Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KEBIJAKAN BELANJA DALAM EKONOMI ISLAM DENGAN


MENGINTEGRASIKAN NILAI-NILAI KEISLAMAN

Disusun untuk memenuhi tugas Ekonomi Fiskal Islam


Dosen Pengampu: Muyassarah, M.S.I

Disusun oleh kelompok 8:

1. Yessyca Aora Damayanti (2205026090)


2. M Malik Fajar Al Husni (2205026110)
3. Haikal Maulana Anwar (2205026119)

FAKUTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

2023

1
KATA PENGANTARi

Assalamualaikum Wr.Wb

Dengan penuh rasa syukur, kami mengucapkan terima kasih terhadap Allah SWT yang
telah memberikan rachmat dan petunjuk-Nya, sehingga kami dapat merampungkan tugas
makalah berjudul "Kebijakan Belanja Dalam Ekonomi Islam Dengan Mengintegrasikan Nilai-
Nilai Keislaman" tepat waktu.

Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Muyassarah, M.S.I, selaku Dosen
Pengampu Ekonomi Fiskal Islam, yang telah memberikan tugas ini. Terima kasih atas
bimbingan dan wawasan yang telah kami peroleh melalui tugas ini, yang sangat relevan dengan
bidang studi kami.

Namun, kami sadar bahwa masih ada kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi bahasa
maupun teknik penyajian. Dengan rendah hati, kami mengakui hal tersebut dan sangat
mengharapkan kritik serta saran konstruktif dari para pembaca untuk perbaikan di masa yang
akan datang.

Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi para pembaca dan
turut serta dalam memajukan ilmu pengetahuan. Semoga tulisan ini dapat menjadi kontribusi
yang berarti dalam pengembangan pemikiran di bidang Ekonomi Islam.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Semarang, 2 Oktober 2023

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

MAKALAH...................................................................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................3
BAB 1........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................................5
C. Tujuan Penelitian..............................................................................................................................5
BAB 2............................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................................................6
A. Kebijakan Belanja Dalam Ekonomi Islam Dengan Mengintegrasikan Nilai-Nilai Keislaman.........6
B. Kaidah-Kaidah Yang Didasarkan Al-Quran Dan Sunnah................................................................7
C. Tujuan Pembelanjaan Pemerintah Dalam Ekonomi Islam..............................................................10
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Belanja...............................................................10
E. Prinsip Komitmen Dengan Skala Prioritas Dalam Kebijakan Belanja............................................12
BAB 3..........................................................................................................................................................15
KESIMPULAN............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................16

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada era globalisasi saat ini, ekonomi Islam muncul sbagai model alternatif yang
berkembang pesat di berbagai negara, baik itu muslim maupun non muslim. Ekonomi Islam
tidak hanya mencakup aspek transaksi keuangan dan perbankan, tetapi juga melibatkan prinsip-
prinsip moral dan etika Islam dalam setiap aspek kehidupan ekonomi. Kebijakan belanja dalam
kerangka ekonomi Islam menekankan pentingnya keadilan, keberlanjutan, dan keberkahan dalam
proses ekonomi. Sejalan dengan nilai-nilai Islam, kebijakan belanja dalam ekonomi Islam
memiliki tujuan utama, yaitu agar terciptakeadilan sosial, dapat mengurangi kesenjangan
ekonomi, dan mengedepankan prinsip tolong-menolong (muamalah) antarindividu dan
masyarakat. Penerapan ekonomi Islam bukan hanya sekadar mematuhi hukum syariah, namun
juga melibatkan pengintegrasian nilai-nilai keislaman dalam setiap tahapan kebijakan belanja.
Ketika nilai-nilai keislaman diintegrasikan ke dalam kebijakan belanja ekonomi, hal ini
menciptakan suasana ekonomi yang lebih berkelanjutan dan adil. Penggunaan dana publik yang
berlandaskan nilai-nilai Islam tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga
memastikan bahwa distribusi kekayaan dan peluang ekonomi merata di antara seluruh lapisan
masyarakat.

Namun, walaupun prinsip-prinsip ekonomi Islam menawarkan landasan etika yang kuat,
banyak kendala muncul dalam mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam kebijakan belanja
negara. Beberapa dari kendala tersebut melibatkan perubahan mindset masyarakat, pembentukan
infrastruktur keuangan yang sesuai, dan pelibatan aktif dari lembaga-lembaga keuangan dan
pemerintah. Makalah ini bertujuan untuk menyelidiki pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai
keislaman dalam kebijakan belanja ekonomi, serta untuk menganalisis tantangan dan peluang
yang muncul dalam implementasi konsep ini. Melalui pemahaman yang lebih baik tentang
bagaimana nilai-nilai keislaman dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan belanja ekonomi,
masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama menuju pencapaian pembangunan ekonomi yang
berkesinambungan dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

4
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kebijakan belanja dalam ekonomi Islam dengan mengintegrasikan nilai-


nilai keislaman?
2. .Bagaimana kaidah-kaidah yang didasarkan al-quran dan sunnahh?
3. Bagaimana tujuan pembelanjaan pemerintah dalam ekonomi Islam?
4. .Apa saja factor-faktor yang perlu diperhatikan dalam dalam kebijakan belanja?
5. Bagaimana prinsip komitmen dengan skala prioritas dalam kebijakan belanja?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kebijakan belanja dalam ekonomi Islam dengan mengintegrasikan nilai-


nilai keislaman.
2. Mengetahui kaidah-kaidah yang didasarkan al-quran dan sunnahh.
3. Mengetahui tujuan pembelanjaan pemerintah dalam ekonomi Islam.
4. . Mengetahui Apa saja faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam dalam kebijakan
belanja.
5. Mengetahui prinsip komitmen dengan skala prioritas dalam kebijakan belanja.

5
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Kebijakan Belanja Dalam Ekonomi Islam Dengan Mengintegrasikan Nilai-


Nilai Keislaman

Kebijakan belanja dalam ekonomi Islam mencakup prinsip-prinsip keislaman


dengan tujuan menciptakan sistem distribusi ekonomi yang adil. Dalam Islam, kebijakan
fiskal bukan hanya merupakan kebutuhan untuk meningkatkan ekonomi atau
kesejahteraan rakyat, melainkan juga merupakan kewajiban negara untuk memastikan
hak-hak rakyatnya. Kebijakan fiskal di sini bertujuan untuk menciptakan mekanisme
distribusi ekonomi yang adil, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan nilai-nilai Islam.
Dalam konteks negara Islam, kebijakan harus sepenuhnya sejalan dengan
prinsip-prinsip hukum dan nilai-nilai Islam. Dalam ekonomi Islam, terdapat empat
tujuan utama yang didasarkan pada maqashid syariah, yaitu memastikan kebutuhan dasar
manusia terpenuhi, meningkatkan kapabilitas manusia, membuka peluang kerja, dan
memperluas akses terhadap sumber daya.
Dalam sejarah Islam, kebijakan fiskal juga memiliki peran strategis dalam
mengelola keuangan negara dengan terencana dan terarah. Pada awal pemerintahan
Islam, digunakan berbagai instrumen kebijakan fiskal seperti fai' (harta tanah yang tidak
memiliki pemilik), ghanimah (harta rampasan perang), Kharaj (pajak atas tanah yang
ditanami), jizyah (pajak yang dikenakan pada non-Muslim), 'ushur (pajak perdagangan),
dan khumus (pajak atas hasil pertanian). Pemerintah memiliki tanggung jawab penting
dalam menyediakan berbagai barang publik guna mendorong pembangunan dan
kesejahteraan bersama masyarakat
Belanja negara adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai belanja
pemerintah pusat dan dana perimbangan (Pasal 1 Angka 7 UU Nomor 35 Tahun 2000

6
Tentang APBN Tahun 2001)1 Sistem anggaran belanja dalam ekonomi Islam memiliki
perbedaan mendasar dengan pendekatan modern. Dalam konteks Islam, penekanan
diberikan pada pelayanan terhadap kebutuhan umat yang telah diatur oleh hukum agama
dan sesuai dengan pandangan Islam. Sebaliknya, pendekatan anggaran belanja modern
lebih mengutamakan suatu kombinasi kompleks antara rencana dan proyek.

Secara lebih mendalam, konsep pembelanjaan pemerintah dalam kerangka


Negara Islam, sebagaimana diuraikan oleh Abdurrahman al-Maliki yang dikutip oleh
Mustafa Edwin Nasution, menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk
memastikan pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu secara menyeluruh. Selain itu,
negara juga diharapkan membantu individu dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan
tersier mereka sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Jaminan pemenuhan
kebutuhan primer ini mencakup beberapa aspek utama. Pertama, negara diharapkan
memberikan jaminan kebutuhan primer seperti sandang (pakaian), pangan (makanan),
dan papan (tempat tinggal) bagi setiap individu secara menyeluruh. Kedua, negara juga
bertanggung jawab untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh
rakyatnya. Kategori kebutuhan ini melibatkan aspek keamanan, kesehatan, dan
pendidikan. Dengan demikian, pendekatan ini menekankan pentingnya pemerintah
dalam menyediakan jaminan kebutuhan dasar bagi individu dan masyarakat secara
menyeluruh, menciptakan landasan yang kuat untuk kehidupan yang layak bagi semua
warganya. 2

B. Kaidah-Kaidah Yang Didasarkan Al-Quran Dan Sunnah

Dalam sebuah negara yang menganut prinsip Islam, pengeluaran yang dilakukan
seharusnya mendukung perkembangan ekonomi umat Muslim. Pada dasarnya,

1
32Handa S. Abidin, Belanja Negara, http://penelitihukum.org/tag/definisi-belanja-negara/ Diakses 3 Oktober 2023 Pukul
09:50 WIB.
2
Nasution, 2006:225-226).

7
pengeluaran pemerintah harus berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam. Sementara itu,
pemerintah juga harus mampu melakukan distribusi pendapatan secara adil kepada
seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini tercermin dalam ayat 19 dari Surah Al-Dzariyat
dalam Al-Quran, yang menekankan pentingnya pemerintah dalam membagi pendapatan
dengan merata kepada seluruh masyarakat :

‫َو ِفْٓي َاْم َو اِلِهْم َح ٌّق ِّللَّس ۤا ِٕىِل َو اْلَم ْح ُرْو ِم‬
Artinya: “Dan pada harta benda mereka terdapat hak bagi orang miskin yang
meminta dan oramg miskin yang tidak memperoleh bagian.”

Kemudian didalam QS. Al-Baqarah ayat 219 disebutkan bahwa:

‫َو َيْس َأُلوَنَك َم اَذ ا ُينِفُقوَن ُقِل اْلَعْفَو ۗ َك َٰذ ِلَك ُيَبِّيُن ُهَّللا َلُك ُم اآْل َياِت َلَعَّلُك ْم َتَتَفَّك ُروَن‬
Artinya: “Dan mereka bertanya padanya, sesungguhnya apa yang telah mereka
nafkahkan. Kataknlah yang lebih daripada sekedar kebutuhan. Demikianlah Allah Swt.
menjelaskan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu berfikir.”3

Terdapat beberapa hadits Nabi yang memperkuat makna ayat yang telah
dijelaskan sebelumnya. Salah satunya adalah riwayat Abu Hurairah yang menyebutkan
bahwa Rasulullah bersabda, "Sedekah yang terbaik adalah memberikan sesuatu kepada
orang yang tidak memerlukannya, dan mulailah memberi kepada mereka yang menjadi
tanggung jawabmu."
Dalam hadits lain, yang diriwayatkan dari Abu Al-Ahwash, Rasulullah
mengungkapkan, "Apabila Allah telah memberikan kekayaan yang berlimpah kepada
seseorang, maka seharusnya dia menunjukkan tanda-tanda nikmat tersebut, dan apa yang
telah diberikan Allah padanya bisa ditingkatkan."4
Dari pernyataan diatas menjelaskan adanya landasan kewajiban untuk
menentukan tugas dan kewenangan negara dalam mengelola distribusi kekayaan dengan
bijaksana dan adil. Terkait kebijakan pengeluaran pemerintah, prinsip-prinsip tersebut

3
Al-Qur’an Terjemahan (Surabaya: CV. Duta Ilmu, 2008), p. 521.
4
Rahmawati, p. 43.

8
juga menjadi dasar utama dalam mencapai efisiensi dan efektivitas dalam pengendalian
anggaran. Para ulama zaman dahulu telah memberi kaidah-kaidah yang bersifat umum
berdasarkan garis ketentuan Al-Qur‟an dan Sunnah dalam menuntun kebijakan belanja
pemerintah. sebagaimana yang dikemukakan oleh Chapra (1995: 288-289)14, juga
dikutip oleh Adiwarman Azwar Karim dan Mustafa Edwin Nasution, antara lain:
Kaidah-kaidah tersebut antara lain:
1. Harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan umum dalam pelaksanaan
pembelanjaan.
Pengeluaran pemerintah harus selalu mempertimbangkan "maslahah," yaitu
kemaslahatan atau kepentingan umum masyarakat, sebagai landasan utama. Dalam
melaksanakan pembelanjaan, pemerintah harus memastikan bahwa pengeluaran tersebut
memberikan manfaat dan kebaikan yang signifikan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Dengan kata lain, setiap pengeluaran pemerintah harus diarahkan untuk mencapai
kemaslahatan umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pemerintah
dapat mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur, seperti jalan,
jembatan, dan sekolah. Pembangunan infrastruktur ini akan bermanfaat bagi masyarakat
karena dapat mempermudah mobilitas masyarakat dan meningkatkan kualitas
pendidikan.
2. Menghindari masyaqqoh (kesulitan) dan madharat harus didahulukan
daripada melakukan perbaikan
3. Madharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari madharat dalam
skala yang lebih luas.
4. Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat
dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala
umum
5. Kaidah bernama “al-ghiurm bi al-gunmy” yang berarti sebagai kaidah yang
mengulas terkait penanggungan beban yang harus dipersiapkan jika ingin
memperoleh manfaat (harus siap memikul kerugian jika ingin beruntung)
6. Kaidah yang bernama “maa laa yatimm al-wajib illa bihi fahuwa wajib” yang
berarti bahwasanya sesuatu yang bersifat wajib harus dilaksanakan tanpa

9
adanya penunjang yang dilakukan faktor penunjang lainnya tidak bisa
dibangun, maka penegakan faktor penunjang itu hukumnya menjadi wajib.5

C. Tujuan Pembelanjaan Pemerintah Dalam Ekonomi Islam

Kaidah – Kaidah yang disebutkan berperan dalam meningkatkan efisiensi dan


efektivitas pengeluaran pemerintah dalam konteks ekonomi Islam, memastikan tujuan-
tujuan pembelanjaan pemerintah tercapai. Tujuan-tujuan ini meliputi:
a. Penggunaan dana untuk Memenuhi Kebutuhan Masyarakat: Penggunaan dana
publik bertujuan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
b. Pengeluaran sebagai Bentuk Retribusi Kekayaan: Dana publik digunakan
sebagai bentuk retribusi terhadap kekayaan masyarakat.
c. Pengeluaran untuk Mendorong Permintaan Efektif: Penggunaan dana publik
dirancang untuk mendorong peningkatan permintaan efektif dalam ekonomi.
d. Pengeluaran yang Mendukung Investasi dan Produksi: Dana pemerintah
dialokasikan untuk investasi dan produksi guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
e. Pengeluaran untuk Mengendalikan Tingkat Inflasi melalui Kebijakan
Intervensi Pasar: Penggunaan dana publik juga diarahkan untuk mengurangi tingkat
inflasi melalui tindakan intervensi pasar yang bijak.
Dengan mematuhi prinsip-prinsip ini, pemerintah dapat memastikan pengeluaran
mereka sesuai dengan ajaran Islam dan mencapai tujuan-tujuan pembelanjaan
pemerintah dengan efisien dan efektif. Selain itu negara memiliki wewenang dalam roda
perekonomian dalam hal-hal tertentu yang tidak dapat diserahkan pada sektor-sektor
privat untuk menjalankannya seperti membangun fasilitas umum dan memenuhi
kebutuhan dasar bagi masyarakat.6

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Belanja.

5
Umer Chapra, The Future Of Economics: An Islamic Perspective (Jakarta: As-Syamil & Gravika,
2001), p. 288
6
MSI UII, Menjawab Keraguan Berekonomi Syari’ah (Yogyakarta: Safiria Insani Press,
2010), hal. 78.

10
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan belanja dapat bervariasi tergantung
pada konteksnya. Secara umum beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan
belanja :

1. Pendapatan: Tingkat pendapatan nasional atau daerah membatasi jumlah


uang yang dapat dialokasikan untuk belanja pemerintah. Semakin tinggi
pendapatan, semakin besar kemampuan untuk mengalokasikan anggaran
ke berbagai sektor.
2. Inflasi: Tingkat inflasi mempengaruhi daya beli uang. Inflasi tinggi dapat
mengurangi nilai uang dan mempersulit pemerintah dalam membeli
barang dan jasa dengan anggaran yang sama.
3. Jumlah Penduduk: Semakin besar populasi suatu daerah, semakin besar
permintaan akan layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur. Jumlah penduduk mempengaruhi besarnya belanja yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
4. Perubahan Teknologi: Kemajuan teknologi dapat memengaruhi cara
pemerintah memberikan layanan dan proyek-proyek pembangunan, yang
dapat mempengaruhi alokasi dana belanja.
5. Faktor Lingkungan: Faktor-faktor lingkungan, termasuk bencana alam
atau perubahan iklim, dapat memaksa pemerintah untuk mengalokasikan
dana tambahan untuk tanggap darurat atau proyek-proyek pemulihan.

Kebijakan belanja juga dapat dipengaruhi faktor internal maupun faktor


eksternal :
a. Faktor internal yang mempengaruhi kebijakan belanja antara lain:
1. Prioritas pembangunan. Pemerintah harus menetapkan prioritas
pembangunan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Prioritas pembangunan ini akan menentukan jenis dan besarnya belanja
pemerintah.
2. Kebijakan fiskal. Pemerintah harus menetapkan kebijakan fiskal yang
tepat dalam rangka mencapai tujuan ekonomi makro. Kebijakan fiskal
dapat mempengaruhi kebijakan belanja, misalnya melalui kebijakan defisit
anggaran atau surplus anggaran. Misalnya, jika pemerintah sedang
menerapkan kebijakan fiskal kontraksi, maka alokasi dana belanja harus
dikurangi
3. Kemampuan keuangan negara. Kemampuan keuangan negara merupakan
faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan kebijakan

11
belanja. Pemerintah harus memastikan bahwa belanja pemerintah tidak
melebihi kemampuan keuangan negara.
b. Faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan belanja antara lain:
1. Kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi,
dan tingkat pengangguran, dapat mempengaruhi kebijakan belanja.
Misalnya, dalam kondisi ekonomi yang sedang lesu, pemerintah dapat
meningkatkan belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
2. Tekanan politik. Tekanan politik, seperti tuntutan dari masyarakat, dapat
mempengaruhi kebijakan belanja. Misalnya, pemerintah dapat
meningkatkan belanja untuk memenuhi tuntutan masyarakat, seperti
peningkatan anggaran pendidikan atau kesehatan.
3. Kebijakan pemerintah lain. Kebijakan pemerintah lain, seperti kebijakan
moneter, kebijakan perdagangan, dan kebijakan investasi, dapat
mempengaruhi kebijakan belanja. Misalnya, kebijakan moneter yang
ekspansif dapat mendorong pemerintah untuk meningkatkan belanja.

Secara umum, belanja negara dapat dikategorikan menjadi empat:


1. Pemberdayaan fakir miskin dan muallaf. Dana ini pada umumnya diambil dari
zakat dan ushr.
2. Biaya rutin pemerintahan. Dana ini pada umumnya diambilkan dari kharaj,
fai’, jizyah dan ushr.
3. Biaya pembangunan dan kesejahteraan sosial. Dana ini pada umumnya
diambilkan dari dana lainnya, khums, dan sedekah.
4. Biaya lainnya, seperti biaya emergency, pengurusan anak telantar dan
sebagainya. Dana ini pada umumnya diambilkan dari waqaf, utang publik dan
sebagainya. 7

E. Prinsip Komitmen Dengan Skala Prioritas Dalam Kebijakan Belanja.

Adapun prinsip-prinsip yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasional


pemerintah yang rutin mengacu yang dalam ajaran Islam dipandu oleh kaidah-kaidah
syariah dan penentuan skala prioritas :

7
P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, hal. 509.

12
a. Bahwa kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak
boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu,
apalagi kemaslahatan pemerintah.
b. Prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin
manfaat dalam biaya semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubadzir dan
kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
c. Prinsip tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaannya, walaupun
dibolehkan berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada
nas-nas yang sahih seperti pada kasus “al-hima” yaitu tanah yang diblokir oleh
pemerintah yang khusus diperuntukkan bagi kepentingan umum. Ketika Rasulullah
mengkhususkan tanah untuk pengembalaan ternak kaum duafa, Rasulullah melarang
ternak-ternak milik para agniya atau orang kaya yang mengembala di sana. Bahkan
Umar berkata: “Hati-hati jangan sampai ternak Abdurrahman bin Auf mendekati lahan
pengembalaan kaum duafa.”
d. Prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja negara hanya
hanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram. contoh kebutuhan
mubah yaitu seperti pembangunan gedung perkantoran, pembangunan pusat
perbelanjaan, dan pembangunan tempat rekreasi.
e. Prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, yaitu prinsip yang
menekankan pentingnya pemerintah untuk mengalokasikan dana belanja sesuai dengan
kebutuhan syariah, dimulai dari yang wajib, kemudian sunah, dan terakhir mubah. Atau
dalam pembagian yang lain, dimulai dari yang dharurah, kemudian hajiyyat, dan terakhir
kamaliyah.
 Wajib adalah segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT dan
Rasul-Nya, dan jika tidak dikerjakan akan mendapat dosa. Contoh
kebutuhan wajib adalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia, seperti
sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.
 Sunnah adalah segala sesuatu yang dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-
Nya, dan jika dikerjakan akan mendapat pahala, tetapi jika tidak
dikerjakan tidak akan mendapat dosa. Contoh kebutuhan sunnah adalah
pembangunan masjid, pembangunan rumah sakit, dan pemberian beasiswa
kepada siswa miskin.

13
 Mubah adalah segala sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang
oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Contoh kebutuhan mubah adalah
pembangunan gedung perkantoran, pembangunan pusat perbelanjaan, dan
pembangunan tempat rekreasi.
 Dharurah adalah kebutuhan yang mendesak dan harus dipenuhi untuk
menghindari kemudaratan yang lebih besar. Contoh kebutuhan dharurah
adalah bantuan untuk korban bencana alam, bantuan untuk fakir miskin,
dan bantuan untuk penyandang disabilitas.
 Hajiyyat adalah kebutuhan yang penting, tetapi tidak mendesak. Contoh
kebutuhan hajiyyat adalah pembangunan infrastruktur, seperti jalan,
jembatan, dan irigasi.
 Kamaliyah adalah kebutuhan yang melengkapi dan menyempurnakan
hidup, tetapi tidak penting. Contoh kebutuhan kamaliyah adalah
pembangunan gedung olahraga, pembangunan tempat wisata, dan
pembangunan museum.

Dalam mengalokasikan dana belanja, pemerintah harus memprioritaskan


kebutuhan syariah yang wajib. Setelah kebutuhan wajib terpenuhi, pemerintah dapat
mengalokasikan dana belanja untuk kebutuhan syariah yang sunnah. Apabila masih ada
dana belanja yang tersisa, maka pemerintah dapat mengalokasikan dana tersebut untuk
kebutuhan syariah yang mubah. Pembagian kebutuhan syariah menjadi dharurah,
hajiyyat, dan kamaliyah juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan dana
belanja. Pemerintah harus memprioritaskan kebutuhan syariah yang dharurah. Setelah
kebutuhan dharurah terpenuhi, pemerintah dapat mengalokasikan dana belanja untuk
kebutuhan syariah yang hajiyyat. Apabila masih ada dana belanja yang tersisa, maka
pemerintah dapat mengalokasikan dana tersebut untuk kebutuhan syariah yang
kamaliyah.8

BAB 3

KESIMPULAN

8
Nasution, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, hal. 224-225

14
Kebijakan belanja dalam ekonomi Islam mengintegrasikan nilai-nilai keislaman
dan prinsip-prinsip syariah untuk menciptakan sistem distribusi ekonomi yang adil.
Dalam Islam, kebijakan fiskal bukan hanya untuk meningkatkan ekonomi atau
kesejahteraan rakyat, tetapi juga merupakan kewajiban negara untuk memastikan hak-
hak rakyatnya. Dalam konteks ini, terdapat empat tujuan utama dalam ekonomi Islam:
memastikan kebutuhan dasar manusia terpenuhi, meningkatkan kapabilitas manusia,
membuka peluang kerja, dan memperluas akses terhadap sumber daya
Pengeluaran pemerintah harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan umum,
menghindari kerugian dan kesulitan, serta memastikan distribusi pendapatan yang adil
kepada seluruh lapisan masyarakat. Prinsip-prinsip ini mengacu pada ajaran Al-Qur'an
dan Hadis, dan merupakan landasan utama dalam merancang kebijakan belanja
pemerintah. Selain itu, dalam mengalokasikan dana belanja, pemerintah harus mematuhi
prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah. Kebutuhan wajib, sunnah, dan mubah
harus diprioritaskan, diikuti oleh kebutuhan dharurah, hajiyyat, dan kamaliyah. Prinsip
ini memastikan bahwa dana belanja digunakan secara bijaksana sesuai dengan nilai-nilai
Islam dan kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan belanja, pendapatan,
inflasi, jumlah penduduk, perubahan teknologi, dan faktor lingkungan merupakan faktor
internal dan eksternal yang harus dipertimbangkan. Pemerintah juga harus
mempertimbangkan tekanan politik, kebijakan pemerintah lainnya, dan kondisi ekonomi
dalam merancang kebijakan belanja yang efisien dan efektif.
Dengan mematuhi prinsip-prinsip keislaman dan memperhitungkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kebijakan belanja, pemerintah dalam negara Islam dapat merancang
kebijakan belanja yang mendukung pembangunan ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan
sesuai dengan nilai-nilai moral Islam. Ini akan membawa manfaat besar bagi masyarakat
dan menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh warganya.
kebijakan belanja yang mendukung pembangunan ekonomi yang adil,
berkelanjutan, dan sesuai dengan nilai-nilai moral Islam. Ini akan membawa manfaat
besar bagi masyarakat dan menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh
warganya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aini, I. (2019). Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam. Al-Qisthu: Jurnal Kajian
Ilmu-Ilmu Hukum, 17(2)
Gultom, R. Z. (2019). Keuangan Publik Islam: Zakat Sebagai Instrumen Utama
Keuangan Negara. Hukum Islam, 19(2), 100-116
Rahmawati, L. (2008). Kebijakan Fiskal dalam Islam. Al-Qanun: Jurnal
Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, 11(2 Des), 436-361
Nasiqoh, S. Z. (2022). Analisis Sistem Kebijakan Fiskal Modern Dan Islam Serta
Fungsinya Dalam Perekonomian: Kebijakan Fiskal. KASBANA: Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah, 2(1), 26-37
Wijayanti, I. Analisis Penerapan Qawaid Fiqiyyah Terhadap Kebijakan Belanja
Pegawai Pemerintah Dalam Pelaksanaan APBN Di Indonesia. BOOK-5: EKONOMI
ISLAM, 941
Isnaini, D. (2017). Peranan Kebijakan Fiskal Dalam Sebuah Negara. Al-INTAJ:
Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 3(1).
Ningrum, R. T. P. (2014). Refleksi Prinsip-Prinsip Keuangan Publik Islam
Sebagai Kerangka Perumusan Kebijakan Fiskal Negara. El-Wasathiya: Jurnal Studi
Agama, 2(1), 86-103

16

Anda mungkin juga menyukai