Anda di halaman 1dari 25

SKRIPSI

EVALUASI KESESUAIAN KARAKTERISTIK LIMBAH


CAIR PABRIK KELAPA SAWIT UNTUK
APLIKASI LAHAN

EVALUATION OF PALM OIL MILL EFFLUENT


CHARACTERISTICS SUITABILITY FOR
LAND APPLICATION

Muhammad Ferdi Alfadly


05101181924006

PROGRAM STUDI ILMU TANAH


JURUSAN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2024
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kehadiran industri dan perkembangannya yang sangat pesat tidak
akan terlepas dari aspek lingkungan, salah satunya adalah industri kelapa
sawit. Indonesia merupakan negara dengan perkembangan industri kelapa
sawit terbesar di dunia dimana jumlah produksinya mencapai hingga 48,24
juta ton minyak kelapa sawit mentah dengan luas perkebunan kelapa sawit
mencapai 16,38 juta hektar dan diproyeksikan akan terus meningkat per
tahunnya seiring dengan peningkatan kebutuhan minyak nabati dunia
(Badan Pusat Statistik Indonesia, 2022).
Peningkatan luas lahan kelapa sawit akan sebanding dengan
meningkatnya jumlah pabrik kelapa sawit di Indonesia. Pabrik akan
mengolah buah kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO) yang
merupakan produk ekspor. Selain CPO, pabrik kelapa sawit juga
menghasilkan 75% limbah, berupa limbah padat dan limbah cair
(Pandapotan dan Marbun, 2017). Menurut Gusrawaldi et al., (2020), jumlah
limbah cair yang dihasilkan secara umum sebesar 60% dari setiap ton
tandan buah segar kelapa sawit yang diolah menjadi minyak kelapa sawit.
Selain itu, dalam produksi 1 ton minyak mentah membutuhkan 5-7 ton air
dan lebih dari 50% berakhir sebagai LCPKS (Limbah Cair Pabrik kelapa
Sawit) yang juga dikenal dengan istilah POME (Palm Oil Mill Effluent)
(Bala et al., 2014). Sejalan dengan adanya potensi peningkatan produksi
kelapa sawit maka limbah cair yang dihasilkan juga akan meningkat
(Suryaningsih et al., 2021).
Potensi besar limbah cair pabrik kelapa sawit ini menjadi suatu
persoalan yang harus perusahaan perhatikan dalam upaya menjaga stabilitas
lingkungan karena limbah cair industri kelapa sawit yang baru keluar dari
outlet akan membentuk ammonia, menimbulkan bau busuk, membutuhkan
waktu yang lama untuk terurai, terjadi endapan, menimbulkan bau tajam
serta merusak ekosistem. Apabila tidak diolah dengan benar maka limbah

1 Universitas Sriwijaya
2

tersebut berpotensi menjadi polutan yang menyebabkan terjadinya


pencemaran di badan air. Selain itu, pembuangan langsung ke tanah tanpa
dilakukan pengolahan yang sesuai juga dapat mencemari kualitas air tanah
dan mengganggu biodiversitas tanah seingga akan berdampak pada
menurunnya hasil produktivitas tanaman di atasnya (Ilmannafian et al.,
2020). Pengolahan limbah industri dahulu hanya berfokus pada end to pipe
system, dimana proses reuse dan recycle belum diterapkan. Pendekatan
pengelolaan lingkungan dengan mengedepankan aspek pencegahan
merupakan sebuah pola pendekatan proaktif yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan efisiensi melalui penerapan produksi bersih. Produksi bersih
bertujuan untuk mencegah dan meminimalkan terbentuknya limbah atau
bahan pencemar lingkungan di seluruh tahapan proses produksi bersih.
Produksi bersih bertujuan untuk mencegah dan meminimalkan limbah di
seluruh tahapan produksi. Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya
kesadaran untuk pelestarian lingkungan, pengolahan limbah menjadi hal
yang sangat penting. Oleh karena itu penerapan kebijakan zero waste harus
mulai diterapkan oleh industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Salah satu aplikasi dari produksi bersih adalah penggunaan pupuk cair
dari proses pengolahan limbah cair yang dihasilkan dari pabrik pengolahan
kelapa sawit. Limbah dari hasil pengolahan umumnya dibuang ke badan air,
namun apabila pabrik pengolahan kelapa sawit tersebut berada pada wilayah
perkebunan maka sebagian dari hasil pengolahan air limbah dapat
digunakan kembali sebagai pupuk cair. Oleh karena itu akan menjadi sangat
bermanfaat ketika limbah cair tersebut dapat diaplikasikan untuk menambah
kesuburan tanah sehingga tidak dibuang ke badan air sesuai Kepmen LH
No. 29 Tahun 2003 tentang teknis pengkajian pemanfaatan limbah cair
pabrik kelapa sawit untuk land application sebagai pupuk cair melalui rorak
(pit) guna mensubstitusi pemupukan kimia sekaligus memaksimalkan
kebijakan zero waste (Alpandari dan Prakoso, 2021).
PT Hindoli Cargill Tanjung Dalam Mill merupakan site perkebunan
kelapa sawit yang berlokasi di Desa Tanjung Dalam, Kecamatan Keluang,
Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Perusahaan ini

Universitas Sriwijaya
3

melaksanakan pengolahan kelapa sawit menjadi CPO (Crude Palm Oil) di


dalam areal perkebunan kelapa sawit dengan memproses air limbah pada
kolam-kolam IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) oleh karena itu
tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi hasil pengolahan limbah
cair pabrik kelapa sawit berupa pH, BOD, COD, oil and grease dan TSS
pada 8 kolam proses cooling dan anaerobic hingga diketahui rekomendasi
kolam pengolahan yang mempunyai karakteristik paling sesuai untuk
digunakan sebagai land application.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa rekomendasi kolam hasil pengolahan limbah cair pabrik kelapa
sawit yang paling sesuai dengan Kepmen LH No. 29 Tahun 2003 untuk
aplikasi lahan?
2. Apakah proses pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit pada
instalasi pengolahan limbah sudah efektif?

1.3. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menentukan rekomendasi kolam hasil pengolahan limbah cair pabrik
kelapa sawit yang sesuai dengan Kepmen LH No. 29 Tahun 2003 untuk
Aplikasi lahan.
2. Mengetahui tingkat efektivitas instalasi pengolahan limbah cair
dalam mengolah limbah cair pabrik kelapa sawit.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai
tingkat efektifitas dan kesesuaian karakteristik hasil pengolahan limbah cair
pabrik kelapa sawit untuk digunakan sebagai land application pada areal
perkebunan kelapa sawit. Hasil ini juga diharapkan dapat memberikan
tinjauan yang berharga bagi pemerintah, perusahaan dan masyarakat sebagai
upaya mewujudkan industri berwawasan lingkungan.

Universitas Sriwijaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)


Limbah yang dihasilkan dari proses produksi tentunya menjadi sebuah
permasalah dan merupakan tanggung jawab setiap perusahaan untuk
melakukan pengolahan sebagai bentuk komitmen terhadap lingkungan.
Namun tidak jarang masih banyak industri yang belum menerapkan sistem
pengolahan limbah dengan baik dan benar. Akibatnya pencemaran terhadap
lingkungan di sekitar industri menjadi hal yang mungkin saja terjadi. Akibat
perubahan kondisi lingkungan, pengelolaan lingkungan hidup mulai
berkembang saat ini. Limbah cair merupakan hasil proses produksi suatu
produk berupa air buangan yang umumnya dibuang langsung ke
lingkungan. Limbah tersebut berupa campuran air dan padatan terlarut atau
tersuspensi (Karmanah et al., 2023). Minyak, air, dan padatan organik
merupakan produk sampingan dari pengolahan tandan buah segar (TBS)
kelapa sawit menjadi minyak sawit mentah (CPO). Limbah ini dikenal
sebagai limbah cair kelapa sawit (LCKPS), atau terkadang disebut limbah
cair pabrik kelapa sawit (POME). Banyak limbah cair yang dihasilkan pada
tahap pengolahan TBS menjadi CPO.
Limbah Cair Pabrik Kelapa sawit (LCPKS) atau Palm Oil Mill
Effluent (POME) merupakan hasil sisa terbesar dari proses industri
pengolahan sawit menjadi crude palm oil (CPO) dan yang berbentuk cairan
dengan konsistensi yang kental dengan warna kecokelatan yang memiliki
kandungan air (95%-96%), minyak dan lemak (0,6%-0,7%) dan total
padatan (4%-5%) dengan nilai BOD dan COD yang sangat tinggi. Hal inilah
yang menyebabkan POME membutuhkan banyak oksigen untuk proses
penguraian (Ilmannafian et al., 2020).
Pupuk cair organik adalah cairan yang dihasilkan sebagai produk sampingan
dari penguraian bahan organik. Komponen utama pupuk organik adalah tumbuhan
atau hewan yang telah mengalami fermentasi.Jika

4 Universitas Sriwijaya
5

dibandingkan dengan pupuk cair anorganik, pupuk organik cair secara umumnya
tidak merusak tanah dan tanaman walaupun digunakan sesering mungkin.
Menurut Fitriani dkk. (2021), pupuk cair tampaknya lebih mudah diasimilasi oleh
tanaman karena kandungan bahan-bahannya yang terurai dan hadir dalam jumlah
yang lebih kecil, sehingga memungkinkan keuntungan lebih cepat diperoleh. Sisa
tanaman, limbah agroindustri, kotoran hewan, dan kotoran manusia merupakan
sumber bahan organik yang terurai sehingga menghasilkan pupuk organik cair
(POC) yang merupakan campuran multinutrien.(Kalla et al., 2019). Limbah cair
pabrik kelapa sawit termasuk jenis Pupuk Organik Cair (POC) dari limbah
agroindustri.
Nitrogen, kalium, dan kalsium merupakan salah satu unsur nutrisi
yang terdapat pada limbah cair pabrik kelapa sawit. Nutrisi ini sangat
penting untuk pemanjangan dan pembelahan sel, mendorong pembentukan
sel baru, dan penebalan dinding sel. Alasan sebenarnya pemberian pakan
limbah cair dari pabrik kelapa sawit mempengaruhi kuantitas dan luas daun
pada bibit kelapa sawit adalah untuk memastikan tersedianya unsur hara
seperti N, P, K, dan Mg yang dapat mendorong pertumbuhan daun (Wijaya
et al. , 2015).

2.2. Karakteristik kandungan Limbah Cair


2.2.1. pH (Potential Hydrogen)
Penjelasan mengenai jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam air
diberikan oleh skala pH. Skala pH umumnya menunjukkan
keasaman atau kebasaan air. Pada skala pH 0 hingga 14, air dengan
nilai pH = 7 dianggap netral, <7 dianggap asam, dan >7 dianggap
basa. (Astria et al., 2014).
Biasanya, nilai pH limbah berada pada kisaran netral; jika
bersifat basa, berarti mengandung banyak asam organik; sebaliknya,
jika bersifat basa, hanya diaduk sedikit
6

kandungan organik, bakteri akan tumbuh secara subur pada pH Optimum antara
6.5 - 7.5. pH yang terlalu tinggi akan menghambat aktivitas mikroorganisme,
sedangkan pH yang terlalu rendah akan mengakibatkan pertumbuhan jamur, dan
terjadi persaingan dengan bakteri dalam metabolisme materi organic. Pengukuran
pH biasanya dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sistem pengukuran dalam
pH meter menggunakan sistem pengukuran secara potensimetri. pH meter berisi
elektroda kerja dan elektroda referensi. Perbedaan potensial antara dua elektroda
tersebut sebagai fungsi dari pH dalam larutan yang diukur (Rifky et al., 2014).

2.2.2. BOD (Biological Oxygen Demand)


BOD mengacu pada proses biologis dalam air yang memecah
kontaminan organik di dalam air melalui bakteri pengurai. Proses ini
memerlukan konsentrasi oksigen terlarut tertentu serta senyawa
organik tertentu yang tersuspensi dalam air (Berutu, 2016). BOD
adalah kebutuhan oksigen biologis yang diperlukan oleh
mikroorganisme untuk memecah bahan organik secara aerobik
(Santoso, 2018). Jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh organisme
untuk penguraian bahan organik secara aerobik disebut BOD. Bahan
organik tersebut terurai menjadi makanan seumur hidup, dan proses
oksidasi menyediakan energi bagi makhluk tersebut. Kadar DO
(oksigen terlarut) turun sebanding dengan semakin besarnya nilai
BOD, yang menunjukkan bahwa mikroba lebih membutuhkan
oksigen. Pada dasarnya, parameter BOD sering digunakan sebagai
panduan ketika memperkirakan tingkat kontaminasi limbah cair.
Parameter BOD sangat penting untuk mengetahui seberapa tercemar
sampah rumah tangga yang dikumpulkan di IPAL (Melyadi dan
Hardiansyah, 2022).
Mikroorganisme memperoleh energinya dari proses oksidasi
selama degradasi bahan organik, yang
21
17

memakan bahan organik yang terdapat di perairan. Mengetahui nilai


BOD di perairan dapat bermanfaat untuk mendapatkan informasi
berkaitan tentang jumlah beban pencemaran yang terdapat di
perairan akibat air buangan penduduk atau industri, dan untuk
merancang sistem pengolahan biologis di perairan yang tercemar
tersebut (Pour et al., 2014). Menurut Berutu dalam Inayah, N. et al.
(2022), BOD (Biological Oxygen Demand) adalah proses biologis
yang terjadi di dalam air yang membutuhkan jumlah oksigen terlarut
dan sebagian zat organik yang tersuspensi dalam air dan digunakan
oleh bakteri pengurai untuk menguraikan bahan pencemar organik
dalam air. Menurut Rohman dalam Purnama (2022), semakin besar
konsentrasi BOD suatu perairan menunjukkan konsentrasi bahan
organik di dalam air yang juga tinggi. Dasar uji BOD adalah
kemampuan metabolik mikroorganisme yang ditambahkan sebagai
agen pendegradasi. Semakin tinggi BOD, maka semakin banyak
bahan organik yang terkandung dalam air.

2.2.3. COD (Chemical Oxygen Demand)


Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi molekul
organik secara kimia dikenal sebagai COD (Chemical Oxygen
Demand), dan tingkat COD dalam tetesan air seiring dengan
berkurangnya jumlah bahan organik dalam air limbah (Harahap et
al., 2020). Penggabungan bahan organik dalam air melalui reaksi
kimia menghasilkan CO2 dan H20, yang berakhir di air limbah,
dikenal sebagai COD, atau penumpukan kebutuhan oksigen kimia.
Pencemaran air dari bahan-bahan organik yang mengalami oksidasi
kimia dan menurunkan jumlah oksigen terlarut dalam air diukur
menggunakan angka parameter COD sebagai standar. Berbanding
terbalik dengan DO adalah nilai COD pula (Melyadi dan
Hardiansyah, 2022).
Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pemecahan kimia
senyawa organik menggunakan oksidan kuat kalium bikromat
21
17

(K2Cr2O7) dikenal sebagai COD, sehingga menurut Metcalf dan


Eddy dalam Alisawi, H. A. O. (2020), bahan organik yang mudah
terurai maupun sulit terurai dalam limbah akan teroksidasi. Nilai
BOD akan selalu lebih rendah dibandingkan COD, hal ini di
pengaruhi banyaknya senyawa yang mudah terdegradasi secara
kimia daripada secara biologi karena akan membutuhkan waktu yang
cukup lama dalam proses pendegradasian kandungan organik.
Semakin sedikit organisme yang hidup dalam suatu limbah, maka
semakin banyak senyawa kimia yang dapat didegradasi (Agustina, et
al., 2017).

2.2.4. Oil and Grease (Minyak dan Lemak)


Karena massa jenis minyak lebih rendah dibandingkan massa
jenis air, lemak dan minyak yang terdapat di perairan akan
terakumulasi membentuk lapisan di permukaan. Salah satu faktor
yang harus berada pada konsentrasi tertinggi untuk air permukaan
dan limbah industri adalah minyak dan lemak (Hardiana dan
Mukimin, 2014). Pengolahan limbah industri melalui cara fisik,
kimia, atau biologis dapat menurunkan jumlah minyak dan lemak
dalam limbah. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu
penelitian karena setiap metode pengolahan mempunyai kelebihan
dan kekurangannya masing-masing. Meskipun banyak perusahaan
telah mengolah air limbah mereka untuk menurunkan jumlah lemak
dan minyak, beberapa limbah masih belum memenuhi kriteria
kualitas yang ditetapkan. Secara umum, hanya satu jenis yang
digunakan dalam pemrosesan di berbagai industri.
Hasil konfigurasi sistem pemrosesan dapat digunakan sebagai
panduan untuk mengembangkan pemrosesan baru atau untuk
menyempurnakan pemrosesan yang sudah ada. Sebuah studi
mengenai kondisi pengolahan minyak dan lemak di industri saat ini
juga dilakukan, dengan tujuan untuk membandingkan kondisi ideal
dan aktual.
21
17

2.2.5. TSS (Total Suspendet Solid)


TSS (Total Suspendet Solid) merupakan padatan tersuspensi
yang ada dalam air limbah. Jika dibandingkan dengan ukuran
partikel koloid, nilai TSS diukur dalam miligram per mililiter (mg/l).
Jika partikel bersifat anorganik, organik, dan cair serta tidak dapat
bercampur dengan air, maka partikel tersebut disebut padatan
tersuspensi total atau padatan tersuspensi total dalam air. Serat
tumbuhan, sel alga, dan bakteri merupakan contoh senyawa padat
organik; senyawa padat anorganik meliputi tanah, lumpur, dan tanah
liat. Kontaminan yang terjadi secara alami adalah padatan ini. Untuk
mengukur besarnya pencemaran pada suatu perairan dilakukan
pengamatan TSS. Nilai TSS maksimum suatu perairan menunjukkan
tingkat pencemaran tertinggi, sehingga meningkatkan kepadatan air.
(Andin et al, 2015).
TSS didefinisikan sebagai sisa total padatan (TSS) yang
ukuran partikel maksimumnya lebih besar atau sama dengan ukuran
partikel koloid yang mampu ditahan oleh filter. Tanah liat, jamur,
bakteri, sulfida, logam, oksida, dan sulfida termasuk jenis yang
mengandung karakteristik TSS. Metode flokulasi dan filtrasi
biasanya digunakan untuk menghilangkan TSS. Karena TSS
menghalangi cahaya yang diperlukan untuk fotosintesis dan
visibilitas di dalam air, hal ini dapat meningkatkan tingkat
kekeruhan. Pembiasan cahaya adalah kecenderungan ukuran sampel
menjadi keruh. Namun keberadaan partikel tersuspensi dalam
sampel menyebabkan hamburan di dalam larutan (Melyadi dan
Hardiansyah, 2022).

2.3. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)


Instalasi Infrastruktur yang disebut Analisis dan Pengolahan
Pencemaran Terpadu (IPAL) dibangun untuk menghilangkan polutan kimia
atau biologi dari air sehingga dapat digunakan untuk keperluan lain (Azizah
dan Novia, 2016). Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) merupakan
21
17

sarana prasarana yang membantu kegiatan pengolahan air limbah dan


pencegahan pencemaran lingkungan. Limbah cair dipompa ke sistem
pengolahan air limbah IPAL secara kolektif sebelum dibuang ke sungai.
Struktur IPAL dibagi menjadi beberapa bagian. Komponen-komponen ini
memiliki tujuan, khususnya dalam hal teknologi yang digunakan untuk
menganalisis bahan limbah berdasarkan unsur-unsur seperti pH, minyak dan
lemak, BOD (kebutuhan oksigen biokimia), COD (kebutuhan oksigen
kimia), dan total padatan tersuspensi (Melyadi dan Hardiansyah, 2022).
Mengurangi jumlah, konsentrasi, atau ancaman sampah agar
memenuhi standar kualitas lingkungan yang diperlukan adalah tujuan
pengolahan sampah (Metcalf and Eddy, 2014). LCPKS yang dihasilkan
perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum diaplikasikan sebagai
pupuk cair. Hal ini bertujuan agar nilai BOD dan COD dapat diturunkan dan
mencapai nilai yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kolam
stabilisasi adalah teknik pengolahan limbah cair yang populer di industri
kelapa sawit. Dibutuhkan lahan yang luas untuk kolam stabilisasi, sebuah
metode pengolahan air limbah yang mudah. Hanya kolam anaerobik dan
kolam pendingin yang digunakan dalam bisnis kelapa sawit. Kolam dengan
muatan organik tinggi dengan kondisi anaerobik hingga ke bawah dikenal
sebagai kolam anaerobik. Bahan organik dihilangkan melalui sedimentasi di
kolam anaerobik. Kolam ini membutuhkan pH lebih besar dari 6 dan suhu
lebih besar dari 15°C agar dapat berfungsi karena keseimbangan antara
bakteri metanogenik dan pembentuk asam inilah yang membuat kolam
tersebut berfungsi. Gas seperti H2S dan CH4 dihasilkan melalui proses ini
dan pada akhirnya akan lepas ke atmosfer.
Pada kolam anaerobik, pengendapan padatan terjadi, terakumulasi,
dan terdegradasi (digesting) di dasar kolam. Akumulasi lumpur tersebut
memerlukan penyedotan secara regular, oleh karena itu penyedotan endapan
lumpur pada kolam anaerobik dapat dilakukan setiap 1 hingga 3 tahun.

2.4. Aplikasi Lahan (Land Application)


A variety of techniques and treatments are used in planting regions to
21
17

boost productivity because nutrient availability is crucial to the growth and


output of oil palm trees, which are still not very productive at the moment
(Fazrin et al., 2014).
Pemanfaatan sistem penerapan lahan Pabrik Kelapa Sawit (PKS)
menjadi salah satu inisiatif utama yang dilakukan pada gudang gigi gergaji
skala besar dengan hasil yang baik. Sebab, dapat meningkatkan produksi
gigi gergaji dan kesehatan tanaman tanpa menimbulkan dampak buruk
terhadap lingkungan sekitar. Teknik ini dapat digunakan sebagai cadangan
untuk pemupukan, dimana tujuan dari pemupukan adalah untuk menjamin
keseimbangan dan kecukupan tanaman hara sehingga meminimalkan
motilitas gigi gergaji. Setiap tahap perkembangan tanaman gigi gergaji
mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Banyaknya hara yang tidak
dapat dihidupi yang disebabkan oleh pencucian, penguapan, serta faktor
fisik dan kimia tanah, harus seimbang. (Sudrajat et al., 2014). Penambahan
mikroorganisme pendegradasi organik (bioremediator) pada limbah tambak selama
beberapa hari merupakan salah satu cara untuk memanfaatkan hasil pengolahan
limbah pabrik kelapa sawit. Hal ini dapat dilakukan pada tingkat kolam anaerobik
atau aerobik primer. Setelah itu, lahan kelapa sawit menerima limbah cair yang
disalurkan sebagai pupuk. Aplikasi Tanah adalah nama sistemnya.
Ground application (LA) is based on the idea that soil-fertilizing
materials can be found in the liquid waste produced by palm oil mills.
Potassium, phosphorus, and nitrogen are these elements. When liquid waste
from palm oil mills is used to feed or irrigate land, it can work as fertilizer
for plants because it contains a significant amount of potassium and
nitrogen. Land utilization is intended to maximize zero waste while meeting
the needs of oil palm land, aside from providing nutrients to the soil and
plants. Only developments that are near the processing plant and far from
dwellings are subject to land application (Emplasms) (Alpandari dan
Prakoso, 2021).

2.5. Baku Mutu Air Limbah


Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia mempunyai
yurisdiksi besar atas pengelolaan IPAL dan air limbah di lingkungan.
21
17

Peraturan tersebut harus secara tegas menyatakan bahwa limbah cair,


berapapun ukurannya, yang melebihi parameter tidak boleh dibuang ke
sungai atau saluran air lainnya. Standar kualitas air limbah diatur oleh
peraturan pemerintah. Batas atas nilai parameter air limbah yang
disebut baku mutu air limbah menentukan apakah suatu IPAL boleh
berfungsi atau tidak. Pada setiap langkah waktu, nilai parameter rutin
digunakan untuk memastikan temuan yang andal.
Baku mutu karakteristik POME yang berdasarkan Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 29 Tahun 2003 tentang Pemanfaatan
Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit pada Tanah di Perkebunan
Kelapa Sawit. Selain itu baku mutu karakteristik POME juga akan
diperhatikan menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5
Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah Industri Perkebunan
Kelapa Sawit. Hal ini disajikan pada Tabel 2.1. dan Tabel 2.2.
Terlihat dari air limbah yang telah melalui berbagai prosedur
pengolahan dan pengujian mutu, nilai kandungan limbah cair berada dalam
batas yang telah ditetapkan, artinya tidak melebihi batas atas atau batas
bawah baku mutu yang telah ditetapkan. Kesesuaian hasil pengolahan
limbah dengan satandar baku mutu yang telah ditetapkan akan menjadi tolak
ukur kualitas dan efektifitas pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL)
yang beroperasi.

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Unit Cargill merupakan perusahaan asal Amerika Serikat dan menjadi
salah satu yang terbesar dalam investasi pangan dan pertanian. Cargill
Tropical Palm adalah PT. Hindoli yang berada di Sumatera Selatan dengan
luas lahan 38.000 hektar, PT. Hindoli memiliki 3 mill yang terdiri dari: (1)
21
17

Sungai Lilin mill yang berdiri pada Desember 1997 dengan kapasitas mill
100 MT FFB/hr dan kapasitas biomas 60 MT/hr (2) Tanjung Dalam mill
yang berdiri pada Maret 2005 dengan kapasitas mill 60 MT FFB/hr dan
masuk TOP 20 Cargill’s Best Plants (3) Mukut mill yang berdiri pada
November 2015 dengan kapasitas mill 60 MT FFB/hr dan kapasitas
biomass 45 MT/hr. Cargill Tropical Palm menyediakan lapangan kerja bagi
18.000 orang yang membantu perekonomian dan sosial, penyedia utilitas
publik, penyediaan listrik dan air bersih untuk rumah dan tempat kerja bagi
puluhan ribu pekerja.
Pada pabrik PT.Hindoli Tanjung Dalam menggunakan Limbah cair
dari pabrik kelapa sawit diolah di Instalasi Pengelolaan Air Limbah
(WPAL) dan digunakan sebagai pakan untuk aplikasi lahan. Produk akhir
dari sistem ini, yang hanya memerlukan beberapa kolam limbah untuk
pengolahannya, diterapkan pada area perkebunan kelapa sawit sebagai
pengganti pupuk di lokasi yang sistem distribusinya telah dirancang untuk
mengoptimalkan prinsip zero waste.

4.2. Pengolahan Limbah Cair Kelapa Sawit


Air limbah kelapa sawit atau biasa disebut Palm Oil Mill Effluent
(POME) adalah hasil produk samping dari pengolahan tandan buah segar
kelapa sawit menjadi minyak sawit kasar. POME yang dihasilkan banyak
mengandung senyawa organik dan karbon yang dapat menjadi salah satu
masalah besar bagi lingkungan sekaligus nutrisi bagi tumbuhan. Oleh karena
potensi yang terdapat pada POME, maka PT. Hindoli Tanjung Dalam telah
berusaha untuk memaksimalkan POME sebagai pupuk cair yang akan
disalurkan melalui rorak pada Land Application. Selain itu, usaha tersebut
juga dinilai dapat menciptakan kondisi produksi bersih dan indsutri hijau.
Sebelum masuk ke dalam tahap pengolahan, perlu diketahui karakteristik
POME agar proses pengolahan dapat berlangsung secara efisien.
Pengolahan air limbah indsutri kelapa sawit yang digunakan
PT.Hindoli Tanjung Dalam adalah sistem kolam. Limbah cair akhir kelapa
sawit secara umum diperkirakan dapat diolah dengan sistem kolam sesuai
21
17

dengan kriteria kualitas air limbah yang ditetapkan oleh industri kelapa
sawit. Namun, PT.Hindoli Tanjung Dalam tidak membuang effluent ke
badan air melainkan meresirkulasi kembali ke kolam-kolam pengolahan dan
menjadi umpan untuk Land Application.
Kolam (Ponding system) secara umum membutuhkan lahan yang
cukup luas untuk proses pengolahannya, sehingga dapat menampung air
limbah kelapa sawit dengan jumlah besar. Sistem kolam pada instalasi
pengolahan air limbah (IPAL) PT.Hindoli Tanjung Dalam terdiri dari
Sludge Pit, Cooling Pond 1-2, Kolam Anaerobic 1-6, Kolam Aerasi 1-2, dan
Kolam Fakultatif 1-2 dengan total 13 kolam. Dari total kolam tersebut
hanya 11 kolam yang digunakan karena proses aerasi tidak digunakan dalam
pengolahan. Hal ini dikarenakan hasil efluen dari kolam fakultatif tanpa
melalui proses aerasi sudah dapat mencapai baku mutu air limbah cair
kelapa sawit sehingga disposal ke badan air tidak dibutuhkan lagi.
Dalam mendesain suatu unit pengolahan, harus diperhitungkan waktu
detensi atau Hydraulic Retention Time (HRT). HRT adalah waktu tinggal
yang dibutuhkan oleh POME untuk didegradasi atau diolah sehingga
menghasilkan penurunan karakteristik yang diinginkan. HRT dapat
bervariasi sesuai dengan kebutuhan hasil akhir yang diinginkan. HRT juga
berkaitan erat dengan volume dan dimensi kolam. Berikut adalah layout
instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan kapasitas untuk tiap-tiap
kolam pengolahan limbah di PT. Hindoli Tanjung Dalam Mill yang
disajikan pada Gambar 4.1. dan Tabel 4.1.
4.2.1. Sludge Pit
Sludge pit merupakan kolam proses pertama sekaligus kolam
pemisahan minyak dengan air limbah kelapa sawit yang terikut dari
serangkaian proses pengolahan kelapa sawit. Sludge pit berfungsi
membebaskan minyak dan meminimalkan padatan sebelum masuk
ke kolam pengolahan selanjutnya. Minyak yang telah dipisahkan
selanjutnya menuju recovery tank untuk dikumpulkan dan dijual.
Minyak tersbut berpotensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan
sabun dan kosmetik. Volume air limbah yang masuk ke Sludge Pit
21
17

sebesar 2.457,58 m3 dengan karakteristik air limbah yang sama


dengan Tabel 3.

4.2.2. Cooling Pond


Cooling Pond atau kolam pendingin merupakan proses lanjutan
dari sludge pit. Kolam ini berfungsi untuk mendinginkan air buangan
pabrik ke temperatur antara 35oC-40oC. Untuk mencapai temperature
yang dihasilkan, maka Cooling Pond dibuat 2 kolam sehingga output
yang diinginkan dapat tercapai yaitu pencapaian suhu optimum
untuk perkembangan bakteri anaerob di kolam anaerobic. Adapun
karakteristik air limbah yang dihasilkan tidak jauh berubah, namun
suhu air limbah yang dihasilkan menurun dan sudah mencapai
kondisi optimal untuk pengolahan lanjutan. Cara mengoperasikan
cooling pond adalah dengan memompakan limbah (effluent) dari
sludge pit ke dalam cooling pond 1 dan 2 untuk mendinginkan
buangan limbah, diharapkan temperature dapat berkurang hingga
suhu yang diinginkan.

4.2.3. Kolam Anaerobic


Air limbah kelapa sawit yang mengandung senyawa organic
kompleks seperti lemak, karbohidrat dan protein akan dirombak oleh
bakteri dalam kondisi anaerobic menjadi gas metana, CO,
karbohidrat, dan air. Efektifitas yang diharapkan dalam pengolahan
36
17

air limbah kelapa sawit dengan kolam anaerobic adalah sebesar


90%. Oleh karena beban pencemar POME cukup besar, maka kolam
anaerobic dibuat 6 buah agar proses pengolahan dapat maksimal.
Adapun parameter control untuk kolam anaerobic adalah sebagai
berikut:
a. Temperatur
Temperatur optimum untuk kolam anaerobic adalah 35 oC.
Temperatur ini dapat diperoleh dengan mengatur kecepatan
aliran sludge dari kolam Cooling Pond.

b. pH
pH optimum untuk kolam anaerobic berkisar pada range
6.8 – 7.5 dan tidak boleh rendah dari range tersebut. pH kritikal
untuk kolam anaerobic adalah 5.8.

c. Volatile Acid/Alkalinity Ratio


Parameter yang menjadi indicator utama kondisi proses
yang optimum adalah rasio antara volatile acid dan alkalinitiy
dibawah 0.25.
Volatile Acid (VA) harus berada dalam range 150 – 500 mg
CH3COOH/l. Alkalinity harus berada dalam range 2000 – 4000
mg CaCO3/l. Nilai VA akan sangat berpengaruh terhadap beban
BOD load yang diumpan ke dalam sistem, sebagai control adalah
sebagai berikut:
d. Pengurangan BOD
Pengurangan BOD pada kolam anaerobic disebabkan oleh
aktivasi biological. Kecepatan pengurangan BOD dapat
mencapat 16% per hari. Efisiensi pada tahap kolam anaerobic
sangat penting dalam menentukan performa keseluruhan
pengolahan air limbah. Efisiensi pengurangan diharapkan dapat
mencapai 90 – 97% dari total BOD. Makin lama waktu tinggal
kolam anaerobic, maka semakin tinggi tingkat removal
36
17

efficiency. Adapun langkah-langkah operasional pada kolam


anaerobic adalah sebagai berikut:
1) Isi kolam dengan air sungai atau air bersih
2) Ambil sample air tersbut, cek pH dan alkalinity/volatile acid
ratio. pH harus berada dalam range 6.8 – 7.2 dan ratio yang
diharapkan 0.3. Tambahkan kapur/soda jika diperlukan untuk
mendapatkan pH > 6.8
3) Masukkan 60 m3 atau lebih bakteri aktif dari kolam
anaerobic. Cek pH dan ratio alkalinity/VA
4) Tambahkan limbah sawit (effluent) sampai dengan 5% total
volume kolam, tunggu 2 sampai dengan 3 hari
5) Jaga penambahan effluent dengan interval setiap 3 hari
(selama 1 bulan), penambahan 2 hari (selama 1 bulan), dan
terakhir penambahan setiap hari, sampai dengan kolam
tersebut dapat menerima total buangan limbah.
6) Cek pH, ratio alkalinity/VA setiap 2 hari sekali, jika pH turun
di bawah 7, stop penambahan effluent. Kemudian tambahkan
kapur/soda, tunggu sampai dengan didapat pH 7, baru
dilakukan penambahan effluent
7) Jika kolam tersebut telah menjadi kolam anaerobic, maka pH
harus dijaga stabil dalam range 6.8 – 7.2. Jika pH drop segera
hentikan penambahan effluent, tambahkan kapur/soda dan
lakukan sirkulasi.
8) Pada kolam anaerobic akan terdapat sejumlah gelembung-
gelembung busa pada permukaannya.
9) Jika 1 kolam anaerobic sudah berfungsi baik, maka lanjutkan
dengan start pada kolam kedua dan seterusnya, mengikuti
langkah 1– 7
10) Selalu cek pH dan ratio alkalinity/VA, lakukan koreksi jika
diperlukan.

Petunjuk penting Start-Up kolam anaerobic:


36
17

1) Membuat kolam anaerobic adalah hal yang kompleks, sangat


diperlukan kehati-hatian yang lebih untuk mendapatkan
sistem keseimbangan kehidupan bakteri anaerob
2) Menjaga pH adalah hal yang sangat penting. Cek pH secara
regular dan pastikan pH tidak turun di bawah 5.8
3) Keberhasilan dari sistem pengolah ini tergantung pada
prosedur start-up pada waktu start awal kolam anaerobic.

Pada pabrik PT.Hindoli Tanjung Dalam menggunakan air


limbah di kolam anaerobic 3 sebagai umpan aplikasi lahan.
Produk akhirnya digunakan di kawasan perkebunan kelapa sawit
sebagai pengganti pupuk di kawasan perkebunan yang telah
dikembangkan sistem distribusinya dengan tetap
mengoptimalkan prinsip zero waste. Sistem ini hanya
memanfaatkan beberapa kolam limbah untuk diolah. Air limbah
dari kolam anaerobic 3 didistribusikan ke Land Application
menggunakan pompa dan dialirkan menuju saluran-saluran dekat
tumbuhan kelapa sawit agar dapat menyerap tambahan nutrisi
secara maksimal.

4.2.4. Kolam Aerasi


Kolam aerasi merupakan tahap terakhir dari unit pengolahan
limbah kelapa sawit dimana air limbah kelapa sawit diperkaya
dengan kandungan oksigen menggunakan proses aerasi. BOD
dikurangi oleh tahap oksidatif dengan menggunakan active mixing
dengan udara sehingga dapat mendukung aktivitas bakteri aerobic
dalam mengolah air limbah. Digunakan 1 buah jet aerator pada
masing-masing kolam untuk menghasilkan oksigen. Tiap aerator
mempunyai kapasitas 13.65 kg O2/jam untuk setiap volume 220-380
m3 dengan motor 7.5 KW. Berdasarkan kondisi actual, kolam aerasi
tidak digunakan dalam proses pengolahan air limbah kelapa sawit di
PT.Hindoli Tanjung Dalam karena final effluent yang dihasilkan
tidak dibuang ke badan air sehingga sudah memenuhi baku mutu air
36
17

limbah industri kelapa sawit.

4.2.5. Kolam Fakultatif


Kolam fakultatif merupakan kolam peralihan atau kolam
penyangga untuk menyempurnakan pengendapan yang belum
maksimal pada pengolahan sebelumnya. Effluen dari kolam
fakultatif dapat meningkatkan kualitas limbah cair sebelum dibuang
ke sungai. Namun kondisi actual pada PT.Hindoli Tanjung Dalam
tidak membuang hasil olahan air limbah kelapa sawit ke badan air
sungai. Aktivitas yang dilakukan oleh PT.Hindoli Tanjung Dalam
mendaur ulang hasil olahan air limbah kelapa sawit yang kemudian
didistribusikan ke kolam anaerobic 1-6 sesuai dengan kebutuhan.
Pada kondisi aktual di PT. Hindoli Tanjung Dalam Mill telah
menerapkan zero waste sehingga seluruh limbah cair yang dihasilkan
akan digunakan sebagai pupuk cair untuk land application. Oleh
karena itu penggunaan kolam limbah hanya didistribusikan hingga
kolam anaerobic 6 yang kemudian di recycle sesuai kebutuhan lahan.

4.3. Hasil Analisis Karakteristik Effluent

Hasil analisis karakteristik Limbah cair (effluent) setiap kolam tertera


pada Tabel 5. dibawah ini:

Dari hasil analisis laboratorium karakteristik effluent pada Tabel 4.2.


menunjukkan bahwa hasil pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit yang
fluktuatif yang konsisten satu arah pada setiap karakteristik parameternya.
Jika disesuaikan dengan standar baku mutu air limbah oleh Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2003 maka parameter
yang wajib dipersyaratkan adalah parameter pH limbah diantara 6 hingga 9
dan BOD < 5000 mg/l untuk standar penerapan Aplikasi Lahan. Oleh
karena itu, dari analisis yang pertama ini memperlihatkan bahwa hasil
pengolahan limbah cair dari kolam anaerobic 3 sudah sesuai dengan baku
36
17

mutu yang disayaratkan untuk penerapan aplikasi lahan, yaitu dengan hasil
BOD 3.750 mg/l dan pH 7,43.

Sementara untuk parameter Chemical Oxygen Demand (COD), oil


and grease, Total Suspended Solid (TSS), tidak dipersyaratkan untuk
aplikasi lahan namun tetap diuji agar limbah yang mengandung parameter–
parameter tersebut tidak mencemari lingkungan dan juga sebagai langkah
menganalisis efektifitas pada pengoperasian IPAL.

4.4. Perbandingan Nilai Karakteristik


Berdasarkan tabel hasil karakterisxtik yang telah disajikan untuk setiap
kolam, maka dapat diketahui perbandingan nilai pH, BOD, COD, TSS, dan Oil
and Grease diantara setiap kolam. Hasil perbandingan ini akan memperlihatkan
proses perubahan karakteristik air limbah setelah mengalami perlakuan pada
setiap kolamnya. Hasil perbandingan setiap karakteristik limba dapat dilihat
pada gambar berikut.
Berdasarkan keempat grafik di atas, dapat dilihat secara jelas
bahwa parameter BOD, COD, TSS, dan Oil and Grease mengalami
penurunan sedangkan pH mengalami kenaikan. pH yang terkandung dalam
POME bersifat asam saat baru keluar dari outlet, yaitu senilai 4,62 namun
seperti pada gambar 13. seiringnya proses maka pH berhasil dinaikan
hingga 7,79 sehingga sudah sesuai dengan baku mutu air limbah oleh
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014 yaitu dalam range antara 7 – 9.
Kandungan BOD, COD, dan TSS pada effluent masih terbilang
tinggi dengan konsentrasi masing-masing 10.450 ml/g, 38.317,50 mg/l,
dan 25.365,42 ml/g. Penurunan tertinggi TSS berdasarkan gambar 11.
berada pada anaerobic 1 dengan penurunan sebesar 13.423,33 mg/l,
sedangkan BOD berdasarkan Gambar 10. mengalami penurunan tertinggi
pada anaerobic 3 dengan penurunan sebesar 5.766,67 ml/g diikuti dengan
penurunan COD tertinggi pada anaerobic 4 dengan penurunan sebesar
8.855,83 ml/g. Parameter oil and grease pada Gambar 12. juga mengalami
penurunan, namun tidak signifikan seperti BOD, COD, dan TSS.

Parameter BOD, COD, oil and grease dan TSS pada hasil akhir tetap
36
17

tidak memenuhi standar baku mutu dari Peraturan Menteri Lingkungan


Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014. Namun parameter ini tidak
persyaratkan dikarenakan PT Hindoli Tanjung Dalam tidak melakukan
pembuangan POME ke badan air ataupun sungai, melainkan di recycle
kembali untuk penerapan Land Application untuk menambah unsur hara
bagi tanah dan tanaman, mensuplai kebutuhan air lahan sawit dan
memaksimalkan zero waste.

4.5. Efektifitas hasil pengolahan


Setelah diketahui perbandingan masing-masing parameter, maka dapat
analisis nilai persentase efektifitas penyisihan parameter air limbah BOD,
COD dan TSS dengan rumus berikut (Metcalf dan Eddy, 2014).
Dimana Inlet adalah parameter pada air masukan limbah atau kondisi
limbah pada inlet dan Konsentrasi pencemar adalah hasil olahan limbah
pada kolam yang ingin dianalisis. Sehingga didapatkan hasil seperti
tercantum pada dua grafik dibawah ini:
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui efiktifitas penyisihan dari
masing-masing unit pengolahan dengan parameter BOD, COD, dan TSS.
Pada unit Cooling Pond 1 dan 2 hasil penyisihan BOD bernilai negative, hal
tersebut dapat terjadi karena adanya akumulasi dengan air limbah yang
tinggal sebelumnya tanpa adanya proses pengolahan pada unit tersebut.
Pada unit kolam anaerobik, penyisihan nilai BOD dapat mencapai 91,16%.
Nilai tersebut masih di bawah persentase efektifitas karakteristik yang lain,
penyisihan konsentrasi COD pada setiap kolam bernilai positif dengan
efektifitas mencapai 96,08% di akhir pengolahan. Pada penyisihan TSS,
efektifitas bernilai negatif di Cooling Pond, sama seperti pada kasus BOD.
Namun, efisiensi penyisihan TSS pada kolam anaerobik mencapai 97,47%
paling tinggi diantara BOD dan COD.

4.6. Evaluasi Penerapan Land Application


Land application pada lahan perkebunan kelapa sawit inti PT Hindoli
Estate Tanjung Dalam (ETD) menggunakan longbed system dengan metode
36
17

pipanisasi. Longbed system merupakan sistem parit saluran panjang berbaris


yang dibuat untuk diterapkan pada areal kebun dengan ketinggian lahan
sama atau rata (topografi datar). Sistem ini diterapkan pada 8 blok lahan
dengan aplikasi ke areal lahan seluas 137,26 ha rorak yang digunakan
mempunyai total panjang 67.196 meter dengan pola pembuatan 2 pokok
sawit untuk 1 baris rorak. Peta area aplikasi lahan dan peta persebaran rorak
(pit) dapat dilihat pada Gambar 4.8. dan Gambar 4.9.
Aplikasi lahan di PT Hindoli Estate Tanjung Dalam masih belum
dimanfaatkan secara optimal dari total luas 8 blok aplikasi lahan belum
keseluruhan diterapkan rorak. Berdasarkan hasil wawancara dengan
operator land application dan survei di lapangan, hal ini disebabkan oleh
perbedaan topografi pada setiap lahan sawit sehingga sistem rorak longbed
system tidak dapat digunakan secara menyeluruh. Untuk kondisi topografi
lahan menurun sebaiknya menggunakan flatbad system (sistem terasering)
dengan metode pipanisasi, yaitu memanfaatkan kolam – kolam yang
berhubungan sebagai penampung pupuk cair sehingga apabila kolam
pertama penuh, maka pupuk cair akan mengalir ke kolam selanjutnya secara
gravitasi hingga semua flatbed terisi penuh. Topografi area aplikasi lahan di
PT. Hindoli disajikan pada gambar 4.10.
Jumlah produktivitas kelapa sawit di kawasan blok aplikasi lahan rata-
rata mencapai 21,785 ton/ha per tahun sedangkan jumlah produktivitas di
kawasan blok non aplikasi lahan atau tanpa POME (Palm Oil Mill Effluent)
mempunyai produktivitas hingga 21.43 ton/ha rata-rata per tahun. Berikut
data produksi blok POME dan non POME selama dua tahun serta
perbandingannya:
Daerah penerapan lahan dengan produktivitas kelapa sawit yang lebih
baik disebabkan oleh adanya bahan yang disebut Limbah Cair Pabrik
Kelapa Sawit (LCPKS), yang mengandung unsur hara seperti nitrogen (N),
fosfat (P), kalium (K), kalsium (Ca), dan magnesium ( mg) yang diperlukan
untuk pertumbuhan tanaman. Selain itu, penggunaan pupuk cair yang
terbuat dari limbah cair pabrik kelapa sawit dapat membantu meningkatkan
pH dan kandungan C organik tanah serta memperbaiki struktur tanah, suatu
36
17

praktik yang dikenal sebagai pengondisian tanah yang dapat diterapkan pada
lahan yang luas. P yang dapat diakses meningkat secara signifikan dengan
pemberian pupuk cair. Penurunan Al-dd dan peningkatan pH berdampak
pada hal tersebut. Ketika asam organik yang berasal dari bahan organik
mengikat ion Al dan Fe selama proses dekomposisi, konsentrasi Al dan Fe
tanah turun dan sebagai konsekuensinya ketersediaan P meningkat
(Setiawan et al, 2020).
Kualitas limbah cair pabrik kelapa sawit yang digunakan hanyalah
salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan lahan; Faktor
lainnya meliputi teknis penerapan lapangan dan jenis lubang atau rorak yang
sesuai untuk setiap topografi lahan kelapa sawit. Berdasarkan perbandingan
hasil produksi terlihat perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Yang secara
alami berdampak pada seberapa efektif penerapan lahan.
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian yang telah
dilakukan antara lain:
1. Rekomendasi hasil pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit yang
telah sesuai dengan baku mutu Kepmen LH No. 29 Tahun 2003 untuk
Land Application adalah pada kolam Anaerobic 3 dengan karakteristik
BOD 3.750 mg/l dan pH 7,43.
2. Tingkat efektifitas hasil pengolahan setiap kolam dalam memproses
bahan tercemar BOD, COD dan TSS sudah berjalan sangat baik dengan
persentase diantara 91 – 97% .
3. Hasil akhir pengolahan parameter BOD, oil and grease, COD dan TSS
hingga kolam anaerobic 6 belum memenuhi standar baku mutu Permen
LH No. 4 Tahun 2015 untuk pembuangan air limbah ke badan air, namun
syarat tersebut tidak berlaku karena kondisi aktual pada PT. Hindoli
Tanjung Dalam menerapkan konsep zero waste sehingga limbah cair
yang diolah akan recycle hanya untuk kebutuhan land application.
4. Hasil produksi rata-rata per tahun kelapa sawit di kawasan land
application lebih besar 355 kg/ha dibandingkan dari blok non land
application.

5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan adalah sebaiknya menambah parameter baru dalam menentukan
limbah cair yang terbaik untuk Land Application, yaitu melakukan analisis
preventif terhadap kandungan amonia (NH3) dan logam berat. Analisis ini
perlu dilakukan karena kandungan tersebut juga terdapat dalam limbah cair
pabrik kelapa sawit yang jika kadarnya diluar ambang batas maka
berpotensi meracuni tanah dan tanaman maupun lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai