Anda di halaman 1dari 2

Menerima Berbagi dan Berkompromi

02 Mei 2018, tanggal yang akan selalu terpatri di ingatanku. Hari itu mama tersenyum cerah dan
sangat cantik dengan gaun pernikahan yang dipakainya. Penasaran bagaimana aku bisa tahu?
Tentu saja, karena aku ada disana. Pernikahan kedua mama setelah tiga tahun papa meninggal.

Mama bahagia, tapi sebaliknya aku sama sekali tidak senang. Ada perasaan yang mengganjal
dalam hatiku. Aku - sakit hati, dan tidak dapat menerima kenyataan bahwa akan ada orang lain
yang menggantikan papa. Tidak pernah terbayang aku akan memanggil orang asing dengan
sebutan "papa". Belum lagi ada anak lain yang kini menjadi saudaraku, kamu seumuran dan
namanya Ivony.

Semuanya sulit bagiku, apalagi mendengatkan nasihat orang tua yang baru. Alasannya, karena
dia bukan papa kandungku. Aku juga kesal pada mama yang terus menerus memintaku untuk
menyayangi ayah Dave dan Ivony. Me.nangnya rasa sayang itu seperti mie instan yang bisa jadi
dalam sekejap? Kan tidak, apalagi jika aku tidak punya niatan untuk memasaknya.

Tiba-tiba saja aku berbagi kamar dengan orang lain. Tidak cukup hanya itu, sekarang juga harus
bebagi mama. Mungkin Ivony butuh mamaku, tapi aku tidak butuh papanya Ivony. Jadi kali ini
aku akan bertingkah, mereka harus pisah!

Tanpa permisi ku pakai gaun kesayangan Ivony. Gaun berwarna ungu muda, seiutut, yang dihiasi
corak polkadot. Aku tahu dia sangat suka gaun itu, Ivony meletakkan gaunnya ditempat khusus.
Seolah itu benda pusaka yang akan rusak walau cuman dipakai. Dengan sengaja ku tunjukkan
seolah-olah aku sangat menyukai gaunnya.

"Itu gaunku ya Grace?" tanyanya.

Aku memutar bola mata jengah. Kalau bukan gaun mu, lalu punya siapa? Tidak perlu
menanyakan pertanyaan basa-basi seperti itu. Aku ingin Ivony marah, dan langsung melaporkan
ku pada papanya. Lalu mereka berpisah, rencana berhasil.

Karena tak ada tangapan berarti dariku, Ivony menghela nafas panjang. Ku lihat matanya
berkaca-kaca, mungkin sebentar lagi akan menangis. Tapi sepertinya dia menahannya, terbukti
dengan wajahnya yang memerah. Aku jadi kasihan, apa aku terlalu jahat ya? Padahal hanya satu
gaun saja.

"Kalau kamu suka, gak papa. Pakai aja Grace, tapi jangan lupa dibersihkan dan simpan kembali
ya," ujarnya dan langsung meninggalkan ku begitu saja.
Tak ku sangka tanggapannya bisa tenang begitu. Apa harus ku usili lebih jahat lagi? Hmmm…
sepertinya menarik melihat reaksi Ivony jika gaunnya kotor. Aku juga sedang malas mencuci,
pasti Ivony lebih kesal lagi. Aku segera menjalankan rencanaku.

Hasilnya? Terlalu jauh diluar ekspentasiku. Atau lebih tepat jika ku bilang sangat parah. Malam
itu saat melihat keadaan gaunnya yang penuh noda berwarna warni, air matanya tidak
terbendung lagi. Ivony langsung lari ke kamar tanpa mengucapkan apa-apa. Ada mama dan ayah
Dave juga disana, tapi dia tidak marah. Padahal aku sudah takut saat dia beranjak ke arahku,
namun ternyata ayah Dave hanya mengelus pelan kepalaku. Jujur, aku sangat merasa bersalah.

Mama mengajakku kehalaman depan rumah. Kami duduk didepan teras yang dingin. Hening
beberapa saat, aku dan mama hanya memandangi langit malam. Hari itu tidak ada bintang yang
menghiasi langit-langit. Persis mewakili perasaanku saat ini.

"Grace tahu gak, gaun yang kamu pakai itu peninggalan mamanya Ivony," ujar mama perlahan.

Ternyata begitu, pantas Ivony langsung menangis tadi. Aku tambah merasa bersalah, sadar
tindakanku sangat keterlaluan.

"Grace, mama tahu kamu masih sulit untuk menerima anggota keluarga kita yang baru. Tapi
bukan hanya kamu, ayah dan Ivony pun begitu. Kita semua harus belajar saling menerima,
berbagi, dan berkompromi. Itu yang tadi dilakukan Ivony saat meminjamkan bajunya sama
kamu. Atau kamu suka sebaliknya? Keluarga kita ribut, terus hancur, mau?"

Itu memang rencanaku diawal, tapi sekarang aku berubah pikiran. Ku jawab pertanyaan mama
dengan gelengan. Kalau dipikir-pikir selama ini aku selau keras kepala. Padahal ayah dan Ivony
memperlakukanku dengan baik. Pasti bukan hal yang mudah melakukannya, mengingat sikapku.

Ya, aku harus belajar menerima, berbagi, dan berkompromi. Tidak ada salahnya punya teman
baru, lebih baik berdua dari pada sendirian. Mungkin aku juga harus mencoba menerima ayah
Dave pelan-pelan. Hidup gak akan tenang kalau aku selalu cari ribut. Dampaknya juga
mempengaruhi kami semua.

Ku ketuk pintu kamar Ivony. Gadis itu membuka pintu dengan mata sembab. "Maafkan aku
Ivony," ujarku gugup.

Dia kembali menangis, tapi kemudian mengangguk. Aku berjanji akan membersihkan noda di
baju Ivony nanti. Ayah Dave juga sedang mengamati kami. Aku mendekat ke arahnya, meminta
maaf juga. Ayah Dave balas tersenyum dan mengelus kembali rambutku.

END

Anda mungkin juga menyukai