INDONESIA
(Studi Analisis di Situs Belanja Online Tokopedia)
Agung Maulana Ashar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia
Email: agung.ashar18@mhs.uinjkt.ac.id
35
PENDAHULUAN
Jual beli merupakan kegiatan yang sudah lama dilakukan oleh manusia
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jual beli barang
merupakan transaksi yang paling kuat dalam dunia bisnis, bahkan dapat
dikatakan jual beli barang ini sebagai bagian terpenting dalam aktifitas usaha.
Jika dilihat dari perkembangan sistem jual beli, sejak zaman dahulu bidang ini
sangat di pengaruhi oleh zaman seperti pada perkembangan teknologi yang
ada sekarang. Dalam semua proses bisnis, yang merupakan kunci dari segala
bentuk bisnis ialah kepercayaan, baik di dalam lingkungan offline maupun
online.1 Akan tetapi dari kedua metode jual beli ini, sepertinya masyarakat
pada saat ini lebih memilih transaksi bisnis secara online dari pada offline
karena dinilai lebih praktis, efisien dan mudah karena dilakukan tanpa harus
bertemu secara langsung.
Salah satu contohnya ialah munculnya jual beli secara online yang
bahkan sudah banyak situs atau aplikasi yang menyediakan tempat atau
sebagai pihak penengah antara penjual dan pembeli ketika bertransaksi jual
beli online. Bukan hanya jual beli biasa saja yang sekarang ini muncul dengan
sistem online, jual beli dengan sistem dropship pun sudah muncul di dalam
aplikasi-aplikasi jual beli online contohnya seperti Tokopedia, Shopee,
Bukalapak, dan bahkan sampai platform social media seperti Instagram,
Tiktok, Facebook, dan lain-lainnya.
1
Muhammad, Etika Bisnis Islam. (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), h., 224.
2
Juhrotul Khulwah, “JUAL BELI DROPSHIP DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM” VOL : 07,
NO : 1,( Agustus 2019).
akad ini kepemilikan barang tidak dimiliki secara sempurna oleh pihak
dropshipper. Maka apabila barangnya tidak dimiliki secara sempurna, maka
barang tersebut tidak dapat ditasharufkan ataupun diperjual belikan.3 Hal
tersebut didukung pula oleh Oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang diriwayatkan dari ‘Amr ibn Shu‘ayb, dari ayahnya, dari
kakeknya, bahwa bersabda: “Tidak dihalalkan penjualan yang bukan milik
kalian dan tidak pula dihalalkan keuntungan yang tidak terjamin.”4 Jadi yang
melatarbelakangi penulis meneliti dropship ini dikarenakan belum adanya
hukum yang mengatur langsung terkait dropship, khususnya hukum positif di
Indonesia.
METODE
Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif yang
merupakan penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivme atau
enterpretif, digunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah dimana
peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan
ialah wawancara data yang diperoleh cenderung data kualitatif, analisis data,
bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif bersifat untuk
memahami makna, memahami keunikan, mengkontruksi fenomena, dan
menemukan hipotesis.5
Jenis dan sumber data dijelaskan secara detail sehingga pembaca dapat
mengetahuinya dengan baik jenis penelitian ini dan seluruh data penelitian
3
Ibid.
4
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Vol. 4 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2010), h.,
75-81.
5
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
6
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.,, 13.
yang digunakan. Sedangkan metode analisis menyampaikan tentang uraian
prosedur atau pendekatan, termasuk penentuan parameter atau variabel,
metode pengumpulan data, dan metode pengolahan serta analisis data. Uraian
dapat pula mencantumkan rumusan matematis atau formula tertentu
sehingga hasil numeriknya dapat divalidasi. Untuk rumus atau formula dan
bahan yang telah baku maka tidak perlu dijelaskan ulang, cukup
mencantumkan sumber acuannya, kecuali jika dimodifikasi. Penjelasan
metode disampaikan secara terperinci sehingga metode penelitian yang
digunakan dapat diulang oleh peneliti lainnya.
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Jual beli ini berasal dari dua suku kata, yaitu “Jual” dan “Beli”. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya kegiatan menjual dan ada kegiatan membeli 7.
Kedua kata tersebut berasal dari kata al-bai’ berarti menjual dan al-Syira’
berarti membeli.
Kemudian, Jual Beli menurut Fachri Fachrudin, secara etimologi jual beli
berasal dari kata al-buyu’ yang berarti mengambil sesuatu dan memberikan
sesuatu. Kemudian menurut terminologi, jual beli adalah menukar suatu beda
seimbang dengan harta benda yang lain yang keduanya itu boleh
dikendalaikan ijab kabul menurut cara yang dihalalkan oleh syara’. Hal
tersebut dikemukakan oleh Fachri Fachrudin dalam bukunya dimana beliau
mengutip pernyataan Abu Bakar Taqiyudin.8
Adapun definisi jual beli secara terminologi menurut para ulama sebagai
berikut:
7
Suhrawardi Lubis, Hukum Ekonomi Islam. (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2000), h.,, 128
8
Fachri Fachrudin. (2015). Filosofi Laba dalam Perspektif Fiqh Mu’amalah
dan Ekonomi Konvensional. Al-Mashlahah: (Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam,
03(06).h.,, 278.
2) Ulama Malikiyah, al-bai’ adalah akad saling tukar menukar terhadap
barang, adanya saling tawar menawar, bukan emas dan perak, bendanya
tertentu.
4) Ulama Hanabilah, al-bai’ adalah saling tukar menukar harta walaupun itu
berbentuk tanggungan atau manfaat yang diperbolehkan oleh syariat
Islam, kemudia barang tersebut bersifat abadi bukan termasuk barang
riba dan pinjaman.
5) Imam Nawawi, al-bai’ adalah transaksi yang sah setelah adanya proses
pemilihan barang oleh pembeli.9
Sedangkan dalam KUPerdata pada Pasal 1457 jual beli adalah suatu
perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah dijanjikan. Adapun unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah
barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat
tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Maka suatu perjanjian
jual beli dapat dinilai sah apabila kedua belah pihak telah menyetujui terkait
harga dan barang yang akan di transaksikan. 12
Dari beberapa definisi di atas, maka jual beli dapat diartikan sebagai
suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang dengan sukarela antara
kedua belah pihak atau lebih. Adapun satu pihak menerima barang dan pihak
lain menerima uang atau sesuai dengan perjanjian dan ketentuan, kata sesuai
9
Ahmad Nahrawī Abdul Salām al-Indūnīsī, Ensiklopedia Imam
Syāfi‟ī(Jakarta: PT. Mizan Publika, 2018), h., 528.
10
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM),
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), h., 15.
11
Fatwa DSN-MUI NO: 110/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Akad Jual Beli
12
Soesilo dan Pramudji, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW,
(Rhedbook Publisher: 2008)., h., 325-326
di sini yaitu apabila dalam sudut pandang hukum positif maka kata sesuai di
sini merujuk kepada Kitab Undang-Undang khususnya hukum perdata, dan
jika dalam sudut pandang hukum Islam, maka pastinya maksudnya ialah
sesuai dengan hukum syara’. Yang dimaksud sesuai hukum syara’ ialah jual
beli harus memenuhi rukun dan syarat yang ada dalam syariat Islam.
1) Al-Qur’an
Dalam Q.S Al-Baqarah 2:275 tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
Dalam Q.S Al-Baqarah 2:282 tentang kehadiran saksi dalam jual beli
Dalam Q.S An-Nisa 4:29 Allah SWT, menegaskan bahwa setiap mukmin
untuk bekerja.
13
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Cordoba,
2014), h., 47
14
Ibid., h., 48
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” 15
2) Sunnah
Adapun dalil dari sunnah yaitu hadits yang yang diriwayatkan dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ْ ْ ِّ الز َبي ِّْر ب ِّْن ْال َع َّو ِّام َر
َ س َّل َم َقالَ ََل َ ْن َيأ ُخذَ أَ َح ُدكُ ْم َح ْبلَهُ َف َيأت
ِّي ِّب ُح ْز َم ِّة َ ع َل ْي ِّه َو َّ ص َّلى
َ َُّللا َ ُع ْنه
َ ِّ ع ْن ال َّن ِّبي َ َُّللا
َّ ي َ ض ُّ ع ْن
َ
ط ْوهُ أ َ ْو َمنَعُو ُه َ اس أ َ ْع
َ َّ
ن ال ل
َ َ أ سْ ي
َ ْ
ن َ أ ْ
ِّنم ُ ه َ ل ْر
ٌ ي خ
َ ُ ه ه ج
ْ و ا ه ب َّللا ف ُ ك
َ َ َ ِّ ُ َّ َّ َ َ َ ِّ َ ِّ ْ يَ ف اه ع يبيفَ ه
ِّ ر ه َ
ظ ى َ
ل َ ِّ َ ْال
ع ب َ
ط ح
3) Ijma
Adapun ijma ulama terkait dengan jual beli adalah dibolehkan dan
dipraktekan pula sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga
saat ini kecuali ada dalil yang mengharamkan jual beli tersebut.
4) Fatwa DSN-MUI
Di dalam hukum jual beli, terdapat rukun dan syarat. Jumhur ulama termasuk
imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad ibn Hanbal
tidak berbeda pendapat dalam hal rukun jual beli. Adapun rukun jual beli
menurut jumhur ulama ialah :
Adapun ulama yang berbeda pendapat dalam rukun jual beli ialah madzhab
Hanafiyah, menurutnya rukun jual beli hanya ada ijab dan kabul saja. Hal ini
disebabkan karena dalam jual beli rukunnya hanyalah kerelaan antara penjual
dan pembeli, akan tetapi dalam kerelaan ini sulit diketahui sebab adanya
dihati, perlukan indikator-indikator untuk mengetahuinya. Hal tersebut bisa
dalam bentuk perkataan, yaitu ijab dan kabul atau dan bentuk perbuatan, yaitu
saling memberi (saling serah terima) barang dan uang.18
Apabila kita melakukan jual-beli maka harus memenuhi beberapa syarat jual
beli, karena jika salah satunya tidak terpenuhi, maka akad akan menjadi batal.
Jika syarat sahnya akad tidak lengkap, maka akad tersebut dinilai fasid, dan
jika dalam syarat nafaz tidak terpenuhi, maka akadnya menjadi mauquf. 19
Untuk menilai akad itu bersifat mauquf, maka ada dua kriteria yang harus
dipenuhi, yaitu:
18
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h.,
114
19
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2008) h., 70.
a. Kepemilikan dan wilayah (hak), dalam hal kepemilikan barang yang
akan di perjual belikan harus merupakan murni milik penjual, dalam
hak di sini maksudnya penjual berhak sepenuhnya dengan komiditas
yang akan dijualnya. Kedua hal ini sangat berkaitan dan memperkuat
satu sama lain dalam menentukan mauquf atau tidaknya suatu akad;
b. Komoditas barangnya tidak ada hak orang lain. Jika terdapat hak
orang lain, maka akad tersebut menjadi mauquf.20
Di dalam akad jual beli dalam fiqh muamalah Islam, apabila dilihat dari
sisi antara alat bayar dan barang yang diperjual-belikan, jual beli di bagi
menjadi 4 macam, yaitu jual beli mutlaq, jual beli salam, jual beli sharf dan jual
beli muqayyadah.22
b. Jual beli salam, yaitu akad jual beli barang pesanan di antara pembeli
dan penjual dengan sistem pembayaran (modal) di awal dan
penyerahan barangnya di tunda. Contohnya ialah si A memesan
20
Ika Yunia Fauzia, “Akad Wakalah dan Samsarah sebagai Solusi atas Klaim
Keharaman Dropship dalam Jual Beli Online”, Vol.9 No.2, (Maret 2015)
21
Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fikih”, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup,2010) h., 177
22
Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015, Cet.
Pertama), h.,, 48.
lemari yang seharga 1 juta kepada si B kemudian si A membayar
terlebih dahulu 1 jutanya di awal dan lemari akan di serahkan 1 hari
kemudian.
c. Jual beli sharf, yaitu tukar menukar uang dengan uang lainnya baik
sama jenis atau tidak. Atau tukar menukar emas dengan perak atau
perak dengan emas atau emas dengan emas atau perak dengan perak
dengan ketentuan syara’. Contohnya seperti menukarkan emas 1
gram dengan perak 200 gram.
b.Jenis-jenis E-Commerce
23
Ibid.
Jenis e-commerce c2c ini dilakukan antara konsumen dengan konsumen.
Misalnya, konsumen dari suatu produsen akan menjual kembali produk ke
konsumen lainnya. Kalau Anda sering menggunakan Tokopedia, Bukalapak,
OLXdan sejenisnya, maka inilah yang dinamakan B2C e-commerce
Jenis bisnis B2B ini dilakukan oleh orang atau pihak yang saling
berkepentingan dalam menjalankan bisnis, di mana keduanya saling mengenal
dan mengetahui proses bisnis yang mereka lakukan. Biasanya, jenis B2B
dilakukan secara berkelanjutan karena kedua belah pihak saling mendapatkan
keuntungan dan adanya kepercayaan satu sama lain. Contoh dari bisnis B2B
adalah ketika dua perusahaan mengadakan transaksi jual beli secara onine,
begitu juga dengan pembayaran yang tersedia menggunakan kartu kredit.
Jenis C2B adalah bisnis antara konsumen dan produsen. Bisnis tersebut
dilakukan oleh konsumen kepada para produsen yang menjual produk atau
jasa. Sebagai contoh, konsmen akan memberitahukan detail produk atau jasa
yang diinginkan secara online kepada para produsen. Nantinya, produsen yang
mengetahui permintaan tersebut akan menawarkan produk atau jasa yang
diinginkan konsumen.
Jenis e-commerce B2C dilakukan oleh pelaku bisnis dan konsumen. Transaksi
e-commerce ini terjadi seperti jual-beli biasa. Konsumen mendapatkan
penawaran produk dan melakukan pembelian secara online. Sebagai contoh,
produsen menjual produk ke konsumen secara online. Di sini, pihak produsen
akan menjalankan bisnis dengan memasarkan produknya ke konsumen tanpa
adanya feedback dari konsumen untuk melakukan bisnis kembali.
B. Kerangka Teori
1. Teori Perjanjian
24
Salim, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”, (Sinar Grafika: Jakarta,
2002), h.,, 161
25
Subekti, “Hukum Perjanjian”, (Jakarta : Intermasa, 2008), h.,, 1
26
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan , “Hukum Perjanjian”, (Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 1982), h., 8
f. Adanya syarat-syarat tertentu yang telah disepakati oleh para pihak
yang melakukan perjanjian
27
Dominikus Rato, “Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami
Hukum”, (Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010), h.,59.
28
Riduan Syahrani, “Rangkuman Intisari Ilmu Hukum”, (Penerbit Citra Aditya
Bakti,Bandung, 1999), h.,23.
29
Achmad Ali, “Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis)”, (Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002), h., 82-83.
dalam suatu perjanjian tersebut, maka dalam hal tersebut akan ada sebuah
perlindungan hukum bagi masing-masing pihak yang terkait.
30
Wahbah al-Zuhayli, “al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh”, juz 5, (Damaskus: Dar
al-Fikr, 2004), h., 3409.
a. Definisi Perlindungan Konsumen dan Khiyar
31
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti, 2014) h.,, 39
32
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (Jakarta: PT.
Grasindo, 2000) h., 9
33
Sidobalok, J., Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. (Bandung: CItra
Aditya Bakti, 2014) h., 37
34
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, ( Malang: UIN-Maliki Press, 2016, Cet.
Ketiga), h.,, 354.
atau membatalkan akad. Di dalam pasal 20 ayat 8 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, “khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan
atau membatalkan akad jual beli yang dilakukan”.35 Hal ini yang menjadi salah
satu bentuk perlindungan apabila konsumen merasa barang yang dipesan
tidak sesuai dengan keinginannya.
1) Khiyar Syarth, ialah khiyar antara penjual dan pembeli dengan adanya
persyaratan tertentu. Adapun syarat-syaratnya ialah seperti yang
dijelaskan dalam KHES pasal 271-274 yang berbunyi sebagai berikut: 36
b) Pasal 272, “Apabila masa khiyar telah lewat, sedangkan para pihak yang
mempunyai hak khiyar tidak menyatakan membatalkan atau
melanjutkan akad jual-beli, akad jual-beli berlaku secara sempurna”.
c) Pasal 273, “Hak khiyar syarth tidak dapat diwariskan. Pembeli menjadi
pemilik penuh atas benda yang dijual setelah kematian penjual pada
masa khiyar. Kepemilikan benda yang berada dalam rentang waktu
khiyar berpindah kepada ahli waris pembeli apabila pembeli meninggal
dalam masa khiyar”.
2) Khiyar Naqdi, ialah khiyar yang biasanya terjadi apabila dua pihak
melakukan jual beli dengan ketentuan jika pihak pembeli tidak dapat
melunasi pembayaran, atau pihak penjual tidak menyerahkan barang
dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugikan memiliki hak untuk
membatalkan atau tetap melangsungkan akad.
3) Khiyar Ru’yah, ialah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum
35
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, pdf..., h.,, 73-74.
36
Ibid, h.,, 74-75.
melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya
dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan
atasnya. Konsep khiyar ini berdasarkan konsensus fuqoha Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang
ghaib (tidak terdapat ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa.
Sementara berdasarkan pendapat Imam Syafi‟i khiyar ru‟yah ini tidak sah
dalam proses jual beli karena berdasarkankan pendapatnya jual beli
terhterdapatp barang yang ghaib (tidak terdapat ditempat) sejak semula
dianggap tidak sah.
c) Pasal 278, “Pembeli yang buta boleh melakukan jual-beli dengan hak
ru’yah melalui media dan pemeriksaan benda yang akan dibeli oleh
pembeli yang buta dapat dilakukan secara langsung atau oleh
wakilnya”.
4) Khiyar ‘Aib, merupakan hak memilih apabila ada kecacatan pada barang
yang tidak diketahui oleh pembeli pada saat akad berlangsung. Dalam
KHES Khiyar ‘aib dijelaskan pada pasal 279-285 yang berbunyi sebagai
berikut:38
37
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, pdf..., h., 75- 76
38
Ibid , h., 76-77
b) Pasal 280, “Pembeli berhak meneruskan atau membatalkan akad jual-
beli yang obyeknya ‘aib tanpa penjelasan sebelumnya dari pihak
penjual”.
e) Pasal 283, “Pembeli bisa menolak seluruh benda yang dibeli secara
borongan apabila terbukti beberapa diantaranya sudah ‘aib sebelum
serah terima dan pembeli dibolehkan hanya membeli benda-benda
yang tidak ‘aib”.
39
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung,
PT.Citra Aditya Bakti,2014) h., 14
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
1) Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang atau jasa, konsumen memiliki beberapa hak dan
kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya,
jika ditengarai adanya tindakan tidak adil terhadap dirinya, ia sepontan akan
menyadari akan hal itu, konsumen bisa bertindak lebih jauh untuk
memperjuangkan hak-haknya dengan kata lain ia tidak hanya tinggal diam saja
ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
b) Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang
dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tikar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan
c) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan atau jasa
d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan atau jasa
yang digunakan
40
Ibid, h.,, 39
e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
2) Kewajiban Konsumen
Skripsi yang ditulis oleh Yasma Hifal 41 NPM (1297359) berjudul “Jual
Beli Dropship Perspektif Hukum Ekonomi Syari’ah dan Hukum Positif di
Indonesia”. Pada penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana
Skripsi yang ditulis oleh Destyana 42, “Jual Beli Online Menggunakan
Sistem Dropshipping Dalam Perspektif Etika Bisnis Islam (Studi Kasus Di
Distro Indie Clothing di Jl. Yos Sudarso Kecamatan Metro Barat Kota
Metro)”. Pada penelitian ini bertujuan untuk medeskripsikan bagaimana jual
beli dropship dalam perspektif etika bisnis Islam. Adapun jenis penelitian yang
dipakai adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang
dilakukan dilapangan dalam kancah kehidupan sebenarnya. Dimana dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggali sumber secara khusus dari Distro
Indie Clothing Metro Barat. Dan yang dicari dalam penelitian ini adalah
pandangan etika bisnis Islam dalam jual beli dropship. Adapun perbedaan
penelitian ini dengan tulisan penulis adalah disisi perbandingannya dan
studinya yang dimana penulis meneliti jual beli dropship dalam perspektif
perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.
42
Destyana, “JUAL BELI ONLINE MENGGUNAKAN SISTEM
DROPSHIPPING DALAM PERSPEKTIF ETIKA BISNIS ISLAM (Studi Kasus Di Distro
Indie Clothing di Jl. Yos Sudarso Kecamatan Metro Barat Kota Metro)”. (Lampung:
skripsi sarjana prodi Hukum Ekonomi Syariah Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Lampung, 2018)
43
Ahmad Budi Lakuanisme, “Praktek Jual Beli Online Dengan Sistem Dropship
Perspektif Hukum Islam dan KUHPerdata”. (Malang: skripsi sarjana prodi Hukum Bisnis
Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2018)
hanya mengkaji masalah melalui peraturan-peraturan melainkan meneliti
asas-asas hukum Islam berupa Fiqh Muamalah yang ada kaitannya dengan
dropship. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa praktek jual
beli online dengan sistem dropship yang terjadi akun instagram
Little_boss_sandal dilihat dari hukum Islam tidak dilarang sebab barang yang
dijual meskipun bukan milik penjual, barang tersebut sudah mendapatkan izin
dari pemilik barang dalam hal ini ialah supplier. Kemudian dalam pandangan
hukum positif sistem yang terjadi di akun tersebut dilarang menurut pasal
1471, pasal 1794, dan pasal 1797. Dikarenakan menjual barang milik orang
lain, mengambil keuntungan yang melebihi dari ketentuan karena upahnya
tidak ditentukan dengan jelas.
44
Fatmawati Desi, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Dropship Online
(Studi Kasus Ariana Shop”), (Purwokerto: Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Purwokerto, 2017)
45
Rizki Syahputra, “BISNIS DROPSHIP DALAM TINJAUAN FIKIH
MUAMALAH” Vol. 6 No.1 (Jurnal Ecobisma, Januari 2019)
Dari beberapa studi terdahulu di atas, maka penelitian yang peneliti buat
ini memiliki perbedaan dan persamaan dari berbagai sisi. Adapun
perbedaannya ialah pada pada penelitian ini berfokus dalam menganalisa jual
beli dengan sistem dropship yang terjadi di situs belanja online Tokopedia dan
penelitian ini menganalisis terkait hubungan hukum dan model pengaturan
hukum dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia,
sedangkan pada studi-studi penelitian di atas hanya membahas terkait hukum
dropship saja. Lalu untuk persamaannya ialah meneliti terkait transaksi
dropship yang terjadi di Indonesia. Baik itu dari sisi metode penelitian dan
juga kasus yang dibahas dalam penelitian ini.
1. Profil Tokopedia
2. Sejarah Tokopedia
Tokopedia didirikan oleh dua orang yang luar biasa yaitu Wiliam Tanuwijaya
dan Leontinus Alpha Edison dengan didanai oleh Investor tunggal yaitu
VF.Mereka Berjuang keras untuk membangun impiannya Melalui sebuah ruko
yang berada di lantai 3 Rukan Permata Senayan E7 Jakarta Selatan, yang
menjadi kantor dari PT Tokopeda tersebut. Dan PT Tokopedia sendiri Resmi
di dirikan sejak 6 Februari 2009. Perjalanan Tokopedia membangun
Marketplace di Indonesia Berkembang signifikan. Di awal berdirinya
Tokopedia berhasil menggandeng 509 Merchants dan 4560 members. Hingga
sampai satu tahun berjalan Tokopedia berhasil menggaet 4649 merchants
dengan 44785 members. Dalam jangka waktu setahun pula, yang dari awal
berdiri hanya memiliki transaksi sebesar Rp 33 juta, hingga mencapai Hampir
Rp 6 Milyar. Tokopedia menerima pendanaan awal sebesar Rp. 2,5 miliar dari
PT. Indonusa Dwitama (anak perusahaan dari Nusapati Group) yang
merupakan perusahaan investasi di bidang tambang boksit, penanaman
kelapa sawit, toko daring, trading dibidang minyak &energi serta jasa
keuangan pada Februari 2015.Saat masih dalam versi "tertutup" dimana
Penggunaannya berdasarkan undangan, Tokopedia memenangkan Bubu
Awards 2015 dengan kategori “Corporate Awards E-Commerce Category”.
Tokopedia menerima dana investasi lebih lanjut dari East Ventures,
perusahaan yang berbasis di Singapura yang fokus terhadap investasi kepada
bisnis internet yang sedang berkembang. Tokopedia mempunyai 56.538
Pengguna terdaftar, 5,984 toko 51 daring, dan 115,617 produk yang
ditawarkan (per tanggal 01 November 2015). Selama periode Agustus 2009
hingga Agustus 2016, Tokopedia membukukan total transaksi sebesar hampir
6 miliar rupiah(analisa-e-commerce-tokobagustokopedia.html)
Jadi pasar digital adalah suatu usaha untuk mempromosikan sebuah merek
dengan menggunakan media digital yang dapat menjangkau konsumen secara
tepat waktu, pribadi, dan relevan (analisa-e-commerce-
tokobagustokopedia.html).
9. BPJS
Dropship merupakan sistem jual beli yang sedang marak terjadi baik di dalam
transaksi jual beli offline, maupun jual beli online. Salah satu situs belanja
online yang memiliki sistem ini yaitu tokopedia. Dropship di dalam aplikasi
Tokopedia merupakan sebuah layanan penjualan bagi orang-orang yang ingin
menjual produk tanpa perlu punya produk. Anda dapat memanfaatkan produk
orang lain dan bekerja sebagai seorang dropshipper. Tapi, bagaimana cara
menjadi dropshipper? Jika kita pengguna Tokopedia, kita dapat menjadi
seorang dropshipper dengan mudah. Akan tetapi ada beberapa syarat dan
ketentuan pengiriman dengan sistem dropship di dalam aplikasi Tokopedia.
46
https://www.tokopedia.com/help/article/bagaimana-syarat-dan-ketentuan-
pengiriman-dengan-sistem-dropship dibuka pada tanggal 14 Juni 2023 pukul 14:13
Dropshipping hanya bisa dilakukan ke pembeli di luar Tokopedia
atau dari penjual di luar Tokopedia.“
47
Tokopedia Care, “Syarat dan Ketentuan Pengiriman dengan Sistem
Dropship”, di akses pada 1 Mei 2023 pukul 21:30. Syarat dan Ketentuan Pengiriman
dengan Sistem Dropship | Tokopedia Care
3. Setelah melakukan pembayaran maka dropshipper melakukan
pemesanan barang yang sudah di pesan darinya kepada pihak supplier
yang ada di aplikasi Tokopedia dengan cara:
Langkah awal yang perlu anda lakukan adalah membuka aplikasi Tokopedia.
Jika anda belum punya, silahkan anda download di Google Playstore atau App
Store. Setelah itu login. Apabila anda belum punya akun Tokopedia, anda dapat
membaca panduan Cara Daftar Akun Tokopedia.
b. Cari Produk
Selanjutnya, silahkan anda cari produk yang ingin anda dropship. Anda bisa
memanfaatkan fitur pencarian untuk mempermudah pencarian anda.
c. Beli Produk
63
Setelah menemukan produk yang ingin dropship, klik produk tersebut lalu klik
tombol Beli. Jangan lupa untuk menentukkan berapa banyak kita akan men-
dropship produk tersebut. Bila ingin memberi catatan pribadi pada penjual,
bisa memberikannya di kolom yang tersedia. Setelah semuanya terisi, klik
tombol Beli Sekarang.
4. Centang Dropshipper
64
ANALISIS HUBUNGAN HUKUM DAN MODEL PENGATURAN HUKUM PADA
PRAKTIK DROPSHIP DI APLIKASI TOKOPEDIA
A. Hubungan Hukum pada praktik Dropship di aplikasi Tokopedia
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia
Dropship merupakan sebuah sistem untuk pemasaran online dimana
para pelaku bisnis toko online atau dropshipper tidak perlu menyimpan
persediaan barang banyak karena pada saat mendapat orederan dari
konsumen, maka dropshipper langsung melanjutkan orderan dan detail
pengiriman kepada produsen atau supplier yang sudah bekerjasama
dengan mereka.48
Dalam praktik dropship di Tokopedia tidak lepas dari beberapa pihak
yang terlibat, yaitu dropshipper, supplier, dan Konsumen. Selain ketiga
pihak tersebut, ada satu pihak lagi yang juga memiliki hubungan dalam
transaksi dropship di Tokopedia ini yaitu Jasa Pengiriman Barang
(ekspeditur). Dari beberapa pihak ini maka muncullah hubungan hukum
antara satu dengan yang lainnya. Adapun hubungan hukum antara pihak-
pihak dalam transaksi dropship di Tokopedia dalam perspektif hukum
Islam dan hukum positif di Indonesia ialah sebagai berikut:
1. Hubungan Hukum Dropship dalam Perspektif Hukum Islam
Di dalam transaksi dropship, ada beberapa pihak yang terlibat di
dalamnya, yaitu pembeli, dropshipper, supplier, dan ekspeditur. Dari
keempat pihak ini pastinya masing-masing ada keterkaitan satu sama
lainnyaa serta ada hak dan kewajiban yang harus mereka penuhi satu
sama lain untuk mencapai transaksi jual beli yang saling
menguntungkan satu sama lain dan supaya tidak ada pihak yang
dirugikan. Adapun hubungan hukum antar pihak di dalam transaksi
dropship terbagi menjadi 3, yaitu:
a. Hubungan hukum antara dropshipper dengan konsumen (pembeli)
Di dalam menanggapi hukum dari transaksi dropship, DSN-MUI
dalam fatwanya telah memberikan penjelasan tentang dropship dengan
prinsip syariah. Pada fatwa tersebut mengenai hubungan hukum antara
dropshipper dengan konsumen merupakan bentuk akad bai’ al-salam.
Dikarenakan hubungan dari kedua pihak tersebut merupakan akad
salam, oleh karena itu tentunya ada rukun dan syarat serta hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh keduanya khususnya pihak
dropshipper. Adapun rukun dalam akad salam yaitu:
48
Adi Nugroho, 2006, E-commerce Memahami Perdagangan di Dunia Maya
Cet.1, Informatika, Bandung,. h., 9.
1) ‘Aqid, yatiu: dropshipper sebagai penjual (muslam alaih) dan
konsumen sebaagi pembeli (muslam).
2) Muslam fih, yaitu objek jual beli (barang yang ditawarkan oleh
dropshipper serta ingin dibeli oleh konsumen)
3) Sighat, yaitu ijab dan qabul.
Adapun syarat sahnya jual beli salam sebagai berikut:
1) Pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh;
2) Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas dalam
jenis, ciri-ciri, dan ukurannya;
3) Harga barangnya harus jelas dan terukur serta dibayarkan
seluruhnya secara tunai (tidak boleh ditempo);
4) Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas.
Di dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 103 ayat 1-3
menyebutkan syarat salam sebagai berikut:
1) Jual beli salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan
kualitas barang yang sudah jelas.
2) Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran, timbangan,
dan meteran.
3) Spesifikasi barang yang dipesan harus diketahui secara
sempurna oleh para pihak.
Apabila akad salam dipilih sebagai alternatif dan solusi dalam
menjalankan transaksi dropship, maka dropshipper berkewajiban
menyertakan kriteria dan spesifikasi yang terdapat pada barang yang
ia tawarkan secara jelas dan lengkap. Setelah terjadi kesepakatan
antara kedua belah pihak, konsumen mengirimkan uang kepada
dropshipper dengan harga barang yang akan dibeli ditambah ongkos
kirim, kemudian dropshipper mencari barang yang dipesan pembeli
kepada supplier yang telah menjalin kerjasama dan meminta ijin
kepada supplier untuk menjadi partner sebagai dropshipper, maka
setelah membeli barang sesuai pesanan maka barang pesanan akan
langsung dikirim ke konsumen oleh supplier.digunakan atas nama
dropshipper.
Sistem jenis ini disebut sistem akad salam atau sistem pesanan jual
beli. Akad salam diperbolehkan dalam sistem transaksi bisnis dropship
dengan syarat memenuhi syarat salam seperti yang dijelaskan penulis
pada bagian sebelumnya, misalnya permintaan kewajiban dropshipper
untuk menjelaskan spesifikasi teknis. barang yang ditawarkan secara
jujur baik kualitas maupun kuantitasnya serta kewajiban konsumen
untuk membayar tunai atau lunas pada awal kontrak. Dalam akad
salam, dropshipper memperoleh keuntungan dari selisih harga jual
barang yang dibeli dari supplier, dimana keuntungan tersebut tidak ada
hubungannya dengan supplier, artinya keuntungan tersebut dapat
ditentukan oleh dropshipper itu sendiri.
Apabila wakalah menjadi akad alternatif dalam transaksi dropship,
maka tentunya akan ada rukun dan syarat yang harus ada dalam akad
tersebut supaya akad tersebut dinilai sah. Rukun dan syarat wakalah
ada empat, yaitu:49
1) muwakkil (orang yang mewakilkan), syarat bagi muwakkil dia
harus berstatus sebagai pemilikik sah benda maupun urusan
dan menguasainya serta dapat bertindak terhadap harta
tersebut.
2) wakil (orang yang mewakili), syarat orang yang mewakili
adalah bahwa yang mewakilkan adalah orang yang berakal.
3) muwakkal fîh (objek yang diwakilkan) syaratnya adalah
pekerjaan tersebut dapat diwakilkan atau digantikan,
pekerjaan diketahui secara jelas dan pekerjaan tersebut
dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad.
4) shighat (ijab dan qabul) harus berupa lafadz yang menunjukan
arti mewakilkan yang diiringi kerelaan dari muwakkil.
Apabila dilihat dari rukun dan syarat dari akad wakalah, menurut
penulis dalam transaksi dropship, pihak dropshipper di sini sebagai
wakil dan supplier sebagai muwakkil. Akan tetapi di dalam akad
wakalah, pihak wakil tidak diperkenankan untuk mengambil untung
dari akad perwakilan tersebut. Oleh karena itu para ulama
kontemporer mencari jalan keluar atas jual beli yang seperti ini dengan
akad wakalah bil ujrah. Dimana wakil di sini diberikan upah (ujrah) atas
hal yang ia wakilkan. Hal tersebut sudah dijelaskan di dalam Fatwa
DSN-MUI NO: 113/DSN-MUI/XI/2017 Tentang Akad Wakalah bi al-
Ujrah.
Lalu dropship juga dapat dianalogikan dengan akad samsarah yang
merupakan suatu bantuan yang dilakukan oleh seseorang untuk
saudaranya dengan suatu upah tertentu untuk pekerjaan yang telah
dilakukan. Maka, pihak dropshipper di sini merupakan seorang simsar
yang ditunjuk atau pihak yang membantu supplier dalam menjual atau
memasarkan barangnya. Adapun hubungan dropshipper dengan
pembeli di sini merupakan hubungan layaknya pembeli dengan
perantara saja antara pembeli dengan supplier.
b. Hubungan hukum antara dropshipper dengan supplier
49
Abdul Rahman Ghazaly dkk, “Fiqh Muamalat”, (Jakarta: Kencana, 2010), h.,
189
Hubungan hukum antara dropshipper dengan supplier apabila
dilihat dari perspektif hukum muamalah Islam, maka harus ditentukan
terlebih dahulu akad yang terjadi antara keduanya merupakan bentuk
akad apa. Terkait dengan hukum dropship ini, ulama kontemporer
menganalogikannya dengan tiga akad, yaitu akad salam, wakalah, dan
samsarah. Di dalam fatwa DSN-MUI tentang dropship berdasarkan
prinsip syariah dijelaskan bahwa akad yang terjadi antara dropshipper
dengan pembeli merupakan akad salam dan akad antara dropshipper
dengan supplier merupakan akad jual beli, dimana pihak dropshipper
sebagai pembeli dan supplier sebagai penjual.
Lalu apabila dikaitkan dengan akad wakalah, maka hubungan
antara dropshipper dengan supplier ialah layaknya hubungan antara
wakil dan muwakkil, akan tetapi pihak wakil di sini memiliki hak untuk
mendapat ujrah dari hal yang ia wakilkan.
Apabila dropship dikaitkan dengan samsarah, maka hubungan
dropshipper dengan supplier ialah hubungan simsar dengan mustafsid
yang dimana mengharuskan dalam akad tersebut untuk ‘amal (sesuatu
yang ingin dipasarkan) diketahui oleh dropshipper dan tidak boleh
sesuatu yang dilarang oleh syariah dan, natijah yang diharapkan
Mustafid harus diketahui (ma'lum) oleh Mustafid dan Simsar, dan
terukur (mundhabith). Barulah apabila natijah sudah terlaksana, maka
dropshipper berhak atas upah (‘umulah) dari supplier.
c. Hubungan hukum antara supplier dan/atau produsen dengan
ekspeditur (Jasa Pengiriman Barang)
Melihat dari hubungan hukum positif antara supplier dengan
ekspeditur yang sudah dijelaskan di atas, setelah ini peneliti akan
menjelaskan dari sisi hukum Islam khususnya hukum fiqh Muamalah.
Apabila dilihat dari Hukum Muamalah Islam, maka transaksi/akad
yang terjadi antara supplier dengan ekspeditur merupakan akad Ijarah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa akad Ijarah merupakan akad sewa
menyewa barang/atau jasa. Di dalam akad yang terjadi diantara kedua
pihak ini ialah sewa menyewa jasa, dimana supplier menyewa jasa
ekspeditur untuk mengirimkan barang langsung kepada pihak ketiga
(pembeli). Karena dinilai sebagai akad ijarah, maka tentunya rukun dan
syaratnya yang harus ada dalam akad tersebut.
Untuk mempermudah pembaca dalam mengetahui status
hubungan hukum antar pihak di dalam hukum Islam dan hukum positif
di Indonesia. Maka peneliti akan meringkasnya ke dalam sebuah table.
Adapun table tersebut ialah sebagai berikut:
Pihak yang Hukum
NO Hukum Islam
berhubungan Positif
Akad Salam,
Konsumen dengan wakalah bil Penjual dan
1.
Dropshipper ujrah, dan Pembeli
samsarah
Dropshipper dengan
2. Akad jual beli Komisioner
Supplier
Supplier dengan Akad sewa
3. Akad Ijarah
Ekspeditur jasa
50
Sogar Simamora et al., Hukum Kontrak, Buku Ajar (2012), h., 45.
Dalam dropshipping yang terjadi di Tokopedia, ketika si dropshipper
menawarkan barang dan harga kemudian pembeli sepakat atas barang dan
harga yang sudah dijelaskan oleh dropshipper dalam bentuk deskripsi
barang dan harga pada laman barang yang ingin dibeli oleh pembeli serta
sepakat untuk melakukan transaksi via Tokopedia maka dari hal itu lahirlah
suatu perjanjian jual beli (berbasis digital). Hubungan dropshipper dengan
pembeli tidak dapat terpisahkan dari sebuah prinsip pacta sunt servanda,
prinsip ini dalam pasal 1338 BW dijelaskan bahwa perjanjian yang dibuat
oleh para pihak khususnya selaku penjual dan pembeli suatu barang
keberlakuannya mengikat bagi para pihak di dalamnya saja dan tidak
terikat dengan pihak lain manapun. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi para
pihak untuk tidak melakukan kewajiban dan apabila salah satu pihak tidak
melakukan kewajibannya yang nantinya akan menimbulkan kerugian bagi
pihak lain maka disebut dengan ingkat janji atau orang tersebut dinilai telah
melakukan wanprestasi.51
Seperti yang sudah dijelaskan tentang hubungan antara pihak
dropshipper dengan pembeli yaitu layaknya jual-beli biasa, maka dalam
hubungan hukum Islam terkait dengan kedua pihak tersebut yaitu layaknya
akad bai’. Oleh karena itu, akad yang terjadi antara keduanya harus sesuai
dengan rukun dan syarat yang ada dalam hukum syariat.
b. Hubungan hukum antara dropshipper dengan supplier
Dropshipper merupakan pihak komisioner dalam jual beli online, ia
bertindak atas nama sendiri dan tidak wajib untuk menyebutkan kepada
pihak ketiga (pembeli) dengan siapa ia berniaga (nama orang yang
memberi perintah). Hal tersebut membuat pihak dropshipper terikat pada
pihak lain dalam suatu perikatan atau perjanjian. Mengenai hubungan
hukum antara komisioner dengan prinsipal tidak diatur dengan tegas
dalam KUHD, maka para pakar berpendapat bahwa hubungan hukum
tersebut merupakan pemberian kuasa yang bersifat khusus yaitu, terletak
pada tindakan komisioner sebagai penerima kuasa menjadi tidak demikian
apabila tindakannya untuk dan atas nama dirinya sendiri kepada pembeli
atau pihak ketiga.52
c. Hubungan hukum antara supplier dan/atau produsen dengan
ekspeditur (Jasa Pengiriman)
Supplier dan/atau produsen dan/atau penjual merupakan pengirim
barang dalam transaksi digital dengan sistem dropship. Dalam hal tersebut
lahirlah suatu hubungan hukum antara supplier dan/atau produsen
51
Yosi Krisharyawan, ‘Tinjauan Hukum Mengenai Transaksi Jual-Beli Melalui
Situs Belanja Online (Online Shop) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen’ (2015)
Edisi 07 Januari-Juni Privat Law, h., 146
52
Belinda Dwi Tamara, “Kedudukan Hukum Dropshipper dalam Transaksi Jual
Beli Online” Vol 4 No.6 (Jurist-Diction, November 2021) h., 9
dan/atau penjual dengan jasa pengiriman barang (ekspeditur). Hubungan
hukum tersebut menimbulkan suatu perikatan yaitu perjanjian
pengangkutan. Pengangkutan yang digunakan dalam sistem dropship ialah
ekspeditur yang diatur dalam Pasal 86 KUHD. Ekspeditur merupakan subjek
hukum pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan pengirim, pengangkut, serta penerima barang.53
Tanggung jawab ekspeditur terhadap barang-barang yang telah
diserahkan pengirim kepadanya terdapat pada Pasal 87 KUHD yaitu untuk:
1) Menyelenggarakan pengiriman secepatnya dengan rapi pada
barang yang telah diterimanya dari pengirim;
2) Mengindahkan segala upaya untuk menjamin keselamatan
barang-barang tersebut;
3) Pengambilan barang-barang dari gudang pengirim;
4) Melakukan penyimpanan di gudang miliknya;
5) Pengambilan barang muatan dari pelabuhan tujuan untuk
diserahkan kepada penerima yang berhak atau kepada
pengangkut selanjutnya.
Untuk tanggung jawab pengangkut sudah diatur dalam Pasal 91 KUHD
dan untuk tanggung jawab pengangkut terhadap keselamatan barang yang
diangkut pun sudah diatur dalam Pasal 468 KUHD. Dari kedua pasal
tersebut dapat diambil beberapa point penting yaitu bahwa pengangkut
bertanggung jawab terhadap keselamatan barang yang diangkutnya sejak
saat ia menerimanya dari pengirim atau pada kasus ini adalah supplier
hingga ia menyerahkan kepada penerima barang, pengangkut wajib
mengganti kerguian yang ditimbulkan kepada pihak yang dirugikan
(apabila kerugian tersebut disebabkan karena kelalaian atau kesalahan dari
pihak pengangkut).54
B. Model Pengaturan Hukum Dropship di aplikasi Tokopedia
Mekanisme dropship yang terjadi di aplikasi Tokopedia tidak lepas dari
empat pihak , yaitu pembeli, dropshipper, supplier, dan jasa pengiriman barang.
Akan tetapi pengaturan hukum yang secara spesifik mengatur terkait dropship
ini masih mengalami kekosongan hukum. Oleh karena itu penulis
menganalisis mekanisme dropship dan menganalogikannya dengan hukum
yang sudah ada dalam hukum Islam dan hukum Positif .
Apabila dilihat dari mekanisme yang terjadi dari praktik Dropship yang terjadi
di Tokopedia. Maka bahwa akad atau transaksi tersebut masuk ke dalam
beberapa kategori akad atau transaksi dalam perspektif Hukum Islam dan
53
Fatahillah, “Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa
Transportasi di Darat atas Kehilangan dan Kerusakan Barang Kiriman”, (2015) Vol.
4 No. 1 Jurnal Ilmu Hukum REUSAM h., 93
54
Ibid, h., 96-97
Hukum positif di Indonesia. Adapun model pengaturan hukum dropship
tersebut sebagai berikut.
1. Model Pengaturan Hukum Dropship dalam Perspektif Hukum
Islam
Dropship merupakan akad yang dinilai baru dalam dunia perdagangan
baik online ataupun offline. Oleh karena itu dibutuhkanlah hukum
muamalah Islam yang secara khusus menilai akad yang terjadi dalam
sistem dropship. Di Indonesia memiliki ulama-ulama yang cukup peduli
dalam hal menentukan hukum dari transaksi muamalah modern yang
terjadi saat ini. Salah satu fatwa yang dikeluarkan, yaitu fatwa tentang
dropship menurut prinsip syariah.
Fatwa tersebut dikeluarkan oleh anak dari Majelis Ulama Indonesia
yaitu Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Adapun fatwa tersebut ialah fatwa DSN-MUI NO: 145/DSN-MUI/XII/2021
Tentang Dropship Berdasarkan Prinsip Syariah. Di dalam fatwa tersebut
berisi dalil-dalil dan ketentuan-ketentuan serta akad yang digunakan
dalam transaksi dropship. Pada fatwa tersebut dijelaskan bahwa dropship
ini merupakan akad salam. Akan tetapi untuk praktik dropship, dapat
menggunakan 3 model pengaturan hukum, yaitu: dapat menggunakan
akad salam seperti yang diputuskan DSN-MUI dalam fatwanya, dapat
menggunakan akad wakalah, dan samsarah. Adapun penjelasan dari
masing-masing model ialah sebagai berikut:
a. Dropship Perspektif Akad Salam
Secara etimologi as-salam atau as-salaf berarti pesanan. Secara
terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu
barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang
ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan
barangnya diserahkan kemudian hari”.55
Para Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah memberikan definisi untuk
akad salam sebagai akad atas sesuatu yang dijelaskan sifat-sifatnya dalam
tanggungan mendatang dengan imbalan harga yang diserahkan dalam
majelis akad. Sedangkan ulama Malikiyah mendefinisikan akad salam
sebagai sebuah transaksi jual beli yang modalnya diserahkan terlebih
dahulu, sedangkan barang yang dibeli diserahkan setelah tenggat waktu
tertentu.56
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum kebolehan akad salam ini
ialah Q.S al-Baqarah ayat 282.
55
Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media
Nusantara, 2010), h., 100
56
Wahbah al-Zuhayli, “al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh”, juz 5, (Jakarta: Darul
Fikir, 2011) h., 240
ََ ْ ل يَأ َِ ْس ًّمى فَا ْكتُب ُْو َهُ َو ْليَ ْكتُبَْ بَّ ْينَ ُك َْم كَاتِبَ بَِ ْالعَد ٰٓ
َب كَاتِب َ َ ل َو َ يٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنََ ا َمنُ ْٰٓوا اِذَا تَدَايَ ْنت ُ َْم بِدَيْنَ اِلى ا َ َجلَ ُّم
َّْللاُ فَ ْليَ ْكتُب
َٰ ُعلَّ َم َهَ ب َك َما ََ ُ ن يَّ ْكت
َْ َ …ا
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya,…”.
Selain itu, ada juga ketentuan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim yang artinya berbunyi : “Siapa yang melakukan salaf, hendaklah
melaksanakannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
pula, sampai dengan batas waktu tertentu.”57
Dalam setiap akad jual beli tentunya ada rukun dan syaratnya, maka
di dalam akad salam pun ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi ketika
berakad. Adapun rukun dan syaratnya ialah:
1) Al-Mu’aqidain : Pembeli (muslam) dan penjual (muslam ilaih)
a) Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
b) Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
2) Obyek transaksi (muslam fih):
a) Dinyatakan jelas jenisnya
b) Jelas sifat-sifatnya
c) Jelas ukurannya
d) Jelas batas waktunya
e) Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
3) Sighat (‘ijab dan qabul)
4) Alat tukar/harga
a) Jelas dan terukur
b) Disetujui kedua pihak
c) Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung,
Dari penjelasan tentang salam di atas, maka apabila akad salam
dijadikan sebagai model pengaturan hukum untuk menjalankan transaksi
dropship, maka pastinya dropshipper wajib memberikan kriteria,
spesifikasi yang lengkap, kuantitas dan ketersediaan dari barang yang ia
jual di toko dropshipnya. Oleh karena itu, pihak dropshipper harus selalu
update dan menanyakan kuantitas barang yang tersedia kepada supplier
yang sudah menjadi mitranya. Apabila antara dropshipper (muslam ilaih)
dan konsumen (muslam) sudah ada kesepakatan, maka selanjutnya
57
Sayid Sabid, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1998), h., 111.
konsumen mengirimkan uang atas barang yang dibeli ditambah ongkos
kirim kepada dropshipper. Setelah itu pihak dropshipper mencari barang
yang dipesan oleh konsumen kepada supplier yang sebelumnya telah
bekerjasama dengan dropshipper serta meminta izin kepada supplier
untuk menjadi mitra sebagai dropshipper dan meminta kepada supplier
untuk mengirimkan barang langsung ke alamat konsumen. Setelah
pesanan terkonfirmasi oleh supplier, maka pihak supplier langsung
mengirimkan barang ke alamat konsumen.
b. Dropship Perspektif Akad Wakalah bil Ujrah
Wakalah atau wikalah adalah isim mashdar secara etimologi berarti
tawkil yaitu menyerahkan atau mewakilkan, menjaga. Sedangkan
menurut terminologi wakalah adalah “penyerahan suatu wewenang
kepada orang lain agar melakukan apa yang didelegasikan”. Jadi wakalah
adalah memberikan delegasi (wakil) wewenang dari seseorang kepada
orang lain dan yang mendelegasikan atau mewakilkan adalah orang yang
mempunyai hak tasharruf terhadap sesuatu yang boleh diwakilkan.
Hukum syariat Islam membolehkan adanya wakalah karena tidak semua
orang mampu mandiri menyelesaikan semua urusannya, sehingga
dibutuhkan wakil (delegasi) untuk mengurus keperluannya dengan
bertindak atas namanya.
Adapun pengertian wakalah menurut beberapa ulama, yaitu sebagai
berikut:
Ulama Hanafiyyah, wakalah adalah : “Seseorang menunjuk orang lain
untuk berada di posisinya dalam melakukan tasharruf yang boleh dan
jelas, atau menyerahkan tasharruf dan pemeliharaan kepada wakil.” 58
Ulama Malikiyyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, wakalah ialah:
“Penyerahan seseorang terhadap sesuatu yang ia berhak melakukannya
dimana sesuatu itu termasuk perbuatan yang bisa diwakilkan dalam
melakukannya kepada orang lain untuk dilakukan ketika ia hidup”.59
Rukun wakalah ada empat yaitu: muwakkil (orang yang mewakilkan),
muwakkal (orang yang diberi mandat atau delegasi), sesuatu yang
diwakilkan (muzaakkil fih), dan shigat wakalah. Madzhab Hanafi
berpendapat bahwa hanya ada satu rukun dalam wakalah, yaitu shigat
yang dapat dilafazkan (diungkapkan).
Dalam fatwa DSN-MUI ada keputusan fatwa DSN-MUI NO:10/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Wakalah, untuk ketentuan tentang Wakalah adalah
pertama, pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak
untuk menunjukkan minat mereka untuk berakad. Kedua, wakalah
58
Wahbah Az-Zuhaili, Al-fiqh Wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie Al-
Katani Jakarta; Gema Insani, 2011, h., 476
59
Ibid
dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara
sepihak. Adapun untuk syarat wakalah berdasarkan fatwa tersebut, ialah:
1) Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
a) Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang
diwakilkan.
b) Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas
tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya
seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima
sedekah dan sebagainya.
2) Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
a) Cakap hukum,
b) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,
c) Wakil adalah orang yang diberi amanat.
3) Hal-hal yang diwakilkan
a) Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,
b) Tidak bertentangan dengan syariah Islam,
c) Dapat diwakilkan menurut syariah Islam.
Pengertian Wakalah Bil Ujrah secara bahasa, kata al-wakalah atau al-
wikalah berarti al-tafwidh yaitu penyerahan, pendelegasian dan
pemberian mandat. Contoh kalimat “aku serahkan urusanku kepada
Allah” mewakili istilah pengertian tersebut. Jadi yang dimaksud dengan al-
wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain
dalam hal diwakilkan.60
Sebagaimana di dalam fatwa DSN-MUI tentang Wakalah bil ujrah,
bahwa wakalah bil ujrah ialah akad pemberian kuasa dari muwakkil
kepada wakil untuk melakukan perbuatan hukum tertentu disertai
dengan imbalan berupa ujrah (fee). Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia juga menjelaskan tentang wakalah bil ujrah di dalam
Fatwanya Nomor 52/DSN-MUI/III/2006 menjelaskan bahwa akad
wakalah bil ujrah boleh dilakukan dengan tunduk dan patuh pada
ketentuan dan batasan yang terdapat dalam Fatwa ini.61
Dari definisi-definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
wakalah bil ujrah merupakan salah satu bentuk akad dimana peserta
memberikan kuasa kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
hukum tertentu disertai dengan pemberian ujrah (fee).
60
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, cet.1
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h., 120
61
Fatwa DSN-MUI No.52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Wakalah Bil Ujrah
Apabila wakalah bil ujrah dijadikan sebagai model hukum dalam
menjalankan transaksi dropship, maka dropshipper menjadi wakil dari
supplier. Akan tetapi akibatnya dropshipper tidak dapat menghitung atau
mengambil keuntungan dari penjualan yang melebihi keuntungan yang
ditentukan oleh supplier. Oleh karena itu ketentuan terkait keuntungan
bagi dropshipper sudah ditentukan diawal ketika kesepakatan mitra
wakalah antara dropshipper/wakil dengan supplier/muwakkil yang
memasok barang. Hal tersebut dikarenakan dropshipper hanyalah
perwakilan yang harus menjalankan seluruh ketentuan yang ditetapkan
oleh supplier selaku muwakkil.
c. Dropship Perspektif Akad Samsarah
Samsarah adalah suatu bantuan yang dilakukan oleh seseorang untuk
saudaranya dengan suatu upah tertentu untuk pekerjaan yang telah
dilakukan. Adapun kata samsarah berasal dari bentuk mufrad dari kata
simsar, yaitu perantara diantara penjual dan pembeli untuk
menyempurnakan jual beli.
Adapun dalil yang menunjukkan pensyariatan samsarah ialah seperti
yang difirmankan oleh Allah dalam al-Qur’an Surah al-Maidah [5]: 2 yang
berbunyi:
َِ الثْ َِم َو ْالعُد َْو
…َۖ ان َِ ْ اونُ ْوا َعلَى َ َ علَى ْال ِب َِر َوالت َّ ْقوىَ َو
َ َل تَع َ اونُ ْوا
َ َ… َوتَع
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan…”
Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No: 151/DSN-MUI/VI/2022 tentang
Akad Samsarah, akad samsarah adalah akad keperantaraan (brokerage)
dalam bisnis untuk mencapai natijah (hasil) tertentu yang diharapkan
mustafid (pihak yang menerima manfaat) yang menimbulkan hak bagi
simsar (perantara) untuk memperoleh ‘umulah (imbalan).
Secara umum, semua syarat yang berlaku pada ‘aqidain/para pihak
yang bertransaksi dalam fiqh berlaku pula untuk akad samsarah. Namun
demikian terdapat syarat-syarat khusus di dalam akad samsarah, yaitu:
1) Pekerjaan yang diminta sudah diketahui
2) Cakap atau ahli dalam pekerjaan tersebut
3) Bekerja atas seizin yang memberikan wewenang, jika tanpa izin
maka tidak berlaku pekerjaannya
4) Untuk objek transaksi dan kompensasi, para ulama mensyaratkan
objek transaksi yang legal dan kompensasi yang telah ditentukan.
Terkait dengan pengupahan untuk simsar harus diperhatikan bahwa
pengupahan telah disepakati dan diketahui dari awal.62
Apabila akad samsarah dijadikan sebagai model hukum pada praktik
dropship, maka akibatnya dropshipper selaku simsar tidak akan
menerima keuntungan atau gaji sampai tugasnya terlaksana secara
tuntas. Apabila ia tidak berhasil melaksanakan tugasnya, maka
dropshipper tidak akan mendapat keuntungan. Dropshipper selaku
simsar, berhak mendapat upah dan dituntut untuk bekerja semaksimal
mungkin agar tidak ada yang merasa dirugikan dalam menjalankan
haknya, baik dari simsar (dropshipper) maupun dari supplier. Tanggung
jawab supplier adalah membayar gaji dropshipper/simsar yang telah
bekerja pada perusahaan tersebut sebesar-besarnya.
Dari penjelasan tentang samsarah di atas, maka akad samsarah
dapat dijadikan model hukum untuk praktik jual beli dengan sistem
dropship.
Dalam bisnis online, aktivitas dropship yang telah menjadi tradisi
saat ini sebenarnya bisa dijalankan dengan sistem wakalah ataupun
samsarah, tetapi tentu harus ada beberapa hal yang harus dibenahi,
diantaranya ialah:
1) Seorang dropshipper sebelum melakukan dropship, ia harus
menyatakan suatu akad kepada upline-nya (supplier atau agen atau
distributornya), meminta izin untuk menjalankan usaha dengan
sistem wakalah atau samsarah. Ketika memilih akad wakalah, maka
harus disepakati dari awal bahwa dropshipper yang menjualkan
barang-barang upline-nya merupakan wakîl.
2) Seorang dropshipper yang melakukan dropship ada baiknya
menyampaikan kepada customer bahwa dia adalah perwakilan dari
upline-nya untuk mewakili menjualkan barang upline-nya.
3) Keuntungan yang diambil oleh pelaku dropship harus didiskusikan
dengan upline-nya. Ketika mengacu kepada akad samsarah, maka
keuntungan harus berupa pengupahan yang telah disepakati dan
diketahui dari awal, ataupun pengupahan bisa jadi persentase
tertentu pun semisal ujrat al-mitsli. Seorang simsar tidak
mendapatkan upah kecuali jika telah menyelesaikan pekerjaannya
dengan baik. Misalnya harga barang Rp. 100.000, maka bisa jadi
disepakati terlebih dahulu bahwa keuntungan berupa 10-20% dari
laba penjualan adalah upah yang akan dibayarkan, itupun ketika
barang laku. Jadi, ketika pelaku dropship berhasil menjual barang
tadi, misalnya, dengan laba 20% (Rp. 120.000), maka sudah
disepakati di depan bahwa 20% tersebut adalah upah yang
62
Muflihatul Bariroh, “Transaksi Jual Beli Dropshipping Dalam Perspektif
Fiqh Muamalah”. Vol. 4 No. 2, November 2016. h 211-212
merupakan hak simsar/dropshipper. Persentase tersebut adalah
upah yang akan dibayar oleh pemilik barang kepada dropshipper.
4) Sistem pembayaran fee bagi aktivitas dropship ketika menggunakan
akad wakalah, menurut Wahbah al-Zuhayli, bisa dengan fee (ujrah)
ataupun tidak dengan fee, karena Rasulullah juga melakukan
beberapa akad tawkil. Wakalah adalah akad yang ja’iz yang
dibolehkan bagi seorang wakil untuk mengambil fee atau bayaran
dari akad tersebut. Jika wakalah tidak dengan fee, maka disebut
wakil. Jika pemberian fee ataupun bonus, maka dihukumi dengan
hukum ijarah. Seorang wakil bisa memperoleh bonusnya ketika
telah selesai mengerjakan perkara yang diwakilinya. Ketika seorang
wakil mewakili untuk urusan penjualan atau pembelian, maka ia
telah berhak mendapatkan bonus walaupun uang hasil penjualan
belum dimiliki. 45
5) Ketika akan melakukan akad wakalah atau samsarah, maka jangan
lupa untuk mempelajari dan memilih supplier yang benar-benar
memiliki produk dengan kualitas yang bagus agar dalam
pelaksanaan akad wakalah dan samsarah bisa berhasil. Ketika
konsumen puas dengan transaksi yang dilakukan, maka keberkahan
akan selalu mengikuti akad ini, dan terlebih dari itu bonus (al-ja‘l),
fee, upah, dan yang lain sebagainya akan selalu mengikuti pelaku
dropship (wakil dan simsar) karena pembeli akan berkali-kali
melakukan pembelian. Pembeli yang merasakan kepuasan dan
manfaat dari barang yang telah dibelinya akan merekomendasikan
perasaannya kepada orang lain.
64
Ambarini, N. S. B., Sofyan, T., & Satmaidi, E. (2018). Hubungan Hukum
Pedagang Perantara Dan Pelaku Usaha Dalam Bisnis Perikanan Nasional. Jurnal Hukum
& Pembangunan, 48(4), 743.
3. Perbandingan Hukum Dropship di Tokopedia antara Hukum Islam
dan Hukum Positif di Indonesia
Membahas terkait perbandingan hukum dari praktik dropship yang terjadi
di aplikasi Tokopedia pastinya tidak lepas dari pro-kontra antara perspektif
hukum Islam dengan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Oleh karena
itu, seperti yang sudah dijelaskan pada poin analisis dari kedua hukum
tersebut. Maka peneliti menyimpulkan bahwa ada beberapa perbedaan serta
persamaan antara hukum Islam dan hukum positif di Indonesia dalam
memandang praktik dropship ini. Adapun persamaan dan perbedaan antara
Hukum Islam dan Hukum Positif terkait praktik dropship di aplikasi Tokopedia
sebagai berikut.
a. Persamaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif terkait praktik
dropship di aplikasi Tokopedia
1) Kecakapan Subyek Jual Beli Dropshipping
Dalam hukum positif, tepatnya pada pasal 1320 KUH Perdata
menjelaskan bahwa para pihak yang melakukan sebuah persetujuan
adalah cakap agar persetujuan tersebut sah. Jadi tidaklah sah apabila
yang melakukan transaksi jual beli dropship tersebut belum dewasa,
autis, atau bahkan gila. Begitu pun dengan hukum Islam syarat seorang
yang melakukan akad haruslah dewasa, berakal, dan baligh.
2) Informasi terkait barang yang diperdagangkan
Pasal 9 UU ITE menjelaskan bahwa “Pelaku usaha yang menawarkan
produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang
lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan
produk yang ditawarkan”. Dalam hukum Islam pun juga dijelaskan
sedemikian rupa, misalnya dalam Fatwa DSN-MUI No: 111/DSN-
MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli Murabahah menjelaskan salah
satu syarat Mabi’ (objek jual beli) yaitu harus wujud,
jelas/pasti/tertentu, dan dapat diserah-terimakan pada saat akad jual
beli dilakukan. Serta dalam Fatwa DSN MUI NO: I 45/DSN-
MUI/XII/2021 Tentang DROPSHIP BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
ada tambahan terkait kriteria mabi’ (objek jual beli) yaitu,
memungkinkan didapatkan oleh dropshipper, baik melalui Kerjasama
dengan supplier, maupun pembelian kepada supplier.
3) Dapat dilaksanakan dengan model pengaturan hukum yang sama
Dropship dalam KUHD bisa dikategorikan sebagai komisioner, karena
dropshipper bisa dikatakan hanya meneruskan penjualan barang
supplier dan untuk keuntungan yang didapatkan oleh dropshipper
adalah dengan menjual barang supplier dengan harga yang diinginkan
bukan dari upah tetapi semua itu didasari dengan adanya kesepakatan.
Begitu juga dengan hukum Islam, transaksi dropship tersebut juga bisa
dilakukan dengan akad wakalah dan samsarah. Namun, akad wakalah
di sini merupakan akad wakalah bil ujrah. Jadi dropshipper sebagai
wakil supplier dalam menjual barangnya ia mendapat keuntungan
(upah) sesuai ketentuan dari supplier, tetapi bisa dapat keuntungan
yang dia inginkan tetapi tetap atas seizin atau kesepakatan dari
supplier.
b. Perbedaan antara hukum Islam dan hukum Positif terkait praktik
dropship di aplikasi Tokopedia
1) Regulasi
Hukum Islam, khususnya di Indonesia, DSN-MUI mengeluarkan fatwa
yang mengatur secara spesifik tentang dropship berdasarkan prinsip
syariah. Fatwa DSN-MUI juga bisa dijadikan landasan hukum Islam
karena termasuk Ijma’ Ulama. Sedangkan di dalam hukum positif jual
beli dengan metode dropshipping ini memang belum ada pengaturan
secara khususnya, namun jika dilihat dari cara dan media transaksinya
adalah dilakukan secara online dalam artian dropship ini juga termasuk
dalam jual beli online maka terkait pengaturannya pasti tidak lepas dari
peraturan yang ada di dalam Undang-Undang Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik dan dapat dinilai juga sebagai bentuk transaksi
komisioner dan makelar yang sudah diatur di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang Pasal 62-73 Bagian II Bab IV tentang
komisioner dan Pasal 76 sampai dengan 85a Bagian I Bab V tentang
makelar.
2) Objek (Mabi’)
Ada beberapa barang yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan
dalam hukum Islam akan tetapi masih diperkenankan dalam hukum
positif yang ada di Indonesia, misalnya seperti minuman beralkohol.
Dalam hukum Islam, minuman beralkohol itu termasuk khamr yang
mana haram hukumnya, walaupun kadar alkoholnya sedikit tetap
haram karena memiliki sifat yang memabukkan. Jual beli barang yang
diharamkan dalam hukum Islam adalah haram hukumnya, sedangkan
dalam hukum positif masih dibolehkan dengan ketentuan-ketentuan
tertentu.
3) Upah (Ujrah)
Menurut hukum positif dalam KUHPerdata Pasal 411 dijelaskan bahwa
ada hak bagi wali (dropshipper) untuk memperhitungkan upah dengan
ketentuan tidak melebihi batas yang diatur dalam pasal tersebut.
Sedangkan di hukum Islam, penentuan besarnya upah bagi dropshipper
harus dinyatakan jelas di awal akad apabila dropship tersebut dinilai
sebagai akad wakalah bil ujrah dan samsarah.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari penjelasan bab-bab sebelumnya, maka penulis
memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hubungan Hukum yang terjadi di dalam transaksi jual beli dengan sistem
dropship merupakan hubungan antar pihak yang terlibat dalam dropship
dari perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, yaitu:
a. hubungan antara pembeli dengan dropshipper yang merupakan
hubungan akad salam dan jual beli.
b. dropshipper dengan supplier merupakan hubungan akad ba’i dan
komisioner;
c. supplier dengan jasa pengiriman barang (ekspeditur) merupakan
hubungan akad ijarah dan sewa jasa.
2. Jual beli online dengan menggunakan sistem dropship khususnya di
Tokopedia belum ada model pengaturan hukum yang mengatur secara
spesifik baik dalam hukum positf. Akan tetapi sistem jual beli dropship
ini khususnya di Tokopedia dapat dianalogikan dengan melihat
mekanisme akadnya. Dropship di dalam Hukum Positif dapat dinilai
sebagai model transaksi komisioner dan makelar sedangkan Di dalam
hukum Islam sistem dropship ini diperbolehkan karena dianalogikan
pula dengan akad salam, akad wakalah bil ujrah, dan akad samsarah.
Tergantung sudut pandang kita ingin menjadikan dropship ini sebagai
jenis akad apa. Akan tetapi DSN-MUI dalam fatwanya sudah menjelaskan
terkait dropship berdasarkan prinsip syariah yang dapat dijadikan
landasan hukum untuk masyarakat khususnya yang beragama Islam.
REKOMENDASI
1. Untuk pengaturan jual beli dengan sistem dropship ini sebaiknya
pemerintah membuat undang-undang yang mengatur secara khusus
tentang dropship. Karena apabila undang-undang tersebut sudah
dibuat dan berlaku, maka apabila terjadi suatu wanprestasi dalam
transaksi dengan sistem dropship sudah tidak ada lagi kekosongan
hukum dan dapat undang-undang tersebut dapat dijadikan rujukan
dalam memutuskan wanprestasi tersebut. Memang di dalam fatwa
DSN-MUI sudah secara khusus menjelaskan syarat dan ketentuan agar
transaksi dropship itu dinilai boleh, akan tetapi jika penyelesaian
sengketa diselesaikan secara litigasi pada UU No. 12 Tahun 2012 bahwa
fatwa MUI tidak termasuk dalam konstruksi hukum. Jadi untuk fatwa
ini belum bersifat mengikat bagi seluruh warga negara Indonesia
seperti layaknya pendapat ulama madzhab.
2. Untuk meminimalisir terjadinya sebuah sengketa di dalam transaksi
dropship, maka perlulah pihak dropship memberikan keterangan
barang yang ia jual di toko dropship nya dengan keterangan yang
lengkap, seperti warna, jenis, bahan, ukuran, stok barang, dan lain-lain.
Serta pembeli juga harus cermat dalam memilih barang dan toko yang
terpercaya dalam rangka meminimalisir terjadinya kerugian pada
dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Budi Lakuanine. “Praktek Jual Beli Online Dengan Sistem Dropship
Perspektif Hukum Islam dan KUHPerdata (Studi di Akun Instagram
Little_Boss_Sandal)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah, Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2018
Akad Wakalah dan Samsarah sebagai Solusi atas Klaim Keharaman Dropship
dalam Jual Beli Online. Fauzia, Ika Yunia, Islamica: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. 9, No. 2, Maret 2015.
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).
Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung, 2002.
Ambarini, N. S. B., Sofyan, T., & Satmaidi, E.. Hubungan Hukum Pedagang
Perantara Dan Pelaku Usaha Dalam Bisnis Perikanan Nasional. Jurnal
Hukum & Pembangunan, Vol. 4, No. 48, 2018.
Antonio, Muhammad Syafi'I, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema
Insani Press, 2001.
Hifal, Yasma. “Jual Beli Dropship Perspektif Hukum Ekonomi Syari’ah Dan
Hukum Positif Di Indonesia”. Skripsi S1 Prodi Hukum Ekonomi Syariah
Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro Lampung, 2018.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Peneliti: Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, “Fathul
Baari: Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari”, Jilid 13, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2010.
Imam An-Nawawi, “Syarh Shahih Muslim”, Jilid 7, Jakarta: Darus Sunnah, 2012.
Khulwah, Juhrotul. “Jual Beli Dropship Dalam Perspektif Hukum Islam”. Al-
Mashlahah: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol. 07 No 1
Agustus 2019.
Lubis, Suhrawardi. “Hukum Ekonomi Islam”. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000.