Anda di halaman 1dari 21

PENGEMBALIAN UANG SISA KEMBALIAN DENGAN BARANG

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM (DI TOKO DAN DESA


MAWATSARI)

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah:

METODOLOGI PENELITIAN MUAMALAH

Dosen Pengampu

. Dr. Hj. Khusniati Rofi'ah, M. S.I.

Disusun oleh:

Angga Saputra (102190096)

Kelas HES.D Semester 6

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan bantuan


manusia lainnya untuk bertahan hidup dan melakukan segala kegiatannya. Salah
satu kegiatan tersebut adalah dalam melakukan transaksi jual beli, dimana
kegiatan ini sudah menjadi kegiatan wajib dalam keseharian manausia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin canggih,


dalam dunia transaksi jual belipun mengalami perkembangan. Dari sistem barter
hingga berkembang menggunakan uang kertas, hingga menggunakan uang
elektronik (e-money). Selain perkembangan jual beli dari sudut sistemnya kini
tempat transaksi jual beli juga sudah berkembang pesat.

Islam sebagai rahmatan lil’alamin bersifat universal dan fleksibel, ia memiliki


kemampuan dalam merespon perkembangan umat manusia dan perubahan zaman.
Di dalam Fiqh Islam cenderung berbicara tentang hukum syara’ yang bersifat
amaliyah yang mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat sesuai dengan
situasi dan kondisi zaman. Seperti halnya dalam permasalahan mengenai
pengembalian uang sisa pengembalian dengan barang, yang saat ini menjadi
permasalahan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Islam jual beli (al-bai wal syara’) yaitu pertukaran antara benda
dengan uang atau harga, dimana usaha atau perdagangan harus dilakukan secara
sukarela (ridha) diantara para pihak dan dengan cara yang dibenarkan sesuai
dengan aturan syara’.1 Jual beli dianggap tidak sah hukumnya, jika salah satu dari

1
Fathurrahman Djamil,"Hukum Ekonomi Syariah"(Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2013),
hal. 212

1
penjual atau pembelinya merasa terpaksa yang bukan dalam hal yang benar 2. Hal
ini senada dengan Firman Allah SWT, Surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi:

‫ْأ‬ ٰ ٓ
ٍ ‫ٰياَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ ا اَل تَ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن تَ َر‬
‫اض‬
‫ ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayanng kepadamu”.3

Adapun salah satu efek negatif dari perkembangan zaman yang ikut serta
dalam perubahan sosial adalah cara pandang dan perilaku para penjual yang
memunculkan persoalan baru bagi hukum Islam, yaitu semakin maraknya pratik
pengembalian sisa pembelian dengan menggunakan barang.

Praktik pengembalian sisa pembelian dengan barang tersebut muncul


dilatar belakangi adanya tradisi para pedagang pada saat melakukan transaksi jual
beli yang dilakukan yaitu dengan memberikan permen atau barang yang dianggap
senilai lainnya sebagai alat pengembalian sisa pembelian. Dimana pada saat
melakukan transaksi jual beli para pembeli memberikan uang sebagai alat
pembayaran kepada pedagang, namun pedagang memberikan pengembalian sisa
pembelian dengan barang jika pedagang tidak mempunyai uang pas.

Maka hal ini, tentunya dapat menimbulkan penyimpangan dari kaidah hukum
Islam yang telah ditetapkan. Selain itu, jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab
kabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan adanya kerelaan (keridhaan).
Maka tentunya kegiatan tersebut akan sangat merugikan jika pembeli tidak ikhlas
(ridha).

Sistem tersebut juga terkesan pemaksaan karena tidak semua pembeli


rela uang kembalian diganti dengan barang, sebab uang dianggap lebih penting.
Dalam hal ini akad yang terjadi bukanlah kehendak dari kedua belah pihak,
2
Saleh Al-Fauzan, "Fiqh Sehari-hari"(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 366
3
https://www.merdeka.com/quran/an-nisa/ayat-29. Diakses pada 22 mei 2022, pukul 21:45

2
melainkan hanya merupakan kebijakan dari pedagang tanpa minta persetujuan
terlebih terdahulu. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran akan adanya
ketidak adilan serta keterpaksaan dari salah satu pihak, yaitu pihak pembeli.
Tentunya hal ini dapat menyebabkan gugurnya akad atau batalnya akad yang
dikarenakan adanya unsur keterpaksaan bukan saling rela.

Untuk sampai pada pemahaman yang mendalam mengenai peristiwa


tersebut, perlulah dikemukakan pandangan hukum Islam terhadap praktik
pengembalian sisa pembelian dengan barang tersebut. Oleh karena itu, umat Islam
dimasa sekarang ini dituntut harus mampu memformulasikan hukum dan ajaran
sesuai dengan tuntunan zaman dan lingkungannya, dengan berdasarkan sumber
aslinya yaitu Al-Qur‟an dan al-Hadist sehingga sesuai dengan kaidah ajaran
Islam.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti mengenai kurangnya pelayanan


terhadap pembeli. Hasil wawancara mengatakan bahwa: "Pengembalian uang sisa
kembalian di toko dan warung Desa Mawatsari masih banyak yang
mengembalikan uang sisa pengembalian dengan barang tanpa adanya akad dari
kedua belah pihak melainkan hanya sepihak"4

Berdasarkan hasil observasi awal oleh peneliti mengenai kurangnya


pelayanan pedagang terhadap pembeli. Hasil observasi mengatakan bahwa:
“Kondisi toko dan warung Desa Mawatsari ini perlu adanya pembelajaran tentang
ilmu jual beli menurut islam di karenakan banyak masyarakat yang kurang tau
akan hal ini”.5

Berdasarkan keterangan diatas, saya tertarik melakukan penelitian


dengan pembahasan yang lebih jelas dengan judul “Pengembalian Uang Sisa
Kembalian Dengan Barang Dalam Prespektif Hukum Islam (Di Toko dan Warung
Desa Mawatsari)”.

Hal tersebut dilakukan karena penyusun merasa bahwa persoalan ini


perlu dikaji secara mendalam, agar dalam realitanya dapat dipraktikkan dengan
4
Dwi,wawancara,13 mei 2022
5
Angga saputra, observasi,13 mei 2022

3
berpegang pada aturan-aturan hukum Islam serta sesuai dengan maqasid as-
syariah. Sehingga tidak ada keraguan bagi umat Islam khususnya terhadap praktik
pengembalian uang sisa kembalian dengan barang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka


permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik pengalihan kembalian uang sisa belanja dengan barang di


pertokoan dan warung Desa mawatsari?
2. Bagaimana pendapat para Ulama mengenai pengembalian sisa uang
kembalian dengan barang?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Untuk mejelaskan praktik pengalihan kembalian uang sisa belanja dengan


barang di pertokoan dan warung Desa Mawatsari.

2. Umtuk mejelaskan pendapat para Ulama mengenai pengembalian sisa uang


kembalian dengan barang.

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap dengan adanya penelitian ini dapat menjadi tambahan


ilmu dalam bidang ekonomi islam kususnya tentang pengembalian uang sisa
pengembalian dengan barang dalam meningkatkan tinjauan hukum islam di toko
dan warung Desa Mawatsari .

2. Manfaat Praktis

4
Dengan adanya penelitian ini,diharapkan dapat menjadi rujukan bagi
pedagang dan pembeli untuk meningkatkan kualitas hukum yang ada di toko dan
warung Desa Mawatsari.

E. Telaah Pustaka

Adapun beberapa penelitian terdahulu yang dapat penulis pakai sebagai


rujukan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang penulis bahas yaitu
tentang pengembalian uang sisa kembalian belanja dengan barang yang penulis
kemukakan diantaranya adalah:

1. Lia Rahmawati 2020, dalam penelitiannya yang berjudul “praktik pengalihan


uang sisa belanja dengan permen ditinjau dari hukum islam dan undang
undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada studi kasus di
swalayan bc mart 1 salatiga”. Membahas tentang praktik pengembalian uang
sisa pembelian dari sudut pandang islam dan undang-undang perlindungan
konsumen. Dimana hal tersebut dianggap hanya menguntungkan salah satu
pihak saja karena praktik ini dilakukan tanpa adanya kesepakatan kedua belah
pihak serta tidak adanya akad atau penawaran terlebih dahulu kepada
konsumen sehingga dianggap merugikan pihak konsumen.

2. Wulan Widiya Astuti 2018, dalam penelitiannya yang berjudul “pandangan


hukum islam terhadap pengembalian sisa pembelian dengan barang pada
kantin syariah UIN Raden Intan Lampung”. Membahas tentang bagaimana
pandangan islam dalam menanggapi praktik pengembalian sisa pembelian
dengan barang pada Kantin Syariah UIN Raden Intan Lampung

3. Huswatun Hasana 2018, dalam penelitiannya yang berjudul “fenomena


praktik pengembalian sisa harga diganti dengan barang menurut perspektif
ekonomi islam” yang melakukan studi kasus pada kasir di swalayan royal
mart samata, kota Makassar. Penelitian ini membahas tentang Fenomena
praktik pengembalian sisa harga diganti dengan barang di swalayan Royal
Mart Samata yang dilakukan dengan beberapa pertimbangan diantaranya saat
persediaan uang receh di kas kasir habis dan pada saat ada konsumen yang

5
menginginkan sisa kembaliannya diganti dengan barang. Serta bagaiamana
jika pengembalian sisa harga diganti dengan barang baik diucapkan dengan
lisan ataupun tidak serta baik dituliskan maupun tidak ketika dilihat dari sudut
pandang ekonomi Islam.

4. Abdurab Arrosul Syayyaf 2016, dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis


Fiqh terhadap praktik pengembalian uang sisa pembelian pada studi kasus di
Swalayan TIKA kota Bengkulu”. Skripsi ini membahas mengenai praktik
pengembalian uang sisa pembelian di Swalayan TIKA kota Bengkulu.
Penggantian uang sisa pembelian dengan permen di swalayan Tika Kota
Bengkulu diperbolehkan menurut fiqh ekonomi islam. Hal ini dikarenakan
keadaan yang menyulitkan (mashaqqah).

F. Kajian Teori

A. Akad Dalam Hukum Islam

 Pengertian Akad

6
Pengertian akad berasal dari bahasa Arab, al-aqd yang artinya
perikatan, perjanjian, persetujuan dan pemufakatan. Kata ini juga bisa di
artikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang
berakad,6 Secara istilah fiqh, akad di definisikan dengan suatu pertalian ijab
(pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. 7
Pencantuman kata-kata yang "sesuai dengan kehendak syariat" maksudnya
bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih
tidak di anggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara".
Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba,menipu orang lain,
atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kata-kata
"berpengaruh kepada objek perikatan" maksudnya adalah terjadinya
perpindahan pemilikan dari satu pihak ang melakukan ijab) kepada pihak
lain (yang menyatakan qabul),8Secara khusus akad berarti kesetaraan antara
ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan kabul
(pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan
berpengaruh kepada sesuatu. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa akad adalah pertalian suatu ikatan antara ijab dan kabul
yang menunjukkan adanya kerelaan para pihak dan memenuhi akibat
hukum terhadap objek yang diakadkan.

 Dasar Hukum Akad

a. Landasan Al-Qur'an Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah Swt
dalam surat Al-Maidah (5) ayat 1 sebagai berikut :

b. Landasan Al-Sunnah

6
Trisadini P.Usanti dan Abd Shomad, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara,
2015), hal. 45
7
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII
Press, 2008), hal. 223

8
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 51

7
Hadist Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh HR Bukhori tentang
kebatalan suatu akad yaitu:

Artinya: Dari Jabir bin Abdullah Rhodiyallohu "anhuma dalam kitab


Syurutuhum Bainahum, berkata "Segala bentuk persyaratan yang tidak
ada dalam kitab Allah (Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta
syarat" (HR Bukhori).

Maksud dari hadits diatas bahwa suatu akad yang diadakan oleh para
pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak.
Masing-masing pihak haruslah ridho atau rela akan isi akad tersebut
atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-
masing pihak serta tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu
kepada pihak yang lain.

 Rukun dan Syarat Akad

a. Rukun Akad

Rukun akad menurut jumhur fuqaha terdiri dari 3 yaitu:

1. Orang yang berakad ( aqid), contoh: penjual dan pembeli.

2. Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh harga atau yang


dihargakan.

8
3. Shighah atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul.
Ulama Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad itu hanya
satu yaitu shighah al-aqd yaitu ijab dan qabul, sedangkan pihak-
pihak yang berakad dan objek akad tidak termasuk rukun akad
tetapi syarat akad9. Shighah al-aqd merupakan rukun akad yang
yang terpenting, karena melalui akad inilah diketahui maksud setiap
pihak yang melakukan akad (transaksi). Shighah al-aqd dinyatakan
melalui ijab dan qabul dengan suatu ketentuan:

1. Tujuan akad itu harus jelas dan dapat dipahami

2. Antara ijab dan qabul harus dapat kesesuaian.

3. Pernyataan ijab dan qabul itu harus sesuai dengan kehendak


masing-masing, dan tidak boleh ada yang meragukan. Ijab dan
qabul dapat dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan tulisan
(biasanya transaksi yang besar nilainya). Namun, semua bentuk ijab
dan qabul itu mempunyai nilai kekuatan yang sama.

b.Syarat Akad

Adapun syarat-syarat akad adalah:

1. Al-Aqid (pihak-pihak yang berakad)

Al-Aqid adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang


memiliki dan anak kecil yang belum mumayyid tidak sah
melakukan transaksi jual beli dan sebagainya Al-Aqid juga
didefinisikan sebagai orang yang melakukan akad.
Keberadaannya sangat penting sebab tidak dapat dikatakan
akad jika tidak ada aqid. Begitu pula tidak akan terjadi ijab dan
qabul tanpa adanya aqid.

9
Ibid,hal 59

9
Aqid diisyaratkan mempunyai kemampuan (ahliyah) dan
kewenangan (wilayah) untuk melakukan akad yakni
mempunyai kewenangan melakukan akad. Ahliyah adalah
kemampuan atau kepantasan seseorang untuk menerima beban
syara" berupa hak hak dan kewajiban serta kesahan tindakan
hukumnya, seperti berakal dan mumayiz. Wilayah merupakan
kekuasaan atau kewenangan secara syar'i yang memungkinkan
pemiliknya melakukan akad dan tindakan hukum yang
menimbulkan akibat bukum.10

2. Al-Ma’qud alaih (objek akad), disyaratkan:

a. Sesuatu yang diakadkan ada ketika akad, maka tidak sah


melakukan akad terhadap sesuatu yang tidak ada, seperti jual
beli buah-buahan masih dalam putik. Akan tetapi para fuqaha"
mengecualikan ketentuan ini untuk ada salam, ijarah, hibah,
dan istishna", meskipun barangnya belum ada ketika akad,
akadnya salı karena dibutuhkan manusia.

b. Objek akad adalah sesuatu yang dibolehkan syariat, suci,


tidak najis atau benda mutanajis (benda yang bercampur najis).
Tidak dibenarkan melakukan akad terhadap sesuatu yang
dilarang agama (mal ghairu mutaqawwin), seperti jual beli
darah, narkoba, dan lain sebagainya.

c. Objek akad dapat diserahterimakan ketika akad. Apabila


barang tidak dapat diserahterimakan ketika akad, maka
akadnya batal, seperti jual beli burung di udara.

10
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal.260

10
d. Objek yang diakadkan diketahui oleh pihak-pihak yang
berakad. Caranya dapat dilakukan dengan menunjukkan barang
atau dengan menjelaskan ciri-ciri atau karakteristik barang.
Keharusan mengetahui objek yang diakadkan ini menurut para
fuqaha" adalah untuk menghindari terjadinya perselisihan
antara para pihak yang berakad. Hal ini berdasarkan pada
larangan yang terdapat dalam hadits Nabi yang melarang jual
beli gharar dan jual beli majhul (bendanya tidak diketahui).

Artinya: "Diriwayatkan dari Abu Hurairah, sesungguhnya


Rasulullah Saw. melarang jual beli sperma pejantan danjual
beli yang mengandung tipuan" (Riwayat Muslim dan lain-
lainnya),

e. Bermanfaat, baik manfaat yang akan diperoleh.11

3. Shighat Al-aqid

Shighat al-Aqid adalah sesuatu yang disandarkan dari dua


pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada dihati
keduanyadentang terjadinya suatu akad. Shigh terdiri dari ijab
dan qabul. Ijab merupakan pemiyalhan yang menunjukkan
kerelaan yang terjadi lebih awal dari salah seorang yang
berakad. Perkatan yang pertama dalam jual beli dinamakan
ijab, baik berasal dari penjul maupun pembeli. Sementara qabul
adalah sesuatu yang disebutkan kemudian yang berasal dari
salah satu pihak yang berakad yang menunjukkan kesepakatan
dan kerelaannya sebagai jawaban dari ucapan pertama. Qabul
ada kalanya berasal dari penjual dan adakalanya juga dari
pembeli ketika akad berlangsung. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam shighat al-qad yaitu:

11
Ibid,hal 287

11
a. Shighat al’aqad harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam
ijab kabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian.
Seperti "aku serahkan ini kepadamu sebagai hadiah atau
pemberian".

b. Harus bersesuaian antara ijab dan kabul. Antara berijab dan


menerima tidak boleh berbeda lafal.

c. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak


yang bersangkutan tidak terpaksa dan tidak diancam atau tidak
ditakut-takuti oleh orang lain.12

B. Jual Beli Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Jual Beli

a. Menurut bahasa (etimologi) Jual beli menurut bahasa


artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut
syara" artinya menukar harta dengan harta menurut cara-
cara tertentu (aqad). Perdagangan atau jual beli menurut
bahasa berarti al-ba"i, al tijarah, dan al-mubadalah, hal ini
sebagaimana firman Allah Swt: Artinya: "Mereka
mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi"
(Q.S Faatir (35):,Berdasarkan definisi di atas, jual beli
menurut bahasa adalah tukar-menukar sesuatu dengan
sesuatu.

b. Menurut istilah (terminologi)

1. Menurut ulama Hanafiah "Pertukaran harta (benda)


dengan harta (yang lain) berdasarkan cara khusus (yang
dibolehkan)

12
Ibid,hal 295

12
2. Menurut ulama Malikiyah "Jual beli adalah akad
mu"awadhah (timbal balik) atas selain manfaat dan bukan
pula untuk menikmati" (Menurut Imam Syafi").

3. Ibnu Qudamah Artinya: "Pertukaran harta dengan harta


(yang lain) untuk saling menjadikan.

4. Menurut Imam Syafi'i pada prinsipnya Jual beli yaitu


diperbolehkan apabila dilandasi dengan keridhaan
(kerelaan) dua orang yang diperbolehkan mengadakan jual
beli barang yang diperbolehkan.

5. Menurut Istilah Fiqh Jual beli menurut kamus fiqh


disebut dengan al-bai" yang berarti suatu proses
pemindahan hak milik (barang atau harta) kepada pihak lain
dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual
beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau
barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan
sesuai dengan ketentuan yang dibenarkan syara" (hukum
Islam) dan disepakati.

2. Dasar Hukum Jual Beli

13
Jual beli merupakan akad yang dibolehkan
berdasarkan al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijma". Dalam kitab
al-Umm, Imam Syafi'i menjelaskan hukum dasar setiap
transaksi jual beli adalah mubah (diperbolehkan), apabila
terjadi kesepakatan antara pembeli dan penjual. Transaksi
apapun tetap diperbolehkan, kecuali transaksi yang dilarang
oleh Rasulullah Saw. Adapun dasar hukum Al-Qur'an,
Sunnah Rasulullah, serta Landasan Al-Qur'an Al-Qur'an
sebagai sumber utama hukum Islam, memberikan dasar-
dasar diperbolehkannya jual beli guna memenuhi hidup
orang Islam. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT
yaitu: 1) QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:Artinya: "Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba" (QS Al-Baqarah (2):198), Maksud dari potongan ayat
ini yaitu bisa jadi merupakan bagian dari perkataan mereka
(pemakan riba) dan sekaligus menjadi bantahan terhadap
diri mereka sendiri.13 Artinya, mereka mengatakan hal
tersebut (innam al-bat" matsalu al-riba) padahal sebenarnya
mereka mengetahui perbedaan antara jual beli dan riba, 2)
Q.S An-Nisaa" (4) ayat 29: Landasan Al-Sunnah Hadits
Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Rifa"ah bin Rafi"
al-Bazar dan Hakim: Artinya: "Dari Rifa"ah bu Rafi'ira
bahwasanya Nabi Saw pernah menjawab: "Pekerjaan
seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual belt
yang baik (HR Al-Bazzar dan dianggap shahih menurut
Hakim). Landasan Ijma’ Ijma’ adalah kesepakatan
mayoritas mujtahidin diantara umat Islam tentang hukum
syara’ peristiwa yang terjadi pada suatu masa.

2. Rukun dan Syarat Jual Beli

13
Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2013),
hal,345

14
Rukun dan syarat dalam praktik jual beli merupakan hal
yang sangat penting. Sebab tanpa rukun dan syarat maka jual
beli tersebut tidak sah hukumnya. Oleh karena itu, Islam telah
mengatur tentang rukun dan syarat jual beli itu antara lain:
Rukun jual beli Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah yaitu
ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan
menjual dari penjual. Syarat Jual Beli Adapun syarat-syarat
jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan
jumhur ulama di atas adalah sebagai berikut:14Dua pihak yang
berakad (penjual dan pembeli), yaitu: Baligh menurut hukum
Islam, dikatakan baligh (dewasa) apabila telah berusia 15 tahun
bagi laki-laki dan telah datang bulan atau haid bagi anak
perempuan. Sebagian ulama anak anak diperbolehkan
melakukan jual beli khususnya untuk barang-barang kecil dan
tidak bernilai tinggi. Berakal yaitu dapat membedakan atau
memilih mana yang terbaik bagi dirinya, Dengan kehendak
sendiri atau bukan paksaan, Tidak Pemboros atau tidak
mubazir.15

G. Metode Penelitian
Metode adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dengan
menggunakan pemikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Sebagaimana pengertian metodologi yang terdapat dalam kamus besar bahasa
Indonesia yaitu “Cara yang teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapainya sesuatu yang dikehendaki, atau cara kerja yang

14
ibid,hal 376
15
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.95

15
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan.”
Dalam rangka penyusunan proposal ini, metode yang digunakan untuk
memudahkan dalam pengumpulan, pembahasan dan menganalisa data adalah
dengan menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang merupakan salah satu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau
tulisan dari perilaku orang-orang yang diamati pada lapangan.16 Dalam hal
ini data bersumber dari pedagang di pertokoan/warung desa mawatsari dan
dari kalangan masyarakat selaku sebagai pembeli.
Selain penelitian lapangan, penulis juga didukung dengan penelitian
pustaka, yang bertujuan untuk mengumpulkan data atau informasi dengan
bantuan material, misalnya: buku, catatan, koran, dokumen, jurnal, artikel
dan referensi lainnya yang berkaitan dengan data pandangan hukum Islam
terhadap pengembalian sisa pembelian uang yang diganti dengan barang.
b. Sifat Penelitian
Menurut sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Metode
deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu objek yang bertujuan
membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis dan objektif,
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri, serta hubungan diantara unsur-
unsur yang ada atau fenomena tertentu yang ingin diketahui. 17 Dalam
kaitan penelitian ingin menggambarkan dan melakukan analisis dengan
apa adanya tentang sistem praktik pengembalian sisa pembelian dengan
barang pada Toko dan Warung Desa Mawatsari.
2. Sumber Data

16
Sukidin dan Basrowi, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro (Surabaya : Insan.
Cendikia, 2002), h. 1-2
17
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rakusarasi, 1991),
hlm.19.

16
Sumber data adalah semua keterangan yang diperoleh dari responden
maupun yang berasal dari dokumen-dokumen guna keperluan penelitian yang
di maksud. Dalam penelitian lazimnya terdapat dua jenis data yang di
analisis, yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang di peroleh langsung dari lapangan atau
lokasi penelitian sebagai sumber informasi yang ingin dalam kehidupan
yang sebenarnya.18
Data yang di peroleh atau di kumpulkan peneliti langsung dari
lapangan oleh orang yang melakukan penelitian yaitu data tentang
pengembalian sisa pembelian dengan barang pada Toko dan Warung Desa
Mawatsari.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari
subjek penelitian yang juga berperan sebagai bahan yang mendukung
sumber data primer.19 Adapun data sekunder dalam penelitian ini dapat
diperoleh dari Al-Qur‟an, al-Hadits, kitab-kitab Fiqh, buku-buku, dan
literature yang berhubungan dengan pokok permasalah.
3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah Sejumlah manusia atau unit yang mempunyai
karakteristik yang sama. Adapun yang menjadi populasi pada penelitian
ini adalah orang yang terlibat atau mengalami transaksi pengembalian sisa
pembelian dengan barang tersebut, baik itu pedagang toko dan warung
Desa Mawatsari maupun pembeli di toko dan warung tersebut.
b. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil dengan caracara
tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu jelas dan lengkap serta
dianggap mewakili dari populasi. Dalam hal menentukan sampel, proposal
18
Saifuddin Azwar. Metode Peneltian (Yokyakarta : Pustaka Pelajar,1998). Hlm. 91.
19
Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009),
hlm. 185.

17
ini dalam menetapkan sampelnya menggunakan teknik purposive
sampling, artinya pengambilan sampel yang dilakukan secara sengaja
sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan.
Adapun yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah orang yang
dianggap dapat memberikan informasi tentang pengembalian sisa
pembelian dengan barang. Jumlah sampel yang akan diambil pada toko
dan warung desa mawatsari yang salah satunya adalah toko Mbak Yun.
Adapun sampelnya adalah sebagai berikut; 3 pedagang dan para pembeli
sebanyak 10 orang yang sering berbelanja di Toko.
4. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan jelas mengganalisis langsung objek
penelitian dalam teknik ini penyusun menggunakan metode yaitu:
a. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan antara dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-
keterangan yang ingin diketahui.20 Metode wawancara ditunjukan kepada
3 orang yang menjaga toko serta 10 orang pembeli.
b. Observasi
Obsevasi adalah mengadakan pegamatan secara langsung pada objek
yang diteliti dengn maksud melihat, mengamati, merasakan, kemudian
memahami pengetahuan dari sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan
dan gagasan yang sudah diketahui sebelumnya untuk mendapatkan
informasi-informasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan suatu penelitian.21
Kemudian dibuat catatan tentang fakta-fakta yang ada hubungannya
dengan pengembalian sisa pembelian dengan barang berupa permen yang
terjadi pada toko mbak yun tersebut.
5. Metode Analisis Data

20
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2004), hal. 83
21
Muhammad Musa dan Titi Nurfitri, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gunung Agung,
1988), hal. 66

18
Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah menganalisa data dan
mengambil kesimpulan dari data yang telah terkumpul. Metode analisa data
yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan kajian penelitian
yaitu, pandangan hukum Islam terhadap praktik pengembalian sisa pembelian
dengan barang yang akan dikaji menggunakan data yang bersifat kualitatif
yaitu metode sebagai presedur penelitian menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.
Adapun metode berfikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode induktif, yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus atau peristiwa
konkrit kemudian dari fakta itu ditarik generalisasi yang mempunya sifat
umum. Metode ini digunakan untuk mengetengahkan data-data mengenai
pengembalian sisa uang belanja dengan barang yang sifat umumnya terjadi di
Toko mbak Yun.

DAFTAR PUSTAKA

Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta Timur: Sinar Grafika,


2013).

19
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
Sukidin dan Basrowi, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro (Surabaya :
Insan. Cendikia, 2002).
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rakusarasi,
1991).
Saifuddin Azwar. Metode Peneltian (Yokyakarta : Pustaka Pelajar,1998).
Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2009)
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010)
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2004).
Trisadini P.Usanti dan Abd Shomad, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2015)
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII
Press, 2008),
Muhammad Musa dan Titi Nurfitri, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gunung
Agung, 1988)

20

Anda mungkin juga menyukai