Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tak dipungkiri bahwa Indonesia sangat mudah menerima masuknya kebudayaan
Hindu dan Budha. Masuknya agama dan kebudayaan Hindu-Budha dari India ke Indonesia
berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia. Unsur-unsur kebudayaan
Hindu-Budha tersebut berpadu dengan kebudayaan asli Indonesia (terjadi proses akulturasi
budaya dan proses sinkretisme kepercayaan). Oleh karena itu, masuknya agama dan
kebudayaan Hindu dan Budha membawa perubahan-perubahan diberbagai aspek kehidupan,
baik sosial, ekonomi, budaya termasuk pada bidang birokrasi pemerintahan dengan
munculnya kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia. Di Indonesia sendiri banyak
peninggalan sejarah yang berunsur Hindu seperti candi, yupa, prasasti dan kerajaan.
Keberadaan nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-Hwang) sempat di kenal di
tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari sejumlah riwayat sejarah maupun
catatan penziarah asal daratan Cina, mengungkap akan keberadaan daerah kerajaan ini.
Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber. Keberadaan Tulang
Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik perjalanan pendeta Tiongkok, I
Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang biksu yang
berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia
tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tinggal di Chang’an. Dia menerjemahkan
kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.
Berhubung orang Tionghoa itu berasal dari Ke’, seorang pendatang negeri Cina yang
asalnya dari Tartar dan dilidahnya tidak dapat menyebutkan sebutan so, maka I Tsing
mengejanya dengan sebutan to. Sehingga kata Selapon/Solapun disebutnya To-La P’o-Hwang
(Suara Pembangunan, 2005).
Memang hingga kini belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan
perkembangan kerajaan ini. Namun catatan Cina kuno menyebutkan pada pertengahan abad
ke 4 masehi seorang penziarah agama Budha bernama Fa-Hien (337-422) pernah melawat ke
Sumatera. Waktu itu, ketika Fa-Hien melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, tapi ia
justru terdampar dan singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P'o-Hwang (Tulang
Bawang), tepatnya di pedalaman Chrise (Sumatera). Catatan Fa-Hien tersebut menjelaskan

1
akan keberadaan wilayah Kerajaan Tulang Bawang. Namun dia tidak menyebut di mana
persisnya letak pusat pemerintahan kerajaan ini.

B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Sejarah Kerajaan Tulang Bawang?
2. Bagaimana Sistem Pemerintahan, Struktur, dan Kejayaan pada Masa Kerajaan Tulang
Bawang?
3. Bagaimana Kehidupan Masyarakat dari Aspek Sosial, Budaya dan Ekonomi?
4. Bagaimana Sistem Kepercayaan dan pengaruh bagi Kehidupan Masyarakat?
5. Apa Faktor Penyebab Runtuhnya Kerajaan Tulang Bawang?
6. Apa saja Peninggalan-Peninggalan Kerajaan Tulang Bawang?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Penulisan makalah ini memiliki tujuan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah.
Selain itu adalah untuk menambah wawasan penulis maupun para pembaca tentang kerajaan
Tulang Bawang.

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Sejarah Kerajaan Tulang Bawang
Keberadaan nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-Hwang) sempat di kenal di
tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari sejumlah riwayat sejarah maupun
catatan penziarah asal daratan Cina, mengungkap akan keberadaan daerah kerajaan ini.
Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber. Keberadaan Tulang
Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik perjalanan pendeta Tiongkok, I
Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang biksu yang
berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia
tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tinggal di Chang’an. Dia menerjemahkan
kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.
Berhubung orang Tionghoa itu berasal dari Ke’, seorang pendatang negeri Cina yang
asalnya dari Tartar dan dilidahnya tidak dapat menyebutkan sebutan so, maka I Tsing
mengejanya dengan sebutan to. Sehingga kata Selapon/Solapun disebutnya To-La P’o-Hwang
(Suara Pembangunan, 2005).
Memang hingga kini belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan
perkembangan kerajaan ini. Namun catatan Cina kuno menyebutkan pada pertengahan abad
ke 4 masehi seorang penziarah agama Budha bernama Fa-Hien (337-422) pernah melawat ke
Sumatera. Waktu itu, ketika Fa-Hien melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, tapi ia
justru terdampar dan singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P'o-Hwang (Tulang
Bawang), tepatnya di pedalaman Chrise (Sumatera). Catatan Fa-Hien tersebut menjelaskan
akan keberadaan wilayah Kerajaan Tulang Bawang. Namun dia tidak menyebut di mana
persisnya letak pusat pemerintahan kerajaan ini.
Menurut riwayat turun temurun yang dituturkan, mengenai penamaan Tulang Bawang
salah satu sumber menyebutkan bahwa sesuai dengan Kerajaan Tulang Bawang yang hingga
kini belum di dapat secara mutlak, baik keraton maupun rajanya, demikian juga peninggalan-
peninggalannya, bahkan abad berdirinya pun tidak dapat dipastikan, sipat-sipat ini sama
halnya dengan sipat bawang. Bentuk bawang, dikatakan bertulang di mana tulangnya.
Semakin dicari semakin hilang (kecil), sampai habis tak bertemu dengan tulangnya.
Riwayat kedua, menurut cerita-cerita dahulu raja Tulang Bawang ini banyak musuh.
Semua musuh-musuhnya itu harus dibunuh. Karena tempat pembuangan mayat ini di bawang
atau lebak-lebak yang akhirnya tertimbunlah mayat-mayat tersebut didalamnya, sampai
tinggal tumpukan tulang-tulang manusia memenuhi bawang/lebak-lebak di sungai ini, maka
di sebut Sungai Tulang Bawang.

3
Riwayat ketiga, pada zaman raja Tulang Bawang yang pertama sekitar abad ke IV
masehi, dikisahkan permaisuri raja menghanyutkan bawang di sungai, yang sekarang di kenal
dengan sebutan Way (Sungai) Tulang Bawang. Kemudian Permaisuri itu menyumpah-
nyumpah “Sungai Bawang” lah ini. Semenjak itu, sungai tersebut dinamakan Sungai Tulang
Bawang atau Kerajaan Tulang Bawang (Hi. Assa’ih Akip, 1976).
Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang berdiri sekitar abad ke 4 masehi
atau tahun 623 masehi, dengan rajanya yang pertama bernama Mulonou Jadi. Diperkirakan,
raja ini asal-usulnya berasal dari daratan Cina. Dari namanya, Mulonou Jadi berarti Asal Jadi.
Mulonou= Asal/Mulanya dan Jadi= Jadi. Raja Mulonou Jadi pada masa kemudiannya oleh
masyarakat juga di kenal dengan nama Mulonou Aji dan Mulonou Haji.
Setelah memerintah kerajaan, berturut-turut Raja Mulonou Jadi digantikan oleh putra
mahkota bernama Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang Naga Berisang, Cacat Guci, Cacat
Bucit, Minak Sebala Kuwang dan pada abad ke 9 masehi kerajaan ini di pimpin Runjung atau
yang lebih di kenal dengan Minak Tabu Gayaw.
Minak Kemala Bumi atau di kenal Haji Pejurit merupakan keturunan raja Kerajaan
Tulang Bawang yang terakhir yang telah beragama Islam. Ia lahir dan wafat pada abad ke 16
masehi. Minak Kemala Bumi salah satu penyebar agama Islam di Lampung dan keturunan ke
sepuluh dari Tuan Rio Mangku Bumi.

B. Sistem Pemerintahan, Struktur, dan Kejayaan pada Masa Kerajaan Tulang


Bawang
Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang berdiri sekitar abad ke 4 masehi atau
tahun 623 masehi, dengan rajanya yang pertama bernama Mulonou Jadi. Diperkirakan, raja
ini asal-usulnya berasal dari daratan Cina. Dari namanya, Mulonou Jadi berarti Asal Jadi.
Mulonou= Asal/Mulanya dan Jadi= Jadi. Raja Mulonou Jadi pada masa kemudiannya oleh
masyarakat juga di kenal dengan nama Mulonou Aji dan Mulonou Haji.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P’o Chie(Sriwijaya), nama dan
kebesaran Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar. Akhirnya sulit sekali
mendapatkan catatan sejarah mengenai perkembangan kerajaan ini.
Sumber lain menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan
antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan
Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat
menerima ajaran tersebut menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu
yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih

4
eksis. Pada abad ke 7 masehi, nama Tola P'ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang
kemudian di kenal dengan nama Lampung.
Ketika Islam mulai masuk ke bumi Nusantara sekitar abad ke-15, Menggala dan alur
sungai Tulang Bawang yang kembali marak dengan aneka komoditi, mulai kembali di kenal
Eropa. Menggala dengan komoditi andalannya Lada Hitam, menawarkan harga yang jauh
lebih murah dibandingkan dengan komoditi sejenis yang didapat VOC dari Bandar Banten.
Perdagangan yang terus berkembang, menyebabkan denyut nadi Sungai Tulang Bawang
semakin kencang, dan pada masa itu kota Menggala dijadikan dermaga “BOOM“, tempat
bersandarnya kapal-kapal dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Singapura.

Perkembangan politik Pemerintahan Belanda yang terus berubah, membawa dampak


dengan ditetapkanya Lampung berada dibawah pengawasan langsung Gubernur Jenderal
Herman Wiliam Deandles mulai tanggal 22 November 1808. Hal ini berimbas pada penataan
sistem pemerintahan adat yang merupakan salah satu upaya Belanda untuk mendapatkan
simpati masyarakat.

Pemerintahan adat mulai ditata sedemikian rupa, sehingga terbentuk Pemerintahan


Marga yang dipimpin oleh Kepala Marga (Kebuayan). Wilayah Tulang Bawang sendiri
dibagi dalam 3 kebuayan, yaitu Buay Bulan, Buay Tegamoan dan Buay Umpu (tahun 1914,
menyusul dibentuk Buay Aji).

Sistem Pemerintahan Marga tidak berjalan lama, dan pada tahun 1864 sesuai dengan
Keputusan Kesiden Lampung No. 362/12 tanggal 31 Mei 1864, dibentuk
sistem Pemerintahan Pesirah. Sejak itu pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan
kolonial Belanda mulai dilakukan termasukdi Kabupaten Tulang Bawang.

Pada zaman pendudukan Jepang, tidak banyak perubahan yang terjadi di daerah yang
dijuluki “Sai Bumi Nengah Nyappur” ini. Dan akhirnya sesudah Proklamasi kemerdekaan RI,
saat Lampung ditetapkan sebagai daerah Keresidenan dalam wilayah Propinsi Sumatera
Selatan, Tulang Bawang dijadikan wilayah Kewedanaan.

C. Kehidupan Masyarakat dari Aspek Sosial, Budaya dan Ekonomi


Berdasarkan catatan dari I Tsing, seorang penziarah asal daratan Cina menyebutkan,
dalam lawatannya ia pernah mampir ke sebuah daerah di Tanah Chrise. Di mana di tempat

5
itu, walau kehidupan sehari-hari penduduknya masih bersipat tradisional, tapi sudah bisa
membuat kerajinan tangan dari logam besi yang dikerjakan pandai besi. Semua alat-alat
pertanian seperti : pacul, gobek, kapak, dibuat dari besi, demikian juga alat senjata : tombak,
badik, keris dan sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan masyarakat Tulang Bawang juga masih
ditandai dengan kegiatan ekonomi yang terus bergeliat. Pada abad ke-15, daerah Tulang
Bawang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di Nusantara. Pada saat itu, komoditi
lada hitam merupakan produk pertanian yang sangat diunggulkan.
Kebudayaan Tulang Bawang adalah tradisi dan kebudayaan lanjutan dari peradaban
Skala Brak. Karena dari empat marganya, yaitu Buai Bulan, Buai Tegamoan, Buai Umpu dan
Buai Aji, di mana salah satu buai tertuanya adalah Buai Bulan, yang jelas bagian dari
Kepaksian Skala Brak Cenggiring dan merupakan keturunan dari Putri Si Buai Bulan yang
melakukan migrasi ke daerah Tulang Bawang bersama dua marga lainnya, yakni Buai Umpu
dan Buai Aji.
Dengan demikian, adat budaya suku Lampung Tulang Bawang dapat dikatakan lanjutan
dari tradisi peradaban Skala Brak yang berasimilasi dengan tradisi dan kebudayaan lokal,
yang dimungkinkan sekali telah ada di masa sebelumnya atau sebelum mendapatkan
pengaruh dari Kepaksian Skala Brak.
Kebudayaan Tulang Bawang yang merupakan penyimbang punggawa dari Kepaksian
Skala Brak adalah satu kesatuan dari budaya-budaya dan etnis Lampung yang lainnya, seperti
Keratuan Semaka, Keratuan Melinting, Keratuan Darah Putih, Keratuan Komering, Sungkai
Bunga Mayang, Pubian Telu Suku, Buai Lima Way Kanan, Abung Siwo Mego dan Cikoneng
Pak Pekon.

D. Sistem Kepercayaan dan pengaruh bagi Kehidupan Masyarakat


Sungguhpun kita telah dididik diajar digembleng dan diresapi oleh Agama Islam yang
sudah berabad-abad lamanya ini, namun pengaruh Animisme Hindu nampaknya sampai pada
dewasa ini masih belum juga dapat dikuras habis.
Dimana-mana lebih-lebih di Kampung-kampung dan dipedalaman hal ini masih
dipraktekkan oleh Rakyat disana. Mereka masih meyakinkan bahwa Roh-roh itu masih aktif,
masih bekerja masih tetap mengawasi anak-cucunya dimana saja berada.
Mereka masih meyakinkan bahwa kayu-kayu besar, gunung-gunung besar
mempunyai penunggu dan penjaganya, inilah yang dinamakan Animisme.

6
E. Faktor Penyebab Runtuhnya Kerajaan Tulang Bawang
Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi, di sebut
dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit Seguntang, di sebelah
barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa pada tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah
berkuasa, baik di laut maupun di darat. Dalam tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai
meningkatkan kekuasaannya.
Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para ekspedisinya untuk
menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh karenanya, diperkirakan
sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya, atau daerah
ini tidak berperan lagi di pantai timur Lampung.
Seiring dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o Chie (Sriwijaya), nama
dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar. Akhirnya,
dengan bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya yang di sebut-sebut pula sebagai kerajaan
maritim dengan wilayahnya yang luas, sulit sekali untuk mendapatkan secara terperinci prihal
mengenai catatan sejarah perkembangan Kerajaan Tulang Bawang.

F. Peninggalan-Peninggalan Kerajaan Tulang Bawang


Peninggalan-peniggalan Kerajaan Tulang Bawang ini tidak seperti Peninggalan-
peninggalan Kerajaan-kerajaan lain, seperti Batu-batu bertulis, Keris, Babat lama, Benda-
benda purba tidak ada kesemuanya dan inilah yang menyebabkan kesukaran-kesukaran kita
menggali Kerajaan ini dalam memberikan penemuan yang sebenarnya, dan inilah sebabnya
penulis pada pembukaan Cerita Riwayat Sejarah Kerajaan ini, mengatakan ia mempunyai
sifat-sifat khas ketentuan-ketentuan khusus.
Kalau memang Kerajaan ini seperti Kerajaan Hindu lainnya yang mempunyai
pembuktian-pembuktian, peninggalan-peninggalan, tentu penulis tidak kebagian seperti ini,
telah didahului oleh ahli-ahli sejarah untuk mengungkapnya lagi kalau memang sudah
terungkap seperti itu. Peninggalan-peninggalan yang ditinggalkannya berupa :
1. Tanah Atau Daerah
Segala tanah yang didiami oleh keempat marga di daerah Tulang Bawang itu adalah
tanah bekas Kerajaan Tulang Bawang, oleh karena itu keluar ia mempunyai batas-batas
tertentu, lebih jelas lagi batas-batas itu digariskan oleh apa yang dinamakan PAKSI EMPAT
( 4 Paksi ) oleh Pemuka-pemuka Adat Pepadun yang ada di Lampung Utara.

7
Pembagian ini bukan suatu hal yang baru, ia sudah ditetapkan sebelum Adat Pepadun
ada, karena ketetapan pada Zaman Hindu itu sama-sama, maka setelah adanya Adat Pepadun
yang diperkirakan menjelang abad ke XVIII atau pada abad ke XVIII, ke samaran batas-batas
ini ditetapkan oleh Paksi 4 sebagai berikut:
1.PAGAR DEWA
2.NEGERI JUNGKARANG
3.NEGERI BESAR
4.KOTA BUMI.

2. Tulisan Atau Aksara Lampung

Aksara Lampung Dari Kulit Kayu


Surat Lampung ini kalau kita teliti dan selidiki dari bentuk gambar hurufnya, maka
tulisan ini berasal dari tulisan huruf Pallawa Hindu. Tulisan ini kebanyakan ditulis oleh nenek
moyang kita diatas kulit kayu Jeluang, dan di Pagar dewa di atas kulit kayu alim yang kayu
ini tumbuhnya disekitar danau Lambo sebelah ujung kampung Pagar Dewa.

8
3. Alat Pertanian dan Senjata dari Besi

Semua alat-alat pertanian seperti : pacul, gobek, kapak, dibuat dari besi, demikian
juga alat senjata : tombak, badik, keris dan sebagainya bukankah ini dari besi?
diatas telah penulis singgung pada tahun 671 Pendeta Tiongkok I TSING pernah
mengadakan pencatatan-pencatatan tentang Kerajaan Tulang Bawang, bahwa didapatinya
Rakyat disana sudah maju, pandai membuat gula dan membuat besi.
Jelas disini gula aren yang kita minum sekarang, demikian juga senjata-senjata dari
besi adalah dari Zaman Hindu dari Kerajaan Tulang Bawang asalnya, malahan di Pagar Dewa
sekarang ini masih ada pandai besi (tukang membuat senjata) badik, keris, dan sebagainya.
Malahan menurut keterangan Batu Tempaan Kuno ada pada orang tersebut, orang Kalianda
mengakui atas kebenaran ini, mereka punya bahannya (besi segelungan), Pagar Dewa punya
tepaannya.bahkan di Lampung pembuatan sarung-sarung dari pada senjata-senjata ini yang
dikenal hanya Pagar Dewalah tempat pembuatan sarung badik yang terbaik, berita ini sampai
sekarang masih disebut-sebut.

4. Benda-Benda Kuno

Benda-benda kuno dan benda-benda yang dapat dijadikan pembuktian seperti yang
pernah didapati oleh ahli-ahli Purbakala di daerah-daerah Kerajaan Hindu lainnya penulis
kira di Tulang Bawang ini ADA.

9
Dimana benda-benda tersebut inilah perlu kita gali dan kita selidiki, benda-benda
tersebut di Kerajaan ini masih terpendam semuanya.
Kalau ada tetap ada, buktinya ada, sejak abad ke XIX barang-barang ini berangsur-
angsur dinampakan atau ditampakkan oleh yang empunya, siapa yang punya jelas poyang-
poyang yang menjadikan Kerajaan ini
Dimana-mana terdapat dan terdengar barang-barang yang terpendam di Kerajaan ini
misalnya di Kampung Gedung Aji, pernah penulis mendengar disini didapati piring, di Pagar
Dewa pada awal permulaan abad ke XIX didapati 3 guci, karena guci ini sangat ganjil pandai
berkata-kata minta dipulangkan lagi, maka terpaksa oleh yang menemukannya dipulangkan
kedalam sungai Tulang Bawang di BUMI RATA PAGAR DEWA.
Beberapa tahun yang lalu penduduk asli Pagar Dewa pernah menemukan sebuah
kobokan Purba dan sampai sekarang benda tersebut ada di tangannya.
Terang bagi kita bahwa barang-barang kuno ini ada di kerajaan Tulang Bawang,
hanya menunggu siapa-siapa yang akan memulai mengadakan penyelidikan dan penggalian
barang-barang yang masih terpendam ini.

10
BAB III
KESIMPULAN

Setelah kita mengikuti Risalah kecil ini tentang Riwayat Sejarah Kerajaan Tulang
Bawang, maka kita dapat mengambil suatu Kesimpulan sebagai berikut :
1. Raja Tulang Bawang yang pertama diperkirakan MAULANO AJI/ MAULANA HAJI
Tahun 623 M.
2. Raja Tulang Bawang yang terakhir adalah MINAK PATI PEJURIT gelar MINAK
KEMALA BUMI.
3. Adat Imigrasi / Transmigrasi sudah ada sejak zamannya Kerajaan Tulang Bawang.
4. Demokrasi dan Hak Azazi Manusia sudah ada sejak Zamannya Minak Kemala Bumi.
5. Penyebaran Agama Islam di Lampung adalah MINAK KEMALA BUMI.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://tulangbawangkab.go.id/?page_id=223
http://northmelanesian.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-kerajaan-tulang-bawang-lampung.html
http://putra-lampung.blogspot.com/2012/08/kerajaan-tulang-bawang.html
http://melayuonline.com/ind/history/dig/408/kerajaan-tulang-bawang
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Tulang_Bawang
http://bangekmengan.blogspot.co.id/
http://www.academia.edu/9689893/Kerajaan_tulang_bawang

12

Anda mungkin juga menyukai