Bakar RA untuk berhijrah. Ia pun meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk pergi hijrah,
namun Rasulullah menjawabnya supaya jangan tergesa-gesa, Rasulullah Saw ingin
memperoleh izin dari Allah Swt terlebih dahulu. Menjawab demikian, Abu Bakar bertanya,
“Apakah engkau menginginkannya juga?”, “Ya” Jawab Nabi Saw.16

Ketika kaum Quraisy mengetahui perihal hijrahnya orang-orang Muslim, mereka


curiga bahwa Nabi Saw memiliki pendukung dan sahabat dari luar Makkah yang sedang
menghimpun kekuatan dan nantinya menyerang mereka. Menyikapi hal tersebut, mereka
mengadakan pertemua di Darun Nadwah (Rumah Qushayy bin Kilab, tempat aum Quraisy
memutuskan perkara). Mereka mendiskusikan kiranya bagaimana mereka menyikapi hal ini.
Rapat tersebut memunculkan kesepakatan untuk mengumpulkan orang-orang terkuat dari
setiap kabilah Qurasiy, masing-masing mereka diberi pedang dan bersama-sama membunuh
Muhammad. Dengan menghimpun orang-orang terkuat, maka Bani Abdi Manaf tidak berani
melancarkan serangan terhadap semua orang Quraisy. Setelah penentuan hari eksekusi
keputusan untuk membunuh Nabi, malaikat Jibril datang untuk menghimbau Nabi untuk
berhijrah dan melarangnya untuk tidur di tempat tidurnya malam.17

Dikisahkan dalam Shahīh al-Bukhāri, Aisyah RA menceritakan: Pada suatu hari kami
duduk di rumah Abu Bakar RA, tiba-tiba ada seorang yang berkata kepada Abu Bakar.
“Rasulullah Saw datang, padahal beliau tidak biasa datang kemari pada saat seperti ini. Abu
Bakar berkata, "Demi Allah, Rasulullah Saw datang pada saat seperti ini, tentunya ada suatu
kejadian penting”. Aisyah RA melanjutkan, “Kemudian Rasulullah Saw datang dan meminta
izin untuk masuk”. Setelah dipersilakan masuk oleh Abu Bakar, Rasulullah Saw pun masuk ke

16
Al-Bukhari Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, (Dar Thawqu Najah, cetakan pertama, 1422),
juz 5, h. 58
17
Ibnu Hisyam, al-Sīrah al-Nabawiyah, (Beirut: Dar el-Jail, 1411), Juz 3, h. 8
rumah, lalu berkata kepada Abu Bakar, “Suruhlah keluargamu keluar rumah”. Abu Bakar
menjawab, “Wahai Rasulullah tidak ada siapa-siapa kecuali keluargaku”. Rasulullah Saw
menjelaskan, "Allah telah mengizinkan aku berangkat hijrah.” Kemudian Abu Bakar bertanya,
"Apakah aku dapat menemani Anda, wahai Rasulullah?” “Ya, engkau akan menemani aku”.
Jawab Nabi.18

Kemudian Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, ambillah salah satu dari dua ekor
untaku”. Jawab Rasulullah Saw “Baik, namun dengan harga [untuk aku beli]”.

Aisyah RA menceritakan dengan lengkap, “Kemudian kami mempersiapkan segala


keperluan secepat mungkin, dan kami buatkan bekal makanan yang kami bungkus dalam
kantung terbuat dari kulit. Lalu Asma binti Abi Bakar memotong ikat pinggangnya untuk
mengikat mulut kantong itu, sehingga dari tindakannya itu ia mendapatkan sebutan 'pemilik
dua ikat pinggang’. Kemudian Rasulullah Saw menemui Ali bin Abi Thalib dan
memerintahkannya untuk menunda keberangkatannya hingga selesai mengembalikan barang-
barang penduduk Mekkah yang ada pada Rasul. Pada masa itu setiap orang di Makkah yang
merasa khawatir terhadap barang miliknya yang berharga mereka selalu menitipkannya kepada
Rasulullah Saw, karena mereka mengetahui kejujuran dan kesetiaan beliau dalam menjaga
barang-barang amanat.

Di sisi lain, Abu Bakar memerintahkan anak lelakinya, Abdullah supaya mencari
informasi di khalayak umum untuk disampaikan pada sore harinya kepadanya di dalam gua.
Selain Abdullah, kepada bekas budaknya bernama Amir bin Fahirah, Abu Bakar juga
memerintahkan supaya menggembalakan kambingnya di siang hari, dan pada sore harinya
supaya di giring ke gua untuk diperah air susunya, di samping menghapuskan jejak. Kepada
Asma', Abu Bakar menugasinya supaya membawa makanan kepadanya setiap sore.

Pada malam hijrah Nabi Saw orang-orang musyrik telah menunggu di pintu Rasulullah
saw. Mereka mengintai hendak membunuhnya. Tetapi Rasulullah Saw lewat di hadapan
mereka dengan selamat, karena Allah telah mendatangkan rasa kantuk pada mereka. Sementara
itu Ali bin Abi Thalib dengan tenang tidur di atas tempat tidur Rasulullah Saw setelah
mendapatkan jaminan dari beliau bahwa mereka tidak akan berbuat kejahatan terhadapnya.
Maka berangkatlah Rasulullah Saw bersama Abu Bakar menuju gua Tsur. Peristiwa ini
menurut riwayat yang paling kuat terjadi pada tanggal 2 Rabi'ul Awwal, bertepatan dengan 20

18
Al-Bukhari Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, juz 7, h. 145
September 622 M, tiga belas tahun setelah bi'tsah.19 Kemudian Abu Bakar memasuki gua
terlebih dahulu untuk melihat barangkali di dalamnya ada binatang buas atau ular. Di gua inilah
keduanya menginap selama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar menginap
bersama mereka, kemudian turun ke Makkah pada waktu Subuh. Sementara Amir bin Fahirah
datang ke gua dengan kambing-kambingnya untuk menghapuskan jejak kaki Abdullah.

Dalam pada itu, kaum musyrik-setelah mengetahui keberangkatan Nabi saw- mencari
Rasulullah Saw dengan mengawasi semua jalan ke arah Madinah, dan memeriksa setiap
persembunyian, bahkan sampai ke gua Tsur. Saat itu Rasulullah Saw dan Abu Bakar
mendengar langkah-langkah kaki kaum musyrik di sekitar gua, sehingga Abu Bakar merasa
khawatir dan berbisik kepada Nabi Saw, “Seandainya di antara mereka ada yang melihat ke
arah kakinya, niscaya mereka akan melihat kami, “Tetapi dijawab oleh Nabi Saw, “Wahai Abu
Bakar, jangan kamu kira kita hanya berdua saja. Sesungguhnya Allah bersama kita”.

Allah menutup mata kaum musyrik sehingga tak seorang pun melihat ke arah gua itu,
dan tak seorang pun di antara mereka berpikir tentang apa yang ada di dalamnya.

Setelah tidak ada lagi yang mencari, dan setelah datang Abdullah bin Uraiqith, seorang
pemandu jalan yang dibayar untuk menunjukkan jalan rahasia ke Madinah, berangkatlah
keduanya menyusuri jalan pantai dengan dipandu oleh Abdullah bin Uraiqith itu. Pada waktu
itu kaum Quraisy mengumumkan tawaran, bahwa siapa saja yang dapat menangkap
Muhammad Saw dan Abu Bakar akan diberi hadiah sebesar harga diyat (tebusan) masing-
masing dari keduanya.

Pada suatu hari, ketika sejumlah orang dari Bani Mudjil sedang mengadakan
pertemuan, di antara mereka terdapat Suraqah bin Ja'tsam, tiba-tiba datang kepada mereka
seorang lelah sambil berkata, “Saya baru saja melihat beberapa bayangan hitam di pantai. Saya
yakin mereka-adalah Muhammad dan sahabatnya.” Suraqah pun mafhum bahwa mereka
adalah Muhammad Saw, tetapi dengan pura-pura ia berkata, “Bukan, mereka adalah si Fulan
dan si Fulan yang sedang bepergian untuk suatu keperluan.” Ia berhenti sejenak, kemudian
menunggang kudanya untuk mengejar rombongan itu, hingga ketika telah sampai di dekat
Rasulullah Saw tiba-tiba kudanya tersungkur, dan dia pun jatuh terpelanting. Kemudian dia
bangun dan mengejar kembali sampai mendengar bacaan Nabi saw. Berkali-kali Abu Bakar
menoleh ke belakang, sementara Rasulullah Saw berjalan terus dengan tenang. Tetapi tiba-tiba

19
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, 155
Suraqah terhempas lagi dari punggung kudanya dan jatuh terpelanting. Ia bangun lagi dengan
tubuh berlumuran tanah, kemudian berteriak memanggil-manggil minta diselamatkan.

Tatkala Rasulullah Saw dan Abu Bakar menghampirinya, ia meminta maaf dan mohon
supaya Nabi Saw sudi berdoa memohonkan ampunan untuknya, dan kepada Nabi Saw ia
menawarkan bekal perjalanan. Oleh Nabi Saw dijawab, “Kami tidak membutuhkan itu! Yang
kuminta supaya engkau tidak menyebarkan berita tentang kami” Suraqah menyahut, “Baiklah”.

Maka pulanglah Suraqah. Dan setiap bertemu dengan orang-orang yang mencari-cari
Rasulullah Saw, dia selalu menyarankan supaya kembali saja. Suraqah berubah drastis,
awalnya ingin membunuh Nabi Saw, di kemudian hari berubah loyal kepada Nabi Saw.

3. Hikmah Hijrah Nabi20

Dari perjalanan hijrah Nabi Saw beserta pengikutnya kita mendapati bahwa akidah dan
syiar Islam adalah hal terpenting yang menjadikan segala sesuatu menjadi kokoh. Persahabatan
yang didasari nilai akidah dan akhlak yang terpuji akan bertahan lama dibanding yang tidak
didasari dengannya. Begitu pun suatu komunitas masyarakat dan negara, akan menjadi lebih
kokoh apabila memegang teguh prinsip-prinsip akidah dan akhlak sebagaimana yang telah
diwariskan oleh Nabi Saw.

Hijrah Rasulullah Saw ke Madinah secara lahiriah dan materiil merupakan kerugian
yang besar, sebab beliau harus meninggalkan dan mengorbankan tanah air dan hartanya.
Kendati demikian, pada hakikatnya hijrah merupakan bentuk perlindungan untuk agama dalam
masa tertentu, sehingga dengan adanya hijrah, nilai-nilai ajaran Islam tetap terpelihara dan
berkat itu pula Mekkah dapat direbut kembali pada tahun-tahun setelah itu.

Ada beberapa hikmah yang terkandung dalam peristiwa ini. Pertama, hal yang paling
menonjol dalam kisah hijrah Rasulullah Saw ini ialah pesan beliau kepada Abu Bakar supaya
menunda keberangkatannya untuk menemaninya dalam perjalanan hijrah. Dari peristiwa ini
para ulama menyimpulkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling dicintai dan dekat
dengan Rasulullah Saw sehingga menjadi orang yang paling berhak menjadi khalifah
sesudahnya.

20
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, 161
Kedua, mungkin akan terlintas dalam benak seorang Muslim untuk membandingkan
hijrah Umar bin Khatthab dan hijrahnya Nabi Saw. Mengapa Nabi Saw tidak hijrah terang-
terangan sebagaimana Umar, apakah tandanya Nabi tidak lebih berani daripada Umar?
Jawabannya adalah tindakan Umar dan orang muslim lainnya itu berimplikasi kepada dirinya
sendiri dan tidak menjadi hukum yang ditetapkan dalam syariat, sedangkan perilaku Rasulullah
Saw merupakan syariat yang ditetapkan di kemudian hari, oleh karena itu beliau lebih memilih
jalan yang sesuai dengan rasional manusia umum lainnya. Seandainya Rasulullah Saw
melakukan seperti yang dilakukan oleh Umar RA, niscaya orang-orang yang mengira bahwa
cara dan tindakan seperti itu adalah wajib; yakni tidak boleh mengambil sikap hati-hati dan
bersembunyi ketika keadaan bahaya. Padahal, Allah menegakkan syariat-Nya di dunia ini
berdasarkan tuntutan sebab dan akibat. Bahkan segala sesuatu ini pada hakikatnya terjadi
dengan sebab dan kehendak dari Allah.

Ketiga, tugas Ali RA menggantikan Rasulullah Saw dalam mengembalikan barang-


barang titipan yang dititipkan oleh para pemiliknya kepada Nabi Saw merupakan bukti nyata
bagi sikap kontradiktif yang diambil oleh kaum musyrik. Pada satu sisi mereka mendustakan
Nabi Saw dengan menganggapnya sebagai tukang sihir dan penipu, di sisi lain mereka tidak
menemukan orang yang lebih jujur daripada Nabi Saw. Perjuangan Ali juga dinilai sebagai
sikap yang idealnya dimiliki seorang pemuda, gigih dan berjuang.

Keempat, sambutan masyarakat kepada Rasulullah Saw memberikan gambaran kepada


kita betapa besar kecintaan yang telah merasuki hati kaum Anshar. Setiap hari mereka keluar
di bawah terik matahari ke pintu gerbang kota Madinah menantikan kedatangan Rasulullah
Saw. Hingga apabila matahari terbenam mereka kembali untuk menantikannya esok hari.
Ketika Rasulullah Saw.

4. Hijrah Nabi Saw Dalam Perspektif Sosio-Historis

Salah satu penyebab hijrahnya Nabi Saw antara lain adalah adanya ancaman dan
siksaan dari kaum Quraisy yang kala itu makin parah. Adanya intimidasi tersebut menimbulkan
pertanyaan mengapa mereka begitu memusuhi Nabi Saw, apakah karena faktor kepercayaan
baru semata atau ada hal lain. Juga mengapa masyarakat Madinah mudah memercayai Nabi
Saw bahkan mengundang untuk berhijrah.
a. Ancaman bagi perekonomian Quraisy

Sebelum Islam datang, Mekkah adalah pusat perdagangan internasional 21 sejak abad
ke-6 Masehi.22 Sebagaimana di Indonesia, ketika tempat menjadi lokasi peribadatan suatu
kaum, atau memiliki unsur sakral seperti makam-makam para wali, maka memunculkan
kemungkinan adanya perdagangan baik skala kecil maupun besar. Di Mekkah kala itu terdapat
berhala-berhala dari berbagai suku di jazirah Arab yang disembah di setiap musim haji.

Kondisi Mekkah yang demikian membawa keuntungan tersendiri bagi kaum Quraisy
yang merupakan suku yang menguasai Kabah serta perdagangannya. Hal yang membuat orang-
orang Mekah kehilangan nilai-nilai humanisme kesukuan mereka disebabkan oleh krisis moral
dan sosial ketika mereka meninggalkan tatanan ekonomi nomadik dan memasuki tatanan
ekonomi perdagangan atau ekonomi kapitalis.23 Kaum Quraisy melihat ajaran yang dibawa
Nabi Saw mengancam perekonomian mereka. Ajaran Islam yang membawa kesetaraan dan
tinggi rendahnya derajat bergantung kepada keimanan membuat kaum Quraisy terancam. Hal
ini merupakan salah satu sebab mengapa kaum Quraisy mengintimidasi Nabi Saw dan
pengikutnya, sehingga kondisi Mekkah secara sosio-kultural sama sekali tidak memberi
peluang bagi Islam. oleh sebab itulah kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah. 24

b. Pertolongan dari Madinah

Masyarakat Madinah yang menolong orang-orang yang hijrah disebut dengan Anshar,
karena makna Anshar itu sendiri adalah orang-orang yang memberi pertolongan. Jauh sebelum
mengundang Nabi Saw dan pengikutnya perlu bagi kita mengetahui sosio-kultur masyarakat
Madinah. Berbeda dengan Mekah yang tandus, di Madinah terdapat lahan subur (oasis) kurang
lebih 20 mil persegi. Sehingga penduduk Madinah banyak yang hidup dari pertanian. 25 Di
samping itu, baik Watt maupun Syaban mengakui bahwa daerah ini juga memiliki hubungan
dagang dengan Syiria, meskipun tak sebesar skala perdagangan Mekah.26

21
Watt, W. Montgomery, Muhammad Prophet and Statesman, (London : Oxford University Press,
1969), h. 47
22
Syaban, M.A. 1983. Sejarah Islam 600-750 M. (Penafsiran Baru), terj. : Machnun Husein, (Jakarta:
Citra Niaga Raja-wali Press, Cetakan pertama), h. 5
23
Watt, W. Montgomery, Muhammad Prophet and Statesman, h. 79
24
Hamka, Hijrah Dalam Perspektif Sosial Kultural Historis, Jurnal Hunafa Vol 2, 2005, h. 120
25
Hamka, Hijrah Dalam Perspektif Sosial Kultural Historis, h. 120
26
Watt, W. Montgomery, Muhammad Prophet and Statesman, h. 84, Syaban, M.A. 1983. Sejarah
Islam 600-750 M, h. 12
Kedua, Rasulullah Saw dan masyarakat Mekkah merupakan orang yang mumpuni
dalam perdagangan. Sebagai orang yang bergulat dalam bidang perdagangan dan orang yang
banyak diamanahi barang-barang berharga milik orang Mekkah, Nabi Saw telah dipandang
masyarakat Madinah sebagai orang yang ahli dan piawai dalam bidang ini.

Ketiga, bagi orang Yahudi, kedatangan Rasulullah diharapkan dapat membantu mereka
untuk membentuk Jazirah Arab, sehingga dapat membendung kemungkinan serangan orang-
orang Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina.27

27
Heikal Muhammad Husein. 1994. Hayat Muhammad, terj. : Ali Audah, Sejarah Hidup Muhammad,
(Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. XVII, h. 196
Daftar Pustaka

Al-Bukhari Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, (Dar Thawqu Najah, cetakan pertama,
1422)
Ali bin Muhammad al-Jurjānī, al-Ta’rīfāt, (Beirut: Dār el-Kitāb al-‘Arabī, cetakan pertama,
1405 H)
Britannica, The Editors of Encyclopaedia. "Hijrah". Encyclopedia Britannica, 12 May. 2020,
https://www.britannica.com/event/Hijrah-Islam. Diakses pada 1 Oktober 2021.
Hamka, Hijrah Dalam Perspektif Sosial Kultural Historis, Jurnal Hunafa Vol 2, 2005, h. 120
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1985)
Heikal Muhammad Husein. 1994. Hayat Muhammad, terj. : Ali Audah, Sejarah Hidup
Muhammad, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. XVII
Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Fath al-Bāri bi Syarh Shahīh al-Bukhārī, (Beirut: Dar el-Fikr, t.t)
Ibnu Hisyam, al-Sīrah al-Nabawiyah, (Beirut: Dar el-Jail, 1411)
Ibnu Manzūr al-Mishrī, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dār Shādir, cetakan pertama, t.t)
Ibrahim Mustafa dkk, al-Mu’jam al-Wasīth, (Alexandria: Dar al-Da’wah)
Jalāluddīn al-Suyūthī dan Muhammad Hayat bin Ibrahim Al-Sindi, Hāsyiyah al-Suyūthi wa al-
Sindī ‘ala Sunan al-Nasā`ī, (t.t, t. h)
John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality?, (New York: Oxford University Press,
1992)
Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad
Muhammad Jamal al-Din Surur, Qiyam al-Dawlah al-‘Arabiyyah al-Islāmiyyah fi Hayati
Muhammad SAW, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1977)
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Robbani Press, 1999)
Syaban, M.A. 1983. Sejarah Islam 600-750 M. (Penafsiran Baru), terj. : Machnun Husein,
(Jakarta: Citra Niaga Raja-wali Press, Cetakan pertama)
Tim Penyusun / Redaksi Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
Watt, W. Montgomery, Muhammad Prophet and Statesman, (London : Oxford University
Press, 1969)
Watt, W. Montgomery, Muhammad Prophet and Statesman, h. 84, Syaban, M.A. 1983. Sejarah
Islam 600-750 M

Anda mungkin juga menyukai